Fiqh Jenazah | Abu Dzakwan's Blog

  Judul Asli : “Fiqh Al Janazah” Judul Terjemah : Fikih Jenazah Penulis : Muhammad Bayumi Penerbit : Maktabah Iman, Mansurah, Mesir Cetakan : - Jumlah halaman Asli : 147 Jumlah halaman Terjemah : 245 Penerjemah : Yessi H.M. Basyaruddin, Lc Penerbit Di Indonesia : Pustaka Al Kautsar

  

Fikih Jenazah

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang

Segala puji bagi Allah yang maha esa. Shalawat beriringkan salam

kita hadiahkan kepada nabi terakhir, Muhammad Sallallahu ‘Alaihi

Wasallam

  Dan begitulah, Buku yang kini tengah berada di tangan anda ini merupakan buku yang menerangkan tentang berbagai hukum jenazah dan berbagai permasalahan yang berhubungan dengan materi tersebut. Tentu saja, cara penulisan buku ini mempergunakan susunan kalimat yang sederhana dan mudah difahami.

  Di samping itu, buku ini juga banyak memberikan peringatan tentang beberapa ritual yang biasa dilakukan oleh masyarakat kita. Mereka menganggap bahwa semua itu dapat bermanfaat bagi orang yang telah meninggal! Padahal, pada kenyataannya tidak begitu. Karena, nilai kemanfataan itu hanya akan didapat dengan mengikuti petunjuk nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan semua ajaran yang termaktub; baik dalam teks al Quran maupun as Sunnah.

  

Hanya Allah-lah yang mengetahui seluruh maksud dan tujuan

manusia. Dan Dia-lah yang telah menunjukkan jalan bagi

manusia....

  Penulis,

  

Makna Jenazah Imam Nawawi berkata: “Kalimat: ‘Janazah’ diambil dari kalimat (Janaza = زنج). Kalimat tersebut dipergunakan apabila jenazah orang yang meinggal telah ditutupi kain kafan. Hal ini telah diterangkan oleh Ibnu Faris dan ulama-ulama lainnya.

  Sedangkan Fi’il Mudhari’ (kalimat yang menunjukkan pada waktu yang tengah berlangsung) dari kalimat Janazah adalah (Yajnizu = زنجي). Dengan memberikan tanda kasrah pada huruf nun. Kalimat (janazah = ةزانج) sendiri dapat mempergunakan kasrah dan fathah pada huruf jim (jinaazah atau janaazah).

  Akan tetapi, penggunaan kasrah akan lebih baik (jinaazah). Ada sebagian ulama yang mengatakan penggunaan fathah (janaazah) hanya untuk orang yang telah dicabut nyawanya saja. Sedangkan penggunaan kasrah (jinaazah) hanya untuk tandu pembawa mayat. Akan tetapi, ada sebagian ulama yang berpendapat sebaliknya. Susunan ini diterangkan oleh pemilik kitab “Al Mathaali’”. Kata plural dari kalimat ‘janaazah’ atau ‘jinaazah’ adalah (janaaiz =

  زئانج). Dan tidak ada pendapat lagi selain Para ulama tersebut mengatakan bahwa kalimat (An Na’syu = شعنلا) yang memiliki arti keranda, tidak akan dipergunakan, kecuali untuk tempat yang biasa dipergunakan untuk mengusung jenazah orang yang telah meninggal.

  Dan sebelum kita berbicara tentang berbagai hukum yang berkaitan dengan jenazah, saya akan membicarakan beberapa hal yang berhubungan dengan sebelum terjadinya kematian, di antaranya:

  Hendaknya, di setiap saat, setiap hamba berusaha untuk 1 mempersiapkan diri dalam menghadapi kematian. Karena, kematian Anda dapat melihatnya pada “Syarh an Nawawi” atas kitab: akan datang secara tiba-tiba. Sehingga, kematian tidak datang pada tahun tertentu atau waktu tertentu. Kematian juga tidak akan datang dengan sebab penyakit tertentu. Oleh karena itu, yang seharusnya diperhatikan oleh setiap manusia hidup adalah: Mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan panjang ini. Karena, seorang hamba tidak akan mengetahui, kapan ketentuan Allah tersebut datang kepadanya. Ia juga tidak akan tahu, kapan

  Dan ketika seorang hamba telah mengetahui bahwa dirinya akan dipanggil Allah pada saat kapan-pun, sesuai dengan kehendak- Nya, maka hendaknya ia mempersiapkan diri untuk hari itu dengan menabung amal shalih, tetap berjalan di jalan Allah dan menjauhkan diri dari berbagai hal yang akan membawa dirinya pada kemurkaan Allah. Allah berfirman dalam al Quran: “Barang siapa

  

mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia

mengerjakan amal saleh. Dan janganlah ia mempersekutukan

  Dari Barra bin ‘Azib Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, bahwasanya Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam melihat sekelompok orang yang menggali kuburan. Mereka terlihat menangis. Bahkan, air mata mereka mengalir dengan deras. Maka, pada saat itu Rasulullah bersabda: “Saudara-saudaraku akan seperti ini.

  Maka, bersiap-siaplah kalian.” Adapun maksud dalam kalimat ‘bersiap-siap’ di sini adalah: Hendaknya setiap orang berusaha sekuat tenaga mempersiapkan diri untuk menghadapi hari yang telah ditentukan Allah tersebut.

  “Wahai orang sombong! Berfikirlah tentang kematian dan

  

sakit yang mengiringinya. Rasakanlah sulit dan pahitnya. Wahai

2

kematian! Bagai sebuah janji yang tidak dapat aku ingkari.

  Lihat: “Shaid al Khaathir”, milik Ibnu Jauzi, H: 10, Cet: 3 Maktabah Iman, Mansurah, Mesir.

  

Seorang hakim yang tidak dapat aku adili...Cukuplah kematian

membawa kebahagiaan dalam hati dan membuat air mata ini

berlinang...Cukuplah kematian memisahkan sekelompok orang,

memutus tali kenikmatan dan harapan. Wahai anak Adam! Apakah

kalian sempat berfikir tentang hari ketika nyawa kalian dicabut

dan kalian harus berpindah dari dunia yang kamu tempati

sekarang?

  Apa yang Anda rasakan, seandainya Anda terpaksa harus berpindah dari satu tempat yang luas ke dalam tempat yang sangat sempit? Apa yang anda rasakan, ketika Anda melihat sahabat dan teman karib Anda tidak lagi setia menemani Anda? Apa yang Anda rasakan, seandainya Anda juga ditinggalkan oleh saudara dan teman? Ketika Anda harus berpindah dari tempat tidur dengan selimut yang empuk, ke tempat yang menjijikkan. Dimana Anda hanya berselimutkan debu dan tanah!

  Wahai orang-orang yang senang mengumpulkan harta dan membangun istana yang megah! Kalian tidak akan memiliki apapun, kecuali kain kafan. Bahkan, semua harta dan istana kalian-lah yang akan merusak dan menghancurkan kalian. Dan pada akhirnya, jasadmu hanya akan diselimuti debu dan kembali ke tempat

  “Wahai anak Adam! Bayangkanlah kematian sebelum engkau mengingat setiap kelalaian yang engkau lakukan. Sehingga, tidak terasa, engkau merasa ingin kembali ke dunia. Tanyalah waktu, berapa orang yang mengharapkan datangnya perbuatan baik.

  Sayangnya, harapan yang menjadi impian malah menjadi bahan cercaan. Sehingga, nasehat tidaklah cukup menjadi bekal kematian.

  Tidak juga keterangan yang dapat menyembuhkan mereka, orang-orang yang tengah berada di pembaringan. Waktu yang terus bergulir telah ia sia-siakan. Padahal, saat itu, ia mampu melakukannya.

  4

  Dan sekarang, Anda yang hanya beberapa langkah lagi dari pintu kematian, tidakkan Anda mendengar perkataan Rasulullah

  

Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang ditujukan kepada Ibnu Umar:

  “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau melintas di jalanan.” Dan pada saat itu Ibnu Umar berkata: “Apabila kamu tengah berada di waktu sore, janganlah kamu menunggu pagi. Dan ketika kamu berada di waktu pagi, janganlah kamu menunggu datangnya sore. Pergunakanlah sehatmu sebelum datang sakitmu, dan kehidupanmu sebelum kematianmu.” Dalam satu riwayat dikatakan: “Persiapkanlah dirimu, untuk menjadi bagian dari ahli kubur.”

  Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Perbanyaklah Yang dimaksud dengan penghancur di sini adalah pemutus.

  Ketahuilah wahai hamba Allah! Mengingat kematian akan melahirkan perasaan gelisah. Ya, gelisah dalam menjalani kehidupan dunia yang bersifat sementara ini. Sehingga, setiap saat, manusia akan berusaha untuk memalingkan wajahnya kepada kehidupan akhirat. Kemudian, manusia juga tidak akan terlepas dari dua kondisi kehidupan; kesempitan dan keluasan, kenikmatan dan cobaan.

  Ketika manusia tengah didera oleh kesempitan dan cobaan berat, mereka akan dengan mudah mengingat kematian. Akan tetapi, kondisi tersebut tidak akan berlangsung lama. Padahal, kematian lebih sulit dari apa yang tengah dihadapinya. Dan ketika ia 5 berada dalam keluasan dan mendapatkan nikmat, maka mengingat

  Hadits Shahih, diriwayatkan oleh imam Ahmad, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah dan Hakim. Kemudian, hadits ini dianggap shahih oleh kematian akan terasa sulit. Oleh karena itu, baik sekali untuk mendengar perkataan seseorang:

  Ingatlah kematian sebagai pemutus kenikmatan Persiapkanlah diri menuju kematian, karena hari itu akan datang.

  Sebagian orang lagi berkata:

  Ingatlah hari kematian, maka kamu akan merasakan ketenangan

Ketika mengingat kematian, harapan-pun akan menyurut

  Sebagian orang shalih, biasanya memanggil-manggil orang yang telah meninggal, di malam hari. Mereka berdiri di dekat dinding-dinding kota Madinah: “Wahai orang yang telah pergi....wahai orang yang telah pergi...” Ketika orang itu meninggal, gubernur Madinah merasa kehilangan suara tersebut. Maka, ia-pun bertanya tentang keberadaan orang tersebut. Seseorang mengatakan kepadanya bahwa laki-laki tersebut telah meninggal dunia. Maka, sang gubernur-pun berkata:

  Masih melekat erat dalam fikirannya tentang orang yang pergi itu dan ia masih mengingatnya

Sampai akhirnya seekor unta berlutut di depan pintunya

Maka, tiba-tiba ia-pun terperanjat dan berputar, Ia memiliki kesiapan, sehingga tidak akan kehilangan harapan-harapannya

  Ibnu Jauzi berkata: “Wahai saudara-saudaraku! Ingatlah pemutus kenikmatan. Dan renungkanlah seandainya kenikmatan itu hilang. Bayangkanlah ketika berbagai gambar kehidupan mulai runtuh berjatuhan. Oleh karena itu, siapkanlah diri kalian untuk menjalani kehidupan di alam kubur nanti. Dan ketahuilah, setan tidak akan menguasai orang yang selalu mengingat kematian. Akan tetapi, ketika hati mulai lupa untuk mengingat kematian, maka Syaikh Daqqaq berkata: “Barang siapa yang banyak mengingat kematian, maka ia akan dimuliakan dengan tiga perkara: Dipercepat pintu taubatnya, selalu memiliki kepuasan hati dan semangat dalam menjalankan ibadah.

  Dan barang siapa yang melupakan kematian, maka mereka akan disiksa dengan tiga perkara: Penangguhan pintu taubat, tidak pernah merasa puas, dan bermalas-malasan dalam menjalankan

  Salah satu perbuatan yang dapat mengingatkan manusia pada kematian. Sehingga, manusia akan bersiap-siap menuju pintu kehidupan abadi adalah: Ziarah kubur.

  Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam berziarah ke kubur ibunya. Maka, beliau-pun menangis. Hal itu membuat orang-orang yang ada di sekelilingnya juga menangis. Pada saat itu, nabi berkata: ‘Aku meminta idzin kepada Allah untuk memintakan ampunan baginya. Akan tetapi, Allah tidak mengidzinkanku. Kemudian, aku meminta idzin kepada Allah untuk menziarahi kuburnya. Maka, Allah-pun mengidzinkanku. Oleh karena itu, ziarahilah kuburan.

  Maka, datang dan berziarah ke kuburan dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengingat kematian. Sehingga, barang siapa 6 yang melihat jasad yang tergolek dalam kuburan, ia akan mengingat Lihat: “Mawaa’idh Ibnu Jauzi: Al Yaqutah”, H: 63, Cet: Daar al 7 Fadhilah. 8 Lihat: “Al Tadzkirah”, H: 10 bahwa dirinya-pun akan dipertemukan dengan mereka. Oleh karena itu, bayangkanlah tentang para penghuni kuburan. Dimulai dari rakyat biasa dan orang-orang besar, raja-raja dan rakyatnya, para pangeran dan orang-orang lemah. Bagaimana kematian menghampiri mereka. Sehingga, siapa-pun dan dari mana kedatangan mereka, Allah tetap menempatkan mereka dalam sebuah penantian. Ya, penantian untuk sebuah pengampunan dari Tuhan mereka...

  Tidak ada satu-pun yang bermanfaat bagi mereka. Tidak ada satu-pun yang dapat memberikan keuntungan. Tidak ada satupun yang mampu menmerikan dorongan bagi mereka untuk bangun dan bangkit. Tidak ada satu-pun anak ataupun ayah yang memberikan keringanan syafaat bagi mereka. Tidak ada harapan bagi mereka, selain kasih sayang Tuhan semesta alam. Karena, yang bermanfaat pada saat itu hanyalah amal shalih dan ajaran yang benar: “(yaitu) di hari

  harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna

  Sebaiknya, hamba Allah mempercepat penulisan wasiat. Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi

  

Wasallam: “Tidak selayaknya seorang muslim yang menginap sebanyak

  dua malam. Kemudian, ia memiliki sesuatu untuk diwasiatkan, kecuali mencatat wasiatnya tersebut di dekat bagian kepalanya (bantal).” Kemudian, Ibnu Umar berkata: “Semenjak aku mendengarkan sabda Rasulullah tersebut, aku tidak melewati malam-

  Dan disunnahkan bagi orang yang memberikan warisan untuk  memberikan wasiat kepada kerabatnya yang tidak mendapatkan hak 9 waris. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah: “Diwajibkan Lihat: “Tashliyat al Mushab ‘Inda Faqdi al Ahbab”, Muhammad 10 Abdul Salam, H: 133-134.

  atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda- tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf. (ini

  Akan tetapi, hendaknya wasiat ini tidak lebih dari sepertiga harta yang hendak diwariskan. Bahkan, akan lebih baik lagi apabila kurang dari satu per tiganya. Dalam kitab “Shahihain” dikatakan bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki harta yang berlimpah. Tidak ada satu-pun yang menjadi pewaris hartaku.

  Kecuali, putriku semata wayang. Apakah aku harus mewasiatkan tiga per dua harta tersebut?” Maka, Rasulullah-pun menjawab: ‘Tentu saja tidak.” Kemudian, Sa’ad bin Abi Waqqash bertanya lagi: “Dengan setengah harta tersebut?” Rasulullah-pun menjawab: ‘Bukan”,

  Sa’ad bertanya lagi: “Mungkin dengan satu per tiga hartaku?’ Maka Rasulullah menjawab: “Ya, satu per tiga. Dan itu-pun lebih dari banyak.” Kemudian, Rasulullah Shallallahu

  ‘Alaihi Wasallam meneruskan: “Wahai Sa’ad, lebih baik kamu

  membiarkan ahli warismu dalam keadaan kaya. Dari pada kamu membiarkan mereka miskin dan meminta-minta kepada orang lain.” Dalam kitab “Shahih Bukhari” disebutkan bahwasanya Ibnu Abbas

  Radhiyallahu ‘Anhuma berkata: “Seandainya manusia memberikan

  kurang dari satu per tiga sampai satu per empat, maka Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam akan berkata: “Satu per tiga. Itu-pun, sudah lebih dari banyak.” Kedua orang tua dan para kerabat yang mendapatkan hak waris  dari orang yang mewasiatkan tidak sah mendapatkan wasiat.

  Karena, hukum kebolehan mereka telah dihapus oleh ayat waris. Dan Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri telah 11 menerangkan masalah ini dengan sangat terperinci pada saat khutbah haji wada’. Pada saat itu, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada orang yang berhak mendapatkannya. Oleh karena itu, tidak ada wasiat bagi

  Dan diharamkan melakukan wasiat yang membahayakan pihak-pihak

   tertentu, seperti: mewasiatkan agar harta yang dimilikinya tidak boleh diberikan kepada para pewarisnya. Atau, mengutamakan sebagian ahli waris dibanding ahli waris yang lainnya. Dan seandainya orang yang mewariskan tersebut masih tetap melakukan hal tersebut, maka wasiatnya dianggap tidak sah dan tidak dapat diterima. Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Barang siapa yang membuat-buat sesuatu yang baru dalam ajaran kita. Padahal, sesuatu tersebut bukan bagian dari ajaran kita. Maka, tidak Seorang muslim hendaknya menghitung jumlah harta dan hak yang  harus diberikannya dalam wasiat. Di samping, berbagai hal yang berhubungan dengan amanat dan wasiat. Sehingga, hak orang- orang tidak hilang begitu saja di tangannya. Dan ia akan menanggung dosa hak-hak yang hilang tersebut. Sebaiknya seorang Muslim memberikan wasiat terhadap  keluarganya untuk bertakwa dan taat kepada Allah. Selain itu, seorang muslim hendaknya juga memberikan wasiat kepada keluarganya untuk melaksanakan berbagai kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Tidak menjerit-jerit ketika dirinya meninggal, memukul-mukul pipi, menyobek pakaian dan mengucapkan hal-hal yang akan membuat murka Allah.

  13 Baihaqi.

  Ketika berwasiat, seorang muslim dianjurkan untuk menghadirkan  dua orang saksi yang adil. Dengan harapan, isi wasiatnya tidak akan dirubah atau diganti ketika dirinya telah meninggal dunia.

  Ketika berwasiat, dianjurkan untuk memulainya dengan bacaan

   basmalah yang diiringi oleh bacaan hamdalah. Setelah itu, mengucapkan shalawat kepada nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi

  Wasallam. Untuk selanjutnya membaca seperti ini: “Ini

  merupakan wasiat seorang fakir yang merindukan pengampunan dari Tuhannya.” Kemudian, hendaknya orang tersebut meneuskan: “Dan pada saat membuat wasiat ini, saya dalam kondisi sehat; baik secara fisik maupun mental.

  Saya berwasiat dengan bersaksi bahwa sessungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah yang maha esa. Tidak ada ada sekutu baginya. Dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan- Nya. Keberadaan surga itu benar dan neraka juga benar. Dan hari kiamat pasti akan datang. Dan Allah akan membangkitkan siapa saja yang berada di dalam kubur.

  Wasiat saya yang pertama ditujukan untuk keluarga dan keturunan saya adalah: Bertakwalah kalian kepada Allah

  Subhaanahu Wata’aala, dengan melakukan seluruh perintah-Nya

  dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Melaksanakan shalat lima waktu, memegang teguh dan mempertahankan ajaran agama Islam, menjaga tali silaturahmi dan kekerabatan di antara kalian. Dan ketahuilah, bahwa dunia ini akan mendekati kiamat. Dan kebahagiaan akan ditemukann ketika bertemu Allah Subhaanahu

  Wata’aala. Dan Allah juga merasa senang ketika bertemu dengan

  hambanya tersebut.” Setelah itu, barulah ia menyebutkan sisa wasiatnya.

  Orang yang sakit hendaknya menerima sakit yang diberikan oleh Allah dengan lapang dada. Di samping itu, ia juga harus berusaha untuk bersabar dalam menerima seluruh ketentuannya. Dan hal tersebut sangat baik baginya. Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi

  

Wasallam bersabda: “Orang-orang yang beriman memang menakjubkan.

  Semua perbuatannya baik. Dan semuanya itu tidak dimiliki oleh siapapun. Kecuali, orang yang beriman. Seandainya mereka mendapatkan kebaikan, maka mereka bersyukur dan menganggap itulah yang terbaik baginya. Dan seandainya mereka ditimpa keburukan, mereka akan bersabar dan menganggap semua itu adalah yang terbaik

  Dari ‘Atha bin Abi Rabah, ia berkata: “Ibnu Abbas berkata kepada saya: ‘Maukah kuperlihatlkan kepadamu perempuan ahli surga?’ Maka akupun berkata: ‘Ya, tentu.’ Ia berkata: ‘Perempuan kulit hitam ini telah datang kepada Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi

  

Wasallam dan berkata: ‘Aku menderita penyakit epilepsi. Sehingga,

  pakaianku terbuka (tanpa sadar). Mintakanlah doa untukku.’ Maka, Rasulullah berkata: “Seandainya kamu memilih bersabar, maka kamu akan mendapatkan surga. Dan seandainya kamu memilih yang lain, maka aku telah mendoakan kesembuhanmu.’ Perempuan itu-pun menjawab: “Aku akan bersabar.’ Kemudian, ia meneruskan perkataannya: ‘Bajuku telah tersingkap. Maka, doakanlah agar di lain waktu tidak tersingkap lagi.’ Maka Rasulullah-pun mendoakan

  Orang yang sedang dalam sakit hendaknya mengetahui bahwa sakit

   akan menghilangkan dosa-dosa. Dan setiap kali penyakit itu bertambah parah, maka dosa-dosa-pun akan terhapus dengan cepat. Dari Abu Sa’id al Khudriyyi dan Abu Hurairah

  Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi 14 Wasallam bersabda: “Segala sesuatu yang menimpa seorang Muslim 15 HR. Muslim dari rasa lelah, penyakit menahun, sedih, dilukai, dirampas sampai terkena duri, maka Allah akan menggantinya dengan Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Kami menemui Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Pada saat itu, ia terlihat demam. Saya-pun menyentuhnya dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, Anda tengah mengalami demam tinggi!’ Maka, Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Benar, aku tengah mengalami demam. Sama seperti dua orang sahabat kalian yang mengalaminya.’ Maka saya-pun berkata: “Engkau benar-benar telah mendapatkan dua pahala.” Rasulullah menjawab: ‘Benar, dan demi jiwaku yang berada di tangan-Nya. Tidak ada seorang manusiapun yang hidup di tanah Muslim, kemudian ia tertimpa sebuah penyakit dan lain sebagainya, kecuali Allah akan menggugurkan dosa-dosanya. Sebagaimana Allah telah

  Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Ketika bencana masih menimpa orang-orang mukmin dan mukminah; baik pada fisiknya, harta ataupun anaknya, maka Allah akan membuang

  Dan seorang hamba hendaknya mengetahui bahwa bencana yang  sangat besar hanya dikhususkan untuk orang-orang pilihan. Pada saat itu, Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam telah ditanya tentang manusia seperti apa yang mendapatkan bencana yang begitu besar? Sang Rasul menjawab: “Para nabi. Kemudian, 16 orang-orang shalih. Setelah itu, manusia-manusia yang 17 HR. Muttafaq ‘Alaihi 18 HR. Muttafaq ‘Alaihi

  Hadits Shahih yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi. Dan ada sebagian kalangan ulama yang mengatakan bahwa hadits ini memiliki kedudukan yang serupa dengan itu dan kemudian yang serupa dengan itu. Seseorang akan diberikan bencana sesuai dengan kapasitas keimanannya. Seandainya ia memiliki iman yang kuat, maka bencana yang diterimanya akan ditambah. Dan seandainya ia memiliki iman yang rendah, maka bencana yang akan didapatnya diringankan. Dan selama bencana dan musibah itu dirasakan seseorang, maka ia tidak akan memiliki dosa

  Dari Abu Sa’id al Khudriyyi Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Saya menemui Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Pada saat itu, beliau tengah mengalami demam. Maka, akupun meletakkan tanganku di tubuhnya. Maka, panas yang menjalar dari tubuhnya sampai ke kedua tanganku. Padahal, kedua tanganku berada di atas selimut. Maka, saat itu aku berkata: “Wahai Rasulullah, panas anda sangat tinggi.” Ketika itu Rasulullah menjawab: “Begitulah, setiap kali musibah yang ditimpakan kepada kita berlipat, maka berlipat-lipat pula pahala yang akan kita terima.” Maka, saya-pun berkata kembali: “Wahai Rasulullah, orang seperti apa yang mendapatkan bencana paling besar?” Kemudian, Rasulullah menjawab: “Para nabi”, saya-pun bertanya lagi: “Kemudian siapa?” Rasulullah menjawab:

   Orang yang terkena musibah juga harus menyadari bahwa pemberi  musibah itu adalah dzat yang maha adil dan maha penyayang. Dan Allah tidak akan mengirimkan bencana tersebut untuk menghancurkannya atau menyiksanya. Allah juga tidak menurunkan musibah tersebut untuk meluluh lantakkannya. Akan tetapi, 19 semua itu Ia lakukan untuk menguji kesabaran, kerelaan dan

  Hadits Hasan yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu 20 Majah Hadits Shahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Abu Ya’la, keimanannya. Di samping, untuk mendengar permohonan dan doanya. Bagaimana hambanya mengetuk pintu-Nya. Terdiam merenungi nasib dengan hati tercabik memohon kepada-Nya, Allah sendiri telah mencela orang-orang yang tidak memohon dan menyerahkan diri kepada-Nya, pada saat musibah telah datang menerpa dirinya. Allah berfirman dalam al Quran: “Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan azab kepada mereka.

  Maka mereka tidak tunduk kepada Tuhan mereka. Dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri. Dan mengadukan permasalahan kepada Allah harus disertai oleh kesabaran dan kerelaan.  Orang yang sakit juga harus memiliki prasangka baik terhadap

  Tuhannya. Di samping, mengingat kasih sayangnya yang begitu berlimpah. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman: “Aku tergantung kepada prasangka Dan aku 21 Lihat: “Tasliyat Ahl al Mushab”, Muhammad Menji Halabi, H: 213 22 QS. Al Mukminuun: 76 23 Tegasnya: Allah berfirman: “Aku dapat melakukan apapun yang diperkirakan hambaku bahwa aku akan melakukannya.” Dalam konteks di atas, lebih mengedepankan sisi permohonan dari pada rasa takut.

  Imam Qurthubi dalam bukunya: “Al Mufham” dikatakan bahwa makna: “Tergantung prasangka hambaku kepadaku” adalah: Prasangka seorang hamba untuk mendapatkan jawaban dari Allah ketika berdoa, menerima taubatnya dan mendapatkan ampunan ketika dirinya memohonnya kepada Allah. Ia juga berprasangka bahwa Allah akan memberikan balasan ketika dirinya melakukan ibadah yang sesuai dengan syarat. Semua itu dipegang oleh manusia sesuai dengan janji Allah yang dikuatkan oleh Hadits Nabi yang lain: “Berdoalah akan bersama mereka ketika mereka mengingat-Ku. Seandainya mereka mengingatku dalam jiwanya, maka aku-pun akan mengingat mereka dalam jiwa-Ku. Dan seandainya mereka mengingat-Ku di suatu tempat, maka Aku akan mengingat mereka di suatu tempat

  Dari jabir Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Tiga hari sebelum kematiannya, saya mendengar Rasulullah Sallallahu

  ‘Alaihi Wasallam mengucapkan: ‘Janganlah kalian meninggal

  dunia, kecuali berprasangka baik terhadap Allah Subhaanahu

  Wata’aala.”

  Para ulama berkata: “Ini semua merupakan peringatan dari Allah agar manusia tidak merasa putus asa. Dan mendorong mereka untuk memiliki harapan. Sekalipun, pada detik-detik terakhir hidupnya: “Maka, biasakanlah seorang yang menderita sakit untuk berprasangka baik terhadap Allah. Dan kuatkanlah harapan yang sama. Karena rasa takut merupakan cambuk yang 25 akan menggiring sebuah jiwa dalam bersungguh-sungguh.

  Adapun prasangka akan mendapatkan ampunan dosa dengan terus melaksanakan dosa adalah bagian dari kebodohan dan kelalaian. Dan hal tersebut akan menggiringnya pada aliran Murjiah. Anda dapat melihat keterangan ini dalam kitab: “Syarhu as Sunnah” (5/273).

  Khithabi berkata: “Yang akan diterima prasangkanya oleh Allah adalah orang-orang yang sering berbuat baik. Seakan-akan Allah berkata: “Perbaikilah amal perbuatan kalian. Maka, Allah akan berbaik sangka kepada kalian.” Dan seandainya amal perbuatan manusia yang berprasangka itu buruk, maka akan buruk pula prasangka Allah terhadapnya. Dan sikap berbaik sangka juga termasuk ke dalam bagian harapan, permohonan maaf. Sesungguhnya Allah maha mulia dan agung. Anda dapat melihatnya pada kitab: 24Syarhu as Sunnah” (5/272)

  Dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah

  Sallallahu ‘Alaihi Wasallam menemui seorang pemuda yang tengah

  menghadapi sakaratul maut. Maka, pada saat itu Rasulullah bertanya: “Bagaimana keadaanmu?” Pemuda itu menjawab: “Aku hanya mengharap ridlo Allah. Dan aku sangat takut dengan dosa- dosaku.” Maka, Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Tidak akan berkumpul dua sifat seorang hamba dalam satu tempat seperti ini. Kecuali, Allah akan memberikan harapan yang ia harapkan dan rasa aman dari apa yang ia

  Apabila sakit yang dirasakan oleh seorang hamba semakin parah, maka ia tidak diperbolehkan untuk mengharapkan datangnya kematian. Hal tersebut berdasarkan hadits yang datang dari Anas

  

Radhiyallahu ‘Anhu, dari Rasulullah Shallalâhu ‘Alaihi Wasallam,

  beliau bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian, hanya karena mendapatkan bahaya yang diturunkan Allah kepadanya. Seandainya ingin tetap memilih kematian, maka hendaknya ia berkata: ‘Ya Allah berikanlah kehidupan kepadaku. Seandainya kehidupan tersebut memang yang terbaik untukku. Dan cabutlah nyawaku. Seandainya kematian memang 25

  Lihat: “Al Tsabat ‘Inda al Mamat”, milik Ibnu Jauzi, H: 67, 26 Cet: Daar Andalus, Jeddah.

  Hadits Hasan, diriwayatkan oleh imam Tirmidzi dan Ibnu Majah. Dan dinilai sebagai hadits Hasan oleh imam Tirmidzi dan Ibnu 27 Hajar

  HR. Buhkari dalam kitab: “Al Mardhaa” (5671), pada bab: “Tamannaa al Mariidh al Mauta”. Dan HR. Muslim dalam kitab: “Ad

  Dan dari Qais bin Abu Hazm, ia berkata: “Kami menemui Khabbab untuk menjenguknya. Sahabat yag satu ini mengalami luka bakar sebanyak tujuh buah pada bagian perutnya. Pada saat itu, ia berkata: “Seandainya Rasulullah Shallalâhu ‘Alaihi Wasallam tidak melarang kita untuk memohon datangnya kematian, niscaya aku akan

  Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata bahwasanya Rasulullah Shallalâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Janganlah kalian semuanya mengharapkan kematian. Dan janganlah kalian memintanya sebelum datang waktu kematian itu tiba. Karena, seandainya seseorang mati, maka akan terputuslah seluruh amal perbuatannya. Dan sesungguhnya Allah tidak akan menambahkan usia

  Dan dari Ummu Fadhl Radhiyallahu ‘Anha, ia berkata bahwasanya Rasulullah Shallalâhu ‘Alaihi Wasallam bertemu dengan sahabat-sahabatnya. Pada saat itu, paman Rasulullah, Abbas, tengah mengadukan keinginannya untuk segera mendapatkan kematian kepada Rasulullah. Maka, Rasulullah-pun berkata kepada pamannya tersebut: “Wahai pamanku, janganlah engkau mengharapkan kematian.

  Seandainya engkau memiliki amal perbuatan baik, kemudian Allah memperlambat ajalmu, maka engkau dapat menambah jumlah amal kebaikanmu. Dan itu sangat baik untukmu. Dan seandainya engkau memiliki amal buruk kemudian Allah memperlambat ajalmu, maka engkau dapat berusaha untuk bertaubat dari semua kesalahan itu. 28 Maut Li Dhararin Nazala Bihi.”

  HR. Bukhari dalam kitab: “Al Mardhaa” (5672), pada bab: “Tamannaa al Mariidh al Mauta”. Dan HR. Muslim dalam kitab: “Ad

  

Dzikru Wa ad Du’aa” (6758), pada bab “Karaahiyyat Tamannaa al

29 Maut Li Dhararin Nazala Bihi.”

  HR. Muslim dalam kitab: “Ad Dzikru Wa ad Du’aa” (6755), pada Dan itu sangat baik untukmu. Oleh karena itu, janganlah engkau Adapun hikmah di balik larangan mengharapkan kematian ini adalah: Bahaya yang akan diterima oleh seorang hamba akan berimbas pada bahaya yang bersifat duniawi. Adapun mengharapkan kematian karena takut timbulnya fitnah dalam agama, atau dengan harapan dirinya dapat terlepas dari dosa terhadap Allah, maka hukumnya boleh-boleh saja.

  Imam Nawawi berkata: Rasulullah Shallalâhu ‘Alaihi

  

Wasallam bersabda: “Janganlah salah seorang di antara kalian

  mengharapkan kematian, hanya karena mendapatkan bahaya yang diturnkan Allah kepadanya. Seandainya ingin tetap memilih kematian, maka hendaknya ia berkata: ‘Ya Allah, berikanlah kehidupan kepadaku. Seandainya kehidupan tersebut memang yang terbaik untukku. Dan cabutlah nyawaku. Seandainya kematian memang yang terbaik untukku.” Merupakan pengakuan Rasulullah Shallalâhu

  

‘Alaihi Wasallam secara terang-terangan bahwa dirinya sangat

  tidak menyukai tindakan mengharapkan kematian hanya karena bahaya yang sedang merundungnya; baik disebabkan oleh sakit, kemiskinan, mendapatkan siksaan dari musuh atau hal-hal lain yang menjadi bagian kesulitan di dunia.

  Adapun sikap khawatir akan adanya bahaya yang berimbas pada agamanya atau akan menimbulkan fitnah di dalamnya, maka Rasul tidak membencinya. Karena, hal tersebut tidak bertentangan dengan makna hadits di atas dan hadits-hadits lainnya. Dan sikap seperti itu, pernah dilakukan oleh para ulama salaf. Karena, mereka merasa takut akan timbulnya fitnah terhadap agama mereka. Di dalam hadits tersebut juga dikatakan: “Apabila bahaya yang diterimanya terus berlanjut. Dan ia tidak mampu lagi untuk 30 bersabar dengan kondisi yang dialaminya; baik berupa penyakit

  Hadits Shahih yang diriwayatkan Hakim (1/399) dan dikuatkan ataupun yang lainnya, maka hendaknya ia berkata: “Ya Allah berikanlah kehidupan kepadaku. Seandainya kehidupan tersebut memang yang terbaik untukku. Dan cabutlah nyawaku. Seandainya kematian memang yang terbaik untukku.” Akan tetapi, perbuatan yang terbaik adalah bersabar dan diam menunggu keputusan sang

  Al Haafidz, Ibnu Hajar berkata: “Dan para sahabat juga

  telah melakukan hal tersebut (mengharap kematian ketika takut terjadi fitnah dalam agama). Dalam kitab: “Muwattha”, bahwasanya Umar Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Ya Allah, usiaku sudah semakin tua, kekuatanku-pun melemah dan aku-pun telah mengembangkan sayap kepemimpinanku. Maka, dekaplah aku, bawa aku kepadamu tanpa harus membuang-buang waktu atau terlalu melebih-lebihkan.”

  Dan diriwayatkan oleh imam Ahmad dan para ulama lainnya tentang seseorang yang mengerutkan dahi (meminta kematian).

  Dikatakan bahwa seorang yang mengkerutkan dahi sambil memohon ampunan dengan sangat kepada Allah berkata: “Wahai penyakit dan segala wabah bawalah aku.’ Pada saat itu, al Kindi berkata: ‘Mengapa engkau berkata seperti itu? bukankah Rasulullah

  

Shallalâhu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda: ‘Janganlah salah

  seorang di antara kalian mengharapkan kematian?” Maka, orang tadi berkata: “Sesungguhnya, aku mendengar

  Rasulullah Shallalâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah akan mempercepat proses kematian enam orang manusia, di antaranya: ‘Perempuan-perempuan bodoh, banyak memberikan syarat, penjual hukum....” (Al Hadits). Untuk memperjelas hadits di atas, disebutkan hadits dari Muadz yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan diperkuat keshahihannya oleh imam Hakim dalam doa yang dilakukan

  Daar al Ma’rifah, Beirut. Selain itu, anda juga dapat melihat setelah melaksanakan shalat: “Seandainya aku akan menebar fitnah Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Sakit yang diderita Sa’ad bin Ubadah semakin parah. Maka, nabi datang menjenguknya. Beliau datang bersama Abdurrahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu.

  Ketika para sahabat masuk ke rumahnya, Sa’ad sedang dalam perawatan keluarganya. Maka, Rasulullah Shallalâhu ‘Alaihi

  

Wasallam bertanya: “Apakah ia telah meninggal?” Para sahabat

  menjawab: ‘Belum wahai Rasulullah.’ Seketika itu juga Rasulullah menangis. Melihat Rasulullah menangis, para sahabat-pun ikut menangis. Akhirnya, Rasulullah Shallalâhu ‘Alaihi Wasallam berkata: “Apakah klaian tidak mendengar? ‘Sesungguhnya Allah tidak menyiksa seorang hamba dengan tetesan air mata atau dengan kesedihan hati. Akan tetapi, Allah menyiksa dengan ini —sambil menunjuk pada lidahnya— atau membiarkannya mati. Dan seorang yang meninggal akan disiksa oleh Allah hanya karena tangisan

  Apabila seseorang telah merasakan datangnya kematian, maka sebaiknya ia melafalkan kalimat: “Lâ Ilâha Illallâh (Tidak ada Tuhan selain Allah).” Sedangkan orang-orang yang berada di sekelilingnya membantunya membaca talqin apabila yang sakit lupa.

  Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah Shallalâhu ‘Alaihi

  

Wasallam: “Talqinkanlah kematian kalian dengan mengucapkan

Dan dari Muadz 32 bin Jabal Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallalâhu 33 Lihat: “Fathul Baari”, (10/133) 34 HR. Muttafaq ‘Alaihi.

  

‘Alaihi Wasallam bersabda: “Barang siapa yang akhir kehidupannya

  ditutup dengan membaca Lâ Ilâha Illallâh (Tidak ada Tuhan selain Dan dari Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata:

  “Hadirilah saat-saat datangnya kematian salah seorang di antara kalian. Dan bimbinglah mereka untuk mengucapkan talqin dengan mengucapkan Lâ Ilâha Illallâh (Tidak ada Tuhan selain Allah).

  Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata bahwasanya Rasulullah Shallalâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Talqinkanlah kematian kalian dengan membaca Lâ Ilâha Illallâh (Tidak ada Tuhan selain Allah). Maka, barang siapa yang akhir ucapannya ketika sakaratul maut Lâ Ilâha Illallâh, suatu saat pasti ia akan masuk surga.” Akan tetapi, seandainya ia mengucapkan talqin jauh-jauh hari dari kematiannya, maka ia tidak akan mendapatkan janji

  Adapun makna sabda Rasulullah Shallalâhu ‘Alaihi Wasallam: “Talqinkanlah kematian kalian” adalah ketika seseorang dihampiri kematian.

  Para ulama telah sepakat dalam masalah talqin ini. Akan tetapi, mereka menganggap makruh memperbanyak bacaan talqin dan membacanya secara berturut-turut. Dengan tujuan, tidak membuat orang yang dalam sakaratul maut tersebut letih dengan kondisinya yang terasa sempit dan dilanda kesedihan yang begitu mendalam. Sehingga, dalam hatinya akan tertanam rasa benci dan berbicara dengan sesuatu yang tidak sesuai.

  Para ulama tersebut berpendapat: “Apabila telah membimbing 35 orang yang akan meninggal dengan satu bacaan talqin, maka jangan Hadits Hasan yang diriwyatkan Ahmad (5/233) dan Abu Dawud 36 (3116) 37 HR. Muslim dalam kitab: “Iman” diulang lagi. Kecuali, dengan bacaan-bacaan atau materi pembicaraan yang lain. Setelah itu, barulah diulang kembali, agar bacaan Lâ Ilâha Illallâh menjadi ucapan terakhirnya ketika menghadapi kematian. Setelah itu, pembicaraan para ulama kembali mengarah pada pentingnya menjenguk orang yang dilanda sakaratul maut. Tentunya, untuk mengingatkan, mengasihi, menutupkan kedua matanya dan memberikan hak-haknya. Dan semuanya itu telah menjadi

  Dan disunnahkan bagi orang-orang yang hadir untuk membasahi kerongkongan orang yang tengah sakaratul maut tersebut dengan air atau minuman. Kemudian, disunahkan juga untuk membasahi bibir orang tersebut dengan kapas yang telah diberi air. Karena, bisa saja kerongkongannya kering karena rasa sakit yang semakin menderanya. Sehingga, orang tersebut sulit untuk berbicara dan meminta. Dengan air dan kapas tersebut, setidaknya dapat meredam rasa sakit yang dialami orang yang sedang mengalami sakaratul maut. Sehingga, hal tersebut dapat mempermudah dirinya dalam

  Sebaiknya, orang-orang yang berada di sekeliling orang yang tengah sakaratul maut berbicara tentang yang baik-baik saja.

  Karena, pada saat itu, para malaikat mengamini apa yang mereka katakan.

  Dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha, ia berkata: Rasulullah Shallalâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Apabila kalian hadir untuk menjenguk orang yang sakit dan hendak meninggal, maka katakanlah yang baik-baik. Karena, para malaikat akan mengamini

  Imam Nawawi berkata: “Para ulama berpendapat bahwa 38 mengucapkan kata yang baik-baik, seperti: mendoakan, memohonkan 39 Lihat: “Syarhu an Nawawi ‘Ala Shahih Muslim” (6/458) 40 Lihat: “Al Mughni” milik Ibnu Qudamah (2/450) ampunan, kelonggaran, keringanan dan lain sebagainya untuk orang yang tengah sakaratul maut hukumnya mandub (sangat dianjurkan).

  Karena, saat itu para malaikat ikut hadir di tempat tersebut dan

  Kemudian, disunnahkan untuk menghadapkan orang yang tengah sakaratul maut ke arah kiblat. Sebenarnya, ketentuan ini tidak mendapatkan penegasan dari hadits Rasulullah Shallalâhu ‘Alaihi