BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Goreng 2.1.2 Pengertian Minyak Goreng - Pengaruh Pengulangan Pemakaian Minyak Goreng Curah Terhadap Kandungan Ion Besi (Fe3+)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Minyak Goreng

2.1.2 Pengertian Minyak Goreng

  Minyak termasuk golongan lipid. Minyak adalah lemak yang berwujud cair pada suhu kamar 25 C. Minyak merupakan trigliserida (triasil gliserol) dari gliserol dan berbagai asam lemak.(Winarno,1997).

  Minyak mengandung sejumlah kecil komponen selain trigliserida, yaitu: lipid kompleks (lesithin,cephalin, fosfatida,dan glikolipid), sterol,asam lemak bebas,lilin, pigmen,hidrokarbon ( karbohidrat, protein, dan vitamin ). Komponen tersebut akan mempengaruhi sifat fisik dan warna minyak.(Buckle,2007).

  Minyak goreng adalah minyak yang telah mengalami proses pemurnian, meliputi : 1) Degumming,yaitu proses pemisahan getah atau lendir,serperti fosfatida, air, protein, residu, karbohidrat, tanpa mengurangi jumlah asam lemak bebas. 2).Netralisasi, proses pemisahan asam lemak pada minyak dengan mereaksikannya dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga terbentuk sabun, 3) pemucatan, proses penghilan zat-zat warna. 4) Deodorisasi, proses penghilan bau dan rasa yang tidak enak pada minyak.(Ketaren,1986).

  Menurut SNI 01-3741-1995 (BSN, 1995), minyak goreng didefinisikan sebagai minyak yang diperoleh dengan cara memurnikan minyak makan nabati. Minyak nabati merupakan minyak yang diperoleh dari (jagung, gandum, beras, dan lain-lain), kacang-kacangan (kacang kedelai, kacang tanah, dan lain-lain), palem- paleman (kelapa dan kelapa sawit), dan biji-bijian (biji bunga matahari, biji wijen, biji tengkawang, biji kakao, dan lain-lain) (Nugraha, 2004).

  Tidak semua minyak nabati dapat dipakai untuk menggoreng. Menurut Ketaren (1986), minyak yang termasuk golongan setengah mengering (semi drying

  oil ) misalnya minyak biji kapas, minyak kedelai, dan minyak biji bunga matahari

  tidak dapat digunakan sebagai minyak goreng. Hal ini disebabkan karena jika minyak tersebut kontak dengan udara pada suhu tinggi akan mudah teroksidasi sehingga berbau tengik. Minyak yang dipakai menggoreng adalah minyak yang tergolong dalam kelompok non drying oil, yaitu minyak yang tidak akan membentuk lapisan keras bila dibiarkan mengering di udara, contohnya adalah minyak sawit.

  Pemanasan Minyak secara berulang-ulang pada suhu tinggi dan waktu cukup lama, akan menghasilkan senyawa polimer yang berbentuk padat dalam minyak. Berbagai macam gejala keracunan,yaitu iritasi saluran pencernaan,pembengkakan organ tubuh, depresi pertumbuhan dan kematian telah diobservasi pada hewan yang diberi lemak yang telah dipanaskan dan teroksidasi.Minyak yang telah rusak tidak hanya mengakibatkan kerusakan nilai gizi,tetapi juga merusak tekstur, flavor dari bahan pangan yang digoreng. (Ketaren, 1986).

2.1.3 Klasifikasi Minyak Goreng

  Berdasarkan ada atau tidaknya ikatan rangkap pada struktur molekulnya, minyak goreng terbagi menjadi: minyak dengan asam lemak jenuh (saturated fatty acid), dan minyak dengan asam lemak tak jenuh tunggal (Monounsaturated fatty acid / MUFA) maupun majemuk (Polyunsaturated fatty acid / PUFA).(ketaren, 2008).

  Minyak dengan asam lemak jenuh (saturated fatty acid), merupakan asam lemak yang berikatan tunggal pada rantai hidrokarbonnya.Minyak ini bersifat stabil dan tidak mudah bereaksi atau berubah menjadi asam lemak jenis lain.Asam lemak jenuh yang terkandung pada minyak goreng umumnya terdiri dari asam oktanoat,asam dekanoat, asam laurat, asam miristat, asam palmitat,dan asam stearat.(ketaren,2008).

  Minyak dengan asam lemak tak jenuh tunggal (Monounsaturated fatty acid / MUFA) maupun majemuk (Polyunsaturated fatty acid / PUFA), merupakan asam lemak yang memiliki ikatan atom karbon rangkap pada rantai hidrokarbonnya.Semakin banyak ikatan rangkap semakin mudah berubah menjadi asam lemak jenuh.Asam lemak tak jenuh yang terkandung pada minyak goreng adalag asam oleat, dan asam linolenat.(Ketaren, 2008)

2.1.4 Komposisi Minyak Goreng

  Secara umum komponen utama minyak yang menentukan mutu minyak adalah asam lemaknya karena asam lemak menentukan sifat fisik dan stabilitas minyak. Ketaren mengatakan susunan asam lemak pada setiap jenis minyak berbeda karena faktor iklim,perbedaan sumber,keadaan tempat tumbuh,dan pengolahan.

  Semua minyak goreng tersusun atas uni-unit asam lemak dimana jumlah asam lemak alami yang telah diketahui ada dua puluh jenis asam lemak yang berbeda. Tidak satu pun minyak goreng yang tersusun satu jenis asam lemak, karena selalu terbentuk dalam campuran berbagai asam lemak. Proposi campuran ini menyebabkan minyak goreng bersifat cair, sehat atau membahayakan kesehatan, bersifat netral, tahan disimpan atau mudah tengik.(Winarno, 1995). Berikut adalah komposisi beberapa asam lemak pada empat jenis minyak nabati.

Tabel 2.1 Komposisi Asam lemak pada empat jenis minyak goreng nabati

  Komposisi Jumlah Minyak Minyak Minyak Minyak asam lemak atom C Kelapa (%) Sawit kedelai jagung (%) (%) (%)

  Asam lemak jenuh Butirat

  4 Kaproat 6 0,0-0,8 Kaprilat 8 5,5-9,5 Kaprat 10 4,5

  —9,5 Laurat 12 44-52 0,0-0,1 Miristat 14 13-19 1,1-2,5 Trace-0,5 Palmitat 16 7,5-10,5 40-46 7-10 11,8 Stearat 18 1,0-3,0 3,6-4,7 2-5 1,9 Arahidhat 20 0,0-0,4 0,2-1 0,1 Asam lemak tidak jenuh Palmitoleat 16:1 0,8-1,4 Trace-1 0,1 Oleat 18:1 0,0-1,3 39-45 11-60 24,1 Linoleat 18:2 5,0-8,0 7-11 15-64 56,3 Linolenat 18:3 1,5-2,5 1-12 0,9 Arakidonat 20:4 1,5 Sumber : Majalah Sasaran No.4, 1996

2.1.5 Standar Mutu Minyak Goreng

  Mutu minyak goreng sangat dipengaruhi oleh komponen asam lemaknya karena asam lemak tersebut akan mempengaruhi sifat fisik, kimia, dan stabilitas minyak selama proses penggorengan. Menurut Stier (2003), trigliserida dari suatu minyak atau lemak mengandung sekitar 94- 96 % asam lemak. Selain komponen asam lemaknya, stabilitas minyak goreng dipengaruhi pula derajat ketidak jenuhan asam lemaknya, penyebaran ikatan rangkap dari asam lemaknya, serta bahan-bahan yang dapat mempercepat atau memperlambat terjadinya proses kerusakan minyak goreng yang terdapat secara alami atau yang sengaja ditambahkan.

  Mutu minyak goreng ditentukan pula oleh titik asapnya, yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Bila minyak mengalami pemanasan yang berlebihan, gliserol akan mengalami kerusakan dan kehancuran dan akibatnya minyak tersebut segera mengeluarkan asap biru yang sangat mengganggu lapisan selaput mata. Hidrasi gliserol akan membentuk aldehida tidak jenuh atau akrolein tersebut. Makin tinggi titik asap, makin tinggi mutu minyak goreng itu. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol bebasnya (Winarno, 1997).

  Standar mutu minyak goreng telah dirumuskan dan ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) yaitu SNI 01-3741-2002, SNI ini merupakan revisi dari SNI 01-3741-1995,Syarat mutu minyak goreng menurut SNI dapat dilihat pada Lampiran 7.

2.2 Sistem Menggoreng Bahan Pangan

  Pada umumnya sistem menggoreng bahan pangan Ada dua macam, yaitu: gangsa (pan frying) dan menggoreng biasa (deep frying ).

1. Gangsa (pan frying )

  Proses gangsa ( pan frying )dapat menggunakan lemak atau minyak dengan titik asap yang lebih rendah, karena suhu pemanasan umumnya lebih rendah dari suhu pemanasan pada sistem deep frying. Ciri khas dari proses “ gangsa” ialah karena bahan pangan yang digoreng tidak sampai terendam dalam minyak atau lemak.

  Lemak yang dapat digunakan dalam sistem ini adalah minyak kelapa, mentega, margarin, minyak olive dan lemak ayam. Khususnya mentega dan margarin menghasilkan cita rasa yang enak pada bahan yang digoreng (Ketaren, 1986).

2. Menggoreng Biasa

  Pada proses penggorengan dengan sistem deep frying, bahan pangan yang digoreng terendam dalam minyak dan suhu minyak dapat mencapai 200-205 C.lemak yang digunakan tidak berbentuk emulsi dan mempunyai titik asap (smoking point ) diatas suhu penggorengan, sehingga asap tidak terbentuk selama proses penggorengan.

  Lemak yang dapat digunakan dalam proses penggorengan secara deep frying adalah lemak nabati yang mengalami proses hidrogenasi (kecuali minyak olive), minyak babi (lard) bermutu tinggi dan beberapa jenis senyawa shortening yang tidak mengandung emulsifier.Secara komersil bahan pangan yang digoreng (fried food) biasanya digoreng dengan menggunakan sistem deep frying. (Ketaren, 1986).

2.3 Struktur Bahan Pangan Digoreng

  Untuk memahami pengertian dari bahan pangan digoreng, dapat dilihat dari aspek anatomi bahan pangan tersebut. Semua bahan pangan digoreng mempunyai struktur dasar yang sama.

  Core (innerzone) Lapisan luar (outer

  ……………………………… zone) ………………..

  Permukaan luar (outer surface)

Gambar 2.1 Struktur Bahan Pangan yang digoreng

  Gambar tersebut memperlihatkan potongan melintang dari bahan pangan digoreng. Innerzone atau core merupakan bagian dalam dari bahan pangan berkadar air tinggi dan umum terdapat pada bahan pangan yang digoreng. Proses pemasakan berlangsung oleh penetrasi panas dari minyak yang masuk ke dalam bahan pangan. Proses Pemasakan ini dapat mengubah atau tidak mengubah karakter bahan pangan,tergantung bahan pangan yang digoreng.

  Permukaan lapisan luar (outer zone surface) akan berwarna coklat keemasan akibat penggorengan.Tingkat intensitas warna ini tergantung dari lama dan suhu menggoreng, juga komposisi kimia pada permukaan luar dari bahan pangan.

  Bagian luar bahan pangan (Outer Zone), jika bahan pangan segar digoreng maka kulit bagian luar dapat mengerut. Kulit atau kerak tersebut dihasilkan oleh akibat proses dehidrasi bagian luar bahan pangan pada waktu menggoreng.Kerak ini hanya terjadi pada bahan pangan tertentu. Pembentukannya terjadi akibat panas dari lemak panas (diatas 312

  F) sehingga menguapkan air yang terdapat pada bagian luar bahan pangan. Pada kadar air 3% atau kurang akan terbentuk kerak dan bahan pangan akan menjadi masak (done).Selama proses menggoreng berlangsung, maka sebagian minyak masuk ke bagian kerak dan bagian luar hingga outer zone dan mengisi ruang kosong yang pada mulanya diisioleh air. Setiap tipe bahan pangan digoreng mempunyai karakteristik tertentu serta mengandung sejumlah lemak yang diabsorpsi.(Ketaren,2008.)

2.4 Sumber Logam

  Logam berasal dari kerak bumi yang berupa bahan-bahan murni,organik,dan anorganik.Secara alami siklus perputaran logam adalah dari kerak bumi kemudian kelapisan tanah,dan terakhir ke makhluk hidup (tanaman,hewan dan manusia), kedalam air,mengendap dan akhirnya kembali ke kerak bumi. Logam itu sendiri dalam kerak bumi dibagi menjadi logam makro dan logam mikro,dimana logam makro ditemukan lebih dari 1.000 mg/kg dan logam mikro jumlahnya kurang dari 500 mg/kg.

  Akan tetapi, kandungan alamiah logam itu akan berubah-ubah tergantung pada kadar pencemaran oleh ulah manusia atau oleh perubahan alam, seperti erosi,. Walaupun begitu, ternyata kandungan logam dalam lingkungan oleh pengaruh pertambangan masih lebih besar dari pada akibat erosi alamiah.(Darmono,1995). Berikut ini adalah tabel kandungan logam makro dan mikro yang terdapat pada kerak bumi.

Tabel 2.2 Logam-logam makro dan mikro yang ditemukan dalam kerak bumi

  Kelompok Logam Simbol Jumlah (mg/kg) Makro Aluminium Al 81.300

  Besi Fe 50.000 Kalsium* Ca 36.300 Natrium* Na 28.300 Kalium* K 25.900 Magnesium* Mg 20.900 Mangan Mn 1.000

  Mikro Barium Ba 425 Nikel Ni

  75 Seng Zn

  70 Tembaga Cu

  55 Plumbum Pb 12,5 Uranium U 2,7 Timah putih Sn

  2 Kadmium Cd 0,2 Merkuri Hg 0,08 Perak Ag 0,07 Emas Au 0,004

  • Logam Ringan Sumber :Stoker dan Seager (1979).

2.5 Logam Berat

  Saeni (1997) mendefenisikan logam berat sebagai unsur-unsur kimia dengan

  3

  bobot jenis lebih besar dari 5 g/cm , terletak disudut kanan bawah daftar berkala, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari periode 4 sampai 7. Pada kenyataannya, dalam pengertian logam berat ini dimasukkan pula unsur-unsur metaloid yang mempunyai sifat berbahaya seperti logam berat sehingga jumlahnya mencapai lebih kurang 40 jenis.Beberapa logam berat yang beracun tersebut adalah As,Cd,Cr,Cu,Pb,Hg,Ni dan Zn (Wild,1995).

  Sedangkan karakteristik logam berat adalah memiliki massa jenis yang lebih besar dari 4 kg/L, dan mempunyai respon biokimia yang khas pada organisme hidup. Berbeda dengan logam biasa, logam berat dapat menimbulkan efek-efek khusus pada mahluk hidup. Secara umum bisa dikatakan bahwa semua logam berat dapat menjadi bahan pencemar yang akan meracuni tubuh mahluk hidup.

  Logam juga dapat diklasifikasikan berdasarkan konsentrasi yang dibutuhkan untuk menimmbulkan efek toksik pada tanaman yaitu:

1. Sangat Toksik

  • 2+ 2+ 2+

  Efek toksik terlihat pada konsentrasi dibawah 1 mg/L (Ag ,Hg ,Sn ,Pb ) 2. Agak toksik

  Efek toksik terjadi pada konsentrasi antara 1-100 mg/L

  3+ 2+ 2+ 3+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 2+ 3+

  (Al ,Ba ,Be ,Bi ,Cu ,Cd ,Co ,Cr ,Fe ,Mn ,Ni ,Zn ,Zr ) (Wild,1995).

2.6 Logam Besi

  Mineral Mikro terdapat dalam jumlah sangat kecil di dalam tubuh, namun mempunyai peranan esensial untuk kehidupan, kesehatan, dan reproduksi. Kandungan mineral mikro bahan makanan sangat bergantung pada konsentrasi mineral mikro tanah asal bahan makanan tersebut.

  Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gram didalam tubuh manusia dewasa. Besi mempunyai beberapa fungsi esensial didalam tubuh sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron didalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi-reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Walaupun terdapat luas di dalam makanan banyak penduduk dunia mengalami kekurangan besi, termasuk di indonesia. Kekurangan angka besi sejak tiga puluh tahun terakhir diakui berpengaruh terhadap produktivitas kerja, penampilan kognitif,dan sistem kekebalan.(Almatsier,S.2004) Widya karya pangan dan Gizi tahun 1998 menetapkan angka kecukupan besi untuk indonesia sebagai berikut: Bayi :3-5 mg Balita :8-9 mg Anak sekolah :10 mg Remaja laki-laki :14-17 mg Remaja perempuan :14-25 mg Dewasa laki-laki :13 mg Dewasa perempuan :14-26 mg Ibu hamil :+20 mg Ibu menyusui :+2 mg

2.6.1 Sumber Besi pada Berbagai Makanan

  Besi merupakan Zat gizi yang tergolong esensial sehingga perlu disuplai dari makanan. Sumber terbaik besi adalah makanan hewani berwarna merah, seperti hati, daging, ayam, dan ikan. Sumber besi lainnya adalah telur, serealia tumbuk, kacang- kacangan, sayuran hijau dan beberapa jenis buah. Pangan hewani relatif lebih tinggi tingkat absorpsinya yaitu 20-30 % dibandingkan pangan nabati hanya 1-7%. Hal tersebut Karena Fe dalam nabati yaitu ferri ketika akan diabsorpsi harus direduksi dahulu menjadi bentuk Ferro. (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI, 2007).

  Disamping jumlah besi, perlu diperhatikan kualitas besi di dalam makanan, dinamakan juga ketersediaan biologik (bioavailability). Pada umumnya besi didalam daging , ayam, dan ikan mempunyai ketersediaan biologik tinggi, besi didalam serealia dan kacang-kacangan mempunyai ketersediaan biologik sedang,dan besi di dalam sebagian besar sayuran,seperti bayam mempunyai ketersediaan biologik rendah (Almatsier, S. 2004). Berikut adalah tabel sumber besi pada bahan pangan hewani dan nabati.

Tabel 2.3 Nilai besi berbagai bahan makanan (mg/100 gram )

  Bahan Makanan Zat Besi (mg/100 g) Hati

  6,0 - 14,0 Daging

  2,0

  • – 4,2 Ikan

  0,5

  • – 1,0 Telur ayam 2,0
  • – 3,0 Kacang-kacangan 1,9
  • – 14,0 Tepung Gandum 1,5
  • – 7,0 Sayuran hijau daun 0,4
  • – 18,0 Umbi-umbian 0,3
  • – 2,0 Buah-buahan 0,2
  • – 4,0 Beras

  0,5

  • – 0,8 Susu Sapi (Susu Perah) 0,1
  • – 0,4 Sumber : Wirakusumah (1998).

2.6.2 Fungsi Besi didalam Tubuh 1.

  Kemampuan Belajar Hubungan Defisiensi besi dengan fungsi otak dijelaskan oleh lozoff dan youdim pada tahun 1988. Beberapa bagian dari otak mempunyai kadar besi tinggi yang diperoleh dari transpor besi yang dipengaruhi oleh reseptor transferin. Kadar besi dalam darah meningkat selama pertumbuhan hingga remaja. kadar besi otak yang kurang pada masa pertumbuhan tidak dapat diganti setelah dewasa. Defisiensi besi berpengaruh negatif terhadap fungsi otak, terutama terhadap fungsi sistem neurotransmitter (penghantar syaraf). Akibatnya, kepekaan reseptor saraf dopamin berkurang yang dapat berakhir dengan hilangnya reseptor tersebut. Daya Konsentrasi, daya ingat, dan kemampuan belajar terganggu, ambang batas rasa sakit meningkat, fungsi kelenjar tiroid dan kemampuan mengatur suhu tubuh menurun.

  2. Sistem kekebalan Sel darah putih tidak dapat bekerja efektif untuk menghancurkan bakteri dalam keadaan kekurangan besi. Enzim lain yang berperan dalam sistem kekebalan adalah mieloperoksidase yang juga terganggu fungsinya pada defisiensi besi. Disamping itu, dua protein pengikat besi transferin dan laktoferin mencegah terjadinya infeksi dengan cara memisahkan besi dari mikroorganisme yang membutuhkannya untuk perkembangbiakan.

  3. Metabolisme energi Didalam tiap sel, besi bekerja sama dengan rantai protein-pengangkut elektron, yang berperan dalam langkah-langkah akhir metabolisme energi. protein ini memindahkan hidrogen dan elektron yang berasal dari zat gizi penghasil energi ke oksigen, sehingga membentuk air. Dalam proses tersebut dihasilkan ATP, sebagian besar besi disimpan dalam hemoglobin, yaitu molekul protein yang mengandung besi dari sel darah merah dan mioglobin didalam otot.Hemoglobin didalam darah membawa oksigen dari paru-paru keseluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbon dioksida dari seluruh sel ke paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh.Mioglobin berperan sebagai reservoir oksigen menerima,menyimpan dan melepaskan oksigen didalam sel-sel otot (Almatsier,S.2004).

  4. Pelarut Obat-obatan Obat-obatan tidak larut oleh air, namun enzim yang mengandung besi dapat melarutkannya hingga dapat dikeluarkan dari tubuh.

2.6.3 Akibat Kekurangan dan Kelebihan Besi Akibat Kekurangan besi

  Kehilangan besi dapat terjadi karena konsumsi makanan yang kurang seimbang atau gangguan absorpsi besi. Disamping itu kekurangan besi dapat terjadi karena pendarahan akibat cacingan atau luka, dan akibat penyakit-penyakit yang mengganggu absorpsi, seperti penyakit gastro intestinal.

  Anemia gizi besi berat ditandai oleh sel darah merah yang kecil (mikrositosis) dan nilai hemoglobin rendah (hipokromia). Oleh karena itu, anemia gizi besi dinamakan anemia hipokromik mikrositik.Kekurangan Besi umumnya menyebabkan pucat, rasa lemah, letih, pusing, kurang nafsu makan, menurunnya kebugaran tubuh,menurunnya kemampuan kerja, menurunnya kekebalan tubuh,dan gangguan penyembuhan luka. Di samping itu kemampuan mengatur suhu tubuh menurun. Pada anak-anak kekurangan besi menimbulkan apatis, mudah tersinggung, menurunnya kemampuan untuk berkonsentrasi dan belajar (Almatsier,S.2004).

  Akibat Kelebihan Besi

  Kelebihan besi jarang terjadi karena makanan, tetapi dapat disebabkan oleh suplemen besi. Gejalanya adalah rasa nek, muntah, diare, denyut jantung meningkat,sakit kepala,mengigau dan pingsan (Almatsier,S.2004).

  Selain itu, Besi dalam dosis besar dapat merusak dinding usus, kematian sering kali disebabkan oleh rusaknya dinding usus ini, debu besi juga dapat terakumulasi di dalam alveoli dan dapat menyebabkan berkurangnya fungsi paru-paru (Soemirat, 2004).

  Kelebihan zat besi (Fe) juga bisa menyebabkan keracunan dimana terjadi muntah, kerusakan usus, penuaan dini, kematian mendadak, mudah marah, radang sendi, cacat lahir, kanker, hepatitis, hipertensi, infeksi, insomnia, sakit liver, masalah mental, rasa logam di mulut, rematik, sikoprenia, sariawan, perut, sickle-cell anemia, keras kepala, sirosis ginjal, sembelit, diabetes, diare, pusing, mudah lelah, kulit kehitam-hitaman, sakit kepala, gangguan penyerapan vitamin dan mineral, serta hemokromatis (Parulian, 2009).

2.7 Spektrofotometer Serapan Atom

  Penggunaan spektrofotometri serapan atom ke unsur-unsur lain semula merupakan akibat perkembangan spektroskopi pancaran nyala. Telah lama ahli kimia menggunakan pancaran radiasi oleh atom yang dieksitasikan dalam suatu nyala sebagai alat analitis. Pada tahun 1955, Walsh menekankan bahwa dalam suatu nyala yang lazim, kebanyakan atom berada dalam keadaan elektronik dasar bukannya dalam keadaan eksitasi. Adsorpsi atom berkembang dengan cepat selama tahun 1960, instrumen komersial menjadi tersedia, dan teknik itu sekarang sangat meluas digunakan untuk penetapan sejumlah unsur, kebanyakan logam, dan sampel yang sangat beraneka ragam. ( Day, 2002).

2.7.1 Prinsip Kerja Spektrofotometri Serapan Atom

  Prinsip spektrofotometri serapan atom didasarkan oleh adanya panjang gelombang tertentu oleh atom-atom dalam keadaan dasar. Bila satu atom pada keadaan dasar diberi suatu radiasi, akan terjadi peristiwa eksitasi yaitu peristiwa dimana elektron -elektron dari keadaan dasar akan pindah ke tingkat energi yang lebih tingi. Atom akan membutuhkan energi pada saat eksitasi, energi ini didapat melalui penyerapan radiasi pada panjang gelombang tertentu, energi radiasi yang diserap akan sebanding dengan jumlah atom pada keadaan dasar yang menyerap radiasi tersebut. Dengan mengukur besarnya energi yang diserap (A) pada tabel media yang tetap (b), besarnya konsenterasi (c) dari suatu materi dapat ditentukan. Hukum Lambert Beer menyatakan : “ Besarnya absorbansi sebanding dengan tebal medium dan konsenterasinya pada panjang gelombang tertentu” atau secara matematis ditulis sebagai A =  . b . c dengan  adalah koefisien ekstinsi molar. Suatu Spektrofotometer terdiri dari : sumber radiasi, pembakar, monokromator, detektor dan pencatat (Raharjo.2002).

2.7.2 Intrumentasi Spektrofotometer Serapan Atom

  Tabung katoda Pemotong Nyala berongga berputar

  • Monokromator Detektor Amplifier - Recorder Motor Suplai daya Bahan bakar Sampel Oksigen

Gambar 2.3. Komponen-komponen spektrofotometer serapan atom (Day, 2002)

  Komponen-komponen Spektroskopi Serapan Atom (SSA): 1.

  Sumber Sinar Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga (hollow cathode

  lamp ). Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutup yang mengandung suatu katoda

  dan anoda. Katoda sendiri berbentuk silinder berongga yang terbuat dari logam atau dilapisi dengan logam tertentu. Tabung logam ini diisi dengan gas mulia (neon atau argon) dengan tekanan rendah (10-15 torr). Neon biasanya paling sering dipakai karena memberikan intensitas pancaran yang lebih rendah. Bila antara katoda dan anoda diberikan tegangan yang tinggi (600 volt), maka katoda akan memancarkan berkas-berkas electron yang bergerak menuju anoda yang mana kecepatan dan energinya sangat tinggi. Elektron-elektron dengan energi tinggi ini dalam perjalanannya menuju anoda akan bertabrakan dengan gas-gas mulia yang diisikan tadi.

  Akibat dari tabrakan-tabrakan ini membuat unsur-unsur gas mulia akan kehilangan elektron dan menjadi ion bermuatan positif. Ion-ion gas mulia yang bermuatan positif selanjutnya akan bergerak ke katoda dengan kecepatan dan energi yang tinggi pula. Sebagaimana disebutkan di atas, pada katoda terdapat unsur-unsur yang sesuai dengan unsur yang akan dianalisis. Unsur-unsur ini akan ditabrak oleh ion-ion positif gas mulia. Akibat tabrakan ini, unsur-unsur akan terlempar keluar dari permukaan katoda. Atom-atom unsur dari katoda ini kemudian akan mengalami eksitasi ke tingkat energi-energi elektron yang lebih tinggi dan akan memancarkan spektrum pancaran dari unsur yang sama dengan unsur yang akan dianalisis.

  2. Tempat sampel Dalam analisis dengan spektrofotometri serapan atom, sampel yang akan dianalisis harus diuraikan menjadi atom-atom netral yang masih dalam keadaan gas. Nyala dapat digunakan untuk mengubah suatu sampel menjadi uap atom-atomnya dan juga berfungsi untuk atomisasi. Pada cara spektrofotometri emisi atom, nyala ini berfungsi untuk mengeksitasikan atom dari tingkat dasar ke tingkat yang lebih tinggi.

  Suhu yang dapat dicapai oleh nyala tergantung pada gas-gas yang digunakan, misalnya untuk gas batubara-udara, suhunya kira-kira sebesar 1800 C, gas alam- udara 1700

  C, asetilen-udara 2200

  C, dan gas asetilen-dinitrogen oksida (N

  2 O)

  sebesar 3000 C.

  3. Monokromator Pada spektrofotometri serapan atom, monokromator dimaksudkan untuk memisahkan dan memilih panjang gelombang yang digunakan dalam analisis. Disamping sistem optik, dalam monokromator juga terdapat suatu alat yang digunakan untuk memisahkan radiasi resonansi dan kontinyu yang disebut dengan chopper.

  4. Detektor Detektor digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui tempat pengatoman. Biasanya digunakan tabung penggandaan foton (photomultiplier tube).

  Ada dua cara yang dapat digunakan dalam sistem deteksi yaitu yang memberikan respon terhadap radiasi resonansi dan radiasi kontinyu, dan yang hanya memberikan respon terhadap radiasi resonansi.

5. Readout

  Suatu alat sebagai sistem pencatat hasil. Pencatat hasil dilakukan dengan suatu alat yang telah terkalibrasi untuk pembacaan suatu angka transmisi atau absorbsi. Hasil pembacaan dapat berupa angka atau berupa kurva dari suatu recorder yang menggambarkan absorbansi atau intensitas emisi (Rohman, A. 2007).

2.7.3 Gangguan pada SSA dan Cara Mengatasinya.

  Pada penentuan nilai serapan atom seringkali didapatkan suatu harga yang tidak sesuai dengan konsentrasi unsur sampel yang ditentukan. Penyebab dari gangguan ini adalah faktor matriks sampel, faktor kimia adanya gangguan molekuler yang bersifat menyerap radiasi. Sampel dalam bentuk molekul karena disosiasi yang tidak sempurna akan cenderung mengabsorpsi radiasi dari sumber radiasi. Demikian juga terjadinya ionisasi atom akan menjadi sumber kesalahan pada SSA oleh karena spektrum absorpsi radiasi oleh ion jauh berbeda dengan spektrum absorpsi atom netral yang memang akan ditentukan.

  Ada beberapa usaha untuk mengurangi gangguan kimia pada SSA yaitu dengan jalan Menaikkan temperature nyala agar mempermudah penguraian, untuk itu

  • dipakai gas pembakar campuran C

  

2 H

2 + N

  2 O yang memberikan nyala dengan temperatur yang tinggi.

  • kuat akan tetapi atom yang ditentukan bebas sebagai atom netral. Misalnya penentuan logam yang terikat sebagai garam, dengan penambahan logam yang lainnya akan terjadi ikatan lebih kuat dengan anion pengganggu.

  Menambahkan elemen pengikat gugus atau atom penyangga, sehingga terikat

  • ekstraksi.(Mulja,1995)

  Pengeluaran unsur pengganggu dari matriks sampel dengan cara

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendanaan adalah fondasi utama dalam dunia usaha dan perekonomian. - Pengaruh Struktur Aktiva, Return On Assets, Pertumbuhan Penjualan, Ukuran Perusahaan, Price Earning Ratio, dan Likuiditas Terhadap Struktur Pendanaa

0 0 11

Pengaruh Struktur Aktiva, Return On Assets, Pertumbuhan Penjualan, Ukuran Perusahaan, Price Earning Ratio, dan Likuiditas Terhadap Struktur Pendanaan Dengan Kepemilikan Institusional Sebagai Variabel Moderating Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1 Dividend Payout Ratio - Analisis Pengaruh Profitability, Current Ratio, Debt to Equity Ratio, Market to Book Value Ratio, Corporate Tax, Sales Growth, dan Cash Flow Terhadap Dividend Payout Ratio Perusahaan

0 0 26

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Pengaruh Profitability, Current Ratio, Debt to Equity Ratio, Market to Book Value Ratio, Corporate Tax, Sales Growth, dan Cash Flow Terhadap Dividend Payout Ratio Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Burs

0 0 11

Analisis Pengaruh Profitability, Current Ratio, Debt to Equity Ratio, Market to Book Value Ratio, Corporate Tax, Sales Growth, dan Cash Flow Terhadap Dividend Payout Ratio Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2009-2013

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Agency - Pengaruh Good Corporate Governance, Ukuran Perusahaan, Leverage, Dan Profitabilitas Terhadap Integritas Laporan Keuangan Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

3 14 31

Pengaruh Good Corporate Governance, Ukuran Perusahaan, Leverage, Dan Profitabilitas Terhadap Integritas Laporan Keuangan Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2012

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Perbankan Syariah - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Profit Distribution Manajement Pada Unit Usaha Syariah Di Indonesia

0 0 34

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Profit Distribution Manajement Pada Unit Usaha Syariah Di Indonesia

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Efektivitas penurunan jumlah bakteri rongga mulut berkumur air rebusan daun sirih 10% dibandingkan dengan obat kumur yang mengandung Cetylpiridinium Chloride (CPC) pada mahasiswa FKG USU

1 2 10