Tindak Pidana Penyertaan Pembunuhan Perspektif Hukum Islam (Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 959 K/Pid/2012)

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

AKHMAD FARID ZAMANI NIM : 1110045100033

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

i

Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tahun 1436 H/2014 M. vii + 80 halaman + 1 lampiran

Masalah utama dalam skripsi ini adalah mengenai substansi kasus tindak pidana penyertaan pembunuhan yang terdapat di dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 959K/Pid/2012 yang memvonis Supri Lubis, Daud Siregar, dan Ucok Lubis, dengan 12 tahun penjara. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apakah hukum Islam terhadap penyertaan pembunuhan, bagaimana pandangan hukum Islam terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut dan apa sanksi yang diterapkan dalam hukum Islam terhadap putusan tersebut.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang berarti penulis tidak menggunakan sample. Pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan dimana penulis melakukan pengidentifikasian secara sistemis dari sumber yang berkaitan dengan objek kajian. Setelah data diperoleh penulis menganalisis secara yuridis normatif data yang diperoleh terhadap objek kajian (Putusan Nomor 959K/Pid/2012).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hukum Islam memandang penyertaan pembunuhan sebagai suatu bentuk kejahatan. Perspektif hukum Islam terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan bahwasanya hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim Agung tidak sesuai dengan hukum Islam, karena hanya menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara, sedangkan hukuman yang dijatuhkan oleh Islam yaitu kisas, yang artinya harus dibunuh.

Pembimbing : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag Daftar Pustaka : Tahun 1986 s.d. Tahun 2013


(6)

ii

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (satu) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 23 Juni 2014


(7)

iii

Swt yang menganugerahkan sedikit ilmu-Nya kepada umat manusia. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw, yang membawa ilmu Allah dan memberi contoh bagaimana mengamalkan ilmu itu, kemudian semoga pula tersampaikan kepada keluarga dan sahabat Nabi secara keseluruhan.

Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang secara langsung telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dr. Phil. JM Muslimin, M.A

2. Ketua dan Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah. Dr. Asmawi. M.Ag dan Afwan Faizin. M.A. Terima kasih, atas ilmu, solusi dan saran Bapak selama menjadi ketua dan sekretaris SJS.

3. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi penulis. Terimakasih atas ilmu, waktu dan profesionalitas Bapak sebagai dosen pembimbing skripsi dalam membimbing penulis.

4. Kementerian Pendidikan dan Budaya dan Kementerian Agama yang telah memberikan beasiswa kepada penulis dari awal perkuliahan sampai akhir, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan Strata 1 penulis.


(8)

iv

6. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama penulis belajar di Universitas ini. 7. Para pimpinan perpustakaan. Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan

Perpustakaan FSH UIN Jakarta. Terima kasih, telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan.

8. Terimakasih penulis sampaikan secara khusus kepada Orang Tua penulis, Ayahanda Nani Achmad Zailani dan Ibunda Muslimah, karena mereka penulis ada sampai saat ini dan karena mereka penulis dapat menyelesaikan studi dan skripsi ini.

9. Terimakasih penulis sampaikan kepada kakak dan kakak ipar penulis, H. Ahmad Syauqi dan Hj. Netti Kurniasih, Hidayatullah dan Nita, Zulkarnain, Arief Zulfiqor dan Mella, Sabaruddin dan Ipah Musrifah, Syamsul Bakhri dan Rini, Syawaluddin Ikhsan dan Risa dan M. Salami dan Ida Rasyidah, dan kepada para keponakan-keponakan penulis, yang telah memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan studi dan skripsi penulis.

10.Kepada anak-anak BRT, Riadi Barkan, M. Ilham, A.C. Anhari, A. Rifai’i, dan Ali Al-Kaff.


(9)

v

12.Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga amal baik mereka diterima Allah Swt dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca. Amin.

Jakarta, 23 Juni 2014


(10)

vi

LEMBAR PERNYATAAN ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 5

D. Tinjauan Pustaka 6

E. Metode Penelitian 9

F. Sistematika Penulisan 12

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM HUKUM

PIDANA ISLAM

A. Konsep Tindak Pidana 14

1. Pengertian Tindak Pidana 14

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana 15

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana 16

B. Tindak Pidana Pembunuhan 18

1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan 18 2. Macam-Macam dan Sanksi Pembunuhan 19

3. Unsur-Unsur Pembunuhan 23


(11)

vii

2. Keturutsertaan Tidak Langsung 40

BAB IV PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 959K/PID/2012

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Deskripsi Kasus Pembunuhan 50

1. Kronologi Pembunuhan 50

2. Dakwaan dan Tuntutan Jaksa 56

B. Putusan Hakim Mahkamah Agung 58

C. Analisa Putusan Mahkamah Agung Perspektif Hukum Islam 61

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 75

B. Saran 75

DAFTAR PUSTAKA 77


(12)

1

Pada tahun-tahun terakhir ini semakin banyak terjadi kejahatan terhadap jiwa manusia atau pembunuhan dalam masyarakat.1 Hal ini merupakan suatu bentuk tindak pidana terhadap jiwa. Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh Undang-undang dinyatakan dilarang yang disertai ancaman pidana pada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.2 Di dalam Islam suatu perbuatan dapat dikatakan tindak pidana, jika memenuhi unsur-unsurnya, meliputi al-rukn al-syar’i atau unsur formil, al-rukn al-madi

atau unsur materiil, dan al- rukn al-adabi atau unsur moril.3 Di dalam hukum positif dan hukum Islam, tindak pidana tidak hanya terjadi pada satu orang pelaku saja, seperti di dalam hukum positif yang termaktub dalam KUHP yang menentukan bahwa barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.4 Pasal ini adalah salah satu contoh yang hanya memberikan gambaran tentang seseorang yang merampas nyawa (membunuh) seorang lain. Tetapi dalam kenyataan sering terjadi bahwa lebih dari seorang terlibat dalam satu

1

Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia Peluang, Prospek dan Tantangan,

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 87 2

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana: Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 67

3

Muhammad Nurul Irfan dan Masyrofah, fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 2-3 4


(13)

peristiwa tindak pidana5 atau apabila dalam suatu delict tersangkut beberapa atau lebih dari seseorang6 dikenal dengan istilah penyertaan.

Hazewinkel-Suringa (halaman 230) menceritakan bahwa dahulu kala perhatian hanya diarahkan kepada si pelaku saja, dan baru pada penghabisan abad ke-18 dalam hukum pidana mulai diperhatikan sampai di mana juga orang-orang lain yang turut serta itu dapat dipertanggungjawabkan dan dikenai hukuman.7

Moeljatno mengatakan bahwa ajaran penyertaan sebagai

strafaufdehnungsgrund atau sebagai ajaran yang memperluas dapat dipidananya orang yang tersangkut dalam timbulnya suatu perbuatan pidana. Karena sebelum seseorang dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, orang itu sudah harus melakukan perbuatan pidana. Oleh karena itu, di samping delik-delik biasa terdapat beberapa delik-delik seperti percobaan dan delik penyertaan yang memperluas dapat dipidananya orang yang tersangkut dalam timbulnya suatu perbuatan pidana (strafaufdehnungsgrund).8

Hubungan antar pelaku dalam melakukan tindak pidana tersebut dapat bermacam-macam yaitu; (1) bersama-sama dalam suatu kejahatan; (2) seorang mempunyai kehendak dan merencanakan sesuatu kejahatan

5

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), hlm. 213-214

6

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, (tt: Balai Lektur Mahasiswa, tt) hlm. 1

7

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama, 2003), hlm. 117

8


(14)

sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut; (3) seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu melaksanakan tindak pidana tersebut.9

Menurut hukum Islam, apabila beberapa orang bersama-sama melakukan suatu jarimah maka perbuatannya itu disebut turut berbuat jarimah atau dikenal dengan Al-Isytirak10 atau yang kita kenal dengan penyertaan. Islam membagi dua dalam penyertaan yaitu orang yang turut serta secara langsung dan orang yang tidak turut serta secara langsung, untuk membedakan antara orang yang turut serta secara langsung dan orang yang tidak turut serta secara langsung Fukaha memberikan dua pembagian sebagai berikut:

1. Orang yang turut serta secara langsung dalam melakukan tindak pidana (syarik mubasyir ; perbuatannya dinamakan isytirak mubasyir)

2. Orang yang turut serta secara tidak langsung dalam melakukan suatu tindak pidana (syarik mutasabbib ; perbuatannya disebut dengan isytirak ghair mubasyir atau isytirak bi tasabbub).

Dasar pembedaan antara keduanya: yang pertama melakukan secara langsung unsur material tindak pidana karena itu ia dinamakan syarik fil mubasyarah (onmiddellijke daders/pelaku langsung), sedangkan yang kedua

9

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana: edisi Revisi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 203-204

10

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 67


(15)

menjadi sebab terjadinya tindak pidana, baik karena janji, menghasut, atau memberikan bantuan, tetapi tidak turut serta secara langsung melakukan unsur material tindak pidana karena itu ia dinamakan syarik bi tasabbub (middellijke daders/pelaku-tidak langsung). Para Fukaha hanya menerima masalah

“keikutsertaan – langsung” dan kurang memerhatikan masalah “keikutsertaan –tidak langsung”.11

Di Indonesia terdapat tindak pidana penyertaan pembunuhan, seperti contoh kasus yang diputuskan oleh Mahkamah Agung nomor 959K/Pid/2012 terkait masalah penyertaan pembunuhan yang dilakukan oleh Supri Lubis alias Supri bersama-sama dengan Daud Siregar (DPO) dan Ucok Lubis (DPO) yang telah membunuh Fuad Hasan Nasution alias Lalat telah menggambarkan bagaimana penyertaan pembunuhan itu dilakukan yang dilakukan secara langsung.12 Bagaimana hukum Islam memandang akan dijelaskan dalam bab-bab berikutnya.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merasa tertarik untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang tindak pidana penyertaan pembunuhan. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pembunuhan ini, maka dari itu penulis curahkan dalam bentuk sebuah skripsi dengan judul :

“Tindak Pidana Penyertaan Pembunuhan Perspektif Hukum Pidana Islam

(Analisa Putusan Mahkamah Agung Nomor : 959K/Pid/2012)”.

11

Alie Yafie, dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam II, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu), hlm. 34-35

12


(16)

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan penelitian ini penulis mencoba untuk membatasi masalah ini sebagai berikut:

1. Tindak pidana penyertaan pembunuhan ini merupakan tindak pidana penyertaan pembunuhan seperti yang dimaksud dengan putusan Mahkamah Agung nomor 959K/Pid/2012.

2. Hukum Islam yang dimaksud adalah kajian hukum pidana Islam (fiqih jinayah) yang membahas tentang tindak pidana khususnya tindak pidana penyertaan pembunuhan.

Beralih dari pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka penulis mencoba untuk merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap penyertaan pembunuhan?

2. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap putusan Mahkamah Agung nomor: 959K/Pid/2012?

3. Bagaimana sanksi yang diterapkan terhadap putusan Mahkamah Agung nomor 959K/Pid/2012 menurut pandangan hukum Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Dalam penelitian ini, penulisan ini bertujuan untuk :

a. Menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap tindak pidana penyertaan pembunuhan.


(17)

b. Menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor 959K/Pid/2012.

c. Menjelaskan sanksi yang diterapkan dalam hukum Islam terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor 959K/Pid/2012.

2. Manfaat penelitian

a. Hasil penelitian ini berguna untuk pengembangan studi hukum Islam tentang hukum tindak pidana penyertaan pembunuhan. b. Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk pemerintah dalam

mengambil kebijakan hukum terkait dengan penyertaan pembunuhan.

c. Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk bahan pemikiran bagi hakim dalam menentukan hukuman yang terkait dengan tindak pidana penyertaan pembunuhan.

d. Hasil penelitian ini bermanfaat untuk pihak-pihak yang berkepentingan dalam transformasi hukum Islam dalam tindak pidana penyertaan pembunuhan.

e. Hasil penelitian ini bermanfaat untuk para akademisi yang ingin membahas lebih jauh lagi tentang tindak pidana penyertaan pembunuhan.

D. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan telaah yang telah dilakukan terhadap beberapa sumber kepustakaan, berhubungan dengan skripsi yang penulis buat, terdapat


(18)

sejumlah penelitian tentang topik tindak pidana yang dilakukan dengan penyertaan yang telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik maupun yang menyinggung secara umum. Untuk menghindari anggapan plagiasi terhadap karya tertentu, maka perlu dilakukan review yang pernah ada. Berikut tinjauan pustaka yang akan penulis paparkan.:

Karya ilmiyah dari skripsi Hanifah Azwar mahasiswi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul “Penyertaan dalam Pembunuhan Berencana dalam Hukum Islam dan Hukum Positif (Kajian

Yurisprudensi No. 1429K/Pid/2010)”. Pokok masalah yang dikaji membahas

tentang pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, pengertian penyertaan, bentuk-bentuk penyertaan, pengertian pembunuhan, macam-macam pembunuhan, sanksi pidana dan konsep pemaafan.

Temuan penting dalam skripsi ini adalah bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak sesuai dengan hukum Islam. Yang seharusnya dalam hukum Islam bahwa pembunuhan harus dihukum kisas, artinya pelaku harus dibalas dengan cara dibunuh lagi. Tetapi dalam putusan pengadilan tersebut pelaku dikenai sanksi penjara selama 18 tahun.

Jadi dalam skripsi ini hanya menitik beratkan sanksi pada pelaku utama saja, tanpa mencoba untuk melihat sanksi apa yang dijatuhkan kepada para pembantu perbuatan pidana tersebut, sedangkan skripsi yang ditulis oleh penulis ini ingin menjabarkan tentang semua pelaku penyertaan pembunuhan, mulai dari pelaku utama sampai dengan para pelaku pembantu.


(19)

Dalam skripsi yang ditulis oleh Hanifah Azwar tidak dicantumkan pembagian tindak pidana, sehingga penulis merasa perlu untuk memasukkan pembagian tindak pidana di dalam skripsi penulis. Selain itu dalam skripsi ini juga tidak dimasukan secara per bagian dasar hukum tindak pidana pembunuhan, hanya dibahas sekilas saja oleh karena itu penulis merasa perlu untuk mencantumkan dasar hukum dalam bagian tersendiri. Penyertaan yang dimaksud dalam skripsi Hanifah Azwar menurut hukum Islam merupakan turut serta secara tidak langsung, sedangkan penulis berkisar tentang penyertaan secara langsung. Meskipun terdapat kesamaan dalam menjelaskan tindak pidana penyertaan pembunuhan secara umum dengan putusan Mahkamah Agung yang berbeda.

Karya ilmiah dari skripsi Suniroh mahasiswi Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul “Sanksi Pidana Atas Tindak Pidana

Penyertaan dalam Perampokan Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum

Pidana Indonesia (Analisa Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat)”. Pokok

masalah yang dikaji membahas tentang pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, serta pembagian tindak pidana, pengertian penyertaan, bentuk-bentuk penyertaan, pengertian perampokan, bentuk-bentuk-bentuk-bentuk perampokan, sanksi pidana terhadap pelaku perampokan, sanksi pidana atas tindak pidana penyertaan perampokan.

Temuan penting dalam skripsi ini adalah bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tidak sesuai dengan hukum Islam. Yang seharusnya


(20)

dalam kasus tersebut menurut hukum Islam, apabila pelaku mengambil harta orang lain tanpa membunuh maka hukumannya adalah potong tangan dan kakinya secara bersilang apabila ia melakukan pencurian lagi. Sedangkan menurut hukum pidana Indonesia pelaku seharusnya dikenakan hukuman penjara paling lama 12 tahun karena perbuatan tersebut dilakukan di jalan umum.

Jadi dalam skripsi ini hanya menitikberatkan pada sanksi yang diberikan pada pelaku perampokan yang disertai dengan kekerasan, sedangkan skripsi yang ditulis oleh penulis ini menjelaskan tentang penyertaan pembunuhan, meskipun terdapat kesamaan dalam menjelaskan tindak pidana penyertaan secara umum dengan kasus penyertaan yang berbeda.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian hukum di bagi menjadi dua, yaitu penelitian kualitatif dan kuantitatif.13 Penelitian kualitatif berarti tidak membutuhkan populasi dan sampel, penelitian kuantitatif berarti menggunakan populasi dan sampel dalam mengumpulkan data.14 Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Demikian juga hukum

14


(21)

dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat yang berkenaan dengan objek penelitian.15

2. Teknik pengumpulan data dan sumber data

Teknik pengumpulan data penelitian ini adalah menggunakan studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang digunakan dalam penelitian hukum normatif.16 Studi kepustakaan merupakan upaya pengidentifikasian secara sistematis dan melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan tema, objek dan masalah dalam suatu penelitian.17

Adapun sumber hukum yang penulis gunakan adalah sebagai berikut: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang

mengikat.18 Dalam skripsi ini penulis menggunakan Al-Quran, Hadis, Kitab dan yurisprudensi sebagai bahan hukum primer. Yurisprudensi tersebut adalah putusan Mahkamah Agung nomor 959K/Pid/2012 tentang tindak pidana penyertaan pembunuhan.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti Rancangan Undang-Undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan

15

Zainuddin ali, Metode Penelitian Hukum, hlm. 105-106 16

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hlm. 50 17

Jaenal Aripin dkk, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), hlm. 17

18

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjauan singkat),


(22)

hukum dan seterusnya. Penulis menggunakan buku-buku yang terkait dengan masalah yang diteliti dalam penelitian ini. c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan seterusnya.19

3. Teknik analisi data

Analisis data pada penelitian hukum lazimnya dikerjakan melalui pendekatan kuantitatif dan atau pendekatan kualitatif.20 Di dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, analisis data yang digunakan adalah analisis yuridis-normatif yang berarti membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum. Penelitian yang menggunakan teknik analisis yuridis-normatif merupakan penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.21

4. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan pada penulisan skripsi ini merujuk pada penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

19

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjauan singkat),

hlm. 13 20

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, hlm. 19 21


(23)

F. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Dalam BAB I penulis menguraikan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM HUKUM

ISLAM

Dalam BAB II penulis menguraikan tentang tindak pidana pembunhan yang terdiri dari : konsep tindak pidana yang meliputi pengertian tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana, dan pembunuhan yang meliputi penegrtian pembunuhan, macam-macam pembunuhan, unsure-unsur pembunuhan, dan konsep diat dalam pembunuhan.

BAB III PENYERTAAN DALAM HUKUM ISLAM

Dalam BAB III penulis menguraikan tentang penyertaan yang meliputi: Pengertian penyertaan dan bentuk penyertaan.

BAB IV PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR

959K/PID/2012 PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Dalam BAB IV penulis menguraikan tentang analisis terhadap putusan Mahkamah Agung nomor 959K/Pid/2012 perspektif hukum Islam yang meliputi deskripsi kasus tindak pidana


(24)

penyertaan pembunuhan yang terdiri dari: kronologis pembunuhan, dakwaan dan tuntutan jaksa, putusan hakim Mahkamah Agung, dan analisa putusan Mahkamah Agung.

BAB V PENUTUP

Dalam BAB V penulis menguraikan tentang penutup yang merupakan hasil akhir meliputi kesimpulan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan. Kemudian pada penutup ini penulis juga memberikan saran-saran sesuai dengan pokok permasalahan yang penulis kaji.


(25)

14 BAB II

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN MENURUT HUKUM ISLAM

A. Konsep Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Menurut Al-mawardi sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Qadir Audah, tindak pidana diartikan sebagai jarimah yaitu perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syarak yang diancam oleh Allah Swt. dengan hukuman hudud atau takzir.1 Larangan-larangan syarak tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan.2

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah melakukan setiap perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan, atau melakukan atau meninggalkan perbuatan yang telah ditetapkan hukum Islam atas keharaman dan diancamkan hukuman terhadapnya.3

Dalam banyak kesempatan fukaha sering kali menggunakan kata يانجْلا. Secara etimologis ه ستْكا امو ِرش ْنم ءْرمْلا هْينْجي امل ٌمْسإ artinya suatu hasil perbutan buruk yang dilakukan seseorang. Kata يانجْلا adalah bentuk masdar dari kata ىنج yang berarti seseorang melakukan perbuatan, dan ini adalah arti

1

Alie, Yafie, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam I, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu), hlm. 87 2

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i fil Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i,

(Beirut: Al-Resalah, 1998), Juz I hlm. 66 3

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i fil Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i, Juz I,


(26)

secara umum. Akan tetapi biasanya secara khusus dibatasi untuk perbuatan yang dilarang saja.4

Adapun secara istilah ilmu fikih jinayah adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh syarak, baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta, maupun yang lainnya. Akan tetapi mayoritas Fukaha menggunakan kata يانجْلا hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa atau anggota badan seseorang, seperti pembunuhan, penganiayaan, pemukulan, dan pengguguran kandungan. Adapula sebagian fukaha yang membatasi pemakaian kata يانجْلا kepada tindak pidana (jarimah) hudud dan kisas.5

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Ditinjau dari hukum Islam unsur-unsur jarimah atau tindak pidana dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:

a. Al-rukn al-Syar’i atau unsur formil ialah unsur yang menyatakan bahwa seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika ada undang-undang yang secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana.

b. Al-rukn al-madi atau unsur materil ialah unsur yang menyatakan bahwa seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia benar-benar terbukti melakukan sebuah jarimah, baik yang bersifat positif (aktif dalam melakukan sesuatu) maupun yang bersifat negatif (pasif dalam melakukan sesuatu).

4

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i fil Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i, Juz I,

hlm. 67 5


(27)

c. Al-rukn al-adabi atau unsur moril ialah unsur yang menyatakan bahwa seseorang dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila, anak di bawah umur, atau sedang di bawah ancaman.6

Di samping ketiga unsur di atas, setiap jarimah (tindak pidana) mempunyai unsur-unsur khusus atau tersendiri pula yang antara satu bentuk tindak pidana dan tindak pidana lainnya berbeda-beda. Misalnya, dalam tindak pidana pencurian, barang yang dicuri itu mencapai satu nisab dan barang yang dicuri diambil dari tempatnya secara diam-diam.7

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Ditinjau dalam hukum Islam tindak pidana atau jarimah terbagi atas tiga bagian, yaitu:

a. Jarimah kisas.

Kisas secara bahasa berarti sama rata, sepadan. Kata ini diambil dari kata qashsh yang artinya pemotongan, atau dari kata iqtishash al-atsar

(mengikuti jejak). Definisi kisas secara istilah yaitu menindak pelaku kejahatan; pembunuhan, pemotongan anggota tubuh, atau melukai anggota tubuh, dengan hal yang sepadan.8

Terbagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Kisas karena melakukan jarimah pembunuhan, 2. Kisas karena melakukan penganiayaan.

6

Muhammad Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, hlm. 2-3 7

Rahman Ritonga, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), jilid III, hlm. 806

8


(28)

b. Jarimah hudud.

Kata dasar hudud adalah had secara bahasa yaitu عْنمْلا yang artinya mencegah.9 Sedangkan menurut syara’, hudud adalah hukuman yang terukur atas berbagai perbuatan tertentu, atau hukuman yang telah dipastikan bentuk dan ukurannya di dalam syariat, baik hukuman itu karena melanggar hak Allah maupun merugikan hak manusia.10

Terbagi menjadi tujuh bagian, yaitu: Jarimah zina, Jarimah qadzaf

(menuduh muslimah baik-baik berbuat zina), Jarimah syurb al-khamr

(meminum minuman keras), Jarimah al-baghyu (pemberontakan), Jarimah al-riddah (murtad), Jarimah al-sariqah (pencurian), Jarimah al-hirabah

(perampokan).11

Terbagi lagi menjadi dua bagian jika ditinjau dari segi dominasi hak, yaitu: Hudud yang termasuk hak Allah, Hudud yang termasuk hak manusia.12

c. Jarimah takzir.

Menurut bahasa, takzir yaitu menghukum, diambil dari kata dasar رزعْلا bermakna عْنمْلا(mencegah).13

Sedangkan menurut istilah yang dikemukakan Abu Zahra, takzir adalah sanksi-sanksi hukum yang tidak disebutkan oleh Syari’ )Allah dan

9

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i fil Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i,

(Beirut: Al-Resalah, 1998), Juz II, hlm. 343. 10

Wahbah, Zuhaili, Al-Fiqhu As-Syafi’i Al-Muyassar, hlm. 259 11

Sayyid Sabiq, Fiqh As-sunnah, (tt: tp: tt), hlm. 228 12

M. Nurul Irfan, dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, hlm 16 13


(29)

Rasulullah) tentang jenis dan ukurannya. Syari’ menyerahkan penentuan ukurannya kepada ulul amri atau hakim yang mampu menggali hukum.14

B. Tindak Pidana Pembunuhan

1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan

Pembunuhan merupakan perbuatan dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain.15 Menurut hukum Islam pembunuhan disebut dengan لْتقْلا berasal dari kata لتق yang sinonimnya اما artinya mematikan. Abdul Qadir Audah memberikan definisi pembunuhan sebagai berikut:

Artinya: “Pembunuhan adalah perbuatan manusia yang menghilangkan kehidupan yakni pembunuhan itu adalah menghilangkan

nyawa manusia dengan sebab perbuatan manusia lain”.16

Pembunuhan merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran Surah Al-An’am ayat 151





 











Artinya: “dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan

Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar" .(Al-An’am )6) : 151).17

14

Abu Muhammad Zahra, Al-Jarimah wa Al-‘Uqubah fi Fiqh Al-Islami, (Kairo: Dar Al-Arabi, 1998), hlm. 57.

15

Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, hlm. 29 16

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanun Al-Wad’i,

(Beirut: Al-Risalah, 1998), juz II, hlm. 6 17


(30)

2. Macam-Macam Pembunuhan dan Sanksi Pidana Pembunuhan

Hukum Islam mengatur tindakan penghilangan nyawa manusia ada tiga macam, yaitu sebagai berikut.

1. Pembunuhan sengaja (‘amd),

Pembunuhan sengaja )‘amd) yaitu tindak pembunuhan terencana menggunakan alat yang dapat mematikan, baik berupa benda tumpul seperti kayu atau batu maupun benda tajam seperti pisau dan sejenisnya.18

Menurut Abdul Qadir Audah,

Artinya: “Pembunuhan sengaja adalah suatu pembunuhan dimana

perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa itu disertai dengan niat

untuk membunuh korban”.19 Menurut Sayid Sabiq,

Artinya: “Pembunuhan sengaja adalah suatu pembunuhan di mana seorang mukallaf sengaja untuk membunuh orang lain yang dijamin keselamatannya, dengan menggunakan alat yang menurut dugaan kuat dapat membunuh (mematikan)“.20

Adapun dasar hukum penghukuman bagi pelaku pembunuhan ini adalah ayat Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 178

18

Wahbah, Zuhaili, Al-Fiqhu As-Syafi’i Al-Muyassar, hlm. 154 19

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanun Al-Wad’i, hlm.

10. Paragraf 6, lihat juga Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, hlm. 20


(31)

                                                                         ) رق ْلا) )

:

٨٧ ( Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu kisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya

siksa yang sangat pedih“. (Al-Baqarah(2) : 178).21 Dasar hukum dari hadis Nabi adalah

Artinya: “Dari Abi Syuraih Al-Khuza’i ia berkata: telah bersabda Rasulullah Saw.: maka barangsiapa yang salah seorang anggota keluarganya menjadi korban pembunuhan setelah ucapanku ini, keluarganya memiliki dua

pilihan: adakalanya memilih diat, atau memilih kisas”.(Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i).

Berdasarkan ayat dan hadits di atas hukuman bagi pembunuhan sengaja adalah terdiri dari dua pilihan, yaitu: kisas dan diat mughallazah

apabila keluarga memaafkan22. Selain dari kedua itu sebagian fukaha berpendapat dalam hukuman pokok terdapat hukuman lain yaitu takzir dan kafarat, ini merupakan hukuman pengganti. Hukuman tambahan dari

21

Lihat Al-Quran Surah Al-Baqarah (2) ayat 178 22


(32)

pembunuhan ini ada dua: pencabutan hak mewaris, dan pencabutan hak menerima wasiat.23

2. Pembunuhan tidak sengaja (khata’)

Pembunuhan tidak sengaja (khata’) yaitu pelaku tidak berencana melakukan pembunuhan. Misalnya dia melempari sesuatu seperti tembok, hewan, atau pohon lalu lemparan itu mengenai orang; atau dia terjatuh dari tempat yang tinggi dan menimpa orang di bawahnya hingga tewas. Pada contoh pertama pelaku sengaja melakukan sesuatu (lemparan) tanpa maksud mengenai target seseorang, sedangkan yang kedua pelaku tidak merencanakan keduanya.

Sayid Sabiq berpendapat,

Artinya: “Pembunuhan karena kesalahan adalah apabila seorang

mukallaf melakukan perbuatan yang dibolehkan untuk dikerjakan, seperti menembak binatang buruan atau membidik suatu sasaran, tetapi kemudian

mengenai orang yang dijamin keselamatannya dan membunuhnya”.24 Wahbah Zuhaili memberikan definisi sebagai berikut,

Artinya: “Pembunuhan karena kesalahan adalah pembunuhan yang

terjadi tanpa maksud melawan hukum, baik dalam perbuatannya maupun

objeknya“.25

23

Alie Yafie, Ensiklopedi Hukum Islam III, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu),hlm. 271 24

Sayid Sabiq, Fiqh As-sunnah Juz II, hlm. 331 25


(33)

Dasar hukum penghukuman pembunuhan ini adalah Al-Quran Surah An-Nisa ayat 92.

                                    

Artinya: Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga

terbunuh) bersedekah“. (An-Nisa (4) : 92)26

Pembunuhan ini mendapatkan hukuman berupa kewajiban membayar diat ringan (mukhaffafah) terhadap ahli waris ashabah (‘aqilah) pelaku yang dibayar dalam jangka waktu tiga tahun.27 Sayid Sabiq menerangkan bahwasanya tidak hanya sebatas diat ringan tetapi pelaku juga menunaikan kafarah, yaitu memerdekakan budak mukmin, jika tidak mampu maka pelaku harus berpuasa dua tahun berturut-turut.28

3. Pembunuhan semi sengaja (syibh ‘amd)atau sengaja tapi keliru (‘amdal-khata’).

Pembunuhan semi sengaja (syibh ‘amd) atau sengaja tapi keliru (‘amdal-khata’), yaitu berencana melakukan pembunuhan dengan alat yang biasanya tidak mematikan. Misalnya memukul seseorang dengan tongkat

26

Lihat Al-Quran Surah An-Nisa (4) ayat 92 27

Wahbah, Zuhaili, Al-Fiqhu As-Syafi’i Al-Muyassar, hlm. 154 28


(34)

yang ringan atau cambuk dan sebagainya yang tidak mematikan, lalu dia tewas.29

Abdul Qadir Audah berpendapat,

Artinya: “Pembunuhan menyerupai sengaja adalah suatu

pembunuhan di mana pelaku sengaja memukul korban dengan tongkat, cambuk, batu, tangan, atau benda lain yang mengakibatkan kematian“.30

Jenis hukuman pembunuhan ini adalah diat mughallazhah yang diberikan waktu31 dan kafarat. Hukuman pengganti yaitu takzir sebagai pengganti diat dan puasa sebagai pengganti kafarat, yaitu memerdekakan budak atau bersedekah sesuai dengan harganya. Hukuman tambahan pencabutan hak mewaris, dan pencabutan hak menerima wasiat.32

3. Unsur-Unsur Pembunuhan

Unsur-unsur pembunuhan dalam Islam terkait dengan jenis-jenis dan macam-macam pembunuhan. Menurut Abdul Qadir Audah, Pembunuhan sengaja memiliki unsur-unsur: 1. Korban yang dibunuh adalah manusia yang hidup, 2. Pembunuhan itu merupakan perbuatan si pelaku, 3. Adanya maksud dari pelaku untuk membunuh.33

Pembunuhan menyerupai sengaja memiliki unsur-unsur sebagai berikut : 1. Adanya perbuatan pelaku ang mengakibatkan kematian, 2. Adanya

29

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu As-Syafi’i Al-Muyassar, hlm. 154 30

Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, hlm. 141 31

Wahbah Zuhaili, Al-Fi qhu As-Syafi’i Al-Muyassar, hlm. 154 32

Alie Yafie, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam III, hlm. 348 33

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanun Al-Wad’i Juz II, hlm. 12


(35)

kesengajaan dalam melakukan perbuatan, 3. Kematian adalah akibat dari perbuatan pelaku.34

Menurut Abdul Qadir Audah, pembunuhan karena kesalahan memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 1. Adanya perbuatan yang mengakibatkan matinya korban, 2. Perbuatan tersebut terjadi karena kesalahan (kelalaian) pelaku, 3. Antara perbuatan kekeliruan dan kematian korban terdapat hubungan sebab akibat.35

4. Konsep Diat Menurut Hukum Islam

Pengertian diat:

Menurut Sayid Sabiq diat adalah

Artinya: “Diat adalah sejumlah harta yang wajib ditunaikan dengan sebab tindak kejahatan dan diserahkan kepada pihak korban atau walinya”.

Dikatakan لْيتقْلا ْيدو maksudnya aku menyerahkan diat kepada pihak korban. Ketentuan diat berlaku terkait tindak kejahatan yang ada kisasnya dan yang tidak ada kisasnya.36

Diat merupakan hukuman pokok dalam pembunuhan semi sengaja dan tersalah. Diat juga merupakan hukuman pengganti kisas dalam tindak pidana pembunuhan atau pelukaan yang dilakukan secara sengaja, apabila kisas

34

Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, hlm. 142-143 35

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanun Al-Wad’i Juz II, hlm.108 paragraf 128, lihat Ahmad Wardi Muslih, Hukum Pidana Islam, hlm. 146.

36


(36)

digugurkan atau tidak bisa dilaksanakan.37 Hal ini untuk menunjukkan tidak terukurnya tindak penganiayaan tersebut.38

Dasar hukum diat:

Dasar hukum diat adalah firman Allah Swt. Surah An-Nisa ayat 92,

                                                                                                            

Artinya: “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang

mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah

Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(An-Nisa (4): 92)39

Syarat-syarat wajibnya diat:

1. ‘Ishmah

37

A. Rahman Ritonga, dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1999), jilid III, hlm. 206

38

H.E. Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm. 434

39


(37)

Yakni, korban yang dibunuh adalah orang yang berstatus

ma’shuum (memiliki ‘ishmah), yakni terlindungi darahnya. Pendapat ini sejalan dengan jumhur.

2. At-Taqawwun

Yakni, korban yang dibunuh statusnya adalah mutaqawwim

(memiliki nilai).40

Macam-macam diat:

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan jenis diat. Menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi’i dalam qaul qadim, diat dapat dibayar dengan salah satu dari tiga jenis, yaitu unta, emas, atau perak. Alasannya sebagai berikut.41

1. Hadis yang diriwayatkan oleh Amr ibn Hazm dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah menulis surat kepada penduduk Yaman. Di antara surat itu adalah:

Artinya: “Sesungguhnya barangsiapa yang membunuh seorang

mukmin tanpa alasan yang sah dan ada saksi, ia harus dikisas kecuali apabila keluarga korban merelakan (memaafkannya), dan sesungguhnya dalam

menghilangkan nyawa harus membayar diat, berupa seratus ekor unta”.42 2. Dalam lanjutan hadis Amr bin Hazm tersebut di atas yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i, Rasulullah menyatakan:

40

Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr, 2007), hlm. 632 41

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, hlm. 167 42 Abi Abdurrahman Ahmad ibn Syu’aib An

-Nasa’i, As-Sunan Al-Kubro, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Ilmiyah, 1991), hlm. 245, kitaab Al-Qasamah hadis Nomor 7058


(38)

Artinya: “dan untuk keluarga yang memiliki emas, diatnya adalah

seribu dinar”.43

3. Penetap Sayidina Umar dalam hadis (atsar) yang diriwayatkan oleh Baihaqi melalui Imam Syafi’i. Sayidina Umar menetapkan untuk penduduk yang memiliki emas, diatnya adalah seribu dinar, dan untuk perak diatnya adalah sepuluh ribu dirham.

Menurut Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad ibn Hasan, dan Imam Ahmad ibn Hanbal, jenis diat itu ada enam macam, yaitu: unta, emas, perak, sapi, kambing, dan pakaian.44 Dalil pendapat ini adalah khutbah Umar ibn Khattab r.a sebagaimana yang dikutip oleh Wahbah Zuhaili,

“sesungguhnya harga unta benar-benar telah mahal. “perawi

berkata, “lantas Umar ibn Khattab r.a menetapkan seribu dinar terhadap

pemilik emas, dua belas ribu dirham terhadap pemilik perak, dua ratus ekor sapi terhadap pemilik sapi, dua ribu ekor kambing terhadap pemilik kambing

dan dua ratus setel pakaian kepada pemilik pakaian“.45

Diat mughallazah (diperberat) dan diat mukhaffafah (diperingan).

Ketentuan diat ada yang berat dan ada yang ringan. Diat ringan ditetapkan terkait pembunuhan yang dilakukan tanpa sengaja. Sedangkan diat berat ditetapkan terkait pembunuhan yang dilakukan semi sengaja. Adapun diat pembunuhan sengaja apabila wali korban memafkan, menurut Syafi’i dan penganut madzhab Hanbali dalam kondisi ini ditetapkan adalah diat berat. Menurut Abu Hanifah, tidak ada diat terkait pembunuhan sengaja, tetapi yang

43Abi Abdurrahman Ahmad ibn Syu’aib An

-Nasa’i, As-Sunan Al-Kubro, hlm. 245, kitaab Al-Qasamah hadis Nomor 7058

44

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, hlm. 167-168 45


(39)

ditetapkan dalam kasus seperti ini adalah apa yang disepakati dalam perdamaian antara kedua belah pihak, dan yang mereka sepakati dalam perdamaian ini tidak dapat ditangguhkan.

Diat berat adalah seratus unta yang empat puluh di antaranya mengandung anak di dalam perutnya.46 Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah :

Artinya: Telah meriwayatkan kepada kami, Muhammad ibn Bassyar.

‘Abdurrahman ibn Muhdiy dan Muhammad ibn Ja’far berkata: “Syu’bah dari Ayyub aku telah mendengar dari Qasim ibn Rabi’ah dari ‘Abdillah ibn

Umar dari Nabi Saw berkata: pembunuhah semi disengaja dengan tongkat, dan batu. Dalam pembunuhan ini ditetapkan dengan diat berat, seratus unta yang empat puluh di antaranya adalah unta yang bunting, di dalam perutnya

ada anaknya”.47

Riwayat lain menjelaskan sebagaimana hadis yang dikeluarkan oleh Tirmidzi dari Amru bin Syueb:

46

Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah Juz II, hlm. 353-354 47 Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Yazid Al

-Qazwiniy, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar al-Kitab, t.th), hlm. 877. kitaab Ad-Diyaah, hadits nomor2627


(40)

Artinya: “Telah meriwayatkan kepada kami oleh Ahmad ibn Sa’id Ad -Darimi: telah meriwayatkan Hubban (dia ibn Hilal): telah meriwayatkan oleh Muhammad ibn Rasyid: telah meriwayatkan oleh Sulaiman ibn Musa dari

‘Amar ibn Syu’aib, dari Bapaknya, dari kakeknya bahwa Nabi Muhammad Saw berkata: “Barangsiapa membunuh seorang muslim dengan sengaja

diserahkan kepada wali korban, jika wali korban menginginkan kisas maka dikisas, jika mereka menginginkan diat yaitu tiga puluh Hiqqah, tiga puluh

jaza’ah, dan empat puluh khalifah. Jika mereka memafkan terhadap si pelaku maka diat itu untuk diberikan kepada mereka”. (H.R. Tirmidzi).48

Selain Hanafiah, Muhammad ibn Hasan, dan Hanabilah diat

mughalladzah atau berat ini komposisinya dibagi empat kelompok, yaitu: 25 ekor unta bintu makhadl (unta betina umur 1-2 tahun), 25 ekor unta bintu labun (unta betina umur 2-3 tahun), 25 ekor unta hiqqah (umur 4-3 tahun), 25 ekor unta jadzaah (umur 4-5 tahun). Pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Az-Zuhri dari Saib ibn Yazid, ia berkata:

Artinya: “diat pada masa Rasulullah saw, dibagi empat kelompok,

dua puluh lima ekor unta jadza’ah, dua puluh lima ekor unta hiqqah, dua puluh lima ekor unta bintu labun, dan dua puluh lima ekor unta bintu

makhadl”.

Pemberatan diat dalam pembunuhan sengaja dan menyerupai sengaja, dapat dilihat dalam tiga aspek, yaitu: 1. Pembayaran ditanggung sepenuhnya oleh pelaku, 2. Pembayaran harus tunai, 3. Umur unta lebih dewasa. Misalnya,

48Abi ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Suurah ibn musa at

-Tirmidzi, jaami’u At-Tirmidzi,


(41)

menurut Syafi’iyyah, unta harus berumur tiga tahun ke atas, bahkan sebagian harus sedang bunting.49

Adapun diat ringan yang merupakan hukuman bagi pembunuhan tidak sengaja atau tersalah yaitu: yaitu 100 ekor unta yang terdiri dari, 20 ekor Hiqqah, 20 ekor Jadzaah, 20 ekor unta bintu makhadl, 20 ekor Bintu Labun, 20 ekor Ibnu Makhadl jantan.50 Berdasarkan hadis Nabi sebagai berikut:

Aspek lainnya diat ringan yaitu kewajiban pembayaran dibebankan kepada ‘aqilah (keluarga) dan pembayaran dapat diangsur selama tiga tahun.52

49

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, hlm. 171 50

H. Abdul Fatah Idris, dan H. Abu Ahmadi, Fikih Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), hlm. 302

51Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Yazid Al

-Qazwiniy, Sunan Ibn Majah, hlm. 879 kitaab Ad-diyah hadis nomor 2631

52


(42)

31 BAB III

PENYERTAAN DALAM HUKUM ISLAM

A. Konsep Penyertaan dalam Tindak Pidana

1. Pengertian Penyertaan

Dalam hukum Islam penyertaan berasal dari kataاكاَ تْشإ ك َتْشَي َكَ َتْشإ yang berarti turut.1 Menurut Abdul Qadir Audah penyertaan adalah

ْدَ َْت ْيف ْم ْم ّك ْم اَسْيف َ ْ ددَعَتم داَ ْفَأ اَ كَتْ َي ْدََ دحاَ دْ َف َ ْي َجْلا كَتْ َي َعَم َ اَعَتَي ْ َأ اَ ْي

اَ ْي َْت َلَع ْيَغ Artinya: “suatu jarimah kadang-kadang dilakukan oleh individu sendiri, kadang-kadang dilakukan oleh beberapa orang yang masing-masing individu mendapat bagian dalam pelaksanaan jarimah tersebut atau saling

membantu satu dengan yang lainnya demi terlaksananya jarimah tersebut”.2 Tindak pidana yang apabila dilakukan oleh beberapa orang, bentuk kerjasama mereka tidak keluar dari empat kondisi berikut:

1. Pelaku turut melakukan tindak pidana, yakni melakukan unsur material tindak pidana bersama orang lain (memberikan bagiannya dalam dalam melaksanakan pidana tersebut);

2. Pelaku mengadakan pemufakatan dengan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana;

1

A.W.Munawir, dan Muhammad Fairuz, Kamus Al-Munawwir Indonesia-Arab, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007), hlm. 800.

2

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri Al-Jina’i fi Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i, (Beirut: Al-Risalah, 1998), juz II, hlm. 357


(43)

3. Pelaku menghasut orang lain untuk melakukan tindak pidana; 4. Pelaku memberi bantuan atau kesempatan untuk dilakukannya

tindak pidana dengan berbagai cara, tanpa turut melakukan.3

Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud penyertaan dalam tindak pidana adalah apabila dalam suatu tindak pidana terdapat dua orang atau lebih dalam menjalankan tindak pidana tersebut.

Adapun syarat-syarat umum keturutsertaan adalah sebagai berikut: a. Para pelaku terdiri atas beberapa orang. Jika pelaku sendirian,

tidak ada istilah keturutsertaan langsung atau keturutsertaan tidak langsung.

b. Para pelaku dihubungkan kepada suatu perbuatan yang dilarang yang dijatuhi hukuman atas pelanggarannya. Jika perbuatan yang dihubungkan kepadanya tidak demikian, berarti tidak ada tindak pidana dan selanjutnya tidak ada istilah keturutsertaan.

2. Bentuk Penyertaan

Menurut hukum Islam, para fuqaha membedakan penyertaan ini dalam dua bagian, yaitu: turut berbuat langsung (isytirak bil-mubasyir), orang yang melakukannya disebut syarik mubasyir dan turut berbuat tidak langsung (isytirak ghairul mubasyir/isytirak bit-tasabbub), orang yang melakukannya

3


(44)

disebut syarik mutasabbib.4 Perbedaan antara kedua orang tersebut ialah kalau orang pertama menjadi kawan nyata dalam pelaksanaan jarimah, sedang orang kedua menjadi sebab adanya jarimah, baik karena janji-janji atau menyuruh atau memberikan bantuan, tetapi tidak ikut serta secara nyata dalam melaksanakannya.5

Harus dicermati terlebih dahulu bahwa para fukaha hanya mencermati

masalah “keturutsertaan langsung” dan kurang memerhatikan masalah

“keturutsertaan tidak langsung”. Hal ini disebabkan karena dua hal,

Sebab pertama, para fukaha memusatkan perhatian mereka untuk menerangkan hukum-hukum pidana yang bentuk ukuran hukumannya telah ditentukan oleh syarak, yaitu semua tindak pidana hudud dan kisas, karena keduanya adalah tindak pidana yang bersifat tetap, tidak bisa diubah. Selain itu, hukuman-hukumannya telah ditetapkan, tidak bisa ditambah atau dikurangi. Adapun pada tindak pidana takzir, para fukaha kurang memerhatikannya dan tidak menyusun hukum-hukumnya secara khusus karena pada umumnya tindak pidana-tindak pidana takzir tidak bersifat tetap, dapat berubah berdasarkan perubahan tempat dan waktu serta perbedaan sudut pandang. Karena itu, hukuman-hukumannya bisa ditambah atau dikurangi.

Sebab kedua, kaidah (prinsip) umum dalam hukum Islam menetapkan bahwa hukuman yang telah ditentukan hanya dijatuhkan kepada orang yang

4

Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, hlm. 154 5


(45)

melakukan tindak pidana secara langsung, bukan kepada pelaku tidak langsung. Kaidah ini diterapkan oleh imam Abu Hanifah secara teliti.

Para Fukaha yang lain mengecualikan kaidah tersebut pada tindak pidana yang lain, yaitu tindak pidana pembunuhan dan pelukaan. Mereka beralasan bahwa tindak pidana tersebut sesuai dengan tabiatnya dapat dilakukan dengan langsung dan tidak langsung. Jika kaidah tersebut hanya diterapkan atas pelaku langsung, hukuman yang telah ditentukan itu tidak bisa dijatuhkan kepada pelaku langsung, padahal ia juga turut melakukan unsur material tindak pidana, seperti pelaku langsung. Akan tetapi, para fukaha membatasi pengecualian ini hanya pada para pelaku langsung. Adapun para pelaku langsung tunduk kepada kaidah tersebut.

Jadi berdasarkan kaidah umum tersebut, pelaku tidak langsung, penghasut misalnya, apabila turut melakukan tindak pidana yang diancamkan hukuman tertentu, ia tidak dikenai hukuman tersebut sebab hukuman tersebut hanya diancamkan kepada pelaku langsung. Artinya, keturutsertaan tidak langsung termasuk tindak pidana takzir, baik pidananya itu hudud, kisas, maupun takzir.6

1. Turut berbuat langsung

Menurut Abdul Qadir Audah, turut berbuat langsung adalah,

اََجْلا ددَعَت َلاَح ْيف دَجْ ي كاَ تْشإْلا َ م عْ لا اَ َ َأ ّْصَأْلا : َ ْي شَ ْلا َكَ َتْشإ ْك َ ْ شَي َ ْي لا

داَ ْلا َ ْي َجْلا

6


(46)

Artinya: “Turut berbuat langsung pada dasarnya baru terjadi apabila orang yang melakukan jarimah dengan nyata lebih dari seseorang atau

berbilangnya jumlah pelaku“.7

Turut berbuat langsung dapat terjadi, manakala seorang melakukan sesuatu perbuatan yang dipandang sebagai permulaan pelaksanaan jarimah yang sudah cukup disifati sebagai maksiat dan yang dimaksudkan untuk melaksanakan jarimah itu. Dengan istilah sekarang yaitu apabila ia telah melakukan percobaan, baik jarimah yang diperbuatnya itu selesai atau tidak, karena selesai atau tidaknya suatu jarimah tidak mempengaruhi kedudukannya sebagai orang yang turut berbuat langsung. Pengaruhnya hanya terbatas pada besarnya hukuman, yaitu apabila jarimah yang diperbuatnya itu selesai, sedang jarimah itu berupa jarimah had, maka pembuat dijatuhi hukuman had, dan kalau tidak selesai maka hanya dijatuhi hukuman takzir.8

Di dalam turut berbuat langsung ini terdapat istilah yang dikenal dengan tawafuq dan tamallu‘. Mayoritas fukaha membedakan antara

tanggung jawab pelaku langsung pada kasus kebetulan atau spontanitas (tawafuq) dan kasus pidana yang sudah direncanakan sebelumnya (tamalu). Pada kasus kebetulan, setiap pelaku langsung hanya bertanggung jawab atas akibat perbuatannya dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain.

7

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri Al-Jina’i fi Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i, juz II, hlm. 360.

8


(47)

Tawafuq bermakna niat orang-orang yang turut-serta dalam tindak pidana adalah untuk melakukannya, tanpa ada kesepakatan (pemufakatan) sebelumnya di antara mereka. Dengan kata lain, masing-masing pelaku berbuat karena dorongan pribadinya dan pikirannya yang timbul seketika itu. Dalam kasus tamalu, para pelaku telah sepakat untuk melakukan suatu tindak pidana dan menginginkan bersama terwujudnya hasil tindak pidana itu. 9

Perlu dicatat bahwa fuqaha berbeda pendapat dalam mendefinisikan makna at-tamallu‘. Ulama Hanafiah, Ulama Syafi’iyyah, dan Ulama Hanabillah berdasarkan pendapat yang lebih raajih menurut mereka, mengatakan bahwa at-tamallu‘ menurut istilah mereka adalah kesamaan keinginan para pelaku dalam suatu tindakan meskipun tidak didahului dengan adanya kesepakatan di antara mereka sebelumnya, sekiranya mereka bersama-sama melakukan tindakan kejahatan itu secara spontan meski tanpa didahului dengan adanya rencana atau kesepakatan sebelumnya (pengeroyokan yang terjadi spontan). Jadi menurut mereka, at-tamallu‘ memiliki makna lebih luas, mencakup pengeroyokan yang berarti tidak ada kesepakatan atau perencanaan sebelumnya, dan mencakup perkomplotan atau konspirasi yang berarti sebelumnya telah ada kesepakatan.10

9

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri Al-Jina’i fi Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i, juz II, hlm. 360-361.

10

Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu juz VII, (Damaskus: Daarul Fikr, 2007), hlm. 564.


(48)

Sementara itu, ulama Malikiyah mengatakan, at-tamallu’ adalah bersepakat dan berkomplot, yaitu ada dua orang atau lebih yang bermaksud untuk membunuh seseorang dan memukulinya. Jadi, at-tamallu‘ menghendaki adanya kesepakatan yang dilakukan sebelumnya untuk melakukan suatu aksi bahwa at-tawafuq (pengeroyokan yang terjadi secara spontan dan kebetulan) dalam suatu aksi pelanggaran tidak dianggap sebagai at-tamallu‘. Akan tetapi, mereka semua tetap dihukum bunuh apabila mereka memiliki maksud dan niat untuk melakukan serta hadir dalam aksi tersebut, meskipun akhirnya yang melaksanakan aksinya hanya salah satu saja dari mereka sedangkan yang lainnya hanya melihat dan mengawasi saja misalnya, namun dengan syarat jika memang seandainya waktu itu mereka dimintai untuk membantu dalam melaksanakan aksi itu, maka mereka akan membantu.

Menurut Ulama Malikiyah, orang-orang yang terlibat dalam suatu aksi pembunuhan yang sebelumnya tidak ada kesepakatan dan perkomplotan di antara mereka, maka mereka semua tetap dihukum bunuh, jika memang mereka ikut memukul secara sengaja dan aniaya dan korban mati di tempat itu juga, sementara pukulan-pukulan yang mereka lakukan tidak bisa terbedakan antara satu dengan yang lainnya, atau bisa terbedakan akan tetapi tidak diketahui mana pukulan yang mematikan dan yang membunuh.11

Hukuman pelaku langsung, pada dasarnya banyaknya pelaku tindak pidana tidak mempengaruhi besarnya hukuman yang pantas dijatuhkan atas

11


(49)

mereka, yakni sama seperti melakukan tindak pidana sendirian. Karena itu, hukuman yang dijatuhkan atas orang yang turut melakukan tindak pidana (pelaku-penyerta) adalah sama seperti hukuman atas orang yang melakukan secara sendirian meskipun ketika sedang bersama dengan lainnya, mereka tidak melakukan seluruh perbuatan yang membentuk tindak pidana itu.12

Di dalam kasus pembunuhan, berdasarkan kesepakatan para imam madzhab empat, secara syara‘ wajib menghukum kisas sekelompok orang karena membunuh satu orang. Hal ini dalam rangka saddudz dzaraa’i (menutup celah-celah yang bisa berpotensi dijadikan sebagai pintu masuk kepada sesuatu yang terlarang). Karena jika mereka tidak dikisas semuanya, tentunya itu akan berdampak pada pelaksanaan hukum kisas tidak bisa dilakukan. Sebab jika demikian, tindakan pembunuhan dengan cara dilakukan secara bersama-sama akan dijadikan sebagai trik dan rekayasa untuk terhindar dari jeratan hukuman kisas. Di samping itu, banyak kasus pembunuhan yang terjadi dilakukan secara bersama-sama oleh sekelompok orang, karena biasanya suatu kasus pembunuhan tidak terjadi kecuali dilakukan dengan cara bekerjasama oleh sekelompok orang.13

Para sahabat cepat tanggap dalam mengantisipasi permasalahan seperti ini, sehingga mereka mengeluarkan fatwa kisas menyeluruh terhadap semua anggota komplotan pembunuhan. Kejadian pertama kali kasus seperti ini

12

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri Al-Jina’i fi Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i, juz II, hlm. 363.

13


(50)

terjadi pada masa kekhalifahan Umar Ibnu Khattab, yaitu ada seorang suami meninggalkan isterinya di kota Shan’a bersama dengan seorang anak dari isterinya yang lain. Lalu si isteri memiliki pria idaman lain dan melakukan hal yang tidak baik. Perbuatan itu pun diketahui oleh si anak tersebut.

Si isteri itu kemudian berkata kepada pria idaman lainnya itu, “anak ini telah mengetahui perbuatan kita, karena itu, bunuhlah ia.“ Namun, si laki-laki itu menolak, hingga menyebabkan si isteri itu pun “ngambek“ dan tidak mau lagi berhubungan dengan si laki-laki itu, sehingga si laki-laki itu pun akhirnya memenuhi permintaan si isteri itu untuk membunuh anak tersebut. Lalu ia pun melakukan pembunuhan terhadap anak itu bersama-sama dengan seorang laki-laki lain, si isteri itu sendiri dan pembantunya dengan cara memutilasi si anak dan menceburkannya ke dalam sumur. Kemudian kejadian itu pun terungkap dan tersebar luas.

Setelah kejadian itu, Amir Yaman menangkap laki-laki itu dan ia pun mengakui perbuatannya, kemudian para pelaku yang lain pun ikut mengakui perbuatan mereka. Amir Yaman kemudian mengirim sepucuk surat kepada Umar ibn Khattab, lalu Umar Ibn Khattab mengirim surat balasan yang berisikan supaya mereka semua dihukum bunuh (kisas). Umar ibn Khattab


(51)

membunuh anak itu, sungguh aku pasti akan menghukum bunuh mereka

semua“.14

2. Keturutsertaan tidak langsung.

Menurut Abdul Qadir Audah, keturutsertaan tidak langsung,

َعَم َتا ْ م ا َسَتم اكْي َش َتْعَي َلَع ناَعإ ْ َأ ْيَغ ضْ َح ْ مَ ، ْيَلَع اَعم ّْعف اَكتْ إ َلَع ْيَغ

ْلا َلَع َ َناَعإا ْ َأ َضْي ْحَتلا ْ َأ َ اَتإا ادصاَ َ ْ كَي ْ َأ كْي شلا ْيف طْ َتْشَيَ ،ّْع ْلا اَ َ َ ْي َج

Artinya: “setiap orang yang bersepakat dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman atasnya, orang yang menghasut (menggerakkan) orang lain atau membantu dalam perbuatan tersebut, dengan disyaratkan adanya kesengajaan dalam kebersepakatan, penghasutan, dan pemberian bantuan tersebut“.15

Mutasabbib adalah pihak yang melakukan suatu tindakan yang biasanya bisa mengakibatkan kerusakan atau kebinasaan sesuatu. Tindakan itu sendiri sebenarnya bukan yang secara langsung memunculkan kebinasaan tersebut, akan tetapi melalui perantara sesuatu yang lain yaitu tindakan orang lain yang melakukannya dengan keinginan sendiri.16

Apabila tindakan pihak mutasabbib dianggap sebagai tindakan yang melanggar dan melampaui batas, maka hanya dirinya saja yang bertanggung

14

Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu juz VII, hlm. 561. 15

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i Juz I, hlm. 365-366

16


(52)

jawab. Hal ini berdasarkan kaidah, “mutasabbib tidak dituntut bertanggungjawaban kecuali jika ia melakukan tindakan yang melanggar“ apakah itu memang sengaja atau tidak. Atau berdasarkan kaidah, “suatu tindakan disandarkan atau dinisbatkan kepada mutasabbib apabila tidak ada perantaraan yang menengahi“ yaitu ketika tidak dimungkinkan untuk menuntut pertanggungjawaban dari pelaku langsung karena pelaku langsung adalah orang yang tidak mungkin diminta pertanggung jawaban atau pelaku langsungnya tidak ada atau tidak diketahui, atau tindakan mutasabbib lebih kuat efek dan lebih dominan dari pada tindakan pelaku langsung. Kesimpulannya, pihak mutasabbib adalah yang harus bertanggung jawab apabila tindakannya yang menjadi sebab itu lebih dominan daripada tindakan pelaku langsung.17

Menurut Jumhur selain ulama Hanafiah, dalam kasus pembunuhan pelaku langsung dan pelaku tidak langsung dapat bersama-sama dijatuhkan hukuman. Dalam kasus paksaan untuk melakukan pembunuhan, baik pihak yang memaksa maupun pihak yang dipaksa keduanya sama-sama dikisas, karena pihak yang dipaksa pada faktanya adalah pihak yang menjalankan pembunuhan secara langsung, sedangkan pihak yang memaksa adalah pihak yang menjadi penyebabnya (mutasabbib).

Dalam kasus pembunuhan lain, dimana terdapat pelaku yang berjumlah dua orang, salah satunya memegangi korban dan yang satunya yang

17


(53)

melakukan pembunuhan terhadap korban, ulama Malikiyah memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat ulama madzhab yang lain, yaitu kedua-duanya sama-sama dikisas, karena pelaku yang bertugas memegangi korban adalah sebagai mutasabbib dan rekannya yang bertugas membunuh adalah sebagai pelaku langsung. 18

Yang dianggap turut berbuat tidak langsung adalah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain, atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam persepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.19

Unsur-unsur keturutsertaan tidak langsung ada tiga, yaitu sebagai berikut:

1. Perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman pidana(tindak pidana). 2. Cara mewujudkan perbuatan tersebut, yaitu mengadakan

persepakatan, penghasutan, atau pemberian bantuan.

3. Niat dari pelaku tidak langsung agar perbuatan yang dimaksudkan dapat terjadi.20

Unsur pertama, untuk terjadinya keturutsertaan disyaratkan adanya perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman dan perbuatan tersebut harus terjadi meskipun tidak harus selesai secara sempurna. Karena itu, dalam percobaan

18

Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu juz VII, hlm. 576. 19

A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, hlm. 162-163 20


(1)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

dijadikan pertimbangan hukum oleh majelis hakim tingkat pertama pada

putusannya halaman 20 alinea ke-3 yang selengkapnya berbunyi :

“Menimbang bahwa dengan berdasarkan keterangan saksi-saksi dan ke-terangan Terdakwa dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan serta dari hasil Visum Et Repertum dan segala sesuatu yang terjadi selama per-sidangan perkara ini berlangsung, maka dapat diperoleh fakta-fakta yang terungkap dipersidangan sebagai berikut :

• Bahwa Terdakwa di depan persidangan mengaku bernama Supri Lubis

alias Supri identitasnya bersesuaian dengan surat dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum ;

• Bahwa pada hari Kamis tanggal 28 April 2011 sekitar pukul 16.00 Wib

dikebun kelapa sawit milik H. Zubair Saifuddin Harahap yang terletak di Desa Ujung Gading Jae, Kecamatan Simangambat, Kabupaten Padang Lawas Utara, antara Terdakwa dengan korban telah terjadi perkelahian ;

• Dst...”

2. Bahwa oleh karena yang terjadi adalah perkelahian antara Pemohon Kasasi dahulu Pembanding/Terdakwa dengan korban yang ternyata mengakibatkan kematian pada korban, maka sangat tidak tepat jika perbuatan Terdakwa dikategorikan sebagai perbuatan sadis, apalagi sebelumnya Pemohon Kasasi dahulu Pembanding/Terdakwa adalah sebagai korban penyerangan yang dilakukan oleh si korban (Fuad Hasan Nasution) dengan menggunakan senjata tajam yang dapat membahayakan nyawa Pemohon Kasasi dahulu Pembanding/Terdakwa ;

3. Bahwa subjektivitas judex facti sangat kental menilai dan mempertimbang-kan hal-hal yang memberatmempertimbang-kan sehingga menambahnya dengan kategori “perbuatan sadis”, namun disisi lain judex facti tidak mempertimbangkan yang kurang dalam hal-hal pertimbangan yang dapat meringankan Pemohon Kasasi dahulu Pembanding/Terdakwa, sehingga judex facti terkesan tidak menggambarkan suatu peradilan yang fair dalam memutuskan perkara a quo, sehingga tidak menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat pada umumnya ;

4. Bahwa seharusnya putusan judex facti haruslah memenuhi rasa keadilan ditengah-tengah masyarakat, bukan memenuhi rasa keadilan korban atau-pun Terdakwa (hukum pidana adalah hukum publik), karenanya setelah pembuktian secara yuridis dilakukan serta setelah mempertimbangkan “hal-hal yang memberatkan” Terdakwa, judex facti harus juga mempertimbang-kan “hal-hal yang meringanmempertimbang-kan Terdakwa” yang meliputi aspek-aspek,

se-al. 20 dari 24 hal. Put. No. 959 K/Pid/2012

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(2)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

perti aspek psikologis, aspek sosial ekonomis, aspek edukatif, aspek

ling-kungan sosial Terdakwa tinggal dan dibesarkan, aspek sikap dan tanggung jawab Terdakwa atas perbuatannya, sebagaimana contoh yang memuat aspek-aspek pertimbangan tersebut terlihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Kandangan Nomor : 161/Pid.B/1996/PN.Kgn tanggal 12 Februari 1997 (Dr. Lilik Mulyadi, SH.MH. Seraut Wajah Putusan hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti 2010 hal.225) ;

5. Bahwa oleh karenanya berikut ini Pemohon Kasasi dahulu Pembanding/Ter-dakwa menyampaikan aspek-aspek yang dapat meringankan hukuman ter-hadap Pemohon Kasasi dahulu Pembanding/Terdakwa :

• Aspek psikologis : Bahwa Pemohon Kasasi dahulu

banding/Terdakwa dalam perkelahian sebut secara psikologis harus melakukan perlawan untuk membela diri dari serangan korban terhadapnya, apalagi sebelumnya Pemohon Kasasi dahulu dakwa telah terjadi pertengkaran dengan korban yang mana Pemohon Kasasi dahulu Pembanding/Terdakwa merasa dianiaya pada saat pertengkaran tersebut sehingga Pemohon Kasasi dahulu Pembanding/Ter-dakwa membuat Laporan Polisi No.Pol. STPL/81/IV 2011/SU/TAPSEL/TPS BAR-TENG tanggal 20 Maret 2011 tentang dugaan penganiayaan, namun ternyata karena perlawanan dari Pemohon Kasasi dahulu Pembanding/Terdakwa pada saat perkelahian tersebut menyebabkan ke-matian pada korban sehingga harus juga di-pertanggungjawabkan Pemohon Kasasi dahulu Pembanding/Terdakwa ;

•Aspek sosial ekonomis : Bahwa Pemohon Kasasi dahulu

banding/Terdakwa adalah buruh petani yang

dipekerjakan oleh saksi ZUBAIR SAIFUD

al. 21 dari 24 hal. Put. No. 959 K/Pid/2012

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(3)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

DIN HARAHAP untuk menghidupi

seorang

anak dan isterinya, bahwa isteri Pemohon

Kasasi dahulu Pembanding/ Terdakwa

adalah ibu rumah tangga yang tidak

penghasilan untuk menghidupi ia dan anak-

nya, maka seharusnya judex facti memper-

timbangkan hal tersebut untuk meringankan

hukuman yang dijatuhkan kepada Pemohon

Kasasi dahulu Pembanding/ Terdakwa ;

•Aspek aspek edukatif : Bahwa Pemohon Kasasi Pembanding/

Terdakwa hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 5 SD (tidak tamat SD), dan berumur masih relatif muda, sehingga cara emosional belum dapat mengendalikan dengan sempurna ;

•Aspek aspek lingkungan sosial Terdakwa tinggal dan dibesarkan : Bahwa

Pemohon Kasasi dahulu Pembanding/Ter- dakwa tinggal dan dibesarkan di Desa Asam Jawa, Kecamatan Torgamba, Kabupaten

al. 22 dari 24 hal. Put. No. 959 K/Pid/2012

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(4)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Labuhanbatu Selatan, yang mana bahwa

Pemohon Kasasi dahulu Pembanding/ Terdakwa hidup berdampingan dengan masyarakat dengan baik dan damai, hingga selama ini Pemohon Kasasi dahulu Pembanding/Terdakwa tidak pernah me- lakukan tindak pidana apapun ;

•Aspek aspek sikap dan tanggung jawab Terdakwa atas perbuatannya :

Bahwa Pemohon Kasasi dahulu banding/Terdakwa bersikap baik dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya, hal mana terbukti ia menyerahkan diri ke

Kantor Kepolisian Binanga tanpa adanya pencarian dan penangkapan dari pihak

polisian, dan kemudian selama proses penyidikan, penuntutan sampai dipersidang- kan Pemohon Kasasi dahulu Pembanding/

Terdakwa selalu bersikap sopan dan akui perbuatannya sebagaimana dalam terangan (keterangan Terdakwa) ;

6. Bahwa dengan uraian aspek-aspek tersebut di atas yang merupakan per-timbangan hal-hal yang meringankan Pemohon Kasasi dahulu Pembanding/ Terdakwa, maka dengan demikian judex facti telah salah dalam menerapkan hukum yang tidak memasukkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, sehingga seharusnya putusan judex facti dinyatakan batal demi hukum (van rechts wege nietig atau nol and via) atau setidak-tidaknya dinyatakan dibatalkan ;

al. 23 dari 24 hal. Put. No. 959 K/Pid/2012

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(5)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung

ber-pendapat :

mengenai alasan ke 1 :

Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena judex facti tidak salah menerapkan hukum, karena telah mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara yuridis dengan benar, yaitu perbuatannya Terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan meninggalnya korban Fuad Hasan Nasution sesuai Visum et Repertum No.857/157/2011 tanggal 16 Mei 2011 ;

mengenai alasan ke 2 s/d 4 :

Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, kerena mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, keberatan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau per-aturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara meng-adili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, dan apakah Peng-adilan telah melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang No.8 Tahun 1981) yang telah diubah dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang-Undang-Undang No.3 Tahun 2009 ;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/ atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak ;

Menimbang, bahwa oleh karena Pemohon Kasasi/Terdakwa dipidana, maka harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ;

Memperhatikan Pasal 338 jo Pasal 55 ayat 1 (1) KUHP, Undang No.48 Tahun 2009, Undang No.8 Tahun 1981, Undang-Undang No.14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2009 serta peraturan lain yang bersangkutan ;

M E N G A D I L I :

Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Terdakwa : SUPRI LUBIS alias SUPRI tersebut ;

al. 24 dari 24 hal. Put. No. 959 K/Pid/2012

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(6)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Membebankan Pemohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk membayar

biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) ;

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari : Kamis, tanggal 14 Juni 2012, oleh Dr. Artidjo Alkostar, SH.LLM. Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. Sofyan Sitompul, SH.MH. dan Sri Murwahyuni, SH.MH.

Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga, oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota tersebut, dan dibantu oleh Tety Siti Rochmat Setyawati, SH. Panitera Pengganti dan tidak dihadiri oleh Pemohon Kasasi : Terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum.

Hakim-Hakim Anggota, K e t u a, ttd/Dr. Sofyan Sitompul, SH.MH. ttd.

ttd/Sri Murwahyuni, SH.MH. Dr. Artidjo Alkostar, SH.LLM.

Panitera Pengganti, ttd.

Tety Siti Rochmat Setyawati, SH.

Untuk Salinan MAHKAMAH AGUNG RI.

Panitera

Panitera Muda Pidana Umum

MACHMUD RACHIMI, SH.MH. NIP.040018310.

al. 25 dari 24 hal. Put. No. 959 K/Pid/2012

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Peranan Tes Deoxyribonucleic Acid (Dna) Dalam Pembuktian Tindak Pidana(Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 626 Pid. B / 2012 / PN. SIM, Putusan Mahkamah Agung No. 704 K / Pid / 2011, Putusan Mahkamah AgungNo. 1967 K/Pid/2007 dan Putusan Mahkamah Agung

2 84 105

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Analisis Hukum Terhadap Putusan Bebas Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan No. 63 K/Pid/2007)

1 72 106

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122

Tindak pidana penyertaan pembunuhan Perspektif hukum islam (Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 959 k/pid/2012)

0 6 116