T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Manajemen Berbasis Sekolah Di SD Negeri Genuk 01 Ungaran Baratabupaten Semarang T2 BAB II

BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1 Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
2.1.1. Konsep MBS
MBS merupakan program kebijakan nasional
yang menjadi prioritas pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di tingkat Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Merupakan model manajemen yang memberikan otonomi yang lebih luas kepada
sekolah untuk mengelola sumberdaya dan sumberdana yang ada. Pengalokasiannya sesuai dengan prioritas kebutuhan setempat serta mendorong sekolah
untuk dapat mengambil keputusan yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pendidikan secara bersama
dari semua warga sekolah dan masyarakat.
Keterlibatan masyarakat dalam MBS dimaksudkan agar partisipasi dan dukungan masyarakat dapat
membantu serta mengontrol pengelolaan pendidikan.
Rohiat

(2012:47),

menjelaskan

bahwa:

Manajemen


Berbasis Sekolah adalah model pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggung jawab yang
lebih besar kepada sekolah), memberikan fleksibilitas/keluwesan kepada sekolah, mendorong partisipasi
secara langsung dari warga sekolah (guru,siswa, kepala
sekolah, karyawan), dan masyarakat (orangtua siswa,
tokoh masyarakat, ilmuan, pengusaha), dan meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan
nasional serta peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
9

Menurut Hidayat dan Machali (2012:53), “MBS
merupakan paradigma baru dalam manajemen pendidikan yang memberi otonomi luas pada sekolah/madrasah, dan pelibatan masyarakat dalam kerangka kebijakan

pendidikan

nasional”.

Hal

ini


senada

dengan

pernyataan dari Mulyasa (2012:24), bahwa “MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan
otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan nasional”.
Pendapat ketiga ahli tersebut, sejalan dengan
pengertian MBS yang dijelaskan dalam buku Manajemen Berbasis Sekolah (Rahardjo, 2004:3), bahwa:
MBS adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong
pengambilan keputusan bersama/partisipatif dari semua warga sekolah dan masyarakat untuk mengelola
sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan
bahwa MBS merupakan model pengelolaan pendidikan
yang memberikan otonomi yang luas kepada sekolah
dengan melibatkan masyarakat. Hal tersebut memperjelas pengertian bahwa dengan MBS, kepala sekolah
selaku pengelola lembaga pendidikan akan lebih leluasa
menyusun dan melaksanakan program pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah.
Di


sisi

lain,

melalui

MBS

kerjasama

dan

partisipasi masyarakat serta peran sumber daya manusia yang ada di sekolah dapat ditingkatkan, sehingga
tujuan dari MBS dalam peningkatan layanan pendidikan secara demokratis, transparan dan akuntabel
10

dapat dicapai dengan lebih efisien dan efektif sesuai
tujuan pendidikan nasional.
2.1.2 Tujuan MBS

MBS bertujuan untuk meningkatkan kinerja sekolah yang meliputi peningkatan kualitas, efektivitas,
efisien, produktivitas, dan inovasi pendidikan melalui
pemberian kewenangan dan tanggung jawab lebih besar
kepada sekolah yang dilaksanakan dengan prinsip
pengelolaan yang baik, yaitu partisipasi, transparansi,
dan akuntabilitas (Rohiat, 2012:49).
Peningkatan kualitas dan produktivitas dapat
diperoleh antara lain melalui partisipasi orang tua dan
masyarakat,

pengelolaan

kelas,

peningkatan

pro-

fesionalisme guru dan kepala sekolah. Peningkatan
efektivitas dan efisiensi diperoleh dari keleluasaan yang

diberikan untuk mengelola sumberdaya yang ada.
Sementara itu tujuan MBS dijelaskan dalam buku
Manajemen

Berbasis

Sekolah

(Rahardjo,

2004:3),

sebagai berikut: 1) Meningkatkan mutu pendidikan
melalui

kemandirian

mengelola

dan


dan

inisiatif

memberdayakan

sekolah

sumberdaya

dalam
yang

tersedia; 2) Meningkatkan kepedulian warga sekolah
dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
melalui pengambilan keputusan bersama/partisipatif;
3) Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang
tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; 4) Meningkatkan kompetensi yang sehat antar
sekolah tentang mutu pendidikan yang akan tercapai.


11

MBS merupakan proses kegiatan yang dilakukan
secara bersama antara pihak sekolah dan masyarakat
dalam bidang pendidikan. Sumberdaya manusia yang
ada diberdayakan dan dikelola untuk mencapai tujuan
pendidikan. Melalui MBS diharapkan sekolah dapat
meningkatkan kemampuannya dalam merencanakan,
mengelola, dan menyelenggarakan pendidikan di sekolah sehingga dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Untuk mencapai tujuan MBS secara maksimal
dibutuhkan peran dari berbagai pihak, baik pejabat dinas pendidikan, para pengawas sekolah, kepala sekolah, para guru dan siswa di sekolah maupun masyarakat dan orang tua siswa.
2.1.3 Manfaat MBS
MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan
yang besar kepada sekolah, yang tentu saja disertai
dengan seperangkat tanggung jawab (Mulyasa 2012;
Hidayat & Machali 2012). Pemberian otonomi kepada
sekolah sebuah tanggung jawab untuk mengelola sumberdaya yang ada dan mengembangkan strategi peningkatan mutu melalui MBS yang disesuaikan dengan kondisi setempat.
Selain dapat meningkatkan mutu pendidikan,
MBS juga dapat meningkatkan kemandirian, fleksibilitas, partisipasi, keterbukaan, kerjasama, akuntabilitas, dan inisiatif sekolah dalam mengelola pendidikan.

Di sisi lain MBS dapat meningkatkan kepedulian warga
sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
12

Manfaat lain dari MBS adalah meningkatkan
tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat,
dan pemerintah tentang mutu sekolahnya serta dapat
meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah
tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
2.1.4 Prinsip MBS
Ada empat prinsip dalam MBS sebagai bentuk
implementasi otonomi daerah bidang pendidikan yang
menjadi landasan untuk mencapai sasaran mutu sekolah, yaitu 1) otonomi; 2) fleksibilitas; 3) partisipasi, dan
4) inisiatif (Depdiknas 2007 dalam Hidayat dan Machali
2012:55).
Prinsip otonomi memberikan kewenangan kepada
sekolah untuk mengatur, mengurus, dan memajukan
segala kepentingan sekolah menurut prakarsa sendiri.
Selain itu juga berdasarkan aspirasi warga sekolah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Melalui fleksibilitas,

sekolah akan lebih luwes dan lincah dalam mengelola,
memanfaatkan, dan memberdayakan sumberdaya sekolah secara optimal untuk meningkatkan mutu sekolah.
Terkait dengan otonomi seperti tersebut di atas,
peranserta

warga

sekolah

dan

masyarakat

perlu

ditingkatkan secara langsung dalam penyelenggaraan
pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan dapat
diukur dari perkembangan aspek sumberdaya manusianya. Prinsip inisiatif mengakui bahwa manusia
bukanlah sumber daya yang statis, melainkan dinamis.
Oleh karena itu, potensi sumber daya manusia diha13


rapkan dapat digali, ditemukan, dan dikembangkan sesuai potensi yang dimilikinya.
2.1.5 Karakteristik MBS
Karakeristik MBS perlu dipahami dan dikuasai
oleh kepala sekolah selaku pemimpin lembaga dan
akan menerapkannya bersama sumber daya manusia
yang ada di sekolah. Karakteristik dimaksud meliputi
seluruh komponen pendidikan yang meliputi input,
proses dan output (Depdiknas 2004; Rohiat 2012).
Rahardjo (2004:11), menyebutkan bahwa Input
Pendidikan memiliki karakteristik sebagai berikut: (1)
Memiliki kebijakan, tujuan dan sasaran program yang
jelas, (2) Sumberdaya tersedia dan jelas, (3) Staf yang
kompeten dan berdedikasi yang tinggi, (4) Memiliki
harapan prestasi yang tinggi, (5) Fokus pada pelanggan,
(6) Manajemen.
Sekolah memiliki kebijakan, visi, misi, tujuan,
dan sasaran yang jelas melalui program-program yang
dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Kesemuanya itu disosialisasikan kepada semua warga sekolah
sehingga diharapkan dalam diri


warga sekolah dapat

tertanam pemikiran, tindakan, kebiasaan, hingga sampai pada kepemilikan karakter mutu.
Sekolah diharapkan siap dengan sumber daya
yang memadai untuk menjalankan proses pendidikan.
Sumberdaya tersebut terdiri dari sumberdaya manusia
dan sumberdaya lainnya (uang, peralatan, perlengkapan, bahan, dan sebagainya). Dari sumberdaya tersebut
dimungkinkan dapat menunjang proses belajar meng14

ajar yang selanjutnya dapat meningkatkan kemajuan
pendidikan.
Proses pembelajaran dapat berjalan secara optimal apabila didukung oleh staf yang kompeten dan
berdedikasi tinggi. Dengan pembelajaran yang optimal
sekolah memiliki harapan yang tinggi untuk meningkatkan prestasi peserta didik dan sekolahnya. Kepala
sekolah, guru, dan peserta didik harus memliki komitmen

dan

motivasi

untuk

meningkatkan

mutu

sekolah dan untuk mencapai prestasi yang tinggi.
Semua input dan proses yang dikerahkan sekolah
dengan tujuan utama untuk meningkatkan mutu dan
kepuasan

peserta

didik.

Input

manajemen,

yang

meliputi: tugas yang jelas, rencana yang rinci, dan
sistematika program yang mendukung pelaksanaan
rencana, aturan main yang jelas sebagai panutan warga
sekolah dalam bertindak. Dengan input manajemen
yang lengkap dapat mempermudah kepala sekolah
dalam pengelolaan pendidikan.
Rahardjo (2004:9) menjelaskan bahwa sekolah
yang efektif memiliki kualitas proses pendidikan sebagai berikut: (1) Proses Belajar Mengajar yang efektivitasnya tinggi; (2) Kepemimpinan sekolah yang tangguh;
(3) Lingkungan sekolah yang aman, tertib, dan nyaman;
(4) Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif; (5)
Sekolah memiliki budaya mutu; (6) Sekolah memiliki
kebersamaan; (7) Sekolah memiliki kewenangan; (8)
Partisipasi warga sekolah dan masyarakat; (9) Keterbukaan (transparasi) manajemen; (10) Sekolah memiliki kemauan untuk berubah; (11) Sekolah melakukan
evaluasi dan perbaikan; (12) Sekolah responsif dan
15

antisipatif terhadap kebutuhan; (13) Komunikasi yang
baik; (14) Sekolah memiliki akuntabilitas.
Proses belajar mengajar dengan efektivitas yang
tinggi menekankan pada pemberdayaan peserta didik.
Proses belajar mengajar tidak hanya ditekankan pada
pengetahuan (kognitif) saja tetapi lebih menekankan
tentang apa yang diajarkan tersebut dapat dipraktikkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Kepemimpinan sekolah yang tangguh, artinya
bahwa kepala sekolah mampu dalam mengoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumberdaya yang ada, serta mampu mengambil keputusan
dan inisiatif untuk meningkatkan mutu sekolah sesuai
dengan visi, misi, tujuan, dan sasaran yang telah
ditetapkan.
Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, dapat
menciptakan suasana proses belajar mengajar yang
nyaman dan efektif. Keberhasilan pembelajaran juga
ditentukan oleh kemampuan kepala sekolah dalam
mengelola tenaga kependidikan secara efektif. Pengelolaan tenaga kependidikan, meliputi semua kegiatan
dari analisa kebutuhan, perencanaan, pengembangan,
evaluasi kinerja, hubungan kerja, hingga imbal jasa.
Sekolah memiliki budaya mutu. Setiap perilaku
warga sekolah selalu didasari oleh profesionalisme
sehingga warga sekolah merasa aman dan menikmati
pekerjaanya. Sekolah juga harus memiliki rasa kebersamaan antar warga sekolah, karena sekolah merupakan teamwork yang bekerjasama secara kompak, cerdas, dan dinamis.
16

Sekolah

memiliki

kewenangan

(kemandirian).

Sekolah dituntut memiliki kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak selalu bergantung pada pihak
lain. Namun harus didukung dengan partisipasi warga
sekolah dan masyarakat. Makin tinggi tingkat partisipasi makin besar rasa memiliki, makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab, dan
makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula
tingkat dedikasinya.
Sekolah yang memiliki keterbukaan manajemen,
dalam melakukan kegiatan diharapkan melibatkan
pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol, baik dalam
pengambilan keputusan, menyususn perencanaan, pelaksanaan ataupun dalam penggunaan keuangan dan
sarana prasarana.
Sekolah

memiliki

kemauan

untuk

berubah

(psikologis dan fisik). Perubahan yang dimaksud adalah
perubahan yang menyenangkan dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik.
Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan. Hasil evaluasi dapat dimanfaatkan
untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar di sekolah sehingga dapat meningkatkan
mutu pendidikan.
Sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan. Sekolah dituntut tidak hanya mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan, akan tetapi juga
mampu mengantisipasi hal-hal yang mungkin akan
terjadi, terutama yang memengaruhi kepentingan sekolah.
17

Memiliki

komunikasi

yang

baik

untuk

me-

ngomunikasikan segala kegiatan kepada warga sekolah
dan dengan komunikasi akan membentuk teamwork
yang kuat, kompak dan cerdas. Sekolah memiliki
akuntabilitas. Merupakan bentuk pertanggungjawaban
yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan
program yang telah dilaksanakan.
Output atau hasil yang diharapkan adalah prestasi sekolah yang dihasilkan melalui proses pembelajaran dan manajemen sekolah. Output dapat berupa
prestasi akademik dan non akademik. Prestasi akademik misalnya: hasil US, lomba karya ilmiah remaja.
Dan output non akademik, berupa keingintahuan yang
tinggi, harga diri, kejujuran, kerjasama yang baik,
toleransi, kedisiplinan, prestasi olahraga, kesenian dari
para peserta didik dan sebagainya.
2.2 Tiga Pilar MBS
Dalam MBS terdapat tiga pilar yang dijadikan
pedoman dalam menilai implementasi MBS yang dilaksanakan di sekolah, yaitu:
1) Manajemen Sekolah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, manajemen berarti penggunaan sumberdaya secara efektif
untuk mencapai sasaran. Sedangkan menurut Rohiat
(2012:14), manajemen berasal dari kata to manage yang
berarti mengelola, yaitu melakukan pengelolaan sumberdaya yang dimiliki oleh sekolah/organisasi yang diantaranya adalah manusia, uang, metode, material,
mesin, dan pemasaran yang dilakukan dengan sistematis dalam suatu proses.
18

Manajemen Sekolah menurut James Jr (dalam
Tim Kuliah Gratis 2009), adalah proses pendayagunaan
sumber-sumber manusiawi bagi penyelenggara sekolah
secara efektif. Sedangkan menurut Rahmania Utari,
manajemen sekolah adalah segala proses pendayagunaan semua komponen baik komponen manusia
maupun non manusia, yang dimiliki sekolah dalam
rangka mencapai tujuan secara efisien. Dalam hal ini
ada empat proses manajemen sekolah yaitu: perencanaan,

pengorganisasian,

pelaksanaan,

dan

pe-

ngawasan.
2) Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM)
PAKEM merupakan model pembelajaran inovatif
yang menekankan keaktifan siswa pada setiap kegiatan
pembelajaran. Istilah belajar aktif adalah learning by
doing, yang merupakan integrasi aspek teori dan
praktik. Melalui PAKEM, siswa diharapkan akan lebih
kreatif dalam setiap kegiatan pembelajaran. Suasana
pembelajaran yang menyenangkan, akan menciptakan
rasa percaya diri pada siswa dengan tidak merasa
tegang dan suasana belajar menjadi tidak membosankan. Menggunakan Model PAKEM diharapkan tujuan
pembelajaran dapat tercapai secara efektif dan optimal.
Peran guru dalam pembelajaran PAKEM, yaitu:
menyediakan pengalaman belajar, memberikan kegiatan yang merangsang keingintahuan peserta didik,
menyediakan sarana yang merangsang peserta didik
berpikir secara produktif, memonitor dan mengevaluasi
hasil belajar peserta didik.
19

3) Peran Serta Masyarakat (PSM)
Pelaksanaan pendidikan bagi anak bukan hanya
di sekolah, tetapi di rumah dan masyarakat sekitar kita.
Peran serta masyarakat merupakan bentuk keikutsertaaan seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan permasalahan-permasalahan pendidikan yang ada
di sekolah. Dengan demikian masyarakat sangat berperan dalam mendukung kemajuan pendidikan.
2.3 Evaluasi MBS
Evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan
informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya
informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan
(Arikunto & Jabar 2008:2). Sementara itu menurut
Tyler (1950 dalam Farida (2008:3), evaluasi adalah proses yang menentukan sampai sejauh mana tujuan
pendidikan dapat dicapai.
Ditegaskan

oleh

Patton

(2006:251),

bahwa

evaluasi adalah koleksi, analisis, dan penafsiran yang
sistematis atas informasi tentang kegiatan dan hasil
program nyata sesuai rencana untuk orang yang
berkepentingan guna membuat keputusan tentang
aspek spesifik seperti apa program itu berjalan dan
meningkatkan program. Berdasarkan pendapat tersebut
di atas maka dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah
suatu kegiatan untuk menentukan sejauh mana tujuan
dari suatu program dapat dicapai.
Evaluasi merupakan bagian yang tak terpisahkan
dalam pelaksanaan MBS. Evaluasi merupakan tahapan
dalam MBS yang merupakan kegiatan penting untuk
20

mengetahui kemajuan atau hasil yang dicapai sekolah
dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan rencana
yang sudah disusun oleh masing-masing sekolah. Untuk menjamin mutu dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pendidikan, maka dalam Undang-Undang
No.20/2003 tentang Sisdiknas menyatakan sebagai
berikut:
1. Evaluasi dilakukan dalam rangka pengen-dalian mutu
pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihakpihak yang berkepentingan. (Pasal 57 ayat 1)
2. Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga,
dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis
pendidikan. (Pasal 57 ayat 2)

Model evaluasi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah model evaluasi CIPP yang dikembangkan oleh
Daniel Stufflebeam tahun 1966. Stufflebeam (dalam
Wirawan 2011), mendefinisikan evaluasi adalah sebagai
proses melukiskan (delineating), memperoleh, dan menyediakan

informasi

alternatif-alternatif

yang

dalam

berguna

untuk

pengambilan

menilai

keputusan.

Dalam bukunya Stufflebeam dan Shinkfield (2007:326)
menyatakan:
Contect evaluations: assess needs, problems, assets,
and opportunities to help decision makers definegoals
and preorities and to help the relevant users judge goals,
priorities, and outcomes. Input evaluations assess
alternative approaches, competing action plans, staffing
plans, and budgets for their feasibility and potential costeffectiveness to meet targeted needs and achieve goals.
Decision makers use input evaluations in choosing
among competing plans, writing funding proposals,
allocating resources, assigning staff, scheduling work,
and ultimately helping othersjudge and effort’s plans and

21

budget. Process evaluations assess the implementation
of plan to help staff carry out activities and, later, to help
the
broaddd
group
of
users
judge
program
implementation
and interpret outcomes.
Product
evaluations identify and assess out-come intended and
unintended, short term and long term to help a staff keep
an enterprise focused on achieving important outcomes
and ultimately to help the broader group of users gauge
the effort’s succes in meeting targeted needs.

Dari pernyataan diatas diartikan bahwa: Evaluasi
konteks adalah menilai kebutuhan, masalah, aset, dan
kesempatan untuk membantu pengambil keputusan
menentukan tujuan dan prioritas serta membantu
pengguna yang relevan menilai prioritas, tujuan dan
hasil.
Evaluasi masukan menilai pendekatan alternatif,
rencana aksi bersaing, rencana kepegawaian, dan
anggaran

untuk

kelayakan

dan

efektivitas

biaya

potensial untuk memenuhi kebutuhan target dan
mencapai tujuan. Pengambil keputusan menggunakan
evaluasi masukan da-lam memilih antara rencana
bersaing, menulis proposal pendanaan, mengalokasikan
sumber daya, menetapkan staf, penjadwalan kerja, dan
akhirnya membantu orang lain menilai dan rencana
usaha serta anggaran.
Evaluasi Proses menilai pelaksanaan rencana
untuk membantu staf melaksanakan kegiatan dan
kemudian untuk membantu kelompok yang luas dari
pengguna menilai pelaksanaan program dan menginterpretasikan hasil.
Evaluasi produk mengidentifikasi dan menilai
outcome yang dimaksudkan dan tidak diinginkan,
jangka pendek dan jangka panjang untuk membantu
22

staf menjaga perusahaan fokus pada pencapaian hasil
yang penting dan pada akhirnya untuk membantu
kelompok yang lebih luas dari pengguna mengukur
keberhasilan upaya dalam kebutuhan yang ditargetkan.
Menurut

Daniel

Stufflebeam

(2003

dalam

Wirawan 2011:92), model CIPP terdiri dari empat jenis
evaluasi, yaitu: Context Evaluation, Input Evaluation,
Process

Evaluation,

dan

Product

Evaluation

yang

dilukiskan pada gambar berikut:

Context :

Input:

Process:

Product:

Berupaya
mencari
jawaban atas
pertanyaan:
Apa yang
perlu
dilakukan?

Berupaya
mencari
jawaban atas
pertanyaan:
Apa yang
harus
dilakukan?

Berupaya
mencari
jawaban atas
pertanyaan:
Apakah
program
sukses?

Waktu
pelaksanaan:
Sebelum
program
diterima

Waktu
pelaksanaan:
Sebelum
program
dimulai

Berupaya
mencari
jawaban atas
pertanyaan:
Apakah
program
sedang
dilaksanakan?

Keputusan:
Perencanaan
program

Keputusan:
Penstrukturan program

Keputusan
pelaksanaan:
Ketika
program
sedang
dilaksanakan
Keputusan:
Pelaksanaan

Waktu
pelaksanaan:
Ketika
program
selesai.
Keputusan:
Resikel: Ya
atau tidak
program
harus
diresikel

Gambar 1.2. Model Evaluasi CIPP

Penjelasan dari masing-masing aspek dalam model CIPP adalah sebagai berikut:
23

1. Context Evaluation
Context

Evaluation

(Evaluasi

Konteks),

yaitu

evaluasi untuk mengidentifikasi dan menilai kebutuhan-kebutuhan yang mendasari disusunnya suatu program.
Orientasi utama dari evaluasi konteks adalah
mengidentifikasi latar belakang perlunya mengadakan
perubahan atau munculnya program dari beberapa
subjek yang terlibat dalam pengambilan keputusan.
Apakah tujuan dan prioritas program telah dirancang
berdasarkan analisis kebutuhan.
2. Input Evaluation
Input Evaluation (Evaluasi Input), yaitu evaluasi
yang dilaksanakan untuk mengidentifikasi dan menilai
segala unsur yang tersedia karena dibutuhkan untuk
berlangsungnya suatu proses. Unsur tersebut harus
ada sebelum program dimulai.
Dalam evaluasi input pada dasarnya untuk mempertanyakan apakah input-input pendidikan sudah siap
dan memadai untuk digunakan baik dari segi kualitas
maupun kuantitasnya. Komponen input dalam MBS
meliputi: sumberdaya manusia (guru, kepala sekolah,
tata usaha, peserta didik), kurikulum, sarana dan
peralatan yang mendukung, serta dana dan anggaran
sekolah.
3. Process Evaluation
Process Evaluation (Evaluasi Proses), yaitu: evaluasi yang bertujuan untuk mengakses pelaksanaan
program apakah sesuai dengan rencana. Dalam MBS
24

Unsur yang dievaluasi adalah: proses pengambilan
keputusan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, proses evaluasi sekolah.
Evaluasi proses adalah untuk mempertanyakan
apakah proses pengelolaan terhadap input sudah sesuai dengan yang diharapkan atau sudah terbukti
baik.
4. Product Evaluation
Product Evaluation (Evaluasi Produk), yaitu evaluasi yang dilakukan guna untuk melihat ketercapaian
atau keberhasilan suatu program dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Dalam evaluasi produk pada dasarnya untuk
mempertanyakan apakah sasaran yang ingin dicapai
pada program MBS sudah terwujud. Adapun hasil dari
pelaksanaan program berupa prestasi akademik dan
non akademik. Fokus dari evaluasi produk adalah untuk mengevaluasi sejauh mana yang diharapkan telah
dicapai, baik dari segi kualitas, kuantitas, maupun
waktunya.
2.4. Penelitian yang relevan
Penelitian sebelumnya yang mengangkat topik
tentang Evaluasi MBS diantaranya oleh Adeolu Joshua
Ayeni1 & Williams Olusola Ibukun tahun 2013 yang
berjudul “A Conceptual Model for School-Based Management Operation and Quality Assurance in Nigerian
Secondary Schools” ditemukan rendahnya kapasitas
anggota kunci dari SBMCs, kehadiran yang buruk
anggota pada pertemuan karena kurangnya insentif dan
25

dukungan keuangan dari pemerintah; kurangnya kerja
sama dari sekolah, ini mengakibatkan dalam pengelolaan sekolah tidak efektif dan rendahnya tingkat prestasi akademik siswa.
Penelitian oleh Adigun dan Adu (2012), yang
berjudul Effective Management of School-based Assessment as a Correlate of Internal Efficiency of the Colleges
of Education in Nigeria dalam International Journal of
Humanities

and

Social

Science

Vol.2

No.14

2012

menemukan bahwa: 1) Ada efisiensi internal yang
rendah di perguruan tinggi Pendidikan; 2) soal ujian
yang menyatakan baik; 3) jadwal dan dana yang
nyaman bagi siswa; 4) Ada hubungan yang signifikan
antara efisiensi internal dan variabel kenyamanan pemeriksaan waktu, pengawasan pemeriksaan, pembuatan pertanyaan dan publikasi hasil.
Penelitian oleh I Wayan Suditha (2012) mengenai
Studi Evaluasi Efektivitas Penerapan MBS pada SMP
Saraswati 1 Tabanan menyimpulkan bahwa Penerapan
MBS pada SMP Saraswati 1 Tabanan ditemukan adanya kendala-kendala yaitu rendah dan kurangnya
aspirasi masyarakat terhadap pendidikan, status ekonomi masyarakat, sasaran sekolah, keberadaan siswa,
sikap kemandirian, proses pengelolaan program, proses
kerjasama dan partisipasi, kemandirian sekolah dan
sustainbilitas.
Penelitian oleh I Putu Pranatha Sentosa (2012),
mengenai Studi Evaluasi Pelaksanaan Program MBS
pada tiga Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten
Jembrana ditemukan bahwa kendala yang dihadapi
dalam
26

implementasi

program

MBS

adalah

terkait

dengan pola pikir dari sebagian stakeholder yang tidak
sungguh-sungguh menyikapi perubahan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Arkanudin dan
Gusti Suryansyah (2013), mengenai Implementasi Pengembangan Manajemen Berbasis Sekolah Menengah
Kejuruan Negeri 1 Kabupaten Sintang, ditemukan bahwa keterlibatan Komite Sekolah di SMKN 1 Kabupaten
Sintang belum terlaksana dengan maksimal.
Kondisi ini terlihat dari belum sepenuhnya Komite Sekolah berperan aktif dalam upaya peningkatan
mutu kemandirian sekolah, pengembangan program
sekolah dan keterlibatan dalam perencanaan program
sekolah dengan memberikan ide, saran dan gagasan
serta memfasilitasi berbagai aspirasi masyarakat dalam
perencanaan program sekolah di SMKN 1 Sintang.
Belum

maksimalnya

peran

Komite

Sekolah

tersebut salah satunya disebabkan oleh kurangnya
dukungan sumber pendanaan bagi penyelenggaraan
pendidikan dan Komite Sekolah belum mampu menghimpun dana dari orang tua dan dari Dunia Usaha
Industri di Kabupaten Sintang.
2.5 Kerangka Berpikir
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan
model manajemen pendidikan yang memberikan keleluasaan pada sekolah untuk mengelola sumber daya,
sumber dana, dan sumber belajar yang ada secara
maksimal untuk meningkatka mutu pendidikan.

27

MBS yang dilaksanakan di sekolah memiliki komponen-komponen yang saling terkait secara sistematis
satu sama lain, yaitu konteks, masukan, proses, dan
hasil. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan dari
program MBS perlu adanya evaluasi secara menyeluruh
dari setiap komponen. Keberhasilan dalam implementasi program MBS di SD Negeri Genuk 01 Kecamatan
Ungaran Barat Kabupaten Semarang dilihat secara
komprehensif yang meliputi konteks, input, proses, dan
produk, sebagaimana tersaji pada gambar di bawah ini:

Otonomi Daerah

Otonomi Sekolah

M B S
Manajemen
Sekolah

PAKEM

Peran Serta
Masyarakat

C I P P
Gambar 2.1 Kerangka berpikir

28

Dokumen yang terkait

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL AGRIBISNIS PERBENIHAN KENTANG (Solanum tuberosum, L) Di KABUPATEN LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR

27 309 21

ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Property dan Real Estate Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

47 440 21

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA DENGAN GANGGUAN JIWA (SKIZOFRENIA) Di Wilayah Puskesmas Kedung Kandang Malang Tahun 2015

28 256 11

STUDI PENGGUNAAN SPIRONOLAKTON PADA PASIEN SIROSIS DENGAN ASITES (Penelitian Di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang)

13 140 24

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA REGULER DENGAN ADANYA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD INKLUSI GUGUS 4 SUMBERSARI MALANG

64 523 26

PENGEMBANGAN TARI SEMUT BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SD MUHAMMADIYAH 8 DAU MALANG

57 502 20

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65