Urgensi Pencabutan Status Kewarganegaraa docx

Urgensi Pencabutan Status Kewarganegaraan yang Bergabung dengan Kelompok Teroris
Ringkasan Argumen Tim Pro (1)
Teroris bukan merupakan kejahatan yang biasa ataupun tindak pidana biasa tetapi teroros
merupakan kejahatan luar biasa (ekstraordinary crime) terhadap negara dan bangsa Inilah dinamika
terorisme sekarang ini yang terjadi pada hampir semua negara termasuk Indonesia, terorisme patut
digolongkan ke dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena telah memenuhi unsurunsur sebagai kejahatan luar biasa, yaitu membahayakan nilai-nilai hak manusia yang absolut,
serangan terorisme bersifat random, indiscriminate, and non-selective yang kemungkinan menimpa
orang-orang yang tidak bersalah, selalu mengandung unsur kekerasan, keterkaitannya dengan
kejahatan terorganisasi, keberadaanya dapat mengancam stabilitas negara dan berpotensi pada
kehendak perubahan ideologi negara oleh karenaya penanganaya juga harus menggunakan
mekanisme khusus.
Terorisme yang terjadi di Indonesia merupakan ancaman berbahaya dan perlu mendapat
penanganan serius dari pemerintah dan pihak keamanan. Tetapi dalam prakteknya penanganan
terorisme utamanya terhadap warga negara indonesia yang terindikasinya bergabung dengan teroris
belum benar-benar dilakukan secara maksimal, upaya pencegahan yang tercantum dalam UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak menyebutkan
tindakan seseorang yang mendukung dan mengajak orang lain untuk bergabung dengan gerakan
radikal seperti NIIS, termasuk tindakan pidana. Upaya pencegahan seperti itu merupakan hal
terpenting sebagai langkah pencegahan menjamurnya paham radikal NIIS di Tanah Air. Sebab,
tidak dapat dimungkiri, keberadaan NIIS di Indonesia layaknya membangunkan virus-virus tidur
gerakan radikal. Di sisi lain, NIIS juga menyebar melalui lingkungan dan keluarga.
Sebanyak 12 warga negara Indonesia yang ditangkap polisi Turki (kompas 2015/04/17).

pada Januari lalu dan dipulangkan pada medio Maret bisa menjadi contoh nyata, bagaimana hukum
di negeri ini tidak bisa menjatuhkan hukuman pidana bagi mereka yang telah berniat bergabung
dengan NIIS. Alasan sebagian besar dari mereka adalah anak-anak dan wanita dewasa, bisa menjadi
dasar mereka dikatakan cukup menerima bimbingan sosial sebagai upaya deradikalisasi. Namun,
siapa yang dapat menjamin upaya itu dapat menghapus pemikiran radikal mereka? Atau bahkan
perlakuan terhadap mereka bisa saja menginspirasi WNI lain yang berniat menuju Timur Tengah
karena mereka menganggap penangkapan tidak akan berujung pidana. Memang upaya dari
pemerintah melalui Kementerian sosial dengan melakukan bimbingan sosial terhadap warga negara
yang berniat bergabung dengan kelompok tersebut telah dilakukan tetapi jangka waktunya hanyalah
sebatas hanya proses rehabilitasi saja selanjutnya akan dipulangkan ke kampung halamanya tetapi
yang menjadi pertanyaan adalah Apakah itu cukup ampuh menyadarkan mereka dan menjamin
mereka tidak memengaruhi sanak keluarga atau lingkungannya dengan paham ekstrem yang telah
tertanam di pikiran mereka? Tidak ada yang dapat menjamin bahwa mereka tidak akan melakukan
semua kekhawatiran tersebut diatas.
Seperti pengakuan Ahmad Junaedi, mantan anggota NIIS yang ditangkap tim Detasemen
Khusus 88 Antiteror di Malang, sekelompok WNI telah memulai perjalanan ke Suriah untuk
bergabung dengan NIIS sejak awal 2014. Junaedi merupakan kelompok kedua yang diberangkatkan
pemimpin NIIS di Indonesia, Salim Mubarok Attamimi alias Abu Jandal. Dalam kelompoknya
tersebut terdapat 19 orang. Sebelumnya, sembilan orang telah diberangkatkan oleh Abu
Jandal(kompas 2015/04/17).

Melihat latar belakang kasus tersebut penting kiranya penguatan dasar hukum bagi warga
negara yang berniat bergabung dengan kelompok radikalisme agar upaya pecegahan dan efek jera
terhadap masyarakat dapat dimaksimalkan salah satu wacana pemerintah dalam upaya mengurangi
warga negara indonesia agar tidak bergabung dengan kelompok radikalisme adalah upaya
pemerintah untuk mengajukan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. Pembahasan revisi undang-undang ini, yang

selanjutnya disebut sebagai UU Anti-terorisme, Dalam revisi UU Anti-terorisme, upaya yang ingin
ditingkatkan pemerintah adalah pencegahan. Dalam pokok poin yang ada dalam RUU-Anti teroris
tersebut didalamnya ada salah satu point penting dalam upaya pencegahan terorisme terhadap warga
negara yang berniat bergabung dengan kelompok teroris yaitu Warga Negara Indonesia yang
mengikuti pelatihan militer teror di luar negeri dapat dicabut status kewarganegaraan
Indoensia. dapat dilihat bahwa pemerintah hendak mempermudah pencegahan terhadap terorisme.
Sebagai warga negara yang cinta tanah air sudah seharusnya kita mendukung upaya positif yang
dilakukan pemerintah oleh karenanya kami dari tim Pro kelompok satu mengamini upaya yang
dilakukan pemerintah dalam rangka mencegah terorisme di Indonesia.
RUU Anti-terorisme sangat diperlukan mengingat UU Anti-terorisme yang sudah ada juga
memiliki beberapa kelemahan, salah satu kelemahan tersebut adalah belum adanya ketentuan yang
mengatur mekanisme penanganan Warga Negara Indonesia yang kembali ke tanah air setelah

bergabung dengan kelompok radikal di luar negeri, seperti Islamic State of Iraq and Syria (ISIS),
melihat masalah tersebut diatas kami beranggapan Revisi UU anti-Terorisme perlu dilakukan secara
cepat dan tepat mengingat serangan terorisme yang terus mengancam masyarakat dunia, khususnya
di Indonesia. Selain itu, terorisme di Indonesia juga banyak dipengaruhi oleh adanya kelompokkelompok radikal yang tumbuh di luar negeri, sehingga paham terorisme terus berkembang dan
seakan tidak pernah mati. Oleh karena itu, kami sepakat mengatakan terorisme merupakan
kejahatan luar biasa yang memiliki jaringan internasional, sehingga penanganannya juga harus
dilakukan secara luar biasa. Penanganan luar biasa ini tercermin pada tindakan pencegahan dan
penanggulangan dalam revisi UU Anti-terorisme.
Lantas muncul pertanyaan bagaimana dikatakan pencabutan warga negara tidak bertentangan
dengan HAM bahwa di Indoensia pencabutan status kewarganegaraan hanya bisa dilakukan dengan
kasus yang ekstrem, seperti Pelanggaran hukum atau kriminal adalah pelanggaran terhadap
kedaulatan negara untuk menciptakan ketertiban sosial .Mengingat kejahatan teroris merupakan
kejahatan luar biasa (ekstraordinary crime) maka sudah dapat dikatakan bahwa orang yang
terindikasi bergabung dengan teroris dapat dicabut status warganegaranya dan ini bukan merupakan
suatu pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara sesuai alasan tersebut diatas.
Ini dipandang perlu karenanya sangat besar terhadap kehidupan bernegara di Indoensia
karena jika orang yang berniat bergabung dengan gerakan teroris setibanya di Indonesia ternyata
belum kuatnya penanganan mereka maka dikhawatirkan akan menyebarkan nilai-nilai radikal
tersebut pada kelaurga , dampaknya bukan saat ini melainkan dampak tersebut akan dirasakan pada
masa yang mendatang dan mengancam stabiliitas dan idiologi negara ini sesuai dengan pernyataan

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Pemerintah telah mendeteksi penyebaran
paham radikal Negara Islam Irak dan Suriah (Islamic State of Iraq and Syam/ISIS) di beberapa
daerah di Indonesia. Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad
Mbai, penyebaran itu terjadi terutama di daerah-daerah yang menjadi 'kantong teroris' atau daerah
di mana sebelumnya ada penangkapan teroris, atau daerah di mana teroris yang kini telah ditangkap
berasal. Ansyaad menilai pemerintah perlu bertindak tegas dengan mencabut kewarganegaraan
orang yang telah jelas mendukung atau bahkan mendeklarasikan bahwa diri sebagai bagian dari
ISIS.
Pencabutan status kewarganegaraan juga tidak bertentangan dengan konstitusi karena
pencabutan kewarganegaraan telah diatur secara jelas dalam undang-undang. Pasal 23 F dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
menyebutkan: Warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan
secara suka rela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian
dari negara asing tersebut. Ini memenuhi rumusan undang-ndang tersebut bahwa warga negara
indonesia yang dicabut status warga negara adalah yang berniat bergabung dengan kelompok
radikalisme tentunya niat tersebut bukanlah suatu paksaan dari orang lain ataupun negara tetapi ada
dari dalam dirinya maka dari itu pencabutan status warga negaranya dapat dilakukan dan tidak
bertentangan dengan konstitusi. Selain penghapusan kewarganegaraan, Ansyaad juga menyebutkan
bahwa pemerintah perlu merancang sebuah undang-undang baru yang bertujuan untuk melindungi


ideologi bangsa. Tindakan penguatan terhadap Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang
Terorisme juga dinilai penting untuk mempertegas payung hukum kegiatan pencegahan penyebaran
paham ISIS di Tanah Air. Kriminalisasi propaganda yang mengarah pada kebencian dan
menyebarkan permusuhan, kriminalisasi warga yang melakukan pelatihan militer baik di dalam
maupun luar negeri namun bukan dari instansi yang berwenang, perlu diperberat ancaman hukuman
bagi yang melakukan tindakan terorisme,
Selama ini tidak ada pasal yang melarang orang yang berlatih untuk tindakan terorisme.
Tidak adanya dasar hukum itulah yang menyebabkan banyaknya warga Indonesia yang pergi ke
luar negeri, termasuk ke Suriah, untuk berlatih tindakan terorisme. Namun dengan disahkanya
rancangan undang-undang anti terorisme terbaru diharapakan akan menjadi pencegahan terhadap
tindakan warga negara indonesia yang akan bergabung dengan kelompok radikalisme seperti ISIS.
Upaya dalam penghapusan terorisme diIndoensia tidak tidak hanya dilakukan dengan upaya
peradilan namun dapat juga dilakukan dengan upaya preventif yaitu dengan upaya tersebut dapat
diwujudkan dalam wacana pencabutan status kewarganegaraan bagi mereka yang berniat bergabung
dengan kelompok terorisme. Dengan itu maka mereka yang telah sukarela mendukung kedaulatan
kelompok radikalisme tidak mendapatkan kesempatan untuk kembali ke Indoensia untuk
menyebarkan paham-paham terorisme kepada masyarakat luas tetapi jika kebijakan ini tidak
dilakukan maka Pidato-pidato di mimbar agama yang bersifat menghasut dan menghajar kelompok
lain, kerap dibiarkan, padahal itu bisa dianggap sebagai benih awal radikalisme. Menggunakan
mimbar agama untuk menyatakan permusuhan dan kebencian di depan umum, atau paham takfiri

akan semakin sering terjadi di Indonesia jika dibiarkan berlarut larut maka akan berefek pada
stabilitas dan mengancam kedaulatan negara.
Mengutip pentingya kebijakan tersebut sesuai dengan pendapat Jimly Asshidiqie yang
mmenurut hematnya radikalisme butuh ketegasan pemimpin bahwa pemimpin benar benar ingin
menghapus terorisme dengan kewenanga dari negara maka warga negara yang terindikasi
bergabung dengan kelompok teroris maka dapat dicabut status warganegaranya “Radikalisme butuh
ketegasan pemimpin. Negara punya kewenangan. Yang ikut perang negara lain, harus dicabut
paspor dan kewarganegaraannya. Itu sikap penting,”Ia mengatakan sikap tegas pemerintah itu bisa
mencegah warga yang awam tidak mudah tergiur ikut gerakan radikal dengan iming-iming surga.
Selain itu, tindakan tegas ini akan menjamur pada ketua-ketua ormas, pimpinan pondok pesantren
dan organisasi keagamaan lainnya untuk lebih waspada dengan anggota mereka. Dengan wacana
kebijakantersebut juga dapat menjadi pembelajaran bagi warga negara indoensia agar tidak
melakukan atau berniat bergabung dengan ISIS Anggota Komisi III DPR RI, Abdul Kadir Karding,
menegaskan, pencabutan status adalah salah satu upaya agar masyarakat tidak gampang tergoda
mengikuti gerakan radikal dan teroris Perlu ada upaya-upaya yang dapat menimbulkan efek jera
bagi pelakunya. Antara lain bagi mereka yang terbaiat atau berbaiat misal ISIS, maka usul saya
sebaiknya kewarganegaraannya dicabut eroris sebagai kejahatan kemanusiaan, dapat
menghancurkan kehidupan berbangsa bernegara. Sehingga, pencabutan dinilai tepat, agar
memberikan dampak mendalam, bagi para pengikut terorisme. Pencabutan tersebut dilakukan, tidak
hanya kepada kelompok radikal atau teroris lokal saja, namun juga internasional. Namun perlu

dipertegas bahwa tidak semua anggota kelompok radikal atau teroris serta merta dicabut,
Pencabutan hanya dijatuhkan kepada anggota yang sudah dibaiat ataupun membaiatkan diri.
Pembaiatan dimaksud adalah warga negara sudah tidak mengakui negara Indonesia dan Pancasila
sehingga kebaikan status kewarga-negaraan mereka harus dicabut. Penting kiranya untuk membuat
kebijakan lagi bahwa pencabutan haruslah ditujukan kepada warga negara yang sudah benar-benar
bergabung, tidak mantan teroris yang memiliki keinginan bertobat. selain itu RUU Terorisme ini
nantinya akan mempertajam UU Kewarganegaraan, bahwa pencabutan kewarganegaraan tak
sebatas terlibat aktivitas negara asing tapi juga terorisme. Karena, jika menggunakan UU
Kewarganegaraan untuk mencabut status warga negara, itu sama halnya mengakui ISIS sebagai
negara berdaulat. Sedangkan Tujuan mencabut paspor adalah upaya mencegah gerakan ISIS
sekaligus melemahkan ISIS yang selama ini diperkuat warga asing, pelemahan melalui kebijakan
ini dirasa sangat efektif karena jika setiap negara utamaya Indonesia melakukan kebijakan tersebut

maka dapat dipastikan akan mengurangi warga negara yang berniat bergabung dengan ISIS.
Dengan mellihat semua argumen yang telah penulis uraikan diatas Karena disepakati terorisme itu
sebagai extraordinary crime, maka penanganan harus extraordinary. urgensi terhadap wacana
pencabutan status warga negara sangatlah perlu dilakukan demi terciptanya tujuan negara indoensia
yang terbebas dari terorisme.