BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup (Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 862 K/Pid.Sus./2010)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, jika diamati bersama, kejahatan mengalami perkembangan
seiring dengan perkembangan globalisasi, dimana kejahatan yang terjadi pada masyarakat agraris berbeda dengan kejahatan yang terjadi pada masyarakat industri. Bahkan jika dipandang dari sudut pelakunya semula pelaku yang dapat dipertanggungjawabkan dalam Hukum Pidana hanyalah orang perorangan atau individu, tetapi kini juga korporasi atau badan hukum atau disebut juga rechts
person , karena ternyata badan hukum atau korporasi juga dapat melakukan
kejahatan yang dapat dipidana.Dampak dari globalisasi salah satunya adalah kemajuan di bidang ekonomi. Kemajuan di bidang ekonomi seperti meningkatnya arus informasi, uang dan perusahaan multinasional yang bergerak cepat melalui pasar bebas, arus modal dan penanaman modal dan penanaman modal dari luar negeri disatu sisi membawa dampak positif bagi masyarakat. Namun disisi lain juga membawa dampak negatif yakni dengan memberikan peluang atas munculnya korporasi- korporasi yang di dalam menjalankan usahanya secara sadar atau tidak sadar telah melakukan kejahatan yang mengancam keselamatan bangsa, disebabkan
11 banyaknya penyimpangan perilaku korporasi yang bersifat merugikan masyarakat dalam berbagai bentuk yang berskala luas.
Sehubungan dengan kejahatan korporasi Soedjono Dirdjosisworo,
sebagaimana yang dikutip oleh Muladi, menyatakan bahwa :
Kejahatan-kejahatan korporasi yang menonjol dewasa ini adalah price
fixing (memainkan harga barang secara tidak sah), false advertising (penipuan
iklan), kejahatan di bidang perbankan: cyber crime, money laundering, illegal logging , dan kejahatan lingkungan hidup (environmental crime). kejahatan sekarang menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi juga menimbulkan kejahatan bentuk baru yang tidak kurang bahaya dan besarnya korban yang diakibatkannya. Indonesia dewasa ini sudah dilanda kriminalitas kontemporer yang cukup mengancam lingkungan hidup, sumber energi dan pola-pola kejahahatan di bidang ekonomi seperti kejahatan bank, kejahatan komputer, penipuan terhadap konsumen berupa barang-barang produksi kualitas rendah yang dikemas indah dan dijajakan lewat advertensi secara besar-besaran, dan berbagai pola kejahatan korporasi yang beroperasi lewat penetrasi dan penyamaran.
1 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi , (Medan: PT Softmedia), 2010, hlm. 1 2 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cetakan Ketiga
Edisi Revisi, (Bandung: Kencana, 2012), hlm. 3 3 Ibid ., hlm. 5
Salah satu bentuk kejahatan korporasi yang menjadi perhatian karena perkembangan yang terus meningkat adalah bentuk kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup (environmental crime). Kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup dapat menimbulkan dampak serta korban yang besar dan kompleks yang tidak hanya menguras sumber daya alam, sumber daya manusia, modal sosial, bahkan modal kelembagaan yang berkelanjutan. Sebagai contoh, pada tahun 1984, telah terjadi suatu bencana kimia akibat kebocoran gas pada pabrik milik Unicorn Carbide India Limited, di Bhopal India.
Kejadian tersebut sebagai akibat buruknya sistem pengamanan dan tindakan penghematan biaya yang dilakukan oleh perusahaan tersebut dan efeknya akan dirasakan hingga dua puluh tahun kedepan.
Kasus the Benguet Minning Company di Filipina dimana untuk mencari emas, Benguet Minning telah membuat lubang yang dalam di bukit-bukit, mengikis habis pepohonan dan tanah permukaan, dan membuang banyak sekali bongkahan-bongkahan batu ke dalam sungai-sungai setempat. Dengan terkurasnya sumber daya tanah dan air, maka orang Igorot yang merupakan penduduk asli kawasan tersebut merasakan kesulitan dalam menanam padi dan
pisang disana dan harus pergi ke bukit yang satu lagi. Di Indonesia kasus serupa terjadi di Teluk Buyat yang dilakukan oleh Newmont.
Kasus Lumpur Lapindo Sidoarjo, Jawa Timur yang diindikasi sebagai kegiatan pengeboran yang dilakukan tidak memenuhi standarisasi (human error) yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas. Peristiwa Lumpur Lapindo Brantas mengakibatkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal dan segala harta bendanya karena terendam lumpur, belum lagi industri-industri yang berada disekitar semburan lumpur yang mengakibatkan tidak bisa melakukan produksi dan ribuan
orang kehilangan pekerjaannya.
4 5 Ibid ., hlm. 9 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit,. hlm. 3
Kejahatan-kejahatan yang dilakukan korporasi tersebut tentu saja tidak dapat dibiarkan begitu saja, sebab akibat yang ditimbulkannya sangat serius dan kompleks. Dampak kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh korporasi di bidang lingkungan hidup adalah sistemik, dapat merusak satu kesatuan masyarakat bahkan bisa merusak satu generasi mengingat pentingnya untuk menjaga keberlangsungan lingkungan. Penting untuk diingat bahwa sebagai manusia, hidup di dunia juga harus memikirkan penerus kelak, oleh karenanya adalah kewajiban untuk memelihara lingkungan agar tidak rusak. Apalagi di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 28 H menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak setiap orang. Sehingga perlu pengaturan hukum yang tegas dari pemerintah untuk dapat menjatuhkan hukuman pidana bagi korporasi yang melakukan kejahatan agar terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana diamanatkan dalam sila kelima dan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Korporasi sebagai subjek tindak pidana masih merupakan hal yang baru dan tercantum dalam beberapa peraturan perUndang-undangan dan penegakan hukumnya juga sangat lambat. Di Indonesia dalam perUndang-undangannya baru muncul dan dikenal badan hukum/korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana pada tahun 1951, yaitu dalam Undang-undang Penimbunan Barang-barang dan mulai dikenal secara luas dalam Undang-Undang No. 7 Drt Tahun 1955 tentang
13
6 Tindak Pidana Ekonomi. Selain itu juga terdapat dalam Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juga terdapat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan Undang-undang lainnya.
Akan tetapi secara umum, sebagaimana yang tercantum dalam KUHP (Pasal 59 KUHP), subjek tindak pidana korporasi belum dikenal, dan yang diakui sebagai subjek dalam tindak pidana secara umum adalah “orang”. Pasal 59 KUHP
berbunyi: “Dalam hal menetukan hukuman karena pelanggaran terhadap pengurus, anggota salah satu pengurusatau komisaris, maka hukuman tidak dijatuhkan atas pengurus atau komisaris, jika nyata bahwa pelanggaran itu terjadi diluar tanggungannya”.
Dengan demikian dengan diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana, menimbulkan permasalahan baru dalam Huku m Pidana di Indonesia, khususnya menyangkut masalah pertanggungjawaban korporasi yaitu apakah unsur kesalahan tetap dapat diterapkan seperti halnya kepada subjek manusia.
Sejalan dengan itu, menurut Sauer ada tiga pengertian dalam Hukum
8 Pidana, yaitu: 1.
Sifat melawan hukum (unrecht); 2. Kesalahan (schuld); 3. Pidana (strafe). 6 7 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit., hlm. 14 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal , Cetakan Kedelapan, (Bogor: Politea, 1985), hlm. 77 8 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit., hlm. 70
Sehingga secara dogmatis dapat dikatakan bahwa dalam Hukum Pidana unsur kesalahan harus ada sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana si pelaku tindak pidana.
Terdapat doktrin yang mewarnai Wet Boek van Straftrecht (W.v.S) Belanda 1889 yakni asas “universalitas delinquere nonpotest” atau “societas
delinquere nonpotest ” yang berarti badan-badan hukum tidak dapat melakukan
tindak pidana. Namun seiring perkembangan zaman, doktrin badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana sudah mengalami perubahan sehubungan dengan diterimanya konsep pelaku fungsional (functioneel daderschap) karena
peran korporasi dalam kehidupan ekonomi dirasa penting. Maka hal ini menimbulkan permasalahan dalam Hukum Pidana yaitu apakah badan hukum dapat mempunyai kesalahan, baik kesengajaan maupun kealpaan. Sebab bagaimanapun juga Indonesia masih menganut asas “geen straf zonder schuld” atau tiada pidana tanpa kesalahan. Asas ini terdapat dalam Pasal 6 ayat (2)
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: “Tidak
seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.
9 10 Ibid ., hlm. 17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157 Tambahan Lembaran Negara Nomor
5076)
15 Pada kenyataannya dalam praktik tidaklah mudah untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan pada korporasi karena korporasi sebagai subjek Hukum Pidana tidak mempunyai sifat kejiwaan (kerohanian) seperti halnya manusia alamiah (naturlijk persoon), oleh karenanya dalam perkembangannya mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi, pertanggungjawaban setiap orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya, ada pandangan baru yang agak berlainan, bahwa khususnya untuk pertanggungjawaban pidana dari badan hukum asas kesalahan tidak perlu dibuktikan.
Ada beberapa teori pertanggungjawaban pidana korporasi, diantaranya doktrin pertanggungjawaban pidana langsung (direct liability doctrine) atau teori identifikasi (identification theory) atau disebut juga teori atau doktrin ”alter ego” atau “teori organ”. Perbuatan atau kesalahan “pejabat senior” (senior officer) diidentifikasikan sebagai perbuatan atau kesalahan korporasi. Doktrin pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liability). Bertolak dari doktrin “respondeat superior”. Didasarkan pada employment principle bahwa majikan adalah penanggungjawab utama dari perbuatan buruh atau karyawan dan doktrin pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut Undang-undang, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau tidak memenuhi kewajiban atau kondisi atau situasi tertentu yang ditentukan Undang-undang. Pelanggaran terhadap kewajiban korporasi dapat diterapkan doktrin pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut Undang-undang atau strict liability, apalagi kalau korporasi tersebut menjalankan usahanya tanpa izin, atau korporasi pemegang izin yang melanggar
syarat-syarat yang ditentukan dalam izin itu.
Adapun dalam Hukum Pidana Indonesia sendiri terdapat ide untuk memasukkan asas strict liability dan asas vicarious liability sebagai pengecualian terhadap unsur kesalahan terhadap tindak pidana tertentu. Hal ini dapat dilihat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pasal 38 ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Bagi tindak pidana tertentu, Undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.
(2) Dalam hal ditentukan oleh undang-undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang lain.
Dengan demikian berarti terdapat keinginan dari pembuat undang-undang untuk menerapkan asas strict liability dan asas vicarious liability secara umum dalam hukum pidana Indonesia baik untuk menjatuhkan pidana kepada manusia maupun korporasi sebagai subjek hukum pidana.
Terkait korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup tidak hanya sebatas penempatan korporasi sebagai subjek Hukum Pidana tetapi perlu adanya ketentuan khusus tentang “pertanggungjawaban pidana” untuk korporasi. Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kasus lingkungan hidup diatur dalam
pasal 116 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
11 Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Edisi Revisi, (Medan: PT
Softmedia, 2009), hlm. 35
17 Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan pasal 116 ayat (1), yang berbunyi :
1.
Badan usaha; dan/atau Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada :
2. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Lebih lanjut dalam Pasal 116 ayat (2) UUPPLH mengatur mengenai pertanggungjawaban pengganti atau vicarious liability dan pertanggungjawaban yang ketat atau strict liability. Pasal 116 ayat (2) berbunyi:
Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Kapan dimintakannya pertanggungjawaban pidana kepada badan usaha, orang yang memberikan perintah atau orang yang bertindak sebagai pemimpin, ini menjadi permasalahan dalam praktek, karena dalam kasus lingkungan hidup, ada kesulitan untuk membuktikan hubungan kausal antara kesalahan di dalam sektor usaha dan perbuatan secara konkrit telah dilakukan. Untuk menghindari kesulitan pembuktian diatas, memang bisa dilakukan dengan meletakkan soal dapat tidaknya dimintakan pertanggungjawaban pidana. Pelanggaran terhadap kewajiban korporasi dapat diterapkan doktrin pertanggungjawaban pidana strict
liability apalagi kalau korporasi tersebut menjalankan usahanya tanpa izin, atau
12 Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan danPengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059)korporasi pemegang izin yang melanggar syarat-syarat yang ditentukan dalam
izin.
Skripsi ini akan membahas dan menganalisa terkait dengan asas strict
liability dan asas vicarious liability terhadap korporasi yang melakukan tindak
pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi yang berjudul “ASAS STRICT LIABILITY DAN ASAS
VICARIOUS LIABILITY TERHADAP KORPORASI YANG MELAKUKAN
TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan skripsi ini, maka terdapat permasalahan yang akan menjadi bahasan penulis dalam skripsi ini. Perumusan masalah yang diangkat dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah sistem pertanggungjawaban terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana ?
2. Bagaimanakah penerapan asas strict liability dan asas vicarious liability terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-
13 Alvi Syahrin, Op.Cit., hlm. 35
19 Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ?
C. Keaslian Penulisan
Untuk mengetahui orisinalitas penulisan, sebelum melakukan penulisan skripsi yang berjudul “Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Terhadap Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Berdasarkan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hiudp” terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat tertanggal 16 Oktober 2013 menyatakan ada satu judul yang memiliki sedikit kesamaan. Adapun judul skripsi tersebut adalah “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Lingkup Hukum Pidana Indonesia” yang ditulis oleh Ilham P.
Gultom/980200068.
Surat dari Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tersebut kemudian menjadi dasar bagi Bapak Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.H (ketua Departemen Hukum Pidana) untuk menerima judul yang diajukan penulis, karena substansi yang terdapat dalam skripsi ini dinilai berbeda dengan judul diatas.
Penulisan skripsi ini juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, belum ada penulis lain yang mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada, hal itu adalah diluar sepengetahuan dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi ini. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Mengetahui bentuk pertanggungjawaban terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
2. Mengertahui penerapan asas strict liability dan asas vicarious liability terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana berdasarkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Adapun manfaat yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah : a. Secara Teoritis
1) Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya, perkembangan Hukum
Pidana dan khususnya masalah asas strict liability dan asas vicarious liability terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana.
2) Hasil penulisan diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi kepada pendidikan ilmu hukum mengenai penerapan asas strict liability dan asas
vicarious liability terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana
21 berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
3) Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pembuat Undang-undang dalam menetapkan kebijaksanaan lebih lanjut mengenai asas strict liability dan asas vicarious liability terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana.
b.
Secara Praktis Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan penjelasan bagi Mahasiswa maupun bagi masyarakat pada umumnya mengenai asas pertanggungjawaban korporasi yang melakukan tindak pidana khususnya mengenai asas strict liability dan asas vicarious liability berdasarkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
E. Tinjauan Pustaka
1. Pidana, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Penggunaan istilah pidana itu sendiri diartikan sebagai sanksi pidana.
Untuk pengertian yang sama, sering juga digunakan istilah-istilah lain, yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana dan hukuman pidana. Moeljatno mengatakan, istilah hukuman yang berasal dari “straf” dan istilah “dihukum” berasal dari “wordt gestraft” merupakan istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah itu dan menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata “straf” dan diancam
14 Istilah “hukuman” yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat
23 dengan pidana untuk menggantikan kata “wordt gestraft”. Menurut Moeljatno, kalau kata “straf” diartikan sebagai “hukuman” maka “strafrecht” seharusnya diartikan sebagai hukuman-hukuman.
mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak saja hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan, moral, agama dan sebagainya.
15 Sudarto mengartikan pidana sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Oleh karena itu, pidana merupakan istilah khusus sehingga perlu adanya pembatasan pengertian dari pidana.
Roeslan Saleh memberi pengertian pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini
berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pelaku delik itu. Dalam kamus Black’s Law Dictionary dinyatakan bahwa punishment adalah:
14 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 185 15 Ibid. 16 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 109-110 17 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 186 Any fine, or penalty or confinement upon a person by authority of the low and the judgement and sentence of a court, for some crime on offence committed by him, or for his omission of a duty enjoined by law .
(setiap denda atau hukuman yang dijatuhkan pada seseorang melalui sebuah kekuasaan suatu hukum atau vonis serta putusan sebuah pengadilan bagi kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan olehnya, atau karena kelalaiannya terhadap suatu kewajiban yang dibebankan oleh aturan hukum).
Berdasarkan pengertian pidana yang telah diuraikan, maka dapat
disimpulkan bahwa pidana memuat unsur-unsur sebagai berikut: (1)
Pidana pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; (2)
Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang); (3)
Pidana itu merupakan pernyataan pencelaan oleh negara atas diri seseorang karena telah melanggar hukum; (4)
Pidana dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
Istilah tindak pidana diartikan beberapa sarjana sebagai perbuatan pidana atau peristiwa pidana, istilah-istilah ini digunakan untuk mengartikan strafbaar
feit . Sarjana-sarjana yang mengartikan strafbaar feit sebagai peristiwa pidana
adalah Simon, seorang guru besar ilmu hukum pidana Universitas Utrecht, serta van Hamel guru besar ilmu hukum pidana Universitas Kerajaan di Leiden.
Menurut Simons strafbaar feit (terjemahan secara harfiah: peristiwa pidana) adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kesalahan yang dimaksud oleh Simons ialah kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja) dan
culpa (alpa atau lalai). Dari rumusan tersebut Simons menyatukan unsur-unsur
perbuatan pidana (meliputi perbuatan dan sifat melawan hukum) dan
18 Ibid.
pertanggungjawaban pidana (meliputi kesengajaan, kealpaan, kelalaian dan
kemampuan bertanggung jawab).
Van Hamel menguraikan strafbaar feit sebagai perbuatan manusia yang diuraikan oleh undang-undang, melawan hukum, straafwardig (patut atau bernilai untuk dipidana), dan dapat dicela karena kesalahan (en aan schuld te wijten).
Unsur-unsur strafbaar feit menurut van Hamel meliputi: a.
Perbuatan: perbuatan itu ditentukan oleh hukum pidana tertulis (asas legalitas); b.
Melawan hukum: bernilai atau patut dipidana sesuai dengan ajaran sifat melawan hukum materiil yaitu kesengajaan, kelalaian/kealpaan dan kemampuan bertanggung jawab.
Adapun menurut Moeljatno, istilah peristiwa pidana kurang tepat untuk digunakan sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkrit, yang hanya menunjukkan kepada suatu kejadian yang tertentu saja, misalnya matinya orang. Peristiwa ini saja tidak mungkin dilarang, Hukum Pidana tidak melarang adanya orang mati tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain. Jika matinya orang disebabkan oleh sakit, karena binatang, tertimpa pohon, maka peristiwa itu tidak peting sama sekali bagi Hukum Pidana. Baru apabila matinya
19 Zainal Abidin Farid, HukumPidana I, Cetakan Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 224 20 Ibid., hlm. 225
25 ada hubungannya dengan kelakuan orang lain disitulah peristiwa itu menjadi
penting bagi hukum pidana.
Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Antara larangan dan ancaman pidana terdapat hubungan yang erat, maka antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan yang erat pula, yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang kejadian yang ditimbulkan olehnya. Untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka digunakan kata perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan dua keadaan konkrit: pertama, adanya kejadian tertentu dan kedua,
adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.
Adapun istilah tindak pidana dipakai oleh Prodjodikoro untuk menyebut
strafbaar feit . Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum
Pidana di Indonesia memberikan definisi “tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam
Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku
di Indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict. Tindak pidana berarti
21 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Keempat, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 55 22 Ibid., hlm 54 suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana. Dan, pelaku ini
dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.
H.A. Zainal Abidin Farid dan Andi Hamzah juga lebih cenderung memakai istilah delik yang menurutnya netral dan praktis dan tidak adakritikan.
Demikian juga dengan Sutan Remy Sjahdeini, lebih cenderung memakai istilah delik atau tindak pidana karena merupakan istilah resmi yang dipergunakan dalam
perundang-undangan.
Tindak pidana lingkungan hidup adalah suatu bentuk tindak pidana yang timbul seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat.
Perkembangan di dalam masyarakat dipastikan memberikan pengaruh terhadap perubahan dan perkembangan kualitas tindak pidana. Perserikatan Bangs-Bangsa dalam Kongres ke-6 tentang Prevention of Crime and The Treatment of offenders di Caracas tahun 1980 berpendapat bahwa antara pembangunan dan kejahatan terdapat hubungan yang saling berpengaruh yang melahirkan kriminalisasi sekaligus dekriminalisasi, oleh karena itu pasal-pasal undang-undang hukum pidana harus diperluas, mencakup tindakan-tindakan disengaja yang merusak kekayaan alam dan kesejahteraan nasional, misalnya pelanggaran-pelanggaran
terhadap lingkungan hidup.
23 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 58 24 Hasbullah F. Sjawei, Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi , (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2013), hlm. 250 25 Henny Damaryanti, Tesis: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup , (Semarang: Universitas Diponegoro, 2002), hlm. 29
27 Kriminalisasi yang dimaksud adalah suatu proses yang menjadikan suatu perbuatan yang tadinya bukan merupakan tindak pidana karena belum diatur di dalam undang-undang hukum pidana, kemudian karena perbuatan tersebut dapat mengakibatkan kerugian bagi masyarakat bahkan dapat membahayakan kehidupan manusia, maka dirumuskan di dalam undang-undang Hukum Pidana dan diancam dengan pidana, sehingga perbuatan dimaksud dinyatakan sebagai
tindak pidana.
Tindak pidana lingkungan hidup sering disebut dengan istilah delik lingkungan atau kejahatan lingkungan (environmental crime), berkaitan erat dengan dan sering merupakan hasil dari kegiatan di bidang bisnis dan industri, sehingga dimasukkan sebagai salah satu bentuk dari “crimes as business” atau “economic abuses”. Pada hakikatnya tindak pidana lingkungan hidup berkaitan erat dengan “keseluruhan syarat hidup yang bersifat asasi bagi manusia” (the
totality of mankind’s basic natural living conditions ), yang berarti berkaitan erat
dengan keseluruhan kondisi struktur sosial (socio-structural conditions), maka wajar dikatakan bahwa tindak pidana lingkungan hidup merupakan suatu bentuk
kejahatan struktural (structural criminality).
Adanya suatu tindak pidana, bukan berarti sudah pasti akan ada suatu pertanggungjawaban pidana karena tindak pidana atau perbuatan pidana hanya menunjukkan kepada dilarang dan diancamnya suatu perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Persoalan mengenai apakah orang yang melakukan perbuatan
26 27 Ibid., hlm. 12 Ibid., hlm. 30 atau tindakan kemudian dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam melakukan perbuatan itu orang tersebut memiliki kesalahan. Sebab terdapat asas yang dikenal dalam hukum pidana yaitu tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf
zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir rea ).
Dengan demikian, membicarakan pertanggungjawaban pidana harus didahului dengan penjelasan tentang perbuatan atau tindak pidana. Seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu ia melakukan tindak pidana. Adalah dirasa tidak adil jika tiba-tiba seseorang harus bertanggung jawab atas suatu tindakan, sedangkan ia sendiri tidak melakukan
tindakan tersebut.
Dalam hukum pidana konsep “pertanggungjawaban” ini merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan “an act
does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy ”.
Beradasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan
pidana (actus reus) dan sikap batin jahat/tercela (mens rea).
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang 28 29 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 153 30 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 155 Ibid., hlm. 157
29 itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.
Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas
‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan.
Sudarto mengatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.
Konsep pertanggungjawaban dalam hukum pidana mengalami perkembangan sejak diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana disamping manusia. Manakala korporasi juga diakui sebagai subjek hukum disamping manusia, maka konsep pertanggungjawaban pidana harus diciptakan agar korporasi juga dapat dijatuhi pidana ketika terbukti melakukan tindak pidana. Secara teoritis, terdapat tiga teori atau sistem pertanggungjawaban pidana pada subjek hukum korporasi, yaitu teori identifikasi, strict liability dan vicarious 31 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan , Cetakan Kedua, (Jakarta: Kencana. 2006), hlm.
68 32 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 156-157
liability . Ketiga teori atau sistem pertanggungjawaban ini, pada hakikatnya
merupakan respon terhadap eksistensi korporasi yang dewasa ini diakui sebagai
subjek hukum pidana.
2. Asas Strict Liability Terhadap Korporasi
Konsep strict liability merupakan konsep yang ada dalam sistem hukum
Common Law . Pada mulanya, sistem pertanggungjawaban tersebut diterapkan
dalam kasus-kasus perdata. Namun dalam perkembangannya, konsep strict
liability juga diterapkan pada kasus-kasus pidana tertentu yang dianggap
membahayakan sosial, seperti narkotika, pelanggaran lalu lintas, makanan dan
lain-lain.
Asas strict liability diartikan sebagai pertanggungjawaban yang ketat, artinya seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). Secara singkat, strict liability diartikan sebagai “liability without fault”
(pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan).
Dalam perbuatan pidana yang bersifat strict liability, hanya dibutuhkan dugaan atau pengetahuan dari pelaku (terdakwa), sudah cukup menuntut pertanggungjawaban pidana dari padanya. Jadi tidak dipersoalkan adanya mens
rea , karena unsur pokok strict liability adalah actus reus (perbuatan), sehingga
harus dibuktikan adalah actus reus (perbuatan) bukan mens rea.
33 34 Ibid., hlm. 160 35 Ibid., hlm. 163 36 Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 111 Mahrus Ali, Loc.Cit.
31 Ted Honderich menyatakan bahwa premise (dalil/alasan) yang bisa
dikemukakan untuk pembenaran strict liability dalam hukum pidana adalah: a.
Sulitnya membuktikan pertanggungjawaban untu tindak pidana tertentu.
b.
Sangat perlunya mencegah jenis-jenis tindak pidana tertentu untuk menghindari adanya bahaya yang sangat luas.
c.
Pidana yang dijatuhkan sebagai akibat dari strict liability adalah ringan.
Prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak ini menurut Hukum Pidana Inggris hanya diberlakukan terhadap perkara pelanggaran ringan yaitu pelanggaran terhadap ketertiban umum atau kesejahteraan umum tidak berlaku terhadap pelanggaran yang bersifat berat. Termasuk ke dalam kategori
pelanggaran-pelanggaran tersebut diatas adalah: 1.
Contempt of court atau pelanggaran terhadap tata tertib pengadilan; 2. Criminal Libel atau defamation atau pencemaran nama baik seseorang; 3. Public nuisance atau mengganggu ketertiban masyarakat umum.
Akan tetapi kebanyakan strict liability terdapat pada delik-delik yang diatur dalam Undang-undang (statutory offence; regulatory offences; mala
prohibita ) yang pada umumnya merupakan delik-delik terhadap kesejahteraan
umum (public walefare offences). Termasuk regulatory offences misalnya, penjualan makanan dan minuman atau obat-obatan yang membahayakan,
penggunaan gambar dagang yang menyesatkan dan pelanggaran lalu lintas.
37 38 Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit.,hlm. 112 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990), hlm. 38 39 Ibid., hlm. 39
Menurut Romli Asmasasmita, pembentuk Undang-undang telah menetapkan bila aturan tentang strict liability crimes dapat diberlakukan sebagai
berikut: 1)
Kejahatan yang dilakukan bukan kejahatan berat; 2)
Ancaman hukuman yang berlaku adalah ringan; 3)
Syarat adanya mens rea akan menghambat tujuan perundang-undangan; 4)
Kejahatan yang dilakukan secara langsung merupakan paksaan terhadap hak- hak orang lain; 5)
Menurut undang-undang yang berlaku mens rea secara kasuistik tidak diperlukan.
Adapun kriteria penerapan strict liability dalam perkara pidana pada prinsipnya tidak bersifat generalisasi. Jadi tidak terhadap semua tindak pidana boleh diterapkan. Akan tetapi yang bercorak khusus, yaitu: 1)
Ketentuan undang-undang sendiri menentukan atau paling tidak undang- undang sendiri cenderung untuk menuntut strict liability; 2)
Penerapannya hanya ditentukan terhadap tindak pidana yang bersifat larangan khusus atau tertentu.
Penerapan strict liability sangat erat kaitannya dengan ketentuan tertentu dan terbatas. Agar lebih jelas apa yang menjadi landasan penerapan strict liability, dapat dikemukakan beberapa patokan antara lain:
40 Romli Asmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000),
hlm. 78
33 a.
Tidak berlaku umum terhadap semua jenis tindak pidana, tetapi sangat terbatas dan tertentu, terutama mengenai kejahatan anti sosial atau yang membahayakan sosial; b. Perbuatan itu benar-benar bersifat melawan hukum yang sangat bertentangan dengan kehati-hatian yang diwajibkan hukum dan kepatutan; c.
Perbuatan itu dilarang dengan keras oleh undang-undang karena dikategorikan sebagai aktivitas atau kegiatan yang sangat potensial mengandung bahaya kepada kesehatan, keselamatan dan moral publik; d. Perbuatan atau aktivitas tersebut secara keseluruhan dilakukan dengan cara tidak melakukan pencegahan yang sangat wajar.
Jika pengertian strict liability dikaji dari kesalahan normatif, maka konsekuensinya akan berlainan. Kesalahan normatif pada intinya menyatakan bahwa kesalahan ada jika kelakuan tidak sesuai dengan norma yang harus diterapkan. Kesalahan dipandang ada sepanjang norma hukum menentukan bahwa pembuatnya dapat dicela karena melakukan tindak pidana. Sebagai suatu pengertian kesalahan yang normatif, kesalahan merupakan masalah penilaian yang dilakukan berdasarkan sistem norma. Sistem norma yang menjadi patron penilaian kemudian diorientasikan terhadap fungsi dan sistem norma tersebut. Kesalahn berarti pembuat (seseorang atau badan hukum), telah berbuat bertentangan dengan yang diharapkan. Pembuat telah berbuat bertentangan dengan harapan masyarakat. Hukum sebenarnya mengharapkan kepadanya untuk dapat beerbuat lain, selain tindak pidana. Dilakukannya tindak pidana pembuatnya dikatakan bersalah karena telah berbuat berbeda dari yang diharapkan masyarakat. Padahal pada dirinya selalu terbuka kemungkinan untuk dapat berbuat lain, jika tidak ingin
Oleh karena itu, berdasarkan teori kesalahan normatif konsep strict
liability tidak dianggap sebagai bentuk pengecualian dari konsep tiada pidana
tanpa kesalahan tetapi sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana berdasar kesalahan. Pada strict liability pembuatnya tetap dapat diliputi kesalahan yaitu
kesalahan dalam pengertian normatif.
Berkaitan dengan asas strict liability terdapat perbedaan pendapat dikalangan sarjana mengenai tepat atau tidaknya konsep strict liability tepat diterapkan untuk kejahatan korporasi. Mahrus Ali, guru besar ilmu hukum pidana Universitas Islam Indonesia, menyatakan penerapan konsep pertanggungjawaban
strict liability tidak sesuai atau bertolak belakang dengan karakteristik kejahatn
korporasi yang termasuk dalam kategori serious crime, sedangkan konsep pertanggungjawaban strict liability hanya untuk jenis kejahatan yang bersifat ringan seperti pelanggaran lalu lintas, penghinaan pengadilan yang sifatnya berupa pelanggaran. Pijakan yuridis yang dibangun untuk menuntut korporasi atas
konsep pertanggungjawaban strict liability tidak kuat dan tidak beralasan.
3. Asas Vicarious Liability Terhadap Korporasi
Asas vicarious liability adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain (the legal responsibility of
41 42 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 163-164 43 Ibid.
Ibid., hlm. 168
35
one person for the wrongful acts of another ). Vicarious liability lazim disebut
sebagai pertanggungjawaban pengganti, yaitu pertanggungjawaban seseorang atas
salah yang dilakukan oleh orang lain.
Dalam Black’s Law Dictionary, vicarious liability diartikan sebagai berikut: “The liability of an employer for the acts of an employee, of an principle
for torts and contracts of an agent ” (pertanggungjawaban majikan atas tindakan
dari pekerja; atau pertanggungjawaban principal terhadap tindakan agen dalam
suatu kontrak).
Pertanggungjawaban demikian misalnya terjadi dalam hal perbuatan- perbuatan yang dilakukan oleh orang lain itu adalah dalam ruang lingkup pekerjaan atau jabatan. Jadi, pada umumnya terbatas pada kasus-kasus yang menyangkut hubungan antara majikan dengan buruh, pembantu atau bawahannya.
Dengan demikian dalam pengertian vicarious liability ini, walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti yang biasa, ia masih dapat dipertanggungjawabkan. Rasionalitas penerapan teori ini adalah ksrens majikan (korporasi) memiliki kontrol dan kekuasaan atas mereka dan keuntungan yang mereka peroleh secara langsung dimiliki oleh majikan (korporasi).
Vicarious liability berasal dari ajaran doctrine of respondeat superior
dimana dalam hubungan karyawan dengan majikan atau antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa berlaku adagium qui facit per alium facit per se yang 44 45 Romli Asmasasmita, Op.Cit., hlm. 79 Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm.
118 46 Ibid., hlm. 119 berarti seseorang yang berbuat melalui orang lain dianggap sebagai perbuatan yang dilakukan oleh ia sendiri.
Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan tindak pidana
yang dilakukan orang lain dalam hal-hal sebagai berikut: 1.
Ketentuan umum yang berlaku menurut Common Law ialah bahwa seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara vicarious liability untuk tindak pidana yang dilakukan oleh pelayan/buruhnya. Pada prinsipnya, menurut Common Law, seorang majikan tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan (tindak pidana) yang dilakukan oleh pelayannya
2. Menurut Undang-undang (statute law), vicarious liability dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut: a.
Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila ia telah mendelegasikan (the delegation
principle ); b.
Seorang majikan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik/jasmaniah dilakukan oleh buruh/pekerjanya apabila menurut hukum perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai perbuatan majikan (the servant’s
act is the master’s act in law ). Jadi apabila si pekerja sebagai pembuat
materil/fisik (auctor fisicus) dan majikan sebagai pembuat intelektual (auctor intellectualis ).
47 Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 31
37 Dalam vicarious liability terdapat dua syarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan asas vicarious liability terhadap perbuatan pidana,
yaitu: 1)
Harus terdapat suatu hubungan, seperti hubungan pekerjaan antara majikan dengan pekerja; dan 2)
Tindak pidana yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus berkaitan atau masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.