Serie Kuliah Sejarah Pemikiran ekonomi

©MTZ-II/4A/ 2014

Seri Kuliah Sejarah Pemikiran

APAKAH SEJARAH PEMIKIRAN ?
Oleh Mestika Zed [[email protected]]
Universitas Negeri Padang

1. Pengertian
Pelbagai istilah tentang sejarah pemikiran dalam bahasa Barat.
 Sejarawan Amerika dan Eropa menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk
menyebut sejarah pemikiran. American Historical Association misalnya, yaitu
suatu organisasi profesi sejarawan Amerika menggunakan istilah lain untuk
sejarah pemikiran, yaitu “sejarah kebudayaan” (Cultural Historical) atau “Sejarah
Ide-ide Sosial” (The social ideas).
 Para sejarawan Eropa menyebut istilah yang berbeda-beda:
― Bhs Jerman ideen-geschichte atau Geistesgeschichte (Sejarah Ide-ide),
― Bhs Belanda dengan Beschavingsgeschiedenis (Sejarah Peradaban),
― Bhs Perancis Histoire de la Panse dan
― di Indonesia umumnya sejarah pemikiran sebagai salah satu cabang studi
sejarah yang relatif baru diperkenalkan diperguruan tinggi yang seringkali juga

disebut dengan Sejarah Intelektual (Intellectual History).
Walaupun istilah sejarah pemikiran mempunyai penekanan arti yang berbeda-beda
menurut tradisi akademik dimasing-masing negara, namun para ahli umumnya sepakat
dalam satu hal, bahwa sejarah pemikiran atau sejarah intelektual selalu mengacu pada
data sejarah yang berkenaan dengan kegiatan fikiran manusia sebagai salah satu
kekuatan sentral dalam perubahan sejarah dari masa ke masa. Ringkasnya sejarah
pemikiran seperti yang dikatakan oleh Barnes (1963 : 295) ialah:
“A review of the transformations of ideas, beliefs, and opinions held by intellectual
classes to primitive times to our own…” (Suatu tinjauan tentang transformasi –
perubahan -- gagasan, kepercayaan, dan pemikiran yang dihasilkan oleh kelas
intelektual dari masa lampau sampai ke masa kita sekarang…).

1

Meskipun terdapat nuansa arti yang relatif berbeda-beda, seperti yang dirinci oleh
Ankersmit,1 sejarah pemikiran dalam arti luas mencakup telaahan tentang
(a). Fenomena sejarah pemikiran manusia yang dihasilkan oleh tokoh pemikir dalam
berbagai bidang tertentu, baik filosof, seniman, penulis, politisi, maupun ilmuwan,
yang mewariskan karya intelektual mereka dalam berbagai bidang baik ilmu
teoritis, maupun praktis;

(b). Telaahan tentang pengaruh pelbagai bidang hasil pemikiran mereka terhadap
kehidupan ummat manusia pada masanya atau periode kemudian seperti ideologi
(Marxisme), teori ilmu (Adam Smith, Newton dan lainlian).
(c). Telaahan tentang bagaimana penyebaran dan pengaruh pemikir-an dalam sejarah
dan dampaknya terhadap faktor-faktor non-intelektual, atau hal-hal yang bersifat
kondisional. Misalnya dapam Iptek terhadap pengangguran, atau mengubah gaya
hidup manusia; dampak revolusi hijau terhadap pola pertanian tradisional.
Untuk lebih jelasnya baiklah saya berikan contoh sederhana berikut ini, dengan
mengambil ilustrasi dari hasil pemikiran Karl Marx (118-1883). Gagasan pemikiran tokoh
ini muncul pada saat Eropa dilanda revousi industri yang menjalar dari Inggris sekitar
pergantian abad ke 18/19. Pemikiran Karl Marx atau Marxisme telah sangat
mempengaruhi terjadinya perubahan-perubahan besar dalam sejarah umat manusia
kemudian, setidaknya dalam batas waktu tertentu, baik pemikiran teoretis-ilmiah,
maupun sebagai gerakan pemikiran untuk perubahan sosial-politik. Latar belakang
pemikiran Marx tercipta dari situasi transisi besar akibat dari revolusi industry, sehingga
menimbulkan dampak urbanisasi, pengangguran dan kuasa kaum pemodal atau
kapitalis. Marxisme lalu melakukan pemberontakan pemikiran mennetang gejala yang
sedang terjadi seraya menawarkan gagasan pemikiran alternatif untuk memecahkan
masalah-masalah sosial, khususnya pembelaannya terhadap kaum tertindas (proletar)
dengan menggunakan metode perjuangan mereka (class struggle) melalui gerkangerakan politik dan idiologis (komunis) dan perubhan-perubahan radikal melalui caracara revolusi. Marxisme dengan cepat tersebar ke hamper seluruh penjuru dunia dan

selanjutnya ikut menciptakan polarisasi dunia kedalam dua kutup idiologis: blok timur
yang beraliran komunisme dan blok barat yang beraliran kapitalisme. (Ingat dewasa ini
berakhirnya perang dingin antara blok kapitalis dan nlok komunis antara Barat dan
Timur menandai kejatuhan Marxisme).
Model di atas juga dapat digunakan untuk pembahasan hasil-hasil pemikiran besar
lainnya baik yang muncul sebelum abad ke-19 ataupun periode abad ke-20 kemudian,
yang bukan yang bukan hanya melulu terbatas pada sejarah dunia Barat (Oksidental)
melainkan juga didunia Timur (Oriental). Bentuk-bentuk pemikiran yang lain, apakah itu
berupa penemuan ilmu dan teknologi, ataupun gagasan social yang merubah dunia,
biasanya akan menjadi perhatian sejarah pemikiran dengan secukupnya. Tentu saja
perlu diperingatkan, bahwa bidang garapan sejarah pemikiran, sebagaimana yang akan
dibahas pada fasal tersendiri dibelakang nanti ternyata jauh lebih luas dari pada sekedar
membahas hasil pemikiran idiologis, tetapi juga tidak hanya berkenaan dengan “sejarah
ilmu pengetahuan dan teknologi” (Iptek) dan gagasan social “baru” seperti emansipasi
1

2

wanita dan seterusnya. Gandi dari India misalnya, bukanlah seorang ilmuwan; ia juga
bukan seorang politikus, tetapi gagasannya adalah tentang perjuangan melawan

kolonialisme Inggris dinegerinya melalui gerakan non-violence (Perjuangan Tanpa
Kekerasan), atau juga dikenal dengan Gandiisme ternyata berpengaruh besar di dunia.
Demikian juga dengan geakan “Emansipasi Wanita”, meskipun bukan formula keilmuan,
dan juga bukan gerakan politik, tetapi hanya pembaruan social, seperti yang dikenal
lewat sejarah perjuangan kartini dalam sejarah Indonesia melalui pendidikan kaum
wanita. Gerakan wanita semacam ini sesungguhnya dapat dimasukkan kedalam bidang
garapan sejarah pemikiran. Untuk lebih jelasnya marilah kita mencoba merumuskan
pokok-pokok persoalan (subject mater) yang menjadi ruang lingkup sejarah pemikiran.
2. Ruang Ligkup
Untuk mengenali ruang lingkup sejarah pemikiran secara lebih khusus, marilah kita
ajukan pertanyaan umum berikut ini; Apakah persamaa dan perbedaan antara kajian
sejarah pemikiran dengan kajian sejarah yang lain? Seperti halnya dengan bidangbidang studi sejarah yang lain, apakah itu sejarah politik, sejarah social dan ekonomi,
sejarah pendidikan dan seterusnya, maka sejarah pamikiranjuga sama-sama tertarik
kepada realitas kehidupan manusia di masa lampau. Bedanya yang utama, seperti yang
telah disinggung diatas adalah, bahwa sejarah pemikiran atau sejarah pemikiran lebih
terpumpun (terfokus) kepada data pemikiran manusia itu sendiri. Lebih jauh perbedaan
sejarah pemikiran dengan bidang-bidang studi sejarah yang lain itu, kiranya dapat
dirinci sebagai berikut.
Pertama, jika sejarah pemikiran lebih menekankan dimensi hasil pemikiran individual
atau kelompok, bidang-bidang sejarah yang lain tertuju kepada pembahasan peristiwaperistiwa dan/atau kegiatan manusia dimasa lampau baik individual maupun kelompok

serta saling hubungan antara tindakan dan kelembagaan yang berkaitan dengan
peristawa-peristiwa atau prilaku di bidang masing-masing, apakah dibidang politik,
ekonomi, kebudayaan dan seterusnya. Kedua, Sejarah pemikiran cendrung berkaitan
dengan gejala pemikiran atau kegiatan dan/atau hasil pemikiran tokoh pemikir secara
individual dan akibatnya terhadap orang banyak atau dampak yang menimbulkan
perubahan sejarah dalam arti luas. Bidang-bidang sejarah yang lain sebaliknya tidak
terbatas kepada fakta-fakta peristiwa yang bersifat fisik dan individual, tetapi seringkali
berbicara tentang perkembangan sezaman.
Ketiga, Sejarah pemikiran sebenarnya mencakup dimensi pemikiran dari bidang-bidang
sejarah apapun juga (termasuk pemikiran dibidang politik, ekonomi, social, budaya,
pendidikan dalam arti luas). Dengan begitu, maka pokok pembahasan sejarah pemikiran
sesungguhnya jauh lebih luas dari pada bidang sejarah yang lain, yang hanya terbatas
pada salah satu aspek sejarah sezaman. Sejarah berbagai macam aliran pemikiran atau
isme-isme besar yang dikenal luasdidunia, hanyalah merupakan salah satu aspek yang
menjadi perhatian dari sejarah pemikiran, demikian juga dengan sejarah iptek juga
merupakan suatu bagian saja dari pembahasan sejarah pemikiran. Jika demikian,
sejarah pemikiran.
3. Beberapa Contoh Model Terkemuka

3


Dilihat dari tingkat pemikirannya dan ciri-ciri khas dari isi sejarah pemikiran dalam tahap
tertentu, para ahli telah membuatkan system klasifikasi yang berbeda-beda berdasarkan
kategori-kategori tertentu. Berikut ini akan dikemukakan tiga kategori umum yang pernah
berkembang dalam sejarah pemikiran.
1. Model Comte (Hukum Tiga Zaman a la Comte)
Model Comte berasal dari pemikiran filosof Prancis August Comte (1798-1853). Meskipun
lebih dikenal sebagai “Bapak Sosiologi”, Comte, seperti juga para sosiolog abad ke-19
umumnya sangat dekat dengan studi sejarah. Berdasarkan kajian sejarah totalitas (atau
sejarah global), Comte mengajukan tiga tahap evolusi pemikiran (intelektual) manusia
sebagaimana tercemin dalam skema berikut ini :
Skema Comte
Tahap Sejarah
Pemikiran

Intellectual

Material
Form


Basic Social
Unit

1. Zaman Kuno

Theological

Military

Family

2. Zaman Tengah

Methaphisical

Legalistic

State

Industrial


Humanity

3. Zaman Modern Positivistic

Basic Moral
Sentiment
Attachment
(kasih sayang)
Veneration
(rasa hormat)
Benovalence
(Kebajikan).

Keterangan
1. Tahap pertama (zaman kuno) adalah suatu tahap di mana pemikiran manusia
dikuasai oleh ide tentang dewa-dewa seperti yang terdapat dalm ajaran politeisme
pada kebudayaan Yunani kuno, atau zaman abad pertengahan, ketika Eropa dkuasai
oleh gereja atau ajaran Nasrani. Tidak mengherankan, bahwa dalam semua lapangan
kehidupan Yunani ada dewanya, dewa hujan, dewa cinta, dewa seks, hujan, dan

seterusnya. Demikian juga dengan abad pertengahan, kekuasaan gereja atau
pendeta tidak hanya berkaitan dengan urusan keagamaan, tetapi juga politik,
kebudayaan dan sebagainya. Pada tahap ini, segala sesuatu harus dikembalikan
kepada “tafsiran agama” terhadap setiap masalah hidup dan kehidupan manusia.
2. Tahap Kedua (Abad Tengah) bersifat metafisis (harfiah “meta”= di luar, “pisis” = pisik,
atau benda), jadi di luar alam nyata, mirip dengan tahap pertama, tetapi pada tahap
ini otoritas pikiran manusia sudah mendapat tempat yang lebih maju. Hanya saja
pemikiran manusia pada tingkat ini masih dikuasai oleh pemikiran spekulatif, artinya
ide-ide besar tentang dunia dan “kemajuan” berdasarkan kekuatan renungan
pemikiran semata dan sulit diuji dengan kenyataan empiric. Bila aspek materil pada
tahap teologis mengandalkan kekuatan militer atau keunggulan fisik seperti gaya
Sparta dan Romawi kuno. Pada tahap metafisik fungsi hukum sudah mendapat
tempat yang semakin luas. Contoh-contoh pemikiran spekulatif ini juga tumbuh
subur dalam kisah dewa-dewa Yunani, tetapi kecendrungan ini semakin berkembang
dalam bentuk kekuatan penalaran seperti yang tampak dalam perkembangan

4

sebelum abad ke-19. gejala ini biasanya menjadi bidang perhatian filsafat sejarah
spekulatif.

3. Tahap Ketiga (zaman modern) ialah pemikiran positivistic, yaitu suatu tahap dimana
corak pemikiran manusia sudah memasuki dunia “modern”. Pemikiran modern bagi
Comte adalah pemikiran intelektual yang diidentikkan dengan ilmu alam, atau
matematis (Comte sendiri aslinya adalah seorang matematikus). Karena itu pada
zamannya, Comte dikenal sebagai salah seorang pembela pandanan pemikiran
“ilmiah”, yang yang menurutnya harus didasarkan pada metode ilmu-ilmu alam.
Segala sesuatu yang tidak dapat diterangkan berdasarkan ilmu alam bukan ilmiah.
Karena itu, untuk mengangkat “harkat” sosiologi sebagai suatu disiplin yang ilmiah,
Comte lalu memperjuangkan agar disiplin itu beda dengan disiplin sejarah, misalnya,
mengikuti kaedah-kaedah ilmu alam. Apakah Comte nantinya berhasil atau tidak,
sejarah perkembangan abad ke-19 menunjukkan bahw nyatanya selalu saja terdapat
perdebatan pro dan kontra terhadap pemikiran positivistic a la Comte, dan
pengaruhnya bahkan masih dirasakan sampai saat ini. Yang jelas, cirri lain
kemoderenan menurut kategori Comte ditandai oleh kemajuan industri, perhatian
terhadap kemajuan dan kebajikan umat manusia berkat penemuan-penemuan iptek.
Skema Comte di atas, tentu saja sangat bersifat Eropasentrisme, karena kalau
dihubungkan dengan sejarah belahan dunia lain, fase perkembangan itu tidak lagi dapat
dicocokkan begitu saja. Sebabnya antara lain adalah, bahwa setiap bangsa dan
kebudayaan di dunia mengalami zaman dan bentuk yan berbeda-beda. Seirng dengan
penlaran ini, maka setiap bangsa memiliki perkembangan sejarahnya sendiri-sendiri.

Namun untuk sekedar memperlihatkan kapan sebetulnya fase-fase tersebut realitas
sejarahnya pernah berkembang, marilah kita lihat kategori pembabakan waktu atau
periodesasi sejarah Eropa sebagaimana diajukan oleh sejarawan Arnold Toynbee.
Agaknya kita bisa menyebutnya kategori Toynbee sebagaimana yang ayan dijelaskan
berikut ini.
2. Model Toynbee (Jatuh-Bangun Kebudayaan Besar).
Model Toynbee dikembangkan atas dasar klasifikasi perkembangan kebudayaan yang
pernah berkembang di dunia. Selama Enam Ribu Tahun pernah berkenbang sekitar 21
kebudayaan, sebagaian sudah punah dan sebagian masih bertahan dan diataranya yang
paling unggul ialah kebudayaan barat yang bercirikan unsure Latin-Kristen. Dalam sejarah
Eropa, orang biasanya mengenal formula “triple periodesasi” sejarah sebagai berikut;
Kuno (yaitu kebudayaan Helenik)+Abad Pertengahan (Medieval)+Modern. Tetapi
menurut Toynbee periode seperti itu bisa menyesatkan, karena system kategorinya tidak
seragam. Atas dasar itu ia lalu memperkenalkan formula berikut; “Kuno” + Barat (Abad
Pertengahan dan Modern). Kebudayaan Yunani Kuno (Helenik) sudah mati sejak tahun
675, dan kemudian digantikan oleh kebudayaan Barat (Western) yang bercirikan LatinKristen (Toynbee, 1957: 39). Inilah klasifikasi yang diajukannya :
Barat I
“Abad Gelap”
(675 – 1075)
Barat II
“Abad Pertengahan” (1075 – 1475)
Barat III
“Zaman Modern”
(1475 – 1875)
Barat IV
Dua Prang Dunia
(Abad ke-20)

5

3. Model Arthur Lovejoy (Kategori Ide atau Gagasan)
Sebagai bagian dari sejarah “intelektual” tetapi dengan sedikit perbedaan dengannya
(lihat catatan kaki no. 1), sejarah ide-ide menaruh perhatian kepada genesis ide-ide atau
gagasan “dari dalam dan bukan “dari luar”, seperti yang ditekankan dalam sejarah
intelektual. Karena itu bukan pengaruhnya terhadap yang lain, melainkan bagaimana
suatu ide tertentu berkembang dari abad ke abad, bagaimana ia menyesuaikan diri dan
memperoleh bentuk dalam berbagai keadaan sejarah tanpa kehilangan identitasnya yang
asli sehingga kita dapat mengenalnya kembali baik secara etomologis maupun semantic.
Yang dimaksud dengan ide di sini ialah semacam “konsep” (pengertian kata tertentu)
dalam kehidupan sehari-hari atau dalam dunia ilmu pengetahuan, seperti konsep Tuhan,
alam, negara dan seterusnya. Sebagai konsep, gagasan biasanya merupakan pernyataanpernyataan singkat yang bertalian dengan pengertian tertentu. Contoh terkenal
mengenai telahaan sejarah ide-ide dikemukakan oleh Arthur Lovejoy dalam bukunya, The
Great Chain of Being (1936). Ide yang diteliti oleh Lovejoy ialah konsep atau pemikiran
berdasarkan klasifikasi rangkaian ide-de (cluster of idea). Disini kita berhadapan dengan
apa yang dinamakan kartografi ide-ide, di mana dalam kenyataan, suatu ide bisa
dianalisis menurut unsur-unsurnya yang logis dan teratur, lalu dilacak melalui pemikiranpemikiran tokoh atau kebudayaan tertentu. Lovejoy dalam hal ini memberikan contoh
yang baik mengenai metode ini dengan mencoba merangkai ide-ide yang kompleks dan
sangat umum pada masa tertentu. Tugas utamanya dalam hal ini ialah menganalisis
unsur-unsur gagasan yang kemudian terangkai ke dalam rangkaian gagasan yang
dimengerti seperti ide-ide tentang “alam”, “akal” (reason) dan “romantik” sebagaimana
yang dicobakannya melalui telahaan pikiran Plato, Nicolas dari Kusa (?), Giordano Bruno,
Spinoza Leibniz. Ternyata hasil temuannya mengenai rangkaian gagasan itu memainkan
peranan yang tak terduga dalam sejarah alam pemikiran Barat (Smit, 1987:304).
Contoh lain yang dapat dijumpai dalam karya Frederick Meinecke, Die Idee der Staatrason
(1924). Dalam bukunya ini, Meinecke melukiskan secara amat mengesankan dan kadangkadang mengharukan sekali tentang konflik kekuasaan dan etika dalam pandangan
Mechiavelli sampai abad ke-19. Di Indonesia contoh serupa tentang ide-ide ini mungkin
bisa ditemukan dalam karya R. B. O Anderson berjudul “The Idea of Power in Javanese
Culture”, dalam Claire Holt (ed), Culture and Politics in Indonesia(1972). Atau karya Van
Heine Goldren tentang konsep alam kosmos dalam system kerajaan-kerajaan di Asia
Tenggara (1981) dan mirip dengan ini ialah tulisan Sumarsaid Martono tentang model
“kerajaan tradisional” di Jawa. Juga masih sangat mungkin untuk melacak konsep
“merantau” dalam kebudayaan minangkabau, seperti halnya tentang gagasan tentang
perubahan nama-nama anak zaman kini, gagasan tanah, hutan, ekologi, dan seterusnya.
Konsep Modern dan Tradisional dalam Sejarah Pemikiran
Konsep “modern” dan “tradisional” dalam berbagai konteks adalah istilah yang netral.
Kata “moderen” itu sendiri — menurut kamus Oxford Dictionary — berarti yang
mutakhir, sesuatu yag baru, yang berlangsung “sekarang ini” (atau kontemporrer). Dalam
bahasa Inggris kata itu -- sebagaimana dapat dikutip dari kamus Webster New American
Dictionary (1947: 626) didefinisikan sebagai “pertaining to recent or present time”
(bagian atau berkenaan dengan masa sekarang atau masa kini). Kata “moderen”
6

seringkali dipertentangkan dengan kata “kuno” (ancient) atau “tradisional”. Namun
manusia selamanya hidup dalam masa sekarang. Oleh karena setiap “masa lampau”,
saam artinya dengan sesuatu yang telah berlalu. Bisa satu jam berselang atau satu
milenium lalu. Maka secara etimologis istilah “moderen” sesungguhnya bersifat relative.
Sesuatu yang moderen bisa menjadi usang, atau yang kuno bisa tetap bertahan dan
terpantul dalam kehidupan “moderen”. Secara akademik orang membangun karakteristik
atau ciri-cirinya.
Dengan kata lain, konsep moderen adalah konsep waktu, dan karena itu ia bukanlah
wujud yang tetap. Sebab pada prinsipnya manusia senantiasa hidup dalam zaman
“moderen”, meskipun mereka tak menyadarinya (Brinton, 1981:23). Sifat relatif dari
“kemoderenan” tercermin dari perkembangan kebudayaan manusia yang berbeda-beda
dari waktu ke waktu dan suatu tempat ke tempat lain. Yang lama digantikan oleh yang
baru, tetapi segala sesuatu yang “moderen” tidaklah selamanya mutlak “lebih maju” atau
“lebih baik”. Memang orang umumnya bisa sepakat, bahwa setiap yang “moderen” selalu
mengacu kepada suatu ciri utamanya ialah suatu cara hidup yang berlainan dengan cara
hidup generasi nenek moyang sebelumnya, dan mungkin sekali juga merupakan cara
hidup yang lebih baik dari yang newenk moyang kita. Namun itu tidak berarti, bahwa
sesuatu yang “moderen” mutlak “lebih maju”. Untuk lebih tuntasnya marilah kita
persoalkan kedua konsep “tradisional” dan “moderen” itu.
Konsep Tradisional.
Cukup banyak orang yang berpendapat, bahwa konsep “tradisional”, misalnya
“kebudayaan tradisional”, adalah lawan dari hal yang “tak tradisional” atau “moderen”.
Karena itu muncul pendirian, bahwa semua aspek dari masa lampau (atau sejarah)
dianggap “tradisional”; adakalanya patut dipertahankan atau sebaliknya harus
ditinggalkan. Misalnya, banyak sekali kebudayaan – di Indonesia atau di mana saja – dulu
adalah kebudayaan/ masyarakat yang didasarkan kepada ekonomi feudal dan malahan
bersifat menindas seperti perbudakan. Kalau begitu pantaslah feodalisme dihormati atau
dipertahankan karena feodalisme adalah bagian dari kebudayaan “tradisional” ?. Jelas
tidak. Sebab sekarang sudah ada nilai-nilai baru seperti kemanusiaan dan prinsip
demokratis yang menolong kita untuk menimbang-nimbang kembali struktur social
warisan masa lampau itu. Contoh lain yang lebih mengerikan misalnya banyak orang atau
anggota masyarakat dahulu membunuh atas dasar nilai sosial seperti; siri pada suku
Bugis, Sulawesi Selatan, atau atas dasar kepercayaan agama seperti yang berlaku dalam
kebanyakan suku di Irian Jaya. Jelas praktek tersebut sekarang dianggap kurang
“beradab” sudah ditiadakan.
Contoh-contoh lain bisa dimunculkan dalam deretan panjang, tetapi contoh di atas
kiranya bisa menyadarkan kita bahwa istilah “tradisional” kecuali kurang tepat, juga bisa
mengacaukan dan tidak menolong. Boleh jadi penggunaan istilah “tradisional” *tampa
tanda petik] dapat disalahgunakan untuk merasionalisasikan semua tindakan yang mau
mempertahankan atau sebaliknya dimusnahkan untuk kepentingan seseorang otau
kelompok. Umpamanya bila seorang Ibu rumah tangga yang melayani suami atau urusan
keluarga dirumah misalnya adalah bagian dari kebudayaan “tradisional” yang harus
dihormati dan patut dipertahankan, bahkan perlu diwariskan agar anak wanita mereka
melakukan hal yang sama setelah berumah tangga nanti. Akibatnya banyak kaum pria,
bahkan juga kaum wanita sendiri, yang menganggap bahwa “tugas” wanita semacam itu
7

adalah suatu hal “pokok” sesuai dengan norma kebiasaan “yang tradisional”. Dengan
begitu kaum pria memiliki jaminan kedudukan yang lebih tinggi dalam tatanan
masyarakat tersebut.
Sudah pasti, bahwa semua masyarakat selalu dalam perubahan terus menerus dan
sejalan dengan itu kebudayaan akan terus bergeser, mengalami pembaharuan; artinya
“pemodrenan”. Yang “tradisional” sekarang ini, dahulunya adalah “moderen”, dan yang
“moderen” sekarang atau “tradisional” kurang menolong dalam menjelaskan realitas
kehidupan.
Konsep Moderen.
Sebaliknya kerancuan dalam pengertian istilah “moderen” dapat membawa implikasi
yang sama seperti penggunaan istilah “tradisional”. Bila semua yang berbau “tradisional”
harus dicap “kuno” dan karena itu patut ditinggalkan atau dimusnahkan sehingga
memperoleh cap baru, “moderen”. Dalam kehidupan kita dewasa ini, istilah “moderen”
seringkali diidentikkan dengan pengaruh “Barat”, dan ia dipakai untuk merasionalkan
perkembangan system kapitalisme dalam semua aspek kehidupan masyarakat. Contoh
yang paling gambling dalam hal ini ialah lewat iklan: lebih “moderen” minum Coca Cola
ketimbang air jeruk yang dibikin sendiri. Di kampung-kampung di daerah kita sejak satu
dasawarsa terakhir ini, tidak lagi aneh kalau orang menyaksikan tetamu dihari lebaran,
disuguhkan dengan minuman limon, sirup atau Coca Cola sebagai citra “moderen” suatu
keluarga. Belakagan juga “air mineral’. Orang merasa lebih modern dan ebih praktis pakai
air mineral dalam hampir setiap kesempatan.
Orang merasa lebih “moderen” kalau para eksekutif pakai dasi; para salesman pakai dasi
untuk menciptakan kesan lebih “modern. Lebih “moderen” menghuni rumah yang
dibangun dengan semen dan ber-A.C daripada menempati rumah kayu atau yang dibuat
dengan bahan alami dengan arsitektur lama yang disejukan dengan angin alami dan
naungan pepohon atau bunga alami, dan bukan platik dan seterusnya.
Contoh serupa juga bisa dideretkan lebih panjang lagi, tetapi kiranya dapat disimpulkan,
bahwwa “lebih moderen” dalam semua contoh kasus di atas mengandung arti, bahwa
kini orang sedang digiring ke ekonomi uang, semakin bergantung kepada transaksi jualbeli barang dan jasa. Latar belakang ini, sebagaimana disinggung di atas, diwarnai oleh
nafas ideologis, bahwa negri-negri barat atau kapitalis adalah paling “maju” dalam segala
hal dan di seluruh dunia. Negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, dipaksa meniru
semua aspek kehidupan negara “maju” kalau mereka mau dianggap “moderen”. Maka
tidaklah heran, bahwa sebatang tubuh kita, dari rambut sampai ke ujung kaki, yang
diperlengkapi dengan produksi negara maju dan semakin mahal harganya semakin
bergengsi, walaupun belum tentu kualitas dalam arti sesunggungnya baik atau teruji.
Akhirnya marilah saya ringkaskan tentang apa yang hendak dicapai dari uraian dikotomi
“tradisional” dan “moderen”. Ada dua kelompok dalam masyarakat di mana yang satu
lebih gandrung dari yang lain untuk mempertahankan atau menghancurkan setiap yang
“tradisional”. Jadi yang pertama, mereka yang ingin mempertahankan seluruh aspek
kehidupan mas lalu dengan anggapan bahwa yang “tradisional” adalah “baik”. Kedua,
merupakan kelompok yang sangat mengandrungi sikap “moderen” karena jalur berpikir
ini begitu meyakinkan mereka untuk memberi jalan ke suatu masa depan yang sangat
“maju”.
8

Lalu bagaimana sebaiknya cara penyelesaian kedua sikap dikhotomis ini?. Kesulitan untuk
membedakan yang “tradisional” dan yang “tidak tradisional” agaknya dapat diatasi,
antara lain dengan membedakan unsure-unsur yang seharusnya dianggap “utama” atau
“pokok” dari warisan masa lampau. Lebih bermanfaat kiranya memikirkan kembali latar
belakang situasi yang dimaksud dengan istilah tersebut. Uraian di atas sudah berusaha
menjelaskan konsep, kategori dan ruang lingkup persoalan yang bertalian dengan
penggunaan kedua istilah itu dan secara lebih khusus dalam hubungannya dengan sejarah
pemikiran. Dengan kata lain, orang tidak mungkin berpikir hitam-putih begitu saja, karena
dalam setiap hal yang “tradisional” dan yang “moderen” senantiasa terdapat segi-segi
yang jelek dan yang bermanfaat, negative dan positif. Jadi dalam kekacauan pemakaian
istilah itu “tradisional” dan “moderen” diperlukan pedoman atau acuan yang mampu
menjadi kompas menuju jalan keluar yang lebih tepat. Sesungguhnyalah, bahwa mata
kuliah SPM ini dirancang untuk mencapai tujuan ke arah itu. Marilah kita ikuti argument
berikut ini.
4. Mengapa Belajar SPM?
Terlepas dari tujuan kurikuler, atau keharusan mahasiswa untuk mengambil mata kuliah
ini, manfaat yang bisa diharapkan dari materi kuliah SPM setidaknya mencakup beberapa
aspek berikut ini.
1. Asumsi dasar dari setiap proses belajar -- dalam bidang disiplin apa pun juga, termasuk
SPM -- ialah pengenalan dan pengayaan informasi keilmuan dibidangnya, di samping
pembentukan sikap dan keterampilan untuk mengembangkan sendiri pengetahuan
ilmiah yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hubungan ini, mata
kuliah SPM secara umum bertujuan untuk memberikan pengetahuan, suasana dan
bahan-bahan yang relevan dengan materi kuliah SPM (lihat kembali syllabus SPM).
Dengan mempelajari sejarah pemikiran, khususnya sejarah pemikiran moderen (SPM),
mahasiswa mampu memahami dan menganalisis setiap bahan-bahan yang berkenaan
dengan mata kuliah SPM. Karena itu, mahasiswa dituntut untuk bersifat kritis guna
membuka mata hati mereka agar tidak lagi “menjadi katak di bawah tempurung”
dalam disiplin utama yang mereka ambil. Dalam ilmu sejarah ada semacam keyakinan
ilmiah, bahwa realitas hidup manusia pada masa sekarang ini tidak terlepas dari atau
berkaitan erat dengan kenyataan yang sebelumnya. Aritinya dengan sejarah. Oleh
karena realitas kekinian kita adalah perpanjangan dan sekaligus perpanjangan dari
pengalaman sejarah sebelumnya, maka tidak ada jalan lain untuk pemahaman yang
lebih baik dan akurat tentang persoalan-persoalan masa kini, kecuali lewat
pengalaman yang empiric telah terjadi, yaitu studi sejarah. Disadari atau tidak, realitas
hidup kita dewasa ini (apa pun bidangnya) telah diciptakan oleh kekuatan-kekuatan
dan sekaligus kelemahan-kelemahan yang sudah terbentuk sebelumnya. Maka sejalan
dengan asumsi itu tak seorang pun dari kita yang terlepas dari realitas masa lalunya,
yaitu realitas sejarah yang berproses sebelumnya, baik pilihan-pilihan yang
dilakukannya, maupun prilaku dan pola pikir atau cara pandang kita dalam melihat
dunia sekitarnya.
Dalam kaitannya dengan manfaat perkuliahan SPM khususnya, mahasiswa diharapkan
semakin menyadari arti penting pemikiran dalam pembentukan realitas hidup
manusia, baik di masa lampau maupun masa sekarang dan yang akan datang. Salah

9

satu alasannya, ialah, bahwa struktur-struktur dalam alam pikiran manusia sering kali
bertahan lebih lama dari pada sekedar kegiatan atau kejadian-kejadian dalam strukturstruktur politik dan social ekonomi dan sebagainya. Dengan kata lain, eksistensi
kekuatan pemikiran lebih “abadi” ketimbang perbuatan-perbuatan dan bangunanbangunan pisik. Inilah alas an pertama. Sekedar contoh misalnya sejarah VOC, yaitu
serikat dagang Belanda yang pernah besar di Indonesia selama tiga abad itu (abad ke16 s.d. abad ke-18) masih bisa dilihat dampaknya. Pengurus VOC, kapal-kapal VOC dan
gudang-gudangnya telah hancur dimakan zaman sejalan dengan perputaran waktu,
tetapi bahwa ide “monopoli” yang ditelorkan oleh sejarah VOC ternyata tetap saja
berlanjut, bahkan sampai pada masa sekarang. Dalam hubungan ini, tegasnya dalam
hubungan dengan sejarah pemikiran, pertanyaan terpenting ialah apakah pengertian
monopoli, bagaimana itu dilakukan, siapa yang diuntungkan atau sebaliknya siapa
yang dirugikan?. Apa pengaruhnya?, dst. Sudah barang tentu terdapat bentuk-bentuk
variable tetap dan yang berubah; artinya masalah yang masih tetap berlanjuat
(kontinuitas) dan yang mengalami perubahan (diskontinuitas). Hal yang sama juga
berlaku untuk setiap gagasan-gagasan ideologis, atau isme-isme yang lain, yang
ternyata amat besar pengaruhnya dalam sejarah umat manusia, baik yang diciptakan
oleh seorang tokoh, seperti Karl Marx dengan Marxismenya, atau sejarah bersama
seperti nasionalisme, kapitalisme dst.
2. Alasan kedua, berkaitan dengan di atas ialah, bahwa kekuatan pemikiran itu ternyata
secara langsung atau tidak langsung mampu mempengaruhi perbuatan manusia
daripada struktur-struktur kelembagaan yang bersifat pisik. Dalam hal ini misalnya,
meskipun di Indonesia kita sudah memiliki banyak lembaga universitas, tetapi cara
berpikir dan sikap masyarakat kampus masih berada dalam “sawah”; artinya belum
lagi sesuai dengan ide atau gagasan tentang apa itu universitas sebagaimana
dimaksudkan dalam proses penciptaan sejarahnya masa lalu. Mungkin berlebihan,
tetapi kiranya cukup beralasan, bahwa tampa sejarah pemikiran, setiap hari kita
agaknya akan terancam “bahaya”, diperdaya oleh orang-orang yang tak pernah
mengenal sejarah, khususnya sejarah pemikiran, yang tidak jarang memuji atau
mengemukakan sesuatu sebagai hal yang “baru” terhadap apa yang sudah diketahui
atau berlaku dalam sejarah masa lampau. Sekedar contoh nyata misalnya, seorang
pejabat penting di sebuah instansi transmigrasi dan tenaga kerja Sumatera Barat barubaru ini pernah mengusulkan agar program transmigrasi hendaknya
mempertimbangkan masalah kemiskinan (Singgalang, 15 Oktober 1993). Ia keliru atau
mungkin tolol karena buta sejarah. Sebab program transmigrasi yang mulai
dikembangkan pemerintah colonial sejak awal abad ini, justru bertolak dari ide
tentang kemiskinan masyarakat Jawa dan upaya pemecahannya melalui pemindahan
penduduk pulau itu ke Sumatera.
3. Akhirnya alasan ketiga ialah bahwa semua kita hendaknya menyadari betul yang
berikut ini. Bahwa kita mempelajari pemikiran di masa lampau dengan harapan agar
pemahaman sejarah yang benar semestinya ada gunanya bagi orientasi masa kini dan
yang akan datang. Meskipun setiap orang yang mempelajari sejarah biasanya menaruh
harapan demikian, tetapi yang paling banyak memenuhi harapan itu ialah telaahan
sejarah pemikiran, khususnya sejarah pemikiran moderen. Kinipun Machiaveli,
Hobbes, Locke, Rousseau dan sejumlah pemikiran dari Dunia Timur (seperti Ibn
Khaldun, Ghandi, dan/ atau pemikiran Cina, bahkan juga sejarah pemikiran Indonesia)
masih tetap dibaca, tidak hanya sekedar hasrat orang ingin mengetahui kembali
10

pandangan-pandangan pemikiran mereka itu dengan seteliti mungkin, melainkan juga
karena jawaban-jawaban yang mereka berikan terhadap permasalahan zaman mereka
masih tetap ada harganya untuk dipertimbangkan, bahkan masih tetap relevan untuk
saat sekarang. Sebab dalam system-sistem pemikiran mereka itu sering terdapat
sebuah unsure universal sehingga walaupun sudah ratusan tahun sejak ia diciptakan,
system pemikiran mereka masih merupakan titik pangkal yang berguna, malahan
mutlak perlu untuk diperhatikan dalam diskusi-diskusi mengenai realitas hari ini dan
masa depan. Di Indonesia misalnya, gagasan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 serta wawasan Nusantara adalah contoh nyata yang membuktikan betapa
gagasan pemikiran nenek moyang sebelumnya masih tetap menjadi acuan kita di masa
sekarang. ***

BAHAN RUJUKAN
Ankersmits, Refleksi Tentang Sejarah [terjemahan dari bhs. Belanda oleh Dick Hartoko]
(Jakarta: LP3ES, 1987).
Arnold J. Toynbee, The Study of History, [abridgement 6 Volume by D. C. Somervell]
(Oxford University Press, 1957).
Arthur Lovejoy, The Great Chain of being (1936).
Crene Brinton, Pembentukan Pemikiran Moderen, Edisi Terjemahan (Jakarta: Mutiara,
1981).
E.E.G. Vermeulen, Waarden en Geschiedenis (Assen: van Gorcum, 1978).
Harry E. Barnes, An Intellectual and Cultural History of the Western World (New York:
Reynald & Hitchock, 1937).
Isaac Deutscher, Ironie van de Geschiedenis (Haarlem: B. V. Bussum, 1979).
Jose Ortega Y Gasset, History as A System (New York: W.W.Norton an Co. Inc., 1961).
Louis Cottschalk (ed.), The Foundation of the Modern World, Vil-1 (London: Unwin
Brothers Ltd.,1969).
Michel Foucault, The Archeology of Knowledge [translated from the French by
A.M.Sheridan Smith] (London: Tavistock Publication, 1974).
R.B.O. Anderson berjudul “The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam Clare Holt
(ed.), Culture andPolitics in Indonesia (1972).

11