Apa yang Tidak Dibicarakan Ketika Membic

Apa yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Lagu Cinta
Irfan R. Darajat
Beberapa orang memandang bahwa lagu cinta adalah sebuah kenistaan,
terlepas dari persoalan kehidupan sehari-hari; terisolasi. Beberapa kritik
dialamatkan kepada deret lagu populer yang berbicara soal cinta, baik dari
rezim maupun penulis kritik musik. Remi Sylado pernah mengungkapkan
kritiknya dalam “Satu Kebebalan Sang Mengapa”. Ia mempersoalkan
bagaimana lagu populer Indonesia berhenti pada pertanyaan mengapa, dan
tak kunjung beranjak pada perenungan atas pertanyaan tersebut; bebal 1.
Abdurrahman Wahid tak berbeda, dalam pandangannya lagu cinta populer
yang banyak terdengar di sekitar kita tidak memberikan fungsinya sebagai
bahan edukasi.2 Ada pula pandangan yang memisahkan lagu protes dengan
lagu cinta; lagu politik dan lagu cinta. 3 Kalaupun benar adanya sebutan lagu
protes itu, lalu bagaimana jika protes dan gugatan dialamatkan kepada
seseorang yang telah membuat remuk hatinya? Bukankah itu sebuah protes?
Persoalan politik hidup harian? Lalu bagaimana dengan lagu yang tidak
membicarakan cinta maupun protes? Bagaimana menempatkan lagu
tersebut? Hal inilah yang kemudian menuntut kehati-hatian dalam melakukan
kategorisasi pada tema lagu dalam sebuah kritik.
Sebelum terlalu terburu-buru dan lebih jauh membuat kesimpulan yang tak
jelas, ada baiknya untuk mencoba melakukan penilikan ulang terhadap

definisi politik. Urusan politik bisa jadi tidak melulu persoalan protes
masyarakat dan negara, atau urusan negara yang menekan rakyatnya.
Urusan politik bisa jadi menjadi urusan yang biasa kita temui sehari-hari dan
mungkin remeh-temeh.4
Melakukan usaha pembongkaran atas sikap politik lagu-lagu cinta mungkin
saja menjadi usaha yang muskil. Tapi, mencoba membaca lagu cinta pada
era tertentu bisa jadi cara yang baik untuk memahami alam pikir dan konteks
keseharian sebuah masyarakat. Meskipun tidak sesederhana itu pula, lagu
cinta
yang
dibicarakan
dalam
tulisan
ini
akan
serta-merta
mendemonstrasikan langsung apa yang terjadi pada konteks sosial di luar.
Melalui lirik-lirik lagu cinta kiranya kita dapat melacak dan memperkirakan
diskursus yang tersirat di dalamnya—sebuah wacana akan hal tertentu.
1


Remy Sylado, Satu Kebebelan Sang Mengapa, Jurnal Prisma bulan Juni 1977,
halaman 23 – 31.
2
Disarikan dari Gus Dur dan Kritik Musik Pop Indonesia,s
www.tribunnews.com/tribunners/2011/08/29/gus-dur-dan-kritik-musik-pop-indonesia1
3
WarningMagz! Edisi #5, Folk: They Are A Changin.
4
Kekuasaan dalam cara pandang Michel Foucault adalah alat untuk menormalisasi
individu-individu di dalam masyarakat melalui disiplin dan norma (Haryatmoko, 2002:
14).

Semua Sama di Hadapan Musik Pop
Sedikit mengulang kilasan sejarah, musik pop kerap kali ‘diatur’ oleh rezim
sebagaimana diharapkan menjadi representasi atas identitas dan karakter
bangsa. Kenangan tentang terminologi ‘ngak ngik ngok’ yang dimaklumatkan
oleh Presiden Sukarno tentu telah menunjukkan bukti yang kuat. Koes Plus—
dan pemusik pop lain pada zamannya—harus secara tidak langsung ikut
bertanggung jawab dalam membentuk identitas dan karakter bangsa melalui

musiknya.5 Harmoko, sebagai representasi rezim Suharto pun demikian
dalam memperlakukan Betharia Sonata. Dengan jelas Harmoko memberi
pernyataan bahwa lagu yang dilantunkan oleh Betharia Sonata, ‘Hati yang
Luka’, memberi pengaruh yang tidak baik bagi masyarakat karena dianggap
cengeng dan tidak mencerminkan kepribadian bangsa atau masyarakat pada
saat itu6.
Nasib buruk sepertinya memang menaungi musik pop; sebagai varian musik
yang berada di wilayah industri kehadirannya kerap ditanggapi dengan
sinisme. Kritik terhadap lagu cinta banyak diarahkan kepada lirik dan tema.
Sedangkan kedudukan komposisi musik, penggunaan instrumen, dan struktur
lagu dianggap sudah mentok pada keterikatan terhadap pengaruh
standardisasi musik pop barat.
Membicarakan sisi lain dari lagu cinta populer dalam tulisan ini menjadi
penting. Setidaknya kita dapat melihat musik pop sebagai karya yang dapat
memunculkan diskusi lain selain kemerosotan kualitas karya. Di samping itu,
kita pun lantas berkesempatan mendudukkan lagu-lagu cinta pada posisi
yang setara dengan lagu bertema lain.
5

Hal ini berlangsung pada antara tahun 1930-1960, dan pada tahun akhir 1950 arus

musik Rock ‘n Roll menjadi sangat digandrungi kaum muda Indonesia, dengan kiblat
musik bergaya The Comet, Elvis Presley, The Beatles, The Rolling Stones. Keadaan ini
meresahkan Presiden Soekarno, karena dia menganggap era ini adalah era untuk
melawan semua bentuk penjajahan atau yang dia sebut sebagai kolonialisme dan
imperialisme, dan membangun karakter bangsa. Musik yang demikian itu kemudian
disebut oleh Bung Karno sebagai musik “ngak-ngik-ngok”. Seperti dikutip dalam
Penemuan Kembali Revolusi Kita: Manifesto Politik Bung Karno, Penerbitan Chusus
Pemuda, Jakarta, 1959. Hal. 27: “Dan engkau, hei pemuda-pemuda dan pemudipemudi... ...engkau jang menentang imprialisme politik; kenapa di kalangan engkau
banjak jang tidak menentang imprialisme kebudajaan? Kenapa di kalangan engkau
banjak jang masih rock-‘n-roll-rock-‘n-rollan, dansi-dansian ala cha-cha- cha, musikmusikan ala ngak-ngik-ngok, gila-gilaan, dan lain-lain sebagainja lagi? “
6
Kompas, August 25, 1988 ("Menpen Harmoko: Stop Lagu Cengeng di TVRI"),
melaporkan pernyataan Harmoko sebagai berikut: "Menumbuhkan semangat kerja
yang jalin-menjalin dengan disiplin nasional, harus tercermin ... dalam setiap mata
acara TVRI. Upaya itu tidak akan berhasil ... apabila mata-mata acara TVRI banyak
diwarnai dengan lagu yang disebutnya sebagai 'ratapan patah semangat berselera
rendah,' 'keretakan rumah tangga,' atau 'hal-hal cengeng.' ... Dalam keadaan patah
semangat dan cengeng, tentulah sulit mengajak orang bekerja keras. Padahal apa
yang digambarkan itu bukanlah kenyataan di tengah masyarakat.


Kekosongan pesan dan makna, alienasi, dan tidak peka terhadap sekitar
seringkali menjadi kata sakti untuk menjelaskan betapa lagu cinta tiada
gunanya. Bagaimana jika pandangan lain mengemukakan bahwa lagu cinta
memiliki sisi politisnya sendiri? Lantas di mana, dan bagaimana caranya
bekerja? Mari kita simak lirik berikut;

Kangen (Dewa 19, 1992)
Ku terima suratmu, t’lah kubaca dan aku mengerti
Betapa merindunya dirimu akan hadirnya diriku
Di dalam hari-harimu, bersama lagi
Kau tanyakan padaku kapan aku akan kembali lagi
Katamu kau tak kuasa melawan gejolak di dalam dada
Yang membara menahan rasa pertemuan kita nanti
Saat bersama dirimu
Semua kata rindumu
Semakin membuatku tak berdaya
Menahan rasa ingin jumpa
Percayalah padaku akupun rindu kamu
Ku akan pulang melepas semua kerinduan
Yang terpendam...

Kau tuliskan padaku kata cinta
Yang manis dalam suratmu
Kau katakan padaku saat ini
Kuingin hangat pelukmu
Dan belai lembut kasihmu
Takkan kulupa s’lamanya
Saat kau ada di sisiku
Jangan katakan cinta
Menambah beban rasa
Sudah simpan saja sedihmu itu
Ku akan datang...

Dengan melihat bangunan cerita yang disusun dalam lirik lagu ini, dapat
dilihat beberapa faktor dan elemen yang penting dalam lagu ini. Pertama,
persoalan jarak dan media komunikasi. Keterputusan perjumpaan fisik dan
kurangnya komunikasi yang terbangun antar sepasang kekasih ini
disebabkan oleh jarak yang jauh. Media komunikasi yang coba dihadirkan
dalam lagu ini adalah surat. Surat memiliki efek delay dalam pengiriman dan
penerimaan pesan. Lagu ini lebih bersifat solilokui setelah menerima surat
balasan dari surat yang mungkin saja telah dikirimkan sebelumnya.

Kata ‘pertemuan’ tercatat muncul dalam lirik lagu ini. Mengisyaratkan bahwa
mereka telah merencanakan pertemuan. Tapi, tidak hanya rasa rindu yang
coba dimunculkan dalam lagu ini, ‘Aku’ liris dalam lagu ini pun mencoba
untuk menghapus keraguan yang muncul dari kekasihnya. Terbaca pada
kalimat, “Percayalah padaku akupun rindu kamu / Ku akan pulang melepas
semua kerinduan / Yang terpendam // … Jangan katakan cinta / Menambah
beban rasa / Sudah simpan saja sedihmu itu / Ku akan datang//”.
Membayangkan bahwa lagu ini memiliki kekosongan pesan rupanya agak
sulit bagi saya. Mendudukkan lagu ini pada kondisi individualis dan terasing
mungkin memang ada benarnya, tapi, melihat pada konteks zaman di mana
lagu ini ditulis akan memberikan gambaran bahwa kejadian ini bukanlah
persoalan yang semata-mata mengada-ada. Kita bisa membayangkan
seorang pekerja luar kota yang setiap harinya menghabiskan waktu bekerja
dan membanting tulang, dan tidak sempat mengurusi persoalan politik
apalagi filsafat, tentu akan mudah menemui saat-saat menyendiri dalam
istirahatnya—yang mungkin hanya sejenak—untuk merindukan kekasihnya.
Pada tataran inilah diskursus yang ada dalam lagu ini bekerja, membicarakan
suasana hati yang personal. Dengan mengaitkan tema yang personal ini
pada person-person yang lain, maka terjadilah sebuah diskursus intrapersonal. Demikianlah bagaimana lagu ini sulit untuk ditampikkan dari dalam
benak pendengarnya. Ia menjadi representasi suara hati yang lirih.

Lagu ini memungkinkan kita untuk mencatat perubahan media dalam
berkomunikasi dalam kehidupan kita. Bandingkan dengan keadaan zaman di
mana kita hidup sekarang, di mana teknologi komunikasi telah berkembang
pesat. Hari ini, kita dapat langsung bertegur sapa melalui begitu banyak
aplikasi yang terdapat dalam ponsel pintar yang kita miliki. Berkirim surat
menjadi hal yang tidak relevan lagi jika dilakukan pada masa ini. Jika teks
saja dirasa kurang memenuhi hasrat kerinduan seseorang, maka telah
ditemukan cara lain tatap muka lewat layar komputer maupun ponsel,
betapa jarak telah dipangkas sedemikian rupa, kecepatan pun menjadi kata
kunci dalam perubahan zaman ini. Hal ini juga berpengaruh pada alam pikir
seseorang terkait kerinduan. Pertanyaan terbesarnya adalah bagaimana

kerinduan kini dipersepsikan, jika telah tersedia berbagai macam media
komunikasi untuk mengatasinya.
Dalam persoalan ini, saya tidak menafikan bagaimana lagu ini ada pada
wilayah musik pop. Musik pop sendiri adalah musik niaga, industri musik
tentu akan memikirkan laba. Hal tersebut sudah merupakan hukum pasti.
Kemudian dari situ, tentu kita dapat berperilaku adil dalam mendudukkan
semua tema dalam musik pop.
Ambil contoh, lagu bertemakan protes milik Iwan Fals. Ketika “Bento” atau

“Bongkar” masuk ke wilayah musik pop, lagu ini pun sudah seharusnya
dipandang sebagaimana memandang lagu bertema lain pada wialayah musik
pop. Sama dalam hal ada pada wilayah komoditas. Standardisasi,
kategorisasi, dan komodifikasi tentu berjalan dalam logika produser album
ini.7
Lagu “Bento” dan atau “Bongkar”memang memiliki efek untuk menimbulkan
kesadaran kritis dan membicarakan hal lain di luar diri sendiri. Ia ada pada
wilayah komunal, ia bisa mendapat perilaku represif rezim, pembredelan dan
segala macam tindakan lain yang politis secara telanjang. Tapi, ada pula efek
samping yang kemudian harus dideritanya sebagai lagu pop. Ia telah menjadi
mitos, lagu dan sosok Iwan Fals menjadi simbol pemberontakan pada
zamannya, kini telah tunduk menjadi hanya sekadar slogan produk kopi
instan.
Kedua lagu tersebut mungkin telah kehilangan makna relevansinya jika
ditempatkan pada konteks masa sekarang. “Kangen” telah kehilangan media
surat; jarak dan waktu telah dipangkas oleh media dan teknologi yang kita
hadapi kini, sedangkan “Bento” dan “Bongkar” kerap kali hanya menjadi
selebrasi atas glorifikasi sosok Iwan Fals, dan tak menumbangkan kuasa
apapun dewasa ini.
Tema politik, protes, dan cinta personal bisa jadi memiliki kedudukan yang

sama di mata industri: sebagai komoditas. Lagu cinta memang tidak sertamerta menunjukkan sisi lain yang politis dalam liriknya, namun ia dapat
dibaca sebagai sebuah diskursus yang menandai zamannya. Konsep
keterwakilan perasaan personal lewat lagu “Kangen”, dapat dimaknai
sebagai penyambung suara hati, bahwa dia sedang menyanyikan derita yang
tengah dirasakan oleh satu orang pada kondisi tertentu. Dari satu person
yang juga dirasakan oleh person lain, ia menjadi inter-personal.
Hal inilah yang mendorong saya menawarkan pandangan untuk adil dalam
melihat setiap tema dalam musik pop. Bahwa dalam lagu protes juga lagu
7

Lihat kritik Adorno pada lagu protes Joan Baez. Theodor Adorno’s Radical Critique of
Joan Baez and the Music of the Vietnam War Protest Movement;
http://www.openculture.com/2014/12/theodor-adornos-radical-critique-of-joan-baezand-the-music-of-the-vietnam-war-protest-movement.html
diakses
pada
bulan
Desember 2014.

cinta, jika ditelusuri secara menyeluruh dan dibaca sesuai gerak zaman,
dapat dilacak suatu diskursus tertentu, yang lekat pada periode tertentu dan

bersifat sangat sementara.

Reproduksi dan Modifkasi Tema Lagu Cinta
Pada tahun awal dekade ‘90an, Slank menulis lagu dengan lirik yang secara
tema membicarakan cinta. Tapi, dalam diskursus yang lebih jauh lagi dia
membicarakan kelas sosial yang berbeda antara golongan pemuda kaya dan
tak punya. Pun demikian, Slank menuliskannya dengan nuansa optimisme
untuk mendapatkan cinta dari seorang gadis pujaan yang disebut sebagai
“Mawar Merah”.

Mawar Merah (Slank, 1991)
Memang ku tak mampu belikan dia perhiasan
Tak pernah atau memberi kemewahan
Tapi kuyakin dia bahagia
Tanpa itu semua…
Walau memang dirimu bernasib baik… Bapak lo kaya
Yang s’lalu kau andalkan untuk mendapatkannya
Percuma kau dekati dia
Karena cintanya pasti untukku
Aya ya ya… Simpan saja uangmu
Aya ya ya… Bawa pergi Mercy-mu
Aya ya ya… Enyahlah dari bunga mawarku
Aya ya ya… Enyahlah dari mawar merahku
Karena dia milikku
Memang penampilanku, juga rupaku slengean
Memang cara hidupku tak teratur pengangguran (kata orang sih!)
Tapi kuyakin dia bahagia karena dia mawar merahku

Adapun penanda kelas sosial si kaya ditunjukkan dengan jelas dalam lirik
lagu ini, tapi berbeda dengan ‘aku’ liris. ‘Aku’ liris tak mampu menunjukkan
apapun selain semangat, cinta, dan keyakinan yang dimilikinya; hal-hal yang
abstrak dan non-materiil. Bahkan, dia menunjukkan bahwa penampilan yang
tak begitu menarik dan penyematan label pengangguran yang tak

dipermasalahkan olehnya. Dalam hal ini, Slank telah mewakili sebuah kelas
sosial tertentu dalam wacana lagu cinta. Jurang kepercayaan diri yang cukup
lebar yang terjadi pada masa itu dapat dipangkasnya. Kaum pas-pasan, atau
tak punya bisa sedikit merasakan kemenangan dalam hal bersaing dengan
orang kaya, setidaknya dalam lagu.
Lanskap teknologi media dan konteks sosial yang sedemikian turut
berpengaruh dalam membentuk lanskap musik pop Indonesia. Tema cinta,
harapan yang tak sesuai dengan kenyataan, patah hati, perselingkuhan terus
menerus direproduksi.

Kau dan Dia (Ahmad Band, 1998)
Hancur hatiku mengenang dikau
Menjadi keping-keping setelah kau pergi
Tinggalkan kasih sayang yang pernah singgah antara kita
Masihkah ada sayang itu
Memang salahku, yang tak pernah bisa
Meninggalkan dirinya tuk bersama kamu
Walau tuk terus bersama
Kan ada hati yang kan terluka
Dan ku tahu kau tak mau
Sekali lagi maafkanlah
Karena aku cinta kau dan dia
Maafkanlah ku tak bisa
Tinggalkan dirinya
Mungkin tak mungkin untuk terus bersama
Jalani semua cinta yang telah dijalani
Tapi bila itu yang kau pikir yang terbaik untukmu
Bahagiaku untuk dirimu
Simpan sisa-sisa cerita cinta berdua
Walau tak tersisa cerita cinta berdua
Still love her in my mind
Still love her forever
Dirilis pada tahun yang sama ketika reformasi pecah, sebuah lagu yang
ditulis oleh Ahmad Dhani dengan projek musiknya yang lain, selain Dewa 19.
Lagu ini menunjukkan bagaimana tema perselingkuhan memiliki bahasa yang

lain jika dibandingkan dengan tema perselingkuhan pada tahun ‘80an.
Betharia Sonata mengambil sudut pandang perselingkuhan dalam rumah
tangga, sedangkan Ahmad Dhani mengambil konteks pacaran.
Konsep relasi yang terbedakan ini juga dapat dilihat sebagai perbedaan nilai.
Generasi yang mendiami Lagu Ahmad Band ini kemudian memiliki
kecenderungan untuk lebih menyeriusi pacaran sebelum berumah tangga.
Mungkin kita bisa melacaknya pada komentar orang tua pada anaknya
sewaktu saya masih berada di bangku Sekolah Menengah Pertama, atau
Sekolah Menengah Akhir. Ketika ada teman yang pacaran lalu putus dan
patah hati, dia akan bersedih-sedih ria, seperti hal itu merupakan akhir dunia
dan komentar orang tua akan sampai pada, “baru pacaran ini, gagal nggak
papa, toh juga masih SMP/SMA”.
Deretan grup musik seperti, Slank, Gigi, Padi, hingga Sheila on 7 memang
tengah memancarkan sinarnya. Lagu-lagu mereka bahkan digemari di
Malaysia. Temanya tentu saja tentang cinta, secara musikalitas mereka
memang memiliki kualitas dan hal ini membuat mereka dapat menempati
benak para pendengarnya, dan tentu saja industri musik besar menangkap
hal tersebut dengan sangat gembira.

Sephia (Sheila on 7, 2000)
Hey Sephia
Malam ini ku tak kan datang
Tak usah kau berpaling sayang
Mencoba tuk berpaling sayang dari cintamu
Hey Sephia
Malam ini ku takkan pulang
Tak usah kau mencari aku, demi cintamu
Hadapilah ini
Kisah kita takkan abadi
Selamat tidur kekasih gelapku, oh Sephia
S’moga cepat kau lupakan aku
Kekasih sejatimu takkan pernah sanggup untuk melupakanmu
Slamat tidur kasih tak terungkap, oh Sephia
S’moga kau lupakan aku cepat
Kekasih sejatimu takkan pernah sanggup untuk meninggalkanmu
Hey Sephia
Jangan pernah panggil namaku

bila kita bertemu lagi di lain hari
Sheila on 7 dalam lirik lagu Sephia telah kembali mengulang tema
perselingkuhan. Dalam hal ini, ‘aku’ liris merelakan kekasihnya pergi
bersama kekasih sejatinya. Dia menempatkan diri sebagai kekasih yang
kedua dan dia mempopulerkan terminologi ‘kekasih gelap’. Tema
perselingkuhan dan melankolia yang melingkupinya kembali diulang, dengan
demikian perselingkuhan dan merelakan dirinya di selingkuhi menjadi sebuah
pemakluman yang baru. Sekali lagi, bukan berarti serta merta lagu ini meniru
atau membahasakan kejadian umum pada masyarakat, dan bahwa gosip
yang melatari lagu ini berdasar pada kisah nyata tentu tidak dapat
dikesampingkan begitu saja. Urusan personal dan remeh-temeh, pada tulisan
ini merupakan urusan yang paling penting untuk disoroti.
Kasih Tak Sampai (Padi, 2001)
Indah begitu indah
Bila kita terbuai dalam alunan cinta
Sedapat mungkin terciptakan rasa
Keinginan tuk saling memiliki
Namun bila itu semua dapat terwujud dalam satu ikatan cinta
Tak semudah seperti yang pernah terbayang
Menyatukan perasaan kita
Tetaplah menjadi bintang di langit
Agar cinta kita akan abadi
Biarlah sinarmu tetap menyinari lama ini
Agar menjadi saksi cinta kita
Berdua
Sudah
Terlambat sudah
Kini semua harus berakhir
Mungkin inilah jalan yang terbaik
Dan kita mesti relakan kenyataan ini

Selanjutnya dalam lagu ‘Kasih Tak Sampai’, persoalan cinta yang diangkat
adalah sebuah kegagalan cinta, patah hati, sekaligus kerelaan atas persoalan
ini. Lagu ini dapat menjawab persoalan sebagaimana yang diungkapkan oleh

Remi Sylado dalam “Satu Kebebalan Sang Mengapa”, bahwa persoalan cinta
yang muncul dalam lirik lagu pop Indonesia hanya mengemukakan
persoalan, pertanyaan sang mengapa, dan tak pernah berhasil
menjawabnya. Pada lagu ini, perenungan dilakukan si ‘aku’ liris, dan kerelaan
merupakan suatu jalan keluar yang ditawarkan dalam menghadapi persoalan
kasih tak sampai.
Lagu-lagu yang disebutkan di atas memang
tidak serta-merta
menggambarkan apa yang terjadi pada kondisi sosial sekitar, bukan juga
kumandang heroik tentang mahasiswa yang berhasil menggulingkan rezim.
Namun setidaknya, lagu ini patut dicatat sebagai penanda varian lagu cinta
melankolia yang menggambarkan pergeseran nilai dalam menyikapi sebuah
hubungan asmara yang menyasar langsung kepada generasi muda. Pada
zaman setelah ini, tidak dibahas lagi tentang rezim yang merasa keberatan
dengan lagu cinta yang menimbulkan melankolia berkepanjangan. Tema lagu
cinta dan melankolia ini terus-menerus direproduksi. Secara garis besar,
tema yang diangkat masih berada pada wilayah yang sama. Patah hati,
perselingkuhan, dan konsep sepasang kekasih.
Slank memberikan tempat bagi kaum muda kalah dalam percintaan lewat
lagu “Mawar Merah”. Tentu kita dapat melihat jelas keberpihakkan Slank
yang menjadi representasi kaum tersebut. Tema cinta segitiga dalam “Aku
Cinta Kau dan Dia” dengan “Sephia” dapat kita maknai secara berbeda meski
tema besarnya sama. Dari sini kita dapat melihat pergeseran tema yang
diulang, namun telah dimodifikasi. Dari pembacaan ini pula, dapat kita temui
bagaimana nilai dan diskursus yang bergeser. Selanjutnya, apakah dapat
dengan mudahnya kita simpulkan bahwa lirik lagu di sini merupakan cermin
dari apa yang terjadi dalam masyarakat? Tentu kita tak boleh juga terburuburu menyimpulkan hal tersebut.
Namun, ilham penulis lagu tersebut untuk memunculkan diskursus tersebut
pastinya tidak didapat dari ruang hampa. Mereka pun hidup dalam suasana
tertentu, dalam relasi-relasi tertentu, dalam pewacanaan sistem, kelas, dan
nilai-nilai sosial tertentu. Bisa jadi mereka berada di wilayah yang terisolasi,
namun ketika pengalaman mereka dituangkan dalam sebuah lagu, dan
berada pada wilayah populer maka diskursus tersebut akan tersebar. Dalam
hal ini, kita bisa melihat, bukan apa yang memengaruhi apa, tapi bagaimana
mereka saling memengaruhi, karena sesungguhnya wacana itu bersifat
produktif.

Musik Sebagai Pengetahuan
Untuk menjadi lebih spesifik dalam membicarakan musik, hal ini tentu tidak
dapat serta-merta dipisahkan dari faktor lain, seperti media dan konteks
zaman. Perkembangan media pada saat itu masih meliputi televisi, radio, dan

media cetak. Perkembangan televisi sedang berada pada puncaknya.
Optimalisasi kanal informasi dan suguhan hiburan terfokus pada televisi.
Grup musik pada saat itu memiliki kanal yang jelas dan terpusat dalam hal
media promosi. Televisi menjadi acuan siapa yang telah menjadi bintang
besar dan siapa yang belum; sederhananya dengan ukuran apakah ia pernah
muncul di TV.
Televisi merupakan ruang tersendiri bagi acara musik, tangga lagu
dihadirkan dengan sistem yang diadopsi dari radio. 8 Selain konteks media
yang sedemikian itu, jangan lupakan pula konteks sosial pada zaman
tersebut. Kala itu, geliat protes terhadap rezim Suharto telah jadi benih yang
pada akhirnya nanti dipanen pada pecahnya gerakan Reformasi.
Relasi anak muda dengan rezim Orde Baru dapat dilihat sebagai relasi yang
berstruktur bapak-anak. Pada masa ‘70-‘80an, persoalan gaya rambut dan
berpakaian, juga selera musik diatur oleh negara. Pemuda dibentuk dengan
nilai ideal dalam masyarakat Jawa, juga impian hidup, cara hidup dan jalan
hidup pemuda dibentuk dengan membangun impian hidup ideal pada masa
itu.9 Krisis moneter yang melanda Indonesia kemudian mengubah pandangan
ini, sekaligus memunculkan sebuah gerakan dan pola pikir yang baru dalam
benak pemuda, konsep ‘yang senang aja’—melakukan apa yang disenangi
dan dinikmati—bekerja pada sebagian pemuda dari kelas menengah. 10 Hal
inilah yang menjelaskan kehadiran lagu-lagu cinta top hits yang dianggap
terlepas dari konteks sosial (geliat reformasi) sekitar pada saat itu,
sementara lagu-lagu perjuangan dikumandangkan di kampus-kampus. Tentu
perkembangan lagu tersebut tidak dapat dijadikan pengetahuan yang
dengan mudah dapat tersebar secara mudah, massal, dan populer.
Pengetahuan ini hanya dimiliki oleh kelas intelektual yang terlibat dalam
pergerakan kampus.
Masa setelah reformasi memberikan lanskap baru dalam perkembangan
musik pop di Indonesia. Perkembangan media, teknologi, infotainment,
menjadi poin utama dalam masa ini. Jika pada era ‘90an, media masih
terpusat pada televisi, maka lain dengan masa 2000an. Munculnya variasi
media teknologi komunikasi turut berperan dalam membentuk lanskap
tersebut.
Televisi pada era ‘90an memberi informasi yang kemudian berlanjut dari
lanskap musik yang kita hadapi sekarang. Indosiar pernah menayangkan
deret lagu pop melayu asal Malaysia. Pada saat yang bersamaan siaran
8

Beberapa Stasiun Televisi Swasta memiliki acara tangga lagu populer seperti Delta
(deretan Lagu Terbaik), MTV Ampuh (Ajang musik Pribumi Dua Puluh).
9
Lihat Aria Wiratma Yudhistira, Dilarang Gondrong!; Praktik Kekuasaan Orde Baru
Terhadap Anak Muda Awal 1970-an, Marjin Kiri, 2010.
10
Lihat Brent Luvaas, DIY Style; Fashion, Music, and Global Digital Cultures, Berg,
2012.

televisi Music Television dapat diakses oleh beberapa orang di Indonesia. 11
Meskipun mereka memiliki siaran khusus musik Indonesia, tapi siaran ini
bersifat lebih internasional. Mereka menampilkan deret grup musik seperti
Oasis, Blur, Nirvana, Pearl Jam, Guns N Roses, dan banyak lagi. Hal ini
berdampak pada pengetahuan musik selain musik Indonesia dan kemunculan
genre musik serupa di Indonesia. Sementara itu, musik melayu tidak begitu
digemari pada saat itu.
Raka Ibrahim membuat catatan tentang musik pop Indonesia yang
belakangan dianggap murahan, 12 dengan meminjam analisis Xenocentrism
pada artikel Jeremy Wallach.13 Raka menceritakan bagaimana kesadaran
akan stratifikasi kelas tercermin dalam strategi pemasaran industri musik
kita. Produksi rilisan musik pada saat itu disesuaikan dengan konsumennya.
Selanjutnya, fenomena musik pop yang terjadi masa kini seringkali dianggap
sebagai hal yang tak berkesinambungan. Band pop melayu yang sempat
mewabah di Indonesia dianggap sebagai sebuah ujug-ujug yang sulit
dimengerti sebabnya. Menurut saya, fenomena ini terjadi bukan tanpa sebab.
Kemunculan ini harus dilihat sebagai sebuah dampak yang terjadi secara
sistematis. Hal ini dapat ditelusuri melalui anatomi perkembangan media dan
gerak zaman yang terjadi.
Musik pop melayu, yang dulunya tidak begitu diminati kini menjadi
bertebaran karena dia tetap berada di wilayah media televisi, sementara
musik-musik pop yang banyak dihadirkan oleh MTv bergeser medianya.
Produksi dan konsumsi musik di Amerika dan Eropa telah bergeser. Mereka
hadir di media internet seperti Youtube, iTunes, Soundcloud, dan sebagainya.
Pola konsumsi dalam era internet pun telah bergeser yang kemudian
memunculkan aktivitas unduh gratis, atau kemudian disebut pembajakan.
Awalnya, perbedaan kelas ini akan terlihat jelas dengan menentukan pilihan
medianya. Siapa yang konsumsi musik dari televisi maka akan dihidangkan
dengan acara musik pagi, dengan grup musik dan warna musik yang itu-itu
saja. Siapa yang proaktif mencari dan menambah pengetahuan tentang grup
musik atau warna musik yang berkembang secara internasional akan
menjauhi televisi. Dia akan mencari melalui internet.
11

Tercatat sejak Mei 1995 MTV mulai tayang di Televisi Indonesia. MTV merupakan
saluran televisi yang sebagian besar kontennya berisi musik dan budaya anak muda.
Awalnya MTV muncul serentak berdasar kawasan Asia dan tayang pada layanan
televisi satelit parabola. Lalu, MTv kemudian berpindah-pindah siaran dengan
‘menumpang’ pada siaran televisi lokal.
Lihat: http://www.thejakartapost.com/news/2000/12/10/upclose-and-not-so-personalwith-039mtv- it039s-my-life039.html
12
Lihat
artikel
(Ken)apa
Pop
Indonesai
Dianggap
Murahan:
http://wearedisorder.net/konten/kenapa-pop-indonesia-dianggap-murahan
13
Jeremy Wallach, Exploring Class, Nation, and Xenocentrism in Indonesian Cassette
Retail Outlets, Southeast Asia Program Publications at Cornell University, Indonesia,
No. 74 (Oct., 2002), pp. 79-102 http://www.jstor.org/stable/3351527 .

Grup musik yang hidup di televisi akan dibesarkan dengan sensasi dan
infotainment, bukan hanya sekadar lagunya. Hal ini yang membuat sifat
kehadiran mereka sementara, dibahas menjadi buah bibir di mana pun dan
sesegera mungkin hilang dan berganti dengan yang baru. Pola ini berulang.
Dengan logika musik pop sebagai komoditas, mestinya hal ini tak lagi
mengejutkan, karena hal ini merupakan siasat dagang pula. Adalah Kangen
band, Wali, dan sederet grup pop-Melayu yang kemudian muncul, terkenal,
dan tenggelam. Melalui kontroversi, infotainment, dan semua hal selain
musik mereka, yang muncul setelah delay beberapa tahun lamanya.

Penantian yang Tertunda (Kangen Band, 2007)
Kumohon kau mengerti cobalah kau tabahkan hati
Mungkin di saat ini cinta kita sedang diuji
Tegarkanlah hatimu oleh siksa orang tuamu
Kuyakin kita mampu bila kita saling menunggu
Saat kita melangkah dandani sayap cinta yang patah
Kuyakin engkau setia untuk selama lamanya
Kuyakin engkau bidadari dalam tidurku
Kuyakin engkau yang pantas aku tunggu
Kuyakin engkau hadir dalam mimpi indahku
Kau yang terbaik bagiku dan nomor satu
Ku kan slalu tetap menunggu walau sebagai simpananmu
Ku kan slalu tegar menanti walau engkau takkan kumiliki
Ku kan slalu tetap menunggu walau hanya kekasih gelapmu
Ku kan slalu tegar menanti hingga saat nafasku terhenti
Terlihat bagaimana Kangen band menyusun lirik seperti mozaik dari lirik-lirik
yang telah muncul sebelumnya pada band sebelumnya. Judul lagu ini nyaris
sama dengan album milik Padi pada tahun 2001 yang berjudul ‘Sesuatu yang
Tertunda’, frasa dalam lirik lagu ini yang berbunyi ‘sayap cinta yang patah’
telah dipopulerkan oleh Dewa 19 pada lagu berjudul ‘Sayap-Sayap Patah’,
dalam album Bintang Lima tahun, dan frasa ini pun telah dipopulerkan oleh
Kahlil Gibran pada tahun-tahun jauh sebelumnya. Frasa selanjutnya adalah
‘Kekasih Gelapku’ yang dipopulerkan oleh Sheila on 7 dalam lagu Sephia.
Frasa ini kemudian menjadi frasa yang paling sering digunakan dalam
menyebut selingkuhan.14
14

Ungu juga memiliki lagu berjudul ‘Kekasih Gelapku’ pada tahun 2007. Frasa ini
menjadi populer dan kerap digunakan pada lagu cinta.

Begitu pula lagu dari Wali;
Cari Jodoh (Wali, tahun?)
Apa salahku apa salah ibuku
Hidupku dirundung pilu
Tak ada yang mau dan menginginkan aku
Tuk jadi pengobat pilu
Tuk jadi penawar rindu
Tuk jadi kekasih hatiku
Timur ke barat selatan ke utara
Tak juga aku berjumpa
Dari musim duren hingga musim rambutan
Tak kunjung aku dapatkan
Tak jua aku temukan
Oh Tuhan inikah cobaan
Ibu-ibu, bapak-bapak
Siapa yang punya anak
Bilang aku aku yang tengah malu
Sama teman-temanku
Karna cuma diriku yang tak laku-laku
Pengumuman-pengumuman
Siapa yang mau bantu
Tolong aku kasihani aku
Tolong carikan diriku kekasih hatiku
Siapa yang mau
Ibu bapak punya anak
Bilang-bilang aku aku yang tengah malu
Sama teman-temanku
Karena cuma diriku yang tak laku-laku
Wali dengan ini melantunkan sebuah kenestapaan yang sangat, tapi dengan
balutan musik yang ceria dan bercampur nada-nada melayu. Lebih
mendekati dangdut dengan seluruh instrumen pop kebanyakan—drum, gitar,
bass, keyboard, vokal. Adapun mereka disebut norak dan kampungan, akan
tetapi mereka memiliki melodi yang sangat mudah ditangkap oleh telinga.

Kelas sosial yang tak memiliki akses terhadap media selain televisi dan radio
tentu menjadikan Wali ini pemusik idola.
Lain halnya kelas menengah, kaum terdidik sudah lama bermigrasi media
dalam mengkonsumsi musik. Youtube, streaming menjadi media baru dalam
perkembangan era ini. Mereka hanya bisa mencela dan menjauh, mencela
dari kejauhan dan menyepi di tempat keramaian yang lain: media sosial.
Mereka memiliki pengetahuan untuk memilih apa yang akan mereka cari di
internet.
Lalu bagaimana dengan kini, ketika akses terhadap media telah sama
mudahnya? Kemunculan ponsel pintar dengan harga murah telah tersedia,
semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki akses dan
pengetahuan yang sama? Tidak sesederhana itu. Pengetahuan yang
dimaksud di sini adalah bukan semata-mata akses. Kita perlu memahami
bahwa apa yang terjadi dalam perkembangan media dan teknologi di sekitar
kita berlangsung tidak merata dan tidak serta merta. Ada gap dan delay yang
terjadi. Kelas yang terbiasa mengkonsumsi musik dari televisi tidak sertamerta mengakses Bon Iver bukan? Mereka akan mencari sesuai dengan apa
yang biasa dengarkan dan mereka ingin dengarkan. Mereka tidak memiliki
waktu dan suasana yang tepat untuk melakukan pekerjaan ngulik referensi
lagu ‘enak’ dari barat. Kemungkinan untuk terjebak dalam aktivitas terjun
bebas karena meng-klik sebuah situs, atau menelusuri sugesti yang
ditawarkan mesin pencari memang tetap ada, tapi hal itu pun tidak menjamin
bahwa pengetahuan tersebut akan berguna bagi mereka. Karena mereka
memperlakukan akses internet dengan perilaku yang sama, konsumsi.
Sementara kelas sosial mengah ke atas memperlakukan internet sebagai
referensi, karena mereka memiliki pengetahuan awal yang tidak dimiliki oleh
kelas sosial bawah. Dalam hal ini, dapat diamati bagaimana musik
ditempatkan sebagai pengetahuan.
Apakah ini persoalan selera? Mungkin saja iya, mungkin saja bukan.
Persoalan selera bisa jadi sangat menjebak, ketika berada dalam wilayah
musik pop dan industri. Pemusik yang bermunculan kini seringkali berlindung
dibalik pernyataan ‘selera pasar’. Pemusik dengan sistem industri yang
berlogikakan jualan, maka akan terus mereproduksi barang dagangan yang
sudah pasti ada yang beli, yaitu tema cinta. Standardisasi varian dalam lagu
cinta berkisar antara patah hati, jatuh cinta, perselingkuhan, mentok. Dengan
pola yang seperti ini pemusik secara otomatis akan terbentuk mengikuti pola
tersebut.
Selera jika dihadapkan dengan kelas menengah maka akan lekat dengan
gengsi. Hal inilah yang kemudian mendorong adanya fenomena ingin
berbeda dengan kebanyakan orang. Lebih lanjut, pengetahuan selalu lekat
dengan kekuasaan. Dengan demikian, kelas yang ingin berbeda akan
membentuk dan mencari pengetahuannya untuk meneguhkan kuasanya

bahwa dia lebih tahu banyak soal varian musik, musik yang ia dengarkan
‘lebih baik’ dan bergengsi daripada apa yang ada di televisi, yang biasa
orang-orang dengarkan. Kuasa memang bersifat tersebar dan tidak terpusat,
begitu pun pengetahuan. Tapi dalam kasus ini pengetahuan musik tidak
tersebar dengan merata. Ia dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti akses
atas media, pengetahuan sebelumnya, kelas sosial, dan wacana yang lebih
luas.
Dengan demikian, melihat dan memaknai lagu cinta tidak sesederhana
menobatkannya sebagai wakil generasi terisolasi, teralienasi, dan antipolitik.
Bahkan, jika ditelusuri dengan lebih mendalam kita dapat melihat politik
ekonomi pada industri musik dengan membedah lagu cinta utuh-utuh seturut
konteksnya. Memang kita tidak bisa secara langsung menjelaskan konteks
sosial melalui lagu cinta, atau membicarakan lagu cinta untuk menjelaskan
konteks sosial pada saat itu. Namun dengan melihat secara menyeluruh
unsur lain yang menyokong musik pop, media dan teknologi, infotainment,
kelas sosial, kita akan dapat mengumpulkan diskursus yang tercecer dalam
lagu pop. Kiranya hal ini dapat memberi cara pandang baru dalam melihat
musik pop. Bahwa kategorisasi personal-sosial: lagu cinta-lagu protes
bukanlah cara pandang kritik yang tunggal.

***

Referensi
Adorno, Theodor. Music and Language: A Fragment (Quasi Una Fantasia),
Essays on Modern Music. London: Verso, 1956.
Adorno, Theodor. "On Popular Music." Studies in Philosophy and social
sciense New York: Institute of Social Research, 1941: 17-48.
Luvaas, Brent. DIY Style; Fashion, Music and Global Digital Cultures. London:
Berg, 2012.
Scheff, Thomas J. "Individualism and Alienation in Popular Love Songs." 2001.
Sen, Krishna, and David T Hill. Media, Culture anda Politics in Indonesia.
Jakarta: PT. Equinox Publishing Indonesia, 2000, 2007.
Sokes, Martin. The Republic of Love. Chicago: The University of Chicago
Press, 2010.
Sylado, Remi. "Satu Kebebalan Sang Mengapa." Prisma, 1977: 23-31.
Yampolsky, Philip. "Hati Yang Luka", an Indonesian Hit." Southeast Asia
Program Publications at Cornell University, 1989: 1-17.

Yudhistira, Aria Wiratma. Dilarang Gondrong!; Praktik Kekuasaan Orde Baru
terhadap Anak Muda Awal 1970-an. Tangerang: Marjin Kiri, 2010.