Kejeniusan Ibnu Khaldun | Abu Dzakwan's Blog

Daftar Isi

Istilah-istilah yang merujuk kepada karya-karya Ibnu Khaldun Pengantar Bab pertama: Kehidupan Ibnu Khaldun

Bagian pertama : Fase perkembangan dan menuntut ilmu Bagian kedua

: Fase pekerjaanya di kantor pemerintahan dan bidang politik Bagian Ketiga

: Fase Menulis

Bagian keempat : Fase tugasnya dalam bidang pengajaran dan pengadilan di Mesir

Bab Kedua: Buah Karya Ibnu Khaldun

Bagian Pertama : Ibnu Khaldun Bapak Ilmu Sosial Bagian kedua

: Hal yang hadapi Ibnu Khaldun Bagian ketiga

: Ibnu Khaldun, Pakar dan pembaharu Ilmu Sejarah Bagian keempat

: Ibnu Khaldun,Pakar dan pembaharu seni Auto-Biografi Bagian kelima

:Ibnu Khaldun, Pakar dan pembaharu penulisan Bahasa Arab Bagian keenam

: Ibnu Khaldun;Pakar dan pembaharu dalam penelitian-penelitian tentang sejarah pendidikan dan pengajaran Bagian ketujuh

: Tapak kaki Ibnu Khaldun dalam ilmu hadits Bagian kedelapan

: Tapak kaki Ibnu Khaldun dalam Ilmu Fiqh Maliki Bagian kesembilan : Ibnu Khaldun dan keahliannya dalam bidang keilmuan dan juga kesenian lainnya

Kejeniusan Ibnu Khaldun

Dr. Ali Abdul Wahid Wafi’

Istilah-istilah yang merujuk kepada karya-karya Ibnu Khaldun

Dalam banyak buku ini akan banyak istilah-istilah yang meruujuk kepada karya-karya Ibnu Khaldun. Karenanya, penulis memandang perlu untuk menjelaskan istilah-istilah tersebut secara ringkas:

Mukaddimah (Bayan): yang penulis maksud disini adalah kitab Mukaddimah Ibnu Khaldun, terbitan ‘Lajnah al Bayan Al

Arabi’, yang merupakan terbitan yang telah penulis tahkik dan penulis terangkan secara gambang. Penulis pun

menambahkan bab-bab dan bagian-bagian yang kurang pada terbitan sebelumnya. Sampai saat ini, buku tersebut telah dibagi menjadi tiga bagian dalam 1148 halaman dengan terbitan besar.; mencakup di dalamnya 2000 komentar di pinggiran sampignya – sedang bagian ke empat dan bagian terakhir masih dalam proses penerbitan.

Mukaddimah (Fahmy): yang penulis maksud di sini adalah Mukaddimah Ibnu Khaldun, terbitan ‘Matba’ah Taqaddum’ yang telah di takhrij oleh Musthafa Fahmy pada thaub 1329 H.

Penulis akan menjelaskan –khususnya- bagian akhir yang belum tampak wujudnya dalam terbitan ‘Lajnah al Bayan’

Mukaddimah (Cartmeir): yang penulis maksud disini adalah Mukaddimah Ibnu lai muncul di permukaan pada tahun 1858 H. Penulis akan menjelaskan bagian-bagian Khaldun terbitan Paris yang dipimpin pembukuannya oleh seorang orientalis Cartmeir, yang muyang kurang dari terbitan Musthafa Fahmy yang belum tampak wujudnya dalam terbitan

‘Lajnah al Bayan’

Al „Ibr: yang penulis maksud disini adalah kitab kedua dan ket iga dari ‘Kitab Al „Ibr, Diwan Mubtada wa khabar, Fi

ayyamil „arab wal „ajm wal barbar, wa man Asharahum min Dzawi Sulthon Al Akbar „ terbitan Bulak yang muncul pada tahun 1284 H (1868 M) dalam bentuk tujuh jilid. Ia mengkhususkan jilid pertamanya sebagai kata pengantar (atau lebih dikenal dengan kitab Mukaddimah); sedang enam jilid lainya dibagi menjadi buku kedua dan ketiga.

„Ta‟rif ’ yang dimaksud adalah ’Ta‟rif bi Ibni khaldun wa rihlatuhu Gharban wa Syarqan‟ cetakan ‘Lajnah Ta’lif wa tarjamah Wa Nasr’ yang muncul pada tahun 1951 M. Ia adalah

cetakan yang telah ditahkik dan diberi catatan oleh Muhammad Tawit Thanji.

Pengantar

Banyak Usaha yang telah dikerahkan dalam penulisan buku ini untuk dapat mengungkapkan kejeniusan Ibnu Khaldun dan kemuliaannya atas semua yang telah ia hasilkan, khusus buku Mukaddimahnya dimana telah memunculkan ilmu baru, yang lebih dikenal sekarang dengan ilmu sosiologi atau ilmu sosial kemasyarakatan. Ia banyak memberikan pembahasan dimana belum ada seorang pun sebelumnya yang mampu menandinginya dalam hal ini, bahkan belum ada pula seorang pun yang sesudahnya dari pakar ilmu sosial yang mampu menghasilkan suatu resume sebagaimana yang telah ia hasilkan, semua penelitiannya ini menjadi bukti akan intensnya pada banyak ilmu pengetahuan. Disamping itu pula, ia tetap tidak meninggalkan cabang ilmu lainnya; bahkan sampai ilmu tentang sihir, mantera, rahasia hurufpun, ia tetap pelajari.

Dengan penelitian akan dirinya lah, maka dapat ditulis bab kedua dari bukunya, Mukaddimah

Pembahasan buku ini dimulai dengan pengenalan akan sejarah hidup Ibnu Khaldun dan kondisi yang ada pada zamannya serta pekerjaan yang telah dijalaninya. Pengenalan ini tidak terbatas hanya pada kehidupan Ibnu Khaldun dan berbagai pekerjaan yang turut mempengaruhi dan membentuk pengetahuan akal dan sikap, namum juga akan tampak dari perjalanan hidupnya tersebut, berbagai bukti atas kejeniusan Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun dilahirkan dalam lingkungan dan kondisi yang tidak bisa dikatakan aman dan damai; bisa di bilang ia dilahirkan dalam lingkungan yang penuh dengan chaos, krisis dan keterpurukan dalam banyak hal. Hingga ia harus menjalani semua ini dengan penuh petualangan, cobaan dan ia pun harus berhadapan dengan berbagai pihak yang mencoba menghalangi gerak langkahnya dengan penuh rasa iri dan dengki; mereka telah menyiapkan banyak tipuan dan konspirasi untuknya. Tugas Ibnu Khaldun di mahkamah, politik dan kehakiman, telah menghabiskan banyak waktu dalam fase kehidupannya. Ia telah bangkit untuk maju dalam bidang keilmuan sedang ia pada saat itu belum genap berusia dua puluh tahun; hal ini terus berlangsung sampai pada usianya ke tujuh puluh, dimana tak ada seorang pun seumurannya yang mampu untuk memahami bidang keilmuan seperti yang Ibnu Khaldun lakukan. Ialah satu-atubya orang yang paling jenius diantara para manusi jenius lainnya.

Dari permasalahan definisi akan sejarah, maka ditulislah bab pertama dalam buku ini. Kedua bab ini berusaha untuk mengungkap gambaran dirinya secara umum dan juga tidak langsung akan kejeniusannya Ibnu Khaldun dan kemuliaan tempatnya.

Kepada Allahlah kami meminta taufi atas apa yang telah kami tulis dan Ialah yang memberikan petunjuk. Ali Abdul Wahid Wafi

Bab pertama Kehidupan Ibnu Khaldun

Kehidupan Ibnu khaldun terbagi atas 4 fase, yang satu sama lainnya mempunyai ciri khasnya tersendiri dari aktivitas keilmuan dan juga aktivitas tugas yang ia sandang.

(Fase Pertama) adalah fase dimana ia lahir, berkembang dan menuntut ilmu; dimulai dari tahun kelahirannya pada tahun 732 H hingga tahun 751H. Waktunya yang kurang lebih

20 tahun itu dihabiskannya di kota kelahirannya di Tunis. 15 tahun ia pergunakan untuk menghapal Al Qur’an beserta tajwid

dan qiraahnya, juga menuntut ilmu pada banyak guru serta mendalaminya.

(Fase kedua) masa di mana ia telah bekerja di kantor pemerintahan dan bidang politik. Masa ini di mulai di akhir tahun 751 H hingga akhir tahun 775 H. Waktu yang kurang lebih dua puluh lima tahun ini dihabiskannya dengan berpindah-pindah dari negara Maroko bagian bawah, tengah dan juga atas dan juga sebagian negara Andalusia. Aktivitasnya dalam bidang politik ini telah menghabiskan banyak waktu dan tenaganya pada fase kedua ini.

(Fase ketiga) masa dimana ia mengosongkan waktunya untuk memulai karyanya dalam bidang penulisan. Fase ini dimulai pada akhir tahun 776 H hingga akhir tahun 784 H. Waktu yang kurang lebih delapan tahun ini, setengah pertamanya dihabiskan di benteng Ibnu Salamah dan setengah lainnya dihabiskan di Tunis. Pada fase masa-masa ini, ia mengosongkan semua aktivitasnya untuk mulai konsentrasi

menulis kitab yang berjudul ‘kitabul ibr wa diiwanul mubtada wal khabar, fi ayyamil „arab wal „ajm wal barbar wa man

„asharahum min dzawi sulthon al akbar‟ Bagian pertama dari kitab itu kini lebih dikenal denga n nama ‘Mukaddimah Ibnu Khaldun’. Ia lebih berkonsentrasi pada satu bagian ini „asharahum min dzawi sulthon al akbar‟ Bagian pertama dari kitab itu kini lebih dikenal denga n nama ‘Mukaddimah Ibnu Khaldun’. Ia lebih berkonsentrasi pada satu bagian ini

(Fase keempat) masa dimana ia mulai mengaktifkan dirinya dalam bidang pengajaran dan pengadilan. Fase ini dimulai pada akhir tahun 784 H hingga akhir tahun 808 H. Waktu yang kurang lebih dua puluh empat tahun ini dihabiskan di Mesir. Aktivitasnya dalam bidang pengajaran dan pengadilan ini telah menghabiskan banyak waktu dan tenaganya pada fase terakhir ini.

Setiap fase ini akan dibahas secara mendalam dan terperinci. Referensi penting dalam penulisan pada bab pertama ini adalah kitab yang ditulis Ibnu Khaldun sendiri

tentang kisah hidupnya yang berjudul ‘Ta‟rif bi Ibn Khaldun wa rihlatuhu gharban wa syarqan‟ 1 dengan dibantu dengan

banyak referensi lainnya untuk dapat melengkapi kekurangan apa yang ada dalam bukunya tersebut ataupun meralat sebagian peristiwa yang terjadi. Penulis pun akan menjelaskan catatan-catatan samping yang ada dalam buku tersebut sebagaimana yang penulis nukilkan dari buku

biografinya ‘ta‟rif‟ ataupun dari lainnya yang bisa melengkapi ataupun meralatnya.

Penulis akan menjelaskan lebih banyak tentang kitab yang ditulisnya ini secara mendalam pada tempatnya di bab dua bagian keempat tentang Ibnu Khaldun dan autobiograpi (penulisan seorang penulis akan kisah hidupnya)

Bagian pertama Fase perkembangan dan menuntut ilmu 732-751 H (1332-1350 M)

1. Nama lengkap Ibnu Khaldun, Kunyah, gelar dan juga sebutan terkenalnya

Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Zaid Waliyuddin bin Khaldun. 2 Maka namanya adalah Abdurrahman, Kunyahnya

adalah Abu Zaid dan gelarnya adalah Waliyuddin; namun ia lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Khaldun.

Tampak ia memperoleh kunyahnya Abi Zaid, dari anak pertamanya yang terbesar; sebagaimana adat yang berlaku di daerah arab dalam penulisan Kunyah; walau penulis pun tidak mengetahui secara pasti nama anak-anaknya. Sedangkan gelar waliyuddin ia peroleh setelah ia memegang jabatannya di pengadilan Mesir. Menanggapi hal ini, Maqrizy berkata dalam

bukunya yang berjudul ‘Suluk‟: ‘

pada hari senin tertanggal 12 Jumadil tsani tahun 786

H, guru kami Abu Zaid Abdurrahman Ibnu Khaldun dipanggil untuk datang ke benteng. Ia minta oleh sultan (maksudnya Sultan Dzahir Barquq, salah satu sultan dari kesultanan Bani Mamalik di Mesir) untuk menjadi hakim madzhab Maliki. Setelah selesai masa jabatannya, ia diberikan gelar Waliyuddin ’

Namanya yang lebih terkenal, Ibnu Khaldun, dinisbatkan kepada kakeknya yang kesembilan, Khalid bin Ustman; ia adalah orang pertama dari keluarganya yang memasuki kota

penulisan Ibnu khaldun ini dengan memfathahkan kha’ sebagaimana yang selalu Ibnu Khaldun tekankan, dan juga yang dikatakan oleh As Sakhawy

dalam bukunya ‘Ad Dhaw‟u lami‟ Bagian keempat hal 145, tentang ‘ta‟rif hal 1

Andalusia bersama para pejuang dari arab pada masa pembebasan negeri Andalusia, yang kemudian ia lebih dikenal dengan nama Ibnu Khaldun, mengikuti adat yang pada saat itu berlaku pada bangsa arab dan juga Maroko –mereka biasanya menambahkan pada nama belakang mereka huruf waw dan nun, sebagai bentuk penghormatan kepada pemilik nama tersebut (khaldun, hamidun, Zaiduun...................). Anak dan keturunannya yang tinggal di maroko dan Andalusia pun lebih dikenal dengan sebutan Bani Khaldun. Banyaknya kemunculan orang terkenal dari keluarga –dimana setiap individu dari mereka menyertakan namanya dengan kalimat Ibnu Khaldun, maka secara istilah, nama Ibnu Khaldun ini bisa diartikan secara umum dengan bermacam orang yang masuk dalam arti ini kecuali bila di deskripsikan person yang di maksud.

Banyak pula yang menambahkan pada nama Ibnu khaldun, kalimat ‘Maliki’ yang dinisbatkan dari mazhab fiqihnya. Ia adalah mazhab Imam Malik bin Anas. Ia mendapatkan tambahan

nama ini setelah memegang jabatan sebagai hakim di pengadilan yang bermazhab Maliki di Mesir. Ada pula yang

menambahkan kalimat ‘Hadromy’ pada namanya, yang dinisbatkan pada nama asal daerahnyah Hadhramy; keluarganya berasal dari

daerah Hadramy di Yaman, sebagaimana yang akan penulis jelaskan pada bagian selanjutnya. Ibnu Khaldun selalu berusaha untuk menuliskan kalimat Hadromy ini di setiap karya-karyanya. Sebagaimana ia menuliskan dalam kata

pengantar di kitabnya ‘Ibr’:

‘Seorang hamba yang fakir akan rahmat Tuhannya yang Maha Kaya dengan segala kelembutannya, Abdurrahman bin

Muhammad bin Khaldun Al Hadromy; semoga Allah menyertainya‟

Banyak pula didapati -dari banyak karya-karyanya, surat-suratnya yang tercetak baik pada masanya ataupun masa sesudahnya- gelar-gelar ataupun tambahan pada namanya yang menjelaskan akan tugasnya juga kedudukannya dalam bidang keilmuan ataupun keagamaan; seperti; Wazir (mentri), Rais (pemimpin), Hajib (seseorang yang tidak pernah megerjakan maksiat), Shadrul Kabir (seseorang yang sangat bijaksana), Al Faqih Al Jalil (Ahli Fikih), Allamatul Ummah (Pemimpin umat), Imamul Aimmah (Imannya para imam), Jamalul Islam dan muslimin (teladan kaum muslim)

2. Keluarganya

Imam Ibnu Hazm menyebutkan dalam kitabnya ‘Jamharatul Ansaabul Arab ’ bahwasannya keluarga Ibnu khaldun berasal

dari daerah Hadromy Yaman. Nasabnya dalam Islam berasal dari Wail bin Hajar; ia adalah seorang sahabat yang sangat terkenal dan telah meriwayatkan hadits Rasulullah Saw sebanyak 70 hadits. Rasulullah Saw telah mengutusnya dan juga Muawiyah bin Abi Sofyan untuk pergi menuju Yaman dengan maksud mengajarkan Al- Qur’an dan Islam kepada penduduknya. Ibnu Abdil barr pun menyebutkan dalam kitabnya ‘Al Istii‟ab‟

bahwasannya Wail bin hajar ketika di utus untuk menemui Rasulullah Saw. Ketika ia datang, Rasulullah membentangkan kainnya dan mempersilahkannya untuk duduk diatasnya seraya berkata: ‎ „Ya Allah, berkahilah Wail bin Hajar dan semua keturunannya hingga hari kiamat‟ (Lihat kitab ta‟rif hal 2)

Seorang dari keluarga inipun akhirnya memasuki Andalusia bersama dengan para pejuang dari Arab pada masa pembebasan Andalusia –sebagaimana riwayat dari Ibnu Hazm- yaitu Khalid bin Ustman (yang lalu lebih dikenal dengan nama Khaldun, mengikuti adat yang berlaku pada saat itu di kalangan masyarakat Andalusia dan maroko, sebagai bentuk Seorang dari keluarga inipun akhirnya memasuki Andalusia bersama dengan para pejuang dari Arab pada masa pembebasan Andalusia –sebagaimana riwayat dari Ibnu Hazm- yaitu Khalid bin Ustman (yang lalu lebih dikenal dengan nama Khaldun, mengikuti adat yang berlaku pada saat itu di kalangan masyarakat Andalusia dan maroko, sebagai bentuk

‘Mukaddimah‟ yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Khaldun, yang dinisbatkan dari nama kakeknya tersebut.

Sedangkan mata rantai nasab antara Ibnu Khaldun dan Wail bin Hajar, telah dijelaskan oleh Ibnu Khaldun sendiri

dalam kitabnya ‘Ta‟rif’, sebagai berikut:

Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Hasan bin Muhammad bin Jabir bin Muhammad bin ibrahim bin Abdirrahman bin Khalid (yang lebih dikenal dengan sebutan Khaldun. Dialah orang pertama dalam keluarga yang memasuki daerah andalusia dan Maroko. Darinya dinisbatkan semua keturunannya sebagaimana telah dijelaskan sebelumny) bin Ustman bin Hani bin Khattab bin Kuraib bin Muid Yakrub bin Harits bin Wail bin Hajar (Ta‟rif 1,3)

Ibnu Khaldun berpegangan teguh tentang silsilah keluarganya terakhir -yang dimulai dari kakeknya Khaldun hingga Wail bin Hajar- atas riwayat Ibnu Hazm dalam

kitabnya ‘jamharatu Ansaabul Arab‟. dikatakan didalamnya:

Disebutkan bahwasannya Bani Khaldun Asybiliyun dari anaknya (yang dimaksud disini adalah anaknya Wail bin Hajar). Sedang kakeknya yang berasal dari Timur dan berhasil masuk Eropa, Kholid, yang lebih dikenal dengan

Khaldun bin Ustman bin Hani bin Khattab bin Kurain bin Harits bin Wail bin Hajar (Ta‟rif 3)

Sedang Silsilah awalnya yang dimulai dari orang tuanya hingga kakeknya Khaldun, ia hanya berpegangan pada apa yang ia ketahui; baik melalui riwayat yang terdengar atapun yang tertulis ( Ta‟rif 1)

Ibnu Khaldun sendiri pun sebenarnya masih menyimpan keraguan akan kebenaran silsilah awalnya, yang dimulai dari orang tuanya hingga kakeknya, Khaldun. Ia berpendapat bahwasannya ada kemungkinan dalam silsilah tersebut ada beberapa nama yang tak tercantum dan hilang. Karena ia menganggap, apabila memang kakeknya, Khaldun, adalah orang pertama dari seluruh keluarganya yang memasuki Andalusia bersama para pejuang dari Arab pada masa pembebasan Andalusia –sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Hazm- maka rentang waktu yang memisahkannya dengan bapaknya berkisar sekitar 700 tahun (Pembebasan Andalusia terjadi pada tahun 92 H, sedang wafat bapaknya pada tahun 739 H). Rentang waktu ini masih lebih dari cukup bila hanya diisi oleh sepuluh kakeknya. Ibnu Khaldun sendiri berpendapat bahwasannya ada kemungkinan rentang waktu tersebut bisa diisi oleh dua puluh nama kakek-kakeknya, berlandaskan atas tiga keturunan yang bisa lahir untuk setiap satu abadnya. Menanggapi hal ini, ia berkata:

„Aku tidak bisa mengingat nasab yang aku punya hingga pada Ibnu Khaldun, kecuali hanya sepuluh saja. Saya berkeyakinan sesungguhnya kenyataannya lebih dari itu. Ada beberapa nama yang hilang ataupun tidak tercantu; karena Khaldun adalah orang pertama yang memsuki Andalusia. Apabila demikian, maka rentang waktu yang „Aku tidak bisa mengingat nasab yang aku punya hingga pada Ibnu Khaldun, kecuali hanya sepuluh saja. Saya berkeyakinan sesungguhnya kenyataannya lebih dari itu. Ada beberapa nama yang hilang ataupun tidak tercantu; karena Khaldun adalah orang pertama yang memsuki Andalusia. Apabila demikian, maka rentang waktu yang

dijelaskan dalam kitab pertamanya‟ 3

Dengan berlandaskan akan hal yang sama, maka silsilah terakhirnya yang dimulai dari kakeknya Ibnu Khaldun hingga Wail bin Hajar pun mengalami keraguan yang sama. Apabila Ibnu Khaldun sendiri tidak memaparkan hal itu secara sendirinya, maka bisa jadi ada penambahan beberapa nama dalam silsilah tersebut. Nama kakeknya yang ada dalam rentang silsilah terakhir tersebut ada delapan orang, sedang rentang waktu yang ada antara Ibnu Khaldun dan Wail bin Hajar tidak lebih dari satu seperempat abad saja. Ini disebabkan karena Wail bin Hajar merupakan seorang sahabat Rasulullah, hingga bisa dipastikan kelahirannya adalah sebelum

–sebagaimana diriwayatkan Ibnu Hazm- adalah orang pertama yang measuki

Andalasia bersama para pejuang Arab pada masa pembebasan Andalusia yang terjadi pada akhir abad pertama hijriah atau pada tahun 92 H. Dengan rentang waktu ini, maka kemungkinan yang lahir hanyalah tiga generasi saja.

kitab Ta‟rif hal 1. Ibnu Khaldun mengisyaratkan hal tersebut sebagaimana yang ia jelaskan pada bagian empat belas dari bab ketiga

dari bukunya ‘Mukaddimah‟ dengan sub judul: ‘faslun fi anna daulah laha a‟marun thabiiyatun kama lil askhos ( bahwasannya suatu begara mempunyai batasan umur yang alami sebagaimana manusia). Namun Ibnu Khaldun pun memperhatikan bahwasannya ia telah menuliskan dalam sub judul ini bahwa

standar umur bagi satu generasi adalah 40 tahun. Ia mengungkap hal ini sebagai berikut: ‘dengan pengecualian, sebuah Negara pada umumnya tidak

dianggap biloa berada dalam rentang masa hidup tiga generasi. Satu generasi mewakili umur manusia pada umumnya yaitu empat puluh tahun‟ (Mukaddimah; Bayan; 485). Hingga bisa dikatakan bahwasannya tiga generasi dilintasi dengan waktu 120 tahun dan bukan 100 tahun sebagaimana yang ia sebutkan dalam kitabnya „Ta‟rif‟. Hingga nama-nama kakek yang mengisi rentang waktu antara hidup bapaknya hinggak kakeknya Ibnu Khaldun atau sekitar enam setengah abad, diperkirakan hanya enam belas nama dan bukan dua puluh.

Yang menjadi kemungkinan kuat dalam hal ini, bisa jadi Khaldun memasuki Andalusia pada abad ketiga hijriah atau setelah pembebasan Andalusia dengan rentang waktu yang tidak pendek. Hal ini dipertegas lagi dengan pernyataan bahwasannya kedua anak dari cucunya (dalam pendapat yang dikatakan Ibnu Hazm adalah cucunya) yaitu: Kuraib bin Utsman bin Khaldun dan saudaranya Khalid, mereka adalah pemimpin gerakan revolusi yang melanda Asybiliah melawan pimpinan pemerintahan yang ada pada saat itu Abdullah bin Muhammad al Umawy di tahun-tahun terakhir dari abad ketiga hijriah, sebagaimana akan penulis lebih perjelas di bagian berikutnya. Hingga tidak masuk akal bila Khaldun memasuki Andalusia bersamaan dengan Thariq bin Ziyad di akhir abad pertama hijriah, lalu ia mempunyai cucu yang hidup hingga tahun-tahun terakhir pada abad ketiga hijriah. Dari sini bisa diyakini, bahwasannya ia masuk ke Andalusia pada abad ketiga ini pula atau tak jauh darinya.

Apabila ini semua biasa diterima, maka akan mempermudah dalam penggambaran silsilah; baik dari silsilahnya yang pertama ataupun yang terakhir. Dengan rentang waktu yang ada antara bapaknya Ibnu Khaldun hingga kakeknya adalah empat abad, hingga memungkinkan dalam rentang waktu ini muncul sepuluh generasi atau sepuluh nama kakeknya sebagaimana yang ada dalam silsilah; dengan berlandaskan bahwa setiap empat puluh tahun, timbul satu generasi atau timbul satu nama. Sedang rentang waktu yang ada antara kakeknya Khaldun hingga Wail bin Hajar sekitar tiga abad, hingga memungkinkan dalam rentang waktu ini muncul delapan generasi atau delapan nama kakeknya sebagaimana yang ada dalam silsilah; dengan berlandaskan bahwa kurang lebih setiap empat puluh tahun, timbul satu generasi atau timbul satu nama

Demikianlah; namun sayangnya Penulis tidan mempunyai banyak bukti yang kuat untuk membuktikan keshahihan silsilah keluarga Ibnu Khaldun untuk keturunannya dari Arab sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Hazm pada pertama kalinya di abad kelima hijriah. Yang menjadikan adanya keraguan dalam menyikapi keshahihan nasab ini adalah bahwasannya kebanyakan dari keluarga-keluarga di Andalusia dan Maroko pada saat itu sangat berkeinginan untuk menasabkan dirinya sebagai bagian dari bangsa Arab, karena siapapun yang bernasab kepada negara Arab, akan memperoleh kemuliaan dan kedudukan yang tinggi dalam pandangan masyarakat setempat. Karena bangsa Arab pada saat itu umumnya adalah pemimpin dan penguasa di negara tersebut. Namun keinginan itu hanya ada pada bangsa Andalusia dan Maroko, dan tidak bangsa Barbar. Mendapatkan nasab dari bangsa Arab adalah suatu kemuliaan yang tertinggi bagi petinggi non Arab. karenanya, banyak dari mereka –non arab- yang bekerja pada pemerintahan yang dikuasai bangsa Arab dengan harapan dapat membuat dan menambahkan

kepada bangsa Arab dan mengumumkannya pada masyarakat setempat. Dari sinilah akhir mulai timbul banyak keraguan akan banyak orang yang bernasab pada bangsa Arab. bahkan dari pihak pejuang yang membebaskan bangasa Arab pun, banyak yang non Arab; namun mereka turut mengatakan bahwa mereka adalah keturunan Arab. sebagaimana dikatakan bahwasannya Thariq bin Ziyad sebenarnya adalah keturunan bangsa Barbar. Namun ada pula yang mengatakan bahwasannya ia sesungguhnya keturunan bangsa Persia dari budak bangsa Arab. Bisa jadi, keluarga Ibnu Khaldun bukan asli keturunan Arab. Mereka hanya membanggakan diri mereka bila bisa memakai nasab ini sebagaimana kebanyakan orang

nasab

mereka mereka

Namun demikian, penulis meyakini nasabnya akan bangsa Arab Hadromy; bukan karena penulis mendapatinya secara detail pada kehati-hatian Ibnu hazm dalam memilah nasab bangsa Arab saja, namun juga karena penulis tidak mendapati seorang pun yang bersilang pendapat akan hal ini. Mereka hanya tidak meyakini dan tidak setuju akan nasabnya pada bangsa Arab sebagaimana yang Ibnu Khaldun tulis dalam banyak karyanya. Seandainya keraguan itu muncul sebagaimana yang tumbuh dalam pikiran mereka, sedang ia sendiri merupakan bagian dari mereka, dan diantara mereka banyak yang mengetahui nasab Imam Hafidz bin Hajar Asqalany. Mereka sama sekali tidak begitu gigih dalam mengkritik –sebagaimana akan dijelaskan panjang lebar pada bagian lainnya- atau mencela akan nasabnya. Tidak pernah terucap sedikitpun dari bicara mereka akan keraguan mereka baik dari segi ilmiah ataupun secara personal Mereka hanya mencantumkan dalam karya-karyanya akan kritikan mereka akan pakaian yang dikenakannya dan juga tempat tinggalnya di atas sungai Nil.

3. Sejarah keluarganya

Ibnu Khaldun tumbuh dan berkembang di kota Kormuna di Andalusia, dimana kakeknya Khalid bin Ustman tinggal lalu ia berpindahh setelahnya ke kota Asybiliah.

Keluarga besar Khaldun tidak mengetahui akan sejarah Andalusia sebelum abad ketiga hijiriah. Kejayaan keluarga mereka dimulai pada masa Pangeran Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Al Umawy (273-300 H). Pada saat itu, banyak terjadi chaos dan tersebar fitnah di Andalusia di berbagai segi. Sedang Asybiliah yang merupakan daerah keluarga besar

Khaldun adalah daerah pertama yang mengalami ketergoncangan akan hal tersebut. Terjadi revolusi diberbagai daerah yang dipimpin oleh Umayyah bin Abdul Ghafir (yang menjabat sebagai Hakim pada daerah itu sebelum kepemimpinan Pangeran Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Al Umawy) dan juga Abdullah bin Hujjaj. Ikut serta dengan mereka adalah dua orang cucu Khaldun yaitu: Kuraib bin Ustman dan sudaranya Khalid. Revolusi itu selesai setelah melalui beberapa fase seperti adanya sikap kesewenang-wenangan Kuraib bin Khaldun dalam memimpin rakyatnya dan juga tidak memperhatikan akan pembangunan Asybiliah. Setelahnya banyak revolusi yang terjadi hingga kemudian terhenti dan selesai dengan kematiannya.

Setelah itu, daerah Asybiliah tidak mempunyai pemimpin selama kepemimpinan Bani Umawiyah berkuasa di negara tersebiy, hingga kemudian Bani Thawaif berkuasa, dan kejayaan kembali kepada keluarga Khaldun. Para pemimpin dari

mereka turut serta dalam peperangan yang terkenal ‘Zalaqah’ dan dimenangkan oleh Mu’tamid bin Ibad dan anak buahnya,

Yusuf bin Tasyfain Murabithy melawan Alfonso keenam, raja Qistalah (49-1086 M). Banyak dari keluarga Ibnu Khaldun turut serta dalam peperangan lalu diangkatlah sebagian dari mereka untuk menjadi pemimpin dan menteri pada masa Ibnu Ibad berkuasa.

Tampak jelas, setelah tumbangnya kekuasaan Thawaif dan lalu berkuasa bani Murabithun di Andalus, keluarga Khaldun tidak memegang peranan penting dalam pemerintahan negara. Hal ini terus terjadi selama pemerintahan Bani Murabithun ini.

Setelah berkuasanya Bani Muwahhidun di Maroko dan melepaskan Andalusia dari Bani Murabithun, mereka lalu menunjuk Abu Hafsin, pemimpin kabilah Hantana untuk Setelah berkuasanya Bani Muwahhidun di Maroko dan melepaskan Andalusia dari Bani Murabithun, mereka lalu menunjuk Abu Hafsin, pemimpin kabilah Hantana untuk

pun akhirnya diberikan kesempatan untuk meneruskan kepemimpinan mereka dan mereka pun akhirnya mendapatkan kembali kejayaannya.

Ketika pemerintahan Muwahhidun mulai melemah, dan mulai banyak terjadi pergolakan di Andalusia. Para pimpinannya gugur satu persatu dibawah pedang raja Qistalah. Akhirnya Bani Hafsin meninggalkan Asybiliah dibawah jaminan seorang Nasrani. Mereka berpindah ke negara Afrika (Tunis dan sekitarnya) pada tahun 620 H/1223 M, dimana mereka akhirnya membebaskan diri dari pemerintahan Muwahhidun. Hal tersebut membuat mereka mendapatkan kekuasan atas wilayah yang cukup besar dengan bantuan Bnai Khaldun. Bani hafsin pun akhirnya memberikan kemuliaan dan kehormatan pada mereka. Kakek kedua Ibnu Khaldun (Abu Bakar Muhammad) diberi kepercayaan untuk mengurusi masalah kenegaraan di Tunis., sebagaimana kakek pertamanya (Muhammad bin Abu Bakar Muhammad lakukan) memegang jabatan untuk mengurus masalah Hijabah Bijayah (menarik iuran negara), yangmerupakan daerah kekuasaan Bani Hafsin. Akhirnya kakek keduanya menjadi pemimpin di daerah Tunis perwakilan dari Bani Hafsin hingga ia terbunuh oleh Ibnu Abi Imarah dari Khawarij yang ingin membunuh Bani Hafsin. Sedang kakeknya pertama tetap pada jabatannya setelah kematian bapaknya dalam rentang waktu yang lama, menggantikan jabatannya pada urusan pemerintahannya di bawah kekuasaan Bani Hafsin. Ketika Bani Hafsin mulai ditumbangkan oleh pemimpin Muwahhidun dan Tunis dikuasai oleh pangeran Abu Yahya bin Lihyany (711 H), ia –Muhammad bin Abu Bakar Muhammad bin Khaldun, kakeknya pertama- tetap pada Ketika pemerintahan Muwahhidun mulai melemah, dan mulai banyak terjadi pergolakan di Andalusia. Para pimpinannya gugur satu persatu dibawah pedang raja Qistalah. Akhirnya Bani Hafsin meninggalkan Asybiliah dibawah jaminan seorang Nasrani. Mereka berpindah ke negara Afrika (Tunis dan sekitarnya) pada tahun 620 H/1223 M, dimana mereka akhirnya membebaskan diri dari pemerintahan Muwahhidun. Hal tersebut membuat mereka mendapatkan kekuasan atas wilayah yang cukup besar dengan bantuan Bnai Khaldun. Bani hafsin pun akhirnya memberikan kemuliaan dan kehormatan pada mereka. Kakek kedua Ibnu Khaldun (Abu Bakar Muhammad) diberi kepercayaan untuk mengurusi masalah kenegaraan di Tunis., sebagaimana kakek pertamanya (Muhammad bin Abu Bakar Muhammad lakukan) memegang jabatan untuk mengurus masalah Hijabah Bijayah (menarik iuran negara), yangmerupakan daerah kekuasaan Bani Hafsin. Akhirnya kakek keduanya menjadi pemimpin di daerah Tunis perwakilan dari Bani Hafsin hingga ia terbunuh oleh Ibnu Abi Imarah dari Khawarij yang ingin membunuh Bani Hafsin. Sedang kakeknya pertama tetap pada jabatannya setelah kematian bapaknya dalam rentang waktu yang lama, menggantikan jabatannya pada urusan pemerintahannya di bawah kekuasaan Bani Hafsin. Ketika Bani Hafsin mulai ditumbangkan oleh pemimpin Muwahhidun dan Tunis dikuasai oleh pangeran Abu Yahya bin Lihyany (711 H), ia –Muhammad bin Abu Bakar Muhammad bin Khaldun, kakeknya pertama- tetap pada

Sedang anaknya Abu Abdillah Muhammad (bapak Ibnu Khaldun) 4 , menjauhkan dirinya dari masalah politik dan lebih berkonsentrasi pada masalah pengajaran dan keilmuan.

‘ia melepaskan dirinya dari jalannya pedang dan mengabdikan dirinya pada bidang keilmuan dan ribath ‟ 5 ....

ia membaca dan memperdalaminya;. Ia adalah hal pertama yang dilakukan bangsa Arab. Ia pun sangat mahir akan syair dan segala ilmu tentangnya‟ (Ta‟rif 14)

Ia meninggal pada tahun 749 H (1339 M) dengan meninggalkan lima anak laki-laki yaitu: Abdurrahman (yang

menulis masterpice “Mukaddimah’ pada saat ia berumur 18 tahun), Umar, Musa, Yahya dan Muhammad. Ibnu Khaldun atau

4 Di berbagai tempat, bapak Ibnu Khaldun lebih terkenal dengan kunyahnya;Abu Abdillah. Hal inilah yang ia tu lis di kitabnya “Ibr‟ dan juga yang ia isi dalam forlumir pendaftaran ketika ia ingin menuntut

ilmu di Universitas Kurawiyyin di Vas, yang terletak di Kairo tahun 799 H. Ada suatu pernyataan yang berbunyi: ‘berhenti, dihentikan, berjalan,

teguh pendirian, diharamkan, dan adanya pembenaran atas tuan kami hamba yang sangat fakir dihadapan Allah Swt Syeikh Imam A‟lim Allamah Al afidz Al Muhaqqiq,pemersatu, satu-satunya pada masanya hakim para hakim, waliyuddin Abu Zaid Abdurrahman Bin Syeikh Imam Abi Abdillah Muhammad bin Khaldun Al Hadhromy Al Maliki. ....‟, tealah terdapat plagiat pada susunan kerangka biografinya ‘Ta‟rif‟ dengan mengatakan bahwasannya bapak dari Ibnu Khaldun memilik kunyah ‘Abu Bakar’ : ‘sedangkan bapaknya adalah Muhammad Abu Bakar‟ (Ta‟rif 14). Sedangnya yang sesungguhnya yang paling benar dari dua buku tersebut adalah dua paragraf akhir dalam naskah ‘Ta‟rif‟: sedangkan bapaknya adalah Muhammad bin Abu Bakar´(Ta‟rif 14, komentar atas 11)

5 Yang dimaksud adalah Tasawuf

Abdurrahman adalah anak tertua dalam keluarga. 6 . tidak ada seorangpun selain Abdurrahman yang menonjol kecuali Yahya (Abu Zakaria Yahya) yang memegang jabatan sebagai menteri di

kemudian harinya. 7

Bapak Ibnu Khaldun bukanlah pelopor yang berkonsentrasi dalam bidang keilmuan. Banyak dari pendahulunya di Maroko dan Andalusia yang mengkonsentrasikan diri mereka pada bidang keilmuan; diantaranya: Umar bin Khaldun (wafat sebelum kelahiran Ibnu Khaldun tiga abad sebelumya) yang

menjadi pelopor ilmu dalam bidang matematika dan astronomi 8 Hingga bisa dikatakan bahwa dalam keluarga Khaldun ini,

umumnya mereka menapaki jalan keilmuan dan juga bidang politik secara bersamaan. Seorang sejarawan terkenal, Ibnu Hayyan (hidup pada abad sebelas masehi dan juga abad lima

hijriah) ketika perjalanannya ke Andalusia, mengatakan: ‘ kediaman Ibnu Khaldun di Asybiliah sampai saat ini merupakan

titik terakhir yang menjadi perhatian. Kepopulerannya menyamai kepopuleran para pemimpin kerajaan dan para

pemikir’ (Ta‟rif 5)

6 tidak terdapat dalam kelima anaknya seorangpun yang bernama Abdullah. Yang tampak hanyalah bahwa anak pertamanya adalah anak laki-laki.

Karenanya kunyahnya adalah Abu Abdullah.

7 Yahya menulis satu kitab yang terkenal tentang sejarah negara Maroko; ia merupakan kedaulatan Bani Abdul wad. Ia memberikan judul pada kitab

tesebut :’Bagiyyatun Rawwad fi Akhbar Bani Abdul wad‟ sebagian orang mencampur adukkan antara karyanya dan karya Abdurrahman. Sehingga ada

yang menganggap buku ini sebagian dari karya penulis kitab Mukaddimah.

8 Ibnu Hayyan berkomentar akan Umar bin Khaldun: ‘Ia adalah Abu Muslim Umar bin Khaldun Al Hadromy yang merupakan pemuka kaum Asybiliah. Ia

adalah pakar dalam bidang filsafat, terkenal dalam bidang ilmu ukur, astronomi dan kedokteran. Sedang ilmu-ilmu ini masih dianggap kesatuan

dalam bidang ilmu filsafat. Wafat di negaranya pada tahun 449 H’. Sedang Asyibaah mengatakan: ‘ia merupakan murid dari Abi Qasim Majrithy, yang terkenal dengan bidang ilmu olah raga’ demikian pula orang banyak yang

mencampur adukkan antara Umar dan Ibnu Khaldun, hingga mereka menganggap bawa IbnuKhaldunlah yang mengupas habis akan ilmu Matematika dan astronomi. Pada kenyataannya, yang lebih terkenal akan kedua ilmu tersebut dalam keluarga Khaldun adalah Umar bin Khaldun yang wafat sebelum kelahiran Ibnu Khaldun itu senndiri, tiga abad sebelumnya.

4. Tempat kelahiran, lingkungan dan tempat belajarnya

Ibnu Khaldun dilahirkan di Tunis di awal Ramadhan pada tahun 732 H ( tepatnya 27 Mei 1332 M). Masyarakat Tunis hingga saat inipun masih mengenali tempat dimana Ibnu Khaldun dilahirkan, ia adalah suatu rumah yang terletak di salah satu jalan protokol dari sebuah kota tua. Jalan ini dikenal dengan nama jalan Turbatul Bay. Rumah itu lalu menjadi sekolah tinggi manajemen, dimana di pintu masuknya ter dapat suatu sebuah marmer yang bertuliskan ‘tempat kelahiran Ibnu Khaldun’

Ketika sudah mencapai umur untuk belajar, ia mulai menghapal Al Qur’an dan tajwidnya sesuai dengan metode yang

berlaku di sebagian besar negara-negara Islam. Masjid pada masa-masa itu adalah sentral pendidikan. Di sanalah Ibnu

Khaldun menghafal Al Qur’an dan memperdalaminya dengan Tajwid dan berbagai Qiraatnya. Disana pula Ibnu Khaldun

mempelajari banyak ilmu dari syeikh-syeiknya. Masyarakat Tunis pun sampai saat ini masih mengenali Masjid dimana ibnu Khaldun belajar dan mengemukakan pendapatnya pada awal masa belajar. Masjid itu dikenal dengan nama Masjid Qubah;

namun masyarakat Tunis sering menyebutnya ‘Masid Qubah’ sesuai dengan logat yang berlaku diantara mereka yang

membaca huruf Jim dengan bacaan Ya Orang tua Ibnu Khaldun adalah pendidik pertamanya. Tunis pada saat itu adalah sentral para ulama dan sastrawan di negara Maroko dan merupakan tempat berkumpulnya para ulama Andalusia bila mereka menemukan satu kejadian yang bisa dibahas secara keilmuan. Diantara mereka akhirnya menjadi guru Ibnu Khaldun dan mengajarkan padanya banyak hal -setelah ia menerima pendidikan pertamanya dari kedua orang

tuanya. Ia mempelajari dari mereka Al Qur’an dan memperdalami lebih dalam lagi Qiraat S ab’ah (tujuh bacaan tuanya. Ia mempelajari dari mereka Al Qur’an dan memperdalami lebih dalam lagi Qiraat S ab’ah (tujuh bacaan

memperdalaminya lagi dengan mazhab Maliki (yang dulu dan masih merupakan mazhab yang dipakai di Jazirah arab). ia pun mempelajari Ushul dan Tauhid. Ia pun mempelajari ilmu linguistik seperti Nahwu, Shorof, Balaghoh dan adab; lalu mempelajari ilmu Mantiq, Filsafat, bilologi dan juga Matematika. Ia mendalami semua bidang keilmuan tersebut disertai dengan kekaguman para gurunya dan iapun memperoleh pengakuan dan Ijazah dari mereka. Ibnu Khaldun sangat teliti dalam menyebut nama-nama pengajar dan gurunya dalam berbagai penelitian dan membuat biografi akan sosok mereka dan mensifatinya dengan penuh penghormatan dan meyebutkan kedudukan mereka yang tinggi dalam setiap ilmu yang ia dapat dan karya yang ia tulis. Beberapa nama gurunya yang ia sering sebut: Muhammad bin Saad bin Baraal Al Anshary, Muhammad bin araby Al Husyairy, Muhammad bin Syawwas Az Zilzaly, Ahmab bin Qashar, Muhammad bin Bahr, Muhammad bin

Jabir Al Qaisy, Muhammad bin Abdillah Al Jayany 10 - Ahli Fiqh, Abu Qasim Muhammad Al Qashir, Muhammad bin Abdussalam, Muhammad bin Sulaiman Asy Syatthi, Ahmad Zawawy, Abdullah bin Yusuf bin Ridwan Al Maliqi, Abu Muhammad bin Abu

Qiraat Ya’qub termasuk salah satu dari tiga qiraat penambah dalam Qiraat Sab’ah. Hingga Qiraat yang mashur adalah sepuluh Qiraat. Yang

mempeloporinya adalah Ya’kub bin Ishaq bin Zaid bin Abdillah Al Hadromy Al Basry (118-205 H). Qiraat ini diriwayatkan melalui dua jalan: pertama, melalui riwayat Muhammad bin Mutawakkil yang terkenal dengan

sebutan Biruwais; kedua, melalui riwayat Ruh bin Abdil mu’min Al Hazly (lihat Thabaqaatul Qura 1/275) . Dengan ini, Ibnu Khaldun berkata: ‘Lalu aku membaca dengan riwayat Ya’kub dengan satu kesatuan sebagai

penggabungan dari dua riwayat tersebut’ (Ta‟rif 16) 10 Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah Al Jayany, Ahli Fiqh mazhab Maliki. Darinya, Ibnu Khaldun memepelajari Fiqh Mazhab Maliki. Ia

bukanlah ‘Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Malik Al Andalusy Al Jayyan’ seorang ahli Nahwu (grammatical) yang terkenal dengan sebutan ‘Shahibul Alfiyah wat Tashil wa ghairuhuma‟ (dilahirkan pada tahun 600 H dan meninggal pada tahun 672 H atau sebelum Ibnu Khaldun dilahirkan kurang lebih setengah abad lamanya)

Muhaimin Al Hadhromy dan Abu Abdullah Muhammad bin Ibrahim Aabily. Dari berbagai perkataan dan ucapannya, akan tampak dua guru yang mempuyai pengaruh yang besar dalam bidang keilmuan yang digelutinya baik dari segi hukum, bahasa dan hikmah; salah satunya adalah Muhammad bin Abd Abdul Muhaimin bin Abdul Muhaimin Al Hadhromy, Imam para ahli hadits dan Nahwu di Maroko. Ia banyak belajar banyak darinya tentang hadits, Mustholah hadits, Sirah dan ilmu linguistik. Sedang satu lainnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ibrahim

Aabily 11 , pakar ilmu akal (dahulu disebut sebagai ilmu filsafat atau ilmu hikmah. Mencakup didalamnya ilmu Mantiq,

biologi, matematika, astronomi dan musik). Ia banyak belajar darinya akan ‘Aslaini (dua sumber ilmu: Al Qur’an dan

hadits), Mantiq dan semu a seni hukum dan pengajaran’ ( Ta‟rif 15-22). Karena besarnya pengaruh kedua guru tersebut dalam keilmuan Ibnu Khladun, iapun mendeskripsikan dan menuliskan biografi kedua gurunya tersebut adalam kitabnya

‘Ta‟rif” secara mendetail. (Ta‟rif 21,33 -41). Ibnu Khaldun pun sangat memperhatikan pencantuman nama-nama gurunya yang

telah memberikan ilmu disaat kecilnya dan juga memperhatikan buku-buku yang dipelajari dari mereka. Dari sekian banyak yang Ibnu Khaldun sangat perhatikan akan buku-buku yang ia pelajari antara lain: Al Lamiah Fil Qiraat dan Raaiah fi Rasmil Mushaf karangan Syatiby, Tashil Fi Nahwi karya Ibnu Malik, Kitabul Aghany karya Abi Faraj Al Ashfahany,

Muallaqat, Kitabul Hamasah lil A‟lam, Thaifah min Syi‟r Abi Tamam wal Mutabanny, sebagian besar buku Hadits khususnya

Shahih Muslim dan Muwatha karya Imam Malik, Iltaqasa li Ahaditsil Muwatha karya ibnu Barr, Ulumul Hadits karya Ibnu Shalah, Kitabu Tahdzib karya Barady Mukhtasar Al Mudawwanah

11 Dinisbatkan kepada Aviila; ia merupakan suatu kota di daerah barat laut, provinsi Madrid di negara Avila.

Lisahnun Fil Fiqh Al Maliki, Mukhtasar Ibni Hajib Fil Fiqh

wal Ushul, Assair karya Ibnu Ishak. 12

5. Tahkik akan sebagian buku yang dipelajari Ibnu Khaldun pada masanya.

Demikianlah, Dr Thaha Husein dalam suratnya yang berbahasa perancis, telah meragukan akan ‘filsafat Sosial

Ibnu Khaldun’; bisa jadi Ibnu Khaldun telah mempelajari sejak kecilnya semua buku yang ia ingat. Ia berpendapat bisa

jadi Ibnu Khaldun tidak mengenal dan mengetahui sebagian buku yang dipelajarinya itu,dan hanya mengetahui judulnya saja.; dimana ia menyebutkan dengan maksud kebanggan atau ingin dipuji. Keraguan Thaha Husein ini diperkuat dengan pernyataan Ibnu Khaldun bahwasannya ia mempelajari dua buku, yaitu: Mukhtasar Ibnu Hajib fi Fiqh Imam Malik dan Kitabul aghany. Ia mengatakan tentang buku pertama: ‘Ibnu Khaldun mengatakan bahwa Mukhtasar Ibnuhajib adalah satu buku yang ia pelajari di Tunis; dan ia telah memasukkan sebagian isi

buku tersebut dalam karyanya (maksudnya kitab ‘Ta‟rif‟) dan juga di masterpicenya, Mukaddimah. Sedangkan Mukhatasar Ibnu

Hajib bukanlah kitab yang membahas tentang Fiqh, namun ia adalah buku tentang Ushul Fiqh. Penulisnya masih bertualang dalam keilmuan dan masih belajar di azhar sampai saat ini. Penulisnya bermazhab Maliki, namun ia tidak membatasi pembahasannya di Fiqh Mazhab Maliki saja; ia pun membahas akan konsep dasar hukum di semua mazhab yang ada. Ini adalah ilmu khusus. Sedang tentang buku kedua Kitabul Aghany, Thaha

Husein berpendapat: ‘Kita pun masih dapat meragukan akan apa yang telah dinyatakan Ibnu Khaldun tentang Kitabul

Penulis akan membicarakan lebih mendetail lagi tentang semua guru Ibnu Khaldun dan buku-buku yang dipelajarinya di Bab kedua dengan berbagai jenis ilmu dan seninya.

Aghany yang

biografinya, ia mengungkapkan bahwasannya ia menukil sebagian isi buku tersebut;

terkenal ini.

Dalam

ia menyebutkan kemustahilan untuk mendapatkan buku tersebut. Dari sini dapat diyakini bahwasannya Ibnu Khaldun tidak mengetahui

sedang dalam

Mukaddimah,

buku itu, namun hanya mengenal namanya saja. 13

Kenyataannya, semua buku yang Ibnu Khaldun sebutkan dalam bagian ini, telah memberikan inspirasi bagi Ibnu Khaldun dalam memperdalam semua ilmunya. Hal ini dipertegasnya dalam ungkapannya di Mukaddimah bab 6 pada sub-judul yang berisi tentang semua buku-buku, metode dan tanggapan penulis, tanggal penerbitan, waktu penerbitan, sebagaimana yang akan penulis ulas lebih dalam pada bab kedua dalam buku ini. Buku-buku tersebut tidak terlalu banyak karena ia tidak mempunyai cukup waktu ia telah mengkonsentrasikan waktunya untuk belajar selama 15 tahun. Seandainya ia dianggap seorang pelajar biasa, maka siapakah orang yang mampu menandingi kejeniusan IbnuKhaldun? Ia adalah seorang yang langka bila dibanding dengan waktu yang cukup luas ini, dan ia tidak melakukan apapun selain belajar. Buku-buku tersebut sesungguhnya adalah hanya mewakili sedikit dari sekian banyak ilmu yang Ibnu Khaldun dapatkan. Telah disebutkan, bahwasannya ia mempelajari banyak buku sejak kecilnya secara mandiri. Lalu setelah bertambah umur, ia pun banyak mempelajari buku lainnya. sebagaimana yang ia katakan tentang gurunya, Abu Muhammad bin Abdul Muhaimin:

‘aku mengikutinya, mendapat ijazah dan banyak menuntut ilmu darinya dengan mendengar langsung: kitab

13 Falsafah Ibnu Khaldun Al Ijtima‟iyyah, Biographi Abdullah Anan, Hal

banyak buku lain yang masih kuingat dalam pikiranku‟ (Ta’rif 20)

Sedangkan, disaat ia berbicara akan guru pertamanya, Muhammad Bin Saad bin Baral: aku banyak belajar akan banayk buku darinya seperti kitab Tsahil karya Ibnu Malik, Mukhtasar Ibnu Malik dalam Fiqh‟ (Ta’rif 16-17). Penyebutan Ibnu Khaldun akan buku-bukunya tersebut hanyalah sebagian kecil dari berbagai banyak buku yang ia pelajari. Dari semua buku yang disebutkannya ini, dapat dilihat banyak darinya adalah Mukhtasar (ringkasan-ringakasan kitab) untuk kaum pemula. Tidak mungkin buku-buku ini bisa digunakan untuk menyombongkan diri dalam mempelajarinya , dimana para pakar yang mendengarnya tidak akan sedikitpun tertarik akannya. Ibnu Khaldun sendiri telah mengingatkan kita untuk lebih teliti dalam semua periwayatan tentang apa yang ia pelajari; bahkan seolah ia sendiripun memberikan batasan akan bahan yang tidak sempat ia pelajari lebih dalam dalam suatu buku,

dengan mengatakan: ‘aku telah mendengar semua penjelasan akan Shahih Muslim bin Hajjaj dari Muhammad bin Jabir Al Qaisy, selain sebagian kecil dari masalah berburu‟ (Ta‟rif

18). Ia pun menegaskan sesuatu yang berhubungan dengan kitab Ibnu Hajib sebagaimana yang diungkapkan oleh Dr Thaha

Husein: ‘ia belum hafal sepenuhnya akan kitab tersebut‟ (Ta‟rif 17) dengan ucapannya: ‘Aku telah membaca kitab

Zawawi Al Qur‟anul Adziem bil Jam‟i Al Kabir Baina Qiraatus Sab‟a‟ dari Abi Umar Ad Dani dan Ibnu Suraikh, namun aku

14 yang dimaksudkan adalah kitab Shahih bukhari, Shahih muslim, Sunan Abi Daud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa’I dan Sunan Ibnu Majah 14 yang dimaksudkan adalah kitab Shahih bukhari, Shahih muslim, Sunan Abi Daud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa’I dan Sunan Ibnu Majah

Karenanya apa yang diungkapkan Dr Thaha Husein tentang kitab Mukhtasar Ibnu Hajib dan Kitabul Aghani, tidaklah benar

Kenyataanya, Sesungguhnya Ibnu Hajib telah membuat Mukhtasan (ringkasan) yang terkenal akan Fiqh Imam Malik yang dikenal dengan Mukhtasar Al Fiqh atau Far‟ie atau Al Jami‟ bainal Ummahat. Ia telah mengkonsentrasikan dirinya dengan menggabungkan semua penjelasan yang teramat banyak dari orang-orang yang suka menjelajah dalam mencari ilmu, seperti: Qadhi Ibnu Abdussalam At Tunisy, guru Ibnu Khaldun

dan juga Isa bin Mas’ud Al Munkilaty. Syarah (penjelasan) dari keduanya itu bisa didapatkan di penerbit Darul kutub

Misriah. Selain itu, ia pun diberi penjelasan lebih banyak lagi dari para ahli fiqh dari Mesir seperti: Syeikh Khalil Al Maliki, yang akhirnya penjelasannya ini dibentuk dalam suatu buku yang disebut Taudhih yang diterbitkan pula oleh Darul Kutub Misriah. Kitab inilah yang dipelajari oleh Ibnu Khaldun –yang DR Thaha Husein mengira ia tiada wujudnya. Ibnu Khaldun telah menyebutkan di bukunya Mukaddimah, Bab VI penjelasan terperinci akab kitab ini dan waktu sampainya kitab itu ke Maroko, juga waktu penyebarannya dan dimulainya banyak diskusi akan kitan tersebut di negaranya, dengan mengatakan:

„Ibnu bin Zaid telah mengumpulkan semua permasalahan, khilafiah ( pertentangan) dan ungkapan yang ada di setiap buku-buku utama, dan dibukukan menjdadi buku

yang berjudul „Nawadir‟... Ibnu Yunus menukil sebagian besar darinya kedalam kitabnya yang diberi

nama „Al Mudawwanah‟. Lalu kedua buku itu dijadikan nama „Al Mudawwanah‟. Lalu kedua buku itu dijadikan

mukhtasarnya dan membawanya.

dan

lalu mencopy

Qatar dan mengajarkannya kepada para murid-muridnya. Lalu sebagian murid-muridnya berpindah ke seluruh penjuru Maroko. Para sarjana Fiqh di Maroko mempelajari dan mengupas habis akan kitab tersebut refleks akan kesenangan guru mereka, Nashiruddin dalam membaca sdan memahaminya. Kitab inipun makin diperjelas dengan keterangan-ketrangan guru mereka seperti Abdussalam, Ibnu Rusdi, Ibnu Haru; yang kesemuanya adalah para guru besar yang berasal dari Tunis. diantara mereka yang paling bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya adalah Ibnu Abdussalam. (Mukaddimah: Bayan hal 1025).

Lalu

ia berpindah ke