1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Diameter Die, Bahan Pengikat, dan Kadar Air Bahan Baku Terhadap Kualitas Pelet yang Dihasilkan pada Produksi Pelet Pakan Ternak Ruminansia Berbasis Biomassa Kelapa Sawit

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Indonesia sebagai negara agraris sudah sewajarnya jika mampu berswasembada produk-produk yang berbasis pertanian. Namun sayangnya swasembada tersebut belum tercapai termasuk pada produk-produk utama pertanian seperti misalnya daging. Selama ini untuk mencukupi kekurangan kebutuhan daging dalam negeri, pemerintah mengimpor terutama dari Australia baik berupa daging maupun sapi bakalan.

  Menyikapi kondisi tersebut di atas, Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Kementerian Pertanian membuat program bernama Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau yang akan dicapai pada tahun 2014 (PSDSK 2014). Program ini mentargetkan bahwa pada tahun 2014 kebutuhan daging sapi Indonesia, akan dipenuhi 90% dari produksi domestik dan 10% dari impor. Salah satu tujuan penting PSDSK 2014 adalah perkembangan populasi dan perbaikan produktivitas sapi potong, serta peningkatan produksi daging sapi yang terjamin aman, sehat, utuh, dan halal secara berkesinambungan (Rahutomo dkk., 2012).

  Tantangan terbesar dalam mewujudkan swasembada daging sapi di Indonesia saat ini adalah belum terintegrasinya kegiatan agroindustri sapi potong antara sektor hulu dan hilir. Sekarang ini aktivitas agroindustri sapi potong cenderung pada sektor hilir yaitu impor dan perdagangan yang secara finansial lebih menguntungkan karena perputaran modalnya cepat dengan resiko yang lebih kecil. Sementara di sektor hulu yang berupa aktivitas pembibitan dan budidaya sapi oleh peternak belum berjalan maksimal. Salah satu penyebabnya adalah ketersediaan pakan yang berkualitas dan terjamin ada sepanjang tahun. Pakan sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan populasi dan produktivitas sapi (Rahutomo dkk., 2012).

  Salah satu strategi untuk menjawab tantangan tersebut adalah mengintegrasikan pemeliharaan sapi dengan sektor agribisnis lainya dengan pendekatan zero waste dan bila memungkinkan zero cost sehingga mampu menghasilkan berbagai jenis produk (food, feed, fertilizer, & fuel). Salah satu sektor agribisnis lain yang berpotensi besar untuk diintegrasikan dengan PSDSK 2014 adalah agribisnis kelapa sawit. Sumberdaya yang dimiliki perkebunan kelapa sawit berpotensi mampu menyediakan pakan yang melimpah dan berkualitas tanpa mengganggu produktivitas kebun itu sendiri. Sumber daya dimaksud adalah pelepah kelapa sawit dan bungkil inti sawit yang merupakan produk samping dari perkebunan kelapa sawit (Rahutomo dkk., 2012).

  Menurut Siahaan dkk. (2009) produk samping industri kelapa sawit yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan adalah: pelepah (oil palm frond/OPF), daun, tandan kosong (empty fruit bunches/EFB), serat perasan (fiber), lumpur sawit (solid decanter/SD), dan bungkil inti sawit (palm kernel cake/PKC). Daya dukung produk samping kelapa sawit menjadi bahan baku pakan adalah bahan kering pelepah mencapai 37,52 juta ton/tahun dari total tanaman kelapa sawit produktif kelapa sawit (dalam kg/ha/tahun) adalah bahan kering bungkil inti sawit 470,58 kg, lumpur sawit 264,88 kg, dan serat perasan 2457,84 kg (Siahaan dkk., 2009).

  Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) yang merupakan salah satu komponen penting dalam industri perkelapasawitan Indonesia, terpanggil untuk ikut berkontribusi mensukseskan program PSDSK 2014. PPKS menyusun program yang diberi nama Integrasi Sawit, Sapi, dan Energi (ISSE). Program ini merupakan sebuah paket teknologi pengandangan ternak sapi yang mengandalkan hasil samping dari agrobisnis kelapa sawit berupa pelepah dan bungkil inti sawit sebagai sumber pakan serta pemanfaatan limbah dari pengandangan menjadi sumber energi dan pupuk organik yang dikembalikan ke kebun. Salah satu hasil dari program ini berupa formulasi pakan lengkap ternak ruminansia berbasis biomassa kelapa sawit berbentuk curah. Target dari program ini selanjutnya adalah dihasilkannya pakan ruminansia besar dan kecil dengan kadar protein 20% dan dikemas dalam bentuk pelet (Rahutomo dkk., 2012).

  Selain positif dari segi potensi sumbernya, pakan jenis ini juga positif dari segi kualitasnya. Menurut Rahutomo dkk. (2012) pertambahan bobot sapi karena pemberian pakan ini dapat mencapai 0,8

  • – 1,1 kg/hari untuk sapi lokal sedangkan untuk sapi Brahman Cross dapat mencapai 1,2
  • – 1,4 kg/hari. Melihat kenyataan tersebut maka pakan lengkap berbasis biomassa kelapa sawit ini dapat dijadikan sumber pakan alternatif yang ketersediaannya cukup sepanjang tahun dan tidak tergantung musim.
Berkaitan dengan dukungannya terhadap agroindustri sapi secara nasional, pakan jenis ini diharapkan dapat didistribusikan ke daerah-daerah sentra peternakan sapi di Pulau Jawa, Bali, atau daerah lain yang ketersediaan pakan hijauannya tidak terjamin sepanjang tahun seperti daerah Nusa Tenggara (Mariyono dan Romjali, 2007). Pendistribusian pakan ini menimbulkan konsekuensi bahwa pakan yang dikirimkan harus awet/tahan lama disimpan, ringkas, dan mudah penanganannya.

  Keadaan tersebut hanya bisa dipenuhi jika pakan yang didistibusikan dalam bentuk pelet, bukan dalam bentuk curah.

  Ilmu peletisasi pakan ternak sebenarnya sudah muncul sejak awal abad ke-20. Di wilayah Eropa peletisasi pakan mulai dikenal sekitar tahun 1920 sedangkan di Amerika Serikat mulai tahun 1920-an (Schoeff, 1994 dalam Behnke, 2001).

  Popularitasnya semakin meluas sehingga sekitar 80% industri pakan di Amerika Serikat sudah berupa pakan pelet. Sekarang peletisasi pakan sudah semakin luas digunakan karena keuntungan baik secara fisik maupun nutrisi. Keuntungan secara fisik diantaranya memudahkan penanganan, mengurangi kehilangan nutrisi, mengurangi jumlah pakan yang tersisa, dan meningkatkan bulk density. Keuntungan secara nutrisi diukur melalui percobaan kepada hewan ternak (Falk, 1985 dalam Behnke 2001). Menurut Behnke (2001) pemberian pakan dalam bentuk pelet akan meningkatkan performa ternak dan konversi pakan bila dibandingkan dengan pakan dalam bentuk tepung.

  Penelitian ini akan menjadi semakin menarik karena karakteristik bahan yang unggas maupun ikan. Bahan baku pelet untuk unggas maupun ikan pada umumnya berbasis tepung, teksturnya halus, dan mengandung pati sehingga mudah dipeletkan.

  Sedangkan karakteristik bahan yang akan dipeletkan pada penelitian ini kebalikan dari karakteristik bahan baku pelet di atas, yaitu: berbasis biomasa, teksturnya kasar, dan tidak starchy. Oleh karenanya sangat dimungkinkan menemui kesulitan dan memerlukan perlakuan yang berbeda bila dibandingkan dengan proses pelleting untuk pakan unggas maupun ikan. Mengingat pentingnya hal tersebut, maka penelitian ini akan mempelajari pembuatan pelet dari pakan lengkap ternak ruminansia yang berbasis biomassa kelapa sawit.

1.2. Perumusan Masalah Pakan ternak yang bahan bakunya berbasis tepung lebih mudah dipeletkan.

  Tepung yang ada pada bahan pakan selain sebagai salah satu nutrisi penting juga akan berfungsi sebagai pengikat sehingga pelet mudah dibentuk dan kompak.

  Teknologi pembuatan pelet dari bahan-bahan tersebut juga sudah banyak dijumpai aplikasinya terutama pada perusahan-perusahaan produsen pakan ternak unggas maupun ikan. Namun jika yang akan dipeletkan adalah pakan ternak yang bahan bakunya berasal dari biomassa kelapa sawit, kondisinya menjadi berbeda. Diameter lubang cetakan (die), penambahan bahan pengikat, penambahan air panas dan rajangan pelepah menjadi faktor penentu keberhasilan proses peletisasi. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan penelitian ini.

  1.3. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kombinasi perlakuan terbaik antara diameter die, bahan pengikat, penambahan air panas dan jenis rajangan pelepah yang menghasilkan pelet berkualitas menurut parameter mutu indeks ketahanan pelet, hardness dan efisiensi pembuatan.

  1.4. Batasan Penelitian

  Ruang lingkup penelitian ini meliputi:

  1. Variabel penelitian:

  1.1. Variabel tetap:

  a. Ransum pakan terdiri atas rajangan pelepah 33% (b/b), bungkil inti sawit 45% (b/b), dedak padi halus 15% (b/b), molasses 4% (b/b), garam 1% (b/b), mineral 1% (b/b), urea 1% (b/b).

  b. Konsentrasi bahan pengikat: 7% (b/b)

  c. Temperatur air panas yang ditambahkan: 100 ˚C

  1.2. Variabel tidak tetap:

  a. Jenis rajangan pelepah: diayak 9 mesh dan tidak diayak

  b. Bahan pengikat: tanpa pengikat, tepung gaplek, tepung terigu industri

  c. Penambahan air panas: 24 %, 32%, 40 % (b/b)

  d. Diameter die: 1. diameter lubang 8 mm tebal 40 mm (Rasio L:D = 5)

  2. Rancangan percobaan dan analisa data: Rancangan acak lengkap 4 faktorial, analisa data menggunakan SPSS 18

  3. Kualitas pelet diukur berdasarkan parameter: indeks ketahanan pelet,

  hardness , dan efisiensi pembuatan pelet 4.

  Mesin pelleting yang digunakan berkapasitas 1000 kg/jam dengan die rata, dibuat oleh PT. Kaliber Mitra Sakti, Sidoarjo, Jawa Timur.

5. Penelitian dilakukan di Pilot Project Peletisasi Pakan Ternak di Kebun Aek Pancur milik PPKS, Tanjung Morawa, Deli Serdang.

1.5. Manfaat Penelitian

  Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi para pemangku kepentingan di bidang peternakan sapi terutama dalam hal penyediaan pakan lengkap awetan berbasis kelapa sawit dalam bentuk pelet beserta teknologinya.