Resensi buku Ahmadiyah

RESENSI AHMADIYAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah:
Sejarah Kebudayaan Islam
Dosen Pengampu: Insan Fahmi Siregar, S.Ag. M.Hum.

Disusun oleh:
Yuniati
3101411054

JURUSAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014

Judul

: Mirza Ghulam Ahmad Mujahid, Mesias, Nabi atau “?”
Ahmadiyah dalam PanggungnSejarah Sosial Keagamaan di
Indonesia

Pengarang


: Ibnu Sodiq

Penerbit

: Widya Karya Semarang

Tahun Terbit : 2013
Tebal Buku

: x, 151 hlm, ; 23 cm.

Mirza Ghulam Ahmad Mujahid, Mesias, Nabi atau “?” Ahmadiyah dalam
PanggungnSejarah Sosial Keagamaan di Indonesia
Ahmadiyah merupakan nama dari sebuah organisasi sosial keagamaan
yang menyatakan sebagai bagian dari agama Islam. Ketidaksamaan ajaran
Ahmadiyah dengan organisasi Islam lainnya inilah yang sering memicu,
terjadinya ketegangan, dan bahkan konflik horizontal dalam masyarakat.
Kelahiran aliran Ahmadiyah yang dipimpin oleh Mirza Ghulam Ahmad di
Qadian India (sekarang masuk Pakistan) tidak lepas dari situasi dan kondisi sosial

politik dan perkembangan agama di India pada akhir abad 19, tepatnya pada tahun
1889. Pada masa itu India berada dibawah penjajahan Inggris, sebuah negeri
Nasrani besar di Eropa. Tak ayal pengaruh nasrani amat pesat di negeri jajahan
itu. Bangsa India secara politis, terutama pemeluk Islam menjadi amat terpukul
dan terpuruk. Sementara itu kalangan pemeluk agama Hindu terjadi pula
kebangkitan agama Hindu kembali yag dipelopori lahirnya gerakan brahma
Samaj. Pada saat itulah Mirza Ghulam Ahmad mulai bangkit melakukan
perlawanan dengan kegiatan dakwah lebih intensif. Umat Islam mulai merasakan
keberhasilan dakwah yang dilakukan oleh Mirza Ghulam Ahmad, yaitu
membangkitkan kembali semangat dalam beragama Islam.

Ketika menyaksikan betapa banyak kepercayaan ditumpahkan ke
pundaknya oleh umat, yakinlah dia bahwa dia telah mendapatkan kepercayaan
sebagai seorang terpilih oleh Allah sebagai nabi atau avatara Nabi Isa yang dipilih
untuk menegakkan kembali keagungan Islam. Pada tahun 1882 menurut
pengakuan Mirza Ghulam Ahmad, dirinya menerima perintah untuk menjadi
mujaddid (reformer). Selanjutnya pada akhir tahun 1890 Mirza Ghulam Ahmad
mengaku menerima ilham dari Allah dan mengangkatnya sebagai imam mahdi
merangkap sebagai al-masih, sebagaimana telah dijanjikan Allah kepada Nabi
Muhammad. Saat itu pula Mirza Ghulam Ahmad telah, mengingkari kenabian dan

kerasulan terakhir dari Nabi Muhammad S.A.W yang diyakini sebagai salh satu
pokok ajaran Islam sebagaimana yang diajarkan Al-Quran. Sewajarnyalah kalau
para ulama Islam menfatwakan tentang kesesatan ajaran Jemaat Ahmadiyah.
Tidak semua pengikut Ahmadiyah mempunyai kepercayaan bahwa pintu
kenabian tetap terbuka selama dunia ini masih ada. Adalah Ahmadiyah lahore
yang dengan tegas menolak pendapat yang diyakini Ahmadiyah Qadian. Bagi
Ahmadiyah Lahore masalah kenabian sudah selseai dengan diutusnya Muhammad
sebagai nabi terakhir. Kalaupun ada seorang tokoh yang muncul dan mempunyai
pengaruh dalam suatu jaman, itu hanyalah seorang mujadid (pembaru), yang
kedudukan serta tugasnya hanya sebatas pada memperbarui penafsiran agama,,
dan bukan sebagai orang yang mempunyai tugas kenabian yang menyampaikan
rislah pada umat manusia.
Pada awala berdirinya Ahmadiyah hanya dikenal satu. Namun, seiring
dengan perjalanan sejarahnya, Ahmadiyah terpecah menjadi dua yaitu Ahmadiyah
Qadian dan Ahmadiyah Lahore. Faktor penyebab perpecahan itu dilatarbelakangi
adanya sekelompok orang dalam Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam
Ahmad sebagai nabi yang diutus Allah untuk umat manusia. Oleh karena itu
kelompok yang mengakuinya sebagai nabi berpendapat bahwa yang berhak
meneruskan kepemimpinan (Khalifah) dalam Ahmadiyah haruslah keturunan
langsung Mirza Ghulam Ahmad. Kelompok yang seperti inilah yang dikenal

dengan sebutan Ahmadiyah Qadian.

Sementara itu kelompok yang menyatakan bahwa pemimpin Ahmadiyah
tidak harus berasal dari dari keturunan Mirza Ghulam Ahmad lebih dikenal
dengan Ahmadiyah Lahore. Kelompok ini tidak mengakui adanya nabi baru, yang
berarti juga tidak mengakui adanya kekhalifahan sebagaimna yang diyakini oleh
Amadiyah Qadian. Kelompok ini merupakan gerakan keagamaan yang cukup
terbuka yang dalam struktur organisasinya tidak seketat Ahmadiyah Qadian. Oleh
Karena itu, Ahmadiyah Lahore relatif lebih bisa diterima oleh masyarakat.
Indonesia sebagai sebuah negara yang mengakui serta menganut pluralis
sekuralisme sedikit banyak telah ikut menyuburkan paham keagamaan seperti
Ahmadiyah. Kebebasan dalam mengekspresikan dan menafsirkan sebuah ajaran
agama dapat diwujudkan tanpa mendapa halangan yang berarti. Sikap toleransi
atau tepatnya tidak mau tau dan masa bodoh yang begitu tinggi dari masyarakat
terhadap sesuatu yang baru menambah daya dorong berkembangnya sebuah
organisasi atau ajaran baru. Namun, dibalik semua itu ada suatu potensi yang
menyebabkan terjadinya konflik horizontal dalam masyarakat yakni adanya
pemahaman yang berbeda.
Berawal dari datangnya muballig Ahmadiayah dari Pakistan, Ahmadiyah
Qadian maupun Lahore mulai memperkenalkan dan menyusupkan ajarannya ke

dalam masyarakat, meskipun masih dengan cara yang samar-samar. Para mubalig
yang bertugas di Indonesia saat itu masih menyembunyikan jati dirinya.
Ahmadiyah Qadin mengirimkan mubalig yang bernama Maulana Rahmat Ali.
Sementara Ahmadiyah Lahore yang pertama kali bertugas sebagai mubalig adalah
Maulana Ahmad dan Mirza Ahmad Baig. Kedua mubalig Lahore ini langsung
menuju Yogyakarta sebagai medan garapan dakwahnya.
Sempitnya ruang yang diperoleh Ahmadiyah di Indonesia disesbabkan
adanya pemahaman yang berbeda dengan yang diyakini oleh sebagian besar umat
Islam, khususnya dalam masalah kenabian. Bagi umat Islam pembaharuan bukan
sesuatu yang tabu, tetapi bukan pembaharuan sebagaimana yang dipahami
Ahmadiyah. Pembaharuan bisa saja dilakukan akan tetapi tidak menyangkut pada

sendi-sendi pokok agama. Pembaharuan hanya dapat dilakukan sebatas pada
masalah-masalah umum. Pembaharuan dengan merubah sendi-sendi agama sama
halnya menciptakan agama baru yang berarti sudah melanggar hukum dan keluar
dari koridor yang ditetapkan agama.
Keyakinan dan kepercayaan Ahmadiyah Qadian yang begitu ekstrim
sedikit banyak mempengaruhi perkembangan Ahmadiyah Lahore. Sekalipun
Ahmadiyah Lahore dalam mendudukan Mirza Ghulam Ahmad tidak seekstrim
Ahmadiyah Qadian, tetapi relitas umat Islam tetap saja menganggap sama dan

tidak ada perbedaannya yaitu sama-sama menjadi pengikut Mirza Ghulam
Ahmad. Keduanya bagaikan sisi mata uang yang mempunyai nilai mata uang
yang sama simetris dan sebangun. Anggapan ini pula yang mengakibatkan
Ahmadiyah Lahore dalam mendirikan dan mengelola lembaga pendidikan tidak
menggunakan nama Ahmadiyah sebagai identitasnya.
Cara yang diambil Ahmadiyah Lahore sedikit banyak telah membuahkan
hasil, dimana tingkat kecurigaan umat islam Indonesia terhadap Ahmadiyah
sedikit berkurang. Hal itu terbukti dengan diterimanya PIRI sebagai lembaga
pendidikan resmi di Indonesia. Jadi, tujuan Ahmadiyah Lahore dalam upaya
memperkenalkan ajaran Mirza Ghulam Ahmad dapat berjalan tanpa harus
dicurigai sebagaimana Ahmadiyah Qadian.
Kelebihan Buku:
1. Dengan adanya catatan kaki, memudahkan para pembaca untuk
membandingkan isi buku dengan buku lain.
2. Memiliki materi yang cukup penting untuk menunjang perkuliahan
Sejarah Kebudayaan Islam serta Sejarah Sosial
3. Adanya bukti-bukti nyata berupa foto gambar foto serta data-data lain
yang semakin meyakinkan pembaca mengenai kebenaran dari isi buku.
4. Bahasa dan tata tulis bahasa lugas dan jelas sehingga isi dari buku mudah
dimengerti.


Kelemahanisi buku:
1. Gaya Penulisan terlalu monoton sehingga pembaca menjadi jenuh
dalam membaca.
2. Seharusnya dalam setiap bab memiliki kesimpulan pada setiap ahir
bab.