BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Partisipasi Politik Perempuan Di Dprd Kabupaten Nias Pada Pemilihan Legislatif Tahun 2014
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Budaya patriarki yang mengakar dan sistem politik yang didominasi oleh
laki-laki memiliki dampak negatif yang besar bagi upaya perempuan untuk mendapatkan hak dalam partisipasi politiknya.Hubungan patriarki tidak hanya terjadi dalam lingkup kekerabatan saja, tetapi juga dalam semua aspek kehidupan manusia seperti ekonomi, politik, sosial, dan keagamaan, bahkan seksualitas.Akibatnya, kaum perempuan selalu berada di bawah kuasa kaum laki- laki dalam pembuatan keputusan publik.
Setiap kekuasaan dalam masyarakat yang menganut sistem patriarki dikontrol oleh laki-laki.Perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh dalam masyarakat atau bisa dikatakan tidak memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat.Mereka secara ekonomi, sosial, politik, dan psikologi tergantung pada laki-laki, khususnya dalam institusi pernikahan.Sehingga dalam keluarga maupun masyarakat perempuan diletakkan pada posisi subordinat atau
inferior .Budaya patriarki memosisikan perempuan pada peran-peran domestik
seperti peran pengasuhan, pendidik, dan penjaga moral.Sementara itu, peran laki- laki sebagai kepala rumah tangga, pengambil keputusan, dan pencari nafkah.Dari berbagai peran yang dilekatkan pada perempuan tersebut membuat mereka terbatas dalam kegiatan bermasyarakat/ berpolitik, arena politik identik dengan dunia laki-laki.Apabila perempuan masuk kepanggung politik kerap dianggap sesuatu yang kurang lazim atau tidak pantas bahkan arena politik dianggap dunia
yang keras, sarat dengan persaingan bahkan terkesan sangat ambisius.
Bila dicermati kancah perpolitikan perempuan di Indonesia dari segi keterwakilan perempuan baik di tataran eksekutif, yudikatif, maupun legislatif sebagai badan yang memegang peranan kunci menetapkan kebijakan publik, pengambil keputusan, dan penyusun berbagai piranti hukum, perempuan masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan laki-laki.Sejak reformasi tahun 1999, jumlah anggota dewan perempuan sebenarnya mengalami peningkatan. Pada tahun 1999 hanya 9,2% kursi DPR RI yang diduduki perempuan. Tahun 2004 jumlahnya meningkat menjadi 11,81%. Pada tahun 2009 jumlahnya kembali
meningkat menjadi 18%. Lalu pada tahun 2014 justru turun menjadi 17,32%.
Namun peningkatan dari tahun 1999 sampai pada tahun 2014 tidaklah signifikan Peran dan keterwakilan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan publik selama ini masih dirasa kurang. Untuk itu dilakukan berbagai upaya untuk mendorong peran dan keterwakilan perempuan melalui penerapan kuota minimal 30% bagi perempuan di parlemen. Agar tujuan tersebut tercapai, dibuatlah UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu.Yaitu Pasal 8 ayat 2 e “ menyertakan sekurang- 1 kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan padakepengurusan
Romany Sihite. 2007. Perempuan, Kesetaraan, keadilan : Suatu Tinjauan Berwawasan Gender. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. hal.158.
2 Dina Martiany, SH, MSi. 2014.Signifikasi Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia
engkajian/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-1.pdf. Diakses pada 20 Desember partai politik tingkat pusat” Kemudian Pasal 55 “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh
persen)keterwakilan perempuan.” amun Jika kita lihat pada pemilihan umum legislatif terakhir pada 09 April 2014 hasilnya masih belum menunjukan perubahan yang signifikan. Bahkan tidak mencapai kuota 30% sebagaimana tercermin pada Gambar 1.1 dan 1.2 dibawah ini.
Gambar 1.1
Komposisi Anggota DPR RI 2014-2019 Berdasarkan Jenis Kelamin
Dari tabel tersebut, PDI-P menjadi partai yang paling banyak menempatkan anggota dewan perempuan dengan jumlah 21 orang.Sementara yang paling sedikit adalah PKS hanya memiliki satu orang anggota dewan 3 perempuan. Undang-undang No. 8 Tahun 2012 pasal 8 dan 53.
di akses 23 desember 2014,
Gambar 1.2
Persentase Anggota DPR RI 2014-2019 dari Tiap Partai Politik Berdasarkan Jenis Kelamin.
Tabel di atas menunjukkan, bahwa tidak ada satu pun partai politik yang memenuhi kuota keterwakilan perempuan sebesar 30% di parlemen seperti yang diharapkan (menyentuh garis biru) atau mencapai 30%. Yang paling tinggi adalah PPP dengan 25,6% kursi, lalu diikuti dengan Partai Demokrat dan PKB dengan 21,3% kursi. Sedangkan yang paling rendah adalah PKS dengan hanya 2,5% kursi .
Gambaran partisipasi politik perempuan diatas memperlihatkan bahwa secara formal adanya minoritas yang cukup besar untuk perempuan berpatisipasi aktif dalam politik yang legal.Menurut Harmona daulaybila di telusurikendala yang dapat dijelaskan dari kondisi ini adalahPertama, sistem negara yang patriarki. Kedua, Sistem politik yang sangat patriarkhis dan sangat identik dengan 5 nilai maskulin.Ketiga, Berlanjut pada partai politik yang hanya melihat Loc.Cit. perempuan sebagai pengumbul suara.Keempat, Sistem sosial budaya yang sangat seksis, misalnya perempuan tertinggal dalam pendidikan, lemahnya persiapan mental untuk berkompetisi, diskriminasi, stereotip sosial dan marginalisasi di
partai dan institusi lainnya.
Undang-undangpemilu yang disahkan tentang kuota 30% perempuan telah memberikan pencerahan terhadap partisipasi politik perempuan dalam legislatif.
Namun kerja keras dalam mendongkrat kualitas perempuan untuk tampil di politik,untuk bisa mempunyai posisi tawar yang seimbang dengan partai serta untuk merubah paradigma politik Indonesia yang syarat dengan ukuran laki-laki bukanlah pekerjaan yang sederhana. Kuota yang diberikan bukan menjadi sisi yang membuat politisi laki-laki terpaksa memberikan ruang untuk perempuan atau disiasati dengan memilih perempuan yang gampang diatur dan tetap pada isu mengangkat perempuan karena unsur kasihan dan unsur kuantitas yang besar yang wajib didengar aspirasinya sebagai pengumpul suara.
Perempuan harus sadar bahwa ketika mereka tidak peduli kepada politik mereka telah menggantungkan hidup mereka pada keputusan Negara yang sangat bias gender karena diputuskan total oleh laki-laki atau oleh perempuan yang belum sensitif gender. Eksistensi politik terwujud dalam aspek kehidupan bersama pada tingkat lokal dan kepekaan terhadap masalah yang ada.Asumsi pentingnya 6 perempuan berpatisipasi dalam politik maka kaum perempuan sendiri memang Harmona Daulay. 2007. Perempuan dalam Kemelut Gender. Medan:USU Press hal.43. harus berjuang untuk bisa melawan pada kondisi, sistem sosial masyarakat, sistem politik, sistem negara dan partai politik yang sangat kental nilai
patriarki. artisipasi perempuan dalam politik secara aktif, menyumbangkan pemikiran sampai kepada kepekaan yang tinggi terhadap permasalahan politik sangatlah diperlukan.
Ada beberapa alasan yang penting bagi perempuan untuk berpatisipasi dalam politik, yaitu :Pertama, Perempuan memiliki pengalaman khusus yang dipahami dan dirasakan oleh perempuan. Seperti isu diskriminasi, marginalisasi, kesehatan reproduksi, isu kekerasan dalam rumah tangga, isu kekerasan seksual dan lain-lain.Kedua, Partisipasi perempuan diharapkan bisa mencegah kondisi yang tidak menguntungkan perempuan dalam mengatasi permasalahan stereotip terhadap perempuan, diskriminasi dibidang hukum, kehidupan sosial dan kerja,marginalisasi di dunia karier dan eksploitasi yang terjadi pada perempuan.Ketiga, Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik dapat berpengaruh pada pengambilan keputusan politik yang mengutamakan
perdamaian.
Kabupaten Nias merupakan salah satu daerah yang sangat kental dengan kehidupan budaya yang patriarki. Dalam adat Nias, terikat kuatoleh adanya sistem kekerabatan yang seringdisebut dengan marga.Marga adalah sebuahsilsilah 7 keluarga yang menjadi identitas suku Nias sejak lahir. Dalam suatu keluargasetiap 8 Ibid . hal.31-32.
Ibid . hal 36. anak akan mengikuti marga dari ayahyang diperoleh sang ayah dari leluhur- leluhursebelumnya.Marga merupakan identitas penting bagi masyarakat Nias.Dengan adanya marga maka suku Nias dapatmengetahui hubungan kekerabatan dan statuskekerabatan mereka.Hal inilah yang menjadiawal
suku Nias.
pembentukan budaya patriarki dalam Dimulai dari pengambilan garis keturunan ayah atau marga ayah yang akan menjadi marga anak, pembagian harta dan sampai pada adat istiadat pernikahan.
Contoh lainya Budaya patriarki Nias adalah membuat semua pesta yang dilaksanakan selalu dalam konteks kebutuhan kaum laki-laki.Puncak dari semua pesta yang harus ditunaikan oleh laki-laki Nias adalah Owasa, pesta terbesarnya.Meskipun pelakunya harus menanggung resiko ekonomi yang serius, demi harga diri pesta itu harus ditunaikan. Dampak sosial pelaksanaan Owasa tersebut sangat berdampak pada pelapisan sosial seorang laki-laki yang akan menikah.Oleh karena itu peran dominasi laki-laki sangat tampak dan didukung oleh budaya patriarki masyarakat yang semakin membuat peran perempuan menjadi minoritas dan terkurung dalam peran domestik, mengurus anak dan dapur.Urusan politik, hubungan dengan masyarakat diserahkan kepada laki-laki.
Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum tentang penetapan nama- nama anggota DPRD terpilih untuk periode 2014-2019, terdapat 25 anggota DPRD yang lolos sebagai pemenang pada pemilihan umum legislatif pada 9 april 2014 silam. Namun sangat disayangkan karena dari 25 anggota DPRD yang medapatkan kursi, tidak seorang pun yang mewakili kaum perempuan semuanya di dominasi laki-laki atau dengan kata lain 100% anggota DPRD terpilih kabupaten nias adalah laki-laki. Tidak jauh berbeda pada pemilihan umum tahun 2009 silam yang hasilnya hanya 2 orang perempuan yang berhasil duduk di kursi legislatif dari 40 orang yang lolos menjadi anggota dewan. Hal ini menunjukan bahwa minoritas kaum perempuan di DPRD kabupaten Nias tidak hanya terjadi pada pemilihan umum tahun 2014 melainkan juga pada pemilihan umum tahun 2009 silam. Padahal Jika dibandingkan berdasarkan berita acara Nomor 156/BA/VI/2014 tentang rekapitulasi daftar pemilih tetap (DPT) di kabupaten nias maka di peroleh hasil DPT perempuan di kabupaten nias sebanyak 47.222 dan
ari data
tersebut menunjukan bahwa pemilih perempuan di kabupaten nias sebenarnya lebih banyak dari pada pemilih laki-laki, namun ironisnya tidak satupun dari calon legislatif perempuan yang berhasil mendapatkan kursi di DPRD Kabupaten Nias.Dengan pemilih perempuan yang lebih dominan dari laki-laki seyogianya sudah mampu untuk menempatkan wakil-wakil perempuan untuk duduk dalam jajaran pembuat keputusan atau anggota legislatif.Hal inilah yang menjadi ketertarikan peneliti untuk melakukan penelitian tentang pengaruh budaya patriarki yang telah melekat dalam kehidupan sosial budaya masyarakat nias
9 KPU Kabupaten Nias.2014. Berita Acara nomor 156/BA/VI/2014 Tentang Rapat pleno rekapitulasi penentapan daftar pemilih tetap (DPT) 2014.
terhadap partisipasi politik perempuan di DPRD kabupaten Nias pada pemilihan umum legislatif tahun 2014.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah adalah usaha untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan penelitian yang perlu dijawab dan dicarikan jalan pemecahannya dan perumusan masalah merupakan konteks dari penelitian dimana memberikan arah terhadap penelitian yang dilakukan.Berdasarkan pemaparan pada bagian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu, Bagaimana pengaruh budaya patriarki di kabupaten Nias terhadap partisipasi politik perempuan di DPRD kabupaten Nias pada pemilihan umum tahun 2014?
C. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah adalah usaha untuk menetapkan masalah dalam batasan penelitian yang akan diteliti. Batasan masalah ini berguna untuk mengidentifikasi faktor mana saja yang tidak termasuk kedalam ruang penelitian tersebut.Maka untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian dengan tujuan menghasilkan uraian yang sistematis diperlukan adanya batasan masalah. Adapun masalah yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah : 1.
Bagaimana Budaya patriarki yang berkembang dalam hubungan bermasyarakat di kabupaten Nias?
2. Bagaimana Pengaruh Budaya patriarki terhadap Partisipasi Politik perempuan di DPRD kabupaten nias pada pemilihan legislatif tahun 2014?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengeksplorasi budaya patriarki yang berkembang dalam kehidupan bermasyarakat di kabupaten nias.
2. Untuk menganalisis pengaruh budaya patriarki terhadap partisipasi politik perempuan di DPRD kabupaten Nias pada pemilihan legislatif tahun 2014
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan agar mampu memberikan manfaat sebagai berikut:
- Secara Teoritis, Penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang dapat memberikan kontribusi pemikiran mengenai pengaruh budaya terhadap partisipasi politik.
- Secara Lembaga, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam kajian tentang pengaruh budaya patriarki terhadap partisipasi politik perempuan di DPRD kabupaten Nias. Serta dapat menjadi referensi bagi departemen Ilmu Politik FISIP USU
- Bagi Masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu membantu masyarakat kabupaten Niassecara khusus dalam memahami pengaruh budaya patriarki terhadap keterwakilan politik perempuan.
F. Kerangka Teori
Dalam sebuah penelitian, teori-teori merupakan alat atau “tool”untuk menjelaskan fenomena yang akan diteliti. Teori-teori yang digunakan harus mampu untuk menjelaskan gejala-gejala yang terjadi dalam sebuah peristiwa dalam hal ini adalah peristiwa politik. Menurut Miriam Budiardjo, teori adalah bahasan dan renungan atas tujuan kegiatan, cara-cara mencapai tujuan, kemungkinan-kemungkinan atau prediksi dan kewajiban yang diakibatkan oleh
tujuan.
F.1Partisipasi Politik
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (Public Policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberi suara dalam pemelihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan (
contacting ) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen,
menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct actionnya, dan
10 sebagainya. Keith Fauls memberikan batasan partisipasi politik sebagai 11 Miriam Budiardjo. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka. Hal. 30.
Ibid . hal. 367. keterlibatan secara aktif (the active angagement) dari individu atau kelompok ke dalam proses pemerintahan. Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintahan.
F.1.1 Bentuk-bentuk Partisipasi Politik
Secara umum bentuk-bentuk partisipasi sebagai kegiatan dibedakan sebagai berikut :
- Partisipasi aktif, yaitu partisipasi yang berorientasi pada proses input dan output. Artinya setiap orang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah tinggi. Warga negara secara aktif mengajukan usul mengenai kebijakan publik, mengajukan alternatif kebijakan publik yang berlainan dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan umum, memilih pemimpin pemerintah dan lain-lain.
- Partisipasi pasif, yaitu partisipasi yang berorientasi hanya pada output, dalam arti hanya mentaati peraturan pemerintah, menerima dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah.
- Golongan putih (golput) atau kelompok apatis, karena menganggap sistem politik yang ada telah menyimpang dari apa yang di cita-citakan. Michael Rush dan Philip Althoffmengidentifikasi bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai suatu tipologi politik. Hirarki tertinggi dari partisipasi politik menurut Rush dan Althoff adalah menduduki jabatan politik atau 12 Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana Prenada Media. hal. 180.
Bentuk dan hierarki partisipasi politik itu sendiri dalam kerangka konsep Rush dan Althoff, secara berturut-turut adalah:
Gambar 1.3 Hierarki Partisipasi PolitikMenduduki jabatan politik atau administrasi. Mencari jabatan politik atau administrasi, Keanggotaan aktif suatu organisasi politik Keanggotaan pasif suatu organisasi politik, Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik(quasi political), Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik (quasi political), Partisipasi dalam rapat umum Ikut serta dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik Voting (pemberian suara), Apati total 13 Sumber : Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana Prenada Media. hal. 185.
Ibid . hal 185.
Samuel P.Huntington dan Juan M.Nelsonjuga menemukan bentuk-bentuk partisipasi politik yang berbeda. Adapun bentuk-bentuk partisipasi politik meliputi :
- Kegiatan Pemillihan, mencakup suara, juga sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seoranng calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan.
- Lobbying, mencakup upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan politik mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang.
- Kegiatan organisasi menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang tujuannya yang utama adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.
- Mencari koneksi, merupakan tindakan peorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu atau segelintir orang.
- Tindak kekerasan, merupakan upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan jalan menimbukan kerugian fisik terhadap
orang-orang atau harta benda
14 Samuel P Huntington & Joan Nelson.1990. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka
Gabriel A. Almondjugamembedakan partisipasi atas dua bentuk, yaitu :
- Partisipasi Politik konvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang “normal“ dalam demokrasi modern.
- Partisipasi politik nonkonvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang tidak lazim dilakukan dalam kondisi normal, bahkan dapat berupa
kegiatan illegal, penuh kekerasan dan revolusioner.
Adapun rincian dari pandangan Almond tentang dua bentuk partisipasi dapat dilihat pada Gambar 1.4berikut : Gambar 1.4
Bentuk Partisipasi Politik
Kovensional Tradisional
- Pemungutan suara • Pengajuan Petisi • Diskusi Politik • Demonstrasi • Kegiatan Kampanye • Konfrontasi • Membentuk dan bergabung • Mogok dengan kelompok kepentingan
- Tindak kekerasan politik terhadap benda (Perusakan,Pembaka
- Komunikasi Individual dengan pejabat politik dan administratif
- Tindak kekerasan Politik terhadap Manusia(Penculikan, Pembunuhan • Perang Gerilya dan Revolusi
Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana Prenada Media. hal.189
15 Sumber : Op.Cit. hal.183-189.F.1.2 Alasan Partisipasi Politik
Menurut Max weber terdapat empat alasan mengapa masyarakat ikut berpatisipasi politik yaitu:
- Alasan Rasional nilai, yaitu alasan yang didasarkan atas penerimaan secara rasional akan nilai-nilai suatu kelompok.
- Alasan emosional afektif, yaitu alasan yang didasarkan atas kebencian atau sukacita terhadap suatu ide,organisasi, partai atau individu.
- Alasan tradisional, yaitu alasan yang yang didasarkan atas penerimaan norma tingkah laku individu atau tradisi tertentu dari suatu kelompok sosial. Pada kelompok tertentu tradisi dijunjung tinggi, misalnya kaum laki-laki yang hanya dibolehkan aktif diranah publik,sedangkan perempuan diharapkan lebih mendominasi ranah domestik, sehingga mempengaruhi pola partisipasi politik mereka.
- Alasan rasional instrumental, yaitu alasan yang didasarkan atas kalkulasi untung rugi secara ekonomi.
16 F.2 Budaya Politik
Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap
orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam
bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem
itu.16 Op.cit . hal 193-198. 17 Gabriel A. Almond & Sidney Verba. 1990. Budaya Politik. Jakarta: Bumi Aksara hal. 16.
Batasan ini memperlihatkan adanya unsur individu, yakni warga negara dan
sistem politik serta keterikatanya. Dalam hal ini, budaya politik terlihat dari
bagaimana sikap individu terhadap sistem politik dan bagaimana pula sikapnya
terhadap individu didalam sistem politik.Sementara itu, Almond dan
Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons
dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut.Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan
pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan
outputnya.Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya,
para aktor dan pe-nampilannya.Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapattentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan
kriteria dengan informasi dan perasaan. Objek Orientasi Politik dapat digolongkan dalam beberapa unsur. Pertama, adalah sistem politik secara umum. Kedua, adalah pribadi sebagai aktor politik yang meliputi dan kualitas, norma-norma kewajiban politik seseorang, serta isi dan kualitas kemampuan diri setiap orangdalam berhadapan dengan sistem politik.Ketiga, adalah Peranan atau struktur
khusus seperti badan legislatif, eksekutif atau birokrasi yudikatif. Kemudian
Pemegang jabatan dan kebijakan timbal balik yang dapat diklasifikasikan dalamproses atau input politik dan proses administratif atau output politik.
18 Ibid hal.17.
F.2.1 TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK F 2.1.1 Budaya Politik Parokial Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling rendah,
yang didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa mereka adalah warga
negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan
lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak
memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya
sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan masalah-masalahpolitik.Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak
memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan
kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika
berhadapan dengan institusi-institusi politik. Oleh karena itu terdapat kesulitan untukmencoba membangun demokrasi dalam budaya politik parokial, hanya bisa bila
terdapat institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan baru. Budaya politik ini
bisa dtemukan dalam masyarakat suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.F.2.1.2 Budaya Politik Subjek Budaya Politik subyek lebih rendah satu derajat dari budaya politikpartisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman yang
sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik, tetapi
keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap mengikuti berita-
berita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik negaranya dan perasaan
komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman
bila membicarakan masalah-masalah politik.Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik
subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh
terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan kontak dengan pejabat
lokal. Selain itu mereka juga memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik
yang rendah, sehingga sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi politik yang
tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik.F.2.1.3 Budaya Politik Partisipan Masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti bahwa mereka
berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka
memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk
mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat
mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan dan
memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok protes
bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair.Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya
demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan warga negara
dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi politik, yaitu
menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacy atau keberdayaan,
karena mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan politik yang ditunjukan oleh
warga negara. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses
pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik. Selain itu warga
negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela,
karena adanya saling percaya (trust) antar warga negara. Oleh karena itu dalam
konteks politik, tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara
politik. Namun dalam kenyataan tidak ada satupun negara yang memiliki budaya
politik murni partisipan, pariokal atau subyek. Melainkan terdapat variasi campuran
di antara ketiga tipe-tipe tersebut, ketiganya menurut Almond dan Verba tervariasi
ke dalam tiga bentuk budaya politik, yaitu a.
Budaya politik subyek-parokial (the parochial- subject culture)
Tipe budaya politik ini sebagian besar penduduknya menolak tuntutan-tuntutan ekslusif (khusus) masyarakat kesukuan atau desa atau otoritas feodal
dan telah mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang kompleks
dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat khusus.Budaya ini
merupakan peralihan dari budaya Parokial menuju budaya Subyek.b.
Budaya politik subyek-partisipan (the subject-participant culture)
Tipe budaya ini sebagian besar penduduk telah memperoleh orientasi-orientasi input yang bersifat khusus dari serangkaian orientasi sebagai seorang
aktivis, sementara itu penduduk lainnya terus diorientasikan kea rah suatu struktur
19 pemerintahan otoritarian dan secara relatif memiliki orientasi pribadi yang pasif.Ibid. hal 20-22 c.
Budaya politik parokial-partisipan (the parochial-participant culture) Tipe budaya ini banyak terdapat pada negara-negara berkembang yang
sedang melaksanakan pembangunan politik. Disejumlah negara ini pada umumnya
buday politik yang dominan adalah budaya parokial. Norma-norma struktural yang
diperkenalkan biasanya bersifat partisipan, dan demi keselarasan mereka menuntut
suatu budaya partisipan Persoalan yang muncul adalah sering kali terjadi
ketimpangan antara struktur yang yang menghendaki sifat partisipan dengan budaya
alamiah yang masih bersifat parokial. Oleh karena itu satu hal yang harus
ditanggulangi adalah upaya mengembangkan orientasi input dan output secara
perlahan sehingga tidak mengherankan jika sistem politik ini berjalan tidak stabil,
yang suatu ketika kearah otoritarian, namun saat yang lain ke arah demokrasi.
F.3 Teori Feminisme F.3.1 Paradigma Fungsionalisme dalam Feminisme
Aliran Fungsional struktural atau sering disebut aliran Fungsionalisme, adalah mazhab arus utama (mainstream) dalam ilmu sosial yang dikembangkan oleh Rober Merton dan Talcott Parsons. Teori ini memang tidak secara langsung menyinggung kaum perempuan.Namun keyakinan mereka bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri atas bagian dan saling berkaitan (Agama, pendidikan, struktur politik sampai keluarga) dan masing-masing bagian secara 20 terus menerus mencari keseimbangan.(equilibrium) dan harmoni dalam Komarudin Sahid. 2011. Memahami Sosiologi Politik. Bogor: Ghalia Indonesia hal 158-160. menjelaskan posisi mereka tentang kaum perempuan. Interelasi itu terjadi karena konsensus. Pola yang nonnormatif dianggap akan melahirkan gejolak. Jika hal tersebut terjadi, maka masing-masing bagian berusaha secepatnya menyesuaikan diri untuk mencapai keseimbangan kembali.Bagi penganut teori ini masyarakat berubah secara evolusioner.Konflik dalam suatu masyarakat dilihat sebagai tidak berfungsinya integrasi sosial dan keseimbangan.Oleh karena itu harmoni dan integrasi dipandang sebagai fungsional bernilai tinggi dan harus ditegakan sedangkan konflik harus dihindarkan.Teori ini menolak setiap usaha yang menggoncangkan status quo, termasuk berkenan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.Pengaruh fungsionalisme ini dapat kita lihat pada pemikiran Feminisme Liberal.
- Feminisme Liberalis Feminisme Liberal. Dalam lingkup sosial, kebebasan (freedom) dan kesamaan (equlity) berakar dari rasionlitas dan pemisahan antara dunia privat dan public yang didalamnya ada hak perempuan dan laki-laki sehingga sisi pembedaan tidak ada. Perempuan pun adalah makhluk rasional, maka kalaupun perempuan terbelakang atau tertinggal, feminisme liberal beranggapan bahwa hal itu disebabkan kaum perempuan sendiri.Pemecahannya adalah menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam situasi dunia yang penuh dengan persaingan bebas.Sebagian usaha ini dapat dilihat dari pembangunan (Women in Development) dengan menyediakan “program intervensi guna meningkatkan taraf hidup keluarga spirit pendidikan,
F.2.2 Paradigma Konflik dalam Feminisme
Paradigma konflik percaya bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan (interest) dan kekuasaan ( power) yang adalah pusat dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan kaum laki-laki dan perempuan. Yang termasuk dalam paradigm konflik yaitu:
- Feminisme Radikal Munculnya aliran ini dilatarbelakangi oleh adanya kultur diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di barat pada tahun 60-an.Penganut aliran ini muncul sebagai bentuk perlawanan atas kekerasan seksual dan pornografi yang
terjadi pada waktu itu .
Sejumlah penganut feminis radikal, menyebutkan ada dua sistem kelas sosial: pertama, sistem kelas ekonomi didasarkan pada hubungan produksi,
kedua, Sistem kelas seks yang didasarkan pada hubungan reproduksi. Sistem
kelas seks dianggap menyebabkan penindasan terhadap perempuan.Konsep patriarki menunjuk pada kekuasaan atas kaum perempuan oleh kaum laki-laki, yang didasarkan pada pemilikan dan control laki-laki atas kapasitas reproduksi perempuan.Para penganut feminism radikal tidak melihat adanya perbedaan atara 21 tujuan personal dan politik, unsur-unsur sosial atau biologis, sehingga dalam
Bownmiller.1976 dalam Mansour Fakih.2004. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, akar permasalahannya pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideology patriarkinya.Berasal dari pemahaman ini, aliran feminism menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual, adalah bentuk penindasan terhadap kaum perempuan.Lebih lanjut aliran feminism radikal, menyebutkan bahwa patriarki adalah sumber ideologi penindasan yang merupakan sistem hierarki seksual dimana laki-laki memiliki
kekuasaan superior dan privilege ekonomi.
- Feminisme Marxis
Kelompok ini menolak keyakinan kaum feminis radikal yang menyatakan
biologis sebagai dasar pembedaan gender.Bagi kaum ini penindasan perempuan
adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Menurut marx,
hubungan antara suami dan istri serupa dengan hubungan antara proletar dan
borjuis, serta tingkat kemajuan masyarakat dapat diukur dari status
perempuannya.Adapun Engels mengulas masalah ini dalam sejarah prakapitalisme, yang
menjelaskan bahwa sejarah terpuruknya status perempuan bukan disebabkan oleh
perubahan teknologi, melainkan karna perubahan organisasi kekayaan.Oleh
karena sejak awal, laki-laki mengontrol produksi untuk perdagangan, maka
mereka mendominasi hubungan sosial dan politik dan perempuan direduksi
22 menjadi bagian dari property belaka.Sejak itulah dominasi laki-laki dimulai.Elly M setiadi & Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Prenada Media Group. hal. 897.
Pada zaman kapitalisme, penindasan perempuan malah dilanggengkan
oleh berbagai cara dan alasan karena mengutungkan. Pertama, eksploitasi pulang
kerumah, yaitu suatu proses yang diperlukan guna membuat laki-laki yang
dieksploitasi di pabrik bekerja lebih produktif. Buruh laki-laki yang dieksploitasi
oleh kapitalis ini, setelah sampai dirumah terlibat hubungan kerja dengan
istrinya. Dalam analisis ini sistem dan struktur hubungan antara kapitalis,buruh,
dan istrinya akhirnya menguntungkan pihak kapitalis. Kedua, Kaum perempuan
dianggap bermanfaat bagi sistem kapitalisme dalam reproduksi buruh
murah.Ketiga, Masuknya perempuan sebagai buruh juga dianggap oleh mereka
menguntungkan sistem kapitalisme karena dua alasan, yaitu upah buruh
perempuan sering kali lebih rendah daripada upah buruh laki-laki.Rendahnya
upah buruh perempuan ini lebih diperparah karena adanya anggapan masyarakat
bahwa perempuan pekerja tidak berupah (unpaid worker).Selain itu masuknya
permpuan dalam sektor perburuhan juga menguntungkan sistem kapitalisme,
karena perempuan dianggap sebagai tenaga cadangan yang tak
terbatas.Akibatnya, posisi tawar buruh semakin rendah, dan sekaligus
mengancam solidaritas kaum buruh, dan akhirnya akumulasi kapital menjadi
semakin cepat.Sehingga banyak analisis yang menyimpulkan bahwa salah satu
musuh kapitalisme adalah feminisme.
Oleh karena itu, menurut feminism marxis, penindasan perempuan 23
merupakan kelanjutan dari eksploitasi yang bersifat struktural.Aliran ini
Ibid . hal 897-899.
menganggap sistem kapitalisme sebagai penyebab penindasan perempuan.Maka
emansipasi perempuan tejadi jika perempuan terlibat dalam produksi dan
berhenti mengurus rumah tangga. Perubahan struktur kelas inilah yang disebut
sebagai revolusi- Feminisme Sosialis Aliran ini menurut melakukan sintesa antara metode historis materialistik
Marx dan Engels dengan gagasan personal is political (kaum radikal). Bagi
mereka penindasan perempuan terjadi di kelas manapun, dan tidak serta merta menaikkan posisi perempuan (pandangan ini lahir dari 2 tipe gerakan sebelumnya yang secara tidak langsung saling berkesinambungan atau simbiosis mutualisme) karena tanpa kesadaran kelas juga menimbulkan masalah (dari tipe Marx). Oleh karena itu kedua tipe sebelumnya perlu dikawinkan yaitu analisis patriarki dan analisis kelas, dengan demikian kritik terhadap eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme harus dilakukan pada saat yang sama dengan disertai kritik ketidakadilan gender yang mengakibatkan dominasi, subordinasi dan marginalisasi atas kaum perempuan.
G. Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan yang bersifat dugaan sementara atau tentative
answer yang hendak dibuktikan kebenaranya melalui suatu penelitian. Adapun 24 hipotesis dalam penelitian ini adalah : Jaggar, 1983.dalam Mansour Fakih. Op.cit hal.89.
- Adanya pengaruh budaya patriarki terhadap partisipasi politik perempuan di
DPRD Kabupaten Nias tahun 2014 Maka hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini untuk membuktikannya yaitu: Hipotesis Nol (Ho) : Pernyataan yang menyatakan tidak ada hubungan budaya patriarki (Variabel x) dengan partisipasi politik perempuan di DPRD (Variabel y) yang akan diteliti, atau Variabel independen tidak mempengaruhi variable dependen.
Hipotesis alternative (Ha) : Pernyataan yang menyatakan terdapat hubungan antara budaya patriarki (Variabel x) dengan partisipasi politik perempuan di DPRD (Variabel y) atau variabel independen mempengaruhi variabel dependen.
H. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif.Penelitian kuantitatif adalah metode yang lebih menekankan pada aspek pengukuran secara obyektif terhadap fenomena sosial.Untuk dapat melakukan pengukuran, setiap fenomena sosial di jabarkan kedalam beberapa komponen masalah, variabel dan indikator. Setiap variabel yang di tentukan di ukur dengan memberikan simbol-simbol angka yang berbeda- beda sesuai dengan kategori informasi yang berkaitan dengan variable tersebut. Dengan menggunakan simbol-simbol angka tersebut, teknik perhitungan secara kuantitatif matematik dapat di lakukan sehingga dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang belaku umum di dalam suatu parameter.
H.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptitif.Jenis penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan hal ihwal masalah atau objek tertentu secara rinci.Penelitian deskriptif dilakukan untuk menjawab sebuah atau beberapa
pertanyaan mengenai keadaan objek atau subjek amatan secara rinci.
H.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah di Kabupaten Nias, yang terdiri dari 10 kecamatan.
H.3 Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang mempunyai karakteristik tertentu dalam suatu penelitian atau keseluruhan gejala/satuan yang ingin di teliti.Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Penduduk Perempuan kabupaten Nias yang memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Berdasarkan data daftar pemilih tetap dari Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Nias tahun 2014, maka jumlah DPT perempuan di kabupaten nias berjumlah 47.222 orang yang 25 tersebar di sepuluh kecamatan.
Bagong suyanto dan sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta:
H.4 Sampel Penelitian
Sampel merupakan bagian terkecil dari populasi yang menjadi contoh ataupun yang dapat mewakili keseluruhan populasi.Oleh karena itu,sampel harus dilihat sebagai suatu pendugaan terhadap populasi dan bukan populasi itu sendiri.Dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan metode penarikan sampel stratified random sampling atau metode acak terlapis, untuk menentukan jumlah responden pada 10 kecamatan yang tersebar di kabupaten nias, kemudian akan dilakukan teknik Quota samplinguntuk memilih sampel dari masing-masing kecamatan, teknik sampel quota ini adalah teknik yang sama dengan stratified
random sampling hanya saja bedanya penarikan sampel secara yang
berartisampeldapat terpilih karena berada pada waktu, situasi dan tempat yang tepat, dalam arti siapa saja yang kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel bila dipandang orang yang ditemui itu cocok sebagai
sumber data.
Banyak metode yang dapat digunakan untuk menghitung besarnya sampel,
dalam artikel ini akan dibahas cara menghitung besar sampel dengan metode yang
dikembangkan oleh Isaac danMichael.Metode yang dikembangkan oleh Isaac
dan Michael adalah cara untuk menentukan jumlah sampel yang memenuhi syarat
berikut:26 Bambang Prasetyo & Lina Miftahul Jannah. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif.Jakarta:PT RajaGrafindo
(1) diketahui jumlah populasinya; (2) pada taraf kesalahan (significance level) 1%, 5% dan 10%; dan
(3) cara ini khusus digunakan untuk sampel yang berdistribusi normal, sehingga
cara ini tidak dapat digunakan untuk sampel yang tidak berdistribusi normal,
seperti sampel yang homogen.Cara menggunakan metode ini sangat praktis, cukup dengan mencocokkan jumlah
populasi dengan taraf kesalahan (significance level) yang dikehendaki.
Tabel 1.1 Penentuan jumlah sampel dari populasi tertentu
Dengan taraf kesalahan, 1, 5, dan 10 %
Sumberdiakses pada tanggal 08 januari 2015. Pukul 20.00 wib.
akses pada tanggal 08 januari 2015.Pukul 20.00 wib.
Dikarenakan Jumlah populasinya adalah 47.222 maka sampel yang diambil adalah sebanyak 270 orang ( dengan tingkat kesalahan sebesar 10% dan tingkat kepercayaan adalah 90 %.)
Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus table Isaac dan
Michael maka diperoleh sampel sebanyak 270 orang. Tetapi karena kabupaten
nias yang populasinya 47.222 orang terdiri dari 10 kecamatan , maka dilakukan lagi penentuan jumlah sampel pada tiap-tiap kecamatan. Penentuan jumlah sampel ini menggunakan teknik stratified random sampling atau metode acak terlapis ini disebabkan populasi yang hendak diteliti bersifat heterogen atau bervariasi. Dari jumlah tersebut , maka akan diperoleh jumlah responden dari masing-masing kecamatan dengan menggunakan rumus:
1 1 = ℎ 1.
Kecamatan bawolato 7868
270 1 = 47222
=44.98 dibulatkan menjadi 50 2. Kecamatan Botomuzoi
2987 270 1 =
47222 = 17.07 dubulatkan menjadi 17
3. Kecamatan Gido 1 = 6876
47222 270
= 39.31 dibulatkan menjadi 39 4. Kecamatan Hiliduho 1 =
3249 47222
270 = 18.57 dibulatkan menjadi 19 5. Kecamatan Hiliserangkai 1 =
4727 47222
270 = 27.02 dibulatkan menjadi 27 6. Kecamatan Idanogawo 1 =
8822 47222
270 = 50.44 dubulatkan menjadi 51 7. Kecamatan Ma’u 1 =
3531 47222
270 = 20.28 dibulatkan menjadi 20 8. Kecamatan Sogae’adu 1 =
3580 47222
270 = 20.46 dibulatkan menjadi 20
9. Kecamatan Somolo-molo 1 = 2118
5 Hiliserangkai 4727
20 Total 47222 270
10 Ulugawo 3464
12
9 Somolo-molo 2118
20
8 Sogaeadu 3580
20
7 Ma’u 3531
51
6 Idanogawo 8822
27
19
47222 270
4 Hiliduho 3249
39
3 Gido 6876
17
2 Botomuzoi 2987
50
1 Bawolato 7868