PENDAPAT ULAMA FIQIH TENTANG PENENTUAN A
PENDAPAT ULAMA FIQIH TENTANG PENENTUAN AWAL
BULAN QAMARIYAH
A. Pendahuluan
Penetapan bulan Qamariah merupakan salah satu bagian dari pembahasan ilmu hisab
rukyah yang lebih sering mendapat perhatian dan tanggapan dari berbagai pihak. Lagi pula
dalam penentuannya pun sejak dari dulu para ulama melahirkan pendapat yang bervariasi
dan mazhab yang berbedabeda dalam halhal yang berhubungan dengan penetapan bulan
Qamariah tersebut. Mengambil perkataan Ibrahim Husein, menurut beliau permasalahan ini
dikatakan sebagai persoalan “klasik” yang selalu “aktual”. Bagaimana tidak, sejak masa
masa awal islam persoalan ini sudah mendapat perhatian yang mendalam dari para pakar
hukum islam, sampai sekarang pun persoalan penetapan bulan Qamariah, khususnya
menjelang bulan Ramadhan, Syawal, serta Dzulhijjah selalu tidak habishabisnya
diperbincangkan dan selalu terjadi perbedaan dalam penetapannya.
Akar masalah terjadinya perbedaan tersebut terletak pada pemahaman dan interpretasi
yang bermacammacam dari haditshadits Nabi SAW yang berkaitan dengan permasalahan
penetapan bulan Qamariah. Dari sinilah penulis mencoba mengangkat permasalahan
diatas dan sedikit penguraikan tentang pendapatpendapat para ulama fiqih tentang halhal
tersebut. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, amien.
B. Pembahasan
1. Sejarah Hisan dan Rukyah
Berbicara masalah penentuan awal bulan Qamariah, khususnya pada bulanbulan yang
erat kaitannya dengan masalah ibadah seperti bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah,
kita tidak akan terlepas dari dua metode penting, yaitu metode hisab dan metode rukyah.
Untuk itu sebelum kita menuju kepermasalahan sebaiknya kita harus tahu dulu sejarah
singkat mengenai Hisab dan Rukyah.
Secara historis, antara hisab dan rukyah, ulama sepakat bahwa rukyahlah yang lebih dulu
ada dan berkembang dikalangan umat islam dibandingkan hisab. Bahkan menurut Ibnu
Taimiyah bahwa syariatsyariat sebelum kita juga mengaitkan hukumhukum mereka
dengan melihat (rukyah) hilal. Hanya saja diantara pengikutnya ada yang merubahnya.
Sebagaimana yang dilakukan oleh orangorang Yahudi yang menentukan hukumhukum
mereka dengan hisab, yakni pada saat terjadinya ijtima’ serta menjadikan sebagian hari
rayanya menggunakan kalender syamsiyah. Sebagaimana juga yang dilakukan oleh orang
orang Nashara, Shabiah dan Majusi.
Pada saat Nabi Muhammad SAW. berada di Madinah yang mayoritas penduduknya
bermata pencaharian bercocok tanam, mereka menggunakan sistem penanggalan
Qamariah untuk menentukan awal bulan yaitu dengan melihat fasefase perubahan bulan
itu dalam tiap bulannya. Akan tetapi, dengan penalanggalan ini mereka mengalami
kesulitan untuk menentukan musim yang sangat mereka perlukan. Maka mereka
menggabung penanggalan Qamariah itu dengan penanggalan syamsiah. Akibatnya, dalam
setiap tiga tahun Qamariyah akan ada bulan ke 13. Bulan ke 13 itu mereka gunakan untuk
melakukan upacara ritual dan pesta pora yang menyesatkan.
Kemudian turunlah wahyu Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk
meluruskan tradisi tersebut yaitu yang tertera dalam Surah AtTaubah ayat 36 yang
berbunyi:
¨bÎ) no£Ïã Íqåk¶9$# yZÏã «!$# $oYøO$# u|³tã #\öky Îû É=»tFÅ2 «!$# tPöqt
t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# ßöF{$#ur !$pk÷]ÏB îpyèt/ör& ×Pããm 4 Ï9ºs ßûïÏe$!$# ãNÍhs)ø9$# 4
xsù (#qßJÎ=ôàs? £`ÍkÏù öNà6|¡àÿRr& 4 (#qè=ÏG»s%ur úüÅ2Îô³ßJø9$# Zp©ù!%x. $yJ2
öNä3tRqè=ÏG»s)ã Zp©ù!$2 4 (#þqßJn=÷æ$#ur ¨br& ©!$# yìtB tûüÉ)GãKø9$# ÇÌÏÈ
Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam
ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan
haram . Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu
dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang
orang yang bertakwa.”
Dengan turunnya ayat ini yang menjelaskan bahwa bilangan bulan disisi Allah berjumlah 12
bulan, dengan dasar inilah Nabi Muhammad SAW melakukan perubahan pertama yang
mendasar terhadap penanggalan yang berlaku di Madinah yaitu dengan menghapus
adanya bulan yang ke 13.
Selanjutnya pada tahun ke 2 Hijriyah Nabi SAW diperintahkan Allah SWT untuk berpuasa
pada bulan Ramadhan seperti yang tersurat pada firman Allah SWT yang tertera pada ayat
183 dan 185 yang berbunyi:
$ygr'ˉ»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$#
`ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
183. Hai orangorang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orangorang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
ãöky tb$ÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB
3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4 `yJsù yÍky ãNä3YÏB tök¤¶9$# çmôJÝÁuù=sù ( `tBur tb$2
$³ÒÍsD ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r& tyzé& 3 ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã
ãNà6Î/ uô£ãèø9$# (#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£Ïèø9$# (#rçÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4n?tã $tB öNä31yyd
öNà6ˉ=yès9ur crãä3ô±n@ ÇÊÑÎÈ
185. (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena
itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
harihari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.
Dari ayat inilah Allah SWT dengan perantara rasulnya Muhammad SAW mewajibkan
berpuasa kepada seluruh umat islam, sebagaimana Allah SWT telah mewajibkan puasa
kepada umatumat terdahulu. Kemudian Nabi pun menjelaskan pada masyarakat pada saat
itu bahwa umur bulan Qaamariah itu terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari. Dan Nabi
SAW juga menjelaskan mengenai teknis bagaimana pergantian antar bulan itu terjadi
mengenai bulan mana yang berumur 29 hari dan yang berumur 30 hari, maka Nabi SAW
menerangkan dengan sabdanya:
ان هريرة أبي زياد(عن ابن )وهو محمد مسلم(عن ابن )يعني الرابيع حدثنا , سلم بن الرحمن عبد حدثنا
كتاب في مسلم )رواه "فأكملواالعدد عليكم غمى فإن لرؤيته وافطروا لرؤيته "صوموا :قال م.ص النبي
(الصوم
Artinya: “ Berpuasalah kamu karena melihat hilal, dan berbukalah kamu karena melihat
hilal. Apabila hilal itu tertutup awan atasmu maka sempurnakanlah bilangan itu (bilangan
bulan sya’ban tiga puluh)”. (Diriwayatkan oleh Muslim)
:م.ص النبي قال :يقول عنه الله رضي هريرة ابا سمعت :قال زياد بن محمد حدثنا شعبة حدثنا آدم حدثنا
كتاب في البخاري ")روه ثلثين شعبان عدة فأكملواا عليكم غبى فإن لرؤيته وافطروا لرؤيته "صوموا
(الصيام
Artinya: “ Berpuasalah kamu karena melihat hilal, dan berbukalah kamu karena melihat
hilal. Apabila hilal itu tertutup debu atasmu maka sempurnakanlah bilangan sya’ban tiga
puluh”.
(Diriwayatkan oleh AlBukhari)
Berdasarkan dua hadits′ inilah Nabi SAW mengisyaratkan kepada kita bahwa untuk
mengetahui pergantian bulan adalah dengan menggunakan rukyatu hilal. Apabila hilal
sudah berhasil dilihat tanpa ada kendala apapun maka dapat dipastikan bahwa keesokan
harinya sudah masuk bulan baru atau tanggal satu bulan berikutnya. Namun apabila hilal
tidak berhasil dilihat karena tertutup awan atau hal lain yang mengakibatkan tidak
terlihatnya hilal maka keesokan harinya masih merupakan bulan yang masih berjalan atau
dengan menyempurnakan bilangan bulan sebelumnya menjadi 30 hari. Hal inilah yang
disebut dengan istikmal.
Sebagai implementasi dari hadis′ itu para sahabat berusaha melihat hilal sesaat setelah
matahari terbenam pada Jum’at malam Sabtu tanggal 29 Sya’ban tahun ke 2 H. Akan
tetapi, rukyahnya tidak berhasil. Berita ini kemudian disampaikan kepada Nabi SAW.
Kemudian Nabi menetapkan bahwa bulan Sya’ban tahun ini berumur 30 hari. Selanjutnya,
pada hari Ahad petang tanggal 29 Ranadhan tahun itu pula para sahabat berusaha untuk
melihat hilal dan mereka berhasil. Berita keberhasilan itu disampaikan kepada Nabi. Nabi
kemudian memerintahkan kepada para sahabatnya untuk mengakhiri puasa pada malam
iotu juga. Maka, pada tahun itu Nabi SAW dan para sahabatnya berpuasa selama 29 hari.
Dari beberapa keterangan diatas, dapat kita ambil beberapa kesimpulan. Pertama,
perubahan hari dalam sistem penanggalan Qamariyah terjadi pada awal malam yaitu
sesaat setelah matahari terbenam. Kedua, umur bulan terkadang 29 terkadang 30. umur
bulan 29 hari apabila hilal berhasil diihat pada hari itu, sedangkan apabila hilal tidak
berhasil dilihat karena ada sesuatu yang menghalanginya maka bilangan bulan
diempurnakan menjadi 30 hari. Ketiga, jumlah bulan pada setiap tahunnya adalah 12 bulan
bukan 13 bulan seperti perhitungan yang dilakukan oleh orangorang dahulu.
Sementara itu penggunaan metode hisab yang berarti menentukan kedudukan matahari
ataupun bulan sehingga dapatlah diketahui kedudukan matahari dan bulan tersebut pada
bola langit disaatsaat tertentu, sebagai salah satu metode dalam menentukan tanggal baru
bulan Qamariah khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah apabila kita lihat
sejarah awal terbentuknya disiplin ilmu ini bukanlah hal yang baru, bahkan ilmu menurut
Zubaer Umar AlJailany dalam bukunya “ Khulasatul Wafiyah” orang yang pertama kali
yang menemukan ilmu hisab adalah Nabi Idris as.
Sekitar abad ke28 SM embrio ilmu ini mulai tampak. Ilmu ini digunakan untuk menentukan
waktu bagi saatsaat penyembahan berhala. Keadaan seperti ini sudah tampak di beberapa
negara seperti di Mesir untuk menyembah dewa Orisis, Isis, dan Amon, di Babilonia dan
Mesopotamia untuk menyembah dewa Astoroth dan Baal.
Dalam dunia Islam, Khalifah Abu Ja’far alMansur adalah orang yang pertama kali
memperhatikan ilmu hisab ini. Beliau memerintahkan kepada Muhammad ibn Ibrahim al
Fazari untuk menerjemahkan kitab “Sindhind” atau “Sidhanta” sebuah kitab astronomi yang
diserahkan oleh pengembara India. Atas usaha inilah alFazari dikenal sebagai ahli falak
yang pertama didunia islam.
Di Indonesia, sejak masamasa kerajaan islam berjaya, orangorang muslim pada saat itu
sudah menggunakan penanggalan hijriyah, mereka menggunakan penanggalan tersebut
sebagai penanggalan resmi, khususnya dalam penetapan bulanbulan penting dalam islam,
seperti penetapan tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijjah. Bahkan setelah
kedatangan penjajahan Belanda, pemerintah Belanda membiarkan saja pemakaian
penanggalan tersebut.
Namun setelah proklamasi kemerdekaan, pengaturan seluruhnya diserahkan kepada
Departemen Agama yang tercantum dalam Penetapan Pemerintahtahun 1946 No 2/Um. 7
Um. 9/um, dan dipertegas dengan Keputusan Presiden No.25 tahun 1967 No. 148/1967
dan 10 No. 1971. Walaupun semua keputusan dalam penentuan bulanbulan Qamariah
khususnya yang berhubungan dengan pelaksaan peribadatan kepada pemerintah, namun
perbedaan dalam penentuannya tidak bisa dielakkan karena adanya dua mazhab besar di
Indonesia yaitu mazhab rukyah dan mazhab hisab.
2. Aliranaliran Hisab dan Rukyah
Apabila kita lihat dengan seksama, perbedaan cara pandang yang digunakan bagi
kalangan penganut metode hisab masih diperdebatkan, satu pihak menetapkan bahwa
hisab adalah sebagai penentu masuknya tanggal baru dan tidak perlu lagi melakukan
rukyah dalam segala keadaan., sedangkan pihak lain berpendapat bahwa hisab hanyalah
sebagai pendukung pelaksanaan rukyah bukan sebagai penentu utama.
Bagi kalangan penganut rukyah, rukyah harus tetap dilakukan walaupun menurut hisab hilal
tidak bisa dilihat karena masih berada dibawah ufuk. Hal ini dilakukan agar penetapan
adanya istikmal benarbenar berdasarkan rukyah dilapangan, bukan berdasarkan hisab.
Dari cara pandang inilah terjadinya perbedaan dalam pelaksanaan peribadatan terutama
memulai puasa Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Dan jika ditelusuri lebih lanjut adanya
perbedaan tersebut khususnya di Indonesia disebabkan dua hal yang pokok:
1. Dari segi penetapan hukum.
2. Dari segi sistem dan metode penghitungan.
1. Dari segi penetapan hukum
Di Indonesia terbagi menjadi empat kelompok besar:
Kelompok pertama: yang berpegang pada rukyah.
Kelompok ini bukannya tidak melakukan hisab. Hisab sebagai persiapan untuk
mensukseskan mereka dalam melakukan rukyah. Hanya saja mereka ini menganggap
bahwa hisab itu sebagai alat bantu saja guna suksesnya rukyah.
Landasan pokok dari kelompok ini karena adanya hadis΄ Nabi SAW yang berbunyi:
(مسلم )رواه فأكملواالعدد عليكم غمى فإن لرؤيته وافطروا لرؤيته صوموا
Artinya: “ Berpuasalah kamu karena melihat hilal, dan berbukalah kamu karena melihat
hilal. Apabila hilal itu tertutup awan atasmu maka sempurnakanlah bilangan itu (bilangan
bulan sya’ban tiga puluh)”. (Diriwayatkan oleh Muslim).
Sedangkan menurut mereka ayatayat alQur’an yang yang berhubungan dengan hisab
dipandang sebagai ayatayat mujmal dan tidak ada sangkut pautnya dengan hukum. Ayat
ayat tersebut menurut mereka adalah mengemukakan tandatanda kekuasaan Allah agar
manusia mengakui kekuasaan dan keagungan Allah SWT.
Kelompok kedua: kelompok yang memegang ijtima’
Kelompok ini pada saatsaat melakukan perhitunganperhitungan hanyalah sampai kepada
penentuan ijtima’ saja dan biasanya tidak pernah menjelaskan kedudukan bulan berapa
derajat diatas ufuk. Mereka berpendirian apabila ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam
maka keesokan harinya dianggap bulan baru, sedang apabila ijtima’ terjadi sesudahnya
maka keesokan harinya dianggap bulan yang masih berjalan. Pendapat ini dilandaskan
berdasarkan firman Allah SWT surah Yunus ayat 5 yang berbunyi:
uqèd Ï%©!$# @yèy_ [ôJ¤±9$# [ä!$uÅÊ tyJs)ø9$#ur #YqçR ¼çnu£s%ur tAÎ$oYtB
(#qßJn=÷ètFÏ9 yytã tûüÏZÅb¡9$# z>$|¡Åsø9$#ur 4 $tB t,n=y{ ª!$# Ï9ºs wÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4
ã@Å_Áxÿã ÏM»tFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôèt ÇÎÈ
Artinya : “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan
Nya manzilahmanzilah (tempattempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang
demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tandatanda (kebesaranNya) kepada
orangorang yang Mengetahui.”
Dan surah Yasin ayat 39 yng berbunyi:
( tyJs)ø9$#ur çm»tRö£s% tAÎ$oYtB 4Ó®Lym y$tã Èbqã_óãèø9$%x. ÉOÏs)ø9$# ÇÌÒÈ
Artinya: “Dan Telah kami tetapkan bagi bulan manzilahmanzilah, sehingga (Setelah dia
sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua”.
Mereka berpendapat hadis΄ Nabi yang memerintahkan untuk berpuasa dengan melihat
bulan dan berlebaranlah dengan melihat bulan bukalah sebuah kepastian dan bukan satu
satunya jalan dalam menentukan masuknya awal bulan.
Kelompok ketiga: kelompok yang memegang bahwa ufuk hakiki sebagai kriteria untuk
menentukan wujudnya hilal.
Kelompok ini beranggapan apabila bulan sudah berada di atas ufuk hakiki pada saat
matahari terbenam maka bulan dihukumi wujud. Artinya malam itu dan keesokan harinya
sudah masuk tanggal baru dan sebaliknya apabila hilal berada di bawah ufuk hakiki maka
malam mitu dan keesokan harinya masih dianggap sebagai bulan yang sedang berjalan.
Penggunaan ufuk hakiki sabagai dasar penghitungan karena bagi mereka bulan dalam
keadaan dekat dengan matahari tidak mungkin bersinar, oleh karena itu mereka tidak
melakukan koreksikoreksi yang berguna untuk rukyah. Pendapat kelompok ini
berlandaskan pada firman Allah seperti yang dikemukakan oleh kelompok kedua.
Perbedaannya hanya pada pemahaman dan mengambil kesimpulan dari ayatayat
tersebut. Bila kedudukan bulan diketahui dengan akal sudah berada di atas ufuk hakiki
maka pengetahuan akal itu merupakan alat yang kuat untuk menentukan masuknya tanggal
baru.
Kelompok keempat: kelompok yang berpegang kepada kedudukan hilal diatas ufuk mar’i –
yaitu ufuk yang dapat dilihat langsung oleh mata kepalasebagai kriteria dalam menentukan
masuknya awal bulan..
Dengan ketentuan apabila hilal berada di atas ufuk mar’i pada saat matahari terbenam
dianggap mereka hilal sudah wujud, sedang apabila hilal berada di bawahnya dianggaplah
malam itu dan keesokan harinya akhir bulan yang sedang berjalan.dasar hukum yang yang
dijadikan acuan kelompok ini sama dengan kelompok kedua dan ketiga. Perbedaannya
terletak pada upaya mereka selain menggunakan ayatayat alQur’an mereka juga
mengaitkan dengan jiwa yang terkandung dalam hadits Nabi, yakni kedudukan bulan
ditentukan dengan cermat sehingga diperkirakan sesuai dengan pandangan mata peninjau.
Oleh karena itu, kelompok ini dalam perhitungannya melakukan koreksikoreksi baik
terhadap kedudukan hilal yaitu menyangkut semidiameter bulan, reflaksi dan parralax, juga
terhadap keadaan ufuk yaitu koreksi kerendahan ufuk dan refraksi terhadap ufuk itu.
2. Dari Segi Sistem dan Metode Perhitungan
Aliranaliran hisab di Indonesia apabila ditinjau dari segi sistemnya dapat dibagi menjadi
dua kelompok.
Kelompok pertama: Hisab ‘Urfi
Dinamakan hisab ‘urfi karena kegiatan perhitungannya dilandaskan kepada kaidahkaidah
yang bersifat tradisional yakni sistem perhitungan penanggalan yang didasarkan kepada
peredaran ratarata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional yang
mana lama peredaran bulan mengelilingi bumi lamanya 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik.
Lama hari tiaptiap bulab berselangseling antara 29 dan 30 hari kecuali untuk bulan
Dzulhijjah. Bila termasuk tahun kabisat maka jumlah harinya 30 dan bila basithoh maka
jumlah harinya 29 hari. Dalam satu tahunnya terdapat 12 bulan yang lamanya ditetapkan
354 hari 8 jam 48,5 menit tau bila disederhanakan menjadi 354 11/30 hari.
Dengan sistem ini kita dapat mempredeksi kapan jatuhnya tiaptiap tanggal satu dan
tanggal lainnya dalam tiaptiap bulan dengan perhitunganperhitungannya tanpa melihat
data peredaran bulan dan matahari. Akan tetapi sistem ini tidak sesuai dengan yang
dikehendaki dalam nash, khususnya dalam menentukan bulanbulan yang berkaitan
dengan peribadahan, maka umat islam tidak menggunakannya kecuali hanya untuk
membuat perkiraan dalam menelusuri data peredaran matahari dan bulan yang
sebenarnya.
Kelompok kedua: Hisab Hakiki
Sistem hiab hakiki adal;ah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi
yang sebenarnya. atau sistem perhitungan yang menggunakan metode penentuan bulan
pada saat matahari terbenam. Umur tiap bulan pada sistem ini tidak tetap, terkadang
berturutturut 29 hari atau 30 hari bahkan juga bergantian seperti pada hisab ‘urfi. Sistem ini
dianggap sesuai dengan yang dikehendaki nash karena memperhitungkan kapan hilal akan
wujud sehingga sistem ini banyak dipergunakan oelh umat isalm dalam menentukan
tanggal baru terutama yang berkaitan dengan pelaksaan ibadah.
3. Ijtihad dan Ikhtilaf Para Ulama tentang Penentuan Bulan Qamariyah
a. Perbedaan Dalam Menentukan Peran Hisab dan Rukyat.
Merujuk kepada dalil tentang rukyat, sebagaimana telah dikemukakan, para ahli fikih
berbeda pendapat mengenai kedudukan serta peran hisab dan rukyat dalam penentuan
awal bulan qamariyah, khususnya Ramadhan dan Syawal.
Sebagian fuqaha‟ berpendapat bahwa penentuan awal bulan qamariyah, khususnya
Ramadhan dan Syawal, adalah berdasarkan rukyat hilal. Pendapat ini berdasarkan metode
mengqiyaskan hukum bulan selain bulan Ramadhan dan Syawal dengan kedua bulan
tersebut yang berdasarkan hadis΄ Nabi tentang rukyat, dan adat kebiasaan masyarakat
Arab. Fuqaha lainnya berpendapat bahwa penentuan awal bulan selain Ramadhan dan
Syawal adalah berdasarkan hisab.
Pendapatpendapat tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Kelompok pertama adalah mereka yang memberikan kedudukan serta peran utama bagi
rukyat dengan “mata telanjang”, dan mengkesampingkan sama sekali peran hisab.
Termasuk kelompok ini adalah fuqaha Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah, dan pengikut Ibnu
Hajar dari kalangan Syafi‟iyah.
Menurut kelompok ini, rukyat dapat diterima meskipun bertentangan dengan perhitungan
hisab, sekalipun cuaca mendung, namun apabila hilal tidak bisa dirukyah maka bilangan
bulannya disempurnakan menjadi 30 hari. Hisab sama sekali tidak dapat dijadikan
pedoman bagi orang awam, kecuali hanya bagi ahli hisab saja. Menurut mereka, puasa
berdasarkan hisab adalah tidak sah.
b. Kelompok kedua memberikan kedudukan serta peran utama kepada rukyat dan peran
hisab adalah sebagai pelengkap. Termasuk kelompok ini adalah pengikut Imam alRamli
dari golongan Syafi‟iyah. Menurut kelompok ini, ketetapan ilmu hisab berlaku bagi ahli
hisab dan orangorang yang membenarkannya. Mereka berpendapat bahwa hisab hanya
sebagai alat pembantu, sedangkan rukyat adalah sebagai penentu.
c. Kelompok ketiga memberikan kedudukan serta peran utama kepada hisab, dan peran
rukyat adalah sebagai pelengkap.
kelompok ini, rukyat dapat diterima bila tidak bertentangan dengan hisab. Apabila ahli hisab
berkesimpulan bahwa hilal mungkin dapat dilihat jika tidak terhalang mendung atau partikel
lainnya, maka hari berikutnya merupakan awal Ramadhan atau Syawal.
d. Kelompok keempat adalah kelompok yang memberikan kedudukan serta peran utama
kepada hisab, dan mengkesampingkan sama sekali kedudukan serta peran rukyat dalam
penentuan awal Ramadhan dan Syawal. Sebagian kelompok ini berpendapat bahwa dasar
penentuan awal Ramadhan adalah wujudul hilal, yaitu tempattempat yang mengalami
terbenam matahari dan bulan disaat bersamaan, jika tempattempat hilal itu dihubungkan,
maka akan terbentuk sebuah garis, garis inilah disebut garis batas wujudul hilal.
Dari sekian pendapat diatas, menurut hemat penulis pendapat yang menyatakan bahwa
rukyah sebagai penentu dan hisab sebagai alat pembantu lebih dapat dipertanggung
jawabkan dari yang lain, karena dengan perhitunganperhitungan hisab itu akan sangat
membantu untuk keberhasilan rukyah.
b. Berita Terlihatnya Hilal
Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang kesaksian orang yang melihat hilal. Cukupkah
dengan rukyahnya sorang yang adil, dua orang yang adil, ataukah harus dilakukan oleh
sekelompok orang???. Berikut berbagai pendapat para ulama mengenai hal ini:
1. Kesaksian terhadap berita terlihatnya hilal cukup dilakukan oleh seorang saja . Ini adalah
pendapat yang diperpegangi oleh Ibnu Mubarak, Ahmad bin Hambal dan Imam Syafi’i .
Menurut Imam Syafi’i kesaksian cukup dilakukan oleh satu orang yang adil, dengan syarat:
Muslim, berakal, dan adil tanpa membedakan apakah langit ketika itu cerah atau tidak.
Sedangkan Imam Hambal membedakan antara hilal Ramadhan dengan hilal Syawal. Hilal
Ramadhan cukup dengan kesaksian seorang yang adil, baik wanita maupun lelaki, tapi
kalau hilal Syawal harus dengan dua orang saksi yang adil.
Pendapat ini didasari oleh hadis΄ Nabi saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa ada
seorang Arab Badui yang datang kepada Nabi dan ia pun bera ni bersaksi bahwa ia telah
melihat hilal. Kemudian Nabi memerintahkan kepada Bilal unttuk mengumumkan kepada
orang banyak untuk berpuasa keesokan harinya.
2 Kesaksian harus dilakukan oleh dua orang. Ini adalah pendapat Laits, Auza’i dan Tsauri
dan Imam Malik. Menurut Imam Malik tidak boleh berpuasa dan berbuka kalau informasinya
kurang dari dua orang yang adil tanpa membedakan antara hilal Ramadhan dan Syawal,
dan tidak pula antara langit cerah maupun tidak cerah.
Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi saw yang berbunyi:
وأفطروا فصوموا شاهدان شهد فإن ثلثين فأتموا غم فإن .لها واسكنوا لرؤيته وأفطروا لرؤيته موا صو
( النسائ )راوه
Artinya: “Berpuasalah kalian karena melihat bulan dan berhari rayalah kalian karena melihat
bulan, dan beribadah lah kalian karena melihat bulan. Kemudian jika bulan itu terdinding
oleh awan, maka genapkanlah tigapuluh hari. Tetapi jika ada dua saksi muslim yang
melihatnya, maka berpuasalah kalian dan berhari rayalah”
3. kesaksian harus dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Ini adalah pendapat pengikut
Hanafi, yakni pada saat terang benderang. Mereka memperbolehkan persaksian satu orang
ketika langit berawan, karena mungkin saja ketika awan tersibak seseorang menyaksikan
bulan tanpa disaksikan oleh yang lain. Adapun mengenai jumlah orang banyak, hal ini
dikembalikan kepada pendapat imam atau hakim, tanpa menetukan jumlah tertentu.
c. Perbedaan Mathla’(batas geografis keberlakuan rukyah)
Para ulama berbeda pendapat tentang keberlakuan mathla’ terhadap suatu wilayah dimana
ada suatu tempat yang melihat hilal, bagaimana tempattempat yang lain yang tidak
hilalnya tidak terlihat, apakah harus mengikuti suatu tempat yang melihat hilal atau tidak..?.
ada beberapa pendapat ulama mengenai hal itu:
1. bila hilal telah nampak pada suatu daerah, maka seluruh penduduk berbagai daerah
wajib mengikuti daerah tersebut tanpa membedakan antara jauh dan dekat, dan tidak perlu
lagi beranggapan adanya perbedaan munculnya hilal. Demikian menurut Imam Hanafi,
Malaki, dan Hambali.
2. kalau penduduk suatu daerah melihat hilal, dan penduduk daerah lain tidak melihatnya,
bila dua daerah tersebut berdekatan, maka hukumnya satu. Tetapi kalau munculnya
berbeda, maka setiap daerah mempunyai hukum khusus. Ini pendapat Imam Syafi’i dan
Imam Ja’far
3. penduduk suatu daerah/negara tidak harus mengikuti penglihatan (rukyah )
daerah/negara lain, kecuali jika rukyah itu dilakukan oleh imam agung, maka semua
manusia harus mengikutinya. Demikian pendapat Ibnu Majisyun.
Dari tiga pendapat diatas, pendapat kedualah yang paling logis dan dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmu pengetahuan. Karena menurut ilmu pengetahuan, suatu negara
disamakan dengan negara lain dalam penetapan tanggalnya apabila mathla’nya tidak
berjauhan, karena ufuknya sama. Kalau berjauhan atau berbeda jauh, maka tidak boleh
disamakan karena ufuknya berbeda.
C. Penutup
Dari beberapa pemaparan diatas, banyak terjadi perbedaan dikalangan ulama fiqih tentang
halhal yang berkenaan dengan penentuan bulan Qamariyah yang dapat kita kaji dan
renungi bersama, semoga perbedaan tersebut tidak menjadikan kita terpecah belah dan
terjadi pertikaian, tetapi perbedaan tersebut menjadi rahmat bagi kita semua. Amien ya
rabbal alamin
Demikianlah makalah mata kuliah Fiqih Hisab Rukyah yang berjudul ” Perbedaan Ulama
Fiqih tentang penentuan Bulan Qamariyah” ini saya buat. Selaku manusia yang merupakan
mahluk tempat salah, khilaf, dan lupa, tak ada yang sempurna kecuali Allah SWT, dan pasti
dalam makalah sederhana yang kami buat ini terdapat banyak kekeliruan dan kesalahan.
Kami mengharap kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk perbaikan bagi
yang selanjutnya. Kami harap makalah ini dapat bermanfaat yang sebesarbesarnya dan
dapat menambah keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT.
BULAN QAMARIYAH
A. Pendahuluan
Penetapan bulan Qamariah merupakan salah satu bagian dari pembahasan ilmu hisab
rukyah yang lebih sering mendapat perhatian dan tanggapan dari berbagai pihak. Lagi pula
dalam penentuannya pun sejak dari dulu para ulama melahirkan pendapat yang bervariasi
dan mazhab yang berbedabeda dalam halhal yang berhubungan dengan penetapan bulan
Qamariah tersebut. Mengambil perkataan Ibrahim Husein, menurut beliau permasalahan ini
dikatakan sebagai persoalan “klasik” yang selalu “aktual”. Bagaimana tidak, sejak masa
masa awal islam persoalan ini sudah mendapat perhatian yang mendalam dari para pakar
hukum islam, sampai sekarang pun persoalan penetapan bulan Qamariah, khususnya
menjelang bulan Ramadhan, Syawal, serta Dzulhijjah selalu tidak habishabisnya
diperbincangkan dan selalu terjadi perbedaan dalam penetapannya.
Akar masalah terjadinya perbedaan tersebut terletak pada pemahaman dan interpretasi
yang bermacammacam dari haditshadits Nabi SAW yang berkaitan dengan permasalahan
penetapan bulan Qamariah. Dari sinilah penulis mencoba mengangkat permasalahan
diatas dan sedikit penguraikan tentang pendapatpendapat para ulama fiqih tentang halhal
tersebut. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, amien.
B. Pembahasan
1. Sejarah Hisan dan Rukyah
Berbicara masalah penentuan awal bulan Qamariah, khususnya pada bulanbulan yang
erat kaitannya dengan masalah ibadah seperti bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah,
kita tidak akan terlepas dari dua metode penting, yaitu metode hisab dan metode rukyah.
Untuk itu sebelum kita menuju kepermasalahan sebaiknya kita harus tahu dulu sejarah
singkat mengenai Hisab dan Rukyah.
Secara historis, antara hisab dan rukyah, ulama sepakat bahwa rukyahlah yang lebih dulu
ada dan berkembang dikalangan umat islam dibandingkan hisab. Bahkan menurut Ibnu
Taimiyah bahwa syariatsyariat sebelum kita juga mengaitkan hukumhukum mereka
dengan melihat (rukyah) hilal. Hanya saja diantara pengikutnya ada yang merubahnya.
Sebagaimana yang dilakukan oleh orangorang Yahudi yang menentukan hukumhukum
mereka dengan hisab, yakni pada saat terjadinya ijtima’ serta menjadikan sebagian hari
rayanya menggunakan kalender syamsiyah. Sebagaimana juga yang dilakukan oleh orang
orang Nashara, Shabiah dan Majusi.
Pada saat Nabi Muhammad SAW. berada di Madinah yang mayoritas penduduknya
bermata pencaharian bercocok tanam, mereka menggunakan sistem penanggalan
Qamariah untuk menentukan awal bulan yaitu dengan melihat fasefase perubahan bulan
itu dalam tiap bulannya. Akan tetapi, dengan penalanggalan ini mereka mengalami
kesulitan untuk menentukan musim yang sangat mereka perlukan. Maka mereka
menggabung penanggalan Qamariah itu dengan penanggalan syamsiah. Akibatnya, dalam
setiap tiga tahun Qamariyah akan ada bulan ke 13. Bulan ke 13 itu mereka gunakan untuk
melakukan upacara ritual dan pesta pora yang menyesatkan.
Kemudian turunlah wahyu Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk
meluruskan tradisi tersebut yaitu yang tertera dalam Surah AtTaubah ayat 36 yang
berbunyi:
¨bÎ) no£Ïã Íqåk¶9$# yZÏã «!$# $oYøO$# u|³tã #\öky Îû É=»tFÅ2 «!$# tPöqt
t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# ßöF{$#ur !$pk÷]ÏB îpyèt/ör& ×Pããm 4 Ï9ºs ßûïÏe$!$# ãNÍhs)ø9$# 4
xsù (#qßJÎ=ôàs? £`ÍkÏù öNà6|¡àÿRr& 4 (#qè=ÏG»s%ur úüÅ2Îô³ßJø9$# Zp©ù!%x. $yJ2
öNä3tRqè=ÏG»s)ã Zp©ù!$2 4 (#þqßJn=÷æ$#ur ¨br& ©!$# yìtB tûüÉ)GãKø9$# ÇÌÏÈ
Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam
ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan
haram . Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu
dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya, dan Ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang
orang yang bertakwa.”
Dengan turunnya ayat ini yang menjelaskan bahwa bilangan bulan disisi Allah berjumlah 12
bulan, dengan dasar inilah Nabi Muhammad SAW melakukan perubahan pertama yang
mendasar terhadap penanggalan yang berlaku di Madinah yaitu dengan menghapus
adanya bulan yang ke 13.
Selanjutnya pada tahun ke 2 Hijriyah Nabi SAW diperintahkan Allah SWT untuk berpuasa
pada bulan Ramadhan seperti yang tersurat pada firman Allah SWT yang tertera pada ayat
183 dan 185 yang berbunyi:
$ygr'ˉ»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$#
`ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
183. Hai orangorang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orangorang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
ãöky tb$ÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB
3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4 `yJsù yÍky ãNä3YÏB tök¤¶9$# çmôJÝÁuù=sù ( `tBur tb$2
$³ÒÍsD ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r& tyzé& 3 ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã
ãNà6Î/ uô£ãèø9$# (#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£Ïèø9$# (#rçÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4n?tã $tB öNä31yyd
öNà6ˉ=yès9ur crãä3ô±n@ ÇÊÑÎÈ
185. (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena
itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
harihari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.
Dari ayat inilah Allah SWT dengan perantara rasulnya Muhammad SAW mewajibkan
berpuasa kepada seluruh umat islam, sebagaimana Allah SWT telah mewajibkan puasa
kepada umatumat terdahulu. Kemudian Nabi pun menjelaskan pada masyarakat pada saat
itu bahwa umur bulan Qaamariah itu terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari. Dan Nabi
SAW juga menjelaskan mengenai teknis bagaimana pergantian antar bulan itu terjadi
mengenai bulan mana yang berumur 29 hari dan yang berumur 30 hari, maka Nabi SAW
menerangkan dengan sabdanya:
ان هريرة أبي زياد(عن ابن )وهو محمد مسلم(عن ابن )يعني الرابيع حدثنا , سلم بن الرحمن عبد حدثنا
كتاب في مسلم )رواه "فأكملواالعدد عليكم غمى فإن لرؤيته وافطروا لرؤيته "صوموا :قال م.ص النبي
(الصوم
Artinya: “ Berpuasalah kamu karena melihat hilal, dan berbukalah kamu karena melihat
hilal. Apabila hilal itu tertutup awan atasmu maka sempurnakanlah bilangan itu (bilangan
bulan sya’ban tiga puluh)”. (Diriwayatkan oleh Muslim)
:م.ص النبي قال :يقول عنه الله رضي هريرة ابا سمعت :قال زياد بن محمد حدثنا شعبة حدثنا آدم حدثنا
كتاب في البخاري ")روه ثلثين شعبان عدة فأكملواا عليكم غبى فإن لرؤيته وافطروا لرؤيته "صوموا
(الصيام
Artinya: “ Berpuasalah kamu karena melihat hilal, dan berbukalah kamu karena melihat
hilal. Apabila hilal itu tertutup debu atasmu maka sempurnakanlah bilangan sya’ban tiga
puluh”.
(Diriwayatkan oleh AlBukhari)
Berdasarkan dua hadits′ inilah Nabi SAW mengisyaratkan kepada kita bahwa untuk
mengetahui pergantian bulan adalah dengan menggunakan rukyatu hilal. Apabila hilal
sudah berhasil dilihat tanpa ada kendala apapun maka dapat dipastikan bahwa keesokan
harinya sudah masuk bulan baru atau tanggal satu bulan berikutnya. Namun apabila hilal
tidak berhasil dilihat karena tertutup awan atau hal lain yang mengakibatkan tidak
terlihatnya hilal maka keesokan harinya masih merupakan bulan yang masih berjalan atau
dengan menyempurnakan bilangan bulan sebelumnya menjadi 30 hari. Hal inilah yang
disebut dengan istikmal.
Sebagai implementasi dari hadis′ itu para sahabat berusaha melihat hilal sesaat setelah
matahari terbenam pada Jum’at malam Sabtu tanggal 29 Sya’ban tahun ke 2 H. Akan
tetapi, rukyahnya tidak berhasil. Berita ini kemudian disampaikan kepada Nabi SAW.
Kemudian Nabi menetapkan bahwa bulan Sya’ban tahun ini berumur 30 hari. Selanjutnya,
pada hari Ahad petang tanggal 29 Ranadhan tahun itu pula para sahabat berusaha untuk
melihat hilal dan mereka berhasil. Berita keberhasilan itu disampaikan kepada Nabi. Nabi
kemudian memerintahkan kepada para sahabatnya untuk mengakhiri puasa pada malam
iotu juga. Maka, pada tahun itu Nabi SAW dan para sahabatnya berpuasa selama 29 hari.
Dari beberapa keterangan diatas, dapat kita ambil beberapa kesimpulan. Pertama,
perubahan hari dalam sistem penanggalan Qamariyah terjadi pada awal malam yaitu
sesaat setelah matahari terbenam. Kedua, umur bulan terkadang 29 terkadang 30. umur
bulan 29 hari apabila hilal berhasil diihat pada hari itu, sedangkan apabila hilal tidak
berhasil dilihat karena ada sesuatu yang menghalanginya maka bilangan bulan
diempurnakan menjadi 30 hari. Ketiga, jumlah bulan pada setiap tahunnya adalah 12 bulan
bukan 13 bulan seperti perhitungan yang dilakukan oleh orangorang dahulu.
Sementara itu penggunaan metode hisab yang berarti menentukan kedudukan matahari
ataupun bulan sehingga dapatlah diketahui kedudukan matahari dan bulan tersebut pada
bola langit disaatsaat tertentu, sebagai salah satu metode dalam menentukan tanggal baru
bulan Qamariah khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah apabila kita lihat
sejarah awal terbentuknya disiplin ilmu ini bukanlah hal yang baru, bahkan ilmu menurut
Zubaer Umar AlJailany dalam bukunya “ Khulasatul Wafiyah” orang yang pertama kali
yang menemukan ilmu hisab adalah Nabi Idris as.
Sekitar abad ke28 SM embrio ilmu ini mulai tampak. Ilmu ini digunakan untuk menentukan
waktu bagi saatsaat penyembahan berhala. Keadaan seperti ini sudah tampak di beberapa
negara seperti di Mesir untuk menyembah dewa Orisis, Isis, dan Amon, di Babilonia dan
Mesopotamia untuk menyembah dewa Astoroth dan Baal.
Dalam dunia Islam, Khalifah Abu Ja’far alMansur adalah orang yang pertama kali
memperhatikan ilmu hisab ini. Beliau memerintahkan kepada Muhammad ibn Ibrahim al
Fazari untuk menerjemahkan kitab “Sindhind” atau “Sidhanta” sebuah kitab astronomi yang
diserahkan oleh pengembara India. Atas usaha inilah alFazari dikenal sebagai ahli falak
yang pertama didunia islam.
Di Indonesia, sejak masamasa kerajaan islam berjaya, orangorang muslim pada saat itu
sudah menggunakan penanggalan hijriyah, mereka menggunakan penanggalan tersebut
sebagai penanggalan resmi, khususnya dalam penetapan bulanbulan penting dalam islam,
seperti penetapan tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijjah. Bahkan setelah
kedatangan penjajahan Belanda, pemerintah Belanda membiarkan saja pemakaian
penanggalan tersebut.
Namun setelah proklamasi kemerdekaan, pengaturan seluruhnya diserahkan kepada
Departemen Agama yang tercantum dalam Penetapan Pemerintahtahun 1946 No 2/Um. 7
Um. 9/um, dan dipertegas dengan Keputusan Presiden No.25 tahun 1967 No. 148/1967
dan 10 No. 1971. Walaupun semua keputusan dalam penentuan bulanbulan Qamariah
khususnya yang berhubungan dengan pelaksaan peribadatan kepada pemerintah, namun
perbedaan dalam penentuannya tidak bisa dielakkan karena adanya dua mazhab besar di
Indonesia yaitu mazhab rukyah dan mazhab hisab.
2. Aliranaliran Hisab dan Rukyah
Apabila kita lihat dengan seksama, perbedaan cara pandang yang digunakan bagi
kalangan penganut metode hisab masih diperdebatkan, satu pihak menetapkan bahwa
hisab adalah sebagai penentu masuknya tanggal baru dan tidak perlu lagi melakukan
rukyah dalam segala keadaan., sedangkan pihak lain berpendapat bahwa hisab hanyalah
sebagai pendukung pelaksanaan rukyah bukan sebagai penentu utama.
Bagi kalangan penganut rukyah, rukyah harus tetap dilakukan walaupun menurut hisab hilal
tidak bisa dilihat karena masih berada dibawah ufuk. Hal ini dilakukan agar penetapan
adanya istikmal benarbenar berdasarkan rukyah dilapangan, bukan berdasarkan hisab.
Dari cara pandang inilah terjadinya perbedaan dalam pelaksanaan peribadatan terutama
memulai puasa Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Dan jika ditelusuri lebih lanjut adanya
perbedaan tersebut khususnya di Indonesia disebabkan dua hal yang pokok:
1. Dari segi penetapan hukum.
2. Dari segi sistem dan metode penghitungan.
1. Dari segi penetapan hukum
Di Indonesia terbagi menjadi empat kelompok besar:
Kelompok pertama: yang berpegang pada rukyah.
Kelompok ini bukannya tidak melakukan hisab. Hisab sebagai persiapan untuk
mensukseskan mereka dalam melakukan rukyah. Hanya saja mereka ini menganggap
bahwa hisab itu sebagai alat bantu saja guna suksesnya rukyah.
Landasan pokok dari kelompok ini karena adanya hadis΄ Nabi SAW yang berbunyi:
(مسلم )رواه فأكملواالعدد عليكم غمى فإن لرؤيته وافطروا لرؤيته صوموا
Artinya: “ Berpuasalah kamu karena melihat hilal, dan berbukalah kamu karena melihat
hilal. Apabila hilal itu tertutup awan atasmu maka sempurnakanlah bilangan itu (bilangan
bulan sya’ban tiga puluh)”. (Diriwayatkan oleh Muslim).
Sedangkan menurut mereka ayatayat alQur’an yang yang berhubungan dengan hisab
dipandang sebagai ayatayat mujmal dan tidak ada sangkut pautnya dengan hukum. Ayat
ayat tersebut menurut mereka adalah mengemukakan tandatanda kekuasaan Allah agar
manusia mengakui kekuasaan dan keagungan Allah SWT.
Kelompok kedua: kelompok yang memegang ijtima’
Kelompok ini pada saatsaat melakukan perhitunganperhitungan hanyalah sampai kepada
penentuan ijtima’ saja dan biasanya tidak pernah menjelaskan kedudukan bulan berapa
derajat diatas ufuk. Mereka berpendirian apabila ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam
maka keesokan harinya dianggap bulan baru, sedang apabila ijtima’ terjadi sesudahnya
maka keesokan harinya dianggap bulan yang masih berjalan. Pendapat ini dilandaskan
berdasarkan firman Allah SWT surah Yunus ayat 5 yang berbunyi:
uqèd Ï%©!$# @yèy_ [ôJ¤±9$# [ä!$uÅÊ tyJs)ø9$#ur #YqçR ¼çnu£s%ur tAÎ$oYtB
(#qßJn=÷ètFÏ9 yytã tûüÏZÅb¡9$# z>$|¡Åsø9$#ur 4 $tB t,n=y{ ª!$# Ï9ºs wÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4
ã@Å_Áxÿã ÏM»tFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôèt ÇÎÈ
Artinya : “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan
Nya manzilahmanzilah (tempattempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang
demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tandatanda (kebesaranNya) kepada
orangorang yang Mengetahui.”
Dan surah Yasin ayat 39 yng berbunyi:
( tyJs)ø9$#ur çm»tRö£s% tAÎ$oYtB 4Ó®Lym y$tã Èbqã_óãèø9$%x. ÉOÏs)ø9$# ÇÌÒÈ
Artinya: “Dan Telah kami tetapkan bagi bulan manzilahmanzilah, sehingga (Setelah dia
sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua”.
Mereka berpendapat hadis΄ Nabi yang memerintahkan untuk berpuasa dengan melihat
bulan dan berlebaranlah dengan melihat bulan bukalah sebuah kepastian dan bukan satu
satunya jalan dalam menentukan masuknya awal bulan.
Kelompok ketiga: kelompok yang memegang bahwa ufuk hakiki sebagai kriteria untuk
menentukan wujudnya hilal.
Kelompok ini beranggapan apabila bulan sudah berada di atas ufuk hakiki pada saat
matahari terbenam maka bulan dihukumi wujud. Artinya malam itu dan keesokan harinya
sudah masuk tanggal baru dan sebaliknya apabila hilal berada di bawah ufuk hakiki maka
malam mitu dan keesokan harinya masih dianggap sebagai bulan yang sedang berjalan.
Penggunaan ufuk hakiki sabagai dasar penghitungan karena bagi mereka bulan dalam
keadaan dekat dengan matahari tidak mungkin bersinar, oleh karena itu mereka tidak
melakukan koreksikoreksi yang berguna untuk rukyah. Pendapat kelompok ini
berlandaskan pada firman Allah seperti yang dikemukakan oleh kelompok kedua.
Perbedaannya hanya pada pemahaman dan mengambil kesimpulan dari ayatayat
tersebut. Bila kedudukan bulan diketahui dengan akal sudah berada di atas ufuk hakiki
maka pengetahuan akal itu merupakan alat yang kuat untuk menentukan masuknya tanggal
baru.
Kelompok keempat: kelompok yang berpegang kepada kedudukan hilal diatas ufuk mar’i –
yaitu ufuk yang dapat dilihat langsung oleh mata kepalasebagai kriteria dalam menentukan
masuknya awal bulan..
Dengan ketentuan apabila hilal berada di atas ufuk mar’i pada saat matahari terbenam
dianggap mereka hilal sudah wujud, sedang apabila hilal berada di bawahnya dianggaplah
malam itu dan keesokan harinya akhir bulan yang sedang berjalan.dasar hukum yang yang
dijadikan acuan kelompok ini sama dengan kelompok kedua dan ketiga. Perbedaannya
terletak pada upaya mereka selain menggunakan ayatayat alQur’an mereka juga
mengaitkan dengan jiwa yang terkandung dalam hadits Nabi, yakni kedudukan bulan
ditentukan dengan cermat sehingga diperkirakan sesuai dengan pandangan mata peninjau.
Oleh karena itu, kelompok ini dalam perhitungannya melakukan koreksikoreksi baik
terhadap kedudukan hilal yaitu menyangkut semidiameter bulan, reflaksi dan parralax, juga
terhadap keadaan ufuk yaitu koreksi kerendahan ufuk dan refraksi terhadap ufuk itu.
2. Dari Segi Sistem dan Metode Perhitungan
Aliranaliran hisab di Indonesia apabila ditinjau dari segi sistemnya dapat dibagi menjadi
dua kelompok.
Kelompok pertama: Hisab ‘Urfi
Dinamakan hisab ‘urfi karena kegiatan perhitungannya dilandaskan kepada kaidahkaidah
yang bersifat tradisional yakni sistem perhitungan penanggalan yang didasarkan kepada
peredaran ratarata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional yang
mana lama peredaran bulan mengelilingi bumi lamanya 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik.
Lama hari tiaptiap bulab berselangseling antara 29 dan 30 hari kecuali untuk bulan
Dzulhijjah. Bila termasuk tahun kabisat maka jumlah harinya 30 dan bila basithoh maka
jumlah harinya 29 hari. Dalam satu tahunnya terdapat 12 bulan yang lamanya ditetapkan
354 hari 8 jam 48,5 menit tau bila disederhanakan menjadi 354 11/30 hari.
Dengan sistem ini kita dapat mempredeksi kapan jatuhnya tiaptiap tanggal satu dan
tanggal lainnya dalam tiaptiap bulan dengan perhitunganperhitungannya tanpa melihat
data peredaran bulan dan matahari. Akan tetapi sistem ini tidak sesuai dengan yang
dikehendaki dalam nash, khususnya dalam menentukan bulanbulan yang berkaitan
dengan peribadahan, maka umat islam tidak menggunakannya kecuali hanya untuk
membuat perkiraan dalam menelusuri data peredaran matahari dan bulan yang
sebenarnya.
Kelompok kedua: Hisab Hakiki
Sistem hiab hakiki adal;ah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi
yang sebenarnya. atau sistem perhitungan yang menggunakan metode penentuan bulan
pada saat matahari terbenam. Umur tiap bulan pada sistem ini tidak tetap, terkadang
berturutturut 29 hari atau 30 hari bahkan juga bergantian seperti pada hisab ‘urfi. Sistem ini
dianggap sesuai dengan yang dikehendaki nash karena memperhitungkan kapan hilal akan
wujud sehingga sistem ini banyak dipergunakan oelh umat isalm dalam menentukan
tanggal baru terutama yang berkaitan dengan pelaksaan ibadah.
3. Ijtihad dan Ikhtilaf Para Ulama tentang Penentuan Bulan Qamariyah
a. Perbedaan Dalam Menentukan Peran Hisab dan Rukyat.
Merujuk kepada dalil tentang rukyat, sebagaimana telah dikemukakan, para ahli fikih
berbeda pendapat mengenai kedudukan serta peran hisab dan rukyat dalam penentuan
awal bulan qamariyah, khususnya Ramadhan dan Syawal.
Sebagian fuqaha‟ berpendapat bahwa penentuan awal bulan qamariyah, khususnya
Ramadhan dan Syawal, adalah berdasarkan rukyat hilal. Pendapat ini berdasarkan metode
mengqiyaskan hukum bulan selain bulan Ramadhan dan Syawal dengan kedua bulan
tersebut yang berdasarkan hadis΄ Nabi tentang rukyat, dan adat kebiasaan masyarakat
Arab. Fuqaha lainnya berpendapat bahwa penentuan awal bulan selain Ramadhan dan
Syawal adalah berdasarkan hisab.
Pendapatpendapat tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Kelompok pertama adalah mereka yang memberikan kedudukan serta peran utama bagi
rukyat dengan “mata telanjang”, dan mengkesampingkan sama sekali peran hisab.
Termasuk kelompok ini adalah fuqaha Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah, dan pengikut Ibnu
Hajar dari kalangan Syafi‟iyah.
Menurut kelompok ini, rukyat dapat diterima meskipun bertentangan dengan perhitungan
hisab, sekalipun cuaca mendung, namun apabila hilal tidak bisa dirukyah maka bilangan
bulannya disempurnakan menjadi 30 hari. Hisab sama sekali tidak dapat dijadikan
pedoman bagi orang awam, kecuali hanya bagi ahli hisab saja. Menurut mereka, puasa
berdasarkan hisab adalah tidak sah.
b. Kelompok kedua memberikan kedudukan serta peran utama kepada rukyat dan peran
hisab adalah sebagai pelengkap. Termasuk kelompok ini adalah pengikut Imam alRamli
dari golongan Syafi‟iyah. Menurut kelompok ini, ketetapan ilmu hisab berlaku bagi ahli
hisab dan orangorang yang membenarkannya. Mereka berpendapat bahwa hisab hanya
sebagai alat pembantu, sedangkan rukyat adalah sebagai penentu.
c. Kelompok ketiga memberikan kedudukan serta peran utama kepada hisab, dan peran
rukyat adalah sebagai pelengkap.
kelompok ini, rukyat dapat diterima bila tidak bertentangan dengan hisab. Apabila ahli hisab
berkesimpulan bahwa hilal mungkin dapat dilihat jika tidak terhalang mendung atau partikel
lainnya, maka hari berikutnya merupakan awal Ramadhan atau Syawal.
d. Kelompok keempat adalah kelompok yang memberikan kedudukan serta peran utama
kepada hisab, dan mengkesampingkan sama sekali kedudukan serta peran rukyat dalam
penentuan awal Ramadhan dan Syawal. Sebagian kelompok ini berpendapat bahwa dasar
penentuan awal Ramadhan adalah wujudul hilal, yaitu tempattempat yang mengalami
terbenam matahari dan bulan disaat bersamaan, jika tempattempat hilal itu dihubungkan,
maka akan terbentuk sebuah garis, garis inilah disebut garis batas wujudul hilal.
Dari sekian pendapat diatas, menurut hemat penulis pendapat yang menyatakan bahwa
rukyah sebagai penentu dan hisab sebagai alat pembantu lebih dapat dipertanggung
jawabkan dari yang lain, karena dengan perhitunganperhitungan hisab itu akan sangat
membantu untuk keberhasilan rukyah.
b. Berita Terlihatnya Hilal
Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang kesaksian orang yang melihat hilal. Cukupkah
dengan rukyahnya sorang yang adil, dua orang yang adil, ataukah harus dilakukan oleh
sekelompok orang???. Berikut berbagai pendapat para ulama mengenai hal ini:
1. Kesaksian terhadap berita terlihatnya hilal cukup dilakukan oleh seorang saja . Ini adalah
pendapat yang diperpegangi oleh Ibnu Mubarak, Ahmad bin Hambal dan Imam Syafi’i .
Menurut Imam Syafi’i kesaksian cukup dilakukan oleh satu orang yang adil, dengan syarat:
Muslim, berakal, dan adil tanpa membedakan apakah langit ketika itu cerah atau tidak.
Sedangkan Imam Hambal membedakan antara hilal Ramadhan dengan hilal Syawal. Hilal
Ramadhan cukup dengan kesaksian seorang yang adil, baik wanita maupun lelaki, tapi
kalau hilal Syawal harus dengan dua orang saksi yang adil.
Pendapat ini didasari oleh hadis΄ Nabi saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa ada
seorang Arab Badui yang datang kepada Nabi dan ia pun bera ni bersaksi bahwa ia telah
melihat hilal. Kemudian Nabi memerintahkan kepada Bilal unttuk mengumumkan kepada
orang banyak untuk berpuasa keesokan harinya.
2 Kesaksian harus dilakukan oleh dua orang. Ini adalah pendapat Laits, Auza’i dan Tsauri
dan Imam Malik. Menurut Imam Malik tidak boleh berpuasa dan berbuka kalau informasinya
kurang dari dua orang yang adil tanpa membedakan antara hilal Ramadhan dan Syawal,
dan tidak pula antara langit cerah maupun tidak cerah.
Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi saw yang berbunyi:
وأفطروا فصوموا شاهدان شهد فإن ثلثين فأتموا غم فإن .لها واسكنوا لرؤيته وأفطروا لرؤيته موا صو
( النسائ )راوه
Artinya: “Berpuasalah kalian karena melihat bulan dan berhari rayalah kalian karena melihat
bulan, dan beribadah lah kalian karena melihat bulan. Kemudian jika bulan itu terdinding
oleh awan, maka genapkanlah tigapuluh hari. Tetapi jika ada dua saksi muslim yang
melihatnya, maka berpuasalah kalian dan berhari rayalah”
3. kesaksian harus dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Ini adalah pendapat pengikut
Hanafi, yakni pada saat terang benderang. Mereka memperbolehkan persaksian satu orang
ketika langit berawan, karena mungkin saja ketika awan tersibak seseorang menyaksikan
bulan tanpa disaksikan oleh yang lain. Adapun mengenai jumlah orang banyak, hal ini
dikembalikan kepada pendapat imam atau hakim, tanpa menetukan jumlah tertentu.
c. Perbedaan Mathla’(batas geografis keberlakuan rukyah)
Para ulama berbeda pendapat tentang keberlakuan mathla’ terhadap suatu wilayah dimana
ada suatu tempat yang melihat hilal, bagaimana tempattempat yang lain yang tidak
hilalnya tidak terlihat, apakah harus mengikuti suatu tempat yang melihat hilal atau tidak..?.
ada beberapa pendapat ulama mengenai hal itu:
1. bila hilal telah nampak pada suatu daerah, maka seluruh penduduk berbagai daerah
wajib mengikuti daerah tersebut tanpa membedakan antara jauh dan dekat, dan tidak perlu
lagi beranggapan adanya perbedaan munculnya hilal. Demikian menurut Imam Hanafi,
Malaki, dan Hambali.
2. kalau penduduk suatu daerah melihat hilal, dan penduduk daerah lain tidak melihatnya,
bila dua daerah tersebut berdekatan, maka hukumnya satu. Tetapi kalau munculnya
berbeda, maka setiap daerah mempunyai hukum khusus. Ini pendapat Imam Syafi’i dan
Imam Ja’far
3. penduduk suatu daerah/negara tidak harus mengikuti penglihatan (rukyah )
daerah/negara lain, kecuali jika rukyah itu dilakukan oleh imam agung, maka semua
manusia harus mengikutinya. Demikian pendapat Ibnu Majisyun.
Dari tiga pendapat diatas, pendapat kedualah yang paling logis dan dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmu pengetahuan. Karena menurut ilmu pengetahuan, suatu negara
disamakan dengan negara lain dalam penetapan tanggalnya apabila mathla’nya tidak
berjauhan, karena ufuknya sama. Kalau berjauhan atau berbeda jauh, maka tidak boleh
disamakan karena ufuknya berbeda.
C. Penutup
Dari beberapa pemaparan diatas, banyak terjadi perbedaan dikalangan ulama fiqih tentang
halhal yang berkenaan dengan penentuan bulan Qamariyah yang dapat kita kaji dan
renungi bersama, semoga perbedaan tersebut tidak menjadikan kita terpecah belah dan
terjadi pertikaian, tetapi perbedaan tersebut menjadi rahmat bagi kita semua. Amien ya
rabbal alamin
Demikianlah makalah mata kuliah Fiqih Hisab Rukyah yang berjudul ” Perbedaan Ulama
Fiqih tentang penentuan Bulan Qamariyah” ini saya buat. Selaku manusia yang merupakan
mahluk tempat salah, khilaf, dan lupa, tak ada yang sempurna kecuali Allah SWT, dan pasti
dalam makalah sederhana yang kami buat ini terdapat banyak kekeliruan dan kesalahan.
Kami mengharap kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk perbaikan bagi
yang selanjutnya. Kami harap makalah ini dapat bermanfaat yang sebesarbesarnya dan
dapat menambah keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT.