BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Salak 2.1.1. Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Salak - Studi Pemanfaatan Arang Aktif Serbuk Biji Salak (Salacca Edilus Reinw) Sebagai Adsorben Cr (VI) Dalam Limbah Cair Elektroplating
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Salak
2.1.1. Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Salak
Klasifikasi ilmiah dari tanaman salak adalah sebagai berikut; Kerajaan : Plantae Divisi :Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Arecales Famili : Arecaceae Genus : Salacca Spesies : Salacca edilus reinw
Salak dalam bahasa latinnya adalah salacca edulis reinw atau salacca zalacca, dan salak tanaman asli merupakan indonesia. Salak termasuk golongan palmae, serumpun dengan kelapa, kelapa sawit, aren, palem, pakis yang bercabang rendah dan tegak. Batangnya hampir tidak kelihatan karena tertutup pelepah daun yang tersusun rapat dan berduri. Dari batang yang berduri itu tumbuh tunas baru yang dapat menjadi anakan atau tunas bunga-bunga salak dalam jumlah banyak.
Akar tanaman salak dangkal, panjang, dan kuat seperti akar kelapa atau aren. Tanaman salak dapat hidup bertahun-tahun sehingga dapat mencapai ketinggian 1,5- 8 meter, bergantung pada jenisnya. Dari akar yang tua dapat tumbuh tunas baru yang juga dapat ditangkarkan sebagai bibit.
Tanaman salak termasuk golongan tanaman berumah dua, artinya jenis tanaman yang membentuk bunga jantan pada tanaman terpisah dari bunga betinanya. Dengan kata lain, setiap tanaman memiliki satu jenis bunga atau disebut tanaman berkelamin satu (Soetomo,2001).
Gambar 2.1. Tanaman salak (Salacca edulis reinw)2.1.2. Daerah Penyebaran Salak
Salak ditemukan tumbuh liar di alam di Jawa bagian barat daya dan Sumatra bagian selatan. Akan tetapi asal usul salak yang pasti belum diketahui. Salak dibudidayakan di Thailand, Malaysia dan Indonesia, ke timur sampai Maluku. Salak juga telah diintroduksi ke Filipina, Papua Nugini, Queensland dan juga Fiji.Sebagian ahli menganggap salak yang tumbuh di Sumatra bagian utara berasal dari jenis yang berbeda, yakni Salak sumatrana. Salaccazalacca sendiri dibedakan lagi atas dua varietas botani, yakni variates zalacca dari Jawa dan variates amboinensis Mogea dari Bali dan Ambon (Tjahjadi,1988).
2.1.3. Kegunaan Salak
Salak terutama ditanam untuk dimanfaatkan buahnya, yang populer sebagai buah meja. Selain dimakan segar, salak juga biasa dibuat manisan, asinan, dikalengkan, atau dikemas sebagai keripik salak. Salak yang muda digunakan untuk bahan rujak. Umbut salak pun dapat dimakan.
Helai-helai anak daun dan kulit tangkai daunnya dapat digunakan sebagai bahan anyaman, meski tentunya sesudah duri-durinya dihilangkan lebih dahulu. Karena duri-durinya hampir tak tertembus, rumpun salak kerap ditanam sebagai pagar.
Untuk pengobatan seperti untuk menghentikan diare, jadi bila kebanyakan makan salak akan menyebabkan kesulitan membuang air besar dalam kadar menengah. kadang kulit salak juga di gunakan dalam traditional china medicine/jamu sebagai bahan obat (Hieronymus,1990).
2.1.4. Syarat Tumbuh
1. Iklim
1. Salak akan tumbuh dengan baik di daerah dengan curah hujan rata-rata per tahun 200-400 mm/bulan. Curah hujan rata-rata bulanan lebih dari 100 mm sudah tergolong dalam bulan basah. Berarti salak membutuhkan tingkat kebasahan atau kelembaban yang tinggi.
2. Tanaman salak tidak tahan terhadap sinar matahari penuh (100%), tetapi cukup 50-70%, karena itu diperlukan adanya tanaman peneduh.
2. Tanah 1.
Tanaman salak menyukai tanah yang subur, gembur dan lembab.
2. Derajat keasaman tanah (pH) yang cocok untuk budidaya salak adalah 4,5 - 7,5.
3. Ketinggian Tempat
Tanaman salak tumbuh padaketinggian tempat 0-700 m diatas permukaan laut (Tjahjadi,1988).
2.2 Arang Aktif
Arang adalah suatu padatan berpori yang terdiri dari karbon yang berbentuk amorf. Arang diproleh dari hasil pembakaran bahan-bahan yang mengandung karbon dengan udara terbatas pada suhu tinggi. Arang bukan merupakan karbon murni tetapi masih mengandung hidrokarbon dan abu yang terabsorbsi pada permukaannya. Dengan demikian arang mengalami perubahan sifat-sifat fisika dan kimia. Arang demikian disebut karbon aktif (Raja,S.2006).
Karbon aktif merupakan padatan berpori yang mengandung 85-95% karbon, dihasilkan dari bahan-bahan yang mengandung karbon dengan pemanasan pada suhu tinggi. Ketika pemanasan berlangsung, diusahakan agar tidak terjadi kebocoran udara didalam ruangan sehingga bahan yang mengandung karbon tersebut hanya terkarbonasi dan tidak teroksidasi. Karbon aktif mempunyai kapasitas yang besar untuk mengadsorpsi molekul-molekul organik. Ini dihasilkan dengan menerapkan serangkaian proses perlakuan seperti dehidrasi, karbonasi dan aktivasi terhadap material-material yang kaya dengan karbon (Dean,R.1981).
Arang aktif dibagi atas 2 tipe, yaitu arang aktif sebagai pemucat dan sebagai penyerap uap. Arang aktif sebagai pemucat, biasanya berbentuk serbuk yang sangat
o
halus dengan diameter pori mencapai 1000 A , digunakan dalam fase cair, berfungsi untuk memindahkan zat-zat penganggu yang menyebabkan warna dan bau yang tidak diharapkan, membebaskan pelarut dari zat-zat pengganggu dan kegunaan lain yaitu pada industri kimia dan industri baru. Arang aktif ini diperoleh dari serbuk-serbuk gergaji, ampas pembuatan kertas atau dari bahan baku yang mempunyai densitas kecil dan mempunyai struktur yang lemah. Arang aktif sebagai penyerap uap, biasanya berbentuk granular atau pellet yang sangat keras dengan diameter pori
o
berkisar antara 10-200 A , tipe pori lebih halus, digunakan dalam fase gas, berfungsi untuk memperoleh kembali pelarut, katalis, pemisahan dan pemurnian gas. Diperoleh dari tempurung kelapa, tulang, batu bata atau bahan baku yang mempunyai bahan baku yang mempunyai struktur keras (Sinaga,J.2003).
2.2.1. Sumber Arang Aktif
Arang aktif dapt dibuat dari bahan yang mengandung karbon baik organik, atau anorganik, baik yang berasal dari hewan, tumbuh-tumbuhan, limbah, ataupun mineral misalnya seperti serbuk gergaji, tongkol jagung, kayu keras, kayu lunak, tempurung kelapa, residu petrolium, tandan kelapa sawit, ampas penggilingan tebu, endapan minyak, tempurung biji kelapa sawit dan lain-lain. Jenis-jenis bahan baku yang digunakan menentukan jenis arang aktif yang diperoleh (Raja,S.2006).
2.2.2. Pembuatan Arang Aktif Arang aktif dapat dibuat menjadi dua tahap yaitu tahap karbonasi dan tahap aktivasi.
Karbonasi merupakan proses pengarangan dalam ruangan tanpa adanya oksigen dan bahan kimia lainnya, pada proses ini pembentukan struktur pori dimulai. Karbonasi terjadi beberapa tahap yaitu penghilangan air atau dehidrasi dan perubahan bahan organik menjadi unsur karbon. Sedangkan tahap aktivasi dilakukan dengan perendaman arang dalam, arang direndam dalam larutan pengaktif bahan pengaktif masuk diantara sela-sela lapisan heksagonal karbon aktif dan selanjutnya membuka permukaan yang tertutup dan memperbesar pori. Adanya interaksi antara zat pengaktivasi dengan struktur atom-atom karbon hasil karbonasi adalah mekanisme dari proses aktivasi. Ada beberapa klasifikasi pori yaitu:Mikropori: diameter < 2 nm, Mesopori: diameter 2 – 50 nm, dan Makropori: diameter > 50 nm (Fauziah, 2009).
Aktivasi dibagi menjadi dua yaitu aktivasi fisika dan aktivasi kimia. Aktivasi fisika dapat didefinisikan sebagai proses memperluas pori dari arang aktif dengan bantuan panas, uap dan CO . Pengaruh utama aktivasi arang dengan uap panas adalah
2
untuk menciptakan dan memperluas pori arang. Semakin tinggi suhu aktivasi maka terjadi peningkatan kristalinitas, diameter pori dan reduksi senyawa kimia arang aktif. Pada batas tertentu peningkatan suhu justru akan menurunkan volume mikroporinya. Sedangkan aktivasi kimia merupakan aktivasi dengan pemakaian bahan kimia yang dinamakan aktivator. Bahan-bahan kimia yang dapat digunakan antara lain asam nitrat, asam sulfat, besi (III) klorida, kalsium hiroksida, kalsium fosfat, sianida, mangaan klorida, natrium hidroksida, kalium karbonat, asam fosfat, kalium sulfida, kalium hidroksida, dan kalim karbonat (Darmawan, 2009).
Kualitas arang aktif dinilai berdasarkan persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-3730-1995 pada Tabel dibawah ini:
Tabel 2.1 Persyaratan Arang Aktif Standar Nasional Indonesia (SNI) 06-3730-1995Uraian Syarat Kualitas Butiran Serbuk Kadar Air (%) Maks 4,5 Maks 15 Kadar Abu (%) Maks 2,5 Maks 10 Kadar Zat Terbang (%) Maks 15 Maks 25 Bagian tak mengarang
90
- Jarak Mesh (%)
- Lolos Mesh
Min 90
80 - Kekerasan Karbon Aktif murni Min 80 Min 65
(Sumber: SNI 06-3730-1995)
2.2.3. Adsorpsi
Adsorpsi adalah molekul-molekul pada permukaan zat padat atau zat cair, mempunyai gaya tarik ke arah dalam, karena tidak ada gaya-gaya lain yang mengimbangi. Adanya gaya-gaya ini menyebabkan zat padat dan zat cair, mempunyai gaya adsorpsi. Pada adorpsi gas dipermukaan zat padat, terjadi kesetimbangan antara gas yang terjerap dengan gas sisa. Daya jerap zat padat terhadap gas tergantung pada jenis adsorben, jenis gas, luas permukaan adsorben, temperatur gas dan tekanan gas. Makin luas permukaan adsorben, makin banyak gas yang dapat diserap. Luas permukaan sukar ditentukan, hingga biasanya daya jerap dihitung tiap satuan massa adsorben (Sukardjo, 2002).
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan adsorpsi, yaitu:
1. Pengadukan Kecepatan adsorpsi ditentukan oleh difusi pori tergantung pada jumlah pengadukan dalam sistem. Jika pengadukan yang relatif kecil terjadi antara partikel karbon dan fluida permukaan cairan disekitar partikel akan menjadi tebal dan difusi akan bertindak sebagai pembatas laju reaksi adsorpsi. Jika tersedia campuran yang cukup merata, kecepatan difusi film akan meningkat sampai titik tertentu sedemikian hingga difusi pori menjadi pembatas laju reaksi..
2. Karakteristik adsorben (arang aktif) Ukuran partikel dan luas permukaan adalah sifat-sifat yang penting dari suatu karbon aktif yang berhubungan dengan kegunaannya sebagai adsorben. Ukuran partikel karbon mempengaruhi kecepatan terjadinya adsorpsi, kecepatan adsorpsi meningkat dengan menurunnya ukuran partikel. Kapasitas adsorpsi dari suatu karbon bergantung pada luas permukaan total. Ukuran partikel karbon tidak memiliki efek besar terhadap luas permukaan total. Jika kebanyakan bidang permukaan berada didalam pori partikel karbon bubuk dan butiran karbon dengan berat yang sama pada dasarnya akan mempunyai kapasitas yang sama pula.
3. Kelarutan adsorbat Untuk terjadinya adsorpsi, molekul harus dipisahkan dari pelarut dan diikat pada permukaan karbon. Senyawa-senyawa yang dapat larut mempunyai affinitas yang kuat terhadap pelarutnya sehingga lebih sulit diadsorpsi dibandingkan dengan senyawa-senyawa yang tidak larut. Namun, ada pengecualian, yaitu senyawa yang sedikit larut sulit diadsorpsi sementara yang sangat larut mudah diadsorpsi.
4. Ukuran molekul adsorbat Jika molekul-molekul dapat memasuki mikropori partikel karbon maka ia akan diadsorpsi. Menurut penelitian seri homolog asam-asam alifatik aldehid dan alkohol, adsorpsi biasanya meningkat dengan semakin besarnya ukuran molekul. Ini disebabkan oleh gaya-gaya interaksi antara karbon dan molekul lebih besar apabila jarak antar pori dan molekul lebih dekat. Kebanyakan limbah cair mengandung campuran senyawa-senyawa dari segala ukuran. Dalam situasi seperti ini bisa terjadi halangan molekular, contohnya molekul yang berukuran lebih besar akan menyumbat pori sehingga menghalangi masuknya molekul yang tidak teratur dan adanya gerakan acak.
5. pH pH berlangsungnya adsorpsi mempunyai peranan penting terhadap adsorbsi itu sendiri. Menurut kenyataannya ion-ion hidrogen diadsorpsi dengan kuat, dan secara sepihak pH mempengaruhi ionisasi serta adsorpsi berbagai senyawa. Asam-asam organik lebih dapat diadsorpsi pada pH rendah. Sementara basa-basa organik pada pH tinggi. pH optimum untuk proses adsorpsi ditentukan oleh uji laboratorium.
6. Temperatur Apabila dihubungkan dengan proses adsorpsi, temperatur akan mempengaruhi baik kecepatan adsorpsi maupun yang berkaitan dengan terjadinya adsorpsi. Adsorpsi akan meningkat pada temperatur rendah dan akan menurun pada temperatur yang lebih tinggi (Sahri,1998).
2.3. Kromium Kromium (Cr) adalah logam kristalin putih dan tidak dapat ditempah dengan mudah.
Dalam tabel periodik, kromium merupakan unsure yang terletak pada golongan VI B dan pada periode ke empat dengan nomor atom 24 dan bobot atom 52. Logam
o
melebur pada 1765
C. dalam larutan air, kromium membentuk tiga jenis ion yaitu: kation-kation kromium (II) dan (III) dan anion kromat dan dikromat dalam mana
6+
keadaan oksidasi kromium adalah Cr . Ion kromium (II) membentuk larutan berwarna biru dan agak tidak stabil, karena merupakan zat pereduksi yang kuat.
Oksigen dan atmosfer dengan mudah mengoksidasinya menjadi ion kromium (III)
2- 2-
yang lebih stabil. Dalam kromat, CrO atau dikromat Cr O anion kromium adalah
4
2
7
heksavalen dengan keadaan oksida 6+. Ion-ion kromat berwarna kuning sedangkan ion-ion dikromat berwarna jingga. (Vogel,A.I.1979).
Kromium merupakan elemen yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan unsur yang essensial bagi manusia dan hewan pada konsentrasi yang rendah. Bentuk trivalent dibutuhkan untuk mempertahankan metabolisme glukosa agar tetap normal. Menurut rekomendasi kesehatan, kebutuhan kromium sehari-hari adalah 50-200 µg/hari.
Karsinogenitas kromium biasanya disebabkan oleh kromium heksavalen
6+ 6+
(Cr ), yang bersifat korosif. Telah disarankan bahwa Cr yang mudah diambil oleh
3+
sel, berubah menjadi Cr dalam sel. Efek kronis dari kromium dilaporkan meliputi kulit, iritasi membran selaput lender, hati, kanker paru-paru.
Kromium merupakan logam transisi yang penting, senyawanya berupa senyawa kompleks yang memiliki berbagai warna yang menarik, berkilau, titik lebur pada suhu yang tinggi serta tahan terhadap perubahan cuaca. Selain itu pelapisan logam dengan kromium menghasilkan paduan logam yang indah, keras, dan melindungi logam lain dari korosi. Sifat-sifat kromium inilah yang menyebabkan logam ini banyak digunakan dalam industri electroplating, penyamakan kulit, cat tekstil, fotografi, pigmen (zat warna), besi baja, dan industri kimia. Dilain pihak logam kromium ini juga dapat menimbulkan kerugian bagi lingkungan tanah, udara, dan terutama lingkungan air yang sangat vital bagi kehidupan manusia apabila tidak dikendalikan dengan baik.
Air yang mengandung ion krom (III) akan menimbulkan masalah karena ion logam ini dapat berubah menjadi ion krom yang bervalensi enam (heksavalen) yang bersifat toksik (racun), karena jika terakumulasi dalam tubuh dapat menyebabkan kanker dan perubahan genetik. Hal ini dapat terjadi karena krom dapat merusak sel- sel di dalam tubuh. Senyawa krom pada sumber-sumber air alam ataupun air limbah industri dapat berada dalam bentuk krom (III) dan krom (VI) yang mempunyai sifat berbeda. Krom (III) esensial bagi mamalia untuk metabolisme gula, ptotein, dan lemak. Senyawanya lebih stabil di air serta sifat racunnya tidak terlalu besar. Berbeda dengan krom (VI) karena bersifat sangat oksidatif. Batas maksimum krom(VI) yang diperbolehkan dalam air sehat 0,05 mg/L sedangkan dalam air limbah 0,1 mg/L.(Raja,S.2006)
2.4. 1,5-Difenilkarbazida (DiPC)
1,5-Difenilkarbazida merupakan suatu molekul dengan dengan rumus C
13 H
14 N
4 O
yang memiliki berat molekul 242,28 gr/mol. senyawa ini sering digunakan pada penentuan logam kromium IV dari suatu larutan dimana akan dibentuk suatu molekul kompleks dengan kromium tersebut. struktur dari senyawa ini adalah sebagai berikut ;
Gambar 2.3 1,5-DifenilkarbazidaKompleks kromium difenilkarbazida dibentuk oleh molekul Cr IV dengan reagen pengompleks 1,5-difenilkarbazida. Kompleks ini memiliki warna ungu dengan menyerap sinar panjang gelombang 540 nm. (Eka,R.2008)
2.5. Spektrofotometri
Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Kelebihan spektrofotometer dibandingkan fotometer adalah panjang gelombang dari sinar putih dapat lebih terseleksi dan ini diperoleh dengan alat pengurai seperti prisma, grating ataupun celah optis.
Pada fotometer filter, tidak mungkin diperoleh panjang gelombang yang benar-benar monokromatis, melainkan suatu trayek panjang gelombang 30-40 nm. Sedangkan pada spektrofotometer, panjang gelombang yang benar-benar terseleksi dapat diperoleh dengan bantuan alat pengurai cahaya seperti prisma. Suatu spektrofotometer tersusun dari sumber- sumber spektrum tampak yang kontinyu, monokromator, sel pengabsorpsi, untuk larutan sampel atau blanko ataupun pembanding (Khopkar, 2002).
2.5.1. Spektrofotometri UV dan Sinar Tampak
2.5.1.1. Cara Kerja dan Prinsip Spektrofotometri
Cara kerja spektrofotometer secara singkat adalah sebagai berikut. Tempatkan larutan pembanding, misalnya blanko dalam sel pertama sedangkan larutan yang akan dianalisis pada sel kedua. Kemudian pilih fotosel yang cocok 200 nm - 650 nm (650 nm –
1100 nm) agar daerah λ yang diperlukan dapat terliputi. Dengan ruang fotosel dalam keadaan tertutup “nol” galvanometer dengan menggunakan tombol dark- current. Pilih yang diinginkan, buka fotosel dan lewatkan berkas cahaya pada blanko dan “nol” galvanometer didapat dengan memutar tombol sensitivitas. Dengan menggunakan tombol transmitansi, kemudian atur besarnya pada 100%. Lewatkan berkas cahaya pada larutan sampel yang akan dianalisis. Skala absorbansi menunjukkan absorbansi larutan sampel (Khopkar, 2002)
Prinsip dari spektrofotometri sinar tampak yaitu apabila radiasi dilewatkan melalui larutan berwarna dengan panjang gelombang tertentu, sebagian radiasi akan diserap (diabsorpsi) secara selektif dan radiasi lainnya dilewatkan (transmisi). Besarnya kemampuan molekul-molekul zat terlarut untuk mengabsorbsi cahaya pada panjang gelombang tertentu dikenal dengan istilah absorbansi (A), yang setara dengan nilai konsentrasi larutan tersebut dan panjang berkas cahaya yang dilalui (biasanya 1 cm dalam spektrofotometri) ke suatu poin dimana persentase jumlah cahaya yang ditransmisikan atau diabsorbsi diukur dengan phototube. Cahaya yang diserap oleh suatu zat berbeda dengan cahaya yang ditangkap oleh mata manusia. Cahaya yang tampak atau cahaya yang dilihat dalam kehidupan sehari-hari disebut warna komplementer(Sumber: Vogel, 1994) Tipe instrumen spektrofotometri UV-Visibel dapat dikelompokkan menjadi:
a. Spektrofotometer berkas tunggal (single beam) Cahaya polikromatik dari sumber yang difokuskan pada celah masuk dari sebuah monokromator, yang selektif mengirimkan berkas sempit dari cahaya. Cahaya ini kemudian melewati daerah sampel menuju detektor. Absorbansi sampel ditentukan dengan mengukur intensitas cahaya mencapai detektor tanpa sampel (kosong) dan membandingkannya dengan intensitas cahaya yang mencapai detektor setelah melewati sampel.
b. Spektrofotometer berkas ganda (double-beam) Dalam spektrofotometer berkas tunggal yang biasa, kuvet kosong dan sampel diukur secara berurutan, dengan jarak waktu beberapa detik untuk pengukuran panjang gelombang tunggal dan sampai beberapa menit untuk pengukuran spektrum penuh dengan alat yang biasa. Lintasan cahaya dapat mengakibatkan kesalahan yang penting selama jarak waktu yang lama.
Spektrofotometer berkas ganda dikembangkan untuk mengimbangi perubahan-perubahan dalam intensitas lampu antara pengukuran pada kuvet yang kosong dan kuvet sampel. Dalam bentuk ini, sebuah pemotong ditempatkan pada jalur optik, dekat sumber cahaya. Tombol Pemotong jalur cahaya berada diantara jalur optik referensi dan jalur optik sampel ke detektor. Ini berputar pada kecepatan yang sesuai dengan pengaturan berganti dari kuvet yang kosong dan kuvet sampel terjadi beberapa kali per detik, kemudian memperbaiki intensitas cahaya dari perubahan menengah dan masa panjang (Owen, T. 1996).
2.5.1.2. Instrumentasi Spektrofotometri UV dan Sinar Tampak (Visible)
Spektrofotometer sinar tampak terdiri dari:
1. Sumber cahaya Sumber cahaya digunakan untuk memberikan cahaya yang akan dilewatkan kedalam sampel. Sumber radiasi ultra violet yang kebanyakan digunakan adalah lampu hidrogen dan lampu deuterium. Yang terdiri dari sepasang elektroda yang terselubung dalam tabung gas dan diisi dengan gas hidrogen dan deuterium yang bertekanan rendah. Sumber radiasi ultraviolet lain adalah lampu xenon, tetapi tidak sestabil lampu hidrogen.
2. Monokromator Dalam spektrometer, radiasi yang polikromatik yang harus diubah menjadi radiasi monokromatik. Ada dua jenis alat yang digunakan untuk mengurai radiasi polikromatik menjadi monokromatik yaitu penyaring dan monokromator. Penyaring dibuat dari benda khusus yang hanya meneruskan radiasi pada daerah panjang gelombang tertentu dan penyerap radiasi dari panjang gelombang yang lain. Monokromator merupakan serangkaian alat optik yang mengurai radiasi polikromatik menjadi jalur-jalur yang efektif/panjang gelombang-gelombang tunggalnya dan memisahkan panjang gelombang-gelombang tersebut menjadi jalur-jalur yang sangat sempit (Sastrohamidjojo, H. 2001).
3. Sel atau kuvet Kuvet atau sel merupakan wadah sampel yang akan dianalisis. Ditinjau dari pemakaiannya kuvet ada dua macam yang permanen terbuat dari bahan gelas leburan dan silika atau kuvet disposable untuk satu kali pemakaian yang terbuat dari Teflon atau plastik. Ditinjau dari bahan yang dipakai membuat kuvet, ada dua macam yaitu: kuvet dari leburan silika (kuarsa) dan kuvet dari gelas.
4. Detektor Detektor merupakan salah satu bagian dari spektrofotometri UV-Vis yang paling penting oleh sebab itu kualitas detektor akan menentukan kualitas spektrofotometer UV-Vis. Fungsi detektor didalam spektrofotometer adalah mengubah sinyal radiasi yang diterima menjadi sinyal elektronik (Mulja, 1995).
2.6. Hukum Dasar Spektrofotometri
2.6.1. Hukum Lambert
Hukum ini menyatakan bahwa “bila cahaya monokromatik melewati medium menembus cahaya, laju berkurangnya intensitas cahaya”. Ini setara dengan menyatakan bahwa intensitas cahaya yang dipancarkan berkurang secara eksponensial dengan bertambahnya ketebalan medium. Hukum ini dapat dinyatakan oleh persamaan berikut: Dengan I adalah intensitas cahaya yang masuk dengan panjang gelombang, I ialah tebalnya medium, dan k adalah factor kesebandingan. Jika I = I, untuk l = mol maka akan diperoleh: In Atau dinyatakan dalam bentuk lain Tt = l e – kI
(2) Dengan I ialah intensitas cahaya yang masuk yang jatuh pada suatu medium penyerapyang tebalnya 1. l ialah intensitas cahaya yang diteruskan, dan suatu tetapan untuk panjang gelombang dan medium yang digunakan. Dengan mengubah dasar logaritma diperoleh:
- 4343kl
It = I 10 = I . 10 – KI (3)
o o
Dengan K = k/2,302026, dan biasa disebut koefisien absorpsi. Koefisien absorpsi umumnya didefenisikan sebagai kebalikan dari ketebalan yang diperlukan untuk mengurangi cahaya menjadi l/10 intensitasnya. Ini diturunkan dari persamaan (3) karena:
- Kl
It / I o = 0,1 = 10 atau Kl = l dan K = I / l
Angka banding It / I o adalah bagian dari cahaya masuk yang diteruskan oleh medium setebal I dan disebut transmitans T. kebalikan I / It adalah keburaman, dan
o
absorbans A medium diberikan oleh: A = Log I o / It
(4)
2.6.2. Hukum Beer
Pada hukum ini dijumpai hubungan yang sama antara transmisi dan ketebalan lapisan seperti yang ditemukan oleh Lambert antara transmisi dan ketebalan lapisan (persamaan 2) yakni “intensitas berkas cahaya monokromatik berkurang secara eksponensial dengan bertambahnya konsentrasi zat penyerap secara linier. Ini dapat ditulis dalam bentuk:
- –k’c -0,4343k’c –Kc
It = I e = l . 10 = I . 10 (5)
o o o
Dengan c konsentrasi, dan k’ dan K’ tetapan. Penggabungan persamaan (3) dan (4) akan menghasilkan: Log I / I = a c l
(6)
o t
Inilah persamaan fundamental dari spektrofotometri, dan sering disebut sebagai hukum Lambert-Beer. Nilai a akan jelas bergantung pada cara menyatakan
3
konsentrasi. Jika c dinyatakan mol dm dan 1 dalam cm, maka a diberi lambang E dan disebut koefisien absorpsi molar atau absorptivitas molar. Nampaknya ada hubungan antara absorbans A, transmitans T dan koefisien absorpsi molar, karena A = E c l = log - log T (Vogel, 1994).