Analisis Logika Perang dan Damai dalam P

UNIVERSITAS PADJADJARAN

Perang dan Damai

Analisis Logika Perang dan Damai dalam Perang Vietnam (1961-1975)

Annisa Rizki Aulia

170210110017

Ravio Patra Asri

170210110019

Denisa Ruvianty

170210110051

Greaty Fitraharani

170210110085


Diwintya Fernidyanti

170210110103

Shinta Permata Sari

170210110111

Viddy M. Naufal Ranawijaya

170210110131

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
SUMEDANG
2014

Latar Belakang


Perpecahan di Vietnam yang terjadi pada tahun 1961-1975, tepatnya
pada masa Perang Dingin, telah menimbulkan banyak pertanyaan. Konflik
yang merupakan bentuk nyata dari Perang dingin ini dikenal oleh Bangsa
Amerika dan Barat sebagai Perang Vietnam, namun penyebutan ini sering
dianggap sebagai perendahan tentang apa yang terjadi di Vietnam pada saat
itu. Maka untuk rakyat Vietnam yang melihat banyaknya intervensi asing
lebih menyukai untuk menyebutnya Perang Amerika atau kaum komunis

lebih senang untuk menyebutnya Perang Perlawanan Melawan Amerika
Serikat.

Intervensi asing memang terlihat banyak terutama dalam timbulnya

eskalasi dan perpecahan di Vietnam Selatan, pemerintah melawan
beligerensi yaitu National Liberation Front. Dinamika politik dunia terutama
mengenai perang Vietnam berubah-ubah pada saat itu, seiring dengan
pergantian rezim dari negara yang membelakangi peristiwa, yaitu Amerika
Serikat, yang diakhiri dengan pertanyaan besar yaitu invasi Vietnam Utara
atas Vietnam Selatan atas respon penarikan tentara secara perlahan oleh
Amerika Serikat.

Maka dengan meneliti kronologi, aktor utama, dan logika perang
Vietnam kita dapat mencari sesungguhnya jawaban dari pertanyaanpertanyaan mengenai dinamika politik dunia, dari mulai awal perang
Vietnam, pergantian rezim, hingga akhirnya reunifikasi Vietnam menjadi satu
Vietnam yang sekarang berdiri dan diakui secara internasional sebagai
negara yang berdaulat.

Kronologi

Masa Prakolonialisme
Dominasi asing di Vietnam diawali dengan kedatangan Cina untuk
menaklukan negara tersebut pada sekitar 111 SM (Wong 2012, h. 4-18). Pada
saat itu, Dinasti Han yang sedang berkuasa mampu menaklukkan Delta
Sungai Merah di Vietnam Utara. Setelah penaklukan tersebut, dinasti-dinasti
lainnya di Cina ikut memerintah Vietnam hingga sekitar 1000 tahun lamanya.
Hubungan rumit dikembangkan antara keduanya, dimana Vietnam secara
tidak langsung telah banyak mengadaptasi budaya dan kebiasaan-kebiasaan
masyarakat Cina di dalam negaranya, mulai dari agama, teknologi, bahasa,
arsitektur hingga ekeonomi. Proses adaptasi yang dilakukan masyarakat
Vietnam pada saat itu, merupakan salah satu misi Cina untuk membangun
sistem serupa dengan apa yang diterapkan oleh Cina. Cina menggunakan

kedudukannya di Vietnam untuk menjajah hasil pertanian dan menerapkan
sistem pemerintahannya di negara ini.
Dominasi Cina di Vietnam memicu pemberontakan pada masyarakat
Vietnam. Pemberontakan ini dibuat untuk menghentikan control Cina dari
Vietnam, salah satunya yang terkenal adalah pemberontakan yang dipimpin
oleh Trung bersaudara (Trung Trac dan Trung Nhi). Pemberontakan didasari
oleh rasa benci dua bersaudara tersebut pada pemerintahan Su Ting pada
tahun 29 M yang sangat tamak dan banyak merugikan masyarakat Vietnam
pada saat itu (Mori, 2013). Pemberontakan juga didasari pada balas dendam
atas pembunuhan yang dilakukan Su Ting kepada Ti Sach, suami dari Trung
Tac. Pemberontakan singkat tersebut membawa pengaruh sesaat pada
kedudukan Cina di Vietnam yang meluas hingga ke prefektur Yue di Guangzi.
Dua bersaudara ini akhirnya mampu mengusir kedudukan Cina di Vietnam
pada tahun 39M dan mengangkat dirinya sebagai Ratu.
Kekuasaan mereka tidak bertahan lama, karena 3 tahun setelahnya
pasukan Cina kembali datang. Dibawah pimpinan Jenderal Ma Yuan, Cina

kembali untuk menguasai Cina. Trung bersaudara yang melihat kedatangan
Cina untuk kedua kalinya, memutuskan untuk bunuh diri yang kemudian
diikuti oleh para pengikutnya. Pada abad kesepuluh, Dinasti Tang runtuh

karena tidak mampu membayar sumber daya untuk mempertahankan
kontrolnya di Vietnam. Pada 939 M, tentara Vietnam akhirnya menyerang
tentara Cina dengan pasukan yang lebih banyak di Haiphong. Vietnam
akhirnya

mampu

mengalahkan

Cina

dan

mendapatkan

kedaulatan

negaranya. Walaupun Cina terus berupaya untuk mendapatkan wilayah
Vietnam


kembali,

tetapi

rakyat

Vietnam

tetap

mempertahankan

kemerdekaannya melalui jalan diplomasi, pembayaran upeti ke ibukota Cina
dan kampanye militer yang sukses melawan penjajahan. Aksi perlawanan
rakyat Vietnam ini juga diadaptasi oleh keberanian Trung bersaudara dalam
melawan dominasi Cina di wilayah ini.
Setelah merdeka, kerajaan Viet akhirnya memperluas ekspansinya ke
wilayah Selatan. Hal ini didorong karena pertumbuhan ekonomi di wilayah
utara yang tidak disertai dengan sumber daya yang melimpah. Ekspansi
tersebut meluas hingga ke wilayah Delta Mekong yang subur. Pada tahun

1613, perang sipil kembali meledak yang akhirnya memisahkan Vietnam
kedalam dua wilayah, yaitu Utara dan Selatan yang masing-masingnya
diperintah oleh Trinh dan Nguyen.
Setelah perang yang meledak antara kedua wilayah tersebut, revolusi
sempat terjadi yang didalangi oleh para petani. Revolusi petani ini terjadi di
wilayah Tay Son dan sempat menggeser kedudukan Trinh dan Nguyen di
masing-masing wilayah dan mempersatukan wilayah Vietnam pada akhir
abad ke-18. Namun, kembali mendapatkan perlawanan dari anggota keluarga
Nguyen dan merebut kedudukan wilayah ini. Dinasti Nguyen kemudian
memberi nama kerajaan baru mereka dengan Nam Viet yang berarti Viet

Selatan.

Masa Kolonialisme
Masa Kolonialisme ditandai dengan masuknya Perancis ke wilayah
Selatan Vietnam pada sekitar abad ke-19. Perancis berusaha mengambil alih
seluruh wilayah termasuk wilayah Vietnam bagian utara. Perancis
melakukan dominasinya di wilayah Vietnam, mulai dari mengambil alih
pemerintahan dan juga sumber daya yang ada. Kaisar-kaisar di Vietnam
bahkan tidak dapat berkutik karena para pejabat Perancis mengambil alih

pemerintahan mereka. Nguyen Anh yang menjadi pemimpin Dinasti Nguyen
telah meramalkan bahwa kekuatan Barat akan mulai mendominasi di Asia.
Mengetahui hal tersebut, ia tetap memberikan kesempatan pada masuknya
barang impor Barat dan mentoleransi masuknya christianity di wilayah
Vietnam. Nguyen Anh tidak bermaksud untuk memberi keuntungan pada
kedudukan Barat di Vietnam, termasuk Perancis.
Nguyen Anh kemudian memberikan tahtanya kepada anaknya yang dia
anggap mampu memerintah dengan baik yaitu Minh Mang. Minh Mang
memimpin dengan lebih otoriter dibandingkan ayahnya yang masih terbuka
pada kehadiran Barat. Ia menolak kehadiran segala macam budaya barat
yang menyebar di wilayah Vietnam. Ia berpedoman pada ajaran konfusiusme
sebagai kepercayaan yang harus dimiliki seluruh masyarakatnya dan bagi
sistem pemerintahannya. Ia tidak mengizinkan adanya christianity di wilayah
tersebut, karena baginya itu berarti mengindikasikan bahwa Barat telah
mendominasi.

Prinsipnya

tersebut


kemudian

direalisasikan

melalui

penangkapan para pendeta katolik di Vietnam dan warga Perancis yang
berada di wilayah kekuasaannya.
Revolusi industri di Perancis dalam tatanan ekonomi, kemudian
membuka mata elit bisnis Perancis untuk mencari wilayah yang berpotensi
dalam sumber daya alam. Pada saat itu, elit bisnis Perancis melihat potensi di
wilayah Asia Tenggara, salah satunya adalah di wilayah Vietnam ini. Pada
tahun 1858, era kekuasaan kolonial dimulai melalui serangan tempur oleh
Perancis di Pelabuhan Danang dan mencapai kemenangannya empat tahun

kemudian. Vietnam tidak dapat berkutik dan menyerahkan tiga provinsi
lainnya. Kontrol Perancis di Vietnam akhirnya meluas hingga ke seluruh
wilayah Selatan Vietnam termasuk Mekong Delta yang terkenal akan
kesuburan wilayahnya. Pada tahun 1867, Perancis mendirikan koloni mereka
yang dikenal dengan nama Cochin China (Wong, 2012).

Awal abad ke-20 para ahli dari Vietnam yang telah banyak
mendapatkan pendidikan di Perancis mengorganisasi pergerakan anti
kolonial dan menyulut nasionalisme di Vietnam. Dibawah pimpinan Ho Chi
Minh, kaum komunis Vietnam mengorganisasi kelompok-kelompok anti
kolonial dalam sebuah gerakan bernama Viet Minh. Mereka akhirnya berhasil
menduduki Hanoi dan Vietnam bagian utara. Setelah Perang Dunia II
berakhir, pada 2 September 1945 Ho Chi Minh mengumumkan kemerdekaan
Republik Demokratik Vietnam. Vietnam berhasil keluar dari dominasi
Perancis.

Masa Pascakolonialisme

a. Indo-China War (1946-1954)
Perang Indo-china merupakan perang yang terjadi di wilayah
Asia Tenggara, khususnya di Vietnam, Laos dan Kamboja. Perang ini
terjadi atas dasar mempertahankan status kemerdekaan negaranegara tersebut dari ancaman penjajahan kembali. Di Vietnam
khususnya, saat Perang Dunia II wilayahnya dikuasai oleh Jepang
(Windrow 1998, h. 11). Pasca PD II dan kalahnya Jepang, sekutu,
menyusun strategi untuk mengeluarkan Jepang dari Vietnam dan
membagi Vietnam menjadi dua yaitu utara kepada Nasionalis Cina dan

selatan kepada Britania Raya (Le 2011, h. 128-148).
Inggris saat itu membantu Perancis berkuasa lagi di wilayah
Indochina. Orang-orang Vietnam sangat membenci pemerintahan
tirani dan implementasi politik dan sosial dari Perancis sehingga

muncul organisasi gerilya revolusioner yaitu Viet Minh yang berperan
untuk mengusir Perancis hingga pasca kolonialisasi atau Perang Indo
China pertama. Viet Minh dipimpin oleh Ho Chi Minh yang berasal dari
Republik

Demokratik

Vietnam

(Vietnam

Utara).

Viet

Minh

memperoleh kemajuan yang signifikan dalam mengusir Perancis di
tahun 1954 (Dommen 2001, h. 252).
Pada tahun 1949, Perancis mendirikan Negara Vietnam
(Vietnam Selatan) di bawah Bao Dai karena Bao tergolong kooperatif
dengan Perancis di masa kolonial. Kedua wilayah ini, utara dan selatan
saling bentrok dalam urusan cita-cita politik dan sosial serta tujuan
nasionalnya. Wilayah-wilayah di Vietnam lainnya merasa bahwa
upaya ini bukan merupakan langkah signifikan menuju kemerdekaan
Vietnam, melainkan hanya menjadikan Vietnam sebagai negara
boneka.
Melihat maksud Perancis tersebut, Ho Chi Minh merasa

bargaining belum kuat sehingga memilih cara perundingan untuk
merelakan

ancaman

diproklamasikannya.
terjembatani

dengan

terhadap
Namun

kemerdekaan

jurang

perundingan,

perbedaan
sehingga

yang
mereka

September

tercapailah kesepakatan untuk tidak sepakat Neville

, h.

baru
tak
1946
.

Dengan posisi ini, maka Ho menyimpulkan bahwa satu-satunya cara
mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Vietnam hanyalah
lewat senjata. Situasi ini muncul di bulan November 1946 dengan
pecahnya konflik di kota pelabuhan Haiphong antara pasukan
Perancis dengan Viet Minh.
Perancis memanfaatkan momentum ini untuk mengenyahkan
Ho Chi Minh. Tentara Perancis segera menguasai ibukota Hanoi dan
Ho bersama pasukannya mundur ke pedalaman. Pada 19 Desember,
Jenderal Vo Nguyen Giap mengumumkan perang perlawanan nasional
yang melibatkan seluruh rakyat Vietnam. Perancis menyatakan bahwa

perang ini bukanlah sekadar peperangan kolonial, melainkan sudah
merupakan bagian dari Perang Dingin melawan ekspansi komunisme.
Sehingga AS pun mulai termakan dengan apa yang menjadi doktrin
Perancis itu.
Memasuki masa perang dingin, di Januari 1950, Uni Soviet dan
Republik Rakyat Tiongkok mengakui pemerintahan Ho atas Republik
Demokrasi Vietnam. Dengan pengakuan dua negara tadi, maka sekutu
Uni Soviet di Eropa Timur, seperti Polandia, Romania, Cekoslowakia
ikut memberikan pengakuan terhadap pemerintahan tersebut
(Errington 1990, h. 63). Dalam perang kolonial ini, Perancis memiliki
100.000 pasukan terlatih dengan persenjataan lengkap, termasuk
kekuatan udara dan laut, dipimpin oleh Jenderal Jean de Lattre de
Tassigny. Sedangkan Viet Minh yang dibantu rakyat terdiri dari
150.000 orang. dengan persenjataan terbatas, memperoleh bantuan
dari Partai Komunis Cina berupa bantuan militer (Moise 1998)
Melihat hal tersebut, AS tidak bisa lagi duduk diam sehingga
ikut mengumumkan pengakuannya atas Perancis yang didukung
Asosiasi Serikat Vietnam, yang dipimpin oleh Bao Dai. Kemudian, di
bulan Mei, pemerintahan Truman juga memberikan bantuan militer
dan ekonomi sebesar $15 kepada Vietnam Selatan dan Perancis untuk
membangun tentara nasional Bao Dai dengan mengintegrasikan
pasukan Cao Dai dan Hoa Hao, namun kedua kelompok tersebut
memprotes hilangnya otonomi mereka, sehingga terpecahlah aliansi
Perancis.

Kemunduran

tersebut

mengakibatkan

meningkatnya

kebrutalan milisi Perancis dengan membakar desa-desa, memperkosa
wanita, dan membunuh orang yang diduga berhubungan dengan
Vietminh.
Meskipun Perancis memiliki teknologi senjata superior dan
bantuan keuangan dari Amerika Serikat, mereka kalah jumlah dengan
pasukan Viet Minh. Kendala lainnya adalah tentara Viet Minh ini sulit

untuk diidentifikasi dilihat dari tampak tidak berbeda dari warga sipil.
Namun, prestasi yang paling mengesankan dari para pejuang gerilya
Viet Minh adalah bahwa mereka menyalip Red River Delta tanpa
pertempuran besar. Taktik gerilya mereka dan intelijen sipil
memungkinkan Viet Minh untuk mengalahkan Prancis.

b. Pembentukan Dua Negara
Pada tahun 1954, diplomasi dilakukan untuk mencapai
kesepakatan di Perang Indochina dengan dibentuknya Perjanjian
Jenewa (Geneva Accord) yang menghasilkan keputusan bagi Perancis
untuk meninggalkan koloni mereka di Indocina (Cold War Museum
1998). Selain Perancis, pihak yang terlibat di konferensi ini antara lain
Uni Soviet, AS, Britania Raya dan Cina (MFA PR China, 2000).
Konferensi ini membagi Vietnam sementara menjadi dua, Democratic
Republic of Vietnam yang dikuasai oleh Viet Minh dengan pimpinan
Ho Chi Minh dan Republic of Vietnam yang di pimpin oleh Kaisar Bao
Dai, tetapi tidak mengakhiri pertempuran yang terjadi di Vietnam.
-

Democratic Republic of Vietnam
Berdasarkan hasil perundingan Jenewa yang membagi Vietnam
Utara dan Vietnam Selatan, Ho tidak menyetujui adanya
pemisahan wilayah Vietnam. Ho sempat menyatakan diri memiliki
kekuasaan atas seluruh wilayah Vietnam dan memerintahkan Viet
Minh dan pasukan Vietnam Utara untuk berjuang di daerah
Vietnam Selatan yang dipengaruhi oleh Ameriksa Serikat
(Broucheux, 2011). Kemudian terjadilah perang saudara antara
pendukung Ho (sebagian besar di Vietnam Utara) dan Vietnam
Selatan di bawah pengaruh Amerika Serikat (BBC, 2014).
Pada akhir tahun 1950-an, Ho membentuk suatu gerakan
gerilya komunis di bagian Vietnam Selatan yang bernama Viet
Cong. Bersama

dengan Vietnam Utara, Vietcong berhasil

mengalahkan intervensi militer Amerika Serikat selama satu
dekade dan bersembunyi dari Perdana Menteri Ngo Dinh Diem
(pimpinan Vietnam Selatan yang didukung oleh AS) di bawah
tanah (Whitman, 2010).
-

Republic of Vietnam
Ngo Dihn Diem mucul menjadi tokoh baru di Vietnam Selatan.
Ngo Dihn Diem
sebelumnya pernah diasingkan ke Tiongkok, juga pernah
mengasingkan diri ke AS. Diem kembali saat diminta menjadi
Perdana Menteri oleh Bao Dai. Ia merupakan tokoh yang cakap
dalam melakukan hubungan luar negeri dan dapat memberikan
kontribusi pembangunan modernisasi di Vietnam Selatan. Selain
itu, Diem menghadapi beberapa tantangan dalam membantu
pemerintahan Bao Dai saat itu seperti pemerintahan yang kacau
dan daerah pedesaan yang berada dibawah kendali Cao Dai dan
Hoa Hao.
Pemerintahan Diem bersifat otoriter dan nepotistik. Pejabat
yang paling dipercayainya adalah adiknya yaitu Ngo Dinh Nhu,
pemimpin partai politik pro-Diem yang paling utama. Ngo Dinh
Can, abangnya, diberi tanggung jawab bekas Kota Kerajaan Hue.
Saudara lelakinya yang lain, Ngo Dinh Luyen, ditunjuk sebagai
Duta Besar di Britania Raya dan juga diberinya tanggung jawab
atas suku Cham Cham yang minoritas di Dataran Tengah Vietnam.
Madame Nhu, istri abangnya Nhu, menjadi Ibu Negara Vietnam
Selatan.

Ia

memimpin

program-program

Diem

untuk

memperbarui masyarakat Saigon sesuai dengan nilai-nilai Katolik
mereka. Bordil-bordil dan tempat-tempat mengisap opium
ditutup, perceraian dan aborsi dijadikan ilegal, dan undangundang perzinahan diperkuat. Diem sangat anti-komunis, dan

melakukan penyiksaan dan pembunuhan terhadap orang-orang
yang dicurigai komunis (Fitzgerald, 1972).
Sebagai bagian dari minoritas Katolik Vietnam, kebijakankebijakan tersebut membangkitkan amarah orang-orang Buddhis
Vietnam. Sehingga terjadi konflik agama dalam bentuk protesprotes massal dan penyiksaan diri yang berpuncak pada upaya
kudeta, dan eksekusi mati Diem dan adiknya Nhu (Mann, 2001).

Pendirian National Front for the Liberation Vietnam Selatan (NLF)
Pembatalannya pemilihan umum oleh Diem yang seharusnya sesuai
dengan Perjanjian Jenewa, membuat kader Viet Minh yang meninggalkan
selatan setelah negara terbagi, melakukan pemberontakan bersenjata. Pada
Januari 1959 kongres partai di Hanoi mengusulkan untuk mendukung
revolusi di Vietnam Selatan. Pada September 1960, Hanoi mengumumkan
dua program, yaitu untk reformasi sosialis di Vietnam utara dan pembebasan
bagi Vietnam Selatan dari pemerintah Saigon dan pendukung Amerikanya.
Dengan restu Hanoi, pada Desember 1960 dengan 20 organisasi, menentang
rezim Diem dan dukungannya kepada AS. Para revolusioner ini membentuk

National Front for the Liberation Vietnam Selatan atau terkenal juga sebagai
Viet Cong. Kelompok ini bertujuan untuk menumbangkan rezim Diem
(Wilbanks, 2013).
NLF didirikan pada Desember 1960. Eksistensi NLF sendiri muncul
ketika secara jelas Diem tidak ingin melaksanakan pemilihan untuk
bersatunya Vietnam seperti yang disepakati pada Perjanjian Jenewa 1954.
Ketika Diem mengetahui bahwa ketiadaannnya pemilihan tersebut tak dapat
diterima oleh oponen dari Vietnam Selatan, Diem memerintahkan mereka
untuk dipenjarakan. Diperkirakan terdapat 100,000 orang dipenjara hanya
karena mereka adalah anti-Diem. Sebelum semuanya dipenjara, sebagaian
dari mereka berpindah dari perkotaan ke hutan. Mereka melakukan
serangan-serangan sebagai bentuk penentangan terhadap Diem.

Namun sayangnya mereka tidak terorganisir dengan baik dan tidak
ada kepemimpinan di dalamnya. Ho Chi Minh paham bahwa tindakan kohesif
akan jauh lebih efektif dan berbahaya bagi pemerintahan Diem. Ia
menggunakan pengaruhnya untuk membentuk sebuah angkatan kohesif—
National Front for the Liberation Vietnam Selatan. Pemimpinnya adalah Hua
Tho—seorang pengacara yang bukan komunis, meskipun kebanyakan dari
anggota NLF adalah komunis. NLF harus memenangkan hati dan pikiran
ribuan masyarakat Vietnam Selatan yang tinggal di pedesaan dan memimpin
gaya hidup para petani. NLF berjanji untk meredistribusi tanah, mengambil
dari yang kaya dan memberikannya kepada yang miskin.
NLF juga berjanji akan membuat Diem lepas dari kekuasaan dan
menciptakan sebuah pemerintahan baru yang merepresenasikan semua
orang dan tidak hanya elit katolik di antara masyarakat Vietnam Selatan.
Untuk mengambil simpati masyarakat, NLF berusaha menunjukkan upaya
mereka meringankan beban kesulitan hidup para petani. Hal ini agar para
petani dan juga masyarakat secara keseluruhan turut dengan tujuan mereka,
yaitu menggulingkan rezim Diem yang otoriter.

Usaha Perdamaian

Paris Peace Accords
Paris Peace Accords merupakan suatu kesepakatan perdamaian antra
Vietnam Utara, Vietnam Selatan, dan Amerika Serikat, yang ditandatangani
pada 27 Januari 1973 di Paris (Ken, 2013). Kesepakatan ini memang tidak
mengakhiri Perang Vietnam yang telah berlangsung selama 2 dekade ini
secara langsung, namun keberadaannya memiliki peran yang cukup
signifikan terhadap akhir Perang Vietnam pada 1975.

Paris Peace Accords merupakan hasil Paris Peace Talks pada tahun
1968. Paris Peace Talks sendiri merupakan usaha penyelesaian konflik
Perang Vietnam dengan jalan damai yang diinisiasikan oleh Amerika Serikat.
Perang Vietnam merupakan perang terlama yang pernah diikuti oleh
Amerika Serikat (PBS, 2000). Usaha penyelesaian secara damai diinisiasikan
karena selain telah berlangsung lama, Perang Vietnam telah memakan
korban sekitar 50.000 tentara Amerika Serikat belum lagi kerugian material
yang begitu besar. Kerugian-kerugian ini pun menimbulkan sekitar 500.000
protes masyarakat Amerika Serikat pada tahun 1967, yang mempertanyakan
apakah partisipasi Amerika Serikat dalam Perang Vietnam dapat sukses dan
berlangsung efektif, serta justifikasi moral partisipasi Amerika Serikat dalam
Perang Vietnam.
Awal dari keberadaan peace talks ini dimulai pada tahun 1962, ketika
John F. Kennedy secara diam-diam menawarkan penawaran negosiasi
dengan pemerintah Vietnam Utara, di Jenewa. Negosiasi ini selalu tertunda,
hingga akhirnya dilakukan peace talks di Paris pada 10 Mei 1968 antara
Amerika Serikat yang diwakili oleh Duta Besar Avarell Harriman dengan
Vietnam Utara yang diwakili oleh Xuan Thuy (USIP, n.d). Sayangnya setelah
berlangsung selama kurang lebih 1 tahun, perundingan damai ini tidak
mengalami kemajuan sama sekali. Perdebatan terjadi antara Amerika Serikat
yang menuntut Vietman Utara untuk menarik pasukannya dari Vietnam

Selatan, dengan Vietnam yang mengajukan syarat bahwa penarikan pasukan
akan dilakukan setelah Amerika Serikat menarik pasukannya dari Vietnam
Selatan. Kelambanan proses perundingan ini juga disebabkan karena
ketidaksediaan

pihak

Vietnam

Selatan

untuk

berpartisipasi

dalam

perundingan damai dengan alasan bahwa perundingan merupakan
perangkap dari pihak komunis dan merupakan tanda pengakuan terhadap
Viet-Cong.
Negosiasi akhirnya mencapai titik pencerahan ketika Lyndon Johnson,
pihak Amerika Serikat, memutuskan untuk menghentikan pemboman ke
Vietnam Utara (Llewellyn, n.d). Hal ini dianggap sebagai suatu komitmen
serius terhadap tercapainya penyelesaian yang damai. Pada Januari 1969, 5
hari setelah Richard Nixon naik menjadi Presiden Amerika Serikat, delegasi
dari Amerika Serikat terbang ke Paris untuk secara formal berunding dengan
Vietnam Utara, NLF, dan Vietnam Selatan, yang akhirnya mau turut serta
dalam negosiasi (The VietnamWar, 2014).
Meskipun semua pihak yang terlibat dalam perang ini telah mau
duduk bersama, sayangnya negosiasi ini tetap mengalami jalan buntu selama
4 tahun selanjutnya. Hal ini diakibatkan karena pernyataan dan kemauan
masing-masing negara yang saling bertentangan. Vietnam Selatan menolak
untuk mengakui kedaulatan Vietnam Utara dan NLF. Sedangkan Vietnam
Utara tetap pada kemauannya agar Amerika Serikat mundur dari Vietnam
Selatan. Sementara itu Amerika Serikat menuntut Vietnam Utara untuk
mengakui dan menghormati kedaulatan Vietnam Selatan. Segala argumen
dan tuntutan yang berbeda-beda ini tetap dipertahankan oleh masing-masing
pihak, sehingga mengakibatkan perundingan ini tidak menemukan satu titik
temu.
Dalam rangka menemukan suatu kesepakatan Richard Nixon sempat
memerintahkan Henry Kissinger, penasehat pertahanan negara untuk
melakukan pertemuan diam-diam dengan Le Duc Tho, perwakilan dari
Vietnam Utara. Pada Oktober 1972, akhirnya pertemuan ini menghasilkan

pernyataan Vietnam Utara yang mau mengakui kedaulatan Vietnam Selatan
dengan syarat adanya proses pemilihan umum yang bebas yang diikuti
dengan reformasi politik. Menanggapi hasil dari pertemuan diam-diam yang
dilakukan oleh Vietnam Utara dan Amerika Serikat, presiden Vietnem
Selatan, Nguyen Van Thieu sangat marah dan menolak untuk menerima
perjanjian tersebut. Penolakan ini terjadi karena ia merasa bahwa hal ini
akan merendahkan harga diri negaranya, karena hasil perundingan ini
dianggap merupakan pemberian dari Viet-Cong.
Menanggapi penolakan Vietnam Selatan, Vietnam Utara pun marah
dan mengancam untuk keluar dari negosiasi tersebut. Menanggapi respon
kedua pihak ini, Amerika Serikat pun mengambil tindakan dengan
melakukan Operasi Linebacker II, yaitu pemboman Hanoi, Vietnam Utara,
pada 18 Desember 1972. Hal ini dilakukan karena Viet-Cong yang semakin
kuat dan tindakannya yang semakin offensive sehingga menghambat proses
perdamaian yang sedang berjalan (Kesby, 2012). Sedangkan terhadap
Vietnam Selatan, untuk menunjukkan keseriusannya, Nixon menjanjikan
bantuan militer sebesar 1 juta dollar, dan niat untuk memberikan 1 juta
dollar ganti rugi lagi jika Vietnam Utara melanggar perjanjian tersebut.
Akhirnya dengan terpaksa kedua pihak setuju untuk melanjutkan
negosiasi. Pada 15 Januari 1973, Amerika Serikat menghentikan pemboman
terhadap Hanoi untuk menunjukkan keseriusan niatnya menegosiasikan
perdamaian. Setelah 12 hari perundingan, tanggal 27 Januari 1973 akhirnya
dihasilkanlah Paris Peace Accords yang ditandatangani oleh Amerika Serikat,
Vietnam Selatan, Vietnam Utara, dan NLF.

Paris Peace Accords yang dihasilkan mengandung beberapa poin
utama, yaitu (Rogers, 1973):


Dilakukan gencatan senjata antara Vietnam Utara dan Vietnam
Selatan, yang diikuti dengan penarikan pasukan Amerika Serikat dari
wilayah Vietnam Selatan.




Pembebasan dan pengembalian tawanan Vietnam Utara dan Vietnam
Sealtan
Rakyat Vietnam Selatan memiliki kebebasan untuk menentukan
nasibnya sendiri, yang pelaksanaannya dilakukan dengan prinsip



demokrasi.
Proses reunifikasi Vietnam akan dilakukan dengan metode negosiasi
yang damai antara kedua belah pihak tanpa campur tangan dari pihak
lain.

Pengaruh Pergantian Rezim terhadap Perubahan Kebijakan Amerika Serikat
Intervensi Amerika Serikat dalam Perang Vietnam diawali pada masa
kepemerintahan Dwight David Eisenhower. Beberapa elemen kebijakan luar
negeri Amerika Serikat yang dicanangkan oleh Amerika Serikat adalah
memperkuat negara untuk dapat bertahan dalam Perang Dingin serta tidak
segan-segan untuk menggunakan nuklir dalam memunculkan deterrence
atau bahkan berperang dengan pihak-pihak komunis (UV, 2013).
Berdasarkan elemen-elemen tersebut, dapat dikatakan bahwa Eisenhower
benar-benar memerangi komunis. Hal ini ditandakan dengan niatnya dalam
penggunaan nuklir dan fokusnya kepada bidang militer dalam rangka
menekan keberadaan komunisme di dunia.
Prinsip-prinsip tersebutlah yang melatarbelakangi intervensi Amerika
Serikat dalam konflik Vietnam. Setelah diberi kemerdekaan oleh Prancis,
konflik internal Vietnam yang memang sejak awal terdiri dari 2 kubu, yaitu
Komunis dan non-Komunis masih terus berlangsung. Amerika Serikat
sengaja memberi dukungan kepada Ngo Dinh Diem untuk mendirikan
pemerintahan

non-Komunis

di

Vietnam

Selatan

untuk

menandingi

pemerintahan Komunis yang berpusat di Ho Chi Minh. Hal ini pun
memperpanjang konflik Vietnam dengan campur tangan Amerika Serikat di
dalamnya.

John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat yang menggantikan
Eisenhower memiliki prinsip visi dan misi untuk membatasi perkembangan
komunis dalam suatu kawasan, dalam hal ini metodenya adalah dengan terus
membantu pemerintah Vietnam Selatan untuk mengurangi pengaruh
komunis Vietnam Utara (Feinstein, 2006). Kennedy percaya akan
keberadaan teori domino, di mana jika suatu negara dikuasai oleh komunis
secara keseluruhan, hal ini akan berakibat pada negara sekitarnya. Dalam
pidatonya, Kennedy menyatakan Pay any price, bear any burden, meet any

hardship, support any friend…to assure the survival and success of Liberty
(Barnsley, n.d.).

Hal inilah yang mengakibatkan Amerika Serikat rela

memberikan dukungan baik secara ekonomi maupun militer dalam jumlah

besar kepada Vietnam Selatan, bahkan ketika bantuan tersebut sangatlah
besar dan memberikan beban yang sangat berat terhadap Amerika Serikat.
Pasca

terbunuhnya

Kennedy,

Lyndon

B.

Johnson

pun

menggantikannya. Tetapi selama kepemerintahan Johnson, kebijakan
Amerika Serikat terhadap Vietnam masih serupa dengan Kennedy. Amerika
Serikat dengan keantiannya terhadap komunis, tetap memberikan bantuan
secara militer dan ekonomi bagi Vietnam Selatan.
Perubahan yang cukup signifikan terjadi ketika Richard Nixon naik
menjadi Presiden Amerika Serikat. Seiring dengan semakin banyaknya kritik
keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam, Nixon pun mengusung
prinsip end the war and win the peace (Brown 1993). Hal ini pun
mendasari kebijakan Vietnamization yang merupakan kebijakan Amerika

Serikat untuk memperkuat militer Vietnam Selatan dengan cara training dan
memasok senjata, sehingga pasukan Amerika Serikat dapat ditarik secara
perlahan, hingga akhirnya Amerika Serikat tidak lagi turut dalam perang
tersebut (Simkin, 1997). Dalam pidatonya, Richard Nixon menyatakan bahwa
Amarika Serikat telah menanggung banyak beban dan kerugian selama
keterlibatannya dalam Perang Vietnam, maka ia merencanakan penarikan
pasukan Amerika Serikat dari Vietnam (Peters et al., n.d). Hal ini pun

mendasari tindakan Amerika Serikat yang agresivitasnya di Vietnam mulai
berkurang dan lebih mendorong terjadinya kesepakatan dan perjanjian
damai antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan.

Kejatuhan Saigon
Pasca penandatanganan Paris Peace Accords, pasukan Amerika
Serikat sebagian besar ditarik dari Vietnam Selatan Bagi masyarakat Amerika
Serikat, mungkin inilah akhir dari perang Vietnam. Sebenarnya masih
disisakan sebanyak 159 tentara untuk mengamankan kedutaan Amerika
Serikat, dan 50 tentara lainnya bagi Defense Attache s Office yang bertugas
untuk mengawasi situasi Vietnam Selatan dan mengamankan bantuan

keuangan dan persenjataan bagi Army of the Republic of Vietnam (Vietnam
Centre and Archive, 2013). Selain itu, Amerika Serikat juga masih
memberikan bantuan keuangan untuk menyokong Vietnam Selatan sebagai
negara merdeka yang berdiri sendiri.
Pada tahun 1973, akibat perang Arab-Israel, distribusi minyak dunia
terhambat sehingga terjadi krisis ekonomi yang sangat besar di Amerika
Serikat (Larry, 2013). Hal ini mengakibatkan penurunan ekonomi Amerika
Serikat. Masyarakat pun banyak yang memprotes alokasi dana yang cukup
besar terhadap Vietnam Selatan. Nixon pun menyerakan surat pengunduran
dirinya pada 1974 dan digantikan oleh Gerald Ford (Op. cit., n.d). Karena
tekanan dari kongres dan masyarakat maka dana bantuan untuk Vietnam
Selatan pun dipotong. Hal ini mengakibatkan ketidakmampuan Vietnam
Selatan untuk membeli senjata dan memperkuat militernya.
Pada Desember 1974, People s Army of North Vietnam (PANV)

melakukan serangan besar-besaran terhadap Vietnam Selatan (Kennedy,
2014). Pada 1975, Phuoc Long jatuh ke tangan Vietnam Utara. Vietnam
Selatan pun meminta bantuan Amerika Serikat, dengan alasan bahwa
Vietnam Utara telah melanggar kesepakatan damai yang telah ditandatangani
pada 1973. Namun sayangnya dengan krisis ekonomi yang melanda Amerika

Serikat, bantuan tidak dapat serta merta diberikan. Amerika Serikat pun
mengirim tim pengamat untuk mengamati situasi Vietnam Selatan. Tim
tersebut menyimpulkan bahwa harus ada bantuan dana yang segera
terhadap Vietnam Selatan, karena dikhawatirkan Vietnam Selatan tidak akan
dapat bertahan lebih lama lagi.
Ternyata kejatuhan Vietnam Selatan memang terjadi secara perlahanlahan dengan jatuhnya Ban Me Thuot pada 10 Maret, serta Pleiku, Kontum
dan Darlac pada 15 Maret (ibid., 2014). Pada 26-28 Maret, Amerika Serikat
berusaha mengevakuasi seluruh personil Amerika Serikat disana beserta
sebanyak mungkin pengungsi Vietnam Selatan. Pada tanggal 29 April 1975,
dipimpin oleh Van Tien Dung, PANV melancarkan serangan terakhir kepada
Saigon, ibukota Vietnam Selatan. Kejadian ini diikuti dengan evakuasi besarbesaran oleh Amerika Serikat dengan helicopter yang dinamai Operation

Frequent Wind (US. Naval Institute, 2010). Pada tanggal 30 April 1975
akhirnya Saigon pun jatuh ke tangan Vietnam Utara dan diganti namanya
menjadi Ho Chi Minh City. Hal ini mengakhiri perang Vietnam yang telah
berlangsung selama 2 dekade dengan kemenangan komunis atas wilayah
Vietnam secara keseluruhan.

Analisis Perang Vietnam

Aktor Kunci

a. Democratic Republic of Vietnam

Democratic Republic of Vietnam (DRV) atau yang dikenal sebagai
Vietnam Utara pertama kali di mendapatkan kemerdekaan pada tanggal 2
September 1945 melalui deklarasi Ho Chi Minh. Pada perang Vietnam
tersebut, pada awalnya DRV enggan untuk merestui pemberontakan
bersenjata di Selatan, tetapi sejak lama DRV telah mendukung kader-kader

National Liberation Front (NLF) yang ada di Selatan. Sehingga pada jalan
geriliya atau dikenal dengan jalan Ho Chi Min di sepanjang perbatasan
Kamboja, disediakanlah suplai persediaan darah, persenjataan, dan prajurit
dari

Utara

untuk

membantu

kekuatan

Selatan

dalam

melakukan

pemberontakan terhadap Amerika Serikat. Kematian Ho Chi Minh pada 3
september 1969, telah membangkitkan penerusnya yang menganggap
kekalahan Amerika Serikat dan aliansi Vietnam Selatan adalah suatu tugas
suci, bukan masalah untuk berkompromi atau berkapitulasi terhadap taktik

carrot-and-stick Nixon. Meskipun demikian, Uni Soviet menekan DRV untuk
membatalkan penolakan awal mereka untuk bernegosiasi. Sementara itu
RRT mendukung mereka untuk melanjutkan perjuangan.

b. Soviet Union
Uni Soviet disini memiliki peran yang cukup penting, dimana ia adalah
negara yang memberikan perlengkapan untuk melengkapi kebutuhan
Vietnam Utara yaitu artileri berat dan berbagai persenjataan. Selain itu, Uni
Soviet juga telah membekali pasukan Vietnam Utara dan NLF dengan
berbagai pengetahuan dan peringatan dini terhadap operasi yang akan

dilakukan oleh Amerika Serikat. Alasan utama dukungan Soviet ini adalah
untuk menjatuhkan pengaruh Amerika Serikat di Vietnam Selatan serta
menyebarkan pengaruh komunis ke Vietnam Selatan. Hal ini terjadi karena
pada masa itu tengah terjadi ketegangan antara Amerika Serikat dan Uni
Soviet atau dikenal dengan Perang Dingin, sehingga kedua negara berlomba
untuk memperkuat kekuatan atau pengaruhnya di wilayah Vietnam.

c. National Liberation Front

National Liberation Front (NLF) adalah gerakan perlawanan di dalam
Vietnam Selatan yang terbentuk pada tanggal 20 Desember 1960. NLF terdiri
dari berbagai organisasi masyarakat diantaranya asosiasi petani, pekerja,
penulis, pemuda, mahasiswa, perempuan, berbagai kelompok agama, hingga
etnis minoritas. NLF sendiri terbentuk karena adanya rasa kekecewaan
warga Vietnam Selatan yang terus tumbuh terhadap rezim pemerintahan
Ngo Dinh Diem, hingga pada akhirnya timbul keinginan untuk melakukan
revolusi terhadap rezim Diem dan salah satunya adalah dengan membentuk
NLF. Bersatunya masyarakat yang kecewa terhadap rezim Diem dalam NLF,
telah membawa mereka kepada pengaruh-pengaruh pemikiran komunis
yang sangat bertolak belakang dengan tujuan Diem untuk membendung
masuknya komunis kedalam Vietnam Selatan. Sehingga bergabungnya NLF
pada aliran komunis membawa kelompok ini berhasil melakukan perang
geriliya untuk menjatuhkan rezim Diem dan melepaskan diri dari pengaruh
Amerika Serikat dengan bantuan dari negara-negara komunis yaitu DRV, Uni
Soviet dan RRT.

d. United States
Pada awalnya keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam
ditujukan untuk memberikan bantuan terhadap Perancis pada perang

Indochina pertama. Kemudian Amerika Serikat melihat potensi Vietnam
untuk menekan penyebaran pengaruh komunis pada wilayah Asia Tenggara
karena letaknya yang dianggap sebagai garis depan untuk masuk ke dalam
wilayah Asia Tenggara. Hal ini didasarkan pada ketegangan antara Amerika
Serikat dengan negara komunis yaitu Uni Soviet, apabila Soviet berhasil
melakukan penyebaran pengaruh yang luas maka dapat dikatakan bahwa
Soviet akan menjadi lebih kuat dari Amerika Serikat. Pada saat berakhirnya
perang antara DRV dan Perancis yang menjadikan Vietnam terbagi menjadi
dua bagian yaitu utara dan selatan. Amerika melihat Vietnam Selatan masih
mengalami kekosongan sehingga AS mengambil langkah cepat dengan
mendukung Diem untuk mendeklarasikan kemerdekaan Republic of Vietnam
dan sekaligus menjadi pemimpin yang baru. Hal ini tidak lain dilakukan
untuk menyebarkan pengaruh Amerika Serikat dan membendung perluasan
penyebaran komunis di Vietnam.

e. Republic of Vietnam

Republic of Vietnam (RVN) atau dikenal sebagai Vietnam Selatan
pertamakali dipimpin oleh Diem, kemudian mengalami beberapa revolusi
atau pergeseran menjadi rezim junta militer, hingga pada akhirnya dipimpin
oleh Thieu. RVN pada awal pembentukannya sangat bergantung kepada
Amerika Serikat dalam dukungan terhadap ekonomi dan militernya karena
dalam pendiriannya sendiri Amerika Serikat memiliki andil yang cukup
besar. Tetapi seiring dengan perkembangan dalam Vietnam Selatan, tepatnya
di bawah kepemimpinan Thieu RVN telah mengalami perbaikan di daerah
dan bidang administratif lainnya sebagai penebusan dosa terhadap kaum
tani. Namun akhirnya rezim Thieu kembali ditentang masyarkakat dan
pejabat yang menjabat pada masa kepemimpinan Thieu banyak yang
melakukan tindakan korupsi, penyuapan dan lain sebagainya. Sehingga pada
akhirnya Vietnam Selatan menyerah dan bergabung dengan Vietnam Utara.

Logika Perang Vietnam

Mempertemukan pasukan Vietnam Utara dengan Vietnam Selatan yang
sama-sama memiliki dukungan dari pihak luar, Perang Vietnam merupakan
salah satu proxy war terbesar pada masa Perang Dingin. Viet Kong, atau
dikenal sebagai National Liberation Front (NLF), merupakan pasukan
komunis dari Vietnam Selatan yang dikendalikan oleh Vietnam Utara;
memerangi gerakan antikomunis di wilayah selatan. Pada awalnya, pasukan
Vietnam Utara (People s Army of Vietnam) hanya sedikit terlibat dalam

melakukan beberapa serangan berskala besar.

Keterlibatan Amerika Serikat dalam mengerahkan dukungan dan
bantuan militer bagi Vietnam Selatan dijustifikasi sebagai sebuah upaya
menghambat penyebaran ideologi komunisme; dikenal sebagai containment

policy. Sesuai dengan teori Domino, Amerika Serikat percaya bahwa jika
sebuah negara menganut komunisme, maka negara lain di kawasan yang
sama akan mengikuti.
Pada masa pemerintahan Presiden Ngo Dinh Diem (McNamara 1998, h.
200—201), Vietnam dilanda gerakan antikomunis besar-besaran. Diem yang
merupakan penganut Katolik Roma taat, merupakan figue yang konservatif
dan nasionalis. Ia meluncurkan kampanye Denounce the Communists pada
tahun

1955

dengan

menangkap,

memenjarakan,

menyiksa,

dan

mengeksekusi aktivis komunis dan penggiat antipemerintah. Setahun
berselang, ia menetapkan hukuman mati bagi setiap aktivitas komunis
(Kolko 1985, h. 89).
Kedekatan Diem dengan Amerika Serikat memunculkan beragam
reaksi, termasuk kekerasan politik selama bertahun-tahun. Pada Desember
1960, Viet Kong pun secara resmi didirikan sebagai NLF dengan penekanan
pada penentangan terhadap pengaruh Amerika Serikat serta netralisasi
Vietnam. Gerakan ini kemudian sering dikaitkan dengan pihak Vietnam Utara

yang berhaluan komunis. Pun begitu, hal ini selalu disangkal karena dianggap
sebagai pelanggaran terhadap Geneva Accord.
Baru pada Maret 1956 lah kemudian pemimpin komunis Vietnam
Selatan, Le Duan, memperkenalkan The Road to the South , sebuah rencana
pemberontakan komunis; namun ditolak oleh Cina dan Uni Soviet (Ang 2002,
h. 58) karena konfrontasi dianggap bukan pilihan terbaik ketika itu. Pun
akhirnya pada Desember tahun yang sama (Olson & Roberts 2008, h. 67),
pemimpin Vietnam Utara mendukung rencana pemberontakan komunis di
selatan.
Pergantian kepemimpinan di Amerika Serikat pada tahun 1960 juga
ikut berperan dalam eskalasi Perang Vietnam. John F. Kennedy, presiden
yang terpilih pada pemilihan umum tahun itu, awalnya lebih mengedepankan
Eropa dan Amerika Latin dibanding Asia (Karnow 1997, h. 264). Namun,
Kennedy menghadapi krisis pada tahun 1961 (Karnow 1997, h. 265); dipicu
oleh kegagalan invasi Bay of Pigs, pembangunan Tembok Berlin, serta konflik
pro-Barat dan komunis di Laos. Krisis ini membuat Kennedy berpikir bahwa
Amerika Serikat menghadapi masalah pelik dan perlu mengambil tindakan
untuk mengembalikan kredibilitas kekuatan dan pengaruh Amerika Serikat.
Dengan konflik yang memuncak, Vietnam pun menjadi lahan Amerika Serikat
untuk mempertontonkan kekuatannya bagi seluruh dunia (Mann, 2002).
Pembunuhan Presiden John F. Kennedy pada tahun 1963 kemudian
membawa angina perubahan terhadap keterlibatan Amerika Serikat dalam
Perang Vietnam menjadi lebih agresif. Lyndon B. Johnson, yang mengambil
alih tampuk kepresidenan, awalnya tak menganggap Vietnam sebagai
masalah yang penting (Karnow 1997, h. 336—339). Namun tak lama
kemudian ia berubah pikiran dan menetapkan perang melawan komunisme
sebagai perang bersama dengan kekuatan dan determinasi (Karnow 1997, h.
339). Hal ini bertepatan dengan kondisi Vietnam Selatan yang semakin
terdesak setelah pembunuhan dan kudeta terhadap Diem. Johnson kemudian
membatalkan rencana penarikan mundur 1,000 pasukan militer Amerika

Serikat di Vietnam dan malah menggantinya dengan kebijakan untuk
memperluas perang.
Keterlibatan Amerika Serikat yang semakin agresif kemudian direspon
(Young 1991, h. 172) oleh pemimpin komunis Vietnam Utara, Ho Chi Minh,
dengan peringatan bahwa jika Amerika Serikat ingin berperang selama 20
tahun, maka kita berperang selama 20 tahun; jika Amerika Serikat ingin
berdamai, maka kita berdamai. Ia juga menekankan bahwa tujuan dari
Perang Vietnam bukanlah penaklukan atau penyebaran komunisme ke
seluruh Asia Tenggara, namun untuk mempersatukan Vietnam Utara dan
Selatan serta mengamankan kemerdekaannya (McNamara 1998, h. 48).
Peringatan Ho Chi Minh tak digubris sama sekali oleh Amerika Serikat.
Malah, pada pertengahan tahun 1965, Jendral William Westmoreland
merekomendasikan sebuah rencana pemenangan perang sebagai respon
terhadap kekalahan beruntun (losing streak) Vietnam Selatan di berbagai
titik (US Department of Defense and the House Committee on Armed Services
1971, h. 8—9), yang terdiri atas 3 tahap:

 Tahap 1: Komitmen pasukan Amerika Serikat (dan dunia bebas
lainnya) yang dibutuhkan untuk mengakhiri runtutan kekalahan
sebelum akhir 1965.

 Tahap 2: Pasukan Amerika Serikat dan sekutu akan mengambil
tindakan ofensif untuk mengakhiri perlawanan pasukan gerilya dan
pasukan musuh yang terorganisir. Tahap ini berakhir jika musuh
berhasil dipukul mundur, mengganti taktik menjadi defensif, dan
menarik pasukan dari wilayah padat penduduk.

 Tahap 3: Jika musuh terus melakukan perlawanan, tahap 2
diperpanjang selama 12 hingga 18 bulan untuk memastikan
kehancuran pasukan musuh (final destruction) yang tersisa di wilayahwilayah terpencil.

Rencana ini diterima oleh Presiden Johnson dan menjadi titik balik kebijakan
Amerika Serikat yang sebelumnya bersikukuh bahwa pemberontakan
haruslah diakhiri sendiri oleh pemerintah Vietnam Selatan. Perubahan
kebijakan ini menunjukkan bahwa keterlibatan Amerika Serikat pada
akhirnya tidak lagi sesuai dengan penyebab awal keterlibatan mereka dalam
perang ini.
Pada pertengahan tahun 1965, pemerintahan junta militer Vietnam
Selatan mulai berhasil menciptakan stabilitas politik setelah Marsekal Udara
Nguyen Cao Ky naik sebagai perdana menteri dan Jenderal Nguyen Van Thieu
sebagai kepala negara. Dua tahun berselang, Thieu terpilih sebagai presiden
melalui proses pemilihan umum yang ditengarai penuh kecurangan dengan
Ky sebagai deputinya. Keduanya berkuasa hingga 1975 meskipun diwarnai
berbagai konflik internal.
Pemerintahan Johnson di Amerika Serikat pun tak terhindar dari
kemelut politis. Kebijakannya yang cenderung berupaya mengendalikan
pemberitaan

media

massa

mengenai

perang

di

Vietnam

agar

menggambarkan keterlibatan Amerika Serikat sebagai pasukan perdamaian
mulai dikritik oleh penduduk sendiri; cikal-bakal dari credibility gap
(Karnow 1997, h, 18) yang hingga kini masih laten eksistensinya.
Situasi di Vietnam kembali kritis setelah tentara Viet Kong melancarkan
serangan di lebih dari 100 kota pada pada Januari 1968. Serangan ini
bertentangan dengan tradisi damai yang biasa diatributkan pada perayaan
Tahun Baru Imlek (Tet atau Lunar New Year). Serangan besar ini dikenal
sebagai The Tet Offensive (Ankony, 2009), termasuk di dalamnya serangan
terhadap markas besar tentara Amerika Serikat di bawah komando Jenderal
Westmoreland serta Kedutaan Besar Amerika Serikat di Saigon (McNamara
1999, h. 363—365). Meskipun pada akhirnya pasukan Viet Kong berhasil
diredam, peristiwa ini menurunkan kepercayaan publik di Amerika Serikat
terhadap Presiden Johnson sehingga ia urung maju kembali dalam pemilihan
umum ketika itu. Oleh karena itulah, meskipun peristiwa Tet merupakan

kemenangan bagi militernya, secara politik malah berdampak buruk pada
Amerika Serikat. Pada pemilihan umum tahun 1968, Partai Republik berhasil
memukul Partai Demokrat—afiliasi Johnson—dengan calon Richard Nixon.
Pada masa pemerintahan Nixon, penarikan tentara mulai dilakukan
dari Vietnam. Kebijakannya yang populer, Doktrin Nixon, menggariskan
bahwa Amerika Serikat akan menaklukkan Army of the Republic of Viet Nam
(ARVN) dengan mengambil alih pertahanan di Vietnam Selatan; dikenal pula
sebagai Vietnamisasi. Secara umum, kebijakan Nixon hampir serupa dengan
Kennedy. Hanya saja Nixon lebih agresif dalam melibatkan diri di konflik
sementara Kennedy pada masanya menekankan pentingnya Vietnam Selatan
memperjuangkan nasibnya sendiri.
Selagi terus menarik mundur pasukannya dari Vietnam, Nixon juga
meneruskan upaya menghentikan perang melalui negosiasi. Sayangnya,
proses ini urung berhasil karena Cina dan Uni Soviet terus memasok bantuan
bagi pasukan ARVN. Deteren pun tak pelak dilancarkan, dengan ancaman
nuklir menjadi salah satu isu utama antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Situasi berbalik 180 derajat ketika publik nasional Amerika Serikat dan
internasional dikejutkan oleh temuan dari Pembantaian My Lai (My Lai

Massacre) yang mengonfirmasi bahwa sebuah pleton dari militer Amerika
Serikat memerkosa dan membunuh rakyat sipil di samping Green Beret 1969
di mana delapan tentara khusus (special forces) meninggal di tangan seorang
komando pasukan khusus lainnya yang dicurigai merupakan agen ganda atau
mata-mata.
Pada tahun 1972, pembicaraan damai mulai menemui titik terang
melalui Paris Peace Accords yang ditandatangani pada 27 Januari 1973.
Perjanjian ini menandai berakhirnya keterlibatan Amerika Serikat dalam
perang di Vietnam. Pun begitu, banyak sumber mengindikasikan bahwa
kesepakatan tercapai setelah Nixon mengancam pemimpin Vietnam Selatan
untuk segera menerima butir-butir perjanjian atau Amerika Serikat tidak lagi
akan menyalurkan bantuan. Meskipun begitu, dari seluruh butir kesepakatan,

menurut Peter Church (2006, h. 193—194) hanya satu butir yang benarbenar dilaksanakan, yaitu penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dari
teritori Vietnam dalam periode 60 hari.
Dari kisah keterlibatannya di Perang Vietnam, terlihat banyak
inkonsistensi dalam kebijakan Amerika Serikat. Kennedy yang awalnya
memutuskan intervensi dengan motif mencegah penyebarluasan ideologi
komunis di wilayah Asia Tenggara, disuksesi oleh Johnson yang kemudian
bukannya meneruskan taktik containment Kennedy, malah melakukan
ekspansi dan memicu eskalasi skala perang. Administrasi Nixon, yang
meskipun berhasil mengakhiri keterlibatan Amerika Serikat di Vietnam
melalui Paris Peace Accords, bukan lebih baik karena tidak lagi memiliki
justifikasi yang cukup untuk meneruskan pendudukan militer di Vietnam;
terlebih setelah temuan pelanggaran perang pada akhir 1960an.

Di samping Amerika Serikat, terdapat beberapa negara lain yang ikut
terlibat dalam perang ini. Cina di bawah komando Mao Zedong, Uni Soviet
dengan Nikita Khrushchev, Korea Utara dengan Kim Il-sung, serta Kuba
dengan Fidel Castro merupakan pendukung utama pasukan Viet Kong
meskipun tidak terlibat sedalam Amerika Serikat. Sementara di pihak
berseberangan, selain Amerika Serikat, Korea Selatan dengan komando Park
Chung-hee, Australia dan Selandia Baru dengan pakta pertahanan ANZUS
(Australia, New Zealand, United States), Filipina, Thailand, Taiwan, serta
Kanada melalui International Control Commission bersama India dan
Polandia menjadi penyokong Vietnam Selatan; meskipun tak semuanya
terlibat secara militer.

Simpulan

Perang Vietnam merupakan gambaran nyata dari bentuk proxy war
selama Perang Dingin, pemecahbelahan di Vietnam Selatan yang dibelakangi
Vietnam Utara menjadi awal mula pemberontakan National Liberation Front
di Vietnam, yang memicu perang yang melibatkan Amerika Serikat sebagai
penyokong utama dari Vietnam Selatan.
Eskalasi politik yang pergantian rezim yang terjadi di Amerika Serikat
menyebabkan pergantian persepektif, pandangan, beserta aksi yang
dilancarkan oleh Amerika Serikat terhadap perang Vietnam. Puncaknya
terjadi saat rezim Nixon menguasai Amerika Serikat, dengan kebijakan

Vietnamization yang memiliki kebijakan untuk menarik secara perlahan
tentara Amerika Serikat dari Vietnam.
Perjanjian damai telah dilakukan, dengan melucuti dan gencatan
senjata antara kedua belah pihak yang bertikai yaitu NLF dan Vietnam
Selatan. Perjanjian damai kurang lebih berisi tentang usaha-usaha
referendung untuk reunifikasi dua Vietnam. Namun, semua usaha akhirnya
digagalkan oleh invasi dari Vietnam Utara ke Selatan yang merupakan
perubahan proxy war menjadi intervensi atau aksi langsung dari Vietnam
Utara untuk reunifikasi Vietnam di bawah komunis secara paksa.

Referensi

Ang, Cheng Guan (2002) The Vietnam War from the Other Side. London:
Routledge.
Ankony, Robert C.

Lurps: A Ranger s Diary of Tet, Khe Sanh, A Shau,

and Quang Tri. Maryland: Rowman & Littlefield Publishing Group.

Barnsley, Cindy. (n.d) US Involvement in Indochina [VIDEO].
BBC,

(2014)

Ho

Chi

Minh

(1890-1969),

diakses

di

[http://www.bbc.co.uk/history/historic_figures/ho_chi_minh.shtml]
Broucheux, Pierre (2011) Ho Chi Minh: A Biography, Cambridge University
Press.
Brown, Gene. (1993) The Nation in Turmoil: Civil Rights and the Vietnam

War (1960-1973). New York: Twenty-First Century Books.
Church, Peter (ed.) (2006) A Short History of South-East Asia. Singapore:
John Wiley & Sons.
Dommen, Arthur J. (2001) The Indochinese Experience of the French and the

Americans, Indiana: Indiana University Press
Elliot, Larry.

The

. What

Can Tell Us about Today;s Economic Crisis .

Guardian.


Errington, Elizabeth Jane. (1990) The Vietnam War as history. Greenwood
Publishing Group
Feinstein, Stephen. (2006). The 1960s: from the Vietnam War to Flower

Power. New Jersey:

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65