Krisis Ukraina dewasa ini menjadi salah
Krisis Ukraina dewasa ini menjadi salah satu topik hangat yang menjadi sorotan
dunia. Bila kita teliti lebih dalam, dapat dilihat bahwa krisis tersebut pada awalnya
dipicu oleh adanya pembatalan perjanjian kerjasama Ukraina dengan Uni Eropa
yang dilakukan oleh Presiden terpilih saat itu, Viktor Yanukovych, yang lebih memilih
untuk menandatangani perjanjian ekonomi dengan Rusia (RBTH Indonesia, 2014).
Seperti yang dilansir oleh RBTH Indonesia (2014), penolakan atas bantuan dana
yang akan diberikan oleh Uni Eropa terjadi karena adanya syarat yang tidak bisa
dipenuhi, yaitu untuk segera memutuskan hubungan ekonomi dengan Rusia.
Keadaan tersebut tentu saja memicu amarah warga, karena dana tersebut
sangatlah dibutuhkan oleh warga. Kemarahan warga ini semakin memuncak dengan
mengilangnya Presiden Viktor yang diduga meminta perlindungan kepada pihak
Rusia. Pada akhirnya warga melakukan aksi protes, yang dilakukan di ibukota
Ukraina, Kiev.
Menanggapi kejadian tersebut, pada 16 Januari 2014 Parlemen Ukraina
Verkhovnaya Rada yang menangani bidang hukum mengeluarkan sanksi bagi para
pelaku kerusuhan di Kiev (RBTH Indonesia, 2014). Keputusan ini tentu saja tidak
diterima oleh masyarakat, yang menganggap aksi mereka tersebut merupakan hak
mereka sebagai warga masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya. Keputusan
tersebut juga pada akhirnya semakin memperkuat aksi antipemerintah yang
berujung pada keinginan untuk menggulingkan pemerintahan, yang mengakibatkan
80 orang meninggal dan 700 orang luka-luka. Banyaknya korban dalam peristiwa
tersebut tidak begitu saja menghilangkan semangat masyarakat. Hal ini terbukti
dengan terjadinya revolusi di ibukota Kiev pada Februari 2014 yang berhasil
menggulingkan pemerintahan Presiden Viktor Yanukovych yang pro-Rusia
(VivaNews, 2014). Kejadian tersebut rupanya menimbulkan kemarahan dipihak
Rusia. Pasukan pro-Rusia mulai bergerak disemenanjung Krimea, dan mengeluarkan
referendum warga yang memutuskan bahwa wilayah otonomi Krimea dan
Sevastopol pisah dari Ukraina dan segera bergabung dengan Rusia (VivaNews,
2014).
Keadaan ini sebenarnya telah terjadi sejak dahulu, dimana berawal pada tahun
1991 Ukraina melepaskan diri dari Uni Soviet setelah terjadi kudeta di Moskow yang
pada akhirnya menghasilkan referendum yg menyatakan 90% suara memilih untuk
melepaskan diri dari Uni Soviet. Sengketa wilayah yang dipicu oleh isu-isu politik
domestik kemudian meluas kepada pemberontakan dan gerakan separatisme yang
berujung kepada pemberian sanksi berupa embargo kepada negara yang dianggap
memiliki andil dalam meningkatkan tensi konflik seperti Rusia. Ukraina sendiri,
sebelum menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1991, merupakan bagian dari
wilayah kedaulatan Rusia atau Uni Soviet. Bertahun-tahun pasca pemisahan
wilayah, Rusia masih meyakini bahwa Ukraina merupakan bagian dari Rusia,
dimana mereka memiliki persamaan baik dari etnis, bahasa, dan juga sejarah. “The
country has been under partial or total Russian rule for most of those intervening
centuries, which is a big part of why one in six Ukrainians is actually an ethnic
Russian, one in three speaks Russian as their native language (the other two-thirds
speak Ukrainian natively), and much of the country's media is in Russian” (Fisher,
2014 dalam http://www.vox.com).
Perebutan wilayah atas Krimea sendiri banyak dilatar belakangi oleh berbagai
macam hal, meskipun salah satunya dilatarbelakangi oleh pertentangan historis,
juga dikarenakan potensi energi yang dimiliki oleh Krimea berupa gas alamnya.
Dilihat dari aspek historikal sendiri, Rusia melihat adanya keterkaitan antara
negaranya dengan Ukraina di masa lampau dimana kejayaan kekaisaran Rusia
berakar dari masa Yunani yang terletak di semenanjung Krimea. Dari aspek
demografi, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, sepertiga masyarakat
Ukraina yang tinggal di wilayah timur Ukraina merupakan etnis Rusia yang bukan
hanya memiliki kultur dan juga menggunakan bahasa asli Rusia, tetapi juga
memiliki kesamaan ideologi dan bentuk dukungan yang kuat terhadap rezim Rusia.
Dengan adanya ketakutan akan pengaruh barat yang menyebar di Ukraina, maka
nasionalis Rusia seperti Vladimir Putin merasa memiliki tanggung jawab untuk ikut
campur terhadap urusan domestik Ukraina yang mengakibatkan pecahnya konflik di
negara yang merdeka pada tahun 1991 tersebut.
Konflik Ukraina sebenarnya mencuat sejak tahun 2004 saat Revolusi Orange,
setelah kandidat presiden Viktor Yanukovich. Kandidat oposisi Viktor Yuschenko
memimpin protes massal yang pada akhirnya mahkamah agung memutuskan untuk
melakukan pemilihan umum ulang, Dalam pemilihan ulang itu Yushchenko menang.
Kemudian pada bulan Februari 2010 Viktor Yanukovych kembali dinyatakan menang
dalam pemilihan umum yang dinilai bersih dan adil oleh para observer. Langkah
pertama yang diambil Yanukovych sebagai presiden adalah mempenjarakan
Lawannya, perdana menteri Yulia Tymoschenko atas tuduhan abuse of power. Pada
bulan November 2013 konflik memanas saat kabinet presiden Yanukovych menolak
persetujuan perdagangan dengan uni eropa dan malah memperkuat kerjasama
dengan Rusia. mengakibatkan dua per tiga masyarakat Ukraina yang anti-Rusia
turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi. “This all began as an internal
Ukrainian crisis in November 2013, when President Viktor Yanukovych rejected a
deal for greater integration with the European Union (here's why this was such a big
deal), sparking mass protests, which Yanukovych attempted to put down violently”
(Fisher 2014, http://www.vox.com). Parlemen Ukraina juga menolak resolusi agar
Tymochenko diperbolehkan untuk meninggalkan Ukraina. Protes mulai terjadi dan
banyak orang menyamakan protes ini dengan Revolusi Orange. 100 ribu orang ikut
berpartisipasi dalam protes tersebut, pada bulan Desember jumlah meningkat
menjadi 800 ribu orang yang bertempat di balai kota dan independence square.
Pada tanggal 17 desember 2013 Vladimir Putin menyetujui perjanjian sebesar 15
billion dolar untuk mengurangi hutang Ukraina dan menurunkan harga suplai gas
Rusia di Ukraina (anon, 2014 dalam www.bbc.com).
Pada bulan Januari 2014 parlemen Ukraina menyetujui hukum anti protes
yang artinya semua orang yang berpartisipasi dalam demonstrasi melawan
pemerintah adalah melanggar hukum. Hukum ini menyebabkan tertembaknya highprofile activist Yuriy Verbytsky yang membuat konflik semakin memanas dan massa
mulai mengepung kantor-kantor pemerintahan. Pada akhirnya perdana menteri
Mykola Azarov mengundurkan diri dan parlemen menghapuskan hukum anti protes.
Parlemen berjanji untuk menghapus tuntutan terhadap orang-orang yang ditahan
dengan syarat protester meninggalkan gedung-gedung pemerintahan dan oposisi
pun menolak.
Pada bulan April 2014 aktivis-aktivis pro-Rusia mengepung gedung
pemerintahan di Donetsk dan Luhansk. Politisi-politisi dan media Rusia menganggap
pemimpin-pemimpin di Kiev sebagai nasionalis Ukraina yang melanggar hak-hak
para masyarakat asli yang tinggal di Ukraina. Pada bulan Maret akhirnya Rusia
menganeksasi Krimea yang memberikan harapan para oposisi untuk melepaskan
diri dari Kiev. Hal ini dikarenakan oposisi pro-Rusia menolak adanya pemerintah proBarat setelah Presiden Yanukovytch diturunkan pada bulan Februari disebabkan oleh
tuduhan korupsi, ekonomi yang stagnan dan penolakan kerjasama dengan Uni
Eropa. Pada tanggal 16 maret 2014 referendum untuk Krimea melepaskan diri dari
Ukraina diadakan. Krimea merupakan salahsatu daerah dirusia yg penduduknya
terdiri dari 58,5% orang Rusia. Pada tanggal 17 juli 2014 para oposisi menembak
Malaysian Airlines flight MH17 dengan korban 298 orang. Hal ini merupakan titik
terendah hubungan Rusia dengan Barat sejak perang dingin. Sanksi pun mulai
diterapkan yang menyebabkan ekonomi Rusia melemah.
Gerakan separatis berbau Rusia ini tidak hanya terjadi di Krimea, tetapi
terus mengalami perkembangan dan menyebar ke wilayah timur Ukraina pada
pekan kedua April. Hal tersebut menggambarkan keadaan Ukraina saat ini terbagi
menjadi dua kubu berbeda, yaitu kubu yang pro terhadap Uni Eropa dan juga
wilayah timur Ukraina yang sebagian besar pro terhadap Rusia. Gerakan separatis
itu menuntut untuk memisahkan diri dari Ukraina dan meminta untuk bergabung
dengan federasi Rusia. Hal ini terbukti dengan diproklamirkannya kemerdekaan
Donetsk, salah satu wilayah di timur Ukraina, oleh massa pro-Rusia. Seperti dilansir
oleh VivaNews (2014), seorang pemimpin separatis dari Donetsk menyatakan
bahwa “berdasarkan hasil referendum dan deklarasi kedaulatan Republik Rakyat
Donestk, kami menyatakan bahwa Republik Rakyat Donetsk adalah negara
berdaulat. Kami meminta Federasi Rusia untuk mempertimbangkan permintaan
kami untuk menjadi bagian dari Federasi Rusia”. Hal tersebut tentu saja membuat
pemerintah Ukraina menjadi semakin was-was, mengingat kasus yang sebelumnya
terjadi pada Krimea. Untuk melawan dan memberantas gerakan-gerakan separatis
ini Ukraina meminta bantuan kepada sejumlah negara, seperti Amerika Serikat.
Karena pemerintah berpendapat bahwa dalam kondisi seperti ini mereka akan
memerlukan lebih banyak dukungan politik dari masyarakat internasional.
Adanya kenyataan merdekanya Krimea tentu saja tidak begitu saja diterima
oleh Ukraina. Protes dan demonstrasi dari masyarakat turut memperkeruh situasi
konflik yang semakin memanas di Ukraina. Upaya-upaya untuk menghentikan
konflik di Krimea juga digencarkan. Disini penulis membagi menjadi tiga kelompok
upaya untuk menghentikan krisis yakni dialog atau negosiasi, gencatan senjata dan
penawaran, serta sanksi. Pertama dialog. Dialog ini dilakukan baik oleh Ukraina,
Rusia, bahkan pihak-pihak yang masuk dalam krisis Crimea seperti Amerika Serikat,
Jerman, Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE), maupun
European United (EU). Dialog-dialog yang pernah dilaksanakan adalah dialog antara
Presiden Ukraina yang baru saja diangkat tahun 2014, Petro Oleksiyovych
Poroshenko, untuk pertama kalinya bertemu dengan Presiden Vladimir Putin setelah
menjabat sebagai presiden Ukraina. Pertemuan singkat itu hanya membahas
mengenai keinginan para Presiden untuk segera mengakhiri pertumpahan darah
dan aktivitas militer di tenggara Ukraina di Normandy (Anon, 2014 dalam
www.csis.org). Selanjutnya pada pertemuan trilateral contact group antara negara
Jerman, Ukraina, dan Rusia, serta perwakilan dari Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE) untuk membicarakan rencana gencatan senjata selama
seminggu (Anon, 2014 dalam www.president.gov.ua). Rencana yang melibatkan
pihak-pihak terkait ini didasarkan pada kerugian dan banyaknya orang yang
meninggal serta semakin intensifnya peperangan di kota Slovyansk sehingga
sementara harus “dibekukan” (Anon, 2014 dalam www.csis.org). Dialog di tingkat
regional seperti dialog dalam EU yang berencana untuk memberikan sanksi
terhadap Rusia yang tidak mampu menurunkan ketegangan di Crimea. Tidak lama
kemudian, Amerika Serikat mengungumkan bahwa pihaknya akan memberikan
Rusia sanksi unilateral terhadap Rusia. Insiden ditembaknya pesawat Malaysia MH17 semakin memicu dan menambah tekanan sanksi pada Rusia (Anon, 2014 dalam
www.state.gov). Selanjutnya dialog melalui telepon dilakukan oleh Presiden Obama
dan Presiden Putin mengenai penyelesaian krisis dan bantuan kemanusiaan.
Sedangkan dialog melalui telepon yang lebih komprehensif dilaksanakan oleh
Presiden Poroshenko dengan Presiden Putin. Terdapat tujuh rencana perdamaian
(peace plan) gencatan senjata yang disepakati kedua presiden yakni: (1)
menghentikan semua kegiatan ofensif yang ditujukan pada angkatan bersenjata,
militia, dan separatis; (2) menarik pasukan Ukraina di jarak tertentu agar tidak
menembaki daerah penduduk; (3) memungkinkan monitoring internasional
terhadap gencatan senjata serta zona-zonanya; (4) melarang pesawat untuk masuk
ke daerah sipil; (5) pengaturan pertukaran tahanan tanpa syarat; (6) membangun
koridor bantuan kemanusiaan; (7) perbaikan infrastruktur (Anon, 2014 dalam
www.en.itar-tass.com).
Kedua, gencatan senjata dan tawaran. Gencatan senjata disini ditawarkan oleh
pihak Ukraina terhadap pihak pemberontak, meski tidak semua harus disepakati.
Presiden Poroshenko menawarkan untuk memberi amnesti kepada pihak
pemberontak yang menyerah dan melakukn rekonsiliasi (Anon, 2014 dalam
www.csis.org) dan sebagai gantinya beliau akan menarik militernya. Hal ini berulang
kali dilakukan oleh Presiden Poroshenko. Sampai pada rencana gencatan senjata ini
juga didukung oleh Presiden Putin, namun melalui beberapa permintaan yakni
mengadakan dialog terbuka termasuk dengan para pro-Rusia dan bukan
menggunakan ultimatum dan adanya monitoring secara objektif (Anon, 2014 dalam
www.csis.org). Permintaan yang dikabulkan oleh pihak Ukraina akhirnya berbuah
persetujuan oleh pihak pro-Rusia untuk melakukan gencatan senjata selama empat
hari. Sedangkan sanksi terhadap Rusia juga merupakan salah satu bentuk
penyelesaian dengan menekan pihak yang dianggap bersalah. Rusia yang dianggap
bersalah dengan tidak mampu menurunkan ketegangan peperangan diberi sanksi
sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Sanksi unilateral, seperti apa yang sempat
disinggung di atas, diberikan pada individu-individu yang dianggap bersalah atas
krisis dan terhadap Rusia. Sanksi yang diberikan berupa sanksi restriksi atas pasar
kapital, energi, teknologi, dan lainnya (Anon, 2014 dalam www.treasury.gov).
Selain upaya-upaya diatas, dunia internasional pun turut merespon hasil
referendum Krimea tersebut yakni utamanya negara yang tergabung dalam Uni
Eropa, Amerika Serikat dan PBB yang mengecam hasil referendum tersebut dan
secara tegas mengatakan bahwa hasil referendum tersebut tidak sah. Majelis umum
PBB kemudian menindaklanjuti bahwa referendum pertengahan Maret yang
diadakan di Krimea yang menyebabkan tindakan aneksasi Rusia tidak memiliki
validitas dan menyerukan para pihak untuk segera membuat resolusi perdamaian
dalam situasi tersebut. Sebagai respon dari koflik berkepanjangan di Krimea,
Kemudian pada tanggal 27 Maret 2014 terbentuklah resolusi PBB yakni UN General
Assembly Resolution 68/262 yang menegaskan komitmen PBB untuk mengakui
Krimea dalam batas-batas internasional Ukraina dan menegaskan ketidakabsahan
hasil dari referendum Krimea pada Maret 2014. Resolusi ini didukung oleh 100
negara anggota PBB, dengan 11 yang menentang dan 58 negara yang abstain.
Majelis umum PBB meminta semua negara dan organisasi internasional derta badan
khsuus lainnya untuk tidak mengakui adanya perubahan status republik otonomi
Krimea sesuai dnegan hasil Refrendum pada tanggal 16 Maret. Adanya resolusi UN
68/262 merupakan salah satu langkah penyelesaian konflik. Namun resolusi
tersebut nyatanya bukanlah solusi akhir dari konflik di Ukraina. Sampai saat ini,
konflik masih terus berlanjut.
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya konflik yang terjadi di
Ukraina sendiri merupakan konflik yang sudah berakar sejak terbentuknya negara
Ukraina sendiri. Persebaran etnis di Ukraina sendiri yang terbelah menjadi dua yakni
ada yang condong ke Barat dan condong ke Rusia. Berlangsungnya konflik yang
berlarut-larut ditengarai sebagai akibat dari keadaan Ukraina sendiri yang sejatinya
sejak awal kemerdekaannya belum bisa sepenuhnya melepaskan diri dari Rusia
sendiri. Adanya peranan Rusia sebagai salah satu kekuatan besar di dunia juga
dianggap sebagai penyebab dari berlarut-larutnya konflik ini. Bahkan hingga saat ini
di beberapa daerah di Ukraina masih terdapat aksi-aksi protes dari kalangan
militant pro-Rusia. Kedepannya usaha-usaha yang dilakukan kedua belah pihak
serta mediasi dari beberapa negara melalui organisasi internasional diharapkan
setidaknya mampu meredam dan membangun peace settlement untuk konflik di
Ukraina ini.
Referensi:
Anon. 2014. Backing Ukraine’s territorial integrity, UN Assembly declares Crimea
referendum invalid [online]. Diakses pada 28 september 2014. tersedia dalam
http://www.un.org/apps/news/story.asp?
NewsID=47443&Cr=ukraine&Cr1=#.VCoYZF6I0Y
Anon. 2014. Prahara Ukraina [online] tersedia dalam
http://sorot.news.viva.co.id/news/read/499699-prahara-ukraina [diakses pada] 29
September 2014
Anon. 2014. Krisis Ukraina [online] tersedia dalam
http://indonesia.rbth.com/krisis_ukraina [diakses pada] 29 September 2014
Anon. 2014. Ukraine Crisis [online] tersedia dalam http://www.bbc.com/news/worldeurope-28969784 (diakses 29 September 2014).
Anon. 2014. Sanction OFAC-Enforcement [online] tersedia dalam
http://www.treasury.gov/resource-center/sanctions/OFACEnforcement/Pages/20140716.aspx (diakses 30 September 2014).
Anon. 2014. Ukraine [online] tersedia dalam http://csis.org/ukraine/index.htm
(diakses 30 September 2014).
Anon. 2014. World Crisis [online] tersedia dalam http://en.itartass.com/world/747989 (diakses 30 September 2014).
Anon. 2014. Ukraine, Russia in Crimea Crisis [online] tersedia dalam
http://www.state.gov/r/pa/prs/ps/2014/07/229656.htm (diakses 30 September
2014).
Anon. 2014. Ukraine Conflict [online] tersedia dalam
http://www.president.gov.ua/en/news/30503.html (diakses 30 September 2014).
Fisher, Max, 2014. “Everything You Need to Know About the Ukraine Crisis” [online].
Dalam http://www.vox.com/cards/ukraine-everything-you-need-to-know/what-iscrimea (diakses 30 September 2014).
dunia. Bila kita teliti lebih dalam, dapat dilihat bahwa krisis tersebut pada awalnya
dipicu oleh adanya pembatalan perjanjian kerjasama Ukraina dengan Uni Eropa
yang dilakukan oleh Presiden terpilih saat itu, Viktor Yanukovych, yang lebih memilih
untuk menandatangani perjanjian ekonomi dengan Rusia (RBTH Indonesia, 2014).
Seperti yang dilansir oleh RBTH Indonesia (2014), penolakan atas bantuan dana
yang akan diberikan oleh Uni Eropa terjadi karena adanya syarat yang tidak bisa
dipenuhi, yaitu untuk segera memutuskan hubungan ekonomi dengan Rusia.
Keadaan tersebut tentu saja memicu amarah warga, karena dana tersebut
sangatlah dibutuhkan oleh warga. Kemarahan warga ini semakin memuncak dengan
mengilangnya Presiden Viktor yang diduga meminta perlindungan kepada pihak
Rusia. Pada akhirnya warga melakukan aksi protes, yang dilakukan di ibukota
Ukraina, Kiev.
Menanggapi kejadian tersebut, pada 16 Januari 2014 Parlemen Ukraina
Verkhovnaya Rada yang menangani bidang hukum mengeluarkan sanksi bagi para
pelaku kerusuhan di Kiev (RBTH Indonesia, 2014). Keputusan ini tentu saja tidak
diterima oleh masyarakat, yang menganggap aksi mereka tersebut merupakan hak
mereka sebagai warga masyarakat dalam menyampaikan pendapatnya. Keputusan
tersebut juga pada akhirnya semakin memperkuat aksi antipemerintah yang
berujung pada keinginan untuk menggulingkan pemerintahan, yang mengakibatkan
80 orang meninggal dan 700 orang luka-luka. Banyaknya korban dalam peristiwa
tersebut tidak begitu saja menghilangkan semangat masyarakat. Hal ini terbukti
dengan terjadinya revolusi di ibukota Kiev pada Februari 2014 yang berhasil
menggulingkan pemerintahan Presiden Viktor Yanukovych yang pro-Rusia
(VivaNews, 2014). Kejadian tersebut rupanya menimbulkan kemarahan dipihak
Rusia. Pasukan pro-Rusia mulai bergerak disemenanjung Krimea, dan mengeluarkan
referendum warga yang memutuskan bahwa wilayah otonomi Krimea dan
Sevastopol pisah dari Ukraina dan segera bergabung dengan Rusia (VivaNews,
2014).
Keadaan ini sebenarnya telah terjadi sejak dahulu, dimana berawal pada tahun
1991 Ukraina melepaskan diri dari Uni Soviet setelah terjadi kudeta di Moskow yang
pada akhirnya menghasilkan referendum yg menyatakan 90% suara memilih untuk
melepaskan diri dari Uni Soviet. Sengketa wilayah yang dipicu oleh isu-isu politik
domestik kemudian meluas kepada pemberontakan dan gerakan separatisme yang
berujung kepada pemberian sanksi berupa embargo kepada negara yang dianggap
memiliki andil dalam meningkatkan tensi konflik seperti Rusia. Ukraina sendiri,
sebelum menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1991, merupakan bagian dari
wilayah kedaulatan Rusia atau Uni Soviet. Bertahun-tahun pasca pemisahan
wilayah, Rusia masih meyakini bahwa Ukraina merupakan bagian dari Rusia,
dimana mereka memiliki persamaan baik dari etnis, bahasa, dan juga sejarah. “The
country has been under partial or total Russian rule for most of those intervening
centuries, which is a big part of why one in six Ukrainians is actually an ethnic
Russian, one in three speaks Russian as their native language (the other two-thirds
speak Ukrainian natively), and much of the country's media is in Russian” (Fisher,
2014 dalam http://www.vox.com).
Perebutan wilayah atas Krimea sendiri banyak dilatar belakangi oleh berbagai
macam hal, meskipun salah satunya dilatarbelakangi oleh pertentangan historis,
juga dikarenakan potensi energi yang dimiliki oleh Krimea berupa gas alamnya.
Dilihat dari aspek historikal sendiri, Rusia melihat adanya keterkaitan antara
negaranya dengan Ukraina di masa lampau dimana kejayaan kekaisaran Rusia
berakar dari masa Yunani yang terletak di semenanjung Krimea. Dari aspek
demografi, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, sepertiga masyarakat
Ukraina yang tinggal di wilayah timur Ukraina merupakan etnis Rusia yang bukan
hanya memiliki kultur dan juga menggunakan bahasa asli Rusia, tetapi juga
memiliki kesamaan ideologi dan bentuk dukungan yang kuat terhadap rezim Rusia.
Dengan adanya ketakutan akan pengaruh barat yang menyebar di Ukraina, maka
nasionalis Rusia seperti Vladimir Putin merasa memiliki tanggung jawab untuk ikut
campur terhadap urusan domestik Ukraina yang mengakibatkan pecahnya konflik di
negara yang merdeka pada tahun 1991 tersebut.
Konflik Ukraina sebenarnya mencuat sejak tahun 2004 saat Revolusi Orange,
setelah kandidat presiden Viktor Yanukovich. Kandidat oposisi Viktor Yuschenko
memimpin protes massal yang pada akhirnya mahkamah agung memutuskan untuk
melakukan pemilihan umum ulang, Dalam pemilihan ulang itu Yushchenko menang.
Kemudian pada bulan Februari 2010 Viktor Yanukovych kembali dinyatakan menang
dalam pemilihan umum yang dinilai bersih dan adil oleh para observer. Langkah
pertama yang diambil Yanukovych sebagai presiden adalah mempenjarakan
Lawannya, perdana menteri Yulia Tymoschenko atas tuduhan abuse of power. Pada
bulan November 2013 konflik memanas saat kabinet presiden Yanukovych menolak
persetujuan perdagangan dengan uni eropa dan malah memperkuat kerjasama
dengan Rusia. mengakibatkan dua per tiga masyarakat Ukraina yang anti-Rusia
turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi. “This all began as an internal
Ukrainian crisis in November 2013, when President Viktor Yanukovych rejected a
deal for greater integration with the European Union (here's why this was such a big
deal), sparking mass protests, which Yanukovych attempted to put down violently”
(Fisher 2014, http://www.vox.com). Parlemen Ukraina juga menolak resolusi agar
Tymochenko diperbolehkan untuk meninggalkan Ukraina. Protes mulai terjadi dan
banyak orang menyamakan protes ini dengan Revolusi Orange. 100 ribu orang ikut
berpartisipasi dalam protes tersebut, pada bulan Desember jumlah meningkat
menjadi 800 ribu orang yang bertempat di balai kota dan independence square.
Pada tanggal 17 desember 2013 Vladimir Putin menyetujui perjanjian sebesar 15
billion dolar untuk mengurangi hutang Ukraina dan menurunkan harga suplai gas
Rusia di Ukraina (anon, 2014 dalam www.bbc.com).
Pada bulan Januari 2014 parlemen Ukraina menyetujui hukum anti protes
yang artinya semua orang yang berpartisipasi dalam demonstrasi melawan
pemerintah adalah melanggar hukum. Hukum ini menyebabkan tertembaknya highprofile activist Yuriy Verbytsky yang membuat konflik semakin memanas dan massa
mulai mengepung kantor-kantor pemerintahan. Pada akhirnya perdana menteri
Mykola Azarov mengundurkan diri dan parlemen menghapuskan hukum anti protes.
Parlemen berjanji untuk menghapus tuntutan terhadap orang-orang yang ditahan
dengan syarat protester meninggalkan gedung-gedung pemerintahan dan oposisi
pun menolak.
Pada bulan April 2014 aktivis-aktivis pro-Rusia mengepung gedung
pemerintahan di Donetsk dan Luhansk. Politisi-politisi dan media Rusia menganggap
pemimpin-pemimpin di Kiev sebagai nasionalis Ukraina yang melanggar hak-hak
para masyarakat asli yang tinggal di Ukraina. Pada bulan Maret akhirnya Rusia
menganeksasi Krimea yang memberikan harapan para oposisi untuk melepaskan
diri dari Kiev. Hal ini dikarenakan oposisi pro-Rusia menolak adanya pemerintah proBarat setelah Presiden Yanukovytch diturunkan pada bulan Februari disebabkan oleh
tuduhan korupsi, ekonomi yang stagnan dan penolakan kerjasama dengan Uni
Eropa. Pada tanggal 16 maret 2014 referendum untuk Krimea melepaskan diri dari
Ukraina diadakan. Krimea merupakan salahsatu daerah dirusia yg penduduknya
terdiri dari 58,5% orang Rusia. Pada tanggal 17 juli 2014 para oposisi menembak
Malaysian Airlines flight MH17 dengan korban 298 orang. Hal ini merupakan titik
terendah hubungan Rusia dengan Barat sejak perang dingin. Sanksi pun mulai
diterapkan yang menyebabkan ekonomi Rusia melemah.
Gerakan separatis berbau Rusia ini tidak hanya terjadi di Krimea, tetapi
terus mengalami perkembangan dan menyebar ke wilayah timur Ukraina pada
pekan kedua April. Hal tersebut menggambarkan keadaan Ukraina saat ini terbagi
menjadi dua kubu berbeda, yaitu kubu yang pro terhadap Uni Eropa dan juga
wilayah timur Ukraina yang sebagian besar pro terhadap Rusia. Gerakan separatis
itu menuntut untuk memisahkan diri dari Ukraina dan meminta untuk bergabung
dengan federasi Rusia. Hal ini terbukti dengan diproklamirkannya kemerdekaan
Donetsk, salah satu wilayah di timur Ukraina, oleh massa pro-Rusia. Seperti dilansir
oleh VivaNews (2014), seorang pemimpin separatis dari Donetsk menyatakan
bahwa “berdasarkan hasil referendum dan deklarasi kedaulatan Republik Rakyat
Donestk, kami menyatakan bahwa Republik Rakyat Donetsk adalah negara
berdaulat. Kami meminta Federasi Rusia untuk mempertimbangkan permintaan
kami untuk menjadi bagian dari Federasi Rusia”. Hal tersebut tentu saja membuat
pemerintah Ukraina menjadi semakin was-was, mengingat kasus yang sebelumnya
terjadi pada Krimea. Untuk melawan dan memberantas gerakan-gerakan separatis
ini Ukraina meminta bantuan kepada sejumlah negara, seperti Amerika Serikat.
Karena pemerintah berpendapat bahwa dalam kondisi seperti ini mereka akan
memerlukan lebih banyak dukungan politik dari masyarakat internasional.
Adanya kenyataan merdekanya Krimea tentu saja tidak begitu saja diterima
oleh Ukraina. Protes dan demonstrasi dari masyarakat turut memperkeruh situasi
konflik yang semakin memanas di Ukraina. Upaya-upaya untuk menghentikan
konflik di Krimea juga digencarkan. Disini penulis membagi menjadi tiga kelompok
upaya untuk menghentikan krisis yakni dialog atau negosiasi, gencatan senjata dan
penawaran, serta sanksi. Pertama dialog. Dialog ini dilakukan baik oleh Ukraina,
Rusia, bahkan pihak-pihak yang masuk dalam krisis Crimea seperti Amerika Serikat,
Jerman, Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE), maupun
European United (EU). Dialog-dialog yang pernah dilaksanakan adalah dialog antara
Presiden Ukraina yang baru saja diangkat tahun 2014, Petro Oleksiyovych
Poroshenko, untuk pertama kalinya bertemu dengan Presiden Vladimir Putin setelah
menjabat sebagai presiden Ukraina. Pertemuan singkat itu hanya membahas
mengenai keinginan para Presiden untuk segera mengakhiri pertumpahan darah
dan aktivitas militer di tenggara Ukraina di Normandy (Anon, 2014 dalam
www.csis.org). Selanjutnya pada pertemuan trilateral contact group antara negara
Jerman, Ukraina, dan Rusia, serta perwakilan dari Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE) untuk membicarakan rencana gencatan senjata selama
seminggu (Anon, 2014 dalam www.president.gov.ua). Rencana yang melibatkan
pihak-pihak terkait ini didasarkan pada kerugian dan banyaknya orang yang
meninggal serta semakin intensifnya peperangan di kota Slovyansk sehingga
sementara harus “dibekukan” (Anon, 2014 dalam www.csis.org). Dialog di tingkat
regional seperti dialog dalam EU yang berencana untuk memberikan sanksi
terhadap Rusia yang tidak mampu menurunkan ketegangan di Crimea. Tidak lama
kemudian, Amerika Serikat mengungumkan bahwa pihaknya akan memberikan
Rusia sanksi unilateral terhadap Rusia. Insiden ditembaknya pesawat Malaysia MH17 semakin memicu dan menambah tekanan sanksi pada Rusia (Anon, 2014 dalam
www.state.gov). Selanjutnya dialog melalui telepon dilakukan oleh Presiden Obama
dan Presiden Putin mengenai penyelesaian krisis dan bantuan kemanusiaan.
Sedangkan dialog melalui telepon yang lebih komprehensif dilaksanakan oleh
Presiden Poroshenko dengan Presiden Putin. Terdapat tujuh rencana perdamaian
(peace plan) gencatan senjata yang disepakati kedua presiden yakni: (1)
menghentikan semua kegiatan ofensif yang ditujukan pada angkatan bersenjata,
militia, dan separatis; (2) menarik pasukan Ukraina di jarak tertentu agar tidak
menembaki daerah penduduk; (3) memungkinkan monitoring internasional
terhadap gencatan senjata serta zona-zonanya; (4) melarang pesawat untuk masuk
ke daerah sipil; (5) pengaturan pertukaran tahanan tanpa syarat; (6) membangun
koridor bantuan kemanusiaan; (7) perbaikan infrastruktur (Anon, 2014 dalam
www.en.itar-tass.com).
Kedua, gencatan senjata dan tawaran. Gencatan senjata disini ditawarkan oleh
pihak Ukraina terhadap pihak pemberontak, meski tidak semua harus disepakati.
Presiden Poroshenko menawarkan untuk memberi amnesti kepada pihak
pemberontak yang menyerah dan melakukn rekonsiliasi (Anon, 2014 dalam
www.csis.org) dan sebagai gantinya beliau akan menarik militernya. Hal ini berulang
kali dilakukan oleh Presiden Poroshenko. Sampai pada rencana gencatan senjata ini
juga didukung oleh Presiden Putin, namun melalui beberapa permintaan yakni
mengadakan dialog terbuka termasuk dengan para pro-Rusia dan bukan
menggunakan ultimatum dan adanya monitoring secara objektif (Anon, 2014 dalam
www.csis.org). Permintaan yang dikabulkan oleh pihak Ukraina akhirnya berbuah
persetujuan oleh pihak pro-Rusia untuk melakukan gencatan senjata selama empat
hari. Sedangkan sanksi terhadap Rusia juga merupakan salah satu bentuk
penyelesaian dengan menekan pihak yang dianggap bersalah. Rusia yang dianggap
bersalah dengan tidak mampu menurunkan ketegangan peperangan diberi sanksi
sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Sanksi unilateral, seperti apa yang sempat
disinggung di atas, diberikan pada individu-individu yang dianggap bersalah atas
krisis dan terhadap Rusia. Sanksi yang diberikan berupa sanksi restriksi atas pasar
kapital, energi, teknologi, dan lainnya (Anon, 2014 dalam www.treasury.gov).
Selain upaya-upaya diatas, dunia internasional pun turut merespon hasil
referendum Krimea tersebut yakni utamanya negara yang tergabung dalam Uni
Eropa, Amerika Serikat dan PBB yang mengecam hasil referendum tersebut dan
secara tegas mengatakan bahwa hasil referendum tersebut tidak sah. Majelis umum
PBB kemudian menindaklanjuti bahwa referendum pertengahan Maret yang
diadakan di Krimea yang menyebabkan tindakan aneksasi Rusia tidak memiliki
validitas dan menyerukan para pihak untuk segera membuat resolusi perdamaian
dalam situasi tersebut. Sebagai respon dari koflik berkepanjangan di Krimea,
Kemudian pada tanggal 27 Maret 2014 terbentuklah resolusi PBB yakni UN General
Assembly Resolution 68/262 yang menegaskan komitmen PBB untuk mengakui
Krimea dalam batas-batas internasional Ukraina dan menegaskan ketidakabsahan
hasil dari referendum Krimea pada Maret 2014. Resolusi ini didukung oleh 100
negara anggota PBB, dengan 11 yang menentang dan 58 negara yang abstain.
Majelis umum PBB meminta semua negara dan organisasi internasional derta badan
khsuus lainnya untuk tidak mengakui adanya perubahan status republik otonomi
Krimea sesuai dnegan hasil Refrendum pada tanggal 16 Maret. Adanya resolusi UN
68/262 merupakan salah satu langkah penyelesaian konflik. Namun resolusi
tersebut nyatanya bukanlah solusi akhir dari konflik di Ukraina. Sampai saat ini,
konflik masih terus berlanjut.
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya konflik yang terjadi di
Ukraina sendiri merupakan konflik yang sudah berakar sejak terbentuknya negara
Ukraina sendiri. Persebaran etnis di Ukraina sendiri yang terbelah menjadi dua yakni
ada yang condong ke Barat dan condong ke Rusia. Berlangsungnya konflik yang
berlarut-larut ditengarai sebagai akibat dari keadaan Ukraina sendiri yang sejatinya
sejak awal kemerdekaannya belum bisa sepenuhnya melepaskan diri dari Rusia
sendiri. Adanya peranan Rusia sebagai salah satu kekuatan besar di dunia juga
dianggap sebagai penyebab dari berlarut-larutnya konflik ini. Bahkan hingga saat ini
di beberapa daerah di Ukraina masih terdapat aksi-aksi protes dari kalangan
militant pro-Rusia. Kedepannya usaha-usaha yang dilakukan kedua belah pihak
serta mediasi dari beberapa negara melalui organisasi internasional diharapkan
setidaknya mampu meredam dan membangun peace settlement untuk konflik di
Ukraina ini.
Referensi:
Anon. 2014. Backing Ukraine’s territorial integrity, UN Assembly declares Crimea
referendum invalid [online]. Diakses pada 28 september 2014. tersedia dalam
http://www.un.org/apps/news/story.asp?
NewsID=47443&Cr=ukraine&Cr1=#.VCoYZF6I0Y
Anon. 2014. Prahara Ukraina [online] tersedia dalam
http://sorot.news.viva.co.id/news/read/499699-prahara-ukraina [diakses pada] 29
September 2014
Anon. 2014. Krisis Ukraina [online] tersedia dalam
http://indonesia.rbth.com/krisis_ukraina [diakses pada] 29 September 2014
Anon. 2014. Ukraine Crisis [online] tersedia dalam http://www.bbc.com/news/worldeurope-28969784 (diakses 29 September 2014).
Anon. 2014. Sanction OFAC-Enforcement [online] tersedia dalam
http://www.treasury.gov/resource-center/sanctions/OFACEnforcement/Pages/20140716.aspx (diakses 30 September 2014).
Anon. 2014. Ukraine [online] tersedia dalam http://csis.org/ukraine/index.htm
(diakses 30 September 2014).
Anon. 2014. World Crisis [online] tersedia dalam http://en.itartass.com/world/747989 (diakses 30 September 2014).
Anon. 2014. Ukraine, Russia in Crimea Crisis [online] tersedia dalam
http://www.state.gov/r/pa/prs/ps/2014/07/229656.htm (diakses 30 September
2014).
Anon. 2014. Ukraine Conflict [online] tersedia dalam
http://www.president.gov.ua/en/news/30503.html (diakses 30 September 2014).
Fisher, Max, 2014. “Everything You Need to Know About the Ukraine Crisis” [online].
Dalam http://www.vox.com/cards/ukraine-everything-you-need-to-know/what-iscrimea (diakses 30 September 2014).