VISI ANTROPOKOSMIK MEMBANGUN KERANGKA PR
VISI ANTROPOKOSMIK: MEMBANGUN KERANGKA PRINSIP TEORETIS AKUNTANSI
Yulis Diana Alfia1)
Iwan Triyuwono2)
Aji Dedi Mulawarman2)
1)
Universitas Mercu Buana, Jl. Meruya Selatan No. 1, Kembangan, Jakarta Barat, 11650
2)
Universitas Brawijaya Malang, Jl. Veteran, Malang, Jawa Timur
Surel: [email protected]
Abstrak: Visi Antropokosmik: Membangun Kerangka Prinsip Teoretis Akuntansi.
Peradaban modern yang dibangun sejak abad 17 – zaman pencerahan, tidak dapat
dilepaskan dari paradigma Cartesian-Newtonian. Pola pikir fragmentatif dan mekanistik
membawa pandangan ini pada pemisahan kesakralan alam dari manusia –
antroposentrisme. Ilmu pengetahuan berperan sebagai alat pencarian kekuasaan guna
mendominasi alam, yang mengidentifkasi kebenaran untuk kegunaan industrialisasi.
Berbicara dalam konteks sejarah perkembangan akuntansi modern, kita tidak bisa
melepaskan diri dari pathway perkembangan peradaban modern. Perkembangan the
natural philosophy pada masa abad pencerahan banyak memengaruhi pemikiranpemikiran ekonomi yang digunakan sebagai dasar asumsi akuntansi. Antroposentrisme
dalam akuntansi dapat dilihat dalam dua hal, yaitu kepemilikian kapital dan hubungan
keagenan. Akuntansi merupakan instrumen teknikal industrialisasi, yang mendukung
pertambahan kepemilikan dan penguasaan terhadap alam. Hubungan keagenan yang
termaktub dalam Agency Theory (AT) menempatkan asumsi dasar manusia sebagai rational
economic man yang mendorong terjadinya conflict of interest. Berdasarkan beberapa
diskursus, pandangan ini merupakan cikal bakal terjadinya berbagai macam problematika
peradaban modern. Pada sisi lain, teoretisasi akuntansi yang dikembangkan berdasarkan
AT juga telah mengalami perkembangan, yaitu Entity Theory, Stewardship Theory, dan
Enterprise Theory yang kemudian diadopsi dalam pengembangan akuntansi syariah
menjadi Sharia Enterprise Theory (SET). Adopsi ini membuktikan terjadinya hegemoni
cartesian-newtonian. Visi antropokosmik merupakan cara pandang yang memahami bahwa
manusia dan semesta sebagai sebuah kesatuan yang tunggal, keseluruhan yang
organismik, sebagai sebuah kesadaran spiritual. Visi antropokosmik merupakan cara
pandang yang ditawarkan sebagai alternatif pemikiran yang diharapkan dapat menjawab
persoalan antroposentrisme akuntansi. Berdasarkan pandangan tersebut, tulisan ini
bertujuan untuk mengembangkan kerangka prinsip teoretis akuntansi (syariah) sebagai
sebuah transisi teoretis. Prinsip flsafat hikmah Sadra dijadikan sebagai fundamen dalam
menderivasi visi antropokosmik, sebagai basis epistemik dalam gagasan teoretisnya.
Prinsip tersebut, antara lain: Prinsipalitas Wujud (Ashalat al-Wujud), Tasykik al-Wujud
(Gradasi Wujud), Gerak Transubstansial, dan hubungan subyek – obyek pengetahuan.
Hasil konstruksi ini melahirkan enam prinsip teoretis akuntansi, yaitu: Prinsip
Kesalinghubungan, Orientasi Proses, Metafsika, Perrenial Wisdom, Multi disiplin, dan
Sistem Moral Etik.
Kata kunci:
Antroposentris, Visi Antropokosmik, Hikmah Sadra, Kerangka Teoretis,
Prinsip-prinsip Akuntansi
Abstract: Anthropocosmic Vision: Building the Theoretical Framework of Accounting
Principles. Modern civilizations which was built starting the 17th century – the Age of
Rationalism, can not be separated from the Cartesian-Newtonian paradigm. Fragmented and
mechanistic mindset carries this view on the separation of the sanctity of nature from man anthropocentrism. Science serves as the search tool of power to dominate nature, which
identifies the truth for purposes of industrialization. Speaking in the context of the historical
development of modern accounting, we can not escape from the development of modern
civilization pathway. The development of the natural philosophy at the time of the
enlightenment age influenced economic thinking that is used as the basis of accounting
assumptions. Anthropocentrism in accounting can be viewed in two ways, that is the
ownership of capital and the agency relationship. Accounting is a technical instrument of
industrialization, which supports the growth of ownership and control over nature. Agency
relationship that contained in the Agency Theory (AT) puts the basic assumptions of human
beings as rational economic man that drives the conflict of interest. Based on some
discourses, this view is the embryo of diferent kinds of problems of modern civilization. On
the other hand, theorizing accounting that was developed based on AT also has been
progressing, that is Entity Theory, Stewardship Theory, and Enterprise Theory, which was
later adopted in the development of sharia accounting into the Sharia Enterprise Theory
(SET). This adoption is proving the hegemony of Cartesian-Newtonian. Anthropocosmic vision
is a worldview that understands that man and the universe as a single entity, the whole
which organismic, as a spiritual awareness. The anthropocosmic vision worldview ofered as
an alternative thinking that is expected to answer the question of anthropocentrism
accounting. Based on this view, this paper aims to develop a theoretical framework of
accounting principles (Sharia) as a theoretical transition. The principle of the Sadra’s
philosophy of wisdom serve as fundamental to derive the anthropocosmic vision, as epistemic
basis in theoretical ideas. These principles, among others: Principality of Existence (Ashalat
al-Wujud), Tasykik al-Wujud (Gradation of Existence), Transubstansial Motion, and
relationships subject - object of knowledge. The result of this reconstruction gave birth to six
theoretical accounting principles, that is: the Principle of Interrelationships, Process
Orientation, Metaphysics, Perrenial Wisdom, Multi-disciplinary, Ethical and Moral System.
Keywords: Anthropocentric, Anthropocosmic vision, Sadrian Wisdom, Theoretical Framework,
Accounting Principles
Pendahuluan: Diskursus Antroposentrisme dalam Akuntansi
Kita tidak bisa melepaskan peradaban modern yang dibangun sejak abad 17
(dengan penanda awalnya yaitu abad pencerahan) dengan pandangan cartesiannewtoniannya - yang terfragmentasi dan mekanistik. Heriyanto (2003) menyatakan bahwa
hegemoni pandangan ini tidak bisa lepas dari kenyataan sejarah peradaban modern yang
dibangun pada pondasi ontologi, kosmologi, epistemologi, dan metodologi yang dicetuskan
oleh dua tokoh penggerak modernisme, Rene Descartes dan Paul Isaac Newton. Pandangan
ini telah menginfltrasi peradaban modern melalui proses ekstensifkasi dan pervasif yang
sedemikian rupa, sehingga built-in pada pola pikir, sistem, dan segala dimensi kehidupan
(Heriyanto 2003). Dapat dikatakan pandangan dunia ini telah menjadi sebuah kesadaran
kolektif masyarakat modern, membentuk sebuah frame of reference baik dalam tatanan
teoretis keilmuan atau pun praktik (Nasr 1989). Pun demikian dengan akuntansi, di mana
hegemoni pandangan ini telah menjadi sebuah kesadaran genetis yang merasuki tubuh
akuntansi dan para akuntan dalam ngarai anonimitas. Berdasarkan beberapa diskursus,
pandangan ini merupakan cikal bakal terjadinya berbagai macam problematika peradaban
modern. Berkaitan dengan hal ini, Capra (2007) menyatakan bahwa keberadaan ini
merupakan sebuah krisis perspektif.
Berbicara dalam konteks sejarah perkembangan akuntansi modern, maka kita
tidak bisa melepaskan diri pada jalan (path way) perkembangan peradaban modern.
Karena pandangan dunia yang terbangun dan termapankan oleh status quo kekuasaan
dan ilmu pengetahuan modern inilah yang memengaruhi bentuk perkembangan akuntansi
dalam konteks periodisasi sejarah di mana ia tumbuh. Abad modern ditandai dengan
lahirnya scientific revolution pada abad 17, di mana Dollery, Jackson, dan Karayan (1996)
menyitir McCloskey (1986:6) bahwa ilmu pengetahuan modern menjanjikan bebas dari
keraguan, metafsika, moral, dan pendirian individu.
Terdapat sebuah perbedaan signifkan dalam melihat pengetahuan alam pada era
1700-an dengan era 1500-an, era materialisme, the secular age (Taylor 2007). Henry (2002)
dalam historiografnya menandai kemunculannya dengan doktrin Francis Bacon yang
menggantikan Aristotle’s Organon in His New Organon (1620); Galileo dengan tulisannya
Two New Science (1638); dan Copernican yang menemukan A New Astronomy (1609), yang
kemudian menjadi penempatan basis antroposentrisme (Heriyanto 2003). Terutama
keimanan Baconian dalam scientific knowledge dengan sikap pragmatis fungsionalisnya
(melalui pernikahan sains dan teknologi, penyatuan teoretis dan empiris pada natural
environment), mengidentifkasikan kebenaran dengan identifkasi kegunaan industrialisasi
(White 1976 dan Heriyanto 2003, lihat pula Wilson 1999). Nasr (1989) juga melukiskan
bahwa sains Bacon berperan sebagai pencarian kekuasaan guna mendominasi alam
(power to dominate over nature) dari pada memahami alam, yang berakibat pada
pemaksaan alam untuk memenuhi kebutuhan materialisme manusia. Henry (2002)
mengatakannya sebagai sebuah permasalahan whiggism.
Penandaannya – antroposentrisme - dalam akuntansi paling tidak bisa kita lihat
dalam dua hal, yaitu kepemilikian kapital dan hubungan keagenan. Menelusurinya dapat
dimulai dari pengembangan natural philosophy yang pada abad pencerahan, banyak
memengaruhi pemikiran-pemikiran ekonomi (klasik dan neo klasik), yang kemudian
banyak digunakan sebagai dasar asumsi dalam akuntansi (Sterling 1990). Yang paling
mengemuka di antaranya adalah pada asumsi dasar ekonomi tentang keterbatasan sumber
daya alam dan tindakan ekonomi, yang kemudian memunculkan doktrin akuntansi
“menekan biaya serendah-rendahnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya”.
Tindakan ekonomi yang terkerangka dalam cara Baconian berpikir yaitu bagaimana
melakukan penguasaan dan eksploitasi terhadap sumber daya alam (Capra 2004) dalam
rangka untuk memaksimalkan utility dan profitnya. Asumsi “maju” bagi masyarakat
modern menurut Heriyanto (2003) adalah pertambahan kepemilikan dan penguasaannya
terhadap alam - merupakan konsepsi pandangan natural philosophy cartesian newtonian yang mendorong pada pengembangan revolusi industri (industrialisasi) (Nasr 2005).
Sedangkan pada sisi akuntansi, Pollard (1965) seorang sejarawan ekonomi dan
bisnis menyatakan akan signifkansi akuntansi sebagai faktor kesuksesan bisnis dalam
revolusi industri (Carnigie, Napier, dan Parker 2014). Sejalan dengan hal ini, Chwastiak
dan Young (2003) menyatakan bahwa akuntansi merupakan instrumen teknikal penting
dalam mendukung pertambahan kepemilikan dan penguasaan terhadap alam.
“Maximize return to shareholders” menjadi esensi utama bisnis dan akuntansi, baik bagi
pemegang saham atau pun manajemen, hal ini terlihat jelas pada notasi-notasi akuntansi
seperti net income, revenue, expense, dan sebagainya (Kelly 2003).
Hubungan keagenan yang termaktub dalam Agency Theory (AT), Jensen dan
Meckling (1994a dan 1994b) menyatakan bahwa pada dasarnya AT adalah berkaitan
dengan pemahaman tentang human behaviour dalam konteks economic rational choice
sebagai penempatan konsep dasar the nature of man. Berdasarkan hal ini, maka self
interest merupakan pusat teoretisasi AT dengan bahasan agency problem yang
menimbulkan terjadinya agency cost dan mendorong terjadinya conflict of interest.
Bricker dan Chandar (1998) menelusuri perkembangan model agensi dalam capital market
yang digagas oleh Jensen dan Meckling (1976) merupakan hasil sintesis dari pemikiran
Berle dan Means (1932) dan Coase (1937 dan 1960) terutama tentang property rights
(Medema dan Zerbe 1999) dan literatur kontraktual. Terutama juga mengenai pemahaman
“firm” sebagai sebuah “a nexus contract” antara principle dan agent (lihat juga Coase 1937).
AT pada dasarnya merujuk pada teori expected utility (EU) Von Neumann dan
Morgenstern (Leonard 1995), di mana axioma intuitif EU adalah bahwa agent akan
berperilaku memaksimalkan expected value of utility function untuk tujuan kesejahteraan
(Von Neumann dan Morgenstern 1944). Bentuk fungsi utilitas kemudian merefeksikan
perilaku agent berdasarkan risiko dengan keputusan rasional. Bagi Neumann bentuk ini
merupakan fakta empiris di mana manusia secara umum menolak preferensi risiko.
Preferensi penolakan terhadap risiko ini pada dasarnya mengambil dasar asumsi dan cara
kerja Darwinisme, bertahan hidup, keunggulan spesies, dan berevolusi. Konstruksi AT
terbangun dari seperangkat teori pengambilan keputusan dan perilaku ekonomi yang
digagas oleh Morgenstern awal tahun 40-an (Kuhn 2004) yang dibangun pada pondasi
konstruksi game theory (minimax solution of zero-sum two-person games) dalam
mathematical foundations quantum mechanics. Pondasi ini diambil dari gagasan Von
Neumann yang dipublikasi pada 1928 (Nash 1953). Bahasan mengenai kapital dan
hubungan keagenan dalam akuntansi jelas menunjukkan pandangan dunia
antroposentris, yang terkerangka dari pandangan cartesian newtonian yang mekanistik,
deterministik, dan terfragmentasi.
Metodologi: Dasar-Dasar Pengembangan Visi Antropokosmik
Apa yang telah dilakukan pada pengembangan-pengembangan akuntansi
selanjutnya terutama pengembangan akuntansi syariah adalah dalam rangka mengkritisi
dan menggantikan paham antroposentrisnya. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa visi
Islam adalah membawa pesan rahmatan lil ‘alamin (Triyuwono 2012; 2013 dan
Mulawarman 2011). Berkaitan dengan hal ini, Triyuwono (2006; 2012) dengan kekhasan
manunggaling kawulo gusti, membawa isu epistemologi sinergi oposisi biner untuk
menggantikan pandangan dualitas single vision atas dominasi maskulin dalam akuntansi.
Mulawarman (2011) menawarkan kekhasan konsep tazkiyah dan zakka dengan cintanya.
Maka di sini kita akan berbicara mengenai visi antropokosmik sebagai usaha dan alternatif
pemikiran untuk menjawab beberapa celah epistemologis dalam pengembangan akuntansi
syariah (lihat pula kritik atas celah tujuan akuntansi syariah dalam Alfa, 2015).
Perjalanan historis dalam paparan awal pendahuluan, telah menempatkan wajah
akuntansi seperti yang kita lihat sekarang ini. Sebuah pandangan dunia yang
antroposentris dengan perspektif cara pandang yang mekanistik dengan pola bagianbagiannya yang terpecah-pecah (determinan). Hal ini tentunya memperlihatkan perbedaan
yang cukup signifkan atas apa yang akan kita bahas dalam visi antropokosmik berikut ini.
Bahwa keberagaman yang nampak dalam fenomena semesta, pada dasarnya memiliki
kesalinghubungan. Mengapa antropokosmik? Pandangan epistemologis ini ditujukan
untuk menjawab kegelisahan antroposentrisme dunia modern itu1. Antroposentrisme yang
melepaskan Tuhan dari dirinya, yang menjelajah semesta dengan congkak dan
keangkuhan untuk menguasai dan mengeksploitasinya.
Antropokosmik sendiri pada dasarnya merupakan pandangan Asia Timur yang khas
dengan corak dan keyakinan spiritualitasnya. Sebuah pandangan yang memahami bahwa
manusia dan semesta sebagai sebuah kesatuan yang tunggal, keseluruhan yang
1
Pandangan kritis ini dapat kita pelajari (ambil) dari ide yang digagas pula oleh Triyuwono
(2000; 2012) atau Mulawarman (2006; 2011).
organismik2. Chittick3 (2010) sendiri mengambil pengistilahan ini dari Tu Weiming seorang
profesor pengkaji Confusianis Cina. Weiming seperti dijelaskan Chittick (2010) menyatakan
bahwa antropokosmik merupakan pandangan yang melekat di Asia Timur dan pada
dasarnya tidak tergantikan oleh pandangan abad pencerahan (modern) yang melihat alam
sebagai konglomerasi objek-objek dan memahami pengetahuan sebagai alat untuk
mengontrol alam. Ketertarikannya pada visi antropokosmik sendiri adalah bertujuan untuk
belajar bagaimana menjadi manusia sejatinya, yaitu sebagai jalan untuk mengaktualisasi
kodrat sejati manusia sejak sebelum ia dihadirkan (lahir) di muka bumi.
Sedangkan Chittick sendiri yang berangkat dari pandangan tradisi hikmah Islam,
mencoba melakukan revisi atas terminologi ini. Chittick (2010) memandang bahwa
pandangan antropokosmik ini dapat digunakan untuk menjelaskan pandangan dunia
Islam secara umum dan tradisi intelektual secara khusus. Chittick (2010) menyatakan
bahwa hanya melalui para flsuf (ahli hikmah Islam)-lah maka pengembangan saintisme –
dalam pengertian dewasa ini – dilakukan, di mana pendekatan ini memberikan signifkansi
tentang “ada” dan “menjadi” tanpa mempertentangkan keyakinan dogma. Peletakan
terminologis ini berpusat pada penjelasannya akan keyakinan tauhid, sebagai dogma
pertama dan fundamental, yang tidak terkait dengan fakta-fakta sejarah kenabian dan AlQur’an. Dengan proses intelektual transendental, kita tidak bisa meragukan aksioma
universal dan ahistoris sebagai kepastian unik akan keyakinan jiwa (Chittick 2010).
Menurut Chittick (2010), tauhid berdiri di luar sejarah dan penukilan, merupakan
kebenaran universal yang tidak bergantung pada wahyu, yang mendahului Muhammad
dan risalah yang dibawanya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tauhid merupakan kualitas
yang inheren pada ftrah Adam dan anak cucunya. Berdasarkan sejarah kerasulan dan
kenabian, tauhid merupakan pesan utamanya, bahwa setiap nabi dalam setiap
kontekstualitas sejarahnya membawa pesan peng-Esa-an Tuhan4. Tauhid adalah
pengakuan atas sebuah kebenaran universal yang mengekspresikan keadaan segala
sesuatu secara aktual pada sepanjang masa dan selamanya. Karena segala sesuatu berada
di bawah keesaan Tuhan, justru dari fakta bahwa Ia mewujud (Chittick 2010:152).
Pandangan wahdatul wujud khas Al-Farabi5 - yang juga dikaji, ditafsir, dan disintesiskan
2
3
4
5
Pandangan yang menyebutkan bahwa alam semesta dan keseluruhan isinya merupakan satu
kesatuan utuh yang organis di mana diri menyatu dengan semesta. Pada dasarnya banyak sekali
yang mendukung ide tentang hal ini meskipun masing-masing memiliki dasar fundamen dan
konsep yang berbeda-beda satu sama lainnya. Selain Al-Farabi atau Mulla Sadra yang berbicara
mengenai kesatuan wujud dalam flsafatnya, gagasan ini banyak diusung juga oleh pemikiran dan
gerakan-gerakan lingkungan yang digagas oleh para ekolog seperti Naess (1978) dan Capra (1975).
Dalam wacana spiritual dan etika manajemen, hal ini seperti juga yang diwacanakan oleh Imre
Lazar dalam kajiannya Spirituality and Human Ecosystem (Zsolnai 2005). Dewasa ini, pandangan
ini dinilai sebagai klaim pemikiran ketimuran – sebagai antitesis Barat.
William C. Chittick adalah seorang Profesor pengkaji dan penafsir flsafat dan mistisisme
Islam, seorang murid dari Seyyed Hossein Nasr. Beberapa tulisannya merupakan hasil kolaborasi
pemikiran dengan Seyyed Hossein Nasr, Sachiko Murata (penulis The Tao of Islam) dan juga Tu
Weiming (Wikipedia 2015).
Hal ini bisa kita lihat juga dari tradisi-tradisi kuno seperti Zoroaster Persia sampai
keyakinan-keyakinan primordial masyarakat Timur, seperti Taoisme dan Confusian sampai
Kapitayan Jawa, yang membawa misi pesan ke-Esa-an Tuhan.
Pada dasarnya Al-Farabi sendiri tidak pernah memakai pengistilahan ini – wahdah al-wujud,
namun beberapa muridnya seperti Sadr Al-Din Al-Qunawi mulai menggunakan pengistilahan ini
(Kuswanjono 2010), karena menurut mereka secara esensial ajaran-ajaran Al-Farabi memiliki
makna terkait dengan istilah ini (Nur 2012). Istilah ini kemudian dipopulerkan oleh Taqi Al-Din
Ibnu Taymiyyah yang pandangannya mengecam keras ajaran Al-Farabi (Kuswanjono 2010).
oleh Mulla Sadra6 - merupakan dasar fundamen pemikiran Chittick atas visi
antropokosmik yang diadopsinya.
Mengapa pendekatan visi antropokosmik dilakukan dalam penulisan ini?
Pendekatan ini secara terminologis (diharapkan) bisa menjadi jembatan epistemologis bagi
peletakan prinsip-prinsip flsafat Sadra seperti yang akan dijelaskan berikut. Pendekatan
ini dilihat sebagai upaya yang lebih konkret untuk bisa dijadikan sebagai landasan
epistemik dalam mendekati bidang kajian akuntansi yang lebih bersifat praktis 7. Poin
inilah yang diharapkan dapat menjadi alternatif dalam menjawab celah ontologis
epistemologis yang berkembang pada wacana akuntansi syariah sekarang ini –
epistemologi sinergi oposisi biner (lihat pula Alfa 2015).
Prinsip flsafat hikmah Sadra yang dijadikan fundamen dalam menderivasi visi
antropokosmik dalam gagasan tulisan ini adalah: prinsipalitas wujud (ashalat al-wujud),
tasykik al-wujud (gradasi wujud), gerak transubstansial, dan hubungan subyek – obyek
pengetahuan. Berikut ini akan kita jabarkan bagaimana prinsip-prinsip flsafat Sadra
diderivasi menjadi basis epistemologi visi antropokosmik. Pembahasan tentang prinsipprinsip ini tidak lepas dari pandangan wahdatul wujud. Kuswanjono (2010) menjelaskan
bahwa terdapat empat tipologi hubungan antara wujud dan maujud, yaitu antara lain: 1)
ketunggalan wujud dan maujud; 2) kejamakan wujud dan maujud; 3) ketunggalan wujud
dan kejamakan maujud; 4) kejamakan wujud dan ketunggalan maujud. Berdasarkan
kajian Kuswanjono (2010) dalam tipologi ini, flsafat Sadra masuk dalam kategori pertama
dan ketiga. Kategori pertama merupakan tipologi yang banyak diyakini oleh para penganut
sufstik, yang melihat pada dasarnya antara wujud dan maujud merupakan satu kesatuan.
Kategori ketiga menggambarkan bahwa wujud adalah satu (univok) dan sekaligus ekuivok
(Al Walid 2012), dalam penjelasan Kuswanjono (2010), dari Sang Satu ini berkembang
menjadi beraneka maujud, atau seperti dijelaskan pula oleh Murata (1999) dari Sang Satu
menjadi dualitas, tiga realitas, atau kemudian bahkan plural wujud. Berkaitan dengan hal
ini Murata (1999:28) menjelaskannya sebagai berikut:
“Jika ada dualitas dalam kosmos, maka hal ini pasti terkait dengan Zat Yang
Satu, yang di luar segala dualitas. “Sebelum” alam semesta ada, tidak ada
sesuatu pun kecuali Pencipta. Eksistensi alam semesta ini bergantung pada
Realitas Tunggal”.
Penjelasan mengenai kesatuan wujud bisa kita lihat dari penjelasan Murata (1999)
yang menjabarkan tentang tanda-tanda Allah melalui penciptaan kosmos (alam semesta).
Al-Qur’an berulang kali menyebukan bahwa segala sesuatu adalah “tanda-tanda” (ayat)
Allah, dalam artian bahwa segala sesuatu mengabarkan hakikat dan realitas Allah (Murata
1999:32). Dalam Qur’an Surat Al-Hijr ayat 21 menyebutkan sebagai berikut:
6
7
Kuswanjono (2010) menjelaskan bahwa konsep flsafat wujud Mulla Sadra terdiri atas tiga
prinsip, yaitu wahdah al-wujud (kesatuan wujud), tasykik al-wujud, dan asalah al-wujud.
Pandangan wahdah al-wujud ini diadopsi Mulla Sadra dari konsep mistisisme yang dikembangkan
Al-Farabi (Kuswanjono 2010:93).
Pandangan visi antropokosmik dalam penelitian ini, menempatkan penelitian ini dalam
kategori pendekatan flsafat hikmah Sadrian atau bahkan neo-Sadrian, atas upaya kolaborasi dan
modifkasi dalam menderivasi prinsip-prinsip flsafat hikmah Sadra, Al Hikmah Al Muta’aliyah.
Visi antropokosmik ini pada dasarnya lebih bersifat sebagai peminjaman terminologis.
“Artinya: Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah
khazanahnya8; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran
yang tertentu”. (QS. 15:21)
Sabda Rasulullah SAW mengenai penciptaan semesta dikatakan bahwa, ”Allah berfrman:
“Aku adalah khazanah tersembunyi dan Aku ingin diketahui. Karena itu aku menciptakan
makhluk agar Aku diketahui”.” Melalui penciptaan alam semesta inilah Allah diketahui,
sehingga keseluruhan ciptaan mengungkapkan Khazanah Tersembunyi itu. Hubungan
Allah dengan ciptaan-Nya adalah manifetasi (zhuhur) dan pengungkapan diri (tajalli) (lihat
juga Triyuwono 2012).
Berdasarkan kajian tentang kesatuan wujud tersebut, secara sederhana kita bisa
memahami prinsip ashalat al-wujud yang digagas oleh Mulla Sadra dalam prinsip-prinsip
flsafatnya (metafsika). Melalui perwujudan alam semesta, kita bisa mengungkap
khasanah-khasanah tersembunyi serta mencari pemaknaan-pemaknaan (mahiyah/esensi).
Pengungkapan (kemahiyahan) terjadi didahului oleh perwujudannya (dari ada menuju
apa). Seperti dijelaskan sebelumnya, prinsip ini menekankan bahwa yang lebih utama
(real) adalah wujud (eksistensi) bukan mahiyah (ke-apa-an), mahiyah hanya bisa didapat
setelah adanya perwujudan. Jadi dalam prinsip ini, wujud merupakan hal yang lebih
fundamen (Suwanjono 2010; Al Walid 2012; Nur 2012)9.
Tidak ada tuhan selain Allah, sehingga segala proses penciptaan ini hanya semata
dari-Nya, berasal dari Dzat-Nya serta menggambarkan sifat-sifat dan nama-nama-Nya
(refeksi/manifestasi). Semesta ini merupakan manifestasi-Nya sehingga bukan diri-Nya.
Segala sesuatu berasal dari-Nya, sehingga selain diri-Nya adalah ciptaan yang
membutuhkan dan tergantung kepada selain dirinya, yang dibatasi oleh sifat-sifat yang
ada pada dirinya. Sedangkan Wujud Murni adalah wujud yang tidak bergantung kepada
selain diri-Nya dan tidak terbatasi (dideterminasi) oleh apa pun. Keberadaan Wujud Murni
mendahului segala sesuatu, yang ada pada Diri-Nya sendiri, tanpa perubahan, dan
pergerakan. Dia adalah yang pertama, yang menjadi penyebab dan sumber dari segala
sesuatu, tapi tidak berarti akan ada yang kedua setelah-Nya atau sebaliknya, karena
kesatuan Tuhan bukanlah bersifat bilangan karena bilangan adalah karakteristik alam
semesta (Suwanjono 2010).
Mengenai prinsip tasykik al-wujud ini, Al-Walid (2012) dalam kajiannya,
mengemukakan tentang gradasi wujud, dalam istilah Mulla Sadra disebutkan tentang
“pluralitas dalam ketunggalan dan ketunggalan dalam pluralitas”. Mulla Sadra
menggambarkannya seperti perumpamaan cahaya, di mana pendaran cahaya-cahaya yang
menampilkan beraneka warna itu adalah berasal dari satu cahaya, namun pendaranpendaran itu bukanlah cahaya itu sendiri. Tiada perbedaan di antara semua cahayacahaya itu, kecuali pada kekuatan dan kelemahan intensitasnya (Al-Walid 2012:38).
Berdasarkan pendekatan ini, Mulla Sadra ingin menyatakan bahwa wujud merupakan
Wujud Tuhan, seperti cahaya memancarkan warna-warna, demikian pula Wujud Mutlaq
8
9
Maksudnya segala sesuatu itu sumbernya dari Allah SWT.
Suwanjono (2010:92-93) menjelaskan bahwa wujud dapat dijelaskan ke dalam dua
pengertian, yaitu: konsep wujud, sesuatu yang sangat jelas bahkan aksiomatis, dan realitas
wujud yaitu sesuatu yang sangat sulit dipahami, yang hanya dapat dipahami melalui proses
refeksi yang mendalam. Analogi umum yang biasa digunakan oleh para pengkaji flsafat ini
menganalogikan bahwa wujud adalah sesuatu yang sangat terangnya, karena sedemikian
terangnya sehingga tidak mungkin bisa dilihat.
yang memancarkan kuiditas-kuiditas yang bersifat imkan10, yang tidak lain merupakan
ragam bentuk makhluk (Suwanjono 2010 dan Al Walid 2012).
Penempatan prinsip-prinsip flsafat Sadra tersebut di atas menekankan pada
kesatuan wujud yang hadir pada segala sesuatu yang disebut maujud. Peletakan
fundamental inilah, yang dinilai sebagai pijakan yang cukup bagi visi antropokosmik. Yang
pada dasarnya merupakan pandangan yang melihat kosmos sebagai satu kesatuan yang
tunggal organis – antropo berarti manusia, kosmik berarti alam – sebuah kesatuan antara
alam-manusia, sebagai manifestasi Tuhan (pencipta Yang Satu). Dalam sejarah penciptaan
semesta, bahwa tidak akan ada mikrokosmos (manusia) tanpa makrokosmos (alam).
Penciptaan makrokosmos mendahului mikrokosmos, di mana makrokosmos diciptakan
dalam eksistensi secara tepat untuk memungkinkan kemunculan keberadaan manusia.
Tanpa keberadaan manusia, maka tidak ada alasan alam semesta untuk mewujud sejak
semula, demikian sebaliknya (Chittick 2010).
Merujuk pada prinsip flsafat Sadra tentang kesatuan subyek-obyek pengetahuan,
kita akan melihat kesesuaiannya dengan cara pandang visi antropokosmik Weiming.
Dalam kajian kosmologinya, mengenai jiwa dan alam yang mengelaborasi hubungan
keduanya secara mendalam, dan dimengerti dalam hubungan subyek – obyek. Chittick
(2010) menjelaskan bahwa:
“Jiwa manusia adalah suatu subyek yang sadar yang bisa mengambil seluruh
yang ada di alam raya sebagai obyeknya, sehingga mempunyai cara untuk
merangkai jiwa dan kosmos, yang dalam kata-kata Weiming adalah hubungan
antara keduanya adalah organismik”. (Chittick 2010:167)
Subyek yang melakukan proses persepsi terhadap wujud obyek - sebagai yang dipersepsi,
sehingga terjadi hubungan eksistensial yang sederhana, di mana korelasi keduanya
mewujudkan pengetahuan. Hal ini menurut Sadra, bahwa (subyek) jiwa yang mempersepsi
suatu obyek akan menjadi bagian bentuk inteleknya (wujud mental). Bagi Sadra,
sesungguhnya sudah menjadi karakter jiwa manusia untuk mempersepsi seluruh hakikat
yang ada dan bersatu dengannya. Wujud mental yang terbentuk bukanlah sesuatu yang
terpisah dari mental subyek, karena wujud adalah sesuatu yang satu (Al Walid 2012:5354).
Dalam pahaman inilah maka ide Chittick (2010) berkaitan dengan hal ini adalah
bagaimana manusia menjaga harmonisasinya dengan alam. Maka di sinilah nilai penting
pemikiran epistemologis ini dalam membangun pengetahuan keakuntansian, sebagai
penawar racun antroposentrisme (basis fundamen pengembangan akuntansi mainstream)
(Mulawarman 2009). Visi intelektual yang ingin dikembangkan dalam basis visi
antropokosmik ini adalah menyusun implikasi-implikasi tauhid secara teoretis dan praktis.
Visi teoretisnya adalah membangun jalan untuk kembali pada Sang Pencipta dengan
belajar menjadi manusia yang sesungguhnya dan kembali pada ftrahnya (menyempurna).
Sedangkan visi praktisnya adalah tentang bagaimana membangun harmonisasi manusia
dengan langit dan bumi.
Hal ini jika dipandang dalam tatanan kosmologisnya adalah seperti yang dijelaskan
oleh Murata (1999), bahwa kosmos merupakan ungkapan Realitas Allah yang digambarkan
dalam sifat-sifat yang saling bertentangan dan bertolak belakang. Kekhasan taoisme
menyebutkannya dalam yin dan yang, seperti langit – bumi, makrokosmos–mikrokosmos,
baik-buruk, siang-malam, spirit-materi, murka-rahmat dan sebagainya, yang semuanya
10
Imkan bisa diartikan sebagai eksistensinya secara esensial “mungkin meniscaya”, yang
disebut sebagai wujud kontingen atau wujud bergantung. Eksistensinya bisa mewujud atau akan
tidak mewujud. Hal ini bisa juga dipahami dari kutipan Qur’an Surat Yaasiin ayat 82, yang
berbunyi, “Sungguh bila Allah menghendaki sesuatu, Cukuplah Ia berkata ‘Jadilah!’ maka
sesuatu itu jadi” (QS 36:82).
ditunjukkan dalam seluruh eksistensi. Dari dualitas itu, yang kita tahu bahwa semuanya
adalah bersumber dari Yang Satu adalah satu. Hal ini menyebabkan keduanya tidak saling
bertentangan satu sama lainnya karena semuanya bersumber dari sumber yang satu, dan
tidak terpisah-pisah. Murata (1999) menjelaskan hal ini sebagai sesuatu yang polar dan
saling berhubungan, komplemen, dan bersifat mutualisme11. Dualitas dan pertentanganpertentangan ini harus dipahami sebagai interaksi konstan dari perwujudan nama-namaNya melalui perubahan (harakah) dan transmutasi (isthala).
Dalam tradisi hikmah, bahasan mengenai harakah merupakan bagian dari
dialektika pemikiran Sadra, yang masuk dalam kajian-kajian metafsika (Al Walid 2012).
Sama halnya dengan Weiming, para pencari hikmah memiliki tujuan tertingginya yaitu
mentransformasikan jiwa-jiwa mereka. Seperti yang dikatakan oleh Chittick (2010), dalam
visi antropokosmik Confusian Weiming, mengatakan bahwa tindakan trasformatif
disandangkan pada visi transenden yang menegaskan bahwa secara ontologis, diri
manusia tidak berhingga dan lebih bernilai dari pada diri yang aktual ini. Sadra (2004)
menyatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah kembali dipersatukan dengan Yang Ilahi,
melalui re-emanasi yang bertingkat-tingkat (lihat pula Kuswanjono 2010). Menyatu dengan
semesta pada esensinya adalah bentuk keberserahan akan kemenyatuan (primordial) diri
dan alam dari proses emanasi Tuhan. Chittick (2005) meringkasnya sebagai berikut:
“Bahwa tauhid mendeklarasikan kesalinghubungan antar segala sesuatu,
karena segala sesuatu berasal dari Prinsip Pertama, yang disambungkan secara
konstan dan dipelihara oleh Prinsip Pertama, dan segala sesuatu akan kembali
kepada Prinsip Pertama” (Chittick 2005).
Dualitas bahkan plural wujud yang berbeda-beda dan saling bertentangan itu
merupakan bagian dari syarat gerak (harakah). Tanpa perbedaan ini maka tak akan ada
gerak. Sadra (2005) melihat bahwa alam semesta ini dimulakan dengan ketiadaan dalam
waktu, yang kemudian dibatasi oleh keberadaan ruang waktu. Dengan melihat kembali
apa yang dianalogikan Murata (1999), bahwa alam dengan guratan dualitas, tiga realitas,
dan plural, sehingga membuatnya dalam batasan (terbatas), dalam ruang waktunya 12 dan
yang menjadi syarat terjadinya gerak. Karena itu dalam prinsip gerak transubstansial
Mulla Sadra dikatakan bahwa tidak ada satu hal pun di alam ini yang diam. Murata (1999)
11
12
Penjelasan menarik yang disampaikan oleh Murata (1999) adalah analoginya tentang tinta
(pena/jiwa), lembaran (kosmos), dan Tuhan. Jiwa merupakan perantaraan Tuhan dan kosmos
(alam), dan karenanya jiwa menghadap dalam dua sisi, Tuhan dan alam. Lembaran (kosmos)
menyebabkan terjadinya dualitas itu, yaitu lembaran (kosmos)-yang padanya guratan diciptakan
(reseptif/feminin)
–
memanifestasikan
perbedaan
dan
guratan
tinta
itu
sendiri
(memberi/aktif/maskulin) – memanifestasikan kontrol yang bersifat mengatur, karenanya
dualitas hanya terjadi pada alam. Jiwa yang menghadap pada Allah sesungguhnya hanya
memiliki satu substansi, cinta (menerima). Sehingga pola hubungannya bersifat polar, karena
dualitas yang terjadi tidak berdiri secara sendiri-sendiri (independen/terfragmentasi), karena
bersumber dari Sang Satu. Dalam tatanan ini, maka kita tidak bisa mengatakan bahwa pola
hubungannya sinergis (mensyaratkan kemandirian dalam pertentangannya), karena pada pola
berpikir ini, berarti kita hanya akan berdiri pada dualitas itu sendiri, dan dualitas yang kita temui
di alam pada dasarnya adalah semu, bukan yang sejati. Murata (1999) juga menyebutkan bahwa
pendekaan dualistik banyak dijumpai dalam ajaran-ajaran sosial, dan pendekatan polar banyak
dijumpai dalam ajaran-ajaran spiritual. Namun dalam tulisan ini, mencoba untuk memformulasi
tatanan polar dalam visi teoretis dan praktis sekaligus, di mana akuntansi (pasti - harus
ditempatkan) merupakan bagian dari implikasi-implikasi tauhid.
Hanya Tuhanlah yang Maha Tak Terbatas, Primer dan tak membutuhkan yang lain, sebuah
Realitas Absolut dan hakiki, abadi, adanya Dia dulu dan sekarang adalah sama, diam (tidak
bergerak), karena Dia Mutlak tanpa dibatasi kemutlakan-Nya, tiada awal dan tiada akhir, luas tak
terbatas, Dia adalah Yang Satu.
menggambarkan bahwa eksistensi segala sesuatu bagaikan seekor kuda yang berlari cepat.
Melalui setiap gerakan, ia mengalami perubahan dan transformasi. Gerak ini menandakan
ada yang dituju (menuju pada sesuatu), yaitu tempat dari mana setiap yang ada ini
berasal. Menuju pada sesuatu yang diam (Wujud) dengan tingkatan eksistensi yang lebih
sederhana, menuju pada Yang Kekal. Di sinilah transformasi jiwa itu terjadi, berdasarkan
pada tingkatan-tingkatan dan kualitasnya masing-masing. Melalui interaksi konstan
antara dirinya dan semestalah yang akan membawa jalan manusia pada kesempurnaan
transformasi jiwanya.
Melalui penjelasan prinsip-prinsip yang diusung dalam flsafat hikmah Sadra, maka
mencukupkan bagi kita untuk menggunakan pendekatan terminologis visi antropokosmik
– dalam membangun pijakan epistemologis (dasar) akuntansi. Konsep kesatuan wujud
(ashalat al-wujud dan tasykik al-wujud) memberikan kejelasan atas kesatuan kosmos dan
manusia sebagai citra (manifestasi) Sang Satu. Melalui penjelasan ini, maka tugas
kosmologis manusia adalah menjaga harmonisasi dirinya dengan semesta yang secara
cermat dijelaskan oleh Sadra dalam prinsip hubungan subyek – obyek pengetahuan. Kedua
point ini tentunya menyelesaikan permasalahan yang ada pada pandangan akuntansi
modern, yang telah menciptakan dunia alienasi-alienasi obyek, sehingga ilmu pengetahuan
lebih berfungsi sebagai alat untuk menguasai dan menjajah alam – sebuah jalan yang
menjauhkan diri manusia pada kesempurnaan Illahiyah.
Prinsip gerak (harakah) Sadra menjelaskan bagaimana pola hubungan dualitas dan
plural wujud dengan konsep kesatuan (tauhid). Hal ini menyelesaikan kegelisahan
epistemologis dalam pengembangan akuntansi syariah sekarang ini, dari sinergi menuju
polar, komplementer, dan mutual. Selain itu konsep gerak transubstansial Sadra
memberikan ilustrasi yang jelas bagaimana setiap hal berjalan pada tujuan yang pasti
pada asalnya yang immaterial. Maka transformasi jiwa yang menuju pada kesempurnaan
(Illah) adalah hal yang ingin dituju dalam jalan visi antropokosmik. Apa yang harus kita
cari sekarang ini (dalam tulisan ini) adalah menemukan prinsip-prinsip teoretis, sebagai
transisi teoretis13 dengan basis epistemologi visi antropokosmik.
Hasil Penelitian: Prinsip-prinsip Teoretis Akuntansi
Berikut ini akan dijabarkan apa dan bagaimana prinsip-prinsip yang akan
membentuk preposisi teori berdasarkan epistemologi visi antropokosmik. Terdapat
beberapa hal yang diajukan dalam konstruksi ini, antara lain: prinsip kesalinghubungan,
orientasi proses, metafsika, perrenial wisdom, multi disiplin dan sistem moral etik.
Kesalinghubungan dalam akuntansi secara sederhana dan esensial dapat kita lihat
dari gambaran hubungan keagenan (agency theory). Konsep kesalinghubungan ini hanya
terbatas pada hubungan reduktif principal (pemilik modal/kapital) dan agent (pemegang
fungsi manajerial dalam pengelolaan modal). Hubungan yang terbatas – hanya antar
manusia, bahkan person to person, yang memiliki sifat individual (self interest). Pola
hubungan yang memuat fungsi akuntabilitas (pertanggungjawaban) kontraktual agent
kepada principal (investor). Agency theory melahirkan beberapa pengembangan konsep
teoretis, di antaranya Entity Theory (ET), Stewardship Theory, dan Enterprise Theory. Dari
teori-teori ini, akuntansi syariah memandang bahwa Enterprise Theory dinilai sebagai teori
yang lebih dekat dengan konsep Islam (Harahap 1997; Triyuwono 2012). Di mana
kemudian dalam perkembangannya diekstensi menjadi SET dengan menginfltrasikan nilai
ketauhidan (Triyuwono 2006). Pengembangan ini menggambarkan pola hubungan
(akuntabilitas) stakeholder tiga aras, yaitu sosial, lingkungan, dan Tuhan sebagai
stakeholder tertinggi.
13
Transisi teoretis dari Syariah Enterprise Theory (SET), yaitu sebagai sebuah teori akuntansi
syariah yang telah mapan.
Jika dilihat perkembangannya, pada dasarnya telah terjadi evolusi konsep, dari
pola hubungan individual kepada pola hubungan yang lebih kompleks. Hal ini jelas
bermuara pada, bahwa secara mendasar aktiftas ekonomi (bisnis) yang mengitari
akuntansi, jelas merupakan aktiftas yang tidak hanya melibatkan entitas-entitas tertentu,
dalam hal ini principal – agent. Aktiftasnya juga melibatkan multi entitas, yaitu: sosial,
lingkungan, dan Tuhan sebagai pengada (pencipta). Jika kita cermati terdapat
pengerucutan pandangan, di mana hal ini secara logis menunjukkan bahwa pada dasarnya
setiap hal yang ada pada tatanan kosmos (dunia) merupakan satu jalinan yang tidak dapat
dipecah-pecah satu sama lainnya, seperti dijelaskan pula dalam Qur’an Surat Al-An’aam
ayat 38. Setiap hal merupakan satu kesatuan entitas yang saling pengaruh memengaruhi
satu sama lainnya. Kesadaran inilah yang sedang terbangun, yang secara lebih mendalam
adalah kesadaran akan keberadaan kosmos dan manusia di dalamnya adalah satu
kesatuan organis, yang berasal dari Sang Satu (Allah SWT)14.
“Artinya: Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung
yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu.
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada
Tuhanlah mereka dihimpunkan”. (QS. 6:38)
Keberadaan AT yang jelas mereduksi keberadaan sesungguhnya realitas kosmos
pasti akan merusak tatanannya yang terdalam. Di sini kita tidak perlu membahas lagi
bagaimana reduksi ini terjadi. Namun yang jelas cara pandang yang memiliki basis dasar
single vision ala newton ini ikut memengaruhi pengembangan teori-teori yang pada
dasarnya memiliki visi akomodatif pada kompleksitas realitas. Seperti halnya
pengembangan SET, tentang multi akuntabilitas (yang tidak hanya berpola principal-agent).
Penempatan many stakeholders (Tuhan, alam, dan sosial) masih menunjukkan pola
hubungan yang ekstrinsik atau permukaan.
Jika kembali pada konsistensi ontologisnya (tauhid), kita bisa merenungkan dua
hal, yaitu: tentang penciptaan (kesatuan wujud) dan hari kebangkitan (maad). Tentang
kesatuan wujud (seperti penjelasan di atas), bahwa terdapat pola kesalinghubungan yang
intrinsik (interdependen). Sedangkan penempatan many stakeholders, menunjukkan
pemisahan-pemisahan yang bukan berpola kesatuan dalam kesalinghubungannya. Tuhan
adalah pencipta, di mana kosmos (alam dan manusia) merupakan ciptaan-Nya
(manifestasi), penciptaan salah satunya merupakan alasan bagi penciptaan lainnya. Maka
setiap perbuatan (manusia) juga memiliki implikasi (akibat) yang intrinsik kepada alam
dan tentunya berpola hubungan ketuhanan.
Penciptaan berpegang pada ketauhidan dan memiliki visi ke-akhirat-an dan
kebangkitan kembali (maad) (hanya menuju Tuhan). Maka konsekuensi logisnya adalah
pada dasarnya manusia hanyalah memiliki satu simpul pertanggungjawaban yaitu hanya
kepada Tuhan semata. Karena Allah adalah alasan dari setiap perbuatan manusia dan
akan dipertanggungjawabkan hanya kepada-Nya, maka pengejawatahannya (manifestasi)
adalah kearifan perilaku atas apa yang kita perbuat di dunia. Jadi setiap apa yang kita
lakukan hanyalah merupakan manifestasi akuntabilitas kita kepada Tuhan. Sehingga pola
14
Ketika kita berasal dari Sang Satu, Zat yang Satu, maka pastilah keberadaan kosmos adalah
satu kesatuan yang memiliki sifat kesatuan pula, kemajemukannya adalah untuk mengukuhkan
Ketunggalan-Nya. Sehingga sifat dan keberadaannya (kosmos) adalah organis.
kesalinghubungannya lebih bersifat intrinsik (dalam). Kita dapat melihat ilustrasi
perbedaan antar teori dalam Tabel 1.
Tabel 1. Pola Hubungan dalam Teori Akuntansi
Teori
Pola Hubungan
Sifat
ET
SET
Principal-Agent
Stakeholders
Visi Antropokosmik
Tuhan-Alam-Sosial
Pencipta-ciptaan
Tuhan-jiwa-alam
Individual
Sinergis
Ekstrinsik
Gradasi
Intrinsik
Prinsip kesalinghubungan ini pada dasarnya berpegang pada tali ontologis Tauhid.
Merujuk pada prinsip Sadra ashalat al-wujud dan tasykik al-wujud, semesta ini
merupakan manifestasi Tuhan dalam gradasi-gradasi wujud. Sehingga keberadaannya
pada dasarnya satu dan hakikat keberagamannya adalah satu, maka partikularpartikularnya pada dasarnya merupakan satu kesatuan organis. Berkaitan dengan
keberadaan ini, akuntansi sebagai teknologi yang memproduksi informasi harus
merefeksikan keberadaan ini. Sehingga informasi akuntansi dapat disajikan secara apa
adanya dan sekaligus apa yang seharusnya. Sebuah informasi yang mencerminkan
keberadaan ini, maka akan dapat menghilangkan reduksi 15 akan kesalinghubungan dalam
setiap aktiftas dalam kosmos. Di mana visi utamanya dan yang intrinsik adalah untuk
mendukung keseimbangan alam dan keadilan sosial, sebagaimana peciptaan semesta ini
ditegakkan dalam keseimbangan dan keadilan.
Implikasi (aksiologis) yang mungkin nampak adalah pengejawantahannya pada
pembentukan akun-akun dalam akuntansi. Akun-akun yang terbentuk tentunya harus
mencerminkan kesalinghubungan ini. Hal ini tentunya juga akan memengaruhi bentuk
akuntansi yang terbangun, tidak lagi berupa kuantifkasi (dari atas ke bawah) yang
merujuk pada hasil tertentu (orientasi hasil). Sehingga berdasarkan pada prinsip ini, maka
bentuk akuntansi dan pembentukan akun-akunnya bersifat atau memiliki keunikannya
masing-masing pada setiap implementasi yang berbeda. Karena bagaimana pun setiap
partikular-partikular memiliki karakter dan keunikannya masing-masing atas setiap
formasi kesalinghubungannya. Keunikan dan karakter yang beragam ini, misalnya
dipengaruhi oleh kondisi geografs tertentu, perbedaan kontur alam, kondisi demograf dan
cara (budaya) sosial masyarakat yang berbeda (antropologis dan sosiologis), dan lainlainnya. Hal ini bisa digambarkan misalnya, sektor pertanian masyarakat Jawa dengan
Sunda atau Sulawesi pasti memiliki keunikannya masing-masing. Pada sistem tertentu
menetapkan pola hubungan bagi hasil, namun pada sistem yang lain memiliki ciri
pertanian komunal, di mana hasil pertanian ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sosial
(bersama) dan dikelola secara bersama-sama.
Berdasarkan penjelasan dari rumusan di atas, prinsip ini akan menjawab beberapa
keraguan yang ada dalam pengembangan konsep teoretis saat ini. Prinsip
kesalinghubungan ini akan mereduksi dan menghilangkan pengaruh cara pandang single
vision ala newton pada kompleksitas cara pandang SET. Cara pandang yang biasa dengan
pengotakan-pengotakan dan struktur sekat building block-nya. Di mana SET semestinya
memiliki cara dan bahasa yang berbeda dalam menggambarkan dan menjelaskan
kompleksitas hubungan yang sesungguhnya memiliki pola kesalinghubungan yang
intrinsik, yang jelas nampak pada keberadaan ontologisnya, tauhid. Kedua, prinsip ini
15
Reduksi secara awal terjadi ketika ilmu pengetahuan dipisahkan dari Tuhan sehingga
menjauhkan dirinya dari realitas yang sebenarnya. Dengan melepaskan Tuhan, maka akan
melepaskan segala macam bentuk pertalian yang ada pada kosmos. Maka di sinilah awal reifikasi
terjadi, reduktif, dan menjauhkan diri dari realitas yang sebenarnya.
bertujuan untuk membentuk informasi yang apa adanya dan apa yang seharusnya, yaitu
dengan memotret realitas yang pada dasarnya memiliki kesalinghubungan.
Konsekuensinya adalah keberagaman bentuk informasi akuntansi. Visi utama dari prinsip
ini adalah dalam usaha untuk mendukung keseimbangan alam dan keadilan sosial.
Orientasi Proses, dalam prinsip ini, kita perlu membuat penekanan atas perbedaan
orientasi proses dan hasil (stock concept dalam konsep akuntansi mainstream).
Berdasarkan penekanan ini, kita akan mengurai perbedaan dan gambarannya tentang
bagaimana kedua konsep ini. Sebagaimana kita ketahui orientasi sistem akuntansi adalah
pada “hasil” dengan menggunakan logika capital accumulation (Chwastiak 2003) atau stock
concept (Rahmanti et al. 2013). Hal ini bisa kita lihat dalam gambaran laporan keuangan
(akuntansi) berupa perubahan ekuitas dan neraca keuangan perusahaan. Laporan ini
memberikan informasi tentang bagaimana kinerja manajemen dalam mengembangkan
kapital pemilik modal sebagai bentuk akuntabilitasnya (Chen et al. 2012). Dari laporan
neraca dan perubahan ekuitas ini, pemegang saham akan melihat progresiftas perubahan
permodalan yang tertanam dalam perusahaan yang dikelola oleh manajemen.
Progresiftas atas laba akuntansi yang terkonsepsi pada matching concept
(Mulawarman 2011) merupakan bentuk inheren akuntansi dalam membentuk income.
Penandingan pendapatan - beban yang berakhir pada ambisi proft “laba” perusahaan pada
laporan laba rugi, jelas merupakan konsep penting yang mendukung pada muara konsep
“stock”. Konsep penandingan itu adalah menekan biaya serendah-rendahnya dan
mendorong proft yang setinggi-tingginya. So, greed is good, adalah idiom para akuntan
yang harus diusung tanpa rasa malu. Logika pertumbuhan tanpa batas dalam akuntansi
jelas menciptakan kesenjangan dan ketidakseimbangan serta ketidakadilan seperti yang
telah dibahas oleh Chwastiak dan Young (2003) dalam tulisannya.
Ravn-Jonsen (2009) dalam temuan penelitiannya melihat bahwa aplikasi Capital
Theory yang diperkenalkan oleh Clark dan Munro (1975), pada model produksi ekosistem
kelautan membawa pada konsekuensi interaksi pemangsa – mangsa (predator – prey
interaction) dan pertumbuhan somatic predator sebagai hasil dari interaksi. Temuantemuan ini secara jelas menunjukkan bahwa logika stock concept membawa pada
eksploitasi dan pemangsaan yang berkuasa (kuat) atas yang lemah (secara kapital) yang
akan membawa pada kesenjangan dan ketidakadilan. Berkaitan dengan hal ini pula,
tentang capital accumulation yang didiskusikan dalam laporan tahunan, Chwastiak dan
Young (2003) menyatakan bahwa maksimasi proft membawa pada isu dehumanisasi
pekerja, dampak negatif atas eksploitasi bumi, neraka peperangan, pemiskinan manusia
dan sosial yang tumbuh dari daya konsumerisme yang tinggi.
Pada sisi lain, dalam perkembangan dan praktik akuntansi sosial dan lingkungan
(seperti Global Reporting Initiative) masih memakai dasar pemikiran triple bottom line
Elkington (1997), 3P (People, Planet, Profit). Konsep 3P masih berkutat pada isu “growth”
(pertumbuhan) “ekonomi”. Logika pertumbuhan ekonomi jelas mereduksi konsep
keberlanjutan kehidupan yang divisikan. Konsep pertumbuhan menuntut terbentuknya
konsepsi stock dalam pertumbuhan ekonomi (kapital), maka kedua unsur people dan
planet akan sangat riskan hanya akan jatuh pada dilema legitimasi politik perusahaan,
double standard (Chariri 2008). Hal ini juga tampak nyata bahwa laporan keuangan
merupakan bentuk pelaporan mandatory dan laporan lingkungan dan sosial yang bersifat
suplemen (voluntary)16. Orientasinya masih berpusat pada pembentukan stock dan rentan
16
Pada saat ini juga sedang digodog Integrated Reporting (IR) yang digagas oleh International
Integrated Reporting Council (IIRC) sejak 2011, dan di akhir 2013 dipublikasikan apa tujuan dari
IR, masa 2014 – 2017 merupakan fase breakthrough bagi pembentukan fnal IR. Namun jika kita
lihat dari tujuan utamanya (primary objective), bisa dilihat bahwa tujuan dan visi IIRC dalam
pembentukan ini adalah masih berkutat pada masalah stabilitas dan keberlanjutan keuangan.
Sedangkan tujuan dari apa yang kita gagas dalam tulisan ini adalah bagaimana membangun
dalam hegemoni kepentingan capital (stock) pula. Meskipun telah muncul pula
metamorfosis konsep Quadrangle Bottom Line yang digagas oleh Sukoharsono (2010),
namun konsep ini masih belum memberikan bentuk dan posisioning yang jelas. Aspek
spiritual yang digagas seharusnya secara mendasar mampu mereduksi tujuan dasar
akuntansi yang bersifat capital acummulation, karena visi spiritualitas dan keTuhanan
pasti membentuk perbedaan orientasi dan tujuan.
Lantas bagaimana dengan perkembangan akuntansi syariah sekarang ini?
Perkembangannya pada era sekarang, pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh keberadaan
akuntansi mainstream (konvensional). Hal ini secara psikologis memang dipengaruhi oleh
kebutuhan akan keberadaan perbankan yang akhirnya memunculkan perkembangan
perbankan syariah dan
Yulis Diana Alfia1)
Iwan Triyuwono2)
Aji Dedi Mulawarman2)
1)
Universitas Mercu Buana, Jl. Meruya Selatan No. 1, Kembangan, Jakarta Barat, 11650
2)
Universitas Brawijaya Malang, Jl. Veteran, Malang, Jawa Timur
Surel: [email protected]
Abstrak: Visi Antropokosmik: Membangun Kerangka Prinsip Teoretis Akuntansi.
Peradaban modern yang dibangun sejak abad 17 – zaman pencerahan, tidak dapat
dilepaskan dari paradigma Cartesian-Newtonian. Pola pikir fragmentatif dan mekanistik
membawa pandangan ini pada pemisahan kesakralan alam dari manusia –
antroposentrisme. Ilmu pengetahuan berperan sebagai alat pencarian kekuasaan guna
mendominasi alam, yang mengidentifkasi kebenaran untuk kegunaan industrialisasi.
Berbicara dalam konteks sejarah perkembangan akuntansi modern, kita tidak bisa
melepaskan diri dari pathway perkembangan peradaban modern. Perkembangan the
natural philosophy pada masa abad pencerahan banyak memengaruhi pemikiranpemikiran ekonomi yang digunakan sebagai dasar asumsi akuntansi. Antroposentrisme
dalam akuntansi dapat dilihat dalam dua hal, yaitu kepemilikian kapital dan hubungan
keagenan. Akuntansi merupakan instrumen teknikal industrialisasi, yang mendukung
pertambahan kepemilikan dan penguasaan terhadap alam. Hubungan keagenan yang
termaktub dalam Agency Theory (AT) menempatkan asumsi dasar manusia sebagai rational
economic man yang mendorong terjadinya conflict of interest. Berdasarkan beberapa
diskursus, pandangan ini merupakan cikal bakal terjadinya berbagai macam problematika
peradaban modern. Pada sisi lain, teoretisasi akuntansi yang dikembangkan berdasarkan
AT juga telah mengalami perkembangan, yaitu Entity Theory, Stewardship Theory, dan
Enterprise Theory yang kemudian diadopsi dalam pengembangan akuntansi syariah
menjadi Sharia Enterprise Theory (SET). Adopsi ini membuktikan terjadinya hegemoni
cartesian-newtonian. Visi antropokosmik merupakan cara pandang yang memahami bahwa
manusia dan semesta sebagai sebuah kesatuan yang tunggal, keseluruhan yang
organismik, sebagai sebuah kesadaran spiritual. Visi antropokosmik merupakan cara
pandang yang ditawarkan sebagai alternatif pemikiran yang diharapkan dapat menjawab
persoalan antroposentrisme akuntansi. Berdasarkan pandangan tersebut, tulisan ini
bertujuan untuk mengembangkan kerangka prinsip teoretis akuntansi (syariah) sebagai
sebuah transisi teoretis. Prinsip flsafat hikmah Sadra dijadikan sebagai fundamen dalam
menderivasi visi antropokosmik, sebagai basis epistemik dalam gagasan teoretisnya.
Prinsip tersebut, antara lain: Prinsipalitas Wujud (Ashalat al-Wujud), Tasykik al-Wujud
(Gradasi Wujud), Gerak Transubstansial, dan hubungan subyek – obyek pengetahuan.
Hasil konstruksi ini melahirkan enam prinsip teoretis akuntansi, yaitu: Prinsip
Kesalinghubungan, Orientasi Proses, Metafsika, Perrenial Wisdom, Multi disiplin, dan
Sistem Moral Etik.
Kata kunci:
Antroposentris, Visi Antropokosmik, Hikmah Sadra, Kerangka Teoretis,
Prinsip-prinsip Akuntansi
Abstract: Anthropocosmic Vision: Building the Theoretical Framework of Accounting
Principles. Modern civilizations which was built starting the 17th century – the Age of
Rationalism, can not be separated from the Cartesian-Newtonian paradigm. Fragmented and
mechanistic mindset carries this view on the separation of the sanctity of nature from man anthropocentrism. Science serves as the search tool of power to dominate nature, which
identifies the truth for purposes of industrialization. Speaking in the context of the historical
development of modern accounting, we can not escape from the development of modern
civilization pathway. The development of the natural philosophy at the time of the
enlightenment age influenced economic thinking that is used as the basis of accounting
assumptions. Anthropocentrism in accounting can be viewed in two ways, that is the
ownership of capital and the agency relationship. Accounting is a technical instrument of
industrialization, which supports the growth of ownership and control over nature. Agency
relationship that contained in the Agency Theory (AT) puts the basic assumptions of human
beings as rational economic man that drives the conflict of interest. Based on some
discourses, this view is the embryo of diferent kinds of problems of modern civilization. On
the other hand, theorizing accounting that was developed based on AT also has been
progressing, that is Entity Theory, Stewardship Theory, and Enterprise Theory, which was
later adopted in the development of sharia accounting into the Sharia Enterprise Theory
(SET). This adoption is proving the hegemony of Cartesian-Newtonian. Anthropocosmic vision
is a worldview that understands that man and the universe as a single entity, the whole
which organismic, as a spiritual awareness. The anthropocosmic vision worldview ofered as
an alternative thinking that is expected to answer the question of anthropocentrism
accounting. Based on this view, this paper aims to develop a theoretical framework of
accounting principles (Sharia) as a theoretical transition. The principle of the Sadra’s
philosophy of wisdom serve as fundamental to derive the anthropocosmic vision, as epistemic
basis in theoretical ideas. These principles, among others: Principality of Existence (Ashalat
al-Wujud), Tasykik al-Wujud (Gradation of Existence), Transubstansial Motion, and
relationships subject - object of knowledge. The result of this reconstruction gave birth to six
theoretical accounting principles, that is: the Principle of Interrelationships, Process
Orientation, Metaphysics, Perrenial Wisdom, Multi-disciplinary, Ethical and Moral System.
Keywords: Anthropocentric, Anthropocosmic vision, Sadrian Wisdom, Theoretical Framework,
Accounting Principles
Pendahuluan: Diskursus Antroposentrisme dalam Akuntansi
Kita tidak bisa melepaskan peradaban modern yang dibangun sejak abad 17
(dengan penanda awalnya yaitu abad pencerahan) dengan pandangan cartesiannewtoniannya - yang terfragmentasi dan mekanistik. Heriyanto (2003) menyatakan bahwa
hegemoni pandangan ini tidak bisa lepas dari kenyataan sejarah peradaban modern yang
dibangun pada pondasi ontologi, kosmologi, epistemologi, dan metodologi yang dicetuskan
oleh dua tokoh penggerak modernisme, Rene Descartes dan Paul Isaac Newton. Pandangan
ini telah menginfltrasi peradaban modern melalui proses ekstensifkasi dan pervasif yang
sedemikian rupa, sehingga built-in pada pola pikir, sistem, dan segala dimensi kehidupan
(Heriyanto 2003). Dapat dikatakan pandangan dunia ini telah menjadi sebuah kesadaran
kolektif masyarakat modern, membentuk sebuah frame of reference baik dalam tatanan
teoretis keilmuan atau pun praktik (Nasr 1989). Pun demikian dengan akuntansi, di mana
hegemoni pandangan ini telah menjadi sebuah kesadaran genetis yang merasuki tubuh
akuntansi dan para akuntan dalam ngarai anonimitas. Berdasarkan beberapa diskursus,
pandangan ini merupakan cikal bakal terjadinya berbagai macam problematika peradaban
modern. Berkaitan dengan hal ini, Capra (2007) menyatakan bahwa keberadaan ini
merupakan sebuah krisis perspektif.
Berbicara dalam konteks sejarah perkembangan akuntansi modern, maka kita
tidak bisa melepaskan diri pada jalan (path way) perkembangan peradaban modern.
Karena pandangan dunia yang terbangun dan termapankan oleh status quo kekuasaan
dan ilmu pengetahuan modern inilah yang memengaruhi bentuk perkembangan akuntansi
dalam konteks periodisasi sejarah di mana ia tumbuh. Abad modern ditandai dengan
lahirnya scientific revolution pada abad 17, di mana Dollery, Jackson, dan Karayan (1996)
menyitir McCloskey (1986:6) bahwa ilmu pengetahuan modern menjanjikan bebas dari
keraguan, metafsika, moral, dan pendirian individu.
Terdapat sebuah perbedaan signifkan dalam melihat pengetahuan alam pada era
1700-an dengan era 1500-an, era materialisme, the secular age (Taylor 2007). Henry (2002)
dalam historiografnya menandai kemunculannya dengan doktrin Francis Bacon yang
menggantikan Aristotle’s Organon in His New Organon (1620); Galileo dengan tulisannya
Two New Science (1638); dan Copernican yang menemukan A New Astronomy (1609), yang
kemudian menjadi penempatan basis antroposentrisme (Heriyanto 2003). Terutama
keimanan Baconian dalam scientific knowledge dengan sikap pragmatis fungsionalisnya
(melalui pernikahan sains dan teknologi, penyatuan teoretis dan empiris pada natural
environment), mengidentifkasikan kebenaran dengan identifkasi kegunaan industrialisasi
(White 1976 dan Heriyanto 2003, lihat pula Wilson 1999). Nasr (1989) juga melukiskan
bahwa sains Bacon berperan sebagai pencarian kekuasaan guna mendominasi alam
(power to dominate over nature) dari pada memahami alam, yang berakibat pada
pemaksaan alam untuk memenuhi kebutuhan materialisme manusia. Henry (2002)
mengatakannya sebagai sebuah permasalahan whiggism.
Penandaannya – antroposentrisme - dalam akuntansi paling tidak bisa kita lihat
dalam dua hal, yaitu kepemilikian kapital dan hubungan keagenan. Menelusurinya dapat
dimulai dari pengembangan natural philosophy yang pada abad pencerahan, banyak
memengaruhi pemikiran-pemikiran ekonomi (klasik dan neo klasik), yang kemudian
banyak digunakan sebagai dasar asumsi dalam akuntansi (Sterling 1990). Yang paling
mengemuka di antaranya adalah pada asumsi dasar ekonomi tentang keterbatasan sumber
daya alam dan tindakan ekonomi, yang kemudian memunculkan doktrin akuntansi
“menekan biaya serendah-rendahnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya”.
Tindakan ekonomi yang terkerangka dalam cara Baconian berpikir yaitu bagaimana
melakukan penguasaan dan eksploitasi terhadap sumber daya alam (Capra 2004) dalam
rangka untuk memaksimalkan utility dan profitnya. Asumsi “maju” bagi masyarakat
modern menurut Heriyanto (2003) adalah pertambahan kepemilikan dan penguasaannya
terhadap alam - merupakan konsepsi pandangan natural philosophy cartesian newtonian yang mendorong pada pengembangan revolusi industri (industrialisasi) (Nasr 2005).
Sedangkan pada sisi akuntansi, Pollard (1965) seorang sejarawan ekonomi dan
bisnis menyatakan akan signifkansi akuntansi sebagai faktor kesuksesan bisnis dalam
revolusi industri (Carnigie, Napier, dan Parker 2014). Sejalan dengan hal ini, Chwastiak
dan Young (2003) menyatakan bahwa akuntansi merupakan instrumen teknikal penting
dalam mendukung pertambahan kepemilikan dan penguasaan terhadap alam.
“Maximize return to shareholders” menjadi esensi utama bisnis dan akuntansi, baik bagi
pemegang saham atau pun manajemen, hal ini terlihat jelas pada notasi-notasi akuntansi
seperti net income, revenue, expense, dan sebagainya (Kelly 2003).
Hubungan keagenan yang termaktub dalam Agency Theory (AT), Jensen dan
Meckling (1994a dan 1994b) menyatakan bahwa pada dasarnya AT adalah berkaitan
dengan pemahaman tentang human behaviour dalam konteks economic rational choice
sebagai penempatan konsep dasar the nature of man. Berdasarkan hal ini, maka self
interest merupakan pusat teoretisasi AT dengan bahasan agency problem yang
menimbulkan terjadinya agency cost dan mendorong terjadinya conflict of interest.
Bricker dan Chandar (1998) menelusuri perkembangan model agensi dalam capital market
yang digagas oleh Jensen dan Meckling (1976) merupakan hasil sintesis dari pemikiran
Berle dan Means (1932) dan Coase (1937 dan 1960) terutama tentang property rights
(Medema dan Zerbe 1999) dan literatur kontraktual. Terutama juga mengenai pemahaman
“firm” sebagai sebuah “a nexus contract” antara principle dan agent (lihat juga Coase 1937).
AT pada dasarnya merujuk pada teori expected utility (EU) Von Neumann dan
Morgenstern (Leonard 1995), di mana axioma intuitif EU adalah bahwa agent akan
berperilaku memaksimalkan expected value of utility function untuk tujuan kesejahteraan
(Von Neumann dan Morgenstern 1944). Bentuk fungsi utilitas kemudian merefeksikan
perilaku agent berdasarkan risiko dengan keputusan rasional. Bagi Neumann bentuk ini
merupakan fakta empiris di mana manusia secara umum menolak preferensi risiko.
Preferensi penolakan terhadap risiko ini pada dasarnya mengambil dasar asumsi dan cara
kerja Darwinisme, bertahan hidup, keunggulan spesies, dan berevolusi. Konstruksi AT
terbangun dari seperangkat teori pengambilan keputusan dan perilaku ekonomi yang
digagas oleh Morgenstern awal tahun 40-an (Kuhn 2004) yang dibangun pada pondasi
konstruksi game theory (minimax solution of zero-sum two-person games) dalam
mathematical foundations quantum mechanics. Pondasi ini diambil dari gagasan Von
Neumann yang dipublikasi pada 1928 (Nash 1953). Bahasan mengenai kapital dan
hubungan keagenan dalam akuntansi jelas menunjukkan pandangan dunia
antroposentris, yang terkerangka dari pandangan cartesian newtonian yang mekanistik,
deterministik, dan terfragmentasi.
Metodologi: Dasar-Dasar Pengembangan Visi Antropokosmik
Apa yang telah dilakukan pada pengembangan-pengembangan akuntansi
selanjutnya terutama pengembangan akuntansi syariah adalah dalam rangka mengkritisi
dan menggantikan paham antroposentrisnya. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa visi
Islam adalah membawa pesan rahmatan lil ‘alamin (Triyuwono 2012; 2013 dan
Mulawarman 2011). Berkaitan dengan hal ini, Triyuwono (2006; 2012) dengan kekhasan
manunggaling kawulo gusti, membawa isu epistemologi sinergi oposisi biner untuk
menggantikan pandangan dualitas single vision atas dominasi maskulin dalam akuntansi.
Mulawarman (2011) menawarkan kekhasan konsep tazkiyah dan zakka dengan cintanya.
Maka di sini kita akan berbicara mengenai visi antropokosmik sebagai usaha dan alternatif
pemikiran untuk menjawab beberapa celah epistemologis dalam pengembangan akuntansi
syariah (lihat pula kritik atas celah tujuan akuntansi syariah dalam Alfa, 2015).
Perjalanan historis dalam paparan awal pendahuluan, telah menempatkan wajah
akuntansi seperti yang kita lihat sekarang ini. Sebuah pandangan dunia yang
antroposentris dengan perspektif cara pandang yang mekanistik dengan pola bagianbagiannya yang terpecah-pecah (determinan). Hal ini tentunya memperlihatkan perbedaan
yang cukup signifkan atas apa yang akan kita bahas dalam visi antropokosmik berikut ini.
Bahwa keberagaman yang nampak dalam fenomena semesta, pada dasarnya memiliki
kesalinghubungan. Mengapa antropokosmik? Pandangan epistemologis ini ditujukan
untuk menjawab kegelisahan antroposentrisme dunia modern itu1. Antroposentrisme yang
melepaskan Tuhan dari dirinya, yang menjelajah semesta dengan congkak dan
keangkuhan untuk menguasai dan mengeksploitasinya.
Antropokosmik sendiri pada dasarnya merupakan pandangan Asia Timur yang khas
dengan corak dan keyakinan spiritualitasnya. Sebuah pandangan yang memahami bahwa
manusia dan semesta sebagai sebuah kesatuan yang tunggal, keseluruhan yang
1
Pandangan kritis ini dapat kita pelajari (ambil) dari ide yang digagas pula oleh Triyuwono
(2000; 2012) atau Mulawarman (2006; 2011).
organismik2. Chittick3 (2010) sendiri mengambil pengistilahan ini dari Tu Weiming seorang
profesor pengkaji Confusianis Cina. Weiming seperti dijelaskan Chittick (2010) menyatakan
bahwa antropokosmik merupakan pandangan yang melekat di Asia Timur dan pada
dasarnya tidak tergantikan oleh pandangan abad pencerahan (modern) yang melihat alam
sebagai konglomerasi objek-objek dan memahami pengetahuan sebagai alat untuk
mengontrol alam. Ketertarikannya pada visi antropokosmik sendiri adalah bertujuan untuk
belajar bagaimana menjadi manusia sejatinya, yaitu sebagai jalan untuk mengaktualisasi
kodrat sejati manusia sejak sebelum ia dihadirkan (lahir) di muka bumi.
Sedangkan Chittick sendiri yang berangkat dari pandangan tradisi hikmah Islam,
mencoba melakukan revisi atas terminologi ini. Chittick (2010) memandang bahwa
pandangan antropokosmik ini dapat digunakan untuk menjelaskan pandangan dunia
Islam secara umum dan tradisi intelektual secara khusus. Chittick (2010) menyatakan
bahwa hanya melalui para flsuf (ahli hikmah Islam)-lah maka pengembangan saintisme –
dalam pengertian dewasa ini – dilakukan, di mana pendekatan ini memberikan signifkansi
tentang “ada” dan “menjadi” tanpa mempertentangkan keyakinan dogma. Peletakan
terminologis ini berpusat pada penjelasannya akan keyakinan tauhid, sebagai dogma
pertama dan fundamental, yang tidak terkait dengan fakta-fakta sejarah kenabian dan AlQur’an. Dengan proses intelektual transendental, kita tidak bisa meragukan aksioma
universal dan ahistoris sebagai kepastian unik akan keyakinan jiwa (Chittick 2010).
Menurut Chittick (2010), tauhid berdiri di luar sejarah dan penukilan, merupakan
kebenaran universal yang tidak bergantung pada wahyu, yang mendahului Muhammad
dan risalah yang dibawanya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tauhid merupakan kualitas
yang inheren pada ftrah Adam dan anak cucunya. Berdasarkan sejarah kerasulan dan
kenabian, tauhid merupakan pesan utamanya, bahwa setiap nabi dalam setiap
kontekstualitas sejarahnya membawa pesan peng-Esa-an Tuhan4. Tauhid adalah
pengakuan atas sebuah kebenaran universal yang mengekspresikan keadaan segala
sesuatu secara aktual pada sepanjang masa dan selamanya. Karena segala sesuatu berada
di bawah keesaan Tuhan, justru dari fakta bahwa Ia mewujud (Chittick 2010:152).
Pandangan wahdatul wujud khas Al-Farabi5 - yang juga dikaji, ditafsir, dan disintesiskan
2
3
4
5
Pandangan yang menyebutkan bahwa alam semesta dan keseluruhan isinya merupakan satu
kesatuan utuh yang organis di mana diri menyatu dengan semesta. Pada dasarnya banyak sekali
yang mendukung ide tentang hal ini meskipun masing-masing memiliki dasar fundamen dan
konsep yang berbeda-beda satu sama lainnya. Selain Al-Farabi atau Mulla Sadra yang berbicara
mengenai kesatuan wujud dalam flsafatnya, gagasan ini banyak diusung juga oleh pemikiran dan
gerakan-gerakan lingkungan yang digagas oleh para ekolog seperti Naess (1978) dan Capra (1975).
Dalam wacana spiritual dan etika manajemen, hal ini seperti juga yang diwacanakan oleh Imre
Lazar dalam kajiannya Spirituality and Human Ecosystem (Zsolnai 2005). Dewasa ini, pandangan
ini dinilai sebagai klaim pemikiran ketimuran – sebagai antitesis Barat.
William C. Chittick adalah seorang Profesor pengkaji dan penafsir flsafat dan mistisisme
Islam, seorang murid dari Seyyed Hossein Nasr. Beberapa tulisannya merupakan hasil kolaborasi
pemikiran dengan Seyyed Hossein Nasr, Sachiko Murata (penulis The Tao of Islam) dan juga Tu
Weiming (Wikipedia 2015).
Hal ini bisa kita lihat juga dari tradisi-tradisi kuno seperti Zoroaster Persia sampai
keyakinan-keyakinan primordial masyarakat Timur, seperti Taoisme dan Confusian sampai
Kapitayan Jawa, yang membawa misi pesan ke-Esa-an Tuhan.
Pada dasarnya Al-Farabi sendiri tidak pernah memakai pengistilahan ini – wahdah al-wujud,
namun beberapa muridnya seperti Sadr Al-Din Al-Qunawi mulai menggunakan pengistilahan ini
(Kuswanjono 2010), karena menurut mereka secara esensial ajaran-ajaran Al-Farabi memiliki
makna terkait dengan istilah ini (Nur 2012). Istilah ini kemudian dipopulerkan oleh Taqi Al-Din
Ibnu Taymiyyah yang pandangannya mengecam keras ajaran Al-Farabi (Kuswanjono 2010).
oleh Mulla Sadra6 - merupakan dasar fundamen pemikiran Chittick atas visi
antropokosmik yang diadopsinya.
Mengapa pendekatan visi antropokosmik dilakukan dalam penulisan ini?
Pendekatan ini secara terminologis (diharapkan) bisa menjadi jembatan epistemologis bagi
peletakan prinsip-prinsip flsafat Sadra seperti yang akan dijelaskan berikut. Pendekatan
ini dilihat sebagai upaya yang lebih konkret untuk bisa dijadikan sebagai landasan
epistemik dalam mendekati bidang kajian akuntansi yang lebih bersifat praktis 7. Poin
inilah yang diharapkan dapat menjadi alternatif dalam menjawab celah ontologis
epistemologis yang berkembang pada wacana akuntansi syariah sekarang ini –
epistemologi sinergi oposisi biner (lihat pula Alfa 2015).
Prinsip flsafat hikmah Sadra yang dijadikan fundamen dalam menderivasi visi
antropokosmik dalam gagasan tulisan ini adalah: prinsipalitas wujud (ashalat al-wujud),
tasykik al-wujud (gradasi wujud), gerak transubstansial, dan hubungan subyek – obyek
pengetahuan. Berikut ini akan kita jabarkan bagaimana prinsip-prinsip flsafat Sadra
diderivasi menjadi basis epistemologi visi antropokosmik. Pembahasan tentang prinsipprinsip ini tidak lepas dari pandangan wahdatul wujud. Kuswanjono (2010) menjelaskan
bahwa terdapat empat tipologi hubungan antara wujud dan maujud, yaitu antara lain: 1)
ketunggalan wujud dan maujud; 2) kejamakan wujud dan maujud; 3) ketunggalan wujud
dan kejamakan maujud; 4) kejamakan wujud dan ketunggalan maujud. Berdasarkan
kajian Kuswanjono (2010) dalam tipologi ini, flsafat Sadra masuk dalam kategori pertama
dan ketiga. Kategori pertama merupakan tipologi yang banyak diyakini oleh para penganut
sufstik, yang melihat pada dasarnya antara wujud dan maujud merupakan satu kesatuan.
Kategori ketiga menggambarkan bahwa wujud adalah satu (univok) dan sekaligus ekuivok
(Al Walid 2012), dalam penjelasan Kuswanjono (2010), dari Sang Satu ini berkembang
menjadi beraneka maujud, atau seperti dijelaskan pula oleh Murata (1999) dari Sang Satu
menjadi dualitas, tiga realitas, atau kemudian bahkan plural wujud. Berkaitan dengan hal
ini Murata (1999:28) menjelaskannya sebagai berikut:
“Jika ada dualitas dalam kosmos, maka hal ini pasti terkait dengan Zat Yang
Satu, yang di luar segala dualitas. “Sebelum” alam semesta ada, tidak ada
sesuatu pun kecuali Pencipta. Eksistensi alam semesta ini bergantung pada
Realitas Tunggal”.
Penjelasan mengenai kesatuan wujud bisa kita lihat dari penjelasan Murata (1999)
yang menjabarkan tentang tanda-tanda Allah melalui penciptaan kosmos (alam semesta).
Al-Qur’an berulang kali menyebukan bahwa segala sesuatu adalah “tanda-tanda” (ayat)
Allah, dalam artian bahwa segala sesuatu mengabarkan hakikat dan realitas Allah (Murata
1999:32). Dalam Qur’an Surat Al-Hijr ayat 21 menyebutkan sebagai berikut:
6
7
Kuswanjono (2010) menjelaskan bahwa konsep flsafat wujud Mulla Sadra terdiri atas tiga
prinsip, yaitu wahdah al-wujud (kesatuan wujud), tasykik al-wujud, dan asalah al-wujud.
Pandangan wahdah al-wujud ini diadopsi Mulla Sadra dari konsep mistisisme yang dikembangkan
Al-Farabi (Kuswanjono 2010:93).
Pandangan visi antropokosmik dalam penelitian ini, menempatkan penelitian ini dalam
kategori pendekatan flsafat hikmah Sadrian atau bahkan neo-Sadrian, atas upaya kolaborasi dan
modifkasi dalam menderivasi prinsip-prinsip flsafat hikmah Sadra, Al Hikmah Al Muta’aliyah.
Visi antropokosmik ini pada dasarnya lebih bersifat sebagai peminjaman terminologis.
“Artinya: Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah
khazanahnya8; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran
yang tertentu”. (QS. 15:21)
Sabda Rasulullah SAW mengenai penciptaan semesta dikatakan bahwa, ”Allah berfrman:
“Aku adalah khazanah tersembunyi dan Aku ingin diketahui. Karena itu aku menciptakan
makhluk agar Aku diketahui”.” Melalui penciptaan alam semesta inilah Allah diketahui,
sehingga keseluruhan ciptaan mengungkapkan Khazanah Tersembunyi itu. Hubungan
Allah dengan ciptaan-Nya adalah manifetasi (zhuhur) dan pengungkapan diri (tajalli) (lihat
juga Triyuwono 2012).
Berdasarkan kajian tentang kesatuan wujud tersebut, secara sederhana kita bisa
memahami prinsip ashalat al-wujud yang digagas oleh Mulla Sadra dalam prinsip-prinsip
flsafatnya (metafsika). Melalui perwujudan alam semesta, kita bisa mengungkap
khasanah-khasanah tersembunyi serta mencari pemaknaan-pemaknaan (mahiyah/esensi).
Pengungkapan (kemahiyahan) terjadi didahului oleh perwujudannya (dari ada menuju
apa). Seperti dijelaskan sebelumnya, prinsip ini menekankan bahwa yang lebih utama
(real) adalah wujud (eksistensi) bukan mahiyah (ke-apa-an), mahiyah hanya bisa didapat
setelah adanya perwujudan. Jadi dalam prinsip ini, wujud merupakan hal yang lebih
fundamen (Suwanjono 2010; Al Walid 2012; Nur 2012)9.
Tidak ada tuhan selain Allah, sehingga segala proses penciptaan ini hanya semata
dari-Nya, berasal dari Dzat-Nya serta menggambarkan sifat-sifat dan nama-nama-Nya
(refeksi/manifestasi). Semesta ini merupakan manifestasi-Nya sehingga bukan diri-Nya.
Segala sesuatu berasal dari-Nya, sehingga selain diri-Nya adalah ciptaan yang
membutuhkan dan tergantung kepada selain dirinya, yang dibatasi oleh sifat-sifat yang
ada pada dirinya. Sedangkan Wujud Murni adalah wujud yang tidak bergantung kepada
selain diri-Nya dan tidak terbatasi (dideterminasi) oleh apa pun. Keberadaan Wujud Murni
mendahului segala sesuatu, yang ada pada Diri-Nya sendiri, tanpa perubahan, dan
pergerakan. Dia adalah yang pertama, yang menjadi penyebab dan sumber dari segala
sesuatu, tapi tidak berarti akan ada yang kedua setelah-Nya atau sebaliknya, karena
kesatuan Tuhan bukanlah bersifat bilangan karena bilangan adalah karakteristik alam
semesta (Suwanjono 2010).
Mengenai prinsip tasykik al-wujud ini, Al-Walid (2012) dalam kajiannya,
mengemukakan tentang gradasi wujud, dalam istilah Mulla Sadra disebutkan tentang
“pluralitas dalam ketunggalan dan ketunggalan dalam pluralitas”. Mulla Sadra
menggambarkannya seperti perumpamaan cahaya, di mana pendaran cahaya-cahaya yang
menampilkan beraneka warna itu adalah berasal dari satu cahaya, namun pendaranpendaran itu bukanlah cahaya itu sendiri. Tiada perbedaan di antara semua cahayacahaya itu, kecuali pada kekuatan dan kelemahan intensitasnya (Al-Walid 2012:38).
Berdasarkan pendekatan ini, Mulla Sadra ingin menyatakan bahwa wujud merupakan
Wujud Tuhan, seperti cahaya memancarkan warna-warna, demikian pula Wujud Mutlaq
8
9
Maksudnya segala sesuatu itu sumbernya dari Allah SWT.
Suwanjono (2010:92-93) menjelaskan bahwa wujud dapat dijelaskan ke dalam dua
pengertian, yaitu: konsep wujud, sesuatu yang sangat jelas bahkan aksiomatis, dan realitas
wujud yaitu sesuatu yang sangat sulit dipahami, yang hanya dapat dipahami melalui proses
refeksi yang mendalam. Analogi umum yang biasa digunakan oleh para pengkaji flsafat ini
menganalogikan bahwa wujud adalah sesuatu yang sangat terangnya, karena sedemikian
terangnya sehingga tidak mungkin bisa dilihat.
yang memancarkan kuiditas-kuiditas yang bersifat imkan10, yang tidak lain merupakan
ragam bentuk makhluk (Suwanjono 2010 dan Al Walid 2012).
Penempatan prinsip-prinsip flsafat Sadra tersebut di atas menekankan pada
kesatuan wujud yang hadir pada segala sesuatu yang disebut maujud. Peletakan
fundamental inilah, yang dinilai sebagai pijakan yang cukup bagi visi antropokosmik. Yang
pada dasarnya merupakan pandangan yang melihat kosmos sebagai satu kesatuan yang
tunggal organis – antropo berarti manusia, kosmik berarti alam – sebuah kesatuan antara
alam-manusia, sebagai manifestasi Tuhan (pencipta Yang Satu). Dalam sejarah penciptaan
semesta, bahwa tidak akan ada mikrokosmos (manusia) tanpa makrokosmos (alam).
Penciptaan makrokosmos mendahului mikrokosmos, di mana makrokosmos diciptakan
dalam eksistensi secara tepat untuk memungkinkan kemunculan keberadaan manusia.
Tanpa keberadaan manusia, maka tidak ada alasan alam semesta untuk mewujud sejak
semula, demikian sebaliknya (Chittick 2010).
Merujuk pada prinsip flsafat Sadra tentang kesatuan subyek-obyek pengetahuan,
kita akan melihat kesesuaiannya dengan cara pandang visi antropokosmik Weiming.
Dalam kajian kosmologinya, mengenai jiwa dan alam yang mengelaborasi hubungan
keduanya secara mendalam, dan dimengerti dalam hubungan subyek – obyek. Chittick
(2010) menjelaskan bahwa:
“Jiwa manusia adalah suatu subyek yang sadar yang bisa mengambil seluruh
yang ada di alam raya sebagai obyeknya, sehingga mempunyai cara untuk
merangkai jiwa dan kosmos, yang dalam kata-kata Weiming adalah hubungan
antara keduanya adalah organismik”. (Chittick 2010:167)
Subyek yang melakukan proses persepsi terhadap wujud obyek - sebagai yang dipersepsi,
sehingga terjadi hubungan eksistensial yang sederhana, di mana korelasi keduanya
mewujudkan pengetahuan. Hal ini menurut Sadra, bahwa (subyek) jiwa yang mempersepsi
suatu obyek akan menjadi bagian bentuk inteleknya (wujud mental). Bagi Sadra,
sesungguhnya sudah menjadi karakter jiwa manusia untuk mempersepsi seluruh hakikat
yang ada dan bersatu dengannya. Wujud mental yang terbentuk bukanlah sesuatu yang
terpisah dari mental subyek, karena wujud adalah sesuatu yang satu (Al Walid 2012:5354).
Dalam pahaman inilah maka ide Chittick (2010) berkaitan dengan hal ini adalah
bagaimana manusia menjaga harmonisasinya dengan alam. Maka di sinilah nilai penting
pemikiran epistemologis ini dalam membangun pengetahuan keakuntansian, sebagai
penawar racun antroposentrisme (basis fundamen pengembangan akuntansi mainstream)
(Mulawarman 2009). Visi intelektual yang ingin dikembangkan dalam basis visi
antropokosmik ini adalah menyusun implikasi-implikasi tauhid secara teoretis dan praktis.
Visi teoretisnya adalah membangun jalan untuk kembali pada Sang Pencipta dengan
belajar menjadi manusia yang sesungguhnya dan kembali pada ftrahnya (menyempurna).
Sedangkan visi praktisnya adalah tentang bagaimana membangun harmonisasi manusia
dengan langit dan bumi.
Hal ini jika dipandang dalam tatanan kosmologisnya adalah seperti yang dijelaskan
oleh Murata (1999), bahwa kosmos merupakan ungkapan Realitas Allah yang digambarkan
dalam sifat-sifat yang saling bertentangan dan bertolak belakang. Kekhasan taoisme
menyebutkannya dalam yin dan yang, seperti langit – bumi, makrokosmos–mikrokosmos,
baik-buruk, siang-malam, spirit-materi, murka-rahmat dan sebagainya, yang semuanya
10
Imkan bisa diartikan sebagai eksistensinya secara esensial “mungkin meniscaya”, yang
disebut sebagai wujud kontingen atau wujud bergantung. Eksistensinya bisa mewujud atau akan
tidak mewujud. Hal ini bisa juga dipahami dari kutipan Qur’an Surat Yaasiin ayat 82, yang
berbunyi, “Sungguh bila Allah menghendaki sesuatu, Cukuplah Ia berkata ‘Jadilah!’ maka
sesuatu itu jadi” (QS 36:82).
ditunjukkan dalam seluruh eksistensi. Dari dualitas itu, yang kita tahu bahwa semuanya
adalah bersumber dari Yang Satu adalah satu. Hal ini menyebabkan keduanya tidak saling
bertentangan satu sama lainnya karena semuanya bersumber dari sumber yang satu, dan
tidak terpisah-pisah. Murata (1999) menjelaskan hal ini sebagai sesuatu yang polar dan
saling berhubungan, komplemen, dan bersifat mutualisme11. Dualitas dan pertentanganpertentangan ini harus dipahami sebagai interaksi konstan dari perwujudan nama-namaNya melalui perubahan (harakah) dan transmutasi (isthala).
Dalam tradisi hikmah, bahasan mengenai harakah merupakan bagian dari
dialektika pemikiran Sadra, yang masuk dalam kajian-kajian metafsika (Al Walid 2012).
Sama halnya dengan Weiming, para pencari hikmah memiliki tujuan tertingginya yaitu
mentransformasikan jiwa-jiwa mereka. Seperti yang dikatakan oleh Chittick (2010), dalam
visi antropokosmik Confusian Weiming, mengatakan bahwa tindakan trasformatif
disandangkan pada visi transenden yang menegaskan bahwa secara ontologis, diri
manusia tidak berhingga dan lebih bernilai dari pada diri yang aktual ini. Sadra (2004)
menyatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah kembali dipersatukan dengan Yang Ilahi,
melalui re-emanasi yang bertingkat-tingkat (lihat pula Kuswanjono 2010). Menyatu dengan
semesta pada esensinya adalah bentuk keberserahan akan kemenyatuan (primordial) diri
dan alam dari proses emanasi Tuhan. Chittick (2005) meringkasnya sebagai berikut:
“Bahwa tauhid mendeklarasikan kesalinghubungan antar segala sesuatu,
karena segala sesuatu berasal dari Prinsip Pertama, yang disambungkan secara
konstan dan dipelihara oleh Prinsip Pertama, dan segala sesuatu akan kembali
kepada Prinsip Pertama” (Chittick 2005).
Dualitas bahkan plural wujud yang berbeda-beda dan saling bertentangan itu
merupakan bagian dari syarat gerak (harakah). Tanpa perbedaan ini maka tak akan ada
gerak. Sadra (2005) melihat bahwa alam semesta ini dimulakan dengan ketiadaan dalam
waktu, yang kemudian dibatasi oleh keberadaan ruang waktu. Dengan melihat kembali
apa yang dianalogikan Murata (1999), bahwa alam dengan guratan dualitas, tiga realitas,
dan plural, sehingga membuatnya dalam batasan (terbatas), dalam ruang waktunya 12 dan
yang menjadi syarat terjadinya gerak. Karena itu dalam prinsip gerak transubstansial
Mulla Sadra dikatakan bahwa tidak ada satu hal pun di alam ini yang diam. Murata (1999)
11
12
Penjelasan menarik yang disampaikan oleh Murata (1999) adalah analoginya tentang tinta
(pena/jiwa), lembaran (kosmos), dan Tuhan. Jiwa merupakan perantaraan Tuhan dan kosmos
(alam), dan karenanya jiwa menghadap dalam dua sisi, Tuhan dan alam. Lembaran (kosmos)
menyebabkan terjadinya dualitas itu, yaitu lembaran (kosmos)-yang padanya guratan diciptakan
(reseptif/feminin)
–
memanifestasikan
perbedaan
dan
guratan
tinta
itu
sendiri
(memberi/aktif/maskulin) – memanifestasikan kontrol yang bersifat mengatur, karenanya
dualitas hanya terjadi pada alam. Jiwa yang menghadap pada Allah sesungguhnya hanya
memiliki satu substansi, cinta (menerima). Sehingga pola hubungannya bersifat polar, karena
dualitas yang terjadi tidak berdiri secara sendiri-sendiri (independen/terfragmentasi), karena
bersumber dari Sang Satu. Dalam tatanan ini, maka kita tidak bisa mengatakan bahwa pola
hubungannya sinergis (mensyaratkan kemandirian dalam pertentangannya), karena pada pola
berpikir ini, berarti kita hanya akan berdiri pada dualitas itu sendiri, dan dualitas yang kita temui
di alam pada dasarnya adalah semu, bukan yang sejati. Murata (1999) juga menyebutkan bahwa
pendekaan dualistik banyak dijumpai dalam ajaran-ajaran sosial, dan pendekatan polar banyak
dijumpai dalam ajaran-ajaran spiritual. Namun dalam tulisan ini, mencoba untuk memformulasi
tatanan polar dalam visi teoretis dan praktis sekaligus, di mana akuntansi (pasti - harus
ditempatkan) merupakan bagian dari implikasi-implikasi tauhid.
Hanya Tuhanlah yang Maha Tak Terbatas, Primer dan tak membutuhkan yang lain, sebuah
Realitas Absolut dan hakiki, abadi, adanya Dia dulu dan sekarang adalah sama, diam (tidak
bergerak), karena Dia Mutlak tanpa dibatasi kemutlakan-Nya, tiada awal dan tiada akhir, luas tak
terbatas, Dia adalah Yang Satu.
menggambarkan bahwa eksistensi segala sesuatu bagaikan seekor kuda yang berlari cepat.
Melalui setiap gerakan, ia mengalami perubahan dan transformasi. Gerak ini menandakan
ada yang dituju (menuju pada sesuatu), yaitu tempat dari mana setiap yang ada ini
berasal. Menuju pada sesuatu yang diam (Wujud) dengan tingkatan eksistensi yang lebih
sederhana, menuju pada Yang Kekal. Di sinilah transformasi jiwa itu terjadi, berdasarkan
pada tingkatan-tingkatan dan kualitasnya masing-masing. Melalui interaksi konstan
antara dirinya dan semestalah yang akan membawa jalan manusia pada kesempurnaan
transformasi jiwanya.
Melalui penjelasan prinsip-prinsip yang diusung dalam flsafat hikmah Sadra, maka
mencukupkan bagi kita untuk menggunakan pendekatan terminologis visi antropokosmik
– dalam membangun pijakan epistemologis (dasar) akuntansi. Konsep kesatuan wujud
(ashalat al-wujud dan tasykik al-wujud) memberikan kejelasan atas kesatuan kosmos dan
manusia sebagai citra (manifestasi) Sang Satu. Melalui penjelasan ini, maka tugas
kosmologis manusia adalah menjaga harmonisasi dirinya dengan semesta yang secara
cermat dijelaskan oleh Sadra dalam prinsip hubungan subyek – obyek pengetahuan. Kedua
point ini tentunya menyelesaikan permasalahan yang ada pada pandangan akuntansi
modern, yang telah menciptakan dunia alienasi-alienasi obyek, sehingga ilmu pengetahuan
lebih berfungsi sebagai alat untuk menguasai dan menjajah alam – sebuah jalan yang
menjauhkan diri manusia pada kesempurnaan Illahiyah.
Prinsip gerak (harakah) Sadra menjelaskan bagaimana pola hubungan dualitas dan
plural wujud dengan konsep kesatuan (tauhid). Hal ini menyelesaikan kegelisahan
epistemologis dalam pengembangan akuntansi syariah sekarang ini, dari sinergi menuju
polar, komplementer, dan mutual. Selain itu konsep gerak transubstansial Sadra
memberikan ilustrasi yang jelas bagaimana setiap hal berjalan pada tujuan yang pasti
pada asalnya yang immaterial. Maka transformasi jiwa yang menuju pada kesempurnaan
(Illah) adalah hal yang ingin dituju dalam jalan visi antropokosmik. Apa yang harus kita
cari sekarang ini (dalam tulisan ini) adalah menemukan prinsip-prinsip teoretis, sebagai
transisi teoretis13 dengan basis epistemologi visi antropokosmik.
Hasil Penelitian: Prinsip-prinsip Teoretis Akuntansi
Berikut ini akan dijabarkan apa dan bagaimana prinsip-prinsip yang akan
membentuk preposisi teori berdasarkan epistemologi visi antropokosmik. Terdapat
beberapa hal yang diajukan dalam konstruksi ini, antara lain: prinsip kesalinghubungan,
orientasi proses, metafsika, perrenial wisdom, multi disiplin dan sistem moral etik.
Kesalinghubungan dalam akuntansi secara sederhana dan esensial dapat kita lihat
dari gambaran hubungan keagenan (agency theory). Konsep kesalinghubungan ini hanya
terbatas pada hubungan reduktif principal (pemilik modal/kapital) dan agent (pemegang
fungsi manajerial dalam pengelolaan modal). Hubungan yang terbatas – hanya antar
manusia, bahkan person to person, yang memiliki sifat individual (self interest). Pola
hubungan yang memuat fungsi akuntabilitas (pertanggungjawaban) kontraktual agent
kepada principal (investor). Agency theory melahirkan beberapa pengembangan konsep
teoretis, di antaranya Entity Theory (ET), Stewardship Theory, dan Enterprise Theory. Dari
teori-teori ini, akuntansi syariah memandang bahwa Enterprise Theory dinilai sebagai teori
yang lebih dekat dengan konsep Islam (Harahap 1997; Triyuwono 2012). Di mana
kemudian dalam perkembangannya diekstensi menjadi SET dengan menginfltrasikan nilai
ketauhidan (Triyuwono 2006). Pengembangan ini menggambarkan pola hubungan
(akuntabilitas) stakeholder tiga aras, yaitu sosial, lingkungan, dan Tuhan sebagai
stakeholder tertinggi.
13
Transisi teoretis dari Syariah Enterprise Theory (SET), yaitu sebagai sebuah teori akuntansi
syariah yang telah mapan.
Jika dilihat perkembangannya, pada dasarnya telah terjadi evolusi konsep, dari
pola hubungan individual kepada pola hubungan yang lebih kompleks. Hal ini jelas
bermuara pada, bahwa secara mendasar aktiftas ekonomi (bisnis) yang mengitari
akuntansi, jelas merupakan aktiftas yang tidak hanya melibatkan entitas-entitas tertentu,
dalam hal ini principal – agent. Aktiftasnya juga melibatkan multi entitas, yaitu: sosial,
lingkungan, dan Tuhan sebagai pengada (pencipta). Jika kita cermati terdapat
pengerucutan pandangan, di mana hal ini secara logis menunjukkan bahwa pada dasarnya
setiap hal yang ada pada tatanan kosmos (dunia) merupakan satu jalinan yang tidak dapat
dipecah-pecah satu sama lainnya, seperti dijelaskan pula dalam Qur’an Surat Al-An’aam
ayat 38. Setiap hal merupakan satu kesatuan entitas yang saling pengaruh memengaruhi
satu sama lainnya. Kesadaran inilah yang sedang terbangun, yang secara lebih mendalam
adalah kesadaran akan keberadaan kosmos dan manusia di dalamnya adalah satu
kesatuan organis, yang berasal dari Sang Satu (Allah SWT)14.
“Artinya: Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung
yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu.
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada
Tuhanlah mereka dihimpunkan”. (QS. 6:38)
Keberadaan AT yang jelas mereduksi keberadaan sesungguhnya realitas kosmos
pasti akan merusak tatanannya yang terdalam. Di sini kita tidak perlu membahas lagi
bagaimana reduksi ini terjadi. Namun yang jelas cara pandang yang memiliki basis dasar
single vision ala newton ini ikut memengaruhi pengembangan teori-teori yang pada
dasarnya memiliki visi akomodatif pada kompleksitas realitas. Seperti halnya
pengembangan SET, tentang multi akuntabilitas (yang tidak hanya berpola principal-agent).
Penempatan many stakeholders (Tuhan, alam, dan sosial) masih menunjukkan pola
hubungan yang ekstrinsik atau permukaan.
Jika kembali pada konsistensi ontologisnya (tauhid), kita bisa merenungkan dua
hal, yaitu: tentang penciptaan (kesatuan wujud) dan hari kebangkitan (maad). Tentang
kesatuan wujud (seperti penjelasan di atas), bahwa terdapat pola kesalinghubungan yang
intrinsik (interdependen). Sedangkan penempatan many stakeholders, menunjukkan
pemisahan-pemisahan yang bukan berpola kesatuan dalam kesalinghubungannya. Tuhan
adalah pencipta, di mana kosmos (alam dan manusia) merupakan ciptaan-Nya
(manifestasi), penciptaan salah satunya merupakan alasan bagi penciptaan lainnya. Maka
setiap perbuatan (manusia) juga memiliki implikasi (akibat) yang intrinsik kepada alam
dan tentunya berpola hubungan ketuhanan.
Penciptaan berpegang pada ketauhidan dan memiliki visi ke-akhirat-an dan
kebangkitan kembali (maad) (hanya menuju Tuhan). Maka konsekuensi logisnya adalah
pada dasarnya manusia hanyalah memiliki satu simpul pertanggungjawaban yaitu hanya
kepada Tuhan semata. Karena Allah adalah alasan dari setiap perbuatan manusia dan
akan dipertanggungjawabkan hanya kepada-Nya, maka pengejawatahannya (manifestasi)
adalah kearifan perilaku atas apa yang kita perbuat di dunia. Jadi setiap apa yang kita
lakukan hanyalah merupakan manifestasi akuntabilitas kita kepada Tuhan. Sehingga pola
14
Ketika kita berasal dari Sang Satu, Zat yang Satu, maka pastilah keberadaan kosmos adalah
satu kesatuan yang memiliki sifat kesatuan pula, kemajemukannya adalah untuk mengukuhkan
Ketunggalan-Nya. Sehingga sifat dan keberadaannya (kosmos) adalah organis.
kesalinghubungannya lebih bersifat intrinsik (dalam). Kita dapat melihat ilustrasi
perbedaan antar teori dalam Tabel 1.
Tabel 1. Pola Hubungan dalam Teori Akuntansi
Teori
Pola Hubungan
Sifat
ET
SET
Principal-Agent
Stakeholders
Visi Antropokosmik
Tuhan-Alam-Sosial
Pencipta-ciptaan
Tuhan-jiwa-alam
Individual
Sinergis
Ekstrinsik
Gradasi
Intrinsik
Prinsip kesalinghubungan ini pada dasarnya berpegang pada tali ontologis Tauhid.
Merujuk pada prinsip Sadra ashalat al-wujud dan tasykik al-wujud, semesta ini
merupakan manifestasi Tuhan dalam gradasi-gradasi wujud. Sehingga keberadaannya
pada dasarnya satu dan hakikat keberagamannya adalah satu, maka partikularpartikularnya pada dasarnya merupakan satu kesatuan organis. Berkaitan dengan
keberadaan ini, akuntansi sebagai teknologi yang memproduksi informasi harus
merefeksikan keberadaan ini. Sehingga informasi akuntansi dapat disajikan secara apa
adanya dan sekaligus apa yang seharusnya. Sebuah informasi yang mencerminkan
keberadaan ini, maka akan dapat menghilangkan reduksi 15 akan kesalinghubungan dalam
setiap aktiftas dalam kosmos. Di mana visi utamanya dan yang intrinsik adalah untuk
mendukung keseimbangan alam dan keadilan sosial, sebagaimana peciptaan semesta ini
ditegakkan dalam keseimbangan dan keadilan.
Implikasi (aksiologis) yang mungkin nampak adalah pengejawantahannya pada
pembentukan akun-akun dalam akuntansi. Akun-akun yang terbentuk tentunya harus
mencerminkan kesalinghubungan ini. Hal ini tentunya juga akan memengaruhi bentuk
akuntansi yang terbangun, tidak lagi berupa kuantifkasi (dari atas ke bawah) yang
merujuk pada hasil tertentu (orientasi hasil). Sehingga berdasarkan pada prinsip ini, maka
bentuk akuntansi dan pembentukan akun-akunnya bersifat atau memiliki keunikannya
masing-masing pada setiap implementasi yang berbeda. Karena bagaimana pun setiap
partikular-partikular memiliki karakter dan keunikannya masing-masing atas setiap
formasi kesalinghubungannya. Keunikan dan karakter yang beragam ini, misalnya
dipengaruhi oleh kondisi geografs tertentu, perbedaan kontur alam, kondisi demograf dan
cara (budaya) sosial masyarakat yang berbeda (antropologis dan sosiologis), dan lainlainnya. Hal ini bisa digambarkan misalnya, sektor pertanian masyarakat Jawa dengan
Sunda atau Sulawesi pasti memiliki keunikannya masing-masing. Pada sistem tertentu
menetapkan pola hubungan bagi hasil, namun pada sistem yang lain memiliki ciri
pertanian komunal, di mana hasil pertanian ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sosial
(bersama) dan dikelola secara bersama-sama.
Berdasarkan penjelasan dari rumusan di atas, prinsip ini akan menjawab beberapa
keraguan yang ada dalam pengembangan konsep teoretis saat ini. Prinsip
kesalinghubungan ini akan mereduksi dan menghilangkan pengaruh cara pandang single
vision ala newton pada kompleksitas cara pandang SET. Cara pandang yang biasa dengan
pengotakan-pengotakan dan struktur sekat building block-nya. Di mana SET semestinya
memiliki cara dan bahasa yang berbeda dalam menggambarkan dan menjelaskan
kompleksitas hubungan yang sesungguhnya memiliki pola kesalinghubungan yang
intrinsik, yang jelas nampak pada keberadaan ontologisnya, tauhid. Kedua, prinsip ini
15
Reduksi secara awal terjadi ketika ilmu pengetahuan dipisahkan dari Tuhan sehingga
menjauhkan dirinya dari realitas yang sebenarnya. Dengan melepaskan Tuhan, maka akan
melepaskan segala macam bentuk pertalian yang ada pada kosmos. Maka di sinilah awal reifikasi
terjadi, reduktif, dan menjauhkan diri dari realitas yang sebenarnya.
bertujuan untuk membentuk informasi yang apa adanya dan apa yang seharusnya, yaitu
dengan memotret realitas yang pada dasarnya memiliki kesalinghubungan.
Konsekuensinya adalah keberagaman bentuk informasi akuntansi. Visi utama dari prinsip
ini adalah dalam usaha untuk mendukung keseimbangan alam dan keadilan sosial.
Orientasi Proses, dalam prinsip ini, kita perlu membuat penekanan atas perbedaan
orientasi proses dan hasil (stock concept dalam konsep akuntansi mainstream).
Berdasarkan penekanan ini, kita akan mengurai perbedaan dan gambarannya tentang
bagaimana kedua konsep ini. Sebagaimana kita ketahui orientasi sistem akuntansi adalah
pada “hasil” dengan menggunakan logika capital accumulation (Chwastiak 2003) atau stock
concept (Rahmanti et al. 2013). Hal ini bisa kita lihat dalam gambaran laporan keuangan
(akuntansi) berupa perubahan ekuitas dan neraca keuangan perusahaan. Laporan ini
memberikan informasi tentang bagaimana kinerja manajemen dalam mengembangkan
kapital pemilik modal sebagai bentuk akuntabilitasnya (Chen et al. 2012). Dari laporan
neraca dan perubahan ekuitas ini, pemegang saham akan melihat progresiftas perubahan
permodalan yang tertanam dalam perusahaan yang dikelola oleh manajemen.
Progresiftas atas laba akuntansi yang terkonsepsi pada matching concept
(Mulawarman 2011) merupakan bentuk inheren akuntansi dalam membentuk income.
Penandingan pendapatan - beban yang berakhir pada ambisi proft “laba” perusahaan pada
laporan laba rugi, jelas merupakan konsep penting yang mendukung pada muara konsep
“stock”. Konsep penandingan itu adalah menekan biaya serendah-rendahnya dan
mendorong proft yang setinggi-tingginya. So, greed is good, adalah idiom para akuntan
yang harus diusung tanpa rasa malu. Logika pertumbuhan tanpa batas dalam akuntansi
jelas menciptakan kesenjangan dan ketidakseimbangan serta ketidakadilan seperti yang
telah dibahas oleh Chwastiak dan Young (2003) dalam tulisannya.
Ravn-Jonsen (2009) dalam temuan penelitiannya melihat bahwa aplikasi Capital
Theory yang diperkenalkan oleh Clark dan Munro (1975), pada model produksi ekosistem
kelautan membawa pada konsekuensi interaksi pemangsa – mangsa (predator – prey
interaction) dan pertumbuhan somatic predator sebagai hasil dari interaksi. Temuantemuan ini secara jelas menunjukkan bahwa logika stock concept membawa pada
eksploitasi dan pemangsaan yang berkuasa (kuat) atas yang lemah (secara kapital) yang
akan membawa pada kesenjangan dan ketidakadilan. Berkaitan dengan hal ini pula,
tentang capital accumulation yang didiskusikan dalam laporan tahunan, Chwastiak dan
Young (2003) menyatakan bahwa maksimasi proft membawa pada isu dehumanisasi
pekerja, dampak negatif atas eksploitasi bumi, neraka peperangan, pemiskinan manusia
dan sosial yang tumbuh dari daya konsumerisme yang tinggi.
Pada sisi lain, dalam perkembangan dan praktik akuntansi sosial dan lingkungan
(seperti Global Reporting Initiative) masih memakai dasar pemikiran triple bottom line
Elkington (1997), 3P (People, Planet, Profit). Konsep 3P masih berkutat pada isu “growth”
(pertumbuhan) “ekonomi”. Logika pertumbuhan ekonomi jelas mereduksi konsep
keberlanjutan kehidupan yang divisikan. Konsep pertumbuhan menuntut terbentuknya
konsepsi stock dalam pertumbuhan ekonomi (kapital), maka kedua unsur people dan
planet akan sangat riskan hanya akan jatuh pada dilema legitimasi politik perusahaan,
double standard (Chariri 2008). Hal ini juga tampak nyata bahwa laporan keuangan
merupakan bentuk pelaporan mandatory dan laporan lingkungan dan sosial yang bersifat
suplemen (voluntary)16. Orientasinya masih berpusat pada pembentukan stock dan rentan
16
Pada saat ini juga sedang digodog Integrated Reporting (IR) yang digagas oleh International
Integrated Reporting Council (IIRC) sejak 2011, dan di akhir 2013 dipublikasikan apa tujuan dari
IR, masa 2014 – 2017 merupakan fase breakthrough bagi pembentukan fnal IR. Namun jika kita
lihat dari tujuan utamanya (primary objective), bisa dilihat bahwa tujuan dan visi IIRC dalam
pembentukan ini adalah masih berkutat pada masalah stabilitas dan keberlanjutan keuangan.
Sedangkan tujuan dari apa yang kita gagas dalam tulisan ini adalah bagaimana membangun
dalam hegemoni kepentingan capital (stock) pula. Meskipun telah muncul pula
metamorfosis konsep Quadrangle Bottom Line yang digagas oleh Sukoharsono (2010),
namun konsep ini masih belum memberikan bentuk dan posisioning yang jelas. Aspek
spiritual yang digagas seharusnya secara mendasar mampu mereduksi tujuan dasar
akuntansi yang bersifat capital acummulation, karena visi spiritualitas dan keTuhanan
pasti membentuk perbedaan orientasi dan tujuan.
Lantas bagaimana dengan perkembangan akuntansi syariah sekarang ini?
Perkembangannya pada era sekarang, pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh keberadaan
akuntansi mainstream (konvensional). Hal ini secara psikologis memang dipengaruhi oleh
kebutuhan akan keberadaan perbankan yang akhirnya memunculkan perkembangan
perbankan syariah dan