Dialektika Paradigmatik Ilmu dan Islam

DIALEKTIKA PARADIGMATIK ILMU DAN AGAMA ISLAM
(Tinjauan Filsafat Ilmu)
Oleh: Yazwardi
A. Pendahuluan
Dialektika ilmu dan agama, baik dalam ranah ontologis, epistemologis maupun
axiologis selalu menyisakan persoalan yang tidak pernah selesai dibicarakan. Berawal dari
temuan Copernicus (1473-1543) yang kemudian diperkuat oleh Galileo Galilei (1564-1642)
tentang struktur alam semesta yang heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya)
berhadapan dengan gereja yang geosentris (bumi sebagai pusat tata surya), telah melahirkan
ketegangan antara ilmu dan agama. Penerimaan atas kebenaran ilmu dan agama menjadi
satu pilihan yang dilematis. Di Inggris pada tahun 1870 dalam satu kuliah umum Max
Muller telah mengejutkan audiensnya ketika ia mempromosikan apa yang ia sebut sebagai
ilmu agama (science of religion). Satu kombinasi yang pada saat itu dianggap aneh karena
pasca Origin of Species-nya Darwin, kebenaran ilmu dan agama semakin tidak dapat
dipertemukan. Yang satu meyakini bahwa alam semesta terjadi karena diciptakan langsung
oleh Tuhan (kreasionisme) dan yang lain menganggap alam semesta semata-mata
merupakan proses alamiah yang sangat panjang.
Di Indonesia, dikhotomi ilmu dan agama ini sebagaimana dideskripsikan oleh
Mulyadhi Kertanegara1 dapat dilihat pada dua corak pendidikan, penddikan ala IAIN yang
menekankan pada pendidikan agama dan ala perguruan tinggi umum yang lebih
mengembangkan keilmuan ‘sekuler’. IAIN sebagai lembaga akademis yang menekankan

pendekatan intelektual sekaligus sebagai lembaga religius yang menekankan spiritualitas,
seharusnya memiliki visi (cara pandang) metafisika yang handal. Keharusan IAIN memiliki
pandangan/visi metafisika paling tidak disebabkan oleh dua sebab yang fundamental.
Pertama: sejak dunia menginjak masa modern, dunia metafisik/gaib mendapat serangan
yang gencar dan radikal dari para ilmuwan dan pemikir/filosof Barat sekuler. Tuhan,
misalnya, telah disingkirkan begitu saja dalam sistem astronomi Pierre de Laplace
1

Dosen Filsafar UIN Syarif Hidayatullah, pandangannya tentang ini dapat dilihat pada Membangun
Kerangka Keilmuan IAIN, perspektif Filosofis dimuat dalam situs www.ditpertais.net diakses tanggal 15
Oktober 2012. lihat juga; Yazwardi, Beberapa pendekatan Metodologi Studi Islam. Palembang. IAIN Raden
Fatah Press, 2008. p. 9-11.

2
(w.1827), karena dalam bukunya yang terkenal Celestial Mechanism, ia menjelaskan
proses kejadian alam melalui teori Big-Bang-nya dan mekanisme kerja alam setelah
penciptaannya, tanpa sepatah kata pun yang menyingung nama Tuhan. Dan ketika
Napoleon, kaisar Prancis yang hidup sejaman dengannya, menanyakan hal tersebut, maka
sang astronom menjawab: “Je n’ai pas besoin de cat hypothese” (saya tidak memerlukan
hipotesis seperti itu). Jadi, dalam pandangan Laplace, Tuhan tidak lebih dari sebuah

“hipotesis”, bahkan “hipotesis” yang tidak diperlukan.
Hal serupa juga dilakukan oleh Charles Darwin (w. 1882), seorang ahli biologi yang
terkenal di Inggris. Dalam otobiografinya, misalnya, ia mengatakan bahwa kita tidak perlu
lagi merujuk kepada Tuhan (sebagai pencipta) kala menjelaskan terbentuknya engsel yang
indah dari seekor kerang, karena semuanya telah dapat dijelaskan secara ilmiah dengan
hukum seleksi alamiah. Jadi, jelaslah bahwa menurut kedua ilmuwan Barat yang terkenal
itu, Tuhan telah berhenti sebagai pencipta dan juga sebagai pemelihara alam, dan sama
sekali tidak diperlukan dalam penjelasan ilmiah mereka. Fungsi Tuhan sebagai pencipta dan
pemelihara alam, telah mereka gantikan degan hukum alam, yang dalam sistem astronomi
Laplace disebut sebagai “hukum mekanisme yang mengendalikan alam semesta”, dan
dalam sistem biologi Darwin sebagai “hukum seleksi alam” yang bertanggung jawab atas
munculnya berbagai “species” yang ada di muka bumi ini.
Serangan terhadap alam gaib/metafisika juga muncul dari Sigmund Freud (w. 1939),
bapak psikoanalisis, dan Emile Durkheim (w. 1917). Freud memandang bukan saja Tuhan,
bahkan ajaran-ajaran agama lainnya, sebagai ilusi. Dalam bukunya The Future of an
Illusion, ia menganggap agama lebih sebagai ilusi (karena berasal dari keinginan-keinginan
manusia), ketimbang mencerminkan realitas obyektif di luar kesadaran manusia. Menurut
Freud, ide-ide agama bukanlah pengendapan-pengendapan pengalaman atau hasil akhir
dari pemikiran, melainkan ilusi-ilusi yang memenuhi keinginan-keinginan manusia yang
paling tua, paling kuat dan paling mendesak. Apa yang menjadikan ide-ide itu menjadi

“ilusi” adalah kenyatan bahwa mereka berasal dari keinginan-keinginan manusia,
sedangkan rahasia kekuatan mereka berada dalam keinginan-keinginan tadi. Freud melihat
ide-ide keagamaan sebagai ilusi, karena berasal dari (atau semacam proyeksi) keinginan
manusia. Demikian juga Emile Durkheim, seorang sosiolog modern Prancis, melihat

3
bahwa esensi kekuatan norma-norma (religius) terletak pada kesakralannya. Dalam karya
utamanya The Elementary Form of Religious Life, ia menyatakan bahwa konsep seluruh
kesakralan berasal dari pengalaman individu dari norma-norma sosial. Apa yang oleh
manusia disebut Tuhan, sesungguhnya adalah masyarakat (society) yang dilihat dari
pandangan subyektif terhadap semua karasteristik yang biasanya dianggap berasal dari
Tuhan.
Dalam pandangan Filsafat, manusia dalam memberdayakan akal pikiran dengan
berbagai pengetahuan dan potensi dirinya melahirkan paling tidak tiga pengetahuan dasar
(epistemologi) yaitu: pertama ilmu pengetahuan yang berbicara tentang benar dan tidak
benarnya sesuatu yang berakar pada penalaran ilmiah. Inilah yang dinamakan kekuatan
logika; kedua, pengetahuan yang dilahirkan cita rasa manusia tentang sesuatu yang indah
dan sesuatu yang buruk. Inilah yang dinamakan kekuatan estetika (seni). Ketiga,
pengetahuan tentang sesuatu tentang sesuatu yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh
dilakukan. Pengetahuan ini bersumber pada ajaran-ajaran nilai dan moral (agama).

Dengan demikian, antara pengetahuan ilmiah dan nilai-nilai ajaran agama bermula
dan berakhir pada aspek yang berbeda. Jika ilmu pengetahuan bersifat positif dan empirik
dalam artian sesuatu baru disebut sebagai ilmu bila mendatangkan asas manfaat daya guna
bagi manusia, maka ilmu pengetahuan agama bersifat normatif yang bersumber pada intuisi
atau wahyu. Namun, dewasa ini, persoalan hubungan ilmu dan agama lebih mengemuka
dalam ranah etis. Teknologi sebagai anak kandung ilmu dianggap telah menghasilkan
dampak negatif bagi kelestarian alam semesta, baik berupa pencemaran lingkungan,
bencana alam maupun pada kerusakan moralitas manusia. Belum lagi ketika bidang
kedokteran menemukan teknologi cloning dan berbagai rekayasa genetika yang hendak
diterapkan pada manusia. Namun demikian, persoalan dalam ranah etis ini tidak berdiri
sendiri, karena tentu ada persoalan epistemologis dan ontologis yang berada dibelakangnya.
Fokus dalam tulisan singkat ini adalah: bagaimana dialektika ilmu dan agama dalam
perspektif filsafat ilmu. Sedangkan obyek kajiannya mengambil ajaran agama Islam
sebagai paradigma ilmu pengetahuan agama.

4
B. Perspektif Filsafat Ilmu
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy, adapun istilah filsafat berasal dari bahasa
Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik
kepada) dan shopia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis,

inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Plato
menyebut Socrates sebagai philosophos (filosof) dalam pengertian pencinta kebijaksanaan. Kata
falsafah merupakan arabisasi yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang
dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada,
sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal
sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen dan bersifat spiritual. Sebelum Socrates ada
satu kelompok yang enyebut diri mereka sophist (kaum sofis) yang berarti cendekiawan. Mereka
menjadikan persepsi manusia sebagai ukuran realitas dan menggunakan hujah-hujah yang keliru
dalam kesimpulan mereka. Sehingga kata sofis mengalami reduksi makna yaitu berpikir yang
menyesatkan. Socrates karena kerendahan hati dan menghindarkan diri dari pengidentifikasian
dengan kaum sofis, melarang dirinya disebut dengan seorang sofis (cendekiawan).
Oleh karena itu istilah filosof tidak digunakan sebelum masa Socrates. Pada mulanya kata
filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada
dua bagian yakni, filsafat teoretis dan filsafat praktis. Filsafat teoretis mencakup: (1) ilmu
pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan
matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan metafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) normanorma (akhlak); (2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik. Secara umum filsafat berarti upaya
manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis. Berarti filsafat
merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang dilakukan adalah berpikir kritis
yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan

mengevaluasi suatu informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau
ditolak. Dengan demikian filsafat akan terus berubah hingga satu titik tertentu.
Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah masalah falsafi pula. Menurut para
ahli logika ketika seseorang menanyakan pengertian (definisi/ hakikat) sesuatu, sesungguhnya ia
sedang bertanya tentang macam-macam perkara. Tetapi paling tidak bisa dikatakan bahwa
“falsafah” itu kira-kira merupakan studi yang didalami tidak dengan melakukan eksperimeneksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis, mencari
solusi untuk ini, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan akhirnya

5
dari proses-proses sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah dialektika. Dialektika ini secara
singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada dialog.

Pembagian bidang kajian menurut Liek Wilardjo2 terbagi atas lima macam:
1. Metafisika, yaitu yang bertitik tolak dari kebenaran, asumsi dasar, dan tidak dapat
dibuktikan serta tidak perlu dibuktikan hanya diterima sebagai titik tolak. Metafisika
terdiri :
1).

Ontologi, yaitu asumsi dasar yang terkait dengan keberadaan objektis.
(filsafat


tentang

keberadaan),

Misalnya

apakah

yang

dipelajari/dikembangkan dalam ilmu itu benar-benar ada atau diyakini ada
(obyektif existence). Jika jawabnya ya berarti ilmu itu memiliki pijakan
ontologis jadi ilmu itu bersifat obyektif exixtence, namun keberadaan
obyektif tidak tergantung apakah kita mampu membuktikan keberadaan
obyektif eistence.
2).

Epistemologi yaitu ilmu pengetahui yang terfokus pada bagaimana kita bisa
mengetahui suatu keberadaan atau yang ada. Hal ini terkait dengan cara atau

metodelogi untuk mengetahui yang diketahui benar.

2. Logika,yaitu terkait dengan pembenaran (justification)yang konsisten. Konsisten adalah
tidak bertentangan bagian yang dengan yang lain atau tidak mengandung pertentangan.
(filsafat konsistensi).
3. Etika yaitu menyangkut dengan nilai-nilai yang tinggi (nilai keagamaan, budaya, ) nilainilai berkaitan baik dan buruk. dan
4. Estetika yaitu menyangkut masalah nilai keindahan.
Filsafat yang berarti penjelasan rasional tentang segala hal, dicari prinsip-prinsip
yang rampat (umum) atau general all principle yang dipakai untuk menjelaskan sesuatu.
filsafat tak ada bedanya dengan ilmu. Ilmu bertujuan menjelaskan sesuatu yang rasional.
Filsafat jangkaunya lebih luas daripada ilmu yang bersifat spesifik, tetapi dasarnya sama.
Filsafat ilmu adalah telaah yang sistematis atas hakekat ilmu, teristimewa tentang metodemetode, konsep-konsep, anggapan-anggapan dasar, preposisi, tempatnya diantara disiplin
2

Liek Wilardjo, Bahan Ajar Filsafat Ilmu, dikumpulkan Oleh Joni Emirzon dan Firman Muntaqo.
Undip, 2004. P 3-5.

6
intelektual. Filsafat ilmu dapat dipilah menjadi: studi yang kritis tentang metode dalam
ilmu; tentang lambang-lambang keilmuan; dan tentang bangunan yang logis dari sistem

lambang keilmuan. Telaah ini harus mencakup baik ilmu empiris maupun rasional, bahkan
mencakup kajian nilai-nilai termasuk kawasan etika dan estetika/menelaah tentang
kebenaran dan keindahan. Termasuk juga di dalamnya mempelajari logika: induksi,
deduksi, data, penemuan, verifikasi/validasi.
Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan
pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang
disusun oleh Ismaun3
1.

Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current
scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science
is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu
dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa
ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapatpendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu
dari praktek ilmiah secara aktual.

2.

Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of
scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific

enterprise as a whole. (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode
pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai
suatu keseluruhan)

3.

A. Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the
nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its
place in the general scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati
yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya,
konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka
umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.)

4.

Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the relations
between experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang logika
3

Ismaun, Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung : UPI Bandung. 2001. p. 4


7
interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori,
yakni tentang metode ilmiah.)
5.

May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral
analysis, description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis
dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.

6.

Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do for
science what philosophy in general does for the whole of human experience.
Philosophy does two sorts of thing: on the other hand, it constructs theories about man
and the universe, and offers them as grounds for belief and action; on the other, it
examines critically everything that may be offered as a ground for belief or action,
including its own theories, with a view to the elimination of inconsistency and error.
(Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa
yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat
melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia
dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan
tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan
sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri,
dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan

7.

Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to
elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry observational
procedures, patens of argument, methods of representation and calculation,
metaphysical presuppositions, and so on and then to veluate the grounds of their
validity from the points of view of formal logic, practical methodology and
metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama
menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedurprosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan
perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya
menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal,
metodologi praktis, dan metafisika).

8
Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu
merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu,
yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain
filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara
spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti :
1).

Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek
tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap
manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)

2).

Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang
berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan
agar mendakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang
disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang
membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
(Landasan epistemologis)

3).

Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana
kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ?
(Landasan aksiologis).4

Sebagai cabang filsafat, maka filsafat ilmu berfungsi yakni :Sebagai alat mencari
kebenaran dari segala fenomena yang ada. Mempertahankan, menunjang dan melawan atau
berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya. Memberikan pengertian tentang cara
hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia. Memberikan ajaran tentang moral dan etika
yang berguna dalam kehidupan Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan
dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan
sebagainya. Sedangkan mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan
4

229

Jujun S. Suriasumantri, Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan. 1996. p

9
landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan
membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa
filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya
mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation
yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.
Substansi Filsafat Ilmu telaah tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001)
memaparkannya dalam empat bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta
atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi.
1.Fakta atau kenyataan
Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang
filosofis yang melandasinya misalnya sebagaiberikut:


Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi antara
yang sensual satu dengan sensual lainnya.



Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan
ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi
antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah koherensi moralitas,
kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai.



Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik
dengan skema rasional, dan



Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara
empiri dengan obyektif.



Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi.
Di sisi lain, Lorens Bagus 5memberikan penjelasan tentang fakta obyektif dan fakta

ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomen atau bagian realitas yang merupakan obyek
kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi
terhadap fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah deskripsi
5

Ismaun, log Cit,. p. 4

10
fakta obyektif dalam bahasa tertentu. Fakta ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis.
Tanpa fakta-fakta ini bangunan teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari
bahasa yang diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu
deskripsi ilmiah.
2. Kebenaran (truth)
Sesungguhnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara
tradisional, kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik.
Sementara, Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu, yaitu : kebenaran
koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan
kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu
kebenaran paradigmatik.
Kebenaran koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu
yang lain dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur
tersebut, baik berupa skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan sensual
rasional mau pun pada dataran transendental. Kebenaran korespondensi, yaitu berfikir
benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan
sesuatu lain. Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan
arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan belief yang diyakini,
yang sifatnya spesifik Kebenaran performatif, yaitu Ketika pemikiran manusia menyatukan
segalanya dalam tampilan aktual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang
praktis yang teoritik, maupun yang filosofik, orang mengetengahkan kebenaran tampilan
aktual. Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan dalam tindakan.
Kebenaran pragmatik yaitu kebenaran yang benar adalah yang konkret, yang
individual dan yang spesifik dan memiliki kegunaan praktis. Kebenaran proposisi adalah
suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari yang subyektif
individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisiproposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan
persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa proposisi
benar tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya.

11
Kebenaran struktural paradigmatik Sesungguhnya kebenaran struktural paradigmatik ini
merupakan perkembangan dari kebenaran korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi,
analisis faktor, dan analisis statistik lanjut lainnya masih dimaknai pada korespondensi
unsur satu dengan lainnya. Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu
yang dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih
menyeluruh.
3.Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang,
atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi
absolut atau probalistik. Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan asumsi,
postulat, atau axioma yang sudah dipastikan benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan
asumsi dan postulatnya. Sedangkan untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan
untuk mengejar kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun
reflektif.
4.Logika inferensi
Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah
logika matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran
korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara yang
dipercaya dengan fakta. Belief pada Russel memang memuat moral, tapi masih bersifat
spesifik, belum ada skema moral yang jelas, tidak general sehingga inferensi penelitian
berupa kesimpulan kasus atau kesimpulan ideografik.
Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara rasional,
koheren antara fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan Guba menampilkan
kebenaran koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper
menampilkan kebenaran struktural paradigmatik rasional universal dan Noeng Muhadjir
mengenalkan realisme metafisik dengan menampilkan kebenaranan struktural paradigmatik
moral transensden.6
6

Ibid. p. 9

12
Di lain pihak, Jujun Suriasumantri 7 menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan baru
dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni
berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu logika
induksi dan logika deduksi.
B. Pemahaman tentang Paradigma.
Secara leksikal, Paradigma berasal dari bahasa Yunani yaitu, para deigma, dari pada
(di samping, disebelah) dan dekynai (memperlihatkan : yang berarti : model, contoh,
arketipe, ideal8. Secara istilah, pengertian paradigma di antaranya:
1. Cara memandang sesuatu.
2. Dalam ilmu pengetahuan : model, pola, ideal. Dari model-model ini fenomena yang
dipandang, dijelaskan.
3. Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problemproblem riset.
4. Paradigma merupakan konstruk berpikir yang mampu menjadi wacana

untuk temuan

ilmiah : yang dalam konseptualisasi Kuhn : menjadi wacana untuk temuan ilmiah baru9
Pada batasan tertentu paradigma dipahami sebagai model, contoh, dan pola yang
dapat dijadikan dasar untuk menyeleksi berbagai problem-problem serta pola-pola untuk
mencari dan menemukan problem-problem yang ada di dalam ilmu pengetahuan untuk
memecahkan problem-problem riset. Jadi secara singkat pengertian paradigma adalah
keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai dan teknik yang dimiliki suatu komunitas ilmiah
dalam memandang sesuatu (fenomena). Paradigma membantu merumuskan tentang apa
yang harus dipelajari, persoalan apa yang harus dijawab dan aturan apa yang harus di ikuti
dalam menginterprestasikan jawaban yang diperoleh.

7

Jujun, Op Cit, 46-49

8

Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Cet. III; Jakarta: Gramedia, 2002), p. 779

9

Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu Edisi II (Cet. I; Yogyakarta: Rakesarasin, 2001), p. 177

13
Istilah paradigma pada awalnya berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan
terutama yang kaitannya dengan filsafat ilmu pengetahuan. Tokoh yang mengembangkan
istilah tersebut dalam dunia ilmu pengetahuan adalah Thomas S. Kuhn dalam bukunya yang
berjudul The Structure of Scientific Revolution (1970:49). Inti sari pengertian paradigma
adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan asumsi-asumsi teoritis yang umum (merupakan suatu
sumber nilai) sehingga merupakan suatu sumber hukum-hukum, metode serta penerapan
dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu
pengetahuan itu sendiri.
Pada tahun 1922 Kuhn belajar fisika di Havard University, kemudian melanjutkan
studinya di pascasarjana, dan memutuskan pindah ke bidang sejarah ilmu. “Structure of
Scientific Revolutions”, banyak mengubah persepsi orang terhadap apa yang dinamakan
ilmu. Jika sebagian orang mengatakan bahwa pergerakan ilmu itu bersifat linier-akumulatif,
maka tidak demikian halnya dalam penglihatan Kuhn. Menurut Kuhn ilmu bergerak
melalui tahapan-tahapan yang berpuncak pada kondisi normal dan kemudian “membusuk”
karena telah digantikan oleh ilmu atau paradigma baru. Demikian selanjutnya Paradigma
baru mengancam paradigm lama yang sebelumnya juga menjadi paradigm baru.10
Sedangkan menurut Erlyn Indarti, dari sudut pandang yang berbeda paradigma
dapat dimengerti sebagai sekumpulan ”proposisi” yang menguraikan dan menggariskan
bagaimana ’dunia’ dilihat, dipahami, dan akhirnya diterima. Paradigma mengandung satu
set worldview atau sistem belief, yakni suatu cara melalui mana kompleksitas dunia ini
dipecah/ dipilah agar mudah dimengerti. Secara umum paradigma menggariskan bagi
penganutnya apa yang penting, apa yang sah, dan apa yang masuk akal. Paradigma
dipahami sebagai kerangka pemikiran yang meliputi berbagai belief dan standar. Kerangka
ini menetapkan ruang lingkup dari segala hal yang dianggap sah dalam suatu bidang ilmu,
disiplin, atau cabang ilmu pengetahuan di mana paradigma tersebut diaplikasikan. Apa
yang terkandung di dalam paradigma, mendefinisikan suatu pola aktivitas ilmiah yang

10

Conny Semiawan dkk, Panorama Filsafat Ilmu Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman
(Cet. I; Bandung: Mizan, 2005), p. 107

14
mapan dan mantap bagi komunitas ilmuwan yang bersangkutan.

11

Jadi paradigma

keilmuan tertentu akan mengambil bentuk yang berbeda dengan keilmuan yang lainnya.
Paradigma ilmu pengetahuan yang mengambil obyek empiris akan berbeda dengan
paradigma keagamaan yang bersumber pada kebenaran transendental. Namun pada bagianbagian tertentu terdapat dialektika di antara keduanya. Ilmu pengetahuan bertujuan
mencapai kesejahteraan manusia dan ilmu agama pun mempunyai tujuan yang sama.
Perbedaan di antara keduanya, umumnya terdapat pada tataran epistemologis. Dalam
konteks ini, paradigma dapat dipahami sebagai sebuah disciplinary matrix, yakni suatu
pangkal atau sumber sekaligus wadah, dari mana suatu disiplin ilmu pengetahuan dianggap
bermula dan diharapkan akan terus mengalir.
Lebih daripada sekadar kumpulan teori, paradigma mencakup berbagai komponen
praktek- praktek ilmiah di dalam sejumlah bidang kajian yang ter-spesialiasi. Paradigma
juga menggariskan tolok ukur, mendefinisikan standar ketepatan yang dibutuhkan,
menetapkkan metodologi penelitian mana yang akan dipilih untuk diterapkan, atau cara
bagaimana hasil penelitian akan di-interpretasi. Ini berarti, makna paradigma meliputi
keseluruhan koleksi, kombinasi, gabungan, atau campuran dari komitmen yang dianut dan
diterapkan oleh anggota-anggota suatu komunitas ilmu pengetahuan secara bersama- sama,
yang, untuk waktu tertentu, menawarkan model permasalahan berikut pemecahannya
kepada komunitas dimaksud.
Secara tipikal paradigma mendefinisikan bagi penganut atau pemakainya, baik
disadari maupun tidak, apa yang dapat dianggap/diterima sebagai bidang, disiplin, atau
cabang ilmu pengetahuan vang digeluti sekaligus bagaimana cara mereka mewujudkan
karya dan karsa mereka di dalam-nya. Pada tataran inilah berbagai konsep paradigma yang
lebih formal disadari, direnungkan dan diperdebatkan. Dalam kaitan ini, ilmu hukum, ilmu
sosial, atau bidang ilmu lainnya, sebenarnya bisa dikatakan mengakui adanya lebih dari
satu paradigma atau multiparadigmatik. Dalam hal ini, multi-paradigmatik dimaknai
sebagai merefleksikan interpretasi berbagai pokok persoalan dari bidang-bidang ilmu
dimaksud secara majemuk, bervariasi, bahkan tidak jarang berseberangan.
11

Erlyn Indarti, Diskresi dan Paradigma, Sebuah Telaah Filsafat Hukum, Naskah Pidato Pengukuhan
Guru Besar, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2010). p. 15

15
Paradigma

dengan demikian

merupakan

sebuah konsep yang seringkali

diasumsikan atau dianut begitu saja tanpa disadari yang memungkinkan seseorang atau
sekelompok masyarakat [masyarakat ilmiah] untuk melihat dan memahami dunia dengan
segala isinya. Dengan demikian, paradigma sesungguhnya adalah bukan pikiran (thought)
yang kita miliki, melainkan kerangka [berpikir] (framework) di mana pikiran kita dibentuk
dan dibangun.
C. Dialektika Paradigmatik Ilmu dan Agama (Islam)
Dalam wacana pemikiran Islam banyak kalangan memandang tidak ada persoalan
antara ilmu dan agama. Pengakuan adanya kebenaran ayat kauniyah (ayat yang ada dalam
alam semesta) dan ayat qauliyah (ayat-ayat dalam kitab suci) telah dipandang cukup untuk
menjelaskan bahwa tidak ada pertentangan antara ilmu dan agama dalam Islam, karena
secara ontologis kedua ayat tersebut berasal dari Yang Satu. Turunnya ayat pertama dalam
Islam juga dimulai dengan ayat yang ‘scientific’ yaitu (iqra), sejalan pula dengan misi
Nabi Muhammad Saw., untuk memberantas kebodohan (jahiliyyah), sebagai lawan dari
berpikir yang rasional. Pandangan ini juga diperkuat dengan tersebarnya didalam al-Qur’an
ayat-ayat berisi perintah bagi setiap muslim untuk selalu berpikir dan mengembangkan
ilmu, serta diberikannya derajat yang tinggi bagi orang yang beriman dan berilmu. Dalam
Islam, menuntut ilmu merupakan suatu pencarian religius.
Ilmu dan agama meskipun dianggap tidak ada persoalan, namun sejarah mencatat
keduanya mengalami pendikotomian, terutama ketika Al-Ghazali memisahkan antara ilmu
agama sebagai ilmu wajib dan ilmu-ilmu umum sebagai ilmu sunnah. Di Indonesia, selama
bertahun-tahun dikotomi tersebut terlihat pada pemilahan bidang kajian, yaitu kajian
keagamaan yang dikembangkan di perguruan tinggi agama seperti IAIN (Institut Agama
Islam Negeri) atau STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri), adapun keilmuan umum
di kembangkan di Perguruan Tinggi Umum.
Ian Barbour berusaha memetakan hubungan ilmu dan agama dalam empat tipologi
yaitu konflik, independensi, dialog dan integrasi. John F Haught juga melakukan hal yang
sama dengan menggunakan istilah yang berbeda yaitu konflik, kontras, kontak dan
konfirmasi.

16
Konflik. Hubungan ini ditandai dengan adanya dua pandangan yang saling
berlawanan antara ilmu dan agama dalam melihat satu persoalan. Keduanya sama-sama
memiliki argumentasi yang tidak hanya berbeda tapi saling bertentangan bahkan menafikan
satu dengan yang lain. Ian Barbour, seorang fisikawan sekaligus teolog, mencatat bahwa
momentum kuat munculnya konflik antara ilmu dan agama terjadi pada masa abad
pertengahan, manakala otoritas gereja menjatuhkan hukuman kepada Galileo Galilei pada
tahun 1633. Karena mengajukan teori Copernicus bahwa bumi dan planet-planet berputar
mengelilingi matahari (heliosentris) dan menolak teori Ptolemaeus yang didukung oleh
otoritas ilmiah Aristoteles dan otoritas kitab suci yang menyakini bahwa bumi sebagai
pusat alam semesta (geosentris).
Seseorang tidak dapat menerima pandangan heliosentris dan geosentris sekaligus
atau dengan kata lain harus memilih salah satu apakah akan menerima kebenaran agama
atau kebenaran ilmu. Jika menerima kebenaran agama akan berimplikasi pada penolakan
objektifitas kebenaran ilmu, dan jika menerima kebenaran ilmu akan berimplikasi pada
pengingkaran kebenaran agama dan dituduh sebagai kafir.
Persoalan lain yang menggambarkan hubungan konflik antara ilmu dan agama
adalah masalah teori evolusi Darwin yang muncul pada abad ke-19. Sejumlah ilmuwan dan
agamawan menganggap bahwa teori evolusi Darwin dan kebenaran kitab suci tidak dapat di
pertemukan. Kaum Literalis Biblikal memahami bahwa alam semesta di ciptakan Tuhan
secara langsung (kreasionisme), adapun kaum evolusionis berpandangan bahwa alam
semesta terjadi secara alamiah melalui proses yang sangat panjang (evolusionisme).
Dengan menunjukan bukti-bukti empiris kaum evolusionisme tidak menisbahkan proses
yang panjang itu pada Tuhan namun melalui proses yang alamiah. Makhluk hidup dapat
berkembang menjadi beraneka ragam melalui mekanisme adaptasi, survival for live dan
seleksi alam. Meskipun Darwin tidak mengatakan manusia berasal dari kera namun baginya
manusia bukanlah makhluk yang di ciptakan khusus kemudian ditempatkan di bumi ini
sebagaimana yang di pahami kreasionisme. Menurutnya, manusia hanyalah proses evolusi
tersebut. Pandangan demikian tentu menggeser pandangan gereja bahwa Tuhanlah yang
menciptakan satu persatu makhluk hidup dan secara khusus menciptakan manusia yang
memiliki posisi lebih tinggi dari makhluk yang lain.

17
Ada sementara agamawan menyatakan bahwa teori evolusi bertentangan dengan
keyakinan agama, sedangkan ilmuwan ateis mengklaim bahwa berbagai bukti ilmiah atas
teori evolusi tidak sejalan dengan keimanan. Dua kelompok ini sepakat bahwa seseorang
dapat mempercayai Tuhan dan teori evolusi sekaligus. Dengan demikian maka ilmu dan
agama berada dalam posisi bertentangan.
Independensi. Pandangan idependensi menempatkan ilmu dan agama tidak dalam
posisi konflik. Kebenaran ilmu dan agama sama-sama abasah selama berada pada batas
ruang lingkup penyelidikan masing-masing. Ilmu dan agama tidak perlu saling mencampuri
satu dengan yang lain karena memiliki cara pemahaman akan realitas yang benar-benar
terlepas satu sama lain, sehingga tidak ada artinya mempertentangkan keduanya.
Menurut pandangan ini upaya peleburan merupakan upaya yang tidak memuaskan
untuk menghindari konflik. Kalangan Kristen Konservatif berusaha meleburkan ilmu dan
agama dengan mengatakan bahwa Kitab Suci memberikan informasi ’ilmiah’ yang paling
dapat di percaya tentang awal mula alam semesta dan kehidupan yang kehidupan yang
tidak mengandung kesalahan. Mereka menolak teori evolusi Darwin, dan membangun
konsep baru tentang penciptaan yang dinamakan “ilmu penciptaan” (creation science)
berdasarkan atas penafsiran harfiah terhadap kisah-kisah Biblikal. Hal serupa juga di
lakukan oleh penganut konkordisme yang memaksakan agar Kitab Suci bisa disamakan
dengan alur-alur kisah kosmologi modern. Bagi penganut aliran ini, agama harus dibuat
sedemikian rupa sehingga tampak ilmiah kalau agama ingin dihargai secara intelektual.
Karl Barth berpandangan bahwa ilmu dan agama memiliki metode dan poko
persoalan yang berbeda. Ilmu di bangun berdasarkan pengamatan dan penalaran manusia,
sedangkan teologi berdasarkan wahyu Tuhan. Oleh karenanya ilmu dan agama harus
berjalan

sendiri-sendiri

tanpa

ada

campur

tangan

satu

dengan

yang

lain.

Barbour menambahkan bahwa selain metode dan pokopk persoalan, bahasa dan fungsinya
juga berbeda. Bahasa ilmiah berfungsi menjwab bagaimana, yang ditujukan untuk
mendeskripsikan dan mencari jalan keluar atas fenomena riil kemanusiaan, sedangkan
bahasa agama berfungsi untuk menjawab mengapa, yang akan mendorong seseorang untuk
mematuhi prinsip-psinsip moral tertentu.

18
Gambaran yang sering digunakan untuk menjelaskan tipologi ini adalah seperti
halnya permainan, missal, catur dan bisol. Peraturan dalam catur tidak dapat diterapkan
dalam bisbol demikian pula sebaliknya. Tidak ada gunanya untuk mengatakan yang satu
lebih baik dari yang lain. Demikian halnya dengan ilmu dan agama, tidak ada yang dapat
diperbandingkan satu dengan yang lain dan keduanya tidak dapat ditempatkan pada posisi
bersaing atau konflik.
Pendekatan independensi ini dinilai cukup aman karena dapat menghindari konflik
dengan cara memisahkan hubungan di antara keduanya. Pendekatan ini menggambarkan
ilmu dan agama sebagaimana jalur kereta yang berel ganda, masing-masing memiliki jalan
yang independen dan otonom. Ketegangan antara Galileo Galile dengan gereja semstinya
tidak perlu terjadi jika agama tidak masuk kewilayah privasi ilmu, demikian pula ilmu tidak
memaksakan diri dengan rasional-empirisme pada agama. Ilmu dan agama mempunyai
bahasa sendiri karena menjalani fungsi yang berbeda dalam kehidupan manusia, agama
berurusan dengan fakta objektif, agama rentan dengan perubahan karena sifatnya yang
deduktif, sedangkan ilmu setiap saat bisah berubah karena sifatnya yang lebih induktif.
Ilmu dan agama adalah dua domain independen yang dapat hidup bersama sepanjang
mempertahankan “jarak aman” satu sama lain. Ilmu dan agama berada pada posisi sejajar
dan tidak saling mengintervensi satu dengan yang lain.
Pendekatan Dialog; Pendekatan independensi meskipun merupakan pilihan yang
cukup aman, namun dapat menjadikan realitas kehidupan menjadi terbelah. Penerimaan
kebenaran antara ilmu dan agama menjadi satu pilihan dikotomis yang membingungkan
karena tidak dapat mengambil keduanya sekaligus. Adapun bagi seseorang yang berusaha
menerima keduanya akan mengalami split personality, berkepribadian ganda, karena
menerima dua macam kebenaran yang saling berseberangan. Menurut Barbour, pendekatan
ini membantu tetapi membiarkan segala sesuatu berada pada jalan buntu yang bisa
membuat orang putus asa. Pendekatan dialog memandang bahwa ilmu dan agama tidak
dapat disekat dengan kotak-kotak yang sama sekali terpisah, meskipun pendekatan ini
menyadari bahwa keduanya berbeda secara logis, linguistik, maupun normatif.
Bagaimanapun juga, di Barat, agama telah memberikan banyak inspirasi bagi
perkembangan ilmu, demikian pula penemuan-penemuan ilmiah juga mempengaruhi

19
teologi. Meskipun keduanya berbeda namun tidak mungkin benar-benar dipisahkan.
Pendekatan dialog ini dapat membangun hubungan yang mutualis. Dengan belajar dari
ilmu, agama dapat membangun kesadaran kritis dan lebih terbuka sehingga tidak terlalu
over sensitive terhadap hal-hal yang baru. Sebaliknya, ilmu perlu mempertimbangkan
perhatian agama pada masalah harkat kemanusiaan. Dalam dunia manusia, ada realitas
batin yang membentuk makna dan nilai. Ilmu bukanlah satu-satunya jalan menuju
kebanaran, dan ilmu bukan hanya untuk ilmu tetapi ilmu juga untuk kemanusiaan. Agama
dapat membantu memahami batas-batas rasio, yaitu pada wilayah adikodrati atau
supranatural ketika ilmu tidak mampu menyentuhnya. Hubungan dialogis berusaha
membandingkan metode kedua bidang yang dapat menunjukan kemiripan dan perbedaan.
Dialog dapat terjadi manakala ilmu dan agama menyentuh persoalan diluar wilayahnya
sendiri.
Integrasi. Ada dua makna dalam tipologi ini. Pertama, bahwa integrasi mengandung
makna implisit reintegrasi, yaitu menyatukan kembali ilmu dan agama setelah keduanya
terpisah. Kedua, integrasi mengandung makna unity, yaitu bahwa ilmu dan agama
merupakan kesatuan primordial. Makna yang pertama populer di Barat karena kenyataan
sejarah menunjukan keterpisahan itu. Adapun makna kedua lebih banyak berkembang di
dunia Islam karena secara ontologis di yakini bahwa kebenaran ilmu dan agama adalah
satu, perbedaannya pada ruang lingkup pembahasan, yang satu pengkajian dimulai dari
pembacaan Al-Qur’an, yang satu dimulai dari pembacaan alam. Kebenaran keduanya saling
mendukung dan tidak saling bertentangan.

D. Beberapa Tipe Integrasi Ilmu dan Agama
Ada beragam konsep tentang integrasi. Dalam konteks Kristen kontemporer Ian
Barbour mengajukan konsep yang dikena sebagai integrasi teologis. Konsep ini berusaha
mencari implikasi telogis atas berbagai teori ilmiah mutakhir, kemudian satu teologi baru
dibangun dengan memperhatikan juga teologi tradisional sebagai salah satu sumbernya.
Pandangan konseptual teologi dapat berubah atas nama “belajar dari ilmu”.

20
Pandangan teology of nature Barbur mendapat kritik dari Huston Smith dan Seyyd Hosein
Nasr karena apabila teologi dapat setiap saat bisa berubah karena berinteraksi (belajar dari
ilmu), akan menimbulkan kesan bahwa teologi berada di bawah ilmu. Tokoh Kristen yang
lain adalah John F. Haugat. Ia menggunakan istilah konfirmasi sebagai bentuk dari integrasi
yang dimaksudkan, sebagai upaya mengakarkan ilmu beserta asumsi metafisisnya pada
pandanga dasar agama tentang realitas. Apabila agama berisi keyakinan apriori, misalnya
tentang Tuhan, surga dan neraka, dalam ilmu pun sebenarnya juga mengandung ‘keyakinan’
apriori, misalnya alam semesta merupakan totalitas benda-benda yang tertata secara
rasional. Tanpa asumsi dasar ini ilmu sebagai pencarian intelektual tidak dapat melakukan
langkah pertamanya sekalipun.
Integrasi yang ingin di bangun oleh Haugat tidak hendak meleburkan ilmu dan
agama, serta tidak hanya bertujuan untuk menghindari konflik, tetapi menempatkan agama
sebagai pendukung seluruh upaya kegitan ilmiah, memperkuat kerinduan akan pengetahuan
dan memperkuat dorongan yang bisa memunculkan ilmu. Integrasi Holistik Ilmu dan
Agama prespektif Mulla Shadra.
Apakah hubungan ilmu dan agama berada pada posisi konflik, independensi, dialog
atau integrasi masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Di tengah kebimbangan untuk
memahami pada posisi mana sesungguhnya ilmu dan agama berada, Mulla Shadra
mempunyai pandangan filosofis, terutama dalam bidang ontologi an epistemologi yang
menunjukan karakter yang kuat pada tipe integrasi meskipun secara eksplisit ia tidak
pernah membahas secara langsung hubungan antara imu dan agama. Beberapa prinsip
penting yang mendasari integrasi tersebut adalah:

1.

Tauhid (Keesaan Allah)
Keesaan Allah adalah prinsip yang paling mendasar dalam Islam konsep ini

berimplikasi pada kesatuan ciptaan yakni keterhubungan bagian-bagian alam, dan
selanjutnya berimplikasi pula pada kesatuan pengetahuan. Tapi bukan saja menjadi
kerangka keimanan yang menjadi dasar keyakinan umat Islam kepada Allah, namun juga
merupakan kerangka pemikiran yang membangun integritas kebenaran. Pandanga tauhid ini

21
didasarkan atas beberapa firman Allah dalam Al-Qur’an yaitu: “Dan Tuhan kalian adalah
Tuhan

yang

Maha

Esa,

tidak

ada

Tuhan

selain

Dia”.(Q.S.

2:163).

“Apakah ada keragu-raguan tentang Allah, pencipta langit dan bumi” (Q.S. 14:10).
Pandangan uniter dalam keilmuan diyakini oleh ilmuwan muslim sejak masa lampau.
Mereka tidak mengutamakan satu bidang ilmu atas yang lain, namun satu ilmu selalu
terkait dengan bidang ilmu yang lain. Akan tetapi, dewasa ini hampir-hampir tidak terjadi
dialog antara ilmu terutama ilmu alam dan ilmu sosial humaniora.
2. Keyakinan pada realitas adikodrati dan keterbatasan pengetahuan manusia.
Al-Qur’an menjelaskan sebagai berikut: “Dan Tuhan mengeluarkan kalian dari
rahim ibu kalian dalam keadaan tidak tahu apa-apa, dan Kami berikan kepada kalian
pendengaran dan pengelihatan dan hati agar kalan dapat bersyukur”.(Q.S. 16:78). Ayat ini
menunjukan bahwa manusia berawal dari tidak tahu dan melalui sarana yang diberikan
Allah berupa panca indera dan hati, manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan. AlQur’an menyebutkan pembedaan dua alam yaitu alam tak tampak dan alam tampak.
Dengan kemampuan yang dimilikinya manusia dapat mengembakan penyelidikan pada
alam tampak, sedangkan terhadap alam yang tak tampak harus melalui bimbingan wahyu
agar tidak mengalami pemahaman yang salah
“Katakanlah (hai Muhammad): Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa aku
memiliki khazanah-khazanah Tuhan, tidak pula aku mengetahui apa yang gaib, dan tidak
pula aku mengatakan pada kalian bahwa aku adalah sosok malaikat. Aku hanya mengikuti
apa yang diwahyukan kepadaku.”(Q.S. 6:50).
Dua ayat tersebut menegaskan keyakinan bahwa ada realitas yang adikodrati yang
menguasai, memberikan sarana dan mengajarkan ilmu kepada manusia. Namun demikian
tidak semua ilmu dapat dikuasai manusia karena keterbatasan yang dimilkinya.
3. Keyakinan pada alam yang memiliki tujuan
Dalam pandangan Al-Qur’an , Allah menciptakan segala sesuatu dalam satu ukuran
tertentu dan menetapkan baginya suatu tujuan. Dan tidak Kami ciptakan langit dan bumi,

22
dan apapun yang ada diantara keduanya untuk kesia-siaan. (Q.S. 38: 27). Pandangan AlQur’an tentang tujuan alam berjalan seiring dengn konsep kehidupan akhirat. Perjalanan
dunia akan berakhir dan digantikan dengan kehidupan akhirat. Apakah kalian mengira
bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami? (Q.S. 23: 115). Pemahama Islam ini
sekaligus menepis pandangan kaum naturalis bahwa alam terjadi secara kebetulan, yaitu
melalui proses alamiah berdasarkan hukum alam yang ada dalam dirinya. Oleh karena
kebetulan, tentu alam tidak memiliki tujuan kecuali hanya berjalan sesuai dengan hukumhukum tersebut.
4. Komitmen pada nilai-nilai moral
Komitmen moral adalah salah satu dari risalah kenabian. Sebagaimana dalam satu
hadist dijelaskan bahwa Nabi Muhammad saw., diutus untuk menyempurnakan ahlak
manusia. Hal ini juga diperkuat dalam Al-Qur’an: “Dialah yang mengutus seorang dari
kalangan orang-orang yang buta huruf untuk membacakan ayat-ayat-Nya dan menyucikan
mereka dan mengajarkan mereka Al-Kitab dan kebijaksanaan, meski sebelumnya mereka
berada dalam kesesatan yang nyata. (Q.S. 62: 2). Islam menganjurkan umatnya untuk
menjalankan agama secara kaffah (sempurna). Di antara komponen kesempurnaan itu
adalah bahwa umat Islam harus mengembangkan ilmu yang tidak hanya untuk ilmu tetapi
ilmu yang mempunyai perhatian pada alam dan kemanusiaan, oleh karenanya ilmu harus
dilandasi oleh nilai-nilai moral.
E. Integrasi Ontologis Ilmu dan Agama
Ontologi adalah salah satu cabang filsafat yang membincang masalah ‘yang ada’,
baik bersifat fisik maupun non-fisik. Ontologi lebih banyak berbicara tentang hakikat ‘yang
ada, sehingga seringkali disamakan dengan metafisika, yaitu ilmu yang membicarakan
tentang realitas, kualitas, kesempurnaan, yang ada, yang oleh Aristoteles disebut sebagai
Filsafat Pertama.
‘Yang ada’ dapat dibedakan dalam tiga hal, yaitu mustail ada, mungkin ada dan
wajib ada. Yang dimaksud dengan ‘mustahil ada’ adalah sesuatu yang keberadaannya
bersifat mustahil, yang tidak ada dalam realitas kongkret, misalnya kuda terbang. Adapun

23
‘mungkin ada’ adalah sesuatu yang keberadannya bersifat mungkin, yaitu mungkin ada
mungkin tidak ada. Keberadaan sesuatu yang mungkin ini sangat bergantung pada sesuatu
yang menjadi penyebab keberadaanya. Misalnya ‘kursi’ akan ada bila terdapat kayu atau
besi yang—meminjam pandangan Aristoteles—menjadi sebab bahannya (kausa material),
terdapat sebab bentuk (kausa formal), terdapat subjek manusia yang merealisasikan bahan
dan bentuk itu menjadi sebuah kursi (sebab efisien), serta ada tujuan mengapa kursi itu
diciptakan yaitu sebagai tempat untuk duduk (kausa final). Sedangkan ‘wajib ada” adalah
keberadaan sesuatu yang sifatnya wajib. Ia ada tidak karena sesuatu yang lain namun justru
menjadi penyebab atas keberadaan segala sesuatu. Inilah yang oleh Aristoteles disebut
sebagai

Kausa

Prima,

yang

dalam

bahasa

agama

disebut

dengan

Tuhan.

Pandangan ontologi Mulla Shadra dapat diketahui dari filsafatnya tentang wujud. Dalam
khasanah pemikiran Islam diantara tema-tema matafisika yang paling banyak melahirkan
kontroversi filosofis adalah problem wujud ini.
Konsep wujud (mafhum wujud) digambarkan se

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2