ENGLISH FOR TOURISM OF BSI 2012 EDO TENS

ENGLISH FOR TOURISM OF BSI 2012
“EDO TENSEI VERSI TORAJA”
SELEMBAR KISAH DARI TANAH ORANG GUNUNG BY IRSAN NUR (AG 2)
Jum’at, 5 juni 2015
Seperti lazimnya senior-senior mahasiswa jurusan bahasa dan sastra inggris sebelumnya, ketika
memasuki semester “greget II” (istilah untuk semester 6 di BSI), semua mahasiswa jurusan bahasa dan
sastra inggris semester 6 wajib mengikuti study tour sebagai praktikum sekaligus final dari mata kuliah
English for tourism. Jadi, semua mahasiswa harus ikut tanpa terkecuali. Ohh yah, tadi saya menyinggung
tentang panggilan sayang mahasiswa BSI 2012 terhadap semester 6 (semester greget II). Actually, ada dua
semester yang mempunyai tempat khusus di hati mahasiswa BSI 2012, yaitu semester 5 dan 6. Keduanya
di juluki “semester greget I dan greget II”. Alasannya cukup sederhana, si greget I dan greget II selalu
membuat muda-mudi BSI 2012 di rundung rasa yang membingungkan. Terkadang membuat kita bahagia,
susah, sedih tapi lebih banyak menderitanya. Huahhaah. Meskipun begitu, saya selalu terngiang dengan
kata-kata para dalang kepada lakon-lakonnya dalam pertunjukan wayang orang “ini adalah proses,
semua tergantung pada kerjasama kalian sebagai keluarga besar BSI 2012, semua pasti ada
hikmahnya”. Dan ternyata hasilnya unexpectectable lebih dari yang diharapkan. Yang dulunya kita
mengeluh, tumpang tindih beradu argument dengan teman-teman kelompok drama yang berasal dari kelas
lain dengan karakter lain, sekarang kita bisa tetap bersama-sama meskipun dalam perbedaan dan berbeda
dalam kebersamaan dengan suasana yang lebih hangat dan toleran. Sekian curahan hati tentang si greget!

Parody

Lanjut tentang English for tourism, ada empat destinasi yang ditawarkan kepada mahasiswa BSI
2012, yaitu alternative (Bulukumba), lokal (Makassar-Mandar-Toraja), domestik (Malang-Surabaya-Bali)
dan internasional (Malaysia-Singapura). Karena beberapa pertimbangan, akhirnya saya memilih ikut
study tour lokal. Selain biayanya cukup terjangkau, saya juga belum pernah meng-explore tempat-tempat
wisata dan warisan budaya yang ada di daerah bagian barat dan utara Sulawesi selatan ini. Menjelang
fajar menyingsing di hari yang katanya penuh barokah ini, saya sudah siap memulai tradisi yang sudah
turun temurun di wariskan oleh para tetuah jurusan ini. Ransel yang berisi beberapa helai pakaian dan
perlengkapan mandi sudah berteriak minta di gendong ke atas bus pariwisata yang akan kami tumpangi.
Saking semangatnya, saya lupa membawa salah satu benda paling sakral yang merupakan kebutuhan
pokok mahasiswa saat ini yaitu charger. Masalah charger ini bukan klimaks dalam study tour ini, tapi
faktor kondisi jasmaniku yang tidak pernah akur dengan yang namanya mobil ketika perjalanan jauh yang

membuat saya agak was-was naik ke mobil. untung saja saya sudah pesan kursi paling depan dari
beberapa hari sebelumnya untuk meminamilisir terjadinya ombat mauk yang biking mabut. Beberapa saat
kemudian, bus pun bergerak meninggalkan kampus 1 yang menjadi titik keberangkatan. Tujuan pertama
tentu saja kota daeng yang baru-baru ini dapat predikat sebagai kota dengan produksi begal paling tinggi
se-nusantara (#makassartidakaman). Di kota ini kami mengunjungi beberapa tempat yang dianggap
pantas untuk di ziarahi oleh mahasiswa BSI, yaitu Hotel Clarion, TVRI dan restoran Makassar seafoodku.
Saya tidak akan terlalu mengekspos tempat-tempat ini dalam cerita karena topiknya lebih pada
unforgettable moment yang ku temui di daerah-daerah budaya nanti. Satu-satunya kenangan pada kota ini

yang sampai sekarang masih terbersit adalah saat lunch di Restoran Makassar seafoodku. Ini adalah
rumah makan tertinggi yang pernah ku singgahi, lengkap dengan pelayan-pelayan dara tionghoa yang
tinggi nan cantik. Hhmmm. Sampai-sampai saya bercanda dengan salah seorang teman, “ini restoran
tinggi yah, kayak sampai kahyangan. Itu pelayannya saja bidadari semua.”, si teman Cuma tersenyum
sambil nyengir kuda sebagai bentuk apresiasi terhadap lawakan garing nan crispy yang baru saja ku
suguhkan. Akhirnya kami makan di lantai 8 dengan suguhan pemandangan yang cukup menghibur.
Hampir sebagian besar kota Makassar terjangkau dengan mata dari ketinggian ini, mulai dari riuh
pelabuhan bersejarah paotere, hamparan macet kota Makassar dan lautan manusia yang sedang
bertransaksi di pusat-pusat grosir. Setelah makan siang, kami memulai long journey dengan tameng study
tour ini ke tujuan kedua yaitu Polman alias Polewali Mandar yang secara etimologi berarti tempat
kembalinya para wali (ulama besar islam).

Pelippis beach, Mandar
Mandar, 6 juni 2015
Di daerah paling barat sulawesi selatan ini, kami menginap selama dua hari di sebuah penginapan
mini yang nyaman. Setelah merebahkan tubuh sejenak, kami memulai tour hari pertama di Mandar.
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah sebuah pantai perawan nan eksotis yang bernama pantai
pelippis. setelah merasa puas mencumbu pasir putihnya yang mulus, kami melanjutkan perjalanan menuju
tempat yang hanya selayang pandang dari pantai ini yaitu sebuah desa pesisir yang terkenal dengan
Perahu Sandeq dan kain tenun-nya. Kami sempat mewawancarai salah satu nelayan sandeq bahwa perahu

tradisional ini selain di pakai untuk menangkap ikan, juga di pakai untuk kompetisi lomba perahu
sandeq yang rutin di adakan tiap tahunnya. Komponen perahu sandeq ini sendiri semuanya masih sangat
tradisional. Mulai dari bahan dasarnya yang berasal dari sebuah pohon besar yang di lubangi, sampai
tenaga penggeraknya pun masih sangat jadul yaitu layar yang selalu mengharap angin agar perahunya

bisa melaju menghadang ombak yang setia menghempas. Sementara para lelaki Mandar dan perahu
sandeq-nya bergulat dengan laut, para wanita-wanita menunggu di desa dan mengisi waktu dengan
menenun kain khas Mandar. Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke kota Majene untuk makan siang.
After lunch, kami di boyong ke sebuah lapangan yang ada di tengah kota. Ternyata sedang ada acara
konser grup band legendaris SLANK yang di iringi oleh salah satu kebuadayaan tradisional Mandar yaitu
Sayyang Mappatudduq. Sayyang Mappatudduq sendiri adalah sebuah tarian yang diiring oleh musik
tradisional, tapi yang unik dari kebudayaan ini adalah bukan orang yang menari melainkan kuda-kuda
perkasa yang sudah di dandani layaknya kuda perang kerajaan Romawi. Sementara para gadis-gadis ayu
menikmati irama gerakan sang kuda di atas tunggangannya, Lucky horse!. Tak berselang lama kemudian,
sang mentari mulai condong ke ufuk barat bergegas meninggalkan bumi Mandar yang eksotik. Kami pun
kembali ke penginapan untuk beristirahat.

Great day! Mandar
Toraja, 7- 9 juni 2015
Minggu pagi, kami bergegas meninggalkan kota Polewali menuju daerah ketiga dalam study tour

ini yaitu Tanah Toraja yang berarti tempat para orang-orang gunung. Sepanjang perjalanan, kami di
manjakan oleh panorama hijau hutan homogen yang menghiasi bukit-bukit serta alunan sendu gemiricik
aliran sungai saddang yang terkenal itu. Sungai yang membentang dari Pinrang sampai Toraja ini seakan
membuntuti kami dalam misi menggali harta karun budaya para orang-orang gunung (Toraja). Dalam
perjalanan, kami singgah makan siang di sebuah restoran yang berhadapan langsung dengan ikon daerah
Enrekang yaitu Gunung Nona. Sambil menikmati santap siang, paras Gunung Nona tak henti-hentinya
membuat hati kami berdecak kagum. After Lunch, kami melanjutkan perjalanan ke Tanah Toraja. Sekitar
jam 5 sore, kami tiba pada sebuah penginapan di kota Rantepao. Kami memutuskan untuk istirahat total
sebelum nge-bolang keliling Toraja esok harinya.

Pesona Gunung Nona, Enrekang
First day in Toraja, pagi yang dingin langsung menyapa kami dengan ramah. Kicau burung dan
hiruk pikuk warga seakan menambah suasana semarak petualangan kami hari ini. Sayangnya kabut tak
bisa move on dengan mudah dari balik pelukan bukit-bukit Rantepao tempat sebuah patung raksasa Yesus
berdiri kokoh laksana ikon kota Rio de Janeiro di Brazil. Akan tetapi, hamparan padi yang sedang
menguning sudah cukup menemani breakfast kami yang begitu berkesan. After breakfast, kami memulai
petualangan di sebuah objek wisata dengan aura uka-uka yaitu kuburan batu Lemo. Lemo adalah sebuah
kawasan tebing batu yang dimanfaatkan warga sebagai kuburan. Jadi, adat istiadat orang Toraja kalau ada
anggota keluarga yang meninggal itu tidak di kubur di dalam tanah, tapi di simpan di atas tebing batu,
lengkap dengan bonekanya sebagai representasi dari sang mendiang. Upacara kematiannya pun cukup

unik, yaitu keluarga harus membangun sebuah rumah Tongkonan (rumah adat) dan mengadakan pesta
akbar dengan menyembelih puluhan ekor kerbau dan babi untuk menjamu para tamu yang hadir. Dari
pesta itu juga kita bisa mengetahui strata sosial masyarakat Toraja. Golongan bangsawan biasanya
mengorbankan salah satu jenis kerbau langka yang bernilai ratusan juta bahkan milyaran rupiah harganya
yaitu Tedong Bonga (kerbau belang), sedangkan masyarakat biasa Cuma mengorbankan beberapa ekor
kerbau dan babi peliharaan mereka sendiri. Setelah puas bercengkerama dengan tulang belulang orang
Toraja di Lemo, kami melanjutkan perjalanan ke sebuah tempat bernama Baby Grave. Sesuai dengan
namanya, Baby Grave merupakan sebuah pohon raksasa yang di jadikan makam untuk bayi yang masih
berumur 1-3 bulan.

Rumah adat tongkonan, Lemo, Baby Grave & Londa
Setelah dari Baby Grave, kami lanjut ke objek wisata mistis lainnya yaitu Ketekesu. Ini
merupakan kuburan di pinggir tebing juga, tapi yang mebadakan dengan yang di Londa adalah di Londa
semua mayat berada dalam lubang tebing, sedangkan di Ketekesu semua mayat di gantung bersama
petinya di pinggiran tebing. Di tempat ini juga saya sempat menggali informasi tentang ritual “Edo Tensei
versi Toraja” yang serupa dengan ritual dalam anime jepang “Naruto” dimana orang yang sudah
meninggal di bangkitkan kembali melalui mantra-mantra kuno. Saya kemudian bertanya kepada salah
seorang wanita tua yang sedang menikmati suasana Ketekesu yang damai melalui teras Tongkonannya.

Menurut penjelasan dari sang nenek, tradisi “Edo Tensei” ini bukan berasal dari Toraja, tapi dari daerah

Mamasa dan biasanya ritual ini diadakan pada bulan desember, berdekatan dengan hari natal. Akhirnya,
semua rasa penasaranku terhadap ritual ini berakhir di bumi orang-orang gunung. Setelah merasa cukup
puas dengan penjelasan dari tour guide dan beberapa warga lokal tentang warisan budaya di daerah ini,
kami pun kembali ke penginapan dengan segudang pengalaman tak terlupakan selama beberapa hari
dalam misi study tour BSI 2012. Keesokan harinya, kami pun kembali ke Makassar dengan tidak sabar
untuk berbagi kisah dengan teman-teman lain sebagai laporan akhir mata kuliah English for tourism.
Toraja wonderfull Heritage!
THANK YOU