Resensi Michel Picard CULTURAL PERFORMAN
BAB 6
CULTURAL PERFORMANCES AS TOURIST ATTRACTION
TARIAN BALI SEBAGAI ATRAKSI PARIWISATA
"In the temple we ask for a blessing, and at a hotel we ask for money.
It's a ritual dance to ask the gods for a lot of tourists"
‐Michael Picard
Adat, budaya dan agama di Bali menjadi satu kesatuan yang saling
melengkapi dan memberikan makna dalam tata keagamaan masyarakat Hindu di
Pulau Dewata. Perpaduan adat, budaya dan agama inilah yang kemudian menjadi
cikal bakal tari tradisional Bali yang pada awalnya sangat disakralkan karena
merupakan persembahan untuk para Dewa. Namun setelah berkembangnya
pariwisata di Bali, menjadikan tari‐tarian ini pun mengalami perubahan yang cukup
signifikan.
Di Bab ini, Picard menitikberatkan pada perkembangan serta komodifikasi
budaya dalam bentuk tarian Bali dimana telah menjadi salah satu atraksi pariwisata
tersohor di dunia1. Secara garis besar Bab ini terdiri dari 3 Sub Bab yang membahas
secara mendetail mengenai tarian yang bermetamorfosis dari sakral menjadi atraksi
wisatawan serta tindakan prefentif pemerintah daerah provinsi Bali di dalam
melindungi asset budayanya dari pengaruh pariwisata.
1. Apakah Tarian Bali Merupakan Kesenian?
Picard mengawali pembahasannya dengan mempertanyakan esensi tarian
dalam budaya masyarakat Bali. Disebutkannya bahwa sebenarnya bahasa Bali tidak
memiliki kata untuk “seni” dan “kesenian”. Hal ini disebabkan karena orang Bali
cenderung membicarakan kegiatan‐kegiatan yang spesifik, yang tidak dapat
1
Buku ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan Picard di Bali selama tahun 1981 dan 1982.
Penelitian ini dilakukan di bawah naungan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan
mendapat perlindungan kelembagaan dari Prof Dr I Gusti Ngurah Bagus, Kepala Departemen
Antropologi di Universitas Udayana. Untuk mempertajam analisis dengan mempergunakan prinsip
kekinian tanpa mengubah esensi dari Bab ini, penulis mempergunakan beberapa referensi dan video
terkait (terlampir)
Putu Diah Sastri Pitanatri | 1
dipisahkan dari konteksnya. Sehingga dalam bahasa Bali, satu kata saja dapat
mengacu pada tarian atau penarinya, atau pada subyek dan obyek tarian tertentu.
Jika dalam istilah dalam bahasa Indonesia dibedakan antara “seni tari” dan
“seni drama” maka peristilahan Bali mencantumkan istilah tari dan drama dalam
kategori tunggal. Oleh sebab itu, jika membicarakan tarian di Bali, hendaknya
digabungkan dengan music, drama dan ritus, yang satu sama lainnya dianggap tidak
terpisahkan.
Perkembangan tarian di Bali di dunia Internasional pun mulai menjadi
primadona di dunia Internasional setelah tahun 1930‐an. Hal ini didorong oleh
banyaknya buku‐buku panduan, kisah‐kisah perjalanan serta video dokumenter 2
yang mengulasnya dengan penuh kekaguman.
Di antara Persembahan dan Hiburan
Mengutip pernyataan oleh Bandem & deBoer 1981; Basset 1990; Ramdest
1993; Zoete & Spies 1938 dalam Picard (2006:207), disebutkan bahwa konteks
tradisional pertunjukan di Bali adaah aneka upacara keagamaan (yadnya) yang
tersebar dalam kegiatan sehari‐hari. Di Bali tarian tidak hanya dianggap sebagai seni
pertunjukan namun merupakan suatu ritus; sehingga cukup sulit membedakan mana
yang termasuk ritus dan yang mana termasuk pertunjukan3.
Seorang antropolog Amerika Serikat Jane Belo pun menulis bahwa
masyarakat di Bali menganggap tarian mereka sebagai persembahan sedangkan
persembahan tersebut dipergelarkan seperti pertunjukan
4
. Masyarakat Bali
2
Trance & Dance In Bali (Documentary) oleh Gregory Bateson dan Margaret Mead (1937‐1939
Cambrige University & The American Museum of Natural History) di Desa Pagutatan
memperlihatkan bahwa antara ritual dan pertunjukan sangat sulit untuk dipisahkan.
3
The traditional context for a dramatic performance is provided by the numerous religious
celebrations (yadnya) which punctuate Balinese life: temple festivals (Dewa Yadnya), rites of
passage (Manusa Yadnya), funeral ceremonies (Pitra Yadnya), practices of exorcism (Buta Yadnya),
and so on. Nevertheless, while most dances are organically bound to a ceremonial occasion, they do
not all partake of ritual to the same extent. This poses a problem of classification, which foreign
observers have tended to approach by sorting dance into the categories of the sacred and the
profane, even though the authors of the first surveys of dance and drama in Bali had taken care to
warn their readers against the fundamental inadequacy of principles of classification so radically
foreign to Balinese reality (Picard 1986)
4
In Balinese culture no very sharp line was drawn between the performance of ritual and dramatics;
any dramatic performance was in itself an offering to the gods, and the presumption was that the
better the performance, the better the gods would be pleased Jane Belo, Trance in Bali 1960: 115.
Putu Diah Sastri Pitanatri | 2
mempertunjukan tarian mereka tidak hanya untuk hadirin yang nyata (sekala)
namun juga penonton dari dunia gaib (niskala); yang seperti halnya orang Bali
diyakini menyukai pertunjukan yang bermutu. Karena itulah di Bali tarian dianggap
sebagai persembahan untuk para dewata sekaligus juga hiburan untuk manusia.
Dari Para Dewa hingga Para Wisatawan
Pada sub bab ini, Picard menjelaskan secara singkat bahwa terjadi evolusi
pola pengayoman kesenian yang secara tradisional dilakukan oleh pura dan puri di
Bali.
Menurut kepercayaan masyarakat hindu di Bali, Pura dihidupkan secara
berkala pada waktu odalan, yaitu upacara yang dilakukan untuk membuka hubungan
dengan alam dewata yang ditujunya. Dewata diajak turun ke tengah manusia dan
melinggih (bersemayam) di altar‐altar yang disediakan untuk mereka. Kemudian
mereka turut serta dalam upacara dan menghadiri pertunjukan tarian yang
dipersembahkan untuk mereka5 (Belo 1953, dikutip oleh Picard 1986: 209)
Puri sebaliknya merupakan pusat kegiatan budaya di Bali sebelum masuknya
Belanda. Di Puri para raja dan bangsawan wajib untuk menyelenggarakan upacara‐
upacara untuk menunjukan keakraban dengan dewata serta leluhurnya. Upacara‐
upacara tersebut juga merupakan ajang persaingan untuk memperlihatkan
kemampuan mengerahkan pengikut dan sekaligus sebagai sarana pamer kekayaan.
Setelah pendudukan kolonial, banyak bangsawan yang menyerahkan
gamelan dan busana tarinya ke desa‐desa. Meskipun mematikan seni pertunjukan
puri namun merangsang kegiatan seni di lingkungan desa dan mengakibatkan gaya‐
gaya musik dan tarian baru.
Pendudukan jepang dan perang kemerdekaan menyebabkan intensitas
upacara serta pertunjukan di bali turun drastis. Namun setelah tahun 1970‐an
pemerintah Indonesia mulai memberikan perhatian khusus terhadap kesenian Bali
5
Salah satu bentuk tarian yang masih sangat disakralkan oleh masyarakat Bali sampai saat ini adalah
tarian Sanghyang Dedari seperti yang tampak pada video berikut ini Bali Indonesia‐ The Sacred
Sanghyang Trance, 1925 ‐ Bali Kuno
Putu Diah Sastri Pitanatri | 3
dalam upaya pembentukan kebudayaan nasional (Ramstedt 1992, dikutip oleh
Picard 1986: 210)6
1. Pertunjukan Pariwisata
Perkembangan pariwisata yang sangat pesat di pulau Dewata tak pelak
membuat pemerintah dan masyarakatnya mulai mempuat packaging untuk
memenuhi hasrat budaya wisatawannya. Picard membahas pertunjukan pariwisata
melalui perspektif komodifikasi produk budaya (dalam hal ini tari‐tarian) dengan
sangat apik. Adapun beberapa tarian yang menjadi subyek pembahasan dalam sub‐
bab ini diantaranya Tari Legong, Sendratari Ramayana, Tari Barong dan Keris, serta
tari Monyet, tari Sanghyang dan Tari Api.
Picard menggambarkan revolusi tari‐tarian yang terjadi setelah pariwisata
masuk dan menjadi sektor andalan Bali yang secara garis besar seperti tampak pada
tabel di bawah ini:
Tabel 1
Revolusi Tarian di Bali 7
No
1
Variabel
Fungsi
Sebelum sektor pariwisata
Setelah sektor pariwisata
berkembang di Bali
berkembang di Bali
Upacara
(temple
festival), Selain sebagai salah satu aspek
persembahan bagi para dewa; penting dalam upacara, tarian
memohon
sebagai
keselamatan, juga berfungsi sebagai daya
perwujudan
rasa tarik pariwisata budaya.
syukur, mengusir Bhuta Kala
dan sebagai penolak bala
6
Government exerts its patronage and influence in a number of ways. Of particular importance here
are several institutions established to teach, preserve, and promote Balinese artistic traditions—
specifically the performing arts: the Conservatory of Music (Kokar), the Academy of Dance (ASTI), the
Arts Council (Listibiya), and the Art Center (Werdi Budaya).24 In some respects, these institutions
have taken over the role formerly exercises by the courts—creating styles and establishing norms for
their execution, training dancers and musicians, and organizing and financing performances.
7
Pada dua video ini tampak perbedaan yang sangat signifikan antara persiapan tarian sakral dengan
tarian yang dipertunjukan bagi wisatawan. Pada tahun 1925 (The Sacred Sanghyang Trance, 1925 ‐
Bali Kuno) tampak bahwa sebelum tarian dipentaskan persiapannya dipenuhi ritual. Berbeda saat
tari dijadikan sebagai komoditas pariwisata, maka persiapan yang tampak pun lebih difokuskan
kepada atribut penari; bukan ritualnya (Traditional Dance Preparation in Bali‐ Bali Kuno, Indonesia)
Putu Diah Sastri Pitanatri | 4
2
Pementasan
Hanya pada hari‐hari yang Dapat dipentaskan setiap saat
dianggap sakral (dihubungkan
dengan piodalan atau upacara
di pura)
3
Sifat
Sakral
Sakral,
semi
sakral
dan
pertunjukan
4
Kostum
dan Sangat sederhana
aksesoris
Pakaian dan aksesoris lengkap
dengan modifikasi tertentu
karena saat ini seni tari sudah
menjadi pertunjukan
5
Penari
Orang‐orang tertentu
Relatif dapat ditarikan oleh
siapa saja 8
6
Penonton
Masyarakat lokal dan keluarga Masyarakat lokal, wisatawan,
kerajaan
pemerintah,
delegasi
dari
negara tetangga
7
Durasi
Berjam‐jam
15‐30 menit
8
Gerakan tari
Sangat sederhana
Modifikasi
gerakan
yang
disesuaikan dengan gamelan
yang mengiringi
9
Gong
Masyarakat sekitar dengan Sekaa / Kelompok kesenian
pengiring
tetabuhan seadanya
tradisional
Gratis
Tidak gratis
10 Harga tiket
Sumber: Picard (2006: 212‐230)
Pertunjukan Untuk Orang Bali Dan Pertunjukan Untuk Wisatawan
Dari pemaparan tersebut diatas, tampak bahwa pariwisata membuat
pertunjukkan untuk orang Bali dan pertunjukan untuk wisatawan menjadi rancu.
8
Saat ini kesenian tari di Bali semakin berkembang dengan adanya banyak kreasi tarian baru yang
dikemas untuk disajikan dalam konteks pariwisata. Salah satunya adalah tarian legong yang
ditarikan oleh pria seperti yang tampak pada video ini Legong Lanang Jaya Pangus
Putu Diah Sastri Pitanatri | 5
Seperti misalnya Legong dance dan Sendratari Ramayana; dua tarian ini memang
diciptakan untuk pertunjukan dan hiburan masyarakat kota.
Berbeda halnya dengan Tari Barong dan Keris, Kecak, Sanghyang Dedari dan
Sanghyang Jaran yang semuanya merupakan tari yang diperuntukkan bagi
pengusiran roh jahat (Bhuta Kala). Namun, tak dapat dipungkiri bahwa di beberapa
daerah di Bali, tari‐tarian ini telah menjadi perunjukan bagi para wisatawan.
2. Seminar Seni Sakral dan Profan Bidang Tari
Pada sub bab ini Picard menjelaskan bahwa terjadi kekaburan antara
kesenian yang yang bersifat sakral dan profan sebagai dampak dari pariwisata.
Disebutkan bahwa masyarakat Bali ingin memperjelas batas antara agama dan seni;
mana pertunjukan yang memiliki nilai religius serta yang mana yang memiliki nilai
“estetis”. Selain itu dibahas juga mengenai pembedaan ragam pertunjukkan yang
harus dipertahankan sesuai dengan tradisi, dan ragam pertunjukkan yang sesuai
dengamn selera / keinginan (demand) dari wisatawan. Oleh sebab itu maka
diadakanlah Seminar Sakral dan Profan bidang Tari (1971) sebelum diterbitkannya
Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Bali dan penyelenggaraan Seminar
Pariwisata Budaya, perwakilan Departmen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bali.
Sakral dan Profan
Seminar sakral dan profan dibutuhkan untuk memberi batasan yang jelas
antara kesenian profan dan sakral. Pembedaan dibutuhkan sebagai benteng dari
ancaman pencemaran pariwisata terhadap nilai‐nilai Bali yang paling “sakral” 9. Yang
menjadi masalah kala itu adalah tidak dikenalnya istilah “profan” dan “sakral”dalam
9
The issues addressed by this seminar were based on a twofold consideration. On the one hand, the
Balinese—and especially those who are involved in the tourist industry—need precise directives so
as to avoid being tempted to "touristify" (menoriskan) all forms of artistic expression, without
paying any attention to their traditional function. On the other hand, the tourists have to know that
the Balinese are not willing to "prostitute" (melacurkan) each one of their cultural traditions for the
sake of commer‐ cial gains. These considerations dictated the aim ascribed to the seminar, which
was thus formulated: to separate "sacred art" (sent sacral) from "secular art" (sent provan), and to
distinguish between different genres of sacred art in order to determine which ones could be
"secularized" (boleh di"provan"kan )and which ones should "keep their sacred character" (harus
tetap di"sakral"kan)
Putu Diah Sastri Pitanatri | 6
bahasa Bali dan bahasa Indonesia, sehingga menimbulkan kecanggungan bagi para
peserta seminar. Cendekiawan pada seminar tersebut bahkan bersikeras bahwa
“tarian sakral dan profan” merupakan satu kesatuan tunggal
Sebagai simpulan dari seminar ini, disepakati bahwa segala hal yang sifatnya
adat harus dipisahkan dari agama. Dengan demikian, terciptakanlah konsep “sakral”
ala Bali yang dibersihkan dari segala sesuatu yang sifatnya non religius. Unsur‐unsur
non religius yang digabungkan dengan unsur‐unsur kemoderenan kemudian
membentuk suatu bidang yang disebut profan10.
Seni Tari Wali, Bebali dan Balih‐Balihan
Selain membedakan antara sakral dan profan; seminar di atas juga
membuahkan istilah baru yang membedakan tiga kelompok tarian seperti yang
tampak pada tabel di bawah ini:
Tabel 2
Perbedaan antara Seni Tari Wali, Bebali dan Balih‐Balihan
Variabel
Seni Tari Balih‐
Seni Tari Wali
Seni Tari Bebali
Pembeda
Balihan
Upacara
Arti Kata
Sifat
Sakral
Tontonan
(sacred, Seremonial
religious dances)
Fungsi
Sesajen
(ceremonial dances)
Tidak terpisahkan dari Sebagai
pelaksanaan upacara
Tontonan
upacara
(secular
dances)
pengiring Hiburan murni; tanpa
ada kaitan apapun
dengan
upacara,
diluar jenis tarian Wali
dan Bebali
Lokasi
Halaman dalam Pura Halaman
tengah Halaman luar Pura
10
The outcome of this conceptual restructuring is that the former significance of adat as an all‐
encompassing order—cosmic as well as social—has been relativized and secularized by being
deprived of its religious aura. Once secular, adat can be converted into tourist attractions, thus
regaining in aesthetic qualities what it has lost in religious prerogatives, and eventually being
celebrated as "art" (seni budaya)
Putu Diah Sastri Pitanatri | 7
pegelaran
(jeroan),
tempat Pura (jaba tengah)
(jabe)
upacara
Unsur Naratif
Tidak memiliki
Contoh
Pendet, Rejang, Baris Wayang,
Gede, Sanghyang
Memiliki
Memiliki
topeng, Legong
gambuh,
dance,
dan Ramanyana
sebagainya
Ballet
dan sebagainya
Sumber: Picard (2006: 237‐239)
Picard menyebutkan bahwa terjadi kebingungan pada masyarakat khususnya
pedesaan untuk membedakan kategorisasi tarian tersebut. Oleh sebab itu pada
tahun 1978 Putra11 menganjurkan agar tarian bebali dianggap sebagai wali apabila
“menunjang pelaksanaan upacara” dan sebagai balih‐balihan apabila menjadi
“tontonan biasa”. Disini tampak bahwa tari bebali berdwifungsi −yaitu memiliki
fungsi ritual dan fungsi hiburan− berakhir dengan perpecahan kategori bebali.
Masalah Pembedaan
Surat Keputusan (SK) Gubernur Bali Pada tahun 1993 mengesahkan
kesimpulan seminar dengan melarang eksploitasi komersial dari tari‐tarian wali
untuk konsumsi wisatawan. Sayang sekali SK tersebut kurang memperjelas sifat dari
bebali serta tidak melarang secara terang‐terangan eksploitasi komersialnya
sehingga sangat sulit diterapkan oleh Pemerintah Daerah.
Dua hal yang saling bertentangan juga disebutkan dalam pemaparan hasil
penelitian dari Universitas Udayana. Penelitian pertama mengenai dampak sosial‐
budaya pariwisata menyebutkan bahwa tari dicitrakan sebagai tradisi hidup yang
bakal tercemar jika dijadikan konsumsi oleh pariwisata. Pada penelitian kedua
berlaku pendapat umum bahwa warisan budaya Bali tidak hanya wajib
“dipertahankan”, tetapi harus juga”digali”, “dibina”, dan “dikembangkan” (Listibiya
1973:5‐6 dalam Picard 2006:240)
Perbedaan hasil penelitian tersebut, cukup membuktikan bahwa orang Bali
pada saat itu sangat sulit membedakan dimensi ritual dan dramatis dari pertunjukan
11
I Gusti Agung Gede Putra, Kakanwil Departemen Agama‐ Instansi tertinggi dalam bidang keagamaan
di tingkat Provinsi
Putu Diah Sastri Pitanatri | 8
apa pun, bahkan termasuk dalam pementasan yang tujuan komersialnya paling
mudah disaksikan. Yang Nampak jelas adalah pertunjukan‐pertunjukan yang
diciptakan untuk pasaran pariwisata cenderung mengikuti prosedur ritual yang sama
seperti yang diterapkan pada upacara agama yang diacukan, termasuk persembahan
sesajen dan menggunakan perlengkapan yang disucikan.
Pentas dihadapan wisatawan pun dilakukan dengan tidak melepas atribut
yang disucikan dikarenakan para penari ingin mendapatkan taksu atau inspirasi saat
mementaskan suatu tari‐tarian12. Oleh sebab itu, para sastrawan dan penari Bali
tidak bersedia memisahkan yang “sakral” dari yang “profan”. Secara singkat para
penari tetap berada di suatu dunia yang gaib.
Dari Pembedaan hingga Kebingunan
Di akhir bab ini, Picard kembali mempertegas pengamatannya bahwa
pemerintah Bali saat itu kurang memberikan batasan yang jelas antara tari “sakral”
dan “profan”. Menurut pendapatnya keputusan‐keputusan yang diambil instansi di
Bali justru sangat berpotensi memperkuat kekaburan klasifikasi tarian tersebut.
Perbedaan yang sebelumnya diperuntukkan untuk memisahkan seni tari wali
dan balih‐balihan ternyata menggeser kategori bebali yang unsur‐unsur ritual dan
damatisnya hingga kini tidak dapat dipisahkan. Hal ini tampak pada pementasan
beberapa tarian misalanya gambuh yang cenderung disergamkan antara kebutuhan
untuk upacara agama atau kepada wisatawan dalam koteks atraksi komersial.
Akibatnya adalah perbedaan anatara jenis pertunjukan ini menjadi kabur sehingga
tidak ada lagi yang membedakannya kecuali konteks pementasannya.
12
G. A. G. Putra, Cudamani.Tari Wali (Denpasar, 1980), p. 3 on Picard 1992: 203. Besides purifying
themselves anew before each performance, the dancers of wali dances should have undertaken a
ritual purification called mawinten. Accessories such as head‐dresses (gelungan), masks (tapel), and
krisses (keris), are consecrated after having been made. Furthermore, the masks of Rangda and
Barong are endowed with "magic power" (sakti) by means of ritual procedures, which can be
succinctly described as follows. Before it could be worked on, the selected piece of wood should be
ritually "killed" (pralina). Once the mask is made, it is purified (prayascita) in order to obliterate any
trace of pollution (leteh) due to its manipulation. It is then "animatecΓ (utpeti) by a ritual specialist
during a ceremony (mapasupati) aimed at enabling the mask to be invested with a super‐ natural
force. In order to test its efficiency, a magic rite has yet to be administered (ngrehang), whose
success will confer upon the mask the property of sakti, referring to the power with which it is
henceforth endowed.
Putu Diah Sastri Pitanatri | 9
Penutup
Seni, budaya dan agama di Bali tidak dapat dipisahkan, karena seni dan
pertunjukan budaya awalnya dilakukan untuk upacara keagamaan. Bahkan seni
sebagai ekspresi religius adalah cara hidup orang Bali. Masalahnya dalam konteks
Bali adalah; bagaimana melestarikan budaya Bali dan pada saat yang sama
mengekspos dan menjualnya kepada wisatawan?
Tulisan Picard mengenai komodifikas13 seni tarian akibat penetrasi pariwisata
sudah cukup tajam. Selain memaparkan bahwa pariwisata memerankan peranan
yang sangat penting terhadap perubahan seni tarian, secara implisit disebutkan
bahwa perubahan tersebut memiliki makna yang cukup kompleks dari kultural,
sosial, dan kesejahteraan. Makna kulturalnya menyangkut revitalisasi, dan
pengembangan dari tradisi budaya lokal. Makna sosialnya terkait dengan
meningkatnya rasa kebersamaan dari warga masyarakat setempat serta terbukanya
ruang kreativitas seni. Makna kesejahteraan menyangkut bertambahnya
kemakmuran masyarakat termasuk kepuasan spiritual dan material yang mereka
dapatkan dari beraktivitas seni.
Pada bab ini Picard juga menyebutkan bahwa budaya Bali dalam hal ini seni
tarinya telah menjadi aset penting bagi Bali untuk menarik wisatawan, serta
meningkatkan kualitas hidup di pulau ini. Di sisi lain eksploitasi budaya untuk
konsumsi turis, jelas akan mempengaruhi keaslian budaya.
Yang menjadi kelemahan dalam tulisan ini adalah tidak adanya pernyataan
yang tegas mengenai pembeda tari wali, bebali maupun balih‐balihan. Di akhir Bab,
Picard justru masih bersikap ragu dan tidak dapat menyimpulkan perbedaan
13 Komodifikasi ini bukan saja terjadi pada aspek budaya yang profan, melainkan juga pada aspek
budaya yang sakral. Dengan kata lain, bersamaan dengan proses komodifikasi terjadi pula proses
profanisasi dan desakralisasi. Berbagai obyek sakral dan berbagai ritus sakral, semua
diperjualbelikan dalam paket‐paket yang siap dinikmati oleh wisatawan. Dengan proses ini maka
lambat laun manusia akan tercerabut dari akar budayanya, serta teralienasi dari jaring‐jaring
kehidupan sosial yang selama ini menopangnya (Pitana, 2002 :95)
Putu Diah Sastri Pitanatri | 10
tersebut. Selain itu Picard juga kurang membahas mengenai akulturasi 14 budaya
yang kemudian merubah seni tari menjadi komodifikasi pariwisata.
REFERENSI
Budarma, I Ketut. Akulturasi Antara Budaya Wisatawan Dan Masyarakat Lokal Dalam
Kepariwisataan Bali. Harmonia Jurnal Pengetahuan Dan Pemikiran Seni.
Volume VIII No.2 / Mei‐Agustus 2007 (170‐179)
Pitana, I Gde. 2002. Apresiasi Kritis Terhadap Kepariwisataan Bali (Critical
Appreciation Of Tourism In Bali). Denpasar : PT The Works.
Putra, Agus Muriawan. Bali Pariwisata Budaya Yang Samar Jurnal Manajemen
Pariwisata, Juni 2007. Volume 7, Nomor 1 (59‐73)
14 Budarma, I Ketut (2007: 177) menyebutkan secara leksikal akulturasi adalah proses mengadopsi
sifat budaya atau pola sosial dari kelompok lain. Hal ini juga mengacu pada proses belajar ide‐ide,
nilai, konvensi, dan perilaku kelompok sosial tertentu. Akulturasi juga digunakan untuk
menggambarkan hasil dari kontak sosial antara dua atau lebih budaya yang berbeda, komposit
budaya baru akan muncul. Beberapa fitur budaya yang ada digabungkan, beberapa akan
hilang,dan fitur baru akan muncul.
Putu Diah Sastri Pitanatri | 11
CULTURAL PERFORMANCES AS TOURIST ATTRACTION
TARIAN BALI SEBAGAI ATRAKSI PARIWISATA
"In the temple we ask for a blessing, and at a hotel we ask for money.
It's a ritual dance to ask the gods for a lot of tourists"
‐Michael Picard
Adat, budaya dan agama di Bali menjadi satu kesatuan yang saling
melengkapi dan memberikan makna dalam tata keagamaan masyarakat Hindu di
Pulau Dewata. Perpaduan adat, budaya dan agama inilah yang kemudian menjadi
cikal bakal tari tradisional Bali yang pada awalnya sangat disakralkan karena
merupakan persembahan untuk para Dewa. Namun setelah berkembangnya
pariwisata di Bali, menjadikan tari‐tarian ini pun mengalami perubahan yang cukup
signifikan.
Di Bab ini, Picard menitikberatkan pada perkembangan serta komodifikasi
budaya dalam bentuk tarian Bali dimana telah menjadi salah satu atraksi pariwisata
tersohor di dunia1. Secara garis besar Bab ini terdiri dari 3 Sub Bab yang membahas
secara mendetail mengenai tarian yang bermetamorfosis dari sakral menjadi atraksi
wisatawan serta tindakan prefentif pemerintah daerah provinsi Bali di dalam
melindungi asset budayanya dari pengaruh pariwisata.
1. Apakah Tarian Bali Merupakan Kesenian?
Picard mengawali pembahasannya dengan mempertanyakan esensi tarian
dalam budaya masyarakat Bali. Disebutkannya bahwa sebenarnya bahasa Bali tidak
memiliki kata untuk “seni” dan “kesenian”. Hal ini disebabkan karena orang Bali
cenderung membicarakan kegiatan‐kegiatan yang spesifik, yang tidak dapat
1
Buku ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan Picard di Bali selama tahun 1981 dan 1982.
Penelitian ini dilakukan di bawah naungan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan
mendapat perlindungan kelembagaan dari Prof Dr I Gusti Ngurah Bagus, Kepala Departemen
Antropologi di Universitas Udayana. Untuk mempertajam analisis dengan mempergunakan prinsip
kekinian tanpa mengubah esensi dari Bab ini, penulis mempergunakan beberapa referensi dan video
terkait (terlampir)
Putu Diah Sastri Pitanatri | 1
dipisahkan dari konteksnya. Sehingga dalam bahasa Bali, satu kata saja dapat
mengacu pada tarian atau penarinya, atau pada subyek dan obyek tarian tertentu.
Jika dalam istilah dalam bahasa Indonesia dibedakan antara “seni tari” dan
“seni drama” maka peristilahan Bali mencantumkan istilah tari dan drama dalam
kategori tunggal. Oleh sebab itu, jika membicarakan tarian di Bali, hendaknya
digabungkan dengan music, drama dan ritus, yang satu sama lainnya dianggap tidak
terpisahkan.
Perkembangan tarian di Bali di dunia Internasional pun mulai menjadi
primadona di dunia Internasional setelah tahun 1930‐an. Hal ini didorong oleh
banyaknya buku‐buku panduan, kisah‐kisah perjalanan serta video dokumenter 2
yang mengulasnya dengan penuh kekaguman.
Di antara Persembahan dan Hiburan
Mengutip pernyataan oleh Bandem & deBoer 1981; Basset 1990; Ramdest
1993; Zoete & Spies 1938 dalam Picard (2006:207), disebutkan bahwa konteks
tradisional pertunjukan di Bali adaah aneka upacara keagamaan (yadnya) yang
tersebar dalam kegiatan sehari‐hari. Di Bali tarian tidak hanya dianggap sebagai seni
pertunjukan namun merupakan suatu ritus; sehingga cukup sulit membedakan mana
yang termasuk ritus dan yang mana termasuk pertunjukan3.
Seorang antropolog Amerika Serikat Jane Belo pun menulis bahwa
masyarakat di Bali menganggap tarian mereka sebagai persembahan sedangkan
persembahan tersebut dipergelarkan seperti pertunjukan
4
. Masyarakat Bali
2
Trance & Dance In Bali (Documentary) oleh Gregory Bateson dan Margaret Mead (1937‐1939
Cambrige University & The American Museum of Natural History) di Desa Pagutatan
memperlihatkan bahwa antara ritual dan pertunjukan sangat sulit untuk dipisahkan.
3
The traditional context for a dramatic performance is provided by the numerous religious
celebrations (yadnya) which punctuate Balinese life: temple festivals (Dewa Yadnya), rites of
passage (Manusa Yadnya), funeral ceremonies (Pitra Yadnya), practices of exorcism (Buta Yadnya),
and so on. Nevertheless, while most dances are organically bound to a ceremonial occasion, they do
not all partake of ritual to the same extent. This poses a problem of classification, which foreign
observers have tended to approach by sorting dance into the categories of the sacred and the
profane, even though the authors of the first surveys of dance and drama in Bali had taken care to
warn their readers against the fundamental inadequacy of principles of classification so radically
foreign to Balinese reality (Picard 1986)
4
In Balinese culture no very sharp line was drawn between the performance of ritual and dramatics;
any dramatic performance was in itself an offering to the gods, and the presumption was that the
better the performance, the better the gods would be pleased Jane Belo, Trance in Bali 1960: 115.
Putu Diah Sastri Pitanatri | 2
mempertunjukan tarian mereka tidak hanya untuk hadirin yang nyata (sekala)
namun juga penonton dari dunia gaib (niskala); yang seperti halnya orang Bali
diyakini menyukai pertunjukan yang bermutu. Karena itulah di Bali tarian dianggap
sebagai persembahan untuk para dewata sekaligus juga hiburan untuk manusia.
Dari Para Dewa hingga Para Wisatawan
Pada sub bab ini, Picard menjelaskan secara singkat bahwa terjadi evolusi
pola pengayoman kesenian yang secara tradisional dilakukan oleh pura dan puri di
Bali.
Menurut kepercayaan masyarakat hindu di Bali, Pura dihidupkan secara
berkala pada waktu odalan, yaitu upacara yang dilakukan untuk membuka hubungan
dengan alam dewata yang ditujunya. Dewata diajak turun ke tengah manusia dan
melinggih (bersemayam) di altar‐altar yang disediakan untuk mereka. Kemudian
mereka turut serta dalam upacara dan menghadiri pertunjukan tarian yang
dipersembahkan untuk mereka5 (Belo 1953, dikutip oleh Picard 1986: 209)
Puri sebaliknya merupakan pusat kegiatan budaya di Bali sebelum masuknya
Belanda. Di Puri para raja dan bangsawan wajib untuk menyelenggarakan upacara‐
upacara untuk menunjukan keakraban dengan dewata serta leluhurnya. Upacara‐
upacara tersebut juga merupakan ajang persaingan untuk memperlihatkan
kemampuan mengerahkan pengikut dan sekaligus sebagai sarana pamer kekayaan.
Setelah pendudukan kolonial, banyak bangsawan yang menyerahkan
gamelan dan busana tarinya ke desa‐desa. Meskipun mematikan seni pertunjukan
puri namun merangsang kegiatan seni di lingkungan desa dan mengakibatkan gaya‐
gaya musik dan tarian baru.
Pendudukan jepang dan perang kemerdekaan menyebabkan intensitas
upacara serta pertunjukan di bali turun drastis. Namun setelah tahun 1970‐an
pemerintah Indonesia mulai memberikan perhatian khusus terhadap kesenian Bali
5
Salah satu bentuk tarian yang masih sangat disakralkan oleh masyarakat Bali sampai saat ini adalah
tarian Sanghyang Dedari seperti yang tampak pada video berikut ini Bali Indonesia‐ The Sacred
Sanghyang Trance, 1925 ‐ Bali Kuno
Putu Diah Sastri Pitanatri | 3
dalam upaya pembentukan kebudayaan nasional (Ramstedt 1992, dikutip oleh
Picard 1986: 210)6
1. Pertunjukan Pariwisata
Perkembangan pariwisata yang sangat pesat di pulau Dewata tak pelak
membuat pemerintah dan masyarakatnya mulai mempuat packaging untuk
memenuhi hasrat budaya wisatawannya. Picard membahas pertunjukan pariwisata
melalui perspektif komodifikasi produk budaya (dalam hal ini tari‐tarian) dengan
sangat apik. Adapun beberapa tarian yang menjadi subyek pembahasan dalam sub‐
bab ini diantaranya Tari Legong, Sendratari Ramayana, Tari Barong dan Keris, serta
tari Monyet, tari Sanghyang dan Tari Api.
Picard menggambarkan revolusi tari‐tarian yang terjadi setelah pariwisata
masuk dan menjadi sektor andalan Bali yang secara garis besar seperti tampak pada
tabel di bawah ini:
Tabel 1
Revolusi Tarian di Bali 7
No
1
Variabel
Fungsi
Sebelum sektor pariwisata
Setelah sektor pariwisata
berkembang di Bali
berkembang di Bali
Upacara
(temple
festival), Selain sebagai salah satu aspek
persembahan bagi para dewa; penting dalam upacara, tarian
memohon
sebagai
keselamatan, juga berfungsi sebagai daya
perwujudan
rasa tarik pariwisata budaya.
syukur, mengusir Bhuta Kala
dan sebagai penolak bala
6
Government exerts its patronage and influence in a number of ways. Of particular importance here
are several institutions established to teach, preserve, and promote Balinese artistic traditions—
specifically the performing arts: the Conservatory of Music (Kokar), the Academy of Dance (ASTI), the
Arts Council (Listibiya), and the Art Center (Werdi Budaya).24 In some respects, these institutions
have taken over the role formerly exercises by the courts—creating styles and establishing norms for
their execution, training dancers and musicians, and organizing and financing performances.
7
Pada dua video ini tampak perbedaan yang sangat signifikan antara persiapan tarian sakral dengan
tarian yang dipertunjukan bagi wisatawan. Pada tahun 1925 (The Sacred Sanghyang Trance, 1925 ‐
Bali Kuno) tampak bahwa sebelum tarian dipentaskan persiapannya dipenuhi ritual. Berbeda saat
tari dijadikan sebagai komoditas pariwisata, maka persiapan yang tampak pun lebih difokuskan
kepada atribut penari; bukan ritualnya (Traditional Dance Preparation in Bali‐ Bali Kuno, Indonesia)
Putu Diah Sastri Pitanatri | 4
2
Pementasan
Hanya pada hari‐hari yang Dapat dipentaskan setiap saat
dianggap sakral (dihubungkan
dengan piodalan atau upacara
di pura)
3
Sifat
Sakral
Sakral,
semi
sakral
dan
pertunjukan
4
Kostum
dan Sangat sederhana
aksesoris
Pakaian dan aksesoris lengkap
dengan modifikasi tertentu
karena saat ini seni tari sudah
menjadi pertunjukan
5
Penari
Orang‐orang tertentu
Relatif dapat ditarikan oleh
siapa saja 8
6
Penonton
Masyarakat lokal dan keluarga Masyarakat lokal, wisatawan,
kerajaan
pemerintah,
delegasi
dari
negara tetangga
7
Durasi
Berjam‐jam
15‐30 menit
8
Gerakan tari
Sangat sederhana
Modifikasi
gerakan
yang
disesuaikan dengan gamelan
yang mengiringi
9
Gong
Masyarakat sekitar dengan Sekaa / Kelompok kesenian
pengiring
tetabuhan seadanya
tradisional
Gratis
Tidak gratis
10 Harga tiket
Sumber: Picard (2006: 212‐230)
Pertunjukan Untuk Orang Bali Dan Pertunjukan Untuk Wisatawan
Dari pemaparan tersebut diatas, tampak bahwa pariwisata membuat
pertunjukkan untuk orang Bali dan pertunjukan untuk wisatawan menjadi rancu.
8
Saat ini kesenian tari di Bali semakin berkembang dengan adanya banyak kreasi tarian baru yang
dikemas untuk disajikan dalam konteks pariwisata. Salah satunya adalah tarian legong yang
ditarikan oleh pria seperti yang tampak pada video ini Legong Lanang Jaya Pangus
Putu Diah Sastri Pitanatri | 5
Seperti misalnya Legong dance dan Sendratari Ramayana; dua tarian ini memang
diciptakan untuk pertunjukan dan hiburan masyarakat kota.
Berbeda halnya dengan Tari Barong dan Keris, Kecak, Sanghyang Dedari dan
Sanghyang Jaran yang semuanya merupakan tari yang diperuntukkan bagi
pengusiran roh jahat (Bhuta Kala). Namun, tak dapat dipungkiri bahwa di beberapa
daerah di Bali, tari‐tarian ini telah menjadi perunjukan bagi para wisatawan.
2. Seminar Seni Sakral dan Profan Bidang Tari
Pada sub bab ini Picard menjelaskan bahwa terjadi kekaburan antara
kesenian yang yang bersifat sakral dan profan sebagai dampak dari pariwisata.
Disebutkan bahwa masyarakat Bali ingin memperjelas batas antara agama dan seni;
mana pertunjukan yang memiliki nilai religius serta yang mana yang memiliki nilai
“estetis”. Selain itu dibahas juga mengenai pembedaan ragam pertunjukkan yang
harus dipertahankan sesuai dengan tradisi, dan ragam pertunjukkan yang sesuai
dengamn selera / keinginan (demand) dari wisatawan. Oleh sebab itu maka
diadakanlah Seminar Sakral dan Profan bidang Tari (1971) sebelum diterbitkannya
Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Bali dan penyelenggaraan Seminar
Pariwisata Budaya, perwakilan Departmen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bali.
Sakral dan Profan
Seminar sakral dan profan dibutuhkan untuk memberi batasan yang jelas
antara kesenian profan dan sakral. Pembedaan dibutuhkan sebagai benteng dari
ancaman pencemaran pariwisata terhadap nilai‐nilai Bali yang paling “sakral” 9. Yang
menjadi masalah kala itu adalah tidak dikenalnya istilah “profan” dan “sakral”dalam
9
The issues addressed by this seminar were based on a twofold consideration. On the one hand, the
Balinese—and especially those who are involved in the tourist industry—need precise directives so
as to avoid being tempted to "touristify" (menoriskan) all forms of artistic expression, without
paying any attention to their traditional function. On the other hand, the tourists have to know that
the Balinese are not willing to "prostitute" (melacurkan) each one of their cultural traditions for the
sake of commer‐ cial gains. These considerations dictated the aim ascribed to the seminar, which
was thus formulated: to separate "sacred art" (sent sacral) from "secular art" (sent provan), and to
distinguish between different genres of sacred art in order to determine which ones could be
"secularized" (boleh di"provan"kan )and which ones should "keep their sacred character" (harus
tetap di"sakral"kan)
Putu Diah Sastri Pitanatri | 6
bahasa Bali dan bahasa Indonesia, sehingga menimbulkan kecanggungan bagi para
peserta seminar. Cendekiawan pada seminar tersebut bahkan bersikeras bahwa
“tarian sakral dan profan” merupakan satu kesatuan tunggal
Sebagai simpulan dari seminar ini, disepakati bahwa segala hal yang sifatnya
adat harus dipisahkan dari agama. Dengan demikian, terciptakanlah konsep “sakral”
ala Bali yang dibersihkan dari segala sesuatu yang sifatnya non religius. Unsur‐unsur
non religius yang digabungkan dengan unsur‐unsur kemoderenan kemudian
membentuk suatu bidang yang disebut profan10.
Seni Tari Wali, Bebali dan Balih‐Balihan
Selain membedakan antara sakral dan profan; seminar di atas juga
membuahkan istilah baru yang membedakan tiga kelompok tarian seperti yang
tampak pada tabel di bawah ini:
Tabel 2
Perbedaan antara Seni Tari Wali, Bebali dan Balih‐Balihan
Variabel
Seni Tari Balih‐
Seni Tari Wali
Seni Tari Bebali
Pembeda
Balihan
Upacara
Arti Kata
Sifat
Sakral
Tontonan
(sacred, Seremonial
religious dances)
Fungsi
Sesajen
(ceremonial dances)
Tidak terpisahkan dari Sebagai
pelaksanaan upacara
Tontonan
upacara
(secular
dances)
pengiring Hiburan murni; tanpa
ada kaitan apapun
dengan
upacara,
diluar jenis tarian Wali
dan Bebali
Lokasi
Halaman dalam Pura Halaman
tengah Halaman luar Pura
10
The outcome of this conceptual restructuring is that the former significance of adat as an all‐
encompassing order—cosmic as well as social—has been relativized and secularized by being
deprived of its religious aura. Once secular, adat can be converted into tourist attractions, thus
regaining in aesthetic qualities what it has lost in religious prerogatives, and eventually being
celebrated as "art" (seni budaya)
Putu Diah Sastri Pitanatri | 7
pegelaran
(jeroan),
tempat Pura (jaba tengah)
(jabe)
upacara
Unsur Naratif
Tidak memiliki
Contoh
Pendet, Rejang, Baris Wayang,
Gede, Sanghyang
Memiliki
Memiliki
topeng, Legong
gambuh,
dance,
dan Ramanyana
sebagainya
Ballet
dan sebagainya
Sumber: Picard (2006: 237‐239)
Picard menyebutkan bahwa terjadi kebingungan pada masyarakat khususnya
pedesaan untuk membedakan kategorisasi tarian tersebut. Oleh sebab itu pada
tahun 1978 Putra11 menganjurkan agar tarian bebali dianggap sebagai wali apabila
“menunjang pelaksanaan upacara” dan sebagai balih‐balihan apabila menjadi
“tontonan biasa”. Disini tampak bahwa tari bebali berdwifungsi −yaitu memiliki
fungsi ritual dan fungsi hiburan− berakhir dengan perpecahan kategori bebali.
Masalah Pembedaan
Surat Keputusan (SK) Gubernur Bali Pada tahun 1993 mengesahkan
kesimpulan seminar dengan melarang eksploitasi komersial dari tari‐tarian wali
untuk konsumsi wisatawan. Sayang sekali SK tersebut kurang memperjelas sifat dari
bebali serta tidak melarang secara terang‐terangan eksploitasi komersialnya
sehingga sangat sulit diterapkan oleh Pemerintah Daerah.
Dua hal yang saling bertentangan juga disebutkan dalam pemaparan hasil
penelitian dari Universitas Udayana. Penelitian pertama mengenai dampak sosial‐
budaya pariwisata menyebutkan bahwa tari dicitrakan sebagai tradisi hidup yang
bakal tercemar jika dijadikan konsumsi oleh pariwisata. Pada penelitian kedua
berlaku pendapat umum bahwa warisan budaya Bali tidak hanya wajib
“dipertahankan”, tetapi harus juga”digali”, “dibina”, dan “dikembangkan” (Listibiya
1973:5‐6 dalam Picard 2006:240)
Perbedaan hasil penelitian tersebut, cukup membuktikan bahwa orang Bali
pada saat itu sangat sulit membedakan dimensi ritual dan dramatis dari pertunjukan
11
I Gusti Agung Gede Putra, Kakanwil Departemen Agama‐ Instansi tertinggi dalam bidang keagamaan
di tingkat Provinsi
Putu Diah Sastri Pitanatri | 8
apa pun, bahkan termasuk dalam pementasan yang tujuan komersialnya paling
mudah disaksikan. Yang Nampak jelas adalah pertunjukan‐pertunjukan yang
diciptakan untuk pasaran pariwisata cenderung mengikuti prosedur ritual yang sama
seperti yang diterapkan pada upacara agama yang diacukan, termasuk persembahan
sesajen dan menggunakan perlengkapan yang disucikan.
Pentas dihadapan wisatawan pun dilakukan dengan tidak melepas atribut
yang disucikan dikarenakan para penari ingin mendapatkan taksu atau inspirasi saat
mementaskan suatu tari‐tarian12. Oleh sebab itu, para sastrawan dan penari Bali
tidak bersedia memisahkan yang “sakral” dari yang “profan”. Secara singkat para
penari tetap berada di suatu dunia yang gaib.
Dari Pembedaan hingga Kebingunan
Di akhir bab ini, Picard kembali mempertegas pengamatannya bahwa
pemerintah Bali saat itu kurang memberikan batasan yang jelas antara tari “sakral”
dan “profan”. Menurut pendapatnya keputusan‐keputusan yang diambil instansi di
Bali justru sangat berpotensi memperkuat kekaburan klasifikasi tarian tersebut.
Perbedaan yang sebelumnya diperuntukkan untuk memisahkan seni tari wali
dan balih‐balihan ternyata menggeser kategori bebali yang unsur‐unsur ritual dan
damatisnya hingga kini tidak dapat dipisahkan. Hal ini tampak pada pementasan
beberapa tarian misalanya gambuh yang cenderung disergamkan antara kebutuhan
untuk upacara agama atau kepada wisatawan dalam koteks atraksi komersial.
Akibatnya adalah perbedaan anatara jenis pertunjukan ini menjadi kabur sehingga
tidak ada lagi yang membedakannya kecuali konteks pementasannya.
12
G. A. G. Putra, Cudamani.Tari Wali (Denpasar, 1980), p. 3 on Picard 1992: 203. Besides purifying
themselves anew before each performance, the dancers of wali dances should have undertaken a
ritual purification called mawinten. Accessories such as head‐dresses (gelungan), masks (tapel), and
krisses (keris), are consecrated after having been made. Furthermore, the masks of Rangda and
Barong are endowed with "magic power" (sakti) by means of ritual procedures, which can be
succinctly described as follows. Before it could be worked on, the selected piece of wood should be
ritually "killed" (pralina). Once the mask is made, it is purified (prayascita) in order to obliterate any
trace of pollution (leteh) due to its manipulation. It is then "animatecΓ (utpeti) by a ritual specialist
during a ceremony (mapasupati) aimed at enabling the mask to be invested with a super‐ natural
force. In order to test its efficiency, a magic rite has yet to be administered (ngrehang), whose
success will confer upon the mask the property of sakti, referring to the power with which it is
henceforth endowed.
Putu Diah Sastri Pitanatri | 9
Penutup
Seni, budaya dan agama di Bali tidak dapat dipisahkan, karena seni dan
pertunjukan budaya awalnya dilakukan untuk upacara keagamaan. Bahkan seni
sebagai ekspresi religius adalah cara hidup orang Bali. Masalahnya dalam konteks
Bali adalah; bagaimana melestarikan budaya Bali dan pada saat yang sama
mengekspos dan menjualnya kepada wisatawan?
Tulisan Picard mengenai komodifikas13 seni tarian akibat penetrasi pariwisata
sudah cukup tajam. Selain memaparkan bahwa pariwisata memerankan peranan
yang sangat penting terhadap perubahan seni tarian, secara implisit disebutkan
bahwa perubahan tersebut memiliki makna yang cukup kompleks dari kultural,
sosial, dan kesejahteraan. Makna kulturalnya menyangkut revitalisasi, dan
pengembangan dari tradisi budaya lokal. Makna sosialnya terkait dengan
meningkatnya rasa kebersamaan dari warga masyarakat setempat serta terbukanya
ruang kreativitas seni. Makna kesejahteraan menyangkut bertambahnya
kemakmuran masyarakat termasuk kepuasan spiritual dan material yang mereka
dapatkan dari beraktivitas seni.
Pada bab ini Picard juga menyebutkan bahwa budaya Bali dalam hal ini seni
tarinya telah menjadi aset penting bagi Bali untuk menarik wisatawan, serta
meningkatkan kualitas hidup di pulau ini. Di sisi lain eksploitasi budaya untuk
konsumsi turis, jelas akan mempengaruhi keaslian budaya.
Yang menjadi kelemahan dalam tulisan ini adalah tidak adanya pernyataan
yang tegas mengenai pembeda tari wali, bebali maupun balih‐balihan. Di akhir Bab,
Picard justru masih bersikap ragu dan tidak dapat menyimpulkan perbedaan
13 Komodifikasi ini bukan saja terjadi pada aspek budaya yang profan, melainkan juga pada aspek
budaya yang sakral. Dengan kata lain, bersamaan dengan proses komodifikasi terjadi pula proses
profanisasi dan desakralisasi. Berbagai obyek sakral dan berbagai ritus sakral, semua
diperjualbelikan dalam paket‐paket yang siap dinikmati oleh wisatawan. Dengan proses ini maka
lambat laun manusia akan tercerabut dari akar budayanya, serta teralienasi dari jaring‐jaring
kehidupan sosial yang selama ini menopangnya (Pitana, 2002 :95)
Putu Diah Sastri Pitanatri | 10
tersebut. Selain itu Picard juga kurang membahas mengenai akulturasi 14 budaya
yang kemudian merubah seni tari menjadi komodifikasi pariwisata.
REFERENSI
Budarma, I Ketut. Akulturasi Antara Budaya Wisatawan Dan Masyarakat Lokal Dalam
Kepariwisataan Bali. Harmonia Jurnal Pengetahuan Dan Pemikiran Seni.
Volume VIII No.2 / Mei‐Agustus 2007 (170‐179)
Pitana, I Gde. 2002. Apresiasi Kritis Terhadap Kepariwisataan Bali (Critical
Appreciation Of Tourism In Bali). Denpasar : PT The Works.
Putra, Agus Muriawan. Bali Pariwisata Budaya Yang Samar Jurnal Manajemen
Pariwisata, Juni 2007. Volume 7, Nomor 1 (59‐73)
14 Budarma, I Ketut (2007: 177) menyebutkan secara leksikal akulturasi adalah proses mengadopsi
sifat budaya atau pola sosial dari kelompok lain. Hal ini juga mengacu pada proses belajar ide‐ide,
nilai, konvensi, dan perilaku kelompok sosial tertentu. Akulturasi juga digunakan untuk
menggambarkan hasil dari kontak sosial antara dua atau lebih budaya yang berbeda, komposit
budaya baru akan muncul. Beberapa fitur budaya yang ada digabungkan, beberapa akan
hilang,dan fitur baru akan muncul.
Putu Diah Sastri Pitanatri | 11