Menyoal Dilema Inefisiensi Penyertaan Mo
Menyoal Dilema Inefisiensi Penyertaan Modal Negara pada BUMN
Bayu Atletiko Yanida Putera
Dipublikasikan pada 24 September 2015
BUMN adalah salah satu faktor penting dalam sistem APBN yang banyak
mendapat perhatian. Untuk mendukung proses bisnis BUMN, pemerintah hampir
setiap tahun melakukan Penyertaan Modal Negara (PMN). Namun demikian, PMN
ternyata masih belum dapat memenuhi kriteria optimalisasi penggunaannya
sebagaimana diharapkan.
Sejarah mencatat bahwa concern terhadap keberadaan BUMN sebagai salah satu
roda penggerak perekonomian nasional telah muncul sejak lama, diawali dengan
adanya gerakan nasionalisasi terhadap perusahaan negara milik asing / bekas milik
Belanda. Pengembalian ini diatur dalam PP Nomor 27 tahun 1957 dan UU Nomor
26 tahun 1959. Seiring berjalannya waktu, instrumen hukum pengelolaan kekayaan
negara pada BUMN terus mengalami pembaruan sampai dengan lahirnya UU
Nomor 19 tahun 2003.
Dalam UU Nomor 19 tahun 2003 Pasal 1, yang dimaksud dengan Badan Usaha
Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan. Adapun tujuan pembentukannya antara lain (Pasal 2):
-
Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada
umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;
-
Mengejar keuntungan;
-
Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan /
atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup
orang banyak;
-
Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan
oleh sektor swasta dan koperasi;
-
Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha
golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Ada satu poin penting yang kerap diperdebatkan berbagai pihak, yakni mengejar
keuntungan. Beberapa ahli menyatakan bahwa ketika suatu BUMN merugi, maka
hal tersebut bukanlah masalah besar karena memang tujuan pembetukan BUMN
bukan semata – mata mencari profit, namun pihak lain berpendapat bahwa
kemampuan suatu perusahaan mendapatkan keuntungan adalah juga salah satu alat
ukur kesehatan perusahaan tersebut (Arthur J. Keown: 2008). Jika kondisi BUMN
sehat secara finansial, dapat dipastikan akan lebih mudah dalam menjalankan tujuan
– tujan lainnya sebagaimana telah disebutkan di atas.
Guna mendukung kelangsungan proses bisnis serta menggiatkan ‘penyehatan’
terhadap BUMN yang membutuhkan suntikan modal, pemerintah hampir setiap
tahun melakukan Penyertaan Modal Negara (PMN). Masih dalam peraturan yang
sama (UU Nomor 19 tahun 2003) dan diperjelas dalam PP Nomor 44 tahun 2005,
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Penyertaan Modal Negara adalah
pemisahan kekayaan negara dari APBN atau penetapan cadangan perusahaan, dan
dikelola secara korporasi. Adapun sumber penyertaan modal negara yang berasal
dari APBN dapat berupa dana segar, proyek-proyek yang dibiayai dari APBN,
piutang negara, serta aset lainnya.
Jika kita mencermati realisasi PMN pada tahun belakangan, kita akan menemukan
sebuah fakta yang menarik di mana penurunan nilai Penyertaan Modal Negara
justru diikuti oleh kenaikan bagian pemerintah atas laba BUMN. Mengingat
perlunya melakukan pembahasan PMN secara menyeluruh dan banyaknya jumlah
perusahaan BUMN sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan kajian satu per
satu, maka penulis merasa perlu untuk membatasi kajian dalam tiga asumsi:
1. Asumsi ekonomi ceteris paribus, maksudnya faktor – faktor lain selain yang
dibahas dianggap tetap;
2. Kemampuan perusahaan membayar dividen kepada pemegang saham
(Dividen Payout Rate – dalam hal ini BUMN kepada pemerintah) adalah
parameter kinerja keuangan yang valid (Keown: 2008);
3. Interval data antara 2011 sampai 2014 untuk menjamin bahwa data masih
aktual dan tahun 2015 saat ini masih belum sampai pada akhir periode
pelaporan keuangan.
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa tambahan modal yang diberikan
pemerintah kepada BUMN seharusnya dapat membantu perusahaan melaksanakan
proses bisnis yang lebih sehat guna mencapai tujuan – tujuannya yang salah satu
alat ukurnya adalah bagian laba pemerintah sebagai bagian dari laba bersih.
Pernyataan ini didukung dengan teori statistika Korelasi Positif Pearson yang
menyatakan bahwa apabila suatu variabel (x) berhubungan positif dengan variabel
lain (y), maka peningkatan pada x akan menimbulkan peningkatan pula pada
variabel y, begitupun sebaliknya. Dengan kata lain, idealnya apabila jumlah PMN
menurun seharusnya bagian pemerintah atas laba BUMN juga menurun.
Berikut adalah grafik realisasi PMN dan bagian pemerintah atas laba BUMN
berdasarkan LKPP 2011 – 2014 yang telah diaudit BPK.
Rp (Trilyun)
Perbandingan Realisasi PMN terhadap Bagian
Pemerintah atas Laba BUMN Tahun 2011 - 2014
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
2011
2012
Realisasi PMN
2013
2014
Bagian Pemerintah atas Laba BUMN
Fakta menunjukkan bahwa ketika PMN menurun, bagian laba pemerintah justru
meningkat. Hal ini berbalik dengan kondisi ideal (laba seharusnya juga menurun),
yang artinya bahwa PMN memegang peranan yang sangat kecil bahkan
berkebalikan terhadap laba bersih BUMN dan bagian laba pemerintah (dividen).
Berdasarkan data yang justru menunjukkan kebalikan dari kondisi ideal, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hal – hal yang perlu dibenahi utamanya
terkait dengan pengelolaan dana PMN. Ada dua poin yang layak mendapat atensi
khusus yaitu masalah disharmoni peraturan terkait BUMN dan minimnya
perlindungan hukum terhadap direksi dalam pengambilan keputusan strategis.
Terdapat beberapa tumpang-tindih aturan mengenai status aset perusahaan BUMN
dalam kategori kekayaan negara sebagai bagian dari keuangan negara. Pasal 4 Ayat
(1) UU No. 19 Tahun 2003 dan penjelasannya menyebutkan bahwa modal BUMN
yang berasal dari kekayaan negara dipisahkan, pembinaan dan pengelolaannya tak
lagi didasarkan pada sistem APBN, namun didasarkan pada prinsip perusahaan
yang sehat (Good Corporate Governance). Sebaliknya, UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara menilai bahwa keuangan negara meliputi salah satunya
kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara dan perusahaan daerah.
Ambiguitas tentang kerancuan status BUMN sebagai bagian dari keuangan negara
dikeluhkan oleh beberapa pakar, salah satunya adalah Direktur Utama Perum
Peruri, Prasetio, yang menjelaskan bahwa dalam menjalankan roda perusahaan,
direksi melaksanakan aksi korporasi yang berpotensi memicu kerugian yang
disebut sebagai risiko bisnis. Namun, dalam perjalannya risiko bisnis tersebut
berpotensi menimbulkan kerugian BUMN dan diidentikkan sebagai kerugian
negara. Hal ini yang dikhawatirkan direksi karena bisa ditarik ke ranah tindak
pidana korupsi. Contoh kasusnya yaitu perkara VoIP PT (Persero) Telekomunikasi
Indonesia Tbk dan perkara PT (Persero) Merpati Nusantara Airlines di mana di
kedua kasus tersebut penanggungjawabnya (manajemen senior Unit KSO Divre VII
Makasar dan Dirut Merpati) dijatuhi pidana penjara.
Potensi kerugian bisnis menarik direksi ke ranah pidana serta minimnya jaminan
hukum membuat direksi cenderung mengambil langkah aman dan menghindari
kerugian jangka pendek. Mantan menteri BUMN Tanri Abeng merinci bahwa pada
tahun 2013, keuntungan bersih satu tahun perusahaan BUMN yang berjumlah 141
(150 triliun rupiah) masih di bawah satu perusahaan dari Malaysia, Petronas (250
triliun). Ia menuturkan, pada tahun pertama dan kedua Petronas merugi, namun
tetap mengembangkan bisnisnya hingga ke 42 negara. Setelah bertahun-tahun
berinvestasi, akhirnya Petronas membukukan laba bersih yang besar. Hal semacam
ini akan sulit terwujud di Indonesia karena jika ada kerugian dalam proses ekspansi,
maka image kerugian negara langsung muncul.
Guna mengatasi polemik pengelolaan PMN pada BUMN, sudah saatnya
pemerintah bersama DPR bekerja sama membangun instrumen hukum yang dapat
menengahi kerancuan definisi BUMN dalam lingkup keuangan negara. Selain itu,
Prasetio dalam bukunya ‘Dilema BUMN – Benturan Penerapan Business Judgment
Rule (BJR) dalam Keputusan Bisnis Direksi BUMN’ mengusulkan penggunaan
doktrin Business Judgement Rule (BJR) sebagai payung hukum kepada direksi.
Doktrin BJR memberi perlindungan bagi direksi dari pertanggungjawaban atas
setiap tindakannya yang mengakibatkan timbulnya kerugian perseroan, sepanjang
tindakan tersebut dilakukan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan untuk
kepentingan yang sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.
Harapan yang ingin dicapai adalah ketika timbul kerugian, direksi tidak serta –
merta menjadi pihak yang dipersalahkan, melainkan dilakukan penelitian terhadap
kerugian tersebut apakah murni kerugian bisnis ataukah memang ada fraud.
Efeknya, direksi mendapatkan ruang untuk melakukan ekspansi dan maksimalisasi
keuntungan dengan tetap mengikuti aturan main pengelolaan kekayaan BUMN.
Dengan terselesaikannya multitafsir tentang status BUMN dalam lingkup keuangan
negara dan perlindungan hukum yang lebih baik kepada direksi, diharapkan
pengelolaan PMN pada BUMN dapat lebih optimal guna membangun iklim usaha
BUMN yang lebih sehat, tercapainya tujuan, serta terjaganya peran BUMN sebagai
salah satu penggerak pertumbuhan perekonomian nasional.
Daftar Pustaka:
bumn.go.id/ptpn6/berita/2065/Mencari.Solusi.Pemantapan.Kinerja.BUMN
indgaf.com/media/artikel/dilema-bumn-oleh-tanri-abeng/14
Keown, Athrur J. dan Martin, John D. 2008. Manajemen Keuangan. Jakarta: Indeks.
Prasetio, dkk. 2014. Dilema BUMN. Jakarta: Rayyana Komunikasindo.
Sarwono, Jonatahan. 2006.Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. Yogya: Graha Ilmu.
Bayu Atletiko Yanida Putera
Dipublikasikan pada 24 September 2015
BUMN adalah salah satu faktor penting dalam sistem APBN yang banyak
mendapat perhatian. Untuk mendukung proses bisnis BUMN, pemerintah hampir
setiap tahun melakukan Penyertaan Modal Negara (PMN). Namun demikian, PMN
ternyata masih belum dapat memenuhi kriteria optimalisasi penggunaannya
sebagaimana diharapkan.
Sejarah mencatat bahwa concern terhadap keberadaan BUMN sebagai salah satu
roda penggerak perekonomian nasional telah muncul sejak lama, diawali dengan
adanya gerakan nasionalisasi terhadap perusahaan negara milik asing / bekas milik
Belanda. Pengembalian ini diatur dalam PP Nomor 27 tahun 1957 dan UU Nomor
26 tahun 1959. Seiring berjalannya waktu, instrumen hukum pengelolaan kekayaan
negara pada BUMN terus mengalami pembaruan sampai dengan lahirnya UU
Nomor 19 tahun 2003.
Dalam UU Nomor 19 tahun 2003 Pasal 1, yang dimaksud dengan Badan Usaha
Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan. Adapun tujuan pembentukannya antara lain (Pasal 2):
-
Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada
umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;
-
Mengejar keuntungan;
-
Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan /
atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup
orang banyak;
-
Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan
oleh sektor swasta dan koperasi;
-
Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha
golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Ada satu poin penting yang kerap diperdebatkan berbagai pihak, yakni mengejar
keuntungan. Beberapa ahli menyatakan bahwa ketika suatu BUMN merugi, maka
hal tersebut bukanlah masalah besar karena memang tujuan pembetukan BUMN
bukan semata – mata mencari profit, namun pihak lain berpendapat bahwa
kemampuan suatu perusahaan mendapatkan keuntungan adalah juga salah satu alat
ukur kesehatan perusahaan tersebut (Arthur J. Keown: 2008). Jika kondisi BUMN
sehat secara finansial, dapat dipastikan akan lebih mudah dalam menjalankan tujuan
– tujan lainnya sebagaimana telah disebutkan di atas.
Guna mendukung kelangsungan proses bisnis serta menggiatkan ‘penyehatan’
terhadap BUMN yang membutuhkan suntikan modal, pemerintah hampir setiap
tahun melakukan Penyertaan Modal Negara (PMN). Masih dalam peraturan yang
sama (UU Nomor 19 tahun 2003) dan diperjelas dalam PP Nomor 44 tahun 2005,
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Penyertaan Modal Negara adalah
pemisahan kekayaan negara dari APBN atau penetapan cadangan perusahaan, dan
dikelola secara korporasi. Adapun sumber penyertaan modal negara yang berasal
dari APBN dapat berupa dana segar, proyek-proyek yang dibiayai dari APBN,
piutang negara, serta aset lainnya.
Jika kita mencermati realisasi PMN pada tahun belakangan, kita akan menemukan
sebuah fakta yang menarik di mana penurunan nilai Penyertaan Modal Negara
justru diikuti oleh kenaikan bagian pemerintah atas laba BUMN. Mengingat
perlunya melakukan pembahasan PMN secara menyeluruh dan banyaknya jumlah
perusahaan BUMN sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan kajian satu per
satu, maka penulis merasa perlu untuk membatasi kajian dalam tiga asumsi:
1. Asumsi ekonomi ceteris paribus, maksudnya faktor – faktor lain selain yang
dibahas dianggap tetap;
2. Kemampuan perusahaan membayar dividen kepada pemegang saham
(Dividen Payout Rate – dalam hal ini BUMN kepada pemerintah) adalah
parameter kinerja keuangan yang valid (Keown: 2008);
3. Interval data antara 2011 sampai 2014 untuk menjamin bahwa data masih
aktual dan tahun 2015 saat ini masih belum sampai pada akhir periode
pelaporan keuangan.
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa tambahan modal yang diberikan
pemerintah kepada BUMN seharusnya dapat membantu perusahaan melaksanakan
proses bisnis yang lebih sehat guna mencapai tujuan – tujuannya yang salah satu
alat ukurnya adalah bagian laba pemerintah sebagai bagian dari laba bersih.
Pernyataan ini didukung dengan teori statistika Korelasi Positif Pearson yang
menyatakan bahwa apabila suatu variabel (x) berhubungan positif dengan variabel
lain (y), maka peningkatan pada x akan menimbulkan peningkatan pula pada
variabel y, begitupun sebaliknya. Dengan kata lain, idealnya apabila jumlah PMN
menurun seharusnya bagian pemerintah atas laba BUMN juga menurun.
Berikut adalah grafik realisasi PMN dan bagian pemerintah atas laba BUMN
berdasarkan LKPP 2011 – 2014 yang telah diaudit BPK.
Rp (Trilyun)
Perbandingan Realisasi PMN terhadap Bagian
Pemerintah atas Laba BUMN Tahun 2011 - 2014
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
2011
2012
Realisasi PMN
2013
2014
Bagian Pemerintah atas Laba BUMN
Fakta menunjukkan bahwa ketika PMN menurun, bagian laba pemerintah justru
meningkat. Hal ini berbalik dengan kondisi ideal (laba seharusnya juga menurun),
yang artinya bahwa PMN memegang peranan yang sangat kecil bahkan
berkebalikan terhadap laba bersih BUMN dan bagian laba pemerintah (dividen).
Berdasarkan data yang justru menunjukkan kebalikan dari kondisi ideal, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hal – hal yang perlu dibenahi utamanya
terkait dengan pengelolaan dana PMN. Ada dua poin yang layak mendapat atensi
khusus yaitu masalah disharmoni peraturan terkait BUMN dan minimnya
perlindungan hukum terhadap direksi dalam pengambilan keputusan strategis.
Terdapat beberapa tumpang-tindih aturan mengenai status aset perusahaan BUMN
dalam kategori kekayaan negara sebagai bagian dari keuangan negara. Pasal 4 Ayat
(1) UU No. 19 Tahun 2003 dan penjelasannya menyebutkan bahwa modal BUMN
yang berasal dari kekayaan negara dipisahkan, pembinaan dan pengelolaannya tak
lagi didasarkan pada sistem APBN, namun didasarkan pada prinsip perusahaan
yang sehat (Good Corporate Governance). Sebaliknya, UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara menilai bahwa keuangan negara meliputi salah satunya
kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara dan perusahaan daerah.
Ambiguitas tentang kerancuan status BUMN sebagai bagian dari keuangan negara
dikeluhkan oleh beberapa pakar, salah satunya adalah Direktur Utama Perum
Peruri, Prasetio, yang menjelaskan bahwa dalam menjalankan roda perusahaan,
direksi melaksanakan aksi korporasi yang berpotensi memicu kerugian yang
disebut sebagai risiko bisnis. Namun, dalam perjalannya risiko bisnis tersebut
berpotensi menimbulkan kerugian BUMN dan diidentikkan sebagai kerugian
negara. Hal ini yang dikhawatirkan direksi karena bisa ditarik ke ranah tindak
pidana korupsi. Contoh kasusnya yaitu perkara VoIP PT (Persero) Telekomunikasi
Indonesia Tbk dan perkara PT (Persero) Merpati Nusantara Airlines di mana di
kedua kasus tersebut penanggungjawabnya (manajemen senior Unit KSO Divre VII
Makasar dan Dirut Merpati) dijatuhi pidana penjara.
Potensi kerugian bisnis menarik direksi ke ranah pidana serta minimnya jaminan
hukum membuat direksi cenderung mengambil langkah aman dan menghindari
kerugian jangka pendek. Mantan menteri BUMN Tanri Abeng merinci bahwa pada
tahun 2013, keuntungan bersih satu tahun perusahaan BUMN yang berjumlah 141
(150 triliun rupiah) masih di bawah satu perusahaan dari Malaysia, Petronas (250
triliun). Ia menuturkan, pada tahun pertama dan kedua Petronas merugi, namun
tetap mengembangkan bisnisnya hingga ke 42 negara. Setelah bertahun-tahun
berinvestasi, akhirnya Petronas membukukan laba bersih yang besar. Hal semacam
ini akan sulit terwujud di Indonesia karena jika ada kerugian dalam proses ekspansi,
maka image kerugian negara langsung muncul.
Guna mengatasi polemik pengelolaan PMN pada BUMN, sudah saatnya
pemerintah bersama DPR bekerja sama membangun instrumen hukum yang dapat
menengahi kerancuan definisi BUMN dalam lingkup keuangan negara. Selain itu,
Prasetio dalam bukunya ‘Dilema BUMN – Benturan Penerapan Business Judgment
Rule (BJR) dalam Keputusan Bisnis Direksi BUMN’ mengusulkan penggunaan
doktrin Business Judgement Rule (BJR) sebagai payung hukum kepada direksi.
Doktrin BJR memberi perlindungan bagi direksi dari pertanggungjawaban atas
setiap tindakannya yang mengakibatkan timbulnya kerugian perseroan, sepanjang
tindakan tersebut dilakukan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan untuk
kepentingan yang sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.
Harapan yang ingin dicapai adalah ketika timbul kerugian, direksi tidak serta –
merta menjadi pihak yang dipersalahkan, melainkan dilakukan penelitian terhadap
kerugian tersebut apakah murni kerugian bisnis ataukah memang ada fraud.
Efeknya, direksi mendapatkan ruang untuk melakukan ekspansi dan maksimalisasi
keuntungan dengan tetap mengikuti aturan main pengelolaan kekayaan BUMN.
Dengan terselesaikannya multitafsir tentang status BUMN dalam lingkup keuangan
negara dan perlindungan hukum yang lebih baik kepada direksi, diharapkan
pengelolaan PMN pada BUMN dapat lebih optimal guna membangun iklim usaha
BUMN yang lebih sehat, tercapainya tujuan, serta terjaganya peran BUMN sebagai
salah satu penggerak pertumbuhan perekonomian nasional.
Daftar Pustaka:
bumn.go.id/ptpn6/berita/2065/Mencari.Solusi.Pemantapan.Kinerja.BUMN
indgaf.com/media/artikel/dilema-bumn-oleh-tanri-abeng/14
Keown, Athrur J. dan Martin, John D. 2008. Manajemen Keuangan. Jakarta: Indeks.
Prasetio, dkk. 2014. Dilema BUMN. Jakarta: Rayyana Komunikasindo.
Sarwono, Jonatahan. 2006.Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. Yogya: Graha Ilmu.