BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perilaku - Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Kepatuhan Perawat terhadap Penggunaan Alat Pelindung Diri dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tahun 2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perilaku

  Perilaku manusia sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Menurut Benjamin Bloom dalam Notoatmodjo (2007), ranah perilaku terbagi dalam 3 domain, yaitu :

2.1.1. Pengetahuan (Kognitif)

  Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007).

  Menurut Rogers dalam Notoatmodjo (2010), pengetahuan dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu : a.

  Awareness knowledge (Pengetahuan kesadaran), yaitu pengetahuan akan keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan jenis akan memotivasi individu untuk belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Pada ini inovasi diperkenalkan pada masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti tentang produk tersebut. Karena kurangnya informasi tersebut maka masyarakat tidak merasa memerlukan inovasi tadi. Rogers menyatakan bahwa untuk menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui media massa seperti radio, televisi, koran atau majalah. Sehingga masyarakat akan lebih cepat mengetahui keberadaan suatu inovasi.

  b.

  How-to-knowlegde (Pengetahuan pemahaman), yaitu pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan suatu inovasi dengan benar. Rogers memandang pengetahuan jenis ini penting dalam proses keputusan inovasi. Untuk lebih meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka individu harus memiliki pengetahuan ini dengan cukup tentang penggunaan inovasi ini.

  c.

  Principles-knowledge (Prinsip dasar), yaitu pengetahuan tentang prinsip-prinsip keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat bekerja.

  Faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan seseorang antara lain : 1. Pendidikan

  Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah pula bagi mereka untuk menerima informasi dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang mereka miliki.

  2. Pekerjaan Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung.

  3. Umur Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis (mental), dimana pada aspek psikologis ini, taraf berpikir seseorang semakin matang dan dewasa.

  4. Minat Minat diartikan sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang mendalam.

  5. Pengalaman Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami oleh individu baik dari dalam dirinya ataupun dari lingkungannya. Pada dasarnya pengalaman mungkin saja menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi individu yang melekat menjadi pengetahuan pada individu secara subjektif.

  6. Informasi Kemudahan seseorang untuk memperoleh informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru (Wahid, 2007).

2.1.2. Sikap (Afektif)

  Sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap dalam kehidupan sehari-hari adalah merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas tapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku . Sikap menentukan jenis tingkah laku dalam hubungannya dengan rangsangan yang relevan, individu lain atau fenomena-fenomena. Dapat dikatakan bahwa sikap merupakan faktor internal tapi tidak semua faktor internal adalah sikap (Wahid, 2007).

  Adapun ciri-ciri sikap menurut WHO adalah sebagai berikut : 1. Pemikiran dan perasaan (Thoughts and feeling), hasil pemikiran dan perasaan seseorang, atau lebih tepat diartikan pertimbangan-pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus.

  2. Adanya orang lain yang menjadi acuan (Personal references) merupakan faktor penguat sikap untuk melakukan tindakan akan tetapi tetap mengacu pada pertimbangan-pertimbangan individu.

  3. Sumber daya (Resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk bersikap positif atau negatif terhadap objek atau stimulus tertentu dengan pertimbangan kebutuhan dari pada individu tersebut.

4. Sosial budaya (Culture) berperan besar dalam memengaruhi pola pikir seseorang untuk bersikap terhadap objek/stimulus tertentu (Notoatmodjo, 2007).

  Fungsi (tugas) sikap dibagi empat golongan, yaitu : 1. Sebagai alat menyesuaikan diri

  Sikap adalah sesuatu yang bersifat communicable yang artinya sesuatu yang mudah menjalar, sehingga mudah menjadi milik bersama. Sikap bisa menjadi rantai penghubung antara orang dengan kelompoknya atau dengan anggota kelompok lain.

  2. Sebagai alat pengatur tingkah laku Pertimbangan antara perangsang dan reaksi pada orang dewasa. Pada umumnya tidak diberi perangsang secara spontan, tetapi adanya proses secara sadar untuk menilai perangsang-perangsang itu.

  3. Sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman Manusia di dalam menerima pengalaman-pengalaman dari luar sikapnya tidak pasif, tetapi diterima secara aktif, artinya semua yang berasal dari luar tidak semuanya dilayani olah manusia, tetapi manusia memilih mana yang perlu dilayani dan mana yang tidak perlu dilayani. Jadi semua pengalaman diberi nilai lalu dipilih.

  4. Sebagai pernyataan kepribadian Sikap sering mencerminkan pribadi seseorang. Ini disebabkan karena sikap tidak pernah terpisah dari pribadi yang mendukungnya. Oleh karena itu, dengan melihat sikap pada objek tertentu, sedikit banyak orang bisa mengetahui pribadi orang tersebut (Ahmadi, 2004).

  Seperti halnya pengetahuan, sikap memiliki berbagai tingkatan yaitu :

  1. Menerima (Receiving) diartikan bahwa orang mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan.

  2. Merespon (Responding) diartikan sebagai memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan adalah indikasi dari sikap karena dengan usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan terlepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut.

  3. Menghargai (Valuating) diartikan sebagai mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah indikasi sikap tingkat ini.

  4. Bertanggung jawab (Responsible) adalah bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2007).

2.1.3. Tindakan (Psikomotor)

  Suatu sikap belum terwujud dalam bentuk tindakan. Untuk mewujudkan sikap menjadi sebuah perbuatan diperlukan menanamkan pengertian terlebih dahulu, membentuk dan mengubah sikap atau menumbuhkan hubungan yang baik serta diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas dan faktor pendukung dari berbagai pihak (Notoatmodjo, 2007). Adapun tingkatan dari tindakan adalah : 1.

  Persepsi (Perception) Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek yang pertama.

2. Respon Terpimpin (Guide Response)

  Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh-contoh adalah indikator tingkat kedua.

  3. Mekanisme (Mechanisme) Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah menjadi kebiasaan maka ia sudah mencapai tingkat ketiga.

  4. Adaptasi (Adaptation) Tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2007).

2.2. Kepatuhan

2.2.1. Definisi Kepatuhan

  Kepatuhan adalah tingkat dimana seseorang melaksanakan suatu cara atau berperilaku sesuai dengan apa yang disarankan atau dibebankan kepadanya (Smet, 1994). Kepatuhan dalam hal ini terkait dengan pelaksanaan prosedur tetap yaitu untuk selalu memenuhi petunjuk atau peraturan-peraturan dan memahami etika keperawatan di Rumah Sakit tempat perawat bekerja.

  Menurut Kelman dalam Sarwono (1997) dijelaskan bahwa perubahan sikap dan perilaku individu diawali dengan proses kepatuhan, identifikasi, dan tahap terakhir berupa internalisasi. Pada tahap kepatuhan, awalnya individu akan mematuhi anjuran/instruksi tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari hukuman/sangsi jika dia tidak patuh, atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika dia mematuhi anjuran tersebut. Biasanya perubahan yang terjadi pada tahap ini sifatnya sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur/ hilang, perilaku itupun ditinggalkan. Pada tahap identifikasi, kepatuhan individu yang berdasarkan rasa terpaksa atau ketidakpahaman tentang pentingnya perilaku yang baru, dapat disusul dengan kepatuhan yang berbeda jenisnya, yaitu kepatuhan demi menjaga hubungan baik dengan tokoh yang menganjurkan perubahan tersebut

  

(change agent). Perubahan perilaku individu baru dapat menjadi optimal jika

  perubahan tersebut terjadi melalui proses internalisasi dimana perilaku yang baru itu dianggap bernilai positif bagi diri individu itu sendiri dan diintegrasikan dengan nilai- nilai lain dari hidupnya.

2.3.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketidak Patuhan

  Faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan Niven (2008) antara lain : 1.

  Pemahaman tentang Intruksi Tak seorang pun dapat mematuhi intruksi jika ia salah paham tentang intruksi yang diberikan kepadanya.

2. Kualitas Interaksi

  Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Hal ini bisa dilaksanakan dengan bersikap ramah dan memberikan informasi dengan singkat dan jelas.

  3. Isolasi Sosial dan Keluarga Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.

  4. Motivasi Motivasi dapat diperoleh dari diri sendiri, keluarga, teman, petugas kesehatan, dan lingkungan sekitarnya.

2.3.3. Strategi untuk Meningkatkan Kepatuhan

  Menurut Smet (1994) berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan kepatuhan adalah:

  1. Dukungan Profesional Kesehatan Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal dukungan tersebut adalah dengan adanya teknik komunikasi. Komunikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang baik diberikan oleh profesional kesehatan baik dokter/ perawat dapat menanamkan ketaatan bagi pasien.

  2. Dukungan Sosial Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Para profesional kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang peningkatan kesehatan pasien maka ketidak patuhan dapat dikurangi.

  3. Perilaku Sehat Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Untuk pasien dengan hipertensi diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk menghindari dari komplikasi lebih lanjut apabila sudah menderita hipertensi. Modifikasi gaya hidup dan kontrol secara teratur atau minum obat anti hipertensi sangat perlu bagi pasien hipertensi.

  4. Pemberian Informasi Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang di deritanya serta cara pengobatannya.

2.3. Alat Pelindung Diri

  Alat pelindung diri adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang dalam pekerjaan dan fungsinya mengisolasi tubuh tenaga kerja dari bahaya tempat kerja. Alat pelindung diri (APD) dipakai setelah usaha rekayasa (engineering) dan cara kerja yang aman telah maksimum (Depnakertrans RI, 2004).

  Menurut Suma’mur (2009), alat pelindung diri adalah suatu alat yang dipakai untuk melindungi diri atau tubuh terhadap bahaya-bahaya kecelakan kerja.

  Perlengkapan pelindung diri yang dipakai oleh petugas harus menutupi bagian-bagian tubuh petugas mulai dari kepala sampai telapak kaki. Perlengkapan ini terdiri dari tutup kepala, masker sampai dengan alas kaki. Perlengkapan-perlengkapan ini tidak harus digunakan/dipakai semuanya bersamaan, tergantung dari tingkat risiko saat mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan.

  Tiga hal penting yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh petugas agar tidak terjadi transmisi mikroba patogen ke penderita saat mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan, yaitu : a.

  Petugas diharapkan selalu berada dalam kondisi sehat, dalam arti kata bebas dari kemungkinan “menularkan” penyakit; b.

  Setiap akan mengerjakan prosedur dan tindakan medis serta perawatan, petugas harus membiasakan diri untuk mencuci tangan serta tindakan higiene lainnya.

  c.

  Menggunakan/memakai perlengkapan pelindung diri sesuai kebutuhan dengan cara yang tepat.

  Menurut Suardi (2005), pemakaian alat pelindung diri dibagi atas: 1. Sisi pekerja tidak mau memakai dengan alasan : tidak sadar/ tidak dimengerti, panas, sesak, tidak enak dipakai dan tidak enak dipandang, berat, mengganggu pekerjaan, tidak sesuai dengan bahan yang ada, tidak ada sanksi jika tidak menggunakannya, atasan juga tidak memakai.

  2. Sisi instansi : Ketidakmengertian dari instansi tentang alat pelindung diri yang sesuai dengan jenis resiko yang ada, sikap dari instansi yang mengabaikan alat pelindung diri, dianggap sia-sia (karena pekerja tidak mau memakai), Pengadaan alat pelindung diri yang asal beli.

2.4. Infeksi Nosokomial

  2.4.1. Definisi Infeksi Nosokomial

  Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata nosos yang artinya penyakit dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat/Rumah Sakit. Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi yang diperoleh atau terjadi di rumah sakit (Darmadi, 2008). Penderita yang sedang dalam asuhan keperawatan di rumah sakit, baik dengan penyakit dasar tunggal maupun penderita dengan penyakit dasar lebih dari satu, secara umum keadaannya kurang baik, sehingga daya tahan tubuhnya menurun dan mempermudah terjadinya infeksi silang karena kuman, virus, dan sebagainya untuk masuk ke dalam tubuh penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan (Darmadi, 2008). Infeksi yang terjadi pada penderita-penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan ini disebut infeksi nosokomial, yang artinya infeksi yang terjadi di rumah sakit atau dalam sistem pelayanan kesehatan yang berasal dari proses penyebaran disumber pelayanan kesehatan, baik melalui pasien, petugas kesehatan, pengunjung, maupun sumber lainnya (Septiari, 2012).

  2.4.2. Cara Penularan Infeksi Nosokomial

  Secara garis besar, mekanisme transmisi mikroba patogen ke pejamu yang rentan melalui dua cara (Darmadi, 2008) : a.

  Transmisi langsung (direct transmission) Penularan langsung oleh mikroba patogen ke pintu masuk yang sesuai dari pejamu. Contonya: adanya sentuhan, gigitan, ciuman, batuk, berbicara atau saat transfusi darah yang terkontaminasi mikroba patogen.

  b.

  Transmisi tidak langsung (indirect transmission) Penularan mikroba patogen yang memerlukan adanya media perantara, baik berupa barang/bahan, air, udara, makanan/minuman, maupun vektor.

  1. Vehicle-borne Media perantara penularan melalui barang/bahan yang terkontaminasi seperti peralatan makan dan minum, instrumen bedah, peralatan laboratorium, peralatan infus/transfusi.

  2. Vector-borne Media perantara penularan melalui vektor (serangga), yang memindahkan mikroba patogen ke pejamu dengan cara sebagai berikut: 1) Cara mekanis, yaitu penularan melalui kaki serangga yang telah terkena kotoran/sputum (mikroba patogen), lalu hinggap pada makanan/minuman, di mana selanjutnya akan masuk ke saluran cerna pejamu, 2) Cara biologis, yaitu penularan yang terjadi setelah mikroba mengalami siklus perkembangbiakan dalam tubuh vector/serangga, selanjutnya mikroba dipindahkan ke tubuh penjamu melalui gigitan.

  3. Food-borne Makanan/minuman adalah media perantara yang cukup efektif ntuk menyebarnya mikroba patogen ke pejamu, yaitu melalui pintu masuk saluran cerna.

  4. Water-borne Tersedianya air bersih baik secara kuantitatif maupun kualitatif terutama untuk kebutuhan rumah sakit adalah mutlak. Kualitas air yang meliputi aspek fisik, kimiawi dan bakteriologis, diharapkan terbebas dari mikroba patogen sehingga aman untuk dikonsumsi. Jika tidak, sebagai media perantara air sangat mudah menyebarkan mikroba patogen ke pejamu, melalui pintu masuk saluran cerna maupun pintu masuk yang lain.

  5. Air-borne Udara sangat diperlukan oleh setiap orang, namun adanya udara yang terkontaminasi oleh mikroba patogen sangat sulit untuk dideteksi. Mikroba patogen dalam udara masuk ke saluran nafas pejamu dalam bentuk droplet

  

nuclei yang dikeluarkan oleh penderita saat batuk atau bersin, bicara atau

  bernapas melalui mulut atau hidung. Sedangkan dust merupakan partikel yang dapat terbang bersama debu lantai/tanah. Penularan melalui udara ini umumnya mudah terjadi di dalam ruangan yang tertutup seperti di dalam gedung, ruangan/bangsal/kamar perawatan, atau laboratorium klinik.

2.4.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi terjadinya Infeksi Nosokomial

  Faktor-faktor yang memengaruhi proses infeksi menurut Darmadi (2008) adalah: petugas kesehatan, peralatan medis, lingkungan, makanan dan minuman, penderita lain, pengunjung atau keluarga.

  1. Petugas kesehatan Petugas kesehatan khususnya perawat dapat menjadi sumber utama tertapar infeksi yang dapat menularkan berbagai kuman ke pasien maupun tempat lain karena perawat rata-rata setiap harinya 7-8 jam melakukan kontak langsung dengan pasien. Salah satu upaya dalam pencegahan infeksi nosokomial yang paling penting adalah perilaku cuci tangan karena tangan merupakan sumber penularan utama yang paling efisien untuk penularan infeksi nosokomial.

  Perilaku mencuci tangan perawat yang kurang adekuat akan memindahkan organisme – organisme bakteri pathogen secara langsung kepada hopes yang menyebabkan infeksi nosokomial di semua jenis lingkungan pasien.

  2. Lingkungan Lingkungan rumah sakit yang tidak bersih juga bias menyebabkan infeksi nosokomial sebab mikroorganisme penyebab infeksi bias tumbuh dan berkembang pada lingkungan yang tidak bersih.

  3. Peralatan medis Peralatan medis yang dimaksud adalah alat yang digunakan melakukan tindakan keperawatan, misalnya jarum, kateter, kassa, instrument, dan sebagainya. Bila peralatan medis tidak dikelola kebersihan dan kesterilannya maka akan menyebabkan infeksi nosokomial.

  4. Makanan atau minuman Hidangan yang disajikan setiap saat kepada penderita apakah sudah sesuai dengan standart kebersihan bahan yang layak untuk dikonsumsi bila tidak bersih itu juga akan menyebabkan infeksi terutama pada saluran pencernaan yang sedang mengalami iritasi.

  5. Penderita lain Keberadaan penderita lain dalam satu kamar atau ruangan atau bangsal perawatan dapat merupakan sumber penularan.

  6. Pengunjung Pengunjung dapat menyebarkan infeksi yang didapat dari luar ke dalam lingkungan rumah sakit, atau sebaliknya, yang dapat ditularkan dari dalam rumah sakit ke luar rumah sakit.

  Menurut Shetty (2009) bakteri dapat menyebabkan infeksi nosokomial dengan beberapa cara :

  1. Flora tetap atau sementara pada pasien (endogen) Bakteri yang merupakan flora normal dapat menyebabkan infeksi oleh karena adanya perpindahan dari habitat alami ke luar, misalnya pindah kesaluran kemih, atau adanya kerusakan jaringan (luka), atau tidak adekuat pemberian antibiotik sehingga diikuti adanya pertumbuhan kuman yang berlebihan (C. difficile, Yeast spp).

  2. Flora dari pasien atau petugas rumah sakit (exogen) Bakteri dapat berpindah diantara pasien : a.

  Melalui kontak langsung diantara pasien (tangan, air ludah atau cairan tubuh lainnya) b.

  Melalui udara (melalui ludah atau debu yang sudah terkontaminasi oleh bakteri pasien ).

  c.

  Melalui petugas yang terkontaminasi melalui perawatan pasien, misalnya handuk, pakaian, hidung dan tenggorokan, yang kemudian menjadi carrier sementara atau permanen, yang kemudian mentransmisikan bakteri kepasien lainnya melalui kontak langsung ketika merawat. CDC memperkirakan sekitar 36% infeksi nosokomial infeksi dapat dicegah bila semua petugas kesehatan diberikan pedoman khusus dalam pengkontrolan infeksi ketika merawat pasien.

  d.

  Melalui objek-objek yang terkontaminasi oleh pasien, termasuk peralatan, tangan petugas, tamu atau sumber linkungan lain, misalnya air, cairan lainnya, makanan.

  3. Flora yang berasal dari lingkungan kesehatan.

  Beberapa tipe organisme dapat bertahan dengan baik pada lingkungan rumah sakit, misalnya didalam air, area yang lembab, dan kadang – kadang pada produk yang steril atau desinfektan, misalnya Pseudomonas, Acinobacter, mycobacterium.

  Menurut Saene (2005) faktor faktor yang memengaruhi berkembangnya infeksi nosokomial :

  1. Antimikroba Sebelum diperkenalkan pelatihan dasar mengenai kebersihan dan pemberian antimikroba, hampir semua infeksi dirumah sakit berasal dari sumber luar yang patogen (misalnya penyakit yang ditularkan melalui makanan atau udara, gangren, tetanus atau yang lainnya), atau disebabkan oleh mikroorganisme yang bukan flora normal dari pasien (misalnya tuberculosis). Perkembangan terapi antibiotik sebagai terapi infeksi bakteri digunakan untuk menurunkan angka kematian dari berbagai penyakit infeksi. Hampir semua infeksi yang didapatkan dirumah sakit disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya sering terdapat pada populasi umum, misalnya pada pasien – pasien dirumah sakit (misalnya S.

  

aureus, Staphylococcus Coagulase Negative, Enterococci, Enterobacteriaceae ).

  2. Kerentanan pasien Faktor – faktor yang berpengaruh pada keadaan ini adalah umur, status imun, penyakit yang mendasarinya, serta intervensi dari terapi. Pasien yang mengalami penyait kronik seperti tumor ganas, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, atau AIDS, mempunyai kerentanan yang meningkat terhadap infeksi opurtunistik.

  3. Faktor lingkungan Pasien dengan infeksi atau dengan carrier mikroorganisme patogenik merupakan sumber potensial infeksi terhadap pasien atau pekerja dirumah sakit. Adanya kondisi seperti ini di dalam rumah sakit, sering mengakibatkan transmisi bakteri dari satu unit ke unit lainnya. Mikrobial mungkin mengkontaminasi alat alat, bahan bahan yang kemudian kontak terhadap pasien.

4. Resistensi bakteri

  Banyak pasien yang menerima terapi antimikroba. Melalui seleksi dan adanya perubahan elemen resistensi genetik, antibiotic menjadi emergensi dimana banyak strain bakteri yang resisten terhadap berbagai antimikroba. Resistensi strain bakteri menjadi menetap dan dapat berkembang menjadi endemik di rumah sakit. Banyak strain Pneumococci, Staphylococci, Enterococci dan tuberculosis resisten terhadap hampir semua antimikroba yang sebelumnya efektif digunakan sebagai terapi

2.4.4. Jenis Infeksi Nosokomial

  Menurut WHO (2002) infeksi nosokomial yang sering terjadi di rumah sakit adalah:

1. Infeksi saluran kemih

  Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi nosokomial yang paling sering terjadi di rumah sakit yang disebabkan oleh bakteriuria nosokomial yaitu penggunaan kateter urin dengan persentase sekitar 40% dari seluruh infeksi yang terjadi rumah sakit (WHO, 2002). Hampir 10% dari seluruh pasien rawat inap di rumah sakit menggunakan kateter, untuk itu pencegahan ISK merupakan faktor utama dalam mengurangi infeksi nosokomial (Tietjen, 2004). Kateter urin yang dipasang (indewelling urinary catheter) merupakan rute bagi infeksi asenden ke dalam kandung kemih, resiko ini dapat diminimalkan dengan teknik aseptik saat pemasangan dan penanganan keteter (Gillespie dan Bamford, 2008).

  2. Infeksi sehubungan dengan penggunaan alat intravaskular Menurut Tietjen (2004), penggunaan alat intravaskular melalui vena maupun arteri, baik untuk memasukkan cairan steril, obat atau makanan, maupun untuk memantau tekanan darah sentral dan fungsi hemodinamik telah meningkat tajam dan menyebabkan terjadinya infeksi melalui aliran darah, baik lokal (peradangan pada tempat insersi), maupun sistemik (terjadinya demam atau septisemia). Alat yang dimasukkan ke aliran darah melewati mekanisme pertahanan kulit normal, sehingga dapat membuka jalan untuk masuknya mikroorganisme yang berada di kulit tempat pemasangan (Tietjen, 2004). Infeksi pengunaan alat intravaskular ditandai dengan adanya daerah bengkak, kemerahan, panas, adanya nyeri pada kulit disekitar tempat pemasangan alat intravaskular, dan adanya tanda-tanda infeksi lain seperti demam dan pus yang keluar dari tempat tusukan (Tietjen, 2004).

  3. Pneumonia Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru, dan gangguan pertukaran gas setempat (Editor, dalam Septiari, 2012). Resiko infeksi pneumonia terjadi pada pasien pascaoperasi, terutama untuk mereka yang telah dilakukan bedah torakx atau abdominal (Brunner dan Suddarth, 2002).

4. Infeksi bedah

  Infeksi bedah merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari setelah operasi. Infeksi bedah bisa disebabkan oleh teknik bedah, tingkat kontaminasi pada luka operasi, durasi operasi, status pasien, lingkungan ruang operasi dan organisme dari tim ruang operasi (WHO, 2002).

  Tietjen (2004) menambahkan jenis infeksi nosokomial yang lain yang sering dijumpai adalah sebagai berikut : a.

  Febris Puerperalis Febris puerperalis atau demam nifas merupakan infeksi yang muncul pascapersalinan pervaginam. Tidak semua persalinan berjalan spontan.

  Diperkirakan 7-8% akan mengalami kesulitan atau distoria (patologis). Untuk menyelesaikan persalinan distosia ini diperlukan adanya tindakan infasife yang sering kali membutuhkan instrument medis. Resiko adanya terjadinya trauma jalan lahir serta trauma pada janin. Trauma jalan lahir yang terjadi berupa robekan, laserasi, serta pendarahan yang dapat menimbulkan infeksi. Trauma juga terjadi karena pengunaan instrument medis untuk mengatasi persalinan.

  Terjadinya infeksi karena mikrobia pathogen terutama berasal dari flora normal vagina dan kulit di sekitar perineum, serta instrument medis dan operator.

  Beberapa penelitian menyebutkan bakteri penyebab infeksi yaitu Stapylococcus Haemolyticus, Streptococcus Aureus, Escherichia Coli. b.

  Infeksi Saluran Cerna Seorang pasien yang sedang dirawat dapat digolongakn terjangkit infeksi saluran cerna apabila ditemukan gejala-gejala seperti adanya nyeri perut secara mendadak kadang-kadang diserati nyeri kepala, nausea dan muntah-muntah yang diikuti diare, dapat disertai/tanpa demam. Dikeadaan dengan sindrom gastroenteritis manifestasi klinis ini dapat muncul setelah beberapa saat penderita mengkonsumsi makanan/minuman yang disajikan.

  c.

  Infeksi Saluran Napas Bawah Saluran napas bawah adalah organ vital untuk ventilasi, namun demikian tidak jarang jaringan lunak pada saluran napas ini harus bersentuhan dengan peralatan medis untuk berbagai indikasi, baik sebagai upaya menegakkan diagnosis, atau bagian dari terapi, maupun sebagai upaya penunjang untuk kasus-kasus di luar kepentingan saluran napas itu sendiri. Sebagai contoh: tindakan anestesi umum yang harus menggunakan pipa endotrakeal, pipa orofaringeal, atau pipa nasofaringeal, tindakan laringoskopi atau bronkoskopi, tindakan invasif yang lebih jauh seperti trakeostomi, pemasangan ventilator. Semua tindakan medis infasif pada contoh kasus-kasus tersebut tentunya bukan tanpa resiko bagi penderitanya. Resiko paling besarnya adalah menyebarnya mikrobia pathogen ke organ yang terdekat, yaitu paru yang dapat menimbulkan peradangan parenkim paru (Darmadi, 2008). d.

  Bakteremia dan septicemia Bakteremia dan septicemia adalah infeksi siskemik yang terjadi akibat penyebaran bakteri atau produknya dari suatu fokus infeksi kedalam peredaran darah. Menurut Tietjen (2004) Septicemia merupakan keadaan yang gawat, oleh karena itu harus ditangani secara cepat dan tepat untuk menghindari terjadinya akibat yang fatal. Bila terlambat, ada kecenderungan mengarah ke keadaan syok dengan angka kematian yang tinggi (50-90%). Sebagai pemicu timbulnya bakteremia dan septicemia karena adanya tindakan medis infasif misalnya pemasangan kateter intravaskuler untuk berbagai keperluan seperti pemberian obat, nutrisi parental, hemodialisis, dan sebagainya. Manifestasi klinisnya berupa reaksi inflamasi siskemik, yaitu demam yang tinggi, serta nadi dan frekuensi pernapasan meningkat. Demam yang ada akan bertahan selama minimal 24 jam dengan atau tanpa pemberian antipiretik. Pada anak, secara umum tampak letargi, tidak mau makan/minum, muntah, atau diare. Pada daerah kateter vena yang terpasang, kulit tampak merah, edema disertai nyeri, dan kadang-kadang ditemukan eksudat.

2.4.5. Peran Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial

  WHO (2002) dalam jurnal Prevention of Hospital-Acquired Infection menyatakan bahwa kepala ruangan bertanggung jawab untuk: 1) Berpartisipasi dalam Komite Pengendalian Infeksi, 2) Mempromosikan pengembangan dan peningkatan teknik keperawatan yang berkaitan dengan pengendalian infeksi nosokomial, dan pengawasan teknik aseptik yang dilakukan oleh perawat dengan persetujuan Komite Pengendalian Infeksi, 3) Mengembangkan pelatihan program bagi setiap perawat, 4) Mengawasi pelaksanaan teknik pencegahan infeksi di ruangan khusus seperti ruang operasi, ruang perawatan intensif, ruang persalinan, dan ruang bayi baru lahir, 5) Pemantauan kepatuhan perawat terhadap kebijakan yang dibuat oleh kepala ruangan.

  Upaya pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial berada ditangan tim kesehatan salah satunya petugas bagian perawatan mulai dari kepala bagian perawatan, kepala ruangan/bangsal perawatan, serta semua petugas perawatan (perawat) lainnya selama 24 jam penuh. Dengan demikian tenaga keperawatan merupakan pelaksana terdepan dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial (Darmadi, 2008).

  Peran perawat selain yang diatas adalah bertanggung jawab atas lingkungan yaitu (WHO, 2002) : 1) Menjaga kebersihan rumah sakit yang berpedoman terhadap kebijakan rumah sakit dan praktik keperawatan, 2) Pemantauan teknik aseptik termasuk cuci tangan dan penggunaan isolasi, 3) Melapor kepada dokter jika ada masalah-masalah yang dihadapi terutama jika ditemui adanya gejala infeksi pada saat pemberian layanan kesehatan, 4) Membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengunjung, perawat rumah sakit, pasien lain, atau peralatan yang digunakan untuk diagnosis atau asuhan keperawatan, 5) Mempertahankan suplai peralatan, obat-obatan dan perlengkapan perawatan yang aman dan memadai di ruangan.

2.4.6. Pencegahan Infeksi Nosokomial

  Fokus utama penanganan masalah infeksi dalam pelayanan kesehatan adalah mencegah infeksi. Salah satu upaya pencegahan infeksi nosokomial adalah menerapkan Universal Precaution pada petugas kesehatan atau petugas pelayanan kesehatan. Universal Precaution adalah kewaspadaan terhadap darah dan cairan tubuh yang tidak membedakan perlakuan terhadap setiap pasien, dan tidak tergantung pada diagnosis penyakitnya (Irianto, 2010). Kewaspadaan universal dimaksudkan untuk melindungi petugas layanan kesehatan dan pasien lain terhadap penularan berbagai infeksi dalam darah dan cairan tubuh lain.

  Menurut WHO (2002) kewaspadaan universal diterapkan dengan cara : a. Cuci tangan setelah berhubungan dengan pasien atau setelah membuka sarung tangan.

  b.

  Segera cuci tangan setelah ada hubungan dengan cairan tubuh.

  c.

  Pakai sarung tangan bila mungkin akan ada hubungan dengan cairan tubuh.

  d.

  Pakai masker dan kacamata pelindung bila mungkin ada percikan cairan tubuh.

  e.

  Tangani dan buang jarum suntik dan alat tajam lain secara aman; yang sekali pakai tidak boleh dipakai ulang.

  f.

  Bersihkan dan disinfeksikan tumpahan cairan tubuh dengan bahan yang cocok g.

  Patuhi standar untuk disinfeksi dan sterilisasi alat medis.

  h.

  Tangani semua bahan yang tercemar dengan cairan tubuh sesuai dengan prosedur i. Buang limbah sesuai prosedur.

  Menurut Septiari (2012) untuk pencegah infeksi nosokomial harus menerapkan tindakan kewaspadaan universal yaitu mencegah penyebaran berbagai penyakit yang ditularkan melalui darah di lingkungan rumah sakit maupun sarana pelayanan kesehatan lainnya diantaranya mencuci tangan dan tindakan invasif sederhana yaitu tindakan memasukkan alat kesehatan ke dalam tubuh dan menyebar ke jaringan seperti pemasangan infus.

  1. Mencuci tangan Cuci tangan adalah salah satu prosedur yang paling penting dalam mencegah infeksi nosokomial. Tangan adalah instrumen yang digunakan untuk menyentuh pasien, memegang alat, perabot rumah sakit dan juga untuk keperluan pribadi seperti makan. Ada dua macam mikroorganisme yang ada pada tangan yaitu transien dan

  residen (Simajuntak, 2001).

  a.

  Jenis transien berupa mikroorganisme yang ada pada tangan tetapi tidak terus- menerus, misalnya escheria coli. Bakteri transien penting diperhatikan karena mudah menular melalui tangan tetapi juga mudah dihilangkan dengan menggosok tangan dengan air dan sabun atau dengan antiseptik.

  b.

  Jenis residen berupa mikroorganisme yang ada terus-menerus pada kulit, seperti

species acinetobacter , dan tidak bisa dihilangkan hanya dengan friksi mekanik.

  Bahan-bahan pencuci tangan, jenis bahan pencuci tangan ada dua, yaitu : a. Sabun, cleanser dan deterjen, dengan meningkatnya frekuensi cuci tangan, tetapi hanya sampai titik tertentu karena hilangnya lemak dari kulit karena terlalu sering cuci tangan diduga meningkatkan daya tahan mikro organism tertentu. Kulit yang kering dan retak karena penggunaan sabun / deterjen yang terus menerus juga bias menyebabkan jumlah bakteri ditangan meningkat.

  b.

  Larutan antiseptic, jenis ini digunakan untuk mencuci tangan dan membersihkan kulit pada saat : Sebelum dan diantara merawat pasien yang beresiko tinggi, seperti dalam unit perawatan khusus dan ruang gawat darurat, Sebelum tindakan/kontak dengan pasien yang mengenakan peralatan seperti kateter, Sebelum memasang peralatan seperti kateter, Cuci tangan bedah, Sebelum memegang bayi, Personil ruang operasi sebelum merawat pasien, Sebelum dan selama perawatan pasien yang immunocompromised. Larutan antiseptik atau juga diesebut antimikroba topikal adalah produk yang dipakai pada kulit atau jaringan hidup lainnya untuk menghambat aktivitas mikroorganisme atau membunuhnya sehingga menurunkan jumlah total bakteri pada kulit. Sementara, desinfeksi adalah bahan kimia yang ditujukan untuk membunuh mikroorganisme pada benda-benda mati, seperti peralatan, instrumen, meja atau lantai.

  Antiseptik memiliki bahan kimia yang memungkinkan untuk digunakan pada kulit, luka dan membran mukosa. Antiseptik beragam dalam aktivitasnya, efektifitasnya, efek setelah pakai dan rasa pada kulit. Dalam keadaan biasa, pemakaian sabun biasa dan air digabung dengan pembilasan dan ppengeringan secara bersama bias membersihkan tangan dari mikroorganisme tetapi untuk menghindari infeksi nosokomial, dibutuhkan antiseptik yang secara kimia berinteraksi dengan mikroba, sehingga membunuh serta menurunkan pertumbuhan dan aktivitasnya. Antisieptik biasa digunakan untuk :

  1. Larutan cuci tangan (ketika merawat pasien yang beresiko tinggi).

  2. Larutan cuci tangan bedah yang digunakan untuk tim operasi pada tangan dan lengan.

  3. Larutan skin prep untuk menyiapkan kulit pasien sebelum dimasukkan alat atau perlakuan lain.

  4. Larutan antiseptik untuk perawatan luka dan untuk bagian tubuh lain. Mikroorganisme yang paling rentan terhadap antiseptik antara lain bakteri gram positif dan negatif, fungi dan virus hidrofili seperti polivirus dan rhinovirus.

  Banyak antiseptik yang efektif terhadap virus hipofili seperti virus influenza,

  

cytomegalovirus, HIV dan penyebab virus hepatitis A dan B. Spora adalah yang

  paling resisten dari semua mikroorganisme dan kadang tidak bisa dibunuh dengan antiseptik. Tetapi antiseptik cukup efektif dalam mencegah pertumbuhan selanjutnya dan bisa menghilangkannya dari kulit. Kulit manusia tidak bisa disterilkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah pengurangan jumlah mikroorganisme pada kulit terutama pada kuman transien.

  Antiseptik berinteraksi dengan mikroorganisme dengan cara : Masuk kedalam metabolisme sel sehingga kemampuan sel untuk bertahan dan memperbanyak diri terhambat, Merubah struktur protein sel, biasanya dengan koagulasi protein dan penghancuran sel, Meningkatkan permeabilitas membran plasma sel dan tidak merusak komponen sel dengan cara lisis.

  2. Masker dalam Pengendalian Infeksi Menurut Darmadi (2008) menyatakan bahwa masker diapakai untuk melindungi pemakai dari transmisi mikroorganisme yang dapat ditularkan melalui udara dan

  

droplet , atau pada saat adanya kemungkinan terkena cipratan cairan tubuh.

  Masker sangat penting terutama bagi tenaga medis yang bekerja merawat luka terbuka yang besar, seperti luka operasi atau luka bakar, atau merawat pasien yang terinfeksi dengan penyakit-penyakit yang ditularkan melalui udara atau

  

droplet. Sebaliknya masker juga melindungi pasien dari infeksi yang

  penularannya melalui udara, terutama bagi pasien di kamar operasi, kamar bersalin dan bayi. Masker yang baik, menutupi hidung dan mulut dengan baik.

  Masker sekali pakai jauh lebih efektif dibandingkan masker dari kasa katun dalam mencegah transmisi mikroorganisme patogen melalui udara dan droplet.

  Seharusnya masker diganti bila akan merawat pasien lain atau bila lembab dan tidak boleh digantungkan dileher dan kemudian dipakai kembali. Teknik yang tepat dalam memakai dan melepas masker merupakan bagian penting dari pengendalian infeksi. Masker dipakai sebagai bagian dari usaha kewaspadaan isolasi. Beberapa prinsip penting dalam pemakaian yang harus dipatuhi: a.

  Pasang dulu masker sebelum memakai gaun atau sarung tangan, juga sebelum melakukan cuci tangan bedah.

  b.

  Masker hanya dipakai sekali saja untuk jangka waktu tertentu (misalnya tiap menangani satu pasien) kemudian dibuang dalam tempat pembuangan yang disediakan untuk itu.

  Teknik Memakai Masker a. Cuci tangan dan ambil masker dari kontainer, tekuk bagian logam yang akan mengenai hidung sesuai dengan bentuk hidung pemakai (hal ini penting untuk mencegah mengalirnya udara nafas lewat bagian samping hidung dan mencegah pengembunan kaca mata).

  g.

  d.

  Lepas masker, gulung talinya mengelilingi masker dan buang ketempat yang telah disediakan.

  c.

  Lepaskan tali bawah dahulu, baru kemudian yang atas. Tangan harus dalam keadaan sebersih mungkin bila menyentuh leher.

  b.

  Ingat selalu untuk membuka sarung tangan lebih dahulu (jika memakai) dan cuci tangan, untuk mencegah kontaminasi dari tangan ke muka.

  Teknik Melepas Masker a.

  Jangan membuka masker dari hidung dan mulut dan membiarkan bergelantungan di leher.

  Begitu masker lembab harus segera diganti.

  b.

  f.

  Ikat tali bawah dibelakang kepala sejajar dengan bagian atas leher / dagu.

  e.

  Ikatkan tali pada bagian atas dibelakang kepala, dan pastikan bahwa tali lewat di atas telinga.

  d.

  Pasang masker sehingga menutupi wajah dan hidung.

  c.

  Hindarkan memegang-megang masker sebelum dipasang di wajah.

  Cuci tangan.

2. Sarung Tangan dalam Pengendalian Infeksi

  Ada dua jenis sarung tangan yaitu steril dan non-steril. Sarung steril lebih mahal dari sarung tangan non-steril (examination gloves), karena itu hanya dipakai pada prosedur-prosedur tertentu yang dianggap asepsis bedah. Sedangkan sarung tangan non-steril dipakai pada prosedur-prosedur lainnya (Darmadi, 2008).

  Pemakaian sarung tangan non-steril.

  a.

  Sarung tangan harus dipakai apabila ada kemungkinan terjadi kontak dengan darah, cairan tubuh lapisan mukosa atau kulit pasien yang luka, dan juga untuk memegang benda-benda atau permukaan yang terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh, b.

  Sarung tangan juga harus dipakai bila seorang tenaga medis memiliki luka terbuka pada tangannya.

  c.

  Sarung tangan harus diganti bila merawat pasien berbeda bila bersentuhan dengan ekskresi atau sekresi pasien (walaupun menyentuh pasien yang sama).

  d.

  Tangan harus segera dicuci setelah sarung tangan dilepas karena sarung tangan bukan pengganti cuci tangan.

  Sarung tangan steril.

  a.

  Sesuai prinsip-prinsip asepsis bedah, sarung tangan steril wajib dipakai dalam prosedur pembedahan baik besar maupun kecil.

  b.

  Sarung tangan steril harus dikenakan sebelum melaksanakan prosedur seperti pemakaian kateter, intra vena dan kateter uretral, penggantian pembalut. c.

  Sarung tangan steril juga harus dipakai dalam melakukan perawatan terhadap pasien yang immune suppressed atau dirawat di ruang isolasi ketat.

2.5. Landasan Teori

  Landasan teori dalam penelitian ini dengan mengkombinasikan teori L. Green, dan Niven. Perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh mahluk hidup, baik yang diamati secara langsung atau tidak langsung perilaku manusia dapat dilihat dari 3 aspek yaitu: aspek fisik, psikis dan sosial yang secara terinci merupakan refleksi dari berbagai gejolak kejiwaan seperti pengetahuan, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya, yang ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik dan sosial budaya. Bahkan kegiatan internal seperti berpikir, berpersepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia (Notoatmodjo, 2010).

  Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2007) menganalisis bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu : a. Faktor perilaku (behavioral causes)

  b. Faktor diluar perilaku (non behavioral causes) Selanjutnya faktor perilaku di pengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu faktor- faktor predisposisi (predisposing factors), faktor-faktor pemungkin (enabling

  

factors) , dan faktor-faktor penguat (reinforcing factors). Faktor predisposisi

  (predisposing factors) yang mencakup pengetahuan, sikap dan sebagainya, faktor pemungkin (enabling factor) yang mencakup lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas dan faktor penguat (reinforcement factor) yang meliputi undang-undang, peraturan-peraturan, pengawasan dan sebagainya.

  Menurut Niven (2008) ada 4 faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan, yaitu pemahaman tentang instruksi, kualitas interaksi, isolasi sosial dan keluarga dan motivasi. Kepatuhan ini akan memengaruhi tindakan seseorang.

  Faktor Predisposisi Pengetahuan

  • Sikap -

  Nilai

  • Variabel demografi
  • Faktor Pemungkin Ketersediaan fasilitas
  • Lingkungan Fisik -

  Tindakan Faktor Penguat

  Peraturan-peraturan

  • Pengawasan -

  Kepatuhan

Gambar 2.1. Landasan Teori (Kombinasi Teori Lawrence Green dan Niven)

2.6. Kerangka Konsep Penelitian Variabel Independen Variabel Dependen

  • Pengetahuan - Sikap

  Penggunaan Alat Pelindung Diri

  Kapatuhan

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

  Kerangka konsep pada penelitian ini adalah variabel independen yaitu pengetahuan, sikap dan kepatuhan memengaruhi variabel dependen (penggunaan APD). Pada kerangka konsep ini faktor pemungkin dan penguat tidak diteliti.

Dokumen yang terkait

Persepsi Masyarakat Terhadap Pupuk Organik dan Keberadaan Hutan di Desa Tongkoh, Kecamatan Dolat Rayat, Kabupaten Karo

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pembangkit Listrik - Analisa Pemakaian Economizer Terhadap Peningkatan Efisiensi dan Penghematan Bahan Bakar Boiler 052 B101 Unit Pembangkit Tenaga Uap PT. Pertamina (Persero) Refinery Unit IV Cilacap

0 1 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisa Efisiensi Siklus Rankine Pada Sistem Pembangkit Tenaga Uap di PT. Pertamina (PERSERO) Refinery Unit IV Cilacap

0 4 40

Analisa Efisiensi Siklus Rankine Pada Sistem Pembangkit Tenaga Uap di PT. Pertamina (PERSERO) Refinery Unit IV Cilacap

0 2 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Pembangkit Tenaga Uap - Analisa Kerugian Head Sistem Distribusi Air Umpan Boiler Di PT.Pertamina (Persero) Refinery Unit IV Cilacap DenganMenggunakan Software Pipe Flow Expert v6.39

0 1 27

Tabel 1 Deskripsi Nilai Debt to equity Ratio Sampel Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI Periode 2011 – 2013 A. 2011

0 0 29

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kinerja Keuangan 2.1.1 Pengertian Kinerja Keuangan - Pengaruh Debt To Equity Ratio, Ukuran Perusahaan, Dan Leverage Operasi Terhadap Profitabilitas Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Debt To Equity Ratio, Ukuran Perusahaan, Dan Leverage Operasi Terhadap Profitabilitas Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 7

Pengaruh Debt To Equity Ratio, Ukuran Perusahaan, Dan Leverage Operasi Terhadap Profitabilitas Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 1 10

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Frekuensi Pelaksanaan Lelang Atas Hak Tanggungan Dari Kreditur Perbankan di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Medan

0 0 135