REPRESENTASI KESEHARIAN INDONESIA REPRESENTASI KESEHARIAN INDONESIA

REPRESENTASI KESEHARIAN INDONESIA
DALAM KARYA SASTRA INDONESIA
SEBELUM BALAI PUSTAKA1
Oleh
Ibnu Wahyudi2
/1/
Dengan judul tulisan sebagaimana tertera pada makalah ini, kiranya jelas bahwa
titik berangkat yang diambil di dalam memandang permasalahan “sejarah
kesusastraan” Indonesia di masa kolonial ini bukan bertumpu pada Balai Pustaka.
Lembaga penerbitan yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda ini tidak akan
lagi ditengarai sebagai penanda awal khazanah sastra Indonesia modern melainkan
hanya sebagai suatu fase atau tahap dari perjalanan sastra Indonesia modern secara
utuh. Dalam kaitan ini, menjadi perlu dimafhumi terlebih dahulu bahwa hingga
beberapa tahun berselang, pandangan akan pentingnya peranan Balai Pustaka3 sebagai
cikal bakal sastra Indonesia modern harus diakui sebagai masih sangat kuat.
Para pengamat sastra Indonesia yang sempat menyinggung atau yang sematamata mengikuti begitu saja anggapan akan peranan istimewa Balai Pustaka dalam
perjalanan sastra Indonesia modern itu dapat dikatakan cukup banyak. Di antara
mereka itu adalah A. Teeuw dalam Sastra Baru Indonesia I (1980), Aning
Retnaningsih dalam Roman dalam Masa Pertumbuhan Kesusastraan Indonesia
Modern (1983), Fachruddin Ambo Enre dalam Perkembangan Puisi Indonesia dalam
Masa Duapuluhan (1963), A. Brotherton dalam “Modern Indonesian Literature,”

Eastern World (1995), Boejoeng Saleh dalam “Perkembangan Kesusastraan
Indonesia,” Almanak Seni 1957 (1956), Liang Liji dalam “Sastra Peranakan Tionghoa
dan Kehadirannya dalam Sastra Sunda,” Archipel (1987), Goenawan Mohamad dalam
“Sebuah Sketsa Setengah Abad: Kesusastraan Indonesia 1917—1967,” Horison
(1968), dan Anthony H. Johns dalam “Genesis of a Modern Literature,” Indonesia
1 Makalah ini disajikan dalam seminar “Buku Langka Sebagai Sumber Referensi Kajian Budaya
Indonesia” yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional di Jakarta, 28 Oktober 2004. Judul
makalah ini merupakan penyempitan dari topik yang ditawarkan oleh panitia, yang aslinya berjudul
“Potret Budaya Indonesia dalam Literatur Jaman Kolonial”.
2 Pengajar tetap di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia sejak tahun 1985.
3 Mengenai keberadaan Balai Pustaka, sekurang-kurangnya dapat dibaca buku yang berjudul
BalaiPustaka Sewadjarnya 1908—1942, Djakarta: Balai Pustaka, 1948.

(1967). Dalam dunia pengajaran pun, kenyataan seperti itu malahan dan sungguhsungguh lebih terasa.4 Buku-buku ajar yang berkaitan dengan bahasa dan sastra sangat
biasa dan tampak tanpa beban ketika menyebutkan bahwa awal sastra Indonesia
modern bersamaan atau ditandai dengan diterbitkannya novel pertama oleh Balai
Pustaka yaitu Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Padahal, melalui sejumlah
kajian atau penelitian seperti pernah dilakukan oleh Nio Joe Lan,5 Watson,6 Sykorsky,7
maupun Salmon8 sudah semakin kentara bahwa awal sastra Indonesia modern
semestinya jauh sebelum didirikannya lembaga Balai Pustaka yang merupakan nama

populer dari Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volklectuur),9 pada tahun 1917
itu.
Bersesuaian dengan tema seminar, makalah ini sudah barang tentu tidak akan
mempersoalkan perihal penting-tidaknya Balai Pustaka dalam lintasan sejarah sastra
maupun sejarah budaya bangsa Indonesia melainkan hanya “meminjam” Balai
Pustaka sebagai suatu penanda bahwa untuk kurun yang lumayan lama, lembaga
penerbitan kolonial dan karya-karya yang diterbitkannya itu pernah begitu
berwibawanya sampai-sampai puluhan karya yang terbit di luar dan sebelumnya,
dinafikan begitu saja. Bukan merupakan suatu yang mengherankan apabila pernah
muncul istilah-istilah bernuansa negatif seperti “bacaan liar” atau “roman picisan”
untuk karya-karya yang tidak diterbitkan oleh Balai Pustaka itu.
Embel-embel atau label “liar” pada istilah “bacaan liar” itu sangat boleh jadi
diukur dari kriteria kemapanan atau keadiluhungan yang melekat dan coba dibangun
terus oleh Balai Pustaka. Demikian pun dengan kepicisan yang mengikuti kata
“roman” itu tidak lain merupakan bentuk penistaan dari sudut Balai Pustaka. Istilah
“bacaan liar”—seperti pernah dikemukakan oleh Ajip Rosidi10—ditujukan untuk
karya-karya sastra yang rendah moralitasnya dan kurang beradab. Karya-karya
semacam ini terbit di luar Balai Pustaka, umumnya ditulis dengan bahasa Melayu
Pasar dan bertema seputar masalah erotis, seksual, kriminal, pernyaian, atau tema4 Terlalu mudah untuk menunjukkan hal semacam ini dalam buku-buku pelajaran bahasa dan
sastra Indonesia; dan oleh karena itu tidak perlu dinyatakan secara eksplisit di sini.

5 Nio Joe Lan, Sastera Indonesia-Tionghoa, Djakarta: Gunung Agung, 1962.
6 C.W. Watson, “Some Preliminary Remarks on the Antecedents of Modern Indonesian
Literature,” Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde, 127 (4e), 1971.
7 W.V. Sykorsky, “Some Additional Remarks on the Antecedents of Modern Indonesian
Literature,” Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde, 136 (4e), 1980.
8 Claudine Salmon, Literature in Malay by The Chinese of Indonesia: A Provisional Annotated
Bibliography, Paris: Editions de la Maison des Sciences de l’Homme, 1981.
9 Sebelum menjadi Kantor Bacaan Rakyat, lembaga yang didirikan pata tahun 1908 ini bernama
Komisi Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlndsche School en Volklectuur).
10 Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, Bandung: Binacipta, 1969, h. 10.

2

tema lain yang cenderung dinilai rendah dipandang dari sudut atau standar moral
tertentu. Demikian pula dengan istilah “roman picisan”, sangat bertalian dengan
kualitas karya yang rendah mutu dan penyajiannya, bergeser dari makna semula yang
berarti karya-karya tipis yang murah harganya dan biasanya terbit di Medan dan
Padang. Ditilik dari asal-muasalnya, istilah ini tidak dapat dipisahkan dari orang yang
pernah menyebutkannya, yaitu Roolvink, yang pernah menulis artikel berjudul “De
Indonesiase ‘Dubbeltjesroman’” yang telah diindonesiakan menjadi “’Roman Pitjisan’

Bahasa Indonesia” dan dimuat dalam buku A. Teeuw.11
/2/
Apapun nama atau sebutan yang pernah melekat pada karya-karya yang terbit di
luar atau sebelum didirikannya Balai Pustaka, karya-karya semacam itu tetap sangat
layak diperhitungkan dan diperbincangkan, istimewanya dari sisi sosiologisnya alihalih dari sisi formal atau intrinsiknya. Sebagai karya sastra, karya-karya tersebut lebih
tepat dikatakan sebagai karya sastra populer daripada karya sastra dengan “s” kapital,
berdasarkan sejumlah kenyataan sosiologis yang melekat pada karya-karya itu.
Kenyataan bahwa karya-karya sastra tersebut cenderung ditulis secara apa
adanya dan nyaris tanpa suatu pengolahan yang bersifat kreatif-imajinatif, bukan
untuk mengatakan bahwa tidak ada sama sekali segi kreatif-imajinatif yang
diterapkan, melainkan untuk menyatakan bahwa para penulis ini terasa sekali sangat
mengabdi pada realitas atau kenyataan yang ingin ditampilkan dengan bangunan alur
yang serba berurut dan kompleksitas masalah yang beranak pinak. Hampir selalu,
adanya penanda akan kefaktualan yang dinyatakan melalui anak judul seperti “Satoe
tjerita jang betoel soedah terdjadi di tanah Preangan”,12 atau “Anak jang soeda boenoe
bapanja, lantaran perkara prampoean; satoe tjerita jang betoel soeda kadjadian di
Batavia kampoeng Pantjoran”,13 atau “Satoe tjerita jang amat loetjoe, indah dan ramei
dan jang betoel soedah kadjadian kira-kira saratoes taoen laloeh di tanah Djawa
Koeloen”,14 atau “Satoe kapala penjamoen di djaman dahoeloe tempo tahon 1840;
jang betoel soeda kadjadian di Batavia”,15 memberikan petunjuk kepada pembaca

11 A. Teeuw, Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru, Djakarta: Pembangunan,
1957, h. 159-173.
12 H. Kommer, Tjerita Siti Aisah atau Tjinta Hati jang Sabenar Tjinta, Batavia” W.P. Vasques,
1900.
13 Lie Tek Long, Tjerita Gouw Soei Hoo, Batavia: Lie Tek Long, 1913.
14 H. Kommer, Tjerita Kong Hong Nio: satoe toean tanah di babakan afdeeling Tangerang,
Betawi, Batavia: W.P. Vasques, 1900.
15 F.D.J. Pangemanann, Tjerita Si Tjonat, Batavia: Tjoe Toei Yang, 1900.

3

bahwa apa yang dituliskan itu tidak lain merupakan semacam upaya mendokumentasi
apa-apa yang pernah terjadi, kendati kualitas peristiwanya itu sendiri bisa sangat
biasa, terbatas, atau hanya bersangkutan dengan peristiwa domestik.
Cara bercerita atau cara mengambil sudut penceritaan yang sedemikian itu, yang
seolah-olah hanya memindahkan saja apa-apa yang pernah terjadi ke dalam karya
sastra seperti tampak dari anak-anak judul yang sudah dicontohkan, selain sebagai
kecenderungan yang bertolak dari konvensi bercerita masa itu, agaknya lebih
bersandarkan pada realitas pembaca saat itu yang tingkat kemampuan membacanya
masih sangat rendah sebagai akibat dari belum diperkenalkannya dunia dan sistem

pendidikan secara bebas dan terbuka bagi orang Hindia Belanda pada umumnya.16
Hanya karya-karya yang cenderung dikategorikan sebagai karya-karya populer
semacam itu saja yang cocok dikonsumsi oleh pembaca yang baru melek huruf
dengan rata-rata tingkat pendidikan juga masih sangat rendah. Inilah kenyataan
sosiologis yang ikut menegaskan bahwa karya-karya sastra pada masa sebelum Balai
Pustaka itu adalah karya-karya populer; sebuah kecenderungan berkarya yang sangat
mempertimbangkan faktor pembaca sebagai konsumen. Dengan kata lain, orientasi
berkarya pada ketika itu tidak bisa lain adalah orientasi pasar atau pembaca alih-alih
orientasi kualitas.
Masih dari sejumlah contoh anak judul yang sudah disebutkan, pembaca
sesungguhnya sudah dapat menangkap arah cerita; dan segala sesuatunya pun sudah
jelas. Anak-anak judul itu sudah memposisikan diri sebagai headlines yang tidak
menyembunyikan kejutan atau hal-hal yang implisit. Dengan kenyataan seperti ini
maka jelas bahwa karya-karya awal dalam khazanah sastra Indonesia modern ini
adalah karya-karya populer.
Demikian pula dengan tokoh-tokoh yang ditampilkan—jika karya-karya itu
dibaca secara lebih cermat—akan segera hadir di hadapan kita sejumlah tokoh yang
sangat mewakili bayangan, harapan, atau ekspektasi kita mengenai sebuah identitas
atau sosok. Misalnya, seorang penjahat cenderung ditampilkan sebagai orang yang
16 Pada sekitar abad XIX, kesempatan untuk memperoleh pendidikan secara formal di tanah

jajahan ini tidak dibuka untuk masyarakat luas tetapi hanya untuk golongan atau lapisan masyarakat
tertentu saja. Golongan yang diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan formal adalah orangorang Eropa, Indo-Eropa, Cina, Peranakan-Cina, dan sedikit orang pribumi utamanya yang berasal dari
golongan priyayi. Secara lebih lengkap persoalan seputar hal ini dapat dibaca dalam Bernhard Damn,
History of Indonesia in the Twentieth Century, terj. P.S. Falla, London: Pall Mall Press, 1971, dan
dalam tulisan Robert van Niel, “From Netherlands East Indies to Republic of Indonesia, 1900-1945,
dalam Harry Aveling, ed., The Development of Indonesian Society: From the Coming of Islam to the
Present Day, St. Lucia: University of Queensland Press, 1979.

4

mempunyai codet di wajahnya serta berkelakuan sangar; atau seorang saudagar yang
akan selalu berpakaian necis dan membawa cangklong ke mana-mana. Bentuk-bentuk
yang bersesuaian dengan apa-apa yang kita bayangkan ini, atau yang telah menjadi
suatu generalisasi tanggapan, lazim disebut sebagai stereotipe.
Kemudian alur ceritanya, kendati dari anak judulnya pembaca sesungguhnya
sudah mampu menebak arah cerita, pengarang tampak perlu untuk menyusun alur
serumit mungkin semata-mata untuk melibatkan emosi pembaca dan mengarahkan
pembaca untuk sampai pada taraf katarsis atau taraf ketika rasa tegang memperoleh
saluran penglepasannya. Dengan kata lain, pembaca “dipaksa” untuk terus mengikuti
alur cerita karena pemecahan masalah selalu diulur dan digantung.

Dan yang tidak ketinggalan dan tidak kalah pentingnya, adalah adanya
kecenderungan kuat pada sejumlah besar cerita yang menyisipkan hal-hal yang serba
mutakhir pada masanya atau untuk saat itu. Pada novel Nyai Ratna karya R.M. Tirto
Adhi Soerjo misalnya, terdapat kutipan sebagai berikut ini.
Setelah jongos Parmi pulang, Sambodo lalu ganti pakaian menggunakan
sarung sutera poleng, kebaya baru yang telah diseterika, rambut disisir dengan
Eau de Chinin, lalu digulung dan mengenakan destar yang harum karena sudah
diuukup dengan kertas wangi toko Parijs, kumis dilicinkan dengan pomade
seharum minyak cendana dan sapu tangan diperciki klonyo H.S. Setelah selesai
diambilnya rokok El Chombata lalu duduk di depan.17
Apa yang tersurat dan terpapar dalam kutipan ini hanya sekadar contoh bahwa
ada kecenderungan untuk menampilkan hal-hal yang serba baru, mutakhir, atau
kontemporer pada masanya, yang dalam istilah Abraham Kaplan disebut dengan
novelty. Selain novelty ini, kecenderungan umum yang mengikuti pola penulisan
karya-karya populer sebagaimana sudah disebutkan secara sepintas dalam makalah ini
sebagai titik tolak pengkategorian (pengaluran yang kompleks, stereotipe yang
melekat pada tokoh-tokoh yang ditampilkan, formula sebagai dasar berkreasi), pada
intinya dipinjam dari tulisan Abraham Kaplan yang berjudul “The Aesthetics of the
Popular Arts”.18
/3/


17 R.M. Tirto Adhi Soerjo, Nyai Ratna dalam Sang Pemula yang disusun oleh Pramoedya
Ananta Toer, Jakarta: Hasta Mitra, 1985, h. 329.
18 Abraham Kaplan, “The Aesthetics of the Popular Arts,” Modern Culture and the Arts, diiedit
oleh James B. Hall dan Barry Ulanov, New York: McGraw-Hill, 1967.

5

Dilihat dari identitas pengarangnya, karya-karya sastra Indonesia yang pernah
terbit sebelum dan di luar Balai Pustaka dapat dipilah menjadi tiga kelompok besar.
Kelompok pertama adalah para penulis Indo-Eropa, kemudian kelompok penulis
Peranakan-Cina, dan terakhir adalah kelompok penulis pribumi. Namun demikian,
perlu buru-buru dinyatakan di sini bahwa asal atau latar identitas itu tidak akan
dipergunakan untuk menyebut mereka sebagai bukan pengarang Indonesia—
utamanya kepada para penulis yang bukan pribumi itu.
Mengikuti apa yang pernah saya lakukan dalam tulisan yang berjudul
“Mempertimbangkan Kembali Awal Keberadaan Sastra Indonesia Modern”,19 ada dua
kriteria longgar tetapi mendasar (dari lima kriteria yang saya ajukan) untuk
mengidentifikasi sesebuah karya sebagai bagian integral dari khazanah sastra
Indonesia modern, yaitu (1) kriteria aksara dan (2) kriteria bahasa. Dengan kriteria

aksara, dimaksudkan bahwa karya yang layak disebut sebagai warga sastra Indonesia
modern adalah apabila karya itu menggunakan aksara latin, bukan aksara jawi atau
aksara daerah lain meskipun bahasanya bisa saja adalah bahasa Melayu atau malahan
bahasa Indonesia. Sedangkan dengan kriteria bahasa, adalah bahwa yang akan disebut
sebagai karya sastra Indonesia itu selain beraksara latin, harus pula berbahasa Melayu
atau Indonesia. Dalam hal ini, identitas pengarang menjadi tidak terlalu
dipermasalahkan mengingat bahwa pada masa itu belum ada suatu sistem identifikasi
yang adil dan jelas terhadap mereka yang disebut sebagai “orang Indonesia”. Oleh
karena hal yang sedemikian itu, para penulis Peranakan-Cina atau Indo-Eropa akan
dinyatakan sebagai pengarang Indonesia apabila yang bersangkutan pernah
menghasilkan karya sastra asli dalam bahasa Indonesia/Melayu dengan huruf latin
sebagai media penyampainya. Dengan demikian jelas bahwa sikap yang dipergunakan
untuk menentukan “keindonesiaan” bukan dari identitas pengarangnya melainkan dari
karya yang dihasilkannya. Hal semacam ini perlu ditempuh dan ditegaskan mengingat
bahwa selama ini ada semacam penganaktirian terhadap karya-karya pengarang yang
bukan pribumi dan apalagi kalau karya-karya mereka itu diterbitkan di luar Balai
Pustaka. (Sementara itu, di dalam perkembangannya, khazanah sastra Indonesia
modern secara faktual sesungguhnya tidak terlalu bermasalah dengan persoalan
identitas ini, terbukti dengan tidak pedulinya para pengamat sastra Indonesia mutakhir
19 Tulisan ini pernah dipresentasikan pada The 11th European Colloquium on Indonesian and

Malay Studies, Moscow, 29 Juni-1 Juli 1999, setelah sebelumnya pernah dimuat pula dalam The Malay
World, Vol. I No. 2, Maret 1999.

6

dengan para penulis “keturunan”. Kenyataan ini sungguh-sungguh sesuatu yang
menggembirakan dan menyiratkan adanya semangat plural dan multikultural!)
Dari penetapan yang sedemikian ini maka diperoleh banyak karya yang dapat
dikategorikan sebagai khazanah sastra Indonesia modern, baik berupa prosa, puisi,
maupun drama. Dilihat dari usia penulisan dan juga penerbitannya, dapat dinyatakan
di sini bahwa karya tertua yang pernah ada adalah puisi yang berjudul Sair
Kadatangan Sri Maharaja Siam di Betawi (1870) yang kemungkinan besar adalah
karya Tan Teng Kie,20 kemudian Novel berjudul Njai Dasima (1896) karya G.
Francis,21 dan drama berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno (1901) yang ditulis
oleh F. Wiggers.22
/4/
Ada pendapat dari A.H. Johns melalui tulisannya yang berjudul “The Novel as a
Guide to Indonesian Social History” yang bersesuaian dengan arah tulisan ini, yaitu
pendapatnya yang kira-kira menyatakan bahwa di dalam sejumlah novel Indonesia
tampak bahwa ada upaya pada diri para pengarang yang telah berusaha secara objektif
menggambarkan suatu masyarakat yang sedang berproses, yang sedang mengalami
perubahan dan pergeseran nilai-nilai. Pendapat Johns yang sedemikian ini merupakan
tanggapannya atas karya-karya sastra pada masa-masa setelah Balai Pustaka berdiri,
setelah dekade tahun 1920-an; maka dapat dibayangkan bagaimana kemungkinan
“pembelaan”nya terhadap karya-karya sebelum Balai Pustaka yang dapat dikatakan
hampir-hampir ditulis tanpa pretensi kesastraan itu.
Dengan pengertian lain, karya-karya yang ditulis tanpa suatu polesan imajinatif
yang berarti—sebagaimana terungkap pada karya-karya awal dalam khazanah sastra
Indonesia modern ini—akan sangat memberi kemungkinan untuk dipahami sebagai
karya-karya yang masih setia mengungkapkan fakta atau realitas tanpa niatan pada
dirinya untuk secara sadar mendokumentasi suatu dinamika atau pergerakan zaman.
Artinya, dengan membaca karya-karya sebelum Balai Pustaka yang dihasilkan
sebagai pemenuhan atas minat baca yang masih sangat terbatas itu maupun dari
20 Dikatakan “kemungkinan besar” karena hingga saat ini belum ditemukan identitas
pengarangnya. Namun dari gaya dan cara menyusun syair, karya ini ada kemiripannya dengan Sya’ir
Jalanan Kreta Api yang ditulis oleh Tan Teng Kie pada tahun 1890. Kedua karya ini sudah diterbitkan
lagi dan terhimpun dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia 1, yang disunting
oleh Marcus A.S. dan Pax Benedanto, Jakarta: KPG, 2000.
21 G. Francis, Tjerita Njai Dasima: Soewatoe Korban dari pada Pemboedjoek. Batavia: Kho
Tjeng Bie & Co., 1896.
22 F. Wiggers, Lelakon Raden Beij SoerioRretno, Batavia: Oeij Tjaij Hin, 1901.

7

keinginan berbagi peristiwa-peristiwa nyata yang menggiriskan itu, secara tidak
langsung karya-karya tersebut telah mampu merekam “keseharian”—untuk tidak
terlalu gegabah menyatakannya sebagai “kebudayaan”—dari kehidupan Indonesia di
masa kolonial itu. Tetapi tentu bukan hanya karya sastra yang berbentuk novel saja—
seperti dikemukakan oleh Johns tadi—yang secara tidak langsung telah mampu
merekam kehidupan atau keseharian di Hindia Belanda; puisi dan drama pun tentu
saja mempunyai kemungkinan yang tidak jauh berbeda.23
Di dalam drama Lelakon Raden Beij Soerio Retno misalnya, kita kemungkinan
besar akan memperoleh gambaran kehidupan pada tahun 1880-an secara lebih baik
dan mengesankan dibandingkan dengan gambaran yang ada di dalam buku-buku
sejarah yang biasanya cenderung ditulis secara kering. Salah satu gambaran itu
misalnya sebagai berikut.
Djoeroetoelis (omong pada magang).
Mas! Apa staat-staat soedah abis ditarik?
Magang
Soedah, tinggal di isi sadja.
Djoeroetoelis (pada laen magang)
La, kowe Mo, tjoba priksa priksa oewang padjek, bantingin oewang
peraknja, priksa djoega djangan ada jang tambelan.
Magang Kromo bangoen pegi preksa oewang padjek.
Mana soerat patokmoe kang loerah?
Loerah nommor 1
Ini, saija bawa sisa padjek sama sekali djadi loenas.
Magang banting-banting doewit padjek itoe.
Ach, loerah, ini satoe ringgit boedek, tida njaring, toekarlah.
Loerah
Aai, heran betoel saija trima padjek begitoe ati-ati masih djoega ada jang
boedek, djangan-djangan embok loerah ini poenja boewatan toekar doewitnja
jang tida lakoe sama ini padjek. [Maka loerah ganti itoe ringgit boedek].24
Dari kutipan ringkas ini saja, kita memperoleh banyak informasi mengenai
kebiasaan para lurah, magang, dan jurutulis dalam suatu interaksi. Perihal uang yang
tambalan atau yang palsu serta komentar-komentar atau aktivitas yang menyertainya,
niscaya lebih mampu memberikan nuansa masa lalu secara lebih otentik dan apa
23 Sapardi Djoko Damono dalam Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang, (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979, h. 3), juga
menyatakan bahwa novel atau prosa pada umumnya memang merupakan genre yang lebih mampu
mengungkapkan situasi atau kondisi sosial secara lebih mendetail dibandingkan dengan puisi atau
drama. Namun demikian, kenyataan di lapangan tidak selamanya harus demikian. Memang, secara
populasi dan popularitas, prosa cenderung lebih dibaca dan disukai.
24 Wiggers, op.cit., h. 8-9. Cetak miring dari penulis, IW.

8

adanya dibandingkan dengan karya sastra yang dibuat dengan pretensi sastra pada
umumnya maupun dengan risalah sosial yang pernah ada. Aktivitas “kecil” dan
“sederhana” sebagaimana terungkap dalam kutipan tadi sangat boleh jadi tidak
dianggap penting sebagai semacam data sejarah dari sebuah kehidupan di Indonesia,
tetapi jelas sangat menyentuh pemahaman kita akan keseharian hidup di masa itu.
Demikian pula mengenai kemeriahan dalam menyambut kedatangan Sri
Maharaja Siam digambarkan dengan biasa tetapi diwarnai oleh rincian yang
mengesankan dalam Sair Kadatangan Sri Maharaja Siam di Betawi seperti terlihat
pada cuplikan syair di bawah ini.
Pukul anam nyang pagi-pagi,
Datang samua bala kompani;
Dari Senen dan Meester lagi,
Tambur dan musik pada berbunyi.
Bala itu sepanjang jalan,
Di bariskan ada dengan aturan;
Prenta itu dengan kabetulan,
Samua ada dalam pelajaran.
Barisan kampung dengan tumbaknya,
Tuan assistent ada kommandannya;
Di Mangga besar betul jambatannya,
Di situ mulai sambungannya.
Mayoor, kaptein dan luitenan cina,
Samua bangsanya baris di sana;
Kaiya, miskin dan nyang terhina,
Hormat nyang patut dengan samporna.
Di ujung barisan cina ini,
Soldadu policie satu kompani,
Dapat prenta biar begini,
Sapanjang barisan di sambungi.
Barisan slam dari kampung-kampung,
Pegang tumbak tida bertudung;
Ada nyang pendek ada nyang jankung,
Tetapi hatinya terlalu bingung.25
Informasi mengenai suasana dan situasi di sepotong daerah di Jakarta di masa
lalu seperti terungkap dari syair ini, sangat mungkin tampil dengan lebih hidup dan

25 Marcus A.S. dan Benedanto, loc.cit., h. 6-7.

9

nyata dibandingkan dengan pemaparan historis yang mungkin saja mendetail tetapi
kekurangan energi yang imajinatif.
/5/
Dengan pembahasan yang ala kadarnya dan belum menyinggung banyak karya
sastra yang pernah terbit pada masa kolonial ini, utamanya karya-karya sebelum Balai
Pustaka, dapat disimpulkan bahwa karya-karya sastra—khususnya yang dapat
dikategorikan sebagai karya sastra populer, secara tidak langsung telah mampu
berperan sebagai semacam pendokumentasi atau perekam dinamika suatu zaman
tanpa pretensi bagi beban semacam itu. Karya-karya populer mampu berperanan
seperti itu karena tuntutan pembaca yang mengharapkan adanya sarana untuk
“melarikan diri” maupun untuk “mengaktualisasi diri” di tengah situasi zaman atau
kehidupan yang barangkali saja penuh dengan tekanan dan dan beban.
Karya-karya Hilman Hariwijaya atau Marga T., contoh untuk karya-karya tahun
1970-an sampai dewasa ini, mempunyai peranan yang sama pula dengan karya-karya
di masa kolonial itu. Dengan membaca serial Lupus karya Hilman Hariwijaya,
misalnya, secara tidak langsung pembaca diajak untuk menyimpan serpihan-serpihan
kenangan atau kehidupan yang sangat mungkin tidak sempat direkam oleh risalah
sosiologi atau antropologi karena signifikansinya yang dianggap rendah dari kaca
mata keilmuan. Hal yang sama terjadi pula pada karya-karya yang dibahas ini;
pembaca memperoleh banyak nuansa masa lalu yang terkonstruksi baik melalui
kisahannya maupun melalui pemakaian bahasa yang secara diam-diam telah
menyimpan anasir dokumentasi meski tanpa disadari, oleh diksi, kalimat, maupun
imaji yang ada.
Namun bagaimanapun, tetap harus kita ingat dengan baik, bahwa karya sastra
tetap saja karya fiksi. Dengan pengertian lain, karya sastra pun tidak selayaknya
dibebani dengan peran yang memang bukan porsinya dan tidak perlu diposisikan
sebagai sumber data atau sumber sejarah, melainkan hanya sebuah indikator yang
akan menuntun pembaca kepada suatu pemahaman masa yang telah lewat secara lebih
holistik atau menyeluruh. Dengan menempatkan karya sastra sebagaimana mestinya,
kita sesungguhnya telah bertindak dewasa dan intelek dalam bersikap. Semoga.***
Depok, Oktober 2004

10