BAB I V (2) docx

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.
Tersedianya informasi yang sangat luas dan terbuka
bagi masyarakat melalui sejumlah media seperti televisi dan
internet dan beberapa media lainnya dapat memberikan
pelajaran terhadap perkembangan sosial politik dan hukum.
Masyarakat dapat memantau sejumlah proses pradilan yang
ditanyangkan melalui layar kaca baik yang disiarkan secara
langsung maupun yang disajikan dalam bentuk siaran
berita, bahkan untuk kalangan menengah ke atas dapat
mengakses langsung dari internet.
Dengan demikian masyarakat secara praktis dapat
memantau jalannya suatu proses peradilan dan selanjutnya
dapat merasakan dan menilai langsung bentuk keadilan
terhadap putusan-putusan yang

dijatuhkan oleh hakim


dalam suatu perkara, apakah putusan tersebut sudah
memenuhi rasa keadilan masyarakat atau tidak.
Masih jelas dalam ingatan kita tentang kasus Nenek
Minah, Pencurian Kakao dan pencurian sandal jepit yang
sempat menyita perhatian rakyat Indonesia. Kasus-kasus
kecil di atas diancam dengan hukuman berat. Kasus–kasus
di atas merupakan potret penegakan hukum di Negara kita

2

yang menurut persepsi masyarakat masih jauh dari rasa
keadilan. Kasus-kasus kecil yang diancam dengan hukuman
relative berat

bila dibandingkan dengan sejumlah kasus

berat seperti kasus korupsi miliyaran rupiah yang juga
diancam

dengan


hukuman

yang

sama,

diyakini

oleh

masyarakat sebagai tindakan yang tidak manusiawi dan
mencederai rasa keadilan masyarakat.
Putusan-putusan perkara inilah yang sering disoroti
oleh masyarakat karena dianggap tidak sesuai atau tidak
adil. Kemudian muncul sejumlah tuntutan dari masyarakat
agar putusan tersebut dapat dipertimbangkan atau ditinjau
ulang

karena


dianggap

masyarakat.Demikianlah

mencederai
potret

kecil

rasa
tentang

keadilan
proses

pnegakan hukum di Negara kita.
Meskipun realitanya seperti gambaran di atas, namun
kita tidak dapat menuding para penegak hukum sebagai
satu-satunya pihak yang harus bertanggungjawab terhadap

ketimpangan

penegakan

hukum

ini.

Mereka

hanya

pelaksana dari undang-undang yang ada. Para penegak
hukum tidak akan melakukan tindakan tanpa ada dasar
hukumnya.
Perkara-perkara pencurian dengan nilai barang yang
kecil yang kini diadili di pengadilan sangatlah tidak adil jika

3


perkara-perkara

tersebut

diancam

dengan

ancaman

hukuman 5 (lima) Tahun sebagaimana diatur dalam Pasal
362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang disebut
dengan KUHP) oleh karena tidak sebanding dengan nilai
barang yang dicurinya.
Perkara-perkara pencurian ringan seharusnya masuk
dalam kategori tindak pidana ringan ( licthe misdrijven)
yang mana seharusnya lebih tepat di dakwa dengan Pasal
364 KUHP yang ancaman pidana paling lama 3 bulan
penjara atau denda paling banyak RP 250,00 (dua ratus lima
puluh rupiah). Jika perkara-perkara

dengan

Pasal

364

KUHP

tersebut diancam

,tentunya

berdasarkan

Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (yang disebut dengan
KUHAP)

maka para tersangka/terdakwa


pada perkara–

perkara tersebut tidak dapat dikenakan penahanan serta
acara pemeriksaan di Pengadilan yang digunakan haruslah
Acara Pemeriksaan Cepat dan cukup diperiksa oleh Hakim
Tunggal sebagaimana diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP.
Selain

itu

berdasarkan

Pasal

45A

Undang-Undang

Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2004 sebagaimana telah

diubah dua kali terakhir dengan Undang-Undang

No. 3

Tahun 2009 perkara-perkara tersebut tidak dapat diajukan

4

kasasi karena ancaman hukumannya di bawah 1 Tahun
penjara.
Mahkamah

Agung

memahami

bahwa

mengapa


Penuntut Umum saat ini mendakwa para terdakwa dalam
perkara-perkara tersebut dengan menggunakan Pasal 362
KUHP , karena batasan pencurian ringan yang diatur dalam
Pasal 364 KUHP saat ini adalah barang atau uang yang
nilainya di bawah Rp 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah).
Nilai tersebut tentunya sudah tidak sesuai lagi saat
ini, sudah hampir tidak ada barang yang nilainya di bawah
Rp 250,00 . Angka Rp 250,00 tersebut

merupakan angka

yang ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR pada Tahun
1960,melalui

Peraturan

Pemerintah

Pengganti


Undang-

Undang (yang disebut dengan Perpu) Nomor .16 Tahun 1960
tentang Beberapa Perubahan Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum pidana yang kemudian disahkan menjadi UndangUndang melalui Undang-Undang No.1 Tahun 1961 tentang
Pengesahan semua Undang-Undang Darurat dan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi UndangUndang.23
Untuk mengefektifkan penggunaan Pasal 364 KUHP,
Pemerintah dan DPR perlu melakukan perubahan atas KUHP,
23Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tentang
Mahkamah Agung, UU No. 5 Tahun 2004, LN No. 9

5

khususnya terhadap seluruh nilai rupiah yang ada dalam
KUHP. Namun mengingat sepertinya hal tersebut belum
menjadi prioritas Pemerintah dan DPR akan memakan waktu
yang cukup lama, walaupun untuk substansi ini sebenarnya
mudah.
Untuk mengisi kepakuman tentang penapsiran KUHP

364 maka Mahkamah Agung

(yang disebut dengan MA)

menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (yang disebut
dengan PERMA) No. 2 Tahun 2012 untuk menyesuaikan nilai
uang yang menjadi batasan Tindak Pidana ringan, baik yang
diatur dalam Pasal 384 (penipuan ringan oleh penjual),Pasal
407 ayat (1) (perusakan ringan ) dan Pasal 482 (penadahan
ringan).Berkenaan dengan penipuan ringan dan juga Pasal
407 yang berkenaan dengan perusakan ringan dan Pasal
482 berkenaan dengan penadahan ringan.
Untuk melakukan penyesuaian nilai rupiah tersebut
Mahkamah Agung berpedoman pada harga emas pada
sekitar Tahun 1960 tersebut. Berdasarkan informasi dari
museum Bank Indonesia diketahui bahwa pada Tahun 1959
harga emas murni per 1 (satu) kilogramnya = Rp 50.510,80
(lima puluh ribu lima ratus sepuluh koma delapan puluh
rupiah)

atau

setara

dengan

Rp

50,51

per

gramnya.

Berdasarkan hal itu maka dengan demikian perbandingan

6

antara nilai emas pada tahun1960 dengan Tahun 2012
adalah Rp.10.077 (sepuluh ribu tujuh puluh tujuh rupiah)
dua kali lipat

demikian batasan nilai barang yang diatur

dalam Pasal-Pasal Pidana ringan tersebut perlu disesuaikan
dengan

kenaikan

tersebut.

Untuk

mempermudah

perhitungan Mahkamah Agung menetapkan kenaikan nilai
rupiah tersebut tidak dikalikan 10.077 namun cukup 10.000
kali.24
Dengan dilakukannya penyesuaian oleh Mahkamah
Agung melalui Perma Nomor 2 Tahun 2012, yang akan
berimplikasi terhadap seluruh nilai uang yang ada dalam
KUHP

baik

terhadap

Pasal-Pasal

tindak

pidana

ringan

maupun terhadap denda, maka diharapkan kepada seluruh
Pengadilan untuk memperhatikan penyesuain ini dan sejauh
mungkin mensosialisasikannya kepada kejaksaan Negeri
yang ada di wilayahnya agar apabila terdapat perkaraperkara pencurian ringan maupun tindak pidana ringan
lainnya

tidak

lagi

mengajukan

dakwaan

dengan

mengunakan Pasal 362, 372, 378, 383 ,406, maupun Pasal
480 KUHP.
Selain untuk mengefektifkan kembali pidana denda, Perma Nomor
2 Tahun 2012 juga akan dapat mengurangi beban Lembaga Permasyarakatan
24Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tentang Penyelesaian Batasan Tindak
Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, PERMA No.025 Tahun 2012

7

yang saat ini telah banyak melampaui kapasitasnya dan telah menimbulkan
persoalan

baru.

Para

hakim

sejauh

mungkin

diharapkan

dapat

mempertimbangkan sanksi denda sebagai pilihan pemidanaan yang akan
dijatuhkannya,dengan tetap mempertimbangkan berat ringannya perbuatan
serta rasa keadilan masyarakat.
Jika pengadilan menemukan terdakwa Tindak Pidana
ringan

dikenakan penahanan agar segera membebaskan

terdakwa

dari tahanan oleh karena tidak lagi memenuhi

syarat penahanan sebagaimana diatur dalam pasal 21
KUHAP. Para Ketua Pengadilan juga di harapkan dalam
menerima pelimpahan perkara Tindak Pidana ringan tidak
lagi menetapkan majelis hakim untuk menangani perkara
tersebut

namun

cukup

menetapkan

hakim

tunggal

sebagaimana diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP berkaitan
dengan Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan.
Sejalan dengan penyesuain nilai uang yang diatur dalam PasalPasal Pidana ringan, Mahkamah Agung merasa perlu juga menyesuaikan
seluruh nilai rupiah yang ada dalam KUHP yang ditetapkan pada Tahun
1960. Selain Perpu No.16 Tahun 1960 tersebut di atas, Pemerintah pada
Tahun yang sama juga telah menyesuaikan besaran denda yang diatur di
seluruh Pasal-Pasal pidana yang ada di KUHP. 25 Melalui Perpu No.18 Tahun
1960 tentang perubahan jumlah hukuman denda dalam kitab UndangUndang Hukum Pidana dan ketentuan-ketentuan pidana
25 Ibid

lainnya yang

8

dikeluarkan sebelum 17 Agustus 1945, maka penyesuaian nilai uang
tersebut berlaku juga untuk seluruh ketentuan pidana denda yang ada dalam
KUHP,kecuali Pasal 303 KUHP yaitu :
1.

Diancam dengan pidana penjara paling lama Sepuluh
Tahun atau

2.

pidana denda paling banyakRp.

25.000.000,0- (dua puluh lima juta rupiah);
Barang siapa tanpa mendapat izin dengan sengaja
menawarkan

atau

memberikan

kesempatan

untuk

permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian,
atau
3.

dengan

sengaja

turut

serta

dalam

suatu

perusahaan untuk itu;
Barang siapa tanpa mendapat izin dengan sengaja
menawarkan
khalayak

atau

memberi

umum untuk

kesempatan

kepada

bermain judi atau dengan

sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan
tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan
adanya

1.

sesuatu

syarat

atau

dipenuhinya

sesuatu

tatacara.
Dan dalam Pasal 303 bis KUHP Yaitu :
Diancam dengan Pidana penjara paling lama Empat Tahun atau pidana
denda paling banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Barang
siapa menggunakan kesempatan main judi, yang diadakan dengan
melanggar ketentuan Pasal 303 KUHP. Barang siapa ikut serta main
judi dijalan umum atau dipinggir jalan umum atau ditempat yang dapat

9

dikunjungi umum, kecuali kalau ada izin dari penguasa yang
2.

berwenang yang telah member izin untuk mengadakan perjudian itu;
Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak ada
pemidanaan yang menjadi tetap karena salah satu dari pelanggaran ini,
dapat dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana
denda paling banyak lima belas juta rupiah.
Oleh karena ancaman kedua Pasal di atas, maka khusus untuk

kedua pasal ini akan dilakukan perhitungan secara tersendiri bilamana
dipandang perlu.
Ketertarikan Penulis memilih judul ini sebagaimana yang telah
Penulis ajukan dalam judul skripsi Penulis karena dilatar belakangi oleh
keingintahuan Penulis tentang permasalahan yang kerap kali timbul dari
kasus-kasus tindak pidana ringan yang terjadi di kalangan masayarakat
menengah kebawah.Untuk memahami dan menjawab persoalan diatas
adalah merupakan suatu tanggungjawab kita sebagai mahluk sosial yang
telah mengikat manusia itu sendiri, baik dengan sesama individu maupun
dengan lingkungan sekitarnya.Hal ini disebabkan oleh kebutuhan manusia,
baik kebutuhan yang sifatnya jasmaniah maupun kebutuhan yang bersifat
rohaniah.Keterbatasan manusia yang menyebabkan adanya suatu keterikatan
antara manusia yang satu dengan yang lainnya dalam usaha memenuhi
segala kebutuhannya.
Pada hakekatnya hukum itu seharusnya memuat nilai-nilai yang
penting dalam terbentuknya suatu hukum yang berlandaskan Ideolologi
Pancasilayang memiliki kekuatan hukum tetap yaitu harus memiliki Asas
Kepastian Hukum, Asas Keadilan, Asas Kemamfaatan.Akan tetapi dalam

10

hukum yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini masih banyak
aturan-aturan hukum yang belum mengenak atau belum mencerminkan
nilai-nilai yang ada dalam pelaksanaan suatu hukum.
Suatu keadlian bagi setiap individu itu tentunya akanberbeda-beda
apabila keadilan itu tidak didasari pada suatu aturan hukum yang mengatur
dan berlaku bagi setiap masyarakat.Perkara-perkara pencurian dengan nilai
barang kecil yang kini cukup banyak mendapatkan perhatian dan sorotan
dari kalangan masyarakat umum, praktisi hukum, pemerintah dan penegak
hukum, sangatlah tidak adil jika perkara-perkara pidana yang nilainya kecil
tersebut diancam dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun penjara,
sebagaimana ancaman pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362
KUHP, karena tidak sebanding dengan nilai barang yang dicurinya.
Masyarakat melihat adanya ketimpangan hukum antara penjahat
kecil dengan penjahat kelas kakap, antara pencuri sandal jepit dengan
koruptor, kejahatan dengan motif isi perut (lapar) dengan kejahatan dengan
motif ekonomi. Semuanya disamaratakan dan semuanya dilakukan upaya
penahanan, tidak ada lagi batasan nilai barang atau jumlah uang yang
menjadi

objek

perkara,

tentunya

ini

akan

membuat

kegalauandalammasyarakat dan dapat berimbas dan berdampak negatif
tentang persepsi arti keadilan hukum.
Peraturan diperlukan untuk mengatur jalannya proses interaksi di
antara sesama warga Negara dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini adalah
merupakan konsekwensi dari sebuah Negara hukum. Di dalam sebuah
Negara hukum , segala sesuatu yang menyangkut hidup dan kehidupan
seluruh anggota masyarakat, baik dalam pemenuhan kebutuhan hidup,

11

kebutuhan akan pekerjaan, maupun kepentingan-kepentingan lainnya, harus
dilakukan berdasarkan aturan-aturan yang ada, baik yang berupa nilai-nilai
moral yang hidup dan berkembang di masyarakat maupun aturan yang
sudah di buat dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai penguasa dan
pemimpin di Negara kita ini.
Dengan terbitnya Peraturan Mahakamah Agung No. 2 Tahun 2012
ini memerintahkan kepada Ketua Pengadilan Untuk tidak menetapkan
penahanan ataupun perpanjangan penahanan dalam perkara-perkara
Pencurian, Penipuan, Penggelapan, Dan Penadahan yang nilai obyeknya
tidak melebihi dari angka Rp. 2.500.000,00- (dua juta lima ratus ribu rupiah)
yang pemeriksaannya juga dilakukan dengan acara pemeriksaan cepat dan
dengan hakim tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus
perkaranya.
PERMA No.02 Tahun 2012 yang di keluarkan oleh Mahkamah
Agung merupakan suatu upaya untuk melakukan penyesuaian terhadap
batasan nilai uang yang ditetapkan pada KUHP 364 yaitu sebesar Rp. 250.(dua ratus lima puluh rupiah) yang pada saat sekarang ini sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan zaman,secara tidak langsung Perma tersebut
merubah ketentuan dalam KUHP dan seakan-akan Perma No. 02 Tahun
2012 menjadi Lex Specialis dari KUHP, dan apabila ketentuan materilnya
dirubah maka secara otomatis penegakan hukum formilnya akan ikut
menyesuaikan dari perubahan hukum materilnya.
1.2. Rumusan Masalah

12

Sehubungan dengan uraian di atas maka dapat dirumuskan pokok
permasalahan sebagai berikut :
1.

Bagaimanakah Implementasi Pasal 2 Peratuaran Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2012 dalam perkara tindak pidana ringan ?

1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.3.1 Tujuan Umum:
1.

Untuk menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis;

2.

Mengembangkan ilmu pengetahuan hukum;

3.

Melaksanakan Tri Darma Perguruan Tinggi, khususnya dalam
bidang penelitian

1.3.2

Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1.

Untuk mengetahui dan menjelaskan Implementasi Pasal 2
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 dalam
perkara tindak pidana ringan.

1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan

sumbangan

pemikiran

yang

berharga

terhadap

pengembangan konsep ilmu hukum pidana, khususnya berkaitan
dengan Implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun
2012 Tentang Tindak Pidana Ringan.

13

1.4.2. Manfaat Praktis
1.

Diharapkan dapat memberikan masukan kepada penegak hukum
khususnya kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman berkaitan
dengan Tindak Pidana Ringan.

2.

Diharapkan hasil penelitian ini akan menambah kepustakaan
ilmu pengetahuan dan menjadi bahan penelitian hukum pada
umumnya dan dalam bidang hukum pidana pada khususnya
yang berkaitan dengan Tindak Pidana Ringan sesuai dengan
peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Tindak Pidana
Sekalipun hukum pidana memberikan perhatian utama pada
tingkah laku atau perbuatan manusia, khususnya karna perbuatan manusia
merupakan

penyebab

utama

terjadinya

pelanggaran

atas

tertib

hukum,pembuat Undang-Undang Belanda berbeda dengan pembuat
Undang-Undang di Jerman, yaitu mereka tidak memilih istilah ‘perbuatan’
atau ‘tindak’ (bandeling) melainkan ‘fakta’ (feit_tindak pidana). Alasan
pilihan ini dapat kita baca dalam noyulasi komisi De Wal. Dalam catatan
omne quod fit, jadi keseluruhan kejadian (perbuatan), termasuk kelalaian
serta situasi dan kondisi lainnya yang relevan.26
“Tindak pidana ialah perbuatan melakukan atau tidak melakukan
sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan
sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.27
Selanjutnya dalam KUHP yang berlaku sekarang ini, “tindak
pidana yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kejahatan yang diatur
dalam Buku II dan pelanggaran yang diatur dalam Buku III.Kriteria yang
dipergunakan untuk mengelompokan dari dua bentuk tindak pidana yang
berada dalam KUHP.Di dalam KUHP sendiri tidak memberikan sebuah
penjelasan, sehingga orang beranggapan bahwa kejahatan tersebut adalah

26 Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta : PT Garamedia Pustaka Utama, 2003), Hal 85
27 Depertemen Kehakiman RI. 2007. Usulan Rancangan KUHP ( Baru) 2005 / 2006.
Jakarta : BPHN Depertemen Kehakiman

15

perbuatan-perbuatan atau tindak pidana yang berat, dan pelanggaran itu
merupakan perbuatan-perbuatan atau tindak pidana yang lebih ringan.Hal
ini didasarkan bahwa kejahatan umumnya sanksi pidana yang diancam lebih
berat, lain halnya dengan halnya dengan pelanggaran bahwa sanksi pidana
yang diberikan hanya lebih ringan.28
Menurut MoeljatnoDi dalam tindak pidana itu sendiri mempuyai
istilah yang terdiri dari tiga yaitu :
1.

Adanya larangan adalah perbuatan yang dilarang atau yang ditimbulkan
oleh kelakuan orang yang dimana dalam kelakuan itu sendiri
mempunyai dampak yang buruk bagi orang lain dan larangan itu

2.

ditujukan pada perbuatannya.
Adanya anjuran maksudnya adalah andanya anacaman yang di berikan
berupa sebuah sanksi apabila dia melakukan suatu perbuatan yang
dilarang sesuai dengan azas legalitas

yang dimana dalam azas ini

menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam
pidana sebelum ada aturan perundang-undangannya dan juga di atur
dalam Pasal 1 Ayat (1)KUHP yang dimana berbunyi suatu perbuatan
tidak dapat di pidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
3.

perundang-undangan pidana yang telah ada.
Adanya paksaan maksudnya adalah dalam perbuatan yang di larang dan
ada ancamannya itu mempunyai sanksi pidana yang di atur dalam
peraturan perundang-undangan yang

memiliki daya paksa dan

kekuatan hukum yang mengikat bagi siapa yang melakukan perbutan

28 M. Hamdan. Op cit, hal. 36

16

pidana sesuai dengan aturan yang berlaku dan memiliki kekuatan
hukum tetap.
Menurut Moeljatno, sebagaimana yang dikutip dalam buku Soharto
RM menyatakan, “tidak menggunakan istilah tindak pidana tetapi
menggunakan kata “perbuatan pidana” yang mempunyai dua arti yang
abstrak yaitu :29
1.

Adanya kejadian tertentu yang menimbulkn akibat yang dilarang.

2.

Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu
Menurut Simon, sebagaimana dikutip dalam karya tulis M.

Salahudin, mengatakan “tindak pidana adalah tindakan yang melawan yang
telah dilakukan dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh
Undang-Undang dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.” 30
Menurut E.Utrecht, sebagaimana dikutip dalam karya tulis M.
Salahudin, mengatakan “Tindak pidana adalah perilaku manusia yang
bertentangan dengan hukum (unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat
dijatuhkan sebuah hukuman dan adanya seseorang pembuat dalam arti kata
yang bertanggung jawab.”31
Beberapa konsep yang sudah ditetapkan maupun teori para sarjana
yang berkaitan dengan tindak pidana. Maka pengertian tindak pidana yang
sebenarnya yakni suatu perbuatan yang diatur dalam perundang – undangan
29 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1993), Hal 54
30 M. salahudin, Pegertian Dan Istiilah Tindak Pidana Menurut Para Sarjana, (Dikutip
Dalam Karya Tulis, BAB 11, hal 8) 2006. Dikutip Dari Simon, Kitab Pelajaran Hukum Pidana,
Bandung : Pioner Jaya. 1992
31 Ibid, hal. 10. Dikutip Dari E. Utreht, Hukum Pidana ( Bandung : Universitas, 1968

17

yang mana apabila perbuatan tersebut dilakukan atau tidak dilakukan maka
akan dijatuhi atau diberikan sanksi berupa pidana dan lainnya sesuai apa
yang telah di atur dalam KUHP mengenai tindak pidana.
Penggunaan istilah tindak pidana masih sering diperdebatkan, hal
ini dikarenakan istilah tindak menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam
arti positif (handelen), semata dan tidak termasuk kelakuan menusia yang
pasif atau negatif (nalaten).32
Penggunaan istilah peristiwa pidana juga sering digunakan dalam
menggambar kejahatan. Namun, istilah peristiwa pidana juga sering
digunakan dalam menggambarkan pengertian lebih luas dari kata
perbuatan. Hal ini dikarenakan istilah peristiwa tidak saja menunjuk pada
perbuatan manusia, melainkan mencakup pada seluruh kejadian yang tidak
saja disebabkan oleh adanya perbuatan manusia semata. Tetapi juga oleh
alam seperti matinya seseorang karena disambar petir atau tertimbun tanah
longsor.33
Penggunaan kata delik juga dianggap tidak memiliki perbedaan
dengan istilah strafbaar feit. Hal ini dikarenakan delik berasal dari bahasa
Latin yaitu kata delictum, yang juga dipergunakan dalam perbendaharaan
hukum Belanda yaitu delict. Menurut Simons, delik atau juga sering
disebut dengan istilah Strafbaar Feit ialah kekuatan yang diancam dengan
pidana, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang
yang mampu bertanggung jawab.34
32Ibid, hal 70.
33Ibid, hal 69.
34Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Yakarta, 1994, hal 88.

18

Moeljatno mengatakan bahwa istilah perbuatan pidana adalah
yang paling cocok untuk menggambarkan adanya suatu kejahatan. Moelijatno
bahkan mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum yang mana larangan tersebut disertai ancaman
ataupun sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar
larangan tersebut. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa larangan itu ditujukan
kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh
kelakuan seseorang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang
yang menimbulkan kejadian tersebut. 35
Menurut Adami Chazawi alasan penggunaan istilah perbuatan pidana lebih
tepat adalah :36
a. Bahwa yang dilarang itu adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu
suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang),
artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya, sedangkan ancaman
pidananya itu ditujukan pada orangnya.
b. Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana
(yang ditujukan pada orangnya) ada hubungan yang erat, dan oleh karena
itu perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang
tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi
ada hubungan erat pula.
c. Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah maka lebih tepat
digunakan istilah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang
menunjuk pada dua keadaan konkrit yaitu adanya kejadian tertentu
(perbuatan) dan adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan
kejadian itu.
Hingga saat ini belum ada kesepakatan para sarjana tentang
pengertian Tindak pidana (strafbaar feit).Tindak Pidana adalah perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman

35 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta,1985, hal.54.
36 Chazawi Adam, Op.cit, hal.71.

19

(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar
aturan tersebut.37
Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :
a. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum
dilarang dan diancam pidana.
b. Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau
kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan
ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan
kejadian itu.
c. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat,
oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan
kejadian itu ada hubungan erat pula. “ Kejadian tidak dapat
dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak
dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang
ditimbulkan olehnya”.
Selanjutnya

Moeljatno

membedakan

dengan

tegas

dapat

dipidananya perbuatan (die strafbaarheid van het feit) dan dapat
dipidananya orang (strafbaarheid van den person).Sejalan dengan itu
memisahkan

pengertian

perbuatan

pidana

(criminal

act)

dan

pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility).Pandangan ini disebut

37Moeljatno, Asas – Asas Hukum Pidana (jakarta : Rineka Cipta) hal 32 .

20

pandangan dualistis yang sering dihadapkan dengan pandangan monistis
yang tidak membedakan keduanya38.
Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan
pidana (kepada barang siapa yang melanggar larangan tersebut), untuk
singkatnya kita nama perbuatan pidana atau delik yang dalam sistem KUHP
sekarang yaitu: 1.terbagi dalam dua jenis yang menurut anggapan pembuat
Undang – Undangnya di Nederland dahulu 1880 masing – masing berlainan
sifatnya secara kualitatif, yaitu: kejahatan (misdrijven): misalnya Pencurian
(Pasal 362 KUHP) Penggelapan (Pasal 378), Penganiayaan(Pasal 388) dan
Pelanggaran (overtredingen) misalnya: Kenakalan (Pasal 489), Pengemisan
(Pasal 504) dan Pergelandangan (Pasal 505). 2. Mengingat akan hal ini,
maka dalam Semininar Hukum Nasional 1 tahun 1963, disarankan agar
supaya dalam KUHP nasional kita nanti dicantumkan tujuan hukum pidana
indonesia sebagai demikian: ” untuk mencegah penghambatan atau
penghalang – halangan datangnya masyarakat yang di cita – citakan oleh
bangsa indonesia,yaitu dengan jalan penentuan perbuatan – perbuatan
manakah yang pantang dan tidak boleh di lakukan,serta pidana apakah yang
diancamkan kepada mereka yang melanggar larangan – larangan itu.39
2.2.

Jenis-Jenis Tindak Pidana
Pembagian delik atas tindak pidana ini disebut oleh undangundang. KUHP buku ke II memuat delik-delik yang disebut : pelanggaran
apakah yang dipergunakan untuk membedakan kedua jenis delik itu, KUHP
38 Ibid
39 Moeljatno, Op cit, hal. 2

21

tidak memberi jawaban tentang hal ini. KUHP hanya memasukkan dalam
kelompok pertama kejahatan dan dalam kelompok kedua pelanggaran.
Namun ilmu pengetahuan mencari secara intensif ukuran
(kriterium) untuk membedakan kedua jenis delik itu.40 Ada dua pendapat :
a.

Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada
perbedaan yang bersifat kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2
jenis delik, ialah :
1. Rechtdelicten
Ialah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas
apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang
atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat
sebagai bertentangan dengan keadilan misal : pembunuhan,
pencurian. Delik-delik semacam ini disebut “kejahatan” (mala
perse).41
2. Wetsdelicten
Ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak
pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi
karena ada undang-undang mengancamnya dengan pidana.Misal :
memarkir mobil di sebelah kanan jalan (mala quia prohibita).
Delik-delik semacam ini disebut “pelanggaran”.Perbedaan secara

40 Ibid, hal 44.
41 Ibid.

22

kwalitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan yang baru
disadari sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang
pidana,

jadi

bertentangan

sebenarnya
dengan

rasa

tidak

segera

dirasakan

keadilan.Dan

sebagai

sebaliknya

ada

“pelanggaran”, yang benar-benar dirasakan bertentangan dengan
rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu tidak
memuaskan maka dicari ukuran lain42.
b.

Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada
perbedaan yang bersifat kwantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan
kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah
“pelanggaran” itu lebih ringan dari pada “kejahatan”.Dalam KUHP
juga terdapat delik yang digolongkan sebagai tindak pidana misalnya
Pasal 364, 373, 375, 379, 382, 384, 352, 302 (1), 315, 407.

2.3.

Delik formil dan delik materiil (delik dengan perumusan secara
formil dan delik dengan perumusan secara materiil)
1. Delik formil itu adalah delik yang perumusannya dititikberatkan
kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai
dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan
delik. Misal : penghasutan (Pasal 160 KUHP), di muka umum
menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan
kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (Pasal
42 Ibid, hal.80

23

156 KUHP); penyuapan (Pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu
(Pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP); pencurian
(Pasal 362 KUHP).
2. Delik materiil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan
kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini baru
selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi.
Kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal :
pembakaran (Pasal 187 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP),
pembunuhan (Pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil dan
materiil tidak tajam misalnya pasal 362.
3. Delik commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis per
ommisionen commissa
a.

Delik commisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap
larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang pada pencurian,
penggelapan, penipuan.

b.

Delik ommisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap
perintah, ialah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan /
yang diharuskan, misal : tidak menghadap sebagai saksi di
muka pengadilan (pasal 522 KUHP), tidak menolong orang
yang memerlukan pertolongan (pasal 531 KUHP).

24

c.

Delik commisionis per ommisionen commissa : delik yang
berupa pelanggaan larangan (dus delik commissionis), akan
tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal :
seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi
air susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang
menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak
memindahkan wissel (pasal 194 KUHP).

4. Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten)
a.

Delik dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal :
pasal-pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP;

b.

Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu
unsur misal : pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal
359, 360 KUHP.

5. Delik tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en samengestelde delicten)
a.

Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan
satu kali.

b.

Delik berangkai : delik yang baru merupakan delik, apabila
dilakukan beberapa kali perbuatan, misal : pasal 481
(penadahan sebagai kebiasaan)

25

6. Delik yang berlangsung terus dan delik selesai (voordurende en
aflopende delicten)
Delik yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri bahwa
keadaan terlarang itu berlangsung terus, misal : merampas
kemerdekaan seseorang (pasal 333 KUHP).
7. Delik aduan dan delik laporan (klachtdelicten en niet klacht
delicten)
Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila
ada pengaduan dari pihak yang terkena (gelaedeerde partij) misal :
penghinaan (pasal 310 dst. jo 319 KUHP) perzinahan (pasal 284
KUHP), chantage (pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps.
335 ayat 1 sub 2 KUHP jo. ayat 2). Delik aduan dibedakan menurut
sifatnya, sebagai :
a.

Delik aduan yang absolut, ialah mis. : pasal 284, 310, 332.
Delik-delik ini menurut sifatnya hanya dapat dituntut
berdasarkan pengaduan.

b.

Delik aduan yang relative ialah mis. : pasal 367, disebut relatif
karena dalam delik-delik ini ada hubungan istimewa antara si
pembuat dan orang yang terkena.

26

Catatan : perlu dibedakan antara aduan den gugatan dan
laporan. Gugatan dipakai dalam acara perdata, misal : A
menggugat B di muka pengadilan, karena B tidak membayar
hutangnya kepada A. Laporan hanya pemberitahuan belaka
tentang adanya sesuatu tindak pidana kepada Polisi atau Jaksa.
8. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya / peringannya
(eenvoudige dan gequalificeerde / geprevisilierde delicten)
Delik yang ada pemberatannya, misal : penganiayaan yang
menyebabkan luka berat atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3
KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb. (pasal 363). Ada
delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam
keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak-kanak (pasal 341
KUHP). Delik ini disebut “geprivelegeerd delict”. Delik sederhana;
misal : penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian (pasal 362
KUHP).
Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan
bukan delik ekonomi
Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam pasal 1
UU Darurat No. 7 tahun 1955, UU darurat tentang tindak pidana
ekonomi.
2.4.

Unsur-Unsur Tindak Pidana

27

Dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana selalu
mengatur tentang tindak pidana.Sedangkan menurut Moeljatno “Tindak
pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan
mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang
siapa yang melanggar larangan tersebut”.Untuk mengetahui adanya tindak
pidana, maka pada umumnya dirumuskan dalam peraturan perundangundangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai
dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau
syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan
jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan
pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang
dengan ancaman pidana kalau dilanggar.43
Menurut

Simons,

unsur-unsur

tindak

pidana

(strafbaar

feit)adalah :
1.

Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak
berbuat atau membiarkan).

2.

Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)

3.

Melawan hukum (onrechtmatig)

4.

Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)

43 Ibid, hal 33

28

5.

Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar
person).
Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur

subyektif dari tindak pidana (strafbaar feit).
Unsur Obyektif :
a.

Perbuatan orang

b.

Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.

c.

Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan
itu seperti dalam pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau
“dimuka umum”.

Pasal 281

Barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan
dan barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang
ada di situ bertentangan dengan kehendaknya melanggar
kesusilaan.
Jadi, Pasal 281: Dalam perkara yang diungkap dalam satu hal
yang

terkait dengan suatu perbuatan yang sering terjadi didalam

kehidupan sehari-hari berkaitan dengan suatu perbutan yang melanggar
nilai-nilai kesusilaan dan perbuatan-perbuatan yang tidak sengaja
dilakukan di depan orang banyak kata kesopanan disini dalam arti kata

29

“kesusilaan”, yaitu perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu
kelamin. Misalnya bersetubuh, meraba buah dada orang perempuan,
meraba tempat kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan
wanita atau pria, mencium dan sebagainya. Tindak Pidana terhadap
kesopanan ini semuanya dilakukan dengan suatu “perbuatan”. Sedangkan
dalam hal ini, merupakan suatu perbuatan tindak pidana terhadap nilai
kesopanan dilakukan dengan “perkataan-perkataan”, yaitu dalam bentuk
ajakan-ajakan tersirat untuk melakukan suatu perbuatan yang melanggar
kesusilaan. Dalam Pasal 281 KUHP ini meninjau suatu perkara itu dari
sudut pandang suatu kehendak atau keinginan seseorang itu dalam
melakukan sebuah tindak pidana yang berkaitan dengan kesusilaan.
Unsur Subyektif :
a. Orang yang mampu bertanggung jawab;
b. Adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan
dengan kesalahan.
Kesalahan(schuld) ini dapat berhubungan dengan akibat dari
perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan. Maksud
dari ‘keadaan mana itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu hal yang
berkaitan dampak yang di timbulkan dari suatu tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh manusia yang dimana perbuatan itu dilakukan secara
sengaja dan maupun dengan perencanaan ataupun yang sering disebut
dengan tipu muslihat, kesalahan itu sendiri dapat dibagi menjadi dua
macam yaitu:

30

1.

Kesalahan yang di sadari maksudnya seseorang melakukan sesuatu
perbutan yang sudah dapat dibayangkan akibat buruk akan terjadi,
tapi tetap melakukan perbuatan itu.

2.

Kealpaan yang tidak di sadari maksudnya adalah bila pelaku tidak
dapat membayangkan sama sekali akibat yang ditimbulkan oleh
perbuatannya yang seharusnya di bayangkan atau suatu hal yang
tidak di perkirakan akan tejadi malahan berdampak suatu perbuatan
negatif.Sementara

menurut

Moeljatno

unsur-unsur

perbuatan

pidana :44
a. Perbuatan (manusia);
b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil);
c. Bersifat melawan hukum (syarat materiil);
Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari :45
1) Kelakuan dan akibat;
2) Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang
dibagi menjadi :
a.

Unsur subyektif atau pribadi
Yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan,
misalnya unsur pegawai negeri yang diperlukan dalam delik
jabatan seperti dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal

44 Ibid, hal 25
45 Ibid, hal 10

31

418 KUHP jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971
atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun
2001 tentang pegawai negeri yang menerima hadiah. Kalau
yang menerima hadiah bukan pegawai negeri maka tidak
mungkin diterapka pasal tersebut
b. Unsur obyektif atau non pribadi
Yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat, misalnya pasal
160 KUHP tentang penghasutan di muka umum (supaya
melakukan perbuatan pidana atau melakukan kekerasan
terhadap

penguasa

umum).Apabila

penghasutan

tidak

dilakukan di muka umum maka tidak mungkin diterapkan
pasal ini.
Menurut Moeljatno Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang
menentukan, memperingan atau memperberat pidana yang dijatuhkan.
(1)

Unsur keadaan yang menentukan misalnya dalam pasal 164, 165,
531 KUHP.
Pasal 164 KUHP:

Barang siapa mengetahui permufakatan jahat untuk
melakukan kejahatan tersebut pasal 104, 106, 107, 108,
113, 115, 124, 187 dan 187 bis, dan pada saat kejahatan
masih
bisa
dicegah
dengan
sengaja
tidak
memberitahukannya kepada pejabat kehakiman atau

32

kepolisian atau kepada yang terancam, diancam, apabila
kejahatan jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling
lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak
tiga ratus rupiah.

Kewajiban untuk melapor kepada yang berwenang, apabila
mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan. Orang yang tidak melapor
baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana, jika kejahatan tadi
kemudian betul-betul terjadi.Tentang hal kemudian terjadi kejahatan itu
adalah merupakan unsur tambahan.
Pasal 531 KUHP:

Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang
sedang menghadapi maut, tidak memberi pertolongan yang
dapat diberikan kepadanya tanpa selayaknya menimbulkan
bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika
kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan
paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah.

Keharusan memberi pertolongan pada orang yang sedang
menghadapi bahaya maut jika tidak memberi pertolongan, orang tadi baru
melakukan perbuatan pidana, kalau orang yang dalam keadaan bahaya tadi
kemudian lalu meninggal dunia. Syarat tambahan tersebut tidak dipandang
sebagai unsur delik (perbuatan pidana) tetapi sebagai syarat penuntutan.
(2)

Keadaan tambahan yang memberatkan pidana

33

Misalnya penganiayaan biasa Pasal 351 ayat (1) KUHP diancam
dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.Apabila
penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat; ancaman pidana
diperberat menjadi 5 tahun (Pasal 351 ayat 2 KUHP), dan jika
mengakibatkan mati ancaman pidana menjad 7 tahun (Pasal 351
ayat 3 KUHP). Luka berat dan mati adalah merupakan keadaan
tambahan yang memberatkan pidana
(3)

Unsur melawan hukum
Dalam perumusan delik unsur ini tidak selalu dinyatakan sebagai
unsur tertulis.Adakalanya unsur ini tidak dirumuskan secara tertulis
rumusan pasal, sebab sifat melawan hukum atau sifat pantang
dilakukan perbuatan sudah jelas dari istilah atau rumusan kata yang
disebut. Misalnya pasal 285 KUHP : “dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh di luar
perkawinan”. Tanpa ditambahkan kata melawan hukum setiap
orang mengerti bahwa memaksa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan adalah pantang dilakukan atau sudah mengandung sifat
melawan

hukum.Apabila

dicantumkan

maka

jaksa

harus

mencantumkan dalam dakwaannya dan oleh karenanya harus
dibuktikan.Apabila tidak dicantumkan maka apabila perbuatan
yang didakwakan dapat dibuktikan maka secara diam-diam unsure
itu dianggap ada.Unsur melawan hukum yang dinyatakan sebagai

34

unsur tertulis misalnya pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai
pencurian yaitu pengambilan barang orang lain dengan maksud
untuk memilikinya secara melawan hukum.
Tindak pidana bersifat teoritis, tetapi dalam praktek hal ini sangat
penting dan menentukan bagi keberhasilan pembuktian perkara
pidana. Pengertian unsur-unsur tindak pidana dapat diketahui dari
doktrin (pendapat ahli) ataupun dari yurisprudensi yan memberikan
penafsiran terhadap rumusan undang-undang yang semula tidak
jelas atau terjadi perubahan makna karena perkembangan jaman,
akan diberikan pengertian dan penjelasan sehingga memudahkan
aparat penegak hukum menerapkan peraturan hukum.
Bagi Jaksa pentingnya memahami pengertian unsur-unsur tindak
pidana adalah :46
1) Untuk menyusun surat dakwaan, agar dengan jelas;
2) Dapat menguraikan perbuatan terdakwa yang menggambarkan
uraian unsur tindak pidana yang didakwakan sesuai dengan
pengertian / penafsiran yang dianut oleh doktrin maupun
yurisprudensi;
3) Mengarahkan pertanyaan-pertanyaan kepada saksi atau ahli
atau terdakwa untuk menjawab sesuai fakta-fakta yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan;

46 Ibid.hal 30

35

4) Menentukan nilai suatu alat bukti untuk membuktikan unsur
tindak pidana. Biasa terjadi bahwa suatu alat bukti hanya
berguna untuk menentukan pembuktian satu unsur tindak
pidana, tidak seluruh unsur tindak pidana;
5) Mengarahkan jalannya penyidikan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan
digunakan

berjalan

secara

dalam

obyektif.

pembuktian

Dalil-dalil
akan

yang
dapat

dipertanggungjawabkan secara obyektif karena berlandaskan
teori dan bersifat ilmiah;
6) Menyusun requisitoir yaitu pada saat uraian penerapan fakta
perbuatan kepada unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan,
atau biasa diulas dalam analisa hukum, maka pengertianpengertian unsur tindak pidana yang dianut dalam doktrin atau
yurisprudensi atau dengan cara penafsiran hukum, harus
diuraikan sejelas-jelasnya karena ini menjadi dasar atau dalil
untuk berargumentasi.
2.5.

Pertanggung Jawaban Pidana
Perbuatan

pidana

hanya

menunjuk

kepada

dilarang

diancamnya perbuatan dengan suatu pidana.Apakah yang melakukan
perbuatan kemudian juga dijatuhi pidana, sebagaimana telah diancamkan,
ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia

36

mempunyai kesalahan. Sebab azas dalam pertanggung jawaban dalam
hukum pidana ialah: tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf
zondere schuld; Actus non facit reum nisi mens sir rea ). Asas ini tidak
tersebut dalam hukum tertulis tapi dalam hukum yang tak tertulis yang tak
tertulis yang juga di Indonesia berlaku.47
Menurut Moeljatno kemampuan bertanggungjawabkan harus
dipandang sebagai kesalahan (bukan unsur perbuatan pidana). Unsur
kesalahan terdiri dari kesenjangan dan kealpaan.
Kesenjangan pada dasarnya.Di dalam Undang-Undangtidak
memberikan pengertian tentang kesenjangan.Di dalam memori van
toelicting Swb, sebagaimana dikutip dalam bukunya Moeljatno “AsasAsas Hukum Pidana” ada sedikit keterangan yang menyangkut mengenai
kesengajaan, menyatakan “pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan
hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan
dikehendaki dan diketahui.
Dengan demikian dapat disebutkan bahwa kesenjangan
merupakan orang menghendaki dan orang yang mengetahui. 48Kesengajaan
dan kealpaan itu sama. Sama dalam arti, di dalam lapangan hukum pidana
kealpaan itu mempunyai pengertian khusus Kesengajaan dan kealpaan itu
sama, sama dalam arti: di dalam lapangan hukum pidana kealpaan itu
mempunyai pengertian yang khusus sebagaimana yang dinyatakan oleh
Langemayer yang menyatakan: “kealpaan adalah suatu struktur yang
47 Moelijatno, OP Cit.,Hal 153
48 Ibid Hal. 171

37

gecompliceerd, dia mengandung dalam suatu pihak kekeliruan dalam
perbuatan lahir dan menunjuk pada adanya keadaan batin yang tertentu
dan dilain pihak keadaan batinnya yang tertentu dan dilain pihak keadaan
batinnya itu sendiri, dimengerti demikian maka culpa mencakup semua
makna kesalahan dalam arti luas yang berupa kesengajaan”49.
Beda kesengajaan dengan kealpaan ialah bahwa dalm
kesengajaan ada sifat yang positif yaitu adanya kehendak dan persetujuan
disadari dari pada bagian-bagian delik yang meliputi oleh kesengajaan,
oleh karena itu dapat dimengerti bahwa dipakai istilah yang sama untuk
kesalahan dalam arti yang luas dan kesalahan dalam arti yang sempit
meskipun ini tidak praktis50.
Dan Moeljatno setuju dengan pendapat langemeyer yang
mengatakan :
Kealpaan ( schuld atau culpa ) adalah suatu struktur yang
sangat gecomplicerrd.Dia mengandung dalam suatu pihak
kekeliruan dalam buatan lahir dan menunjuk pada keaadan
batin yang tertentu dan dilain pihak keaadan batinnya itu
sendiri”. Selanjutnya dikatakan: “jika diartikan demikian, maka
culpa mencakup semua makna kesalahan dalam arti luas yang
bukan berupa kesengajaan. Beda kesengajaan dari pada
kealpaan ialah bahwa dalam kesengajaan ada sifat yang positif
yaitu adanya kehendak dan persetujuan yang didasari dari pada
bagian – bagian delik yang meliputi oleh kesengajaan sedang
sifat positif ini tidak ada dalam kealpaan. Oleh karena itu
dapatlah dimengerti, bahwa dipakai istilah yang sama untuk
kesalahan dalam arti yang luas dan kesalahan dalam arti yang
sempit, meskipun ini tidak praktis.51

49 Moeljatno, op.cit., hlm. 200
50 Ibid., hlm. 201
51Ibid Hal. 200

38

Pada umumnya yang dapat dipertanggung jawabkan dalam
hukum pidana adalah pembuat, meskipun tidak selamanya demikian.
Masalahnya tergantung pada cara atau system perumusan pertanggung
jawaban yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Telah disebutkan, bahwa adanya pertanggung jawaban pidana
diperlukan syarat bahwa pelaku mampu bertanggung jawab. Tidaklah
mungkin seseorang dapat di pertanggung jawabkan apabila ia tidak
mampu bertanggung jawab.52“kemampuan bertanggung jawab

dapat

diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan
adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut
umum maupun dari orangnya”.
Dikatakan selanjutnya, bahwa seseorang mampu bertanggung
jawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila :
a.

Mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya

b.
c.
d.

bertentangan dengan hukum;
Dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut;
Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri;
Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut

e.

pandangan masyarakat tidak dibolehkan;
Mampu untuk menentukan kehendaknya
perbuatannya itu

2.6.

Acara Pemeriksaan Dalam Perkara Pidana
1.

Acara Pemeriksaan Singkat

52 Ibid, hal 153

atas

perbuatan-

39

Mengenai acara pemeriksaan singkat diatur dalam bagian
kelima BAB XVI.Hanya terdiri dari dari 2 pasal. Pengertian dan ciri
perkara singkat yang cara pemeriksaannya dilakukan dengan
prosedur acara singkat.
Pasal 203 KUHAP yang berbunyi:

Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah
perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk
ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut umum
pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya
sederhana dan dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) penuntut umum menghadapkan terdakwa berserta
saksi,ahli juru bahasa dan barang bukti yang di perlukan
dalam acara ini berlaku ketentuan dalam Bagian
kesatu,Bagian kedua dan Bagian ini sepanjang peraturan itu
tidak bertentangan dengan ketentuan dibawah ini:
a. Penuntut umum dengan segera setelah terdakwa di sidang
menjwab segala pertayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 155 ayat member tahukan dengan lisan dari
catatannya kepada terdakwa tentang tindak pidana yang
didakwakan kepadanya dengan menerangkan waktu,
tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana itu
dilakukan. pemberitahuan ini dicatat dalam berita acara dan
merupakan penggati surat dakwaan.
b. Dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan
tambahan, supaya diadakan pemeriksaan tambahan dalam
waktu paling lama empat belas hari dan bilamana dalam
waktu tersebut penuntut umum belum juga dapat
menyelesaikan pemeriksaan tambahan ,maka hakim
memerintahkan perkara itu diajukan ke sidang pengadilan
dengan cara biasa.
c. Guna kepentingan pembelaan,maka atas permintaan
terdakwa dan atau penasihat hukum,hakim dapat menunda
pemeriksaan paling lama tujuh hari.

40

d. Putusan tidak dibuat secara khusus,tetapi dicatat dalam
berita acara sidang.
e. Hakim memberikan surat yang memuat amar putusan
tersebut.
f. Isi surat tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama
seperti putusan pengadilan dalam acara biasa. yang
dimana dalam pasal ini membahas tentang pengertian
pemer.
Pada hakikatnya apa yang di atur dalam KUHAP mengenai
perkara singkat, hampir sama dengan yang diatur dalam HIR pada
masalaluHIR, perkara singkat di sebut ”perkara sumir”. Jadi,
pengertian perkara singkat yang prosedur pemeriksaannya di sidang
pengadilan di lakukan dengan acara singkat, dengan prosedur
pemeriksaan di lakukan dengan sumir.Malah perkataan perkara
singkat adalah terjemahan dari perkataan perkara sumir, sehingga
boleh dikatakan tidak ada perbedaan yang pokok antara perkara
acara pemeriksaan singkat y