Full Prosiding Semnas Psi UMK 2015.174 190

IDENTIFIKASI STRESOR MAHASISWA UNIVERSITAS MURIA KUDUS

Fajar Kawuryan
Fakultas Psikologi, Universitas Muria Kudus
fajrihidayat_ok@yahoo.com

Rr. Dwi Astuti
Fakultas Psikologi, Universitas Muria Kudus
wiwik.psi@gmail.com

Abstrak
Stres adalah pengalaman emosional negatif yang disertai perubahan reaksi
biokimiawi, fisiologis, kognitif, dan perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau
menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres. Mahasiswa sebagai
individu tak lepas dari stres, karena stres merupakan bagian kehidupan manusia,
namun individu dapat mengalami masalah fisik, psikologis, sosial dan perilaku jika
tidak mampu mengatasi stres yang dialaminya. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui penyebab stres pada mahasiswa Universitas Muria Kudus. Sampel
diambil sejumlah 120 mahasiswa dari semua fakultas, yaitu Fakultas Ekonomi,
Hukum, Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Teknik, Agroteknologi, dan Psikologi yang
teridentifikasi mengalami stres. Data diambil dengan angket. Hasil angket dianalisis

dengan statistika deskriptif berupa diagram. Berdasarkan data yang terkumpul
teridentifikasi bahwa tingkat stres mahasiswa cenderung ringan sedang. Stresor
psikologis dirasakan sebagai penyebab stres yang terbesar. Stresor fisik yang paling
banyak dirasakan mahasiswa adalah kondisi fisik yang lemah dan mudah lelah.
Stresor psikologis yang paling banyak dirasakan mahasiswa adalah kecemasan tidak
dapat menyelesaikan tugas-tugas kuliah, sedangkan stresor sosial budaya yang
paling banya dirasakan mahasiswa adalah konflik dengan teman dekat/lawan jenis.
Efek stres yang paling banyak dirasakan mahasiswa adalah sakit kepala.
Kata kunci: stres, stresor, mahasiswa

Kegembiraan adalah hal yang semakin lama semakin dirasa sulit dijumpai
dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak yang berusia di bawah lima tahun sudah
harus dapat membaca, menulis, dan berhitung sederhana sebelum masuk SD. Anakanak SD dan SMP harus dapat meraih nilai yang terbaik dari setiap mata pelajaran
yang mereka ambil dan memiliki sertifikat kejuaraan agar dapat diterima di SMA
favoritnya. Siswa SMA harus mempersiapkan diri dengan berbagai macam
bimbingan belajar agar dapat masuk di fakultas dan perguruan tinggi idamannya.
Mahasiswa yang secara usia lebih matang dibanding ketika SD, SMP, dan SMA

173
Seminar Nasional Educational Wellbeing


ternyata juga masih banyak mengalami tekanan kaitannya dengan tugas menuntut
ilmunya, disamping masalah-masalah kehidupan yang lain.
Berdasarkan wawancara penulis secara acak dengan 15 orang mahasiswa di
perguruan tinggi tempat penulis bekerja, semuanya terindikasi mengalami stres.
Para mahasiswa tersebut mengaku, ada yang dirasa membebani pikiran dan
perasaannya ketika banyak tugas kuliah belum diselesaikan, keluarga bermasalah,
berkonflik dengan teman dekatnya, trauma akibat mengalami peristiwa yang tidak
diinginkan, tunggakan SPP yang belum bisa dilunasi, dan membagi waktu antara
kuliah dan kerja. Mahasiswa mengeluh kepala pusing, sulit berkonsentrasi, malas
beraktifitas, cepat lelah, dan mengalami gangguan pencernaan ketika merasa stres.
Beberapa diantaranya mengalami penurunan cukup signifikan dalam prestasi
belajarnya dan menarik diri dari pergaulan (Wawancara, 3 Desember 2013).
Pada sebagian remaja, hambatan-hambatan dalam kehidupan mereka akan
sangat mengganggu kesehatan fisik dan emosi, motivasi menjadi rendah berkaitan
dengan semakin banyak tuntutan untuk sukses di sekolah. Masalah-masalah yang
banyak dialami remaja tersebut merupakan manifestasi dari stres (Karlina, 2010).
Berbagai macam hal dapat dialami manusia akibat pengelolaan stres yang
kurang tepat, seperti insomnia, depresi, kebosanan, kinerja yang buruk, pusing,
gangguan pencernaan, hubungan yang kurang harmonis dengan orang-orang di

sekitarnya, usus buntu, serangan jantung, kanker, kerusakan saraf, dan mungkin
kecemasan yang tidak pernah ada akhirnya sehingga memicu individu untuk
melakukan bunuh diri. Hal ini tentu saja tidak hanya merugikan individu, tetapi juga
merugikan orang-orang lain di sekitarnya; misalnya lingkungan keluarga, kerja,
sekolah, dan masyarakat (Looker dan Gregson, 2005).
Dalam tinjauan psikologi, stres diartikan sebagai suatu keadaan psikologis
dimana seseorang merasa tertekan karena persoalan yang dihadapi. Persoalan yang
berkepanjangan tanpa ada suatu penyelesaian yang jelas dapat menjadi tekanan
psikologis dan tekanan ini dapat mengganggu fungsi psikologis seseorang secara
umum. Taylor (Durand dan Barlow, 2006) mendefinisikan stres sebagai pengalaman
emosional negatif disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif dan
perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau menyesuaikan diri terhadap situasi
yang menyebabkan stres.
Beberapa orang tidak menyadari ketika dirinya sedang mengalami stres,
individu hanya merasa pusing, cepat lelah, dan staminanya menurun. Hal ini justru
berbahaya, karena jika tidak segera dilakukan mekanisme penyesuaian diri yang
tepat

untuk


menyelesaikan

stressor

(penyebab

stres),

maka

stres

yang

berkepanjangan dapat menjadi ‘bom waktu’ yang suatu saat dapat membuat individu
174
Seminar Nasional Educational Wellbeing

mengalami gangguan mental yang lebih berat. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan Daradjat (2006) bahwa kecemasan yang berat dan berlangsung lama

akan menurunkan kemampuan dan efisiensi seseorang dalam menjalankan fungsifungsi hidupnya dan pada akhirnya dapat menimbulkan berbagai macam gangguan
jiwa.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan pentingnya mahasiswa
menyadari stres yang dialami. Mengingat stres dapat menjadi salah satu
penghambat pencapaian prestasi bidang akademik dan non akademik pada
mahasiswa, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Identifikasi Stressor Mahasiswa” dengan rumusan masalah “Seberapa tinggikah
tingkat stres mahasiswa, apa saja yang menyebabkan mahasiswa mengalami stres,
dan dampak apa yang ditimbulkan dari stres yang dialami tersebut ?“
Stres didefinisikan sebagai

sebuah keadaan yang kita alami ketika ada

sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan
untuk

mengatasinya.

Stres


adalah

keseimbangan

antara

bagaimana

kita

memandang bahwa kita dapat mengatasi semua tuntutan yang menentukan apakah
kita tidak merasakan stres, merasakan distres, atau eustres (Looker dan Gregson,
2005). Senada dengan pendapat tersebut, Gmelch dan Burns (1994) menyatakan
stres adalah hasil interpretasi individu terhadap stimulus dan hal-hal lain di
lingkungan mereka.
Stres adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses
berfikir, dan kondisi seseorang (Handoko, 1997). Fieldman (2012) mendefinisikan
stres adalah suatu proses yang menilai peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam,
menantang, ataupun membahayakan dan individu merespon peritiwa itu pada level
fisiologis, emosional, kognitif, dan perilaku. Peristiwa yang memunculkan stres dapat

positif (misalnya : mempersiapkan pernikahan) atau negatif (misalnya : kematian
anggota keluarga). Sesuatu dirasakan sebagai peristiwa yang menekan atau tidak
tergantung pada respon yang diberikan individu.
Taylor (2003) mendeskripsikan stres sebagai pengalaman emosional negatif
disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif dan perilaku yang bertujuan
untuk mengubah atau menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres.
Senada dengan dua pendapat tersebut, Arumwardhani (2011) menyatakan stres
adalah tekanan yang dialami individu dalam usaha pencapaian target terhadap
standar pemenuhan kebutuhan hidup manusia.

Lazarus dan Folkman (1986)

mendefinisikan stres sebagai keadaan internal yang diakibatkan oleh tuntutan fisik
dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan,
tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya.
175
Seminar Nasional Educational Wellbeing

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa stres adalah
pengalaman emosional negatif disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis,

kognitif, dan perilaku yang muncul berkaitan dengan tidak terpenuhinya tuntutan
pemenuhan kebutuhan hidup dan bertujuan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi
yang menyebabkan stres (stresor).
Stresor adalah faktor-faktor yang dapat menimbulkan stres. Secara umum,
Prawirohusodo (1988) menggolongkan stresor dalam tiga golongan, yaitu :
a. Stresor fisik-biologik, misalnya : kondisi dingin, panas, infeksi, rasa nyeri,
pukulan
b. Stresor psikologis, misalnya : perasaan takut, khawatir, cemas, marah, kecewa,
kesepian, jatuh cinta
c.

Stresor sosial budaya, misalnya : menganggur, perceraian, perselisihan, kondisi
ekonomi yang tidak stabil, keamanan yang rawan
Lazarus dan Folkman (1986) membagi stresor menjadi tiga jenis, yaitu :

a. Fisik
b. Lingkungan sosial
c.

Pikiran dan perasaan individu yang dianggap sebagai ancaman

Menurut Looker dan Gregson (2005), beberapa hal yang dapat menyebabkan

stres adalah :
1. Tipe kepribadian; orang-orang bertipe kepribadian A bertempur dengan gigih
untuk mencapai dan mempertahankan kendali dan ketika mereka merasa
sedang tertantang atau terancam. Setiap kali orang-orang tipe A merasa
terancam dan tertantang, mereka secara otomatis memicu respons stress untuk
bereaksi.
2. Peristiwa-peristiwa dalam kehidupan; yaitu krisis-krisis yang terjadi dalam
sepanjang hidup manusia, misalnya sakit dan luka pada diri, keluarga, dan
teman, perceraian, masalah dengan anak, kesulitan keuangan, masalah
pekerjaan, pindah rumah baru, ganti pekerjaan, anak-anak yang mulai sekolah,
anak-anak yang meninggalkan kita untuk berumahtangga.
3. Situasi keluarga, sosial, dan kerja; banyak orang mendapati bahwa sebagian
besar distress dalam hidupnya timbul dari hubungannya dengan orang lain, baik
dalam keluarga, lingkungan sosial, maupun tempat kerja. Misalnya : masalah
dengan pasangan hidup, dengan anak-anak, dengan teman, dengan tetangga,
dengan bos, ataupun sesama rekan kerja.

176

Seminar Nasional Educational Wellbeing

Secara lebih spesifik, stresor menurut Maramis, dkk. (1980) dibagi dalam
empat bentuk, yaitu :
1. Krisis; adalah perubahan/peristiwa yang timbul mendadak dan menggoncangkan
keseimbangan jiwa seseorang di luar jangkauan daya penyesuaian sehari-hari.
Misalnya krisis di bidang usaha, kematian, masuk kerja untuk pertama kali,
bencana alam, usaha yang maju terlalu cepat, secara tak terduga mendapat
undian hadiah besar, perceraian, di-PHK oleh tempat kerja
2. Frustrasi; adalah kegagalan dalam usaha pemuasan kebutuhan-kebutuhan,
dorongan naluri, sehingga menimbulkan kekecewaan. Frustrasi timbul jika niat
atau usaha seseorang terhalang oleh rintangan-rintangan (dari luar diri individu,
misalnya : kelaparan, kematian, musim kering dan dari dalam diri individu,
misalnya : kelelahan, cacat mental, rasa rendah diri) yang menghambat
kemajuan cita-cita yang hendak dicapainya
3. Konflik; adalah pertentangan antara dua keinginan/kekuatan yaitu kekuatan yang
mendorong naluri dan kekuatan yang mengendalikan dorongan-dorongan naluri
tersebut. Konflik terjadi jika individu tidak dapat memilih salah satu diantara dua
atau lebih kebutuhan atau tujuan.
4. Tekanan

Stres dapat timbul dari tekanan yang berhubungan dengan tanggung jawab yang
harus ditanggungnya (dari dalam diri sendiri, misalnya : cita-cita, sedangkan dari
luar diri, misalnya : istri yang terlalu menuntut banyak uang dari suami, orangtua
yang menuntut anaknya berprestasi, beban kerja)
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi stres (stersor) adalah kondisi fisik-biologik, kondisi
psikologis, dan kondisi sosial budaya individu.
Looker dan Gregson (2005) menyatakan tanda-tanda orang yang mengalami
stres, adalah :
a. Tanda-tanda fisik :
1.

Jantung berdebar-debar

2.

Sesak nafas, gumpalan lendir di tenggorokan, napas pendek dan cepat

3.

Mulut kering, gangguan pencernaan

4.

Diare, sembelit, perut kembung

5.

Ketegangan otot secara keseluruhan, khususnya rahang dan gigi

6.

Gelisah, hiperaktif, menggigit kuku, meremas-remas tangan

7.

Lelah, capek, lesu, sulit tidur, sedih, sakit kepala, sering flu

8.

Berkeringat khususnya di telapak tangan, merasa gerah
177
Seminar Nasional Educational Wellbeing

9.

Sering buang air kecil

10. Makan berlebihan, hilang selera makan, beberapa makin banyak merokok
dan mengkonsumsi alkohol
11. Kurang bergairah
b. Sedangkan gejala mental adalah :
1.

Cemas, kecewa, menangis, rendah diri, putus asa, gelisah, depresi

2.

Tidak sabar, mudah tersinggung, marah, melawan, dan agresi

3.

Frustrasi, bosan, merasa tertolak, terabaikan, tidak aman, rentan

4.

Hilang kepedulian pada penampilan diri, kesehatan, makanan, seks, harga
diri rendah, hilang ketertarikan pada orang lain

5.

Tergesa-gesa, mengerjakan banyak hal sekaligus

6.

Gagal menyelesaikan satu tugas sebelum beralih ke tugas berikutnya

7.

Sulit berfikir jernih, konsentrasi dan membuat keputusan, pelupa, kurang
kreatif, irasional, menunda-nunda pekerjaan, sulit memulai pekerjaan

8.

Rentan membuat kesalahan dan melakukan kecelakaan

9.

Tidak fleksibel, over-reaktif, tidak produktif, dan efisiensi buruk
Taylor (2003) menyatakan tanda-tanda atau gejala stres adalah :

1. Aspek emosional, meliputi : merasa cemas, merasa ketakutan, merasa mudah
marah, merasa suka murung, dan merasa tidak mampu menanggulangi
2. Aspek kognitif, meliputi : penghargaan atas diri rendah, takut gagal, tidak mampu
berkonsentrasi, mudah bertindak memalukan, khawatir akan masa depannya,
mudah lupa, dan emosi tidak stabil
3. Aspek perilaku sosial, meliputi : jika berbicara gagap atau gugup dan kesukaran
bicara lainnya, enggan bekerja sama, tidak mampu relaks, menangis tanpa
sebab yang jelas, bertindak impulsif atau bertindak sesuka hati, mudah kaget
atau terkejut, menggertakkan gigi, frekuensi merokok meningkat, penggunaan
obet-obatan dan alkohol meningkat, mudah mengalami kecelakaan, dan
kehilangan nafsu makan/makan berlebihan
4. Aspek fisiologis, meliputi : berkeringat, detak jantung meningkat, menggigil atau
gemetaran, gelisah atau gugup, mulut dan kerongkongan kering, mudah letih,
sering

buang

air

kecil,

bermasalah

tidur,

diare/ketidaksanggupan

mencerna/muntah, perut melilit atau sembelit, sakit kepala, tekanan darah tinggi,
sakit leher, dan sakit punggung bawah

178
Seminar Nasional Educational Wellbeing

Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan ciri-ciri
individu yang stres adalah mengalami masalah pada aspek emosional, kognitif,
perilaku sosial, dan fisiologisnya.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi stresor pada mahasiswa.
Metode Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Muria Kudus
yang terklasifikasi dalam enam fakultas, yaitu mahasiswa Fakultas Ekonomi,
Fakultas Hukum, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Fakultas Teknik, Fakultas
Agroteknologi, dan Fakultas Psikologi yang teridentifikasi mengalami stres.
Penelitian ini menggunakan instrumen pengumpulan data berupa angket,
yaitu angket tingkat stres dan angket stresor mahasiswa. Angket dibuat berdasarkan
kebutuhan data yang akan dieksplorasikan dalam penelitian, yaitu mengidentifikasi
tingkat stres mahasiswa dan mengungkap penyebab stres pada mahasiswa. Angket
bersifat terbuka dan tertutup.
Angket identifikasi stres yang dipakai dalam penelitian ini adalah adaptasi
DASS (Depression, Anxiety, and Stress Scales) dari Ilmuwan Melbourne University;
Lovibond, S.H dan Lovibon, P.F. Sedangkan untuk identifikasi stresor dibuat angket
berdasarkan jenis-jenis stresor dari Prawirohusodo (1988), yaitu stresor fisik-biologik,
psikologis, dan sosial budaya.
Pemilihan responden dalam penelitian ini menggunakan teknik quota
sampling, yaitu memilih 120 mahasiswa dari enam fakultas yang ada di Universitas
Muria Kudus, masing-masing 20 mahasiswa dari Fakultas Ekonomi, Hukum,
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Teknik, Agroteknologi, dan Psikologi.
Data-data yang terkumpul dari responden akan dilakukan penyuntingan
(editing), pengkodean (coding), kemudian ditabulasi. Data deskriptif yang didapat
dari penelitian ini akan dianalisis dengan analisis statistika deskriptif berupa diagram.
Hasil Penelitian
Kategorisasi Stres Mahasiswa
Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan terhadap angket yang
disebarkan kepada 120 mahasiswa dari enam fakultas yaitu Fakultas Ekonomi,
Hukum, Teknik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Agroteknologi, dan
Psikologi Universitas Muria Kudus teridentifikasi bahwa 44 mahasiswa (37%)
mengalami stres ringan, 38 mahasiswa (32%) mengalami stres dalam tingkat
sedang, 33 mahasiswa (27%) mengalami stres dalam tingkat berat, dan lima

179
Seminar Nasional Educational Wellbeing

mahasiswa (4%) mengalami stres sangat berat. Hal ini dapat terlihat dari Diagram 1
berikut.

Diagram 1. Kategorisasi tingkatan stres yang dialami mahasiswa
B. Stresor Fisik-Biologis Mahasiswa
Hasil angket stres mahasiswa yang disebabkan karena faktor fisik-biologis :
25 mahasiswa (21%) menderita stres disebabkan sakit yang diderita, 53 mahasiswa
(44%) karena kondisi fisik yang lemah sehingga mudah lelah dan kurang stamina, 13
mahasiswa (11%) stres disebabkan kondisi fisik yang kurang sempurna, 11
mahasiswa (9%) mudah tertular penyakit, dan 18 mahasiswa (15%) mengalami stres
disebabkan faktor fisik-biologis lain seperti merasa memiliki penampilan yang kurang
menarik (memiliki wajah, warna kulit, tinggi badan, serta berat badan yang kurang
ideal). Rekap hasil stresor fisik-biologis dapat dilihat dalam Diagram 2 berikut.

180
Seminar Nasional Educational Wellbeing

Diagram 2. Sebaran faktor-faktor yang menjadi stresor fisik biologis yang dirasakan
mahasiswa
Stresor Psikologis
Berkaitan dengan faktor psikologis, hasil angket berkaitan dengan kondisi
psikologis yang menyebabkan mahasiswa merasa tertekan adalah kecemasan tidak
dapat menyelesaikan tugas-tugas kuliah dialami 38 mahasiswa (32%), kecemasan
dan kekecewaan berkaitan dengan masalah percintaan (cinta bertepuk sebelah
tangan, takut diputus pacar) dialami sebanyak 16 mahasiswa (13%), kecemasan
berkaitan dengan memiliki pengalaman traumatis dialami 25 mahasiswa (21%),
amarah yang tidak tersalurkan dialami 26 mahasiswa (22%), dan stres yang
disebabkan faktor psikologis lainnya (cemas menghadapi ujian akhir semester dan
skripsi, tertekan karena sering dibully teman, stres disebabkan masalah yang tidak
terselesaikan, tuntutan lingkungan yang tidak sesuai kemampuan, dan masalah
pribadi yang tak kunjung selesai) sebanyak 15 mahasiswa (12 %). Hal ini dapat
dilihat dalam Diagram 3 berikut ini.

181
Seminar Nasional Educational Wellbeing

Diagram 3. Sebaran faktor-faktor yang menjadi stressor psikologis yang dialami
mahasiswa
Stresor Sosial Budaya
Berdasarkan angket, faktor sosial budaya yang menyebabkan mahasiswa
mengalami stres adalah : konflik dengan teman dekat (sahabat, pacar) dialami 56
mahasiswa (47%), konflik dengan keluarga dialami 28 mahasiswa (23%) meliputi
orangtua yang ingin memaksakan kehendak ke anak, perceraian orangtua, dan
orangtua yang kurang perhatian ke anak, sedangkan stres disebabkan sakit yang
diderita salah satu anggota keluarga dirasakan 13 mahasiswa (11%), konflik di
tempat kerja termasuk beban kerja yang berat, masalah dengan rekan kerja,
masalah membagi waktu kerja dengan kuliah dialami 9 mahasiswa (7%), sedangkan
faktor sosial budaya lain yaitu tidak mampu mengikuti tren masa kini sebanyak 14
mahasiswa (12%). Rekap dapat dilihat pada Diagram 4 berikut ini.

182
Seminar Nasional Educational Wellbeing

Diagram 4. Sebaran faktor-faktor yang menjadi stressor sosial budaya yang dialami
mahasiswa
Urutan Stresor
Diantara ketiga faktor penyebab stres, maka sebanyak 73 mahasiswa (61%)
menyatakan faktor psikologis sebagai faktor dominan pemicu stres disusul kondisi
fisik-biologis sebesar 22% (27 mahasiswa), dan faktor sosial budaya sebesar 17%
(20 mahasiswa).

Diagram 5. Prosentase Stressor Mahasiswa

Efek Stres Mahasiswa
Berdasarkan angket, teridentifikasi bahwa 13% (16 mahasiswa) mengalami
gangguan pencernaan, 47% (56 mahasiswa) mengalami sakit kepala, 3% (empat
mahasiswa) mengalami gangguan kulit, 8% (sembilan mahasiswa) mengalami
tekanan darah tinggi, 11% (13 mahasiswa) mengalami gangguan pernafasan, dan
18% (22 mahasiswa) mengalami gangguan yang lain, meliputi insomnia (tidak bisa
tidur), sulit berkonsentrasi, mudah cemas dan bingung, badan lemas, malas, jantung
berdebar-debar, menjadi lebih sensitif dan emosional, serta minder dengan lawan
jenis. Hal ini terlihat dalam Diagram 6 berikut ini.

183
Seminar Nasional Educational Wellbeing

Diagram 6. Efek dari stres yang dialami mahasiswa
Kesimpulan
Stres merupakan bagian yang normal dalam hidup dan tidak sepenuhnya
buruk. Misalnya, tanpa stres individu bisa jadi tidak cukup termotivasi untuk
menyelesaikan tanggung jawab yang harus ditunaikan. Meskipun demikian, tak
terpungkiri bahwa terlalu banyak stres dapat mempengaruhi kesehatan fisik ataupun
psikologis individu (Fieldman, 2012). Menurut Budiman (2002), stres merupakan
bagian kehidupan manusia, sehingga tidak perlu ditakuti dan dihindari. Setiap saat
stres dapat muncul dan mengganggu aktivitas kehidupan, untuk itu yang perlu
dikembangkan adalah kemampuan manusia dalam menghadapi berbagai masalah
sehingga dalam kehidupan didapat kebahagiaan dan kepuasan.
Adanya tingkat perbedaan stres mahasiswa dapat dijelaskan dengan
pendapat para ahli berikut. Menurut Lazarus & Folkman (1986) derajat suatu
peristiwa dapat dianggap sebagai stres berbeda antara satu orang dengan orang
lain. Artinya, orang memiliki perbedaan dalam tingkat mana mereka menilai peristiwa
yang sama sebagai dapat dikendalikan, dapat diprediksikan, dan menantang
kemampuan

dan

konsep

dirinya.

Sebagian

besar

penilaian

itulah

yang

mempengaruhi tingkat stres yang dirasakan dari suatu peristiwa. Jika individu
merasa dapat mengendalikan, memprediksi, dan beradaptasi dengan suatu peristiwa
yang terjadi dalam dirinya maka tingkat stres individu cenderung lebih rendah
dibandingkan dengan individu yang kurang mampu mengendalikan, memprediksi,
beradaptasi dengan peristiwa yang terjadi dalam kehidupan mereka.

184
Seminar Nasional Educational Wellbeing

Pendapat sedikit berbeda dikemukakan oleh Smet (1994), yaitu reaksi
terhadap stres bervariasi antara orang satu dengan yang lain dan dari waktu ke
waktu pada orang yang sama, karena pengaruh variabel-varibel sebagai berikut :
a. Kondisi individu,

seperti : umur, tahap perkembangan, jenis kelamin,

temperamen, inteligensi, tingkat pendidikan, kondisi fisik
b. Karakteristik kepribadian, seperti : introvert atau ekstrovert, stabilitas emosi
secara umum, ketabahan, locus of control
c.

Variabel sosial-kognitif, seperti ; dukungan sosial yang dirasakan, jaringan sosial

d. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima, integrasi
dalam jaringan sosial
e. Strategi coping.
Prawirohusodo (1988) menggolongkan kondisi dingin, panas, infeksi, rasa
nyeri, pukulan sebagai stresor fisik-biologik. Senada dengan pendapat di atas,
Ninggalih (2013) menyatakan kondisi lingkungan fisik, seperti: kebisingan, suhu yang
terlalu panas, kesesakan, angin badai, migrasi, dan kerugian akibat teknologi
modern seperti kecelakaan lalu lintas, bencana nuklir dapat dirasakan sebagai
stresor. Jadi dapat disimpulkan, stresor fisik dapat berasal dari diri individu sendiri
maupun dari lingkungan.
Holmes and Rahe Social Readjustment Rating Scale yang berisi daftar urutan
peristiwa-peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres, menempatkan faktor fisik
yaitu luka dan sakit yang diderita individu dalam skala 53 dari nilai skala tertinggi
(100), selain kehamilan dan masalah seksual (Holmes dan Rahe dalam Atkinson,
dkk., 1983). Berdasarkan hasil skala tersebut dapat dikatakan bahwa sebagai stresor
fisik, sakit yang diderita individu dirasakan cukup menimbulkan tekanan dalam hidup.
Hal ini menjelaskan hasil angket tentang stresor fisik-biologis mahasiswa.
Berkaitan dengan stresor psikologis terbanyak yang dialami mahasiswa
adalah kecemasan tidak maksimal mengerjakan tugas kuliah, emosi yang tidak
tersalurkan, kekecewaan dan pengalaman traumatis dapat dijelaskan dengan
pendapat para tokoh berikut. Faktor psikologis seperti negative thinking, sikap
permusuhan, iri hati, dendam, frustrasi, kegagalan, kekecewaan, dan sejenisnya
dapat menjadi stresor psikologis pada sebagian individu. Peristiwa kehidupan yang
dianggap paling menekan dalam Holmes and Rahe Social Readjustment Rating
Scale adalah kematian pasangan hidup (Atkinson, dkk., 1983). Jika dilihat sekilas,
nampaknya kematian pasangan hidup adalah stresor sosial, namun jika dilihat dari
dampaknya maka kematian pasangan hidup itu menjadi stresor psikologis. Hal ini
sesuai hasil penelitian Parkers, Benjamin, dan Fitzgerald (Atkinson, 1983) yang
185
Seminar Nasional Educational Wellbeing

menemukan bahwa kehilangan pasangan hidup menyebabkan para laki-laki yang
menjadi duda karena kematian pasangan hidupnya mengalami depresi sangat tinggi
dan berakibat kematian. Prawirohusodo (1988) menyatakan perasaan takut,
khawatir, cemas, marah, kecewa, kesepian, jatuh cinta dapat menjadi stresor
psikologis pada manusia.
Berkaitan dengan hasil angket tentang stresor sosial budaya pada
mahasiswa yang menempatkan konflik dengan teman dekat dan keluarga, rekan
kerja, serta tuntutan gaya hidup dapat dijelaskan dengan pendapat para ahli berikut
ini. Menurut Prawirohusodo (1988) menganggur, perceraian, perselisihan, kondisi
ekonomi yang tidak stabil, keamanan yang rawan dapat menjadi penyebab terjadinya
stres pada manusia. Holmes and Rahe Social Readjustment Rating Scale (Atkinson,
dkk., 1983) mencatat banyak peristiwa-peristiwa kehidupan yang berkaitan dengan
faktor sosial dan budaya sebagai penyebab stres, misalnya perceraian, kematian
orang dekat, masalah keluarga, masalah di tempat kerja, sekolah, tempat tinggal,
dan perubahan-perubahan aktivitas-aktivitas dalam keseharian.
Faktor psikologis menempati prosentase terbesar sebagai penyebab stres
bisa jadi karena faktor psikologis seringkali terjadi sebagai dampak dari stres fisikbiologik dan stres sosial budaya yang terjadi dalam kehidupan individu. Hal ini
terbukti dari hasil interview dengan responden, bahwa masalah penampilan dan
kondisi fisik dapat membuat mereka kurang percaya diri, masalah kondisi kesehatan
memicu kecemasan, masalah dengan keluarga, teman, rekan kerja dan tren gaya
hidup yang

materialistik dan hedonis memicu responden mengalami kesedihan,

kegelisahan, dan kurang motivasi/fokus.
Respon individu terhadap stres biasanya kompleks dan bervariasi, tergantung
pada stresornya, kapan waktunya, sifat orang yang mengalami stres, dan bagaimana
orang yang mengalami stres bereaksi terhadap stresornya (Pinel, 2009). Masalah
fisik yang dikenal sebagai gangguan psikofisiologis sering kali muncul atau
diperparah oleh stres yang dikenal dengan gangguan psikosomatis. Cohen, dkk
(Fieldman, 2012) menyatakan gangguan psikofisiologis yang umum bergerak dari
masalah-masalah besar seperti tekanan darah tinggi hingga kondisi yang tidak serius
seperti sakit kepala, sakit punggung, ruam kulit, masalah pencernaan, kelelahan, dan
konstipasi. Stres bahkan dikaitkan dengan penyakit flu.
Penelitian tentang hubungan antara variabel-variabel kejiwaan dan kesehatan
fisik telah menjadi bagian yang makin penting dalam riset antardisipliner. Alergi, sakit
kepala migrain, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, bisul dan bahkan jerawat
adalah penyakit yang diperkirakan berhubungan dengan stres emosional. Jika kerja
sistem saraf yang otomik yang menyiapkan seseorang untuk bertindak dalam
186
Seminar Nasional Educational Wellbeing

keadaan darurat diperpanjang, hal tersebut dapat menjurus ke arah kekacauan fisik
seperti bisul, tekanan darah tinggi, dan serangan jantung (Atkinson, dkk., 1983).
Lebih lanjut Atkison, dkk. (1983) menjelaskan bahwa stres yang gawat
(berlangsung melalui sistem urat saraf pusat untuk mengubah keseimbangan
hormon) dapat juga merusak respons daya tahan seseorang, mengurangi
kemampuan melawan bakteri dan virus-virus yang menyerang, sehingga sangat
tepat jika diperkirakan lebih dari 50% segala masalah kesehatan dipengaruhi oleh
stres emosional. Looker dan Gregson (2005) menyatakan berbagai macam hal dapat
dialami manusia akibat pengelolaan stres yang kurang tepat, seperti insomnia,
depresi, kebosanan, kinerja yang buruk, pusing, gangguan pencernaan, hubungan
yang kurang harmonis dengan orang-orang di sekitarnya, usus buntu, serangan
jantung, kanker, kerusakan saraf, dan mungkin kecemasan yang tidak pernah ada
akhirnya sehingga memicu individu untuk melakukan bunuh diri. Hal ini tentu saja
tidak hanya merugikan individu, tetapi juga merugikan orang-orang lain di sekitarnya;
misalnya lingkungan keluarga, kerja, sekolah, dan masyarakat
Hasil angket efek stres pada mahasiswa sesuai dengan penelitian American
Psychological Assosiation (APA) bahwa stres dapat berefek pada fisik, emosional,
dan perilaku individu. Efek stres pada fisik adalah sakit kepala, ketegangan/nyeri
otot, nyeri dada, kelelahan, perubahan dalam gairah seks, gangguan perut, dan
masalah tidur. Efek stres pada perasaan atau emosi adalah kekecewaan, gelisah,
kurang fokus dan kurang motivasi, lekas marah, dan kesedihan/depresi. Efek stres
pada perilaku adalah kurang nafsu makan atau sebaliknya makan berlebihan,
kemarahan yang meledak-ledak, penyalahgunaan obat atau alkohol, penarikan
sosial, dan merokok.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa mahasiswa rata-rata mengalami
stres dalam tingkat ringan sedang. Faktor psikologis dirasakan sebagai penyebab
stres yang paling dominan. Stresor fisik yang paling banyak dirasakan mahasiswa
adalah kondisi fisik yang lemah dan mudah lelah, stresor psikologis yang paling
banyak dirasakan mahasiswa adalah kecemasan tidak dapat menyelesaikan tugastugas kuliah, sedangkan stresor sosial budaya yang paling banyak dirasakan
mahasiswa adalah konflik dengan teman dekat dan lawan jenis. Efek stres yang
paling banyak dirasakan mahasiswa adalah sakit kepala.

187
Seminar Nasional Educational Wellbeing

Daftar Pustaka
Arumwardhani, A. 2011. Psikologi Kesehatan. Galangpress : Yogyakarta.
Atkinson, dkk. 1983. Pengantar Psikologi. Edisi Kedelapan. Terjemahan Nurdjannah
Taufiq dan Agus Dharma. Penerbit Erlangga : Jakarta
Daradjat, Z. 1995. Kesehatan Mental. Gunung Agung : Jakarta
Durand, V. M. Dan Barlow, D. H. 2006. Intisari Psikologi Abnormal. Edisi ke-4. Alih
Bahasa : Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta
Fieldman, R.S. 2012. Pengantar Psikologi. Penterjemah : Petty Gina Gayatri dan
Putri Nurdina Sofyan. Penerbit Salemba Humanika : Jakarta
Gmelch, W.H. dan Burns, J.S. 1994. Sources of Stress for Academic Department
Chairpersons. Journals of Educational Administration, Vol. 32, No. 1, Hlm. 7994
Handoko, T. H. 2001. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Edisi 2.
BPFE : Yogyakarta
Hutasoit, Diana Janice, 2014. Hubungan Kerdasan Emosional Dengan Tingkat Stres
Belajar Pada Mahasiswa Keperawatan Universitas Advent Indonesia
Bandung. Skripsi (tidak diterbitkan). Bandung: Universitas Advent Indonesia
Karlina, A. 2010. Pengertian Remaja. http://blog.com/2010/01/06. Diakses tanggal 7
Agustus 2014
Looker, T. Dan Gregson, O. 2005. Managing Stress. Alih Bahasa : Haris Setiawati.
Yogyakarta : Pustakabaca
Lazarus, R.S. dan Folkman, S. 1986. Stress, Appraisal, and Coping. New York :
Springer
Maramis, W. F., Harjono, M, dan Hoediasmoro, D. S. 1980. Ilmu Kedokteran Jiwa.
Surabaya: Lembaga Penerbitan Universitas Airlangga
Ninggalih, R. Rubrik Pendidikan : Majalah 1000 Guru.net. Juni 2013
Pinel, J. P. J., 2009. Biopsikologi. Edisi Ketujuh. Penterjemah : Helly Prajitno
Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto. Penerbit Pustaka Pelajar : Yogyakarta
Prawirohusodo, S. 1988. Stres dan Kecemasan. Kumpulan Makalah Simposium
Stres dan Kecemasan. Fakultas Kedokteran Jiwa, Fakultas Kedokteran:
Yogyakarta
Rathakrishnan, B. dan Ismail, R. 2009. Sumber Stres, Strategi Daya Tindak dan
Stres yang Dialami Pelajar di Universitas. Jurnal Kemanusiaan Vol. 13.
Selye, H. 1976. The Stress of Life. Vol. 5. McGraw-Hill : New York
188
Seminar Nasional Educational Wellbeing

Taylor, S. 2003. Health Psychology : International Edition. New York : McGraw Hill

189
Seminar Nasional Educational Wellbeing