PERANG BUBAT, REPRESENTASI SEJARAH ABAD KE-14 DAN RESEPSI SASTRANYA

PERANG BUBAT, REPRESENTASI SEJARAH ABAD KE-14 DAN RESEPSI SASTRANYA BUBAT WAR, THE 14TH CENTURY’S REPRESENTATION OF HISTORICAL AND LITERATURE RECEPTION

Yeni Mulyani Supriatin

Balai Bahasa Jawa Barat, Jln. Sumbawa Nomor 11, Bandung e-mail: [email protected]

Naskah Diterima:15 Januari 2018

Naskah Direvisi:18 Februari 2018

Naskah Disetujui:3 Maret 2018

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengungkap peristiwa Perang Bubat yang terjadi pada abad ke-14 atau tahun 1357 M dan resepsi sastranya. Masalah yang dibahas adalah bagaimana latar belakang terjadinya Perang Bubat, reaksi, dan tanggapannya. Teori yang digunakan adalah resepsi sastra. Metode untuk pengumpulan data adalah kualitatif dengan menerapkan prinsip resepsi sastra. Hasil penelitian menggambarkan bahwa terjadinya Perang Bubat disebabkan Raja Sunda tidak tunduk pada kehendak Gajah Mada dan Gajah Mada ingin menyatukan Nusantara. Resepsi sastra terhadap Perang Bubat dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu resepsi dari aspek kesejarahannya, resepsi pengaruhnya terhadap penciptaan karya baru, dan resepsi terhadap struktur sastra. Simpulan penelitian ini adalah peristiwa Bubat diresepsi setelah dua abad berlalu, yaitu pada abad ke-16 dan peristiwa tersebut diresepsi ulang pada abad ke-20-an. Hasil resepsi sastra dari abad ke-18 sampai dengan abad ke-20 cukup beragam. Keberagaman resepsi itu menunjukkan bahwa terdapat perbedaan horizon harapan pembaca.

Kata kunci: Perang Bubat; resepsi sastra; dan horizon harapan.

Abstract

This study aims to reveal the events of the Bubat War that occurred in the 14th century or the year 1357 AD and literary receptions that emerged after the incident occurred. The issue discussed is how the background of the Bubat War and the reactions and responses to the event through literary receptions. The theory used in analyzing data is literary receptions. The method used for data collection is qualitative by applying the principle of literary receptions. The results of this study illustrate that the background of the Bubat War have two versions and both controversial, the first version because the King of Sunda entourage do not obey to the will of Gajah Mada, on the other hand, the second version is that Gajah Mada tactics in unifying the archipelago while the Kingdom of Sunda is a state that has not been submitted. Literary receptions to the War of Bubat can be grouped into three, they are the reception of its historical aspect, the reception of its influence on the creation of new works, and the reception of the literary structure. The conclusion of this research is Bubat event was perceived after two centuries passed, in the 16th century and the event was redrawn in the 20th century. Results of literary receptions in the 18th century until the 20th century quite diverse. The diversity of the receptions shows the

difference in the horizon of readers' expectations.

Keywords: Bubat War; literary receptions; and the expectation horizon.

pada abad ke-14. Perang Bubat berawal Hingga abad ke-14, Kerajaan Sunda dari keinginan Prabu Hayam Wuruk masuk kategori kerajaan besar dan tidak memperistri Dyah Pitaloka Citraresmi, terkalahkan. Sampai akhirnya pecah Putri Prabu Linggabuana. Selain terpesona Perang Bubat pada tahun 1357 M atau pada wajah putri yang cantik, Prabu

A. PENDAHULUAN

52 Patanjala Vol. 10 No. 1 Maret 2018: 51 - 66 Hayam Wuruk ingin mengikat persekutuan Mada, tetapi ada juga yang berpendapat

dengan Negeri Sunda. Setelah melamar bahwa dalam peristiwa tersebut Gajah Dyah Pitaloka, Prabu Hayam Wuruk Mada hanyalah korban. memutuskan bahwa upacara pernikahan

Yang menjadi masalah dalam akan berlangsung di Majapahit.

penelitian ini adalah bagaimana terjadinya Meskipun mendapat tantangan dari peristiwa Perang Bubat dan bagaimana dewan kerajaan, Prabu Linggabuana, Dyah resepsi sastranya. Tujuan penelitian adalah Pitaloka, dan rombongan pergi ke menunjukkan latar belakang terjadinya Majapahit. Rombongan itu diterima dan Perang Bubat dan untuk mengungkapkan ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.

peristiwa Perang Bubat atas resepsi Mahapatih Gajah Mada yang ingin sastranya. mewujudkan Sumpah Palapa, menyatukan

Penelitian terhadap pembaca, baik Nusantara memanfaatkan situasi yang pembaca sejarah (dalam hal ini Perang tengah terjadi. Kedatangan rombongan itu, Bubat) maupun pembaca karya sastra dipandang sebagai tanda takluk Kerajaan masih terbatas. Hal ini, antara lain karena Sunda dan Dyah Pitaloka dipandang peneliti terfokus pada teks yang terdapat sebagai upeti. Prabu Linggabuana menolak dalam karya sastra. Padahal, peranan tawaran Gajah Mada. Sebagai ksatria pembaca yang tidak mengetahui proses Sunda, ia lebih baik mati memertahankan kreatif pengarang memegang peran kehormatan

daripada

takluk

pada penting.

superioritas Majapahit. Pembaca sebagai peresepsi atau Perang pun terjadi. Perang yang penerima, yang menerima sebuah karya tidak seimbang antara prajurit Gajah Mada dapat

menikmati, menilai, dan dan

Sunda memanfaatkan pesan yang terkadung di mengakibatkan

rombongan

Raja

gugurnya Prabu dalam karya itu. Bahkan, dalam resepsi Linggabuana dan rombongannya.

sastra, penulis atau pengarang yang Peristiwa Perang Bubat pada abad mengetahui seluk-beluk karyanya tidak ke-14 tersebut mendapat sambutan dan dipandang keberadaannya. tanggapan

Penelitian ―Perang Bubat pada Abad masyarakat Jawa berupa tulisan-tulisan, ke-14 dan Res epsi Sastranya‖ secara baik berupa kritik, artikel, dan karya sastra. kepustakaan belum ada yang meneliti. Tulisan-tulisan yang berkaitan dengan Yang ada adalah penelitian tentang novel- Perang Bubat tersebut dapat dipandang novel Indonesia yang bertema Perang sebagai respon masyarakat (pembaca) yang Bubat, kritik tentang Perang Bubat yang dalam istilah sastra disebut dengan resepsi dipublikasikan dalam surat kabar, resensi sastra. Sambutan dan tanggapan terhadap tentang Perang Bubat dalam surat kabar. Perang Bubat yang disebut resepsi sastra Hidayat (2015) meneliti ―Pandangan itu wujudnya, antara lain lahirnya Dunia Orang Sunda dalam Tiga Novel penciptaan karya satra atas peristiwa Indonesia tentang Perang Bubat‖. Perang Bubat, kritik sastra, resensi, dan Kemudian, Asmalasari (2010) meneliti penelitian yang terbit dalam bentuk artikel ― Peristiwa Perang Bubat dalan Novel jurnal.

Perang Bubat Karya Yoseph Iskandar dan Peristiwa Bubat pada abad ke-14 Novel Gajah Mada, Perang Bubat Karya

dan resepsi sastranya yang muncul Langit Kresna Hariadi (Kajian Sastra beberapa

abad kemudian

menarik Bandingan)‖.

dibicarakan karena

Sementara itu, tulisan tentang konfigurasi pendapat, tanggapan, kritik Perang Bubat yang lain didominasi oleh

menggambarkan

dan pandangan. Di antara tanggapan resensi, artikel dalam surat kabar, dan tersebut ada yang berpandangan bahwa artikel dalam majalah. Sumarjo (2013) perang itu terjadi karena ambisi Gajah menulis artikel tentang ―Sekitar Perang

Perang Bubat..... (Yeni Mulyani)

53 Bubat‖ dan Imran (2009) menulis artikel lewat sistem konvensi sastra yang

tentang ―Perang Bubat yang Lain‖. dimanfaatkan dalam karyanya. Penelitian dan artikel dalam surat kabar

(2001: 253) serta majalah tersebut meneliti serta mendeskripsikan bahwa teks memiliki memberi ulasan atau kritik tentang ―tempat-tempat terbuka‖ atau yang dikenal peristiwa Perang Bubat yang terdapat dengan istilah openness atau blank. Proses dalam novel karya Yoseph Iskandar atau pembacaan adalah mengisi tempat-tempat tentang Perang Bubat karya Langit Kresna terbuka tersebut. Ternpat terbuka tejadi Hariadi.

Sastriyani

karena sifat karya sastra yang asirnetris Sementara itu, penelitian ini sehingga apabila pernbaca berhasil mengkaji Perang Bubat dari sisi resepsi rnenjembatani

kesenjangan tersebut sastranya, yaitu melakukan penelitian komunikasi antara teks karya sastra dan terhadap

berupa pernbaca dapat dilakukan (Iser, 1980: 12). penelitian, kritik, artikel, karya sastra,

karya-karya

yang

Dalam kenyataan sejarah, tarnpak resensi yang berkaitan dengan Perang

bahwa teks cenderung berubah dan tidak Bubat. Para penulisnya, dipandang sebagai stabil wujudnya sepanjang masa (Teeuw, peresepsi atau penerima Perang Bubat.

1984: 250). Teks terbuka untuk mengalami Penelitian resepsi sastra terhadap perubahan. Perubahan yang diadakan Perang

Bubat dipandang penting dalam sebuah teks dapat dibedakan, sebagaimana diungkapkan oleh Wati perubahan rnungkin tejadi dalam ha1 (2013:3) bahwa penelitian resepsi sastra itu transliterasi dan penggarapan kembali baru bermakna apabila suatu teks sebuah teks. Adakalanya teks diubah atas mempunyai hubungan dengan pembaca. anjuran penerbit atau penyunting dengan Suatu teks membutuhkan adanya kesan alasan politik atau moralitas. yang tidak mungkin ada jika tidak ada

Sastriyani (2010) mengutip pendapat pembacanya.

Chamamah bahwa penelitian resepsi dapat Jadi, jika suatu teks tidak ada dilakukan dengan mempertimbangkan pembacanya, teks tersebut tidak bermakna.

kedudukan peneliti yang berupa penelitian Abdullah (1991: 73) mengatakan eksperimental, penelitian melalui kritik bahwa resepsi sastra adalah aliran yang sastra, keberadaan struktur teks, dan proses meneliti teks sastra dengan bertitik tolak penyalinan. Penelitian eksperimental pada pembaca yang memberi reaksi atau menerapkan objek estetik yang bermacam- tanggapan terhadap teks. Pembaca selaku macam, menetapkan perbedaan dan pemberi makna adalah variabel menurut persamaan antara objek estetik, dan ruang, waktu, dan sosial-budaya. Hal itu menetapkan relasi antarobjek estetik yang berarti bahwa karya sastra tidak sama ditemukan dari artefak. pembacaan, pemahaman, dan penilaiannya

Penelitian yang didasarkan pada sepanjang masa atau dalam seluruh kritik yang ada tidak mengacu pada karya golongan tertentu.

individual, tetapi tanggapan yang mewakili Menurut teori ini sambutan norma yang terikat pada masa tertentu dan terhadap karya sastra diarahkan oleh waktu tertentu. Dalam penelitian ini, dapat

―horizon harapan‖. Horizon harapan ini diungkap apabila ada pertentangan dan merupakan interaksi antara karya sastra ketegangan antara suatu pemakaian di luar

dan pembaca secara aktif, sistem atau konvensi dan suatu konvensi yang telah horizon harapan karya sastra di satu pihak mapan dalam suatu masyarakat dengan dan sistem interpretasi dalam masyarakat inovasi yang dilakukan oleh pengarang. penikmat di lain pihak. Horizon harapan Penelitian resepsi dilihat dari fisik teks karya sastra yang memungkinkan pembaca dapat berupa intekstual, penyalinan, memberi makna terhadap karya tersebut penyaduran,

dan penerjemahan sebenarnya telah diarahkan oleh penyair (Charnamah, 2001: 162-163).

54 Patanjala Vol. 10 No. 1 Maret 2018: 51 - 66 Pradipta (2009: 13) menyitir Konkretisasi yang tidak didasarkan pada

pendapat Luxemburg (1989: 62) dan struktur teks dan struktur sistem nilai tidak

Nyoman Kutha Ratna (2007: 167) bahwa relevan.

resepsi atau penerimaan dibedakan dengan Penerapan metode penelitian resepsi penafsiran. Resensi novel di surat kabar sastra bertolak dari uraian di atas dapat termasuk

penerimaan, sedangkan dirumuskan ke dalam tiga pendekatan, pembicaraan novel tersebut di majalah yakni (1) pendekatan resepsi sastra secara ilmiah termasuk penafsiran. Penerimaan eksperimental, (2) penelitian resepsi sastra pembaca akan menjadi sumber energi lewat kritik sastra, dan (3) penelitian kreativitas.

Dari konkretisasi yang resepsi intertekstualitas. dilakukan pembaca terhadap suatu karya

Dalam penelitian ini digunakan cara sastra, akan lahir teks-teks baru yang bisa yang kedua, yaitu penelitian resepsi satra mencerminkan horizon harapan pembaca.

lewat kritik sastra. Langkah penelitian ini Dalam penelitian ini akan dibahas dilakukan dengan dua cara. Pertama, resepsi melalui kritik sastra, resepsi satra secara sinkronik dan kedua, secara dalam bentuk penelitian, dan resepsi sastra diakronik. Secara sinkronik maksudnya melalui resensi.

meneliti resepsi sastra dalam satu masa atau satu periode sehingga akan

menggambarkan horizon harapan pada Penelitian yang dilakukan terhadap masa itu. Lalu, secara diakronik dapat Perang Bubat pada Abad ke-14 dan meneliti resepsi sastra terhadap suatu karya Resepsi Sastranya menerapkan metode sepanjang perjalanan sejarahnya. resepsi sastra. Di dalam metode ini, peran

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menerapkan resespsi pembaca sangat menonjol, tetapi tetap sastra secara diakronik atau sepanjang dalam koridor pengarang dan karya sastra. masa. Peristiwa Perang Bubat terjadi pada Abdullah (1991: 75) mengutip pendapat abad ke-14. Resepsi sastra tentang perang Jauss (1992: 12-14) bahwa pembaca Bubat muncul pada abad ke-16 dan pada berperan aktif bahkan pembuat sejarah. abad-abad berikutnya. Resepsi sastra Sejarah sastra adalah proses resepsi estetik terhadap Perang Bubat pada abad ke-16 dan produksi yang bertempat dalam dan abad-abad berikutnya inilah yang realisasi teks sastra sebagai bagian dari akan menjadi pengamatan. resepsi sastra, refleksi kritikus, dan

Pengumpulan data dilakukan dengan pengarang

dalam kesinambungan cara melacak data resepsi sastra atau kreativitasnya.

tanggapan pembaca terhadap Perang Bubat Metode resepsi sastra mendasarkan setelah abad ke-14. Sumber tua yang diri pada teori bahwa karya sastra sejak menceritakan adanya peristiwa Perang terbit selalu mendapat tanggapan dari Bubat pada abad ke-16 adalah Kidung pembacanya. Menurut Jauss, apresiasi Sunda dan Pararaton yang berbahasa Jawa pertama pembaca terhadap karya sastra kuno dan Carita Parahiyangan yang akan dilanjutkan dan diperkaya melalui berbahasa Sunda kuno. Akhir-akhir ini tanggapan-tanggapan lebih lanjut dari muncul naskah Pangeran Wangsakerta generasi ke generasi.

dari Cirebon yang berbahasa Jawa yang Tugas resepsi estetik berkenaan juga menyambut adanya peristiwa Bubat. dengan interpretasi adalah meneliti

Kidung Sunda yang menjadi data konkretisasi pembaca terhadap sebuah teks penelitian ini berupa terjemahan Hasan sastra.

Pakar yang mengetahui Wirasutisna terbitan 1980. Kemudian, kemungkinan konkretisasi akan mampu Carita Parahyangan yang disalin pada memberikan interpretasi yang lebih masuk abad ke-16 atau awal abad ke-17 yang akal, apalagi jika konkretisasi itu diberikan disusun oleh Noorduyn tahun 1962. Carita oleh

pembaca-pembaca canggih. Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran

Perang Bubat..... (Yeni Mulyani)

55 Arya yang ditulis tahun 1720 dan sastra dari Yosep Iskandar pada abad ke-

diterbitkan tahun 1972. Buku Sejarah

20 akan menunjukkan persamaan dan Jawa Barat karya Saleh Danasasmita, dkk. perbedaan. Persamaan dan perbedaan diterbitkan oleh Pemda Jabar tahun 1984.

tersebut karena horizon harapan pembaca Pengumpulan

tersebut tidak sama. Di samping itu, ruang dan menghasilkan data yang cukup beragam, waktu akan menentukan hasil peresepsian. antara lain berupa buku, artikel jurnal,

data

Dengan demikian, resepsi sastra kritik sastra dan resensi dalam surat kabar terhadap Perang Bubat akan cukup dan majalah, dan karya sastra Indonesia beragam mengingat horizon harapan modern.

masyarakat datang dari berbagai kalangan. Data yang terkumpul diklasifikasi

dengan sejarah, berdasarkan jenis tanggapan. Kemudian, dipertanyakan apakah Perang Bubat itu dianalisis substansinya. Penganalisisan pernah terjadi atau hanya rekaan? data dilakukan terhadap tanggapan-

Berkaitan

Sumarjo (2013: 1) menerima Perang tanggapan. Analisis resepsi sastra terhadap Bubat sebagai peristiwa sejarah karena ada Perang Bubat itu diarahkan pada substansi tiga sumber tua yang menceritakan adanya dan horizon harapan si peresepsi.

peristiwa tersebut, yaitu Kidung Sunda, Analisis resepsi pembaca terhadap Pararaton yang berbahasa Jawa kuno, dan Perang Bubat akan memperlihatkan makna Parahiyangan yang berbahasa Sunda peristiwa Perang Bubat secara lengkap.

kuno. Akhir-akhir ini muncul naskah Pangeran Wangsakarta dari Cirebon yang

C. HASIL DAN BAHASAN

berbahasa Jawa. Menilik sumber tua yang

berasal dari dua masyarakat yang terlibat Perang Bubat mengundang berbagai dalam Perang Bubat (Sunda dan tanggapan dan reaksi masyarakat terutama Majapahit) kemungkinan besar tidak setelah peristiwa itu diceritakan atau saling berhubungan, dapat ditafsirkan dicatat dalam buku yang berbahasa Sunda bahwa Perang Bubat adalah peristiwa dan Jawa. Resepsi masyarakat terhadap sejarah. muncul abad ke-16 sampai dengan abad

1. Perang Bubat dan Resepsi Sastranya

Sumber tertulis tersebut berasal dari ke- 21. Secara umum resepsi sastra dari abad ke-16, sedangkan Perang Bubat abad ke abad nyaris menanggapi terjadi pada abad ke-14. Jadi, terdapat kepahlawan Raja Sunda, keberanian Putri selisih dua abad antara peristiwa itu terjadi Dyah Pitaloka, kebesaran Kerajaan dan tuturannya. Meskipun demikian, Majapahit, dan kekuatan Patih Gajah ingatan kolektif masyarakat pada peristiwa Mada.

tersebut masih cukup kuat yang kemudian Resepsi sastra terhadap Perang tertuang dalam tradisi sastra kedua Bubat tersebut berupa penceritaan kembali, masyarakat. komentar dan tanggapan tentang sejarah

Ekajati dalam Hidayat (2015: 103) Sunda, karya sastra, penilaian atau resensi, berpendapat bahwa Perang Bubat adalah dan kritik sastra. Tanggapan terhadap peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada Perang Bubat tercatat pada abad ke-16, abad ke-14 yang melibatkan Kerajaan abad ke-17, abad 19, dan muncul kembali Sunda dan Kerajaan Majapahit. Disebut abad ke-20.

peristiwa sejarah karena Perang Bubat Resepsi sastra terhadap Perang tercatat dalam beberapa sumber tradisional Bubat secara substansi sangat bergantung historiografi Nusantara seperti dalam kitab pada horizon harapan pembacanya saat Pararaton ,

Kidung Sunda , Kidung tanggapan itu dikemukakan, misalnya Sundayana, dan Carita Parahiyangan. resepsi sastra dari Hasan Wirasutisna pada

Sementara itu, Anugrah (2015: 3) abad ke-16, resepsi sastra dari Pangeran menyitir pendapat Aminuddin Kasdi, Wangsakerta abad ke-18, dan resepsi sejarawan Universitas Negeri Surabaya,

56 Patanjala Vol. 10 No. 1 Maret 2018: 51 - 66 bahwa sebagai sumber sejarah, Kidung Yoseph Iskandar, Dyah Pitaloka: Senja di

Sunda, merupakan sumber sekunder, langit Majapahit (2005) karya Hermawan bahkan tersier. Berbagai fakta sejarah di Aksan, Perang Bubat: Tragedi di Balik dalamnya tidak sesuai dengan sumber- Kisah Cinta Gajah Mada dan Dyah sumber lain yang lebih kredibel seperti Pitaloka (2009) karya Aan Merdeka prasasti. Perlu diperhatikan pula bahwa Permana, Gajah Mada, Perang Bubat pada abad ke-19, kurun waktu penulisan (2006) karya Langit Kresna Hariadi. Kidung

Hadirnya karya sastra yang munculnya

Sunda, merupakan

masa

sastra bertema Perang Bubat, dapat dipandang kontroversial.

beberapa

karya

sebagai bentuk resepsi sastra yang Edi Sedyawati dalam (Anugrah, mengimplikasikan bahwa Perang Bubat 2015: 4) bahkan menyoroti peran mendapat perhatian tidak saja oleh Pemerintah

Kolonial dalam masyarakat sezaman, tetapi menembus memperkenalkan Peristiwa Bubat kepada zaman hingga masyarakat modern.

khalayak. ―Oleh Pemerintah Belanda, Kidung Sunda ditampilkan dalam Kidung Sunda dijadikan bahan ajar bagi bentuk puisi yang ditembangkan. Peresepsi siswa di Algemeene Middelbare School Kidung Sunda mendeskripsikan Raja (AMS). Mengapa tidak menggunakan Hayam Wuruk yang masih muda mengutus karya sastra yang lebih dikenal seperti patih muda melamar putri Maharaja di Ramayana dan Bharatayudha. Ada Galuh setelah melihat gambar putri dalam kepentingan Beland a di dalamnya,‖ ujar lukisan karya Arya Prabangkara. Maharaja Sedyawati, mengaitkan terbitnya teks-teks Sunda bersyukur kepada Yang Maha Sunda yang dekat dengan peristiwa Kuasa karena mendapat anugerah, putrinya Sumpah Pemuda.

Pasundan-Bubat diambil sebagai permaisuri Raja Agung menjadi misteri yang butuh dipecahkan. Majapahit yang menguasai tujuh raja di Karena peristiwa itu tertanam dalam Pulau Jawa. Raja Galuh memimpin ingatan kolektif masyarakat.

rombongan pengantin perempuan menuju Beberapa

pendapat

tersebut Majapahit.

mengimplikasikan adanya kontroversi Sampai di Pesisir Galuh, Raja tentang peristiwa Perang Bubat, yaitu Galuh termenung memandang

laut antara peristiwa sejarah yang benar terjadi berwarna merah darah dan gagak dan suatu rekayasa demi kepentingan melayang-layang di udara meneteskan politik.

darah ke laut. Raja Galuh menangkap Terlepas dari itu, Perang Bubat gelagat

bakal datangnya yang terjadi pada abad ke-14 telah malapetaka. Raja Galuh pasrah, kalaupun meramaikan jagat sastra Sunda dan hal itu terjadi, ia menerimanya sebagai Indonesia.

buruk

takdir.

pedalaman dari pelabuhan Ujung Galuh menyusuri sungai

Memasuki

2. Resepsi Sastra Berupa Pengaruh

dan sampailah di Bubat menunggu

jemputan Raja Hayam Wuruk. Raja dan Peristiwa Perang Bubat pada abad yang lain gembira Raja Sunda tiba dengan ke-14 mendapatkan tanggapan dan selamat , tetapi Patih Gajah Mada kecut sambutan dari masyarakat. Masyarakat karena tidak menyetujui kehendak Raja merespon peristiwa tersebut melalui karya- beristri Putri Galuh. Ia usul kepada Raja karya sastra.

terhadap Lahirnya Karya Baru

agar menunda pertemuan dengan Raja Karya sastra daerah adalah Carita Sunda dengan pertimbangan wibawa dan Parahyangan, Kidung Sunda, Pararaton, keagungan raja serta Kerajaan Majapahit Carita

Nagari. akan turun di mata raja-raja Pulau Jawa Kemudian, karya sastra Indonesia modern, dan Nusantara. Kata-kata Gajah Mada yakni Sang Mokteng Bubat (1991) karya memengaruhi sikap Hayam Wuruk.

Purwaka

Caruban

Perang Bubat..... (Yeni Mulyani)

57 Desas-desus tersebut terdengar Wangsakerta. Oleh karena itu naskah

oleh Raja Galuh. Ia mengutus para tersebut

dengan naskah patihnya ke istana Hayam Wuruk. Di Wangsakerta . Wangsakerta dipandang Gerbang istana, mereka melihat Gajah masih berharga untuk mengetahui tentang Mada sedang rapat dengan petinggi negara. Perang Bubat. Wangsakerta menurut Gajah Mada mengabaikannya meskipun ia Sumarjo (2013: 15) menambah informasi melihat ke arah rombongan. Gajah Mada bahwa Raja Majapahit, Hayam Wuruk menegur utusan Raja Sunda sebagai orang meminta maaf kepada Prabu Maharaja tidak paham tata krama. Terjadilah Sunda atas peristiwa Perang Bubat. perdebatan sengit. Gajah Mada menyindir

disebut

Kemudian, dilakukan rekonsiliasi Raja Sunda yang datang tidak membawa kedua kerajaan. Kidung Sunda, Pararaton, persembahan. Utusan Raja Sunda tidak dan

Parahyangan tidak menerima tuduhan itu. Karena Gajah Mada menyebutkan kelanjutan kisah setelah meminta

Carita

sebagai terjadinya Perang Bubat. Jadi, hanya persembahan, sedangkan Raja Sunda naskah

Putri

Galuh

Wangsakerta yang menolak keinginan itu maka terjadilah menggambarkan beberapa peristiwa yang perang.

berbeda dengan karya-karya itu, seperti Kisah yang disajikan dalam menunjuk biang kesalahan pada Patih Kidung Sunda dapat ditafsirkan bahwa Gajah Mada. Perbedaan dan persamaan terjadinya

karena tanggapan tersebut menunjukkan bahwa pengkhianatan Gajah Mada. Horizon horizon harapan si peresepsi tidak sama. harapan

Perang

Bubat

Sunda Peresepsian yang tidak sama menambah menjunjung nilai-nilai sebuah harga diri wawasan

peresepsi

Kidung

masyarakat yang ingin dan martabat seorang raja dan putri raja mengetahui tentang Perang Bubat. yang lebih baik mati berkalang tanah

masyarakat yang daripada

Tanggapan

tidak berkaitan dengan Perang Bubat terdapat membanggakan rakyat dan negaranya. pula dalam Pararaton, sebuah naskah kuno Peresepsi Kidung Sunda juga meyakini yang berasal dari Jawa Timur. adanya suatu firasat buruk yang akan

selamat,

tetapi

Secara garis besar horizon menimpa rombongan jika ada yang harapan yang tertuang di dalam kitab ini melihat tanda-tanda merah, darah, gagak tidak jauh berbeda dengan Kidung Sunda yang dalam perjalanan sudah tampak.

dan Carita Parahyangan. Hanya di bagian Namun, hal itu tidak diterima secara akhir terdapat pernyataan bahwa… marah, panik, dan gusar. Tanda-tanda alam ―Menikmati masa istirahat menjadi yang diyakini sebagai kearifan lokal.

Mangkubumi selama 11 tahun di Carita Parahyangan meresepsi Majapahit‖. Implikaisnya adalah Gajah terjadinya Perang Bubat sebagai ulah Patih Mada selama menjadi Patih yang dalam Gajah Mada. Anugrah (2015: 2) Pararaton disebut Mangkubumi dipandang menyatakan bahwa pada abad ke-20, Berg, berhasil menaklukkan raja-raja Jawa dan sejarawan Belanda, menerbitkan teks dan menyatukan Nusantara dan Perang Bubat terjemahan Kidung Sunda pada tahun 1927 merupakan usaha terakhir Gajah Mada yang mengurai peristiwa Bubat dalam membawa Kerajaan Galuh berada di versi yang lebih pendek. Berg menyebut bawah naungan Majapahit. Jadi, dalam Kidung Sunda mengandung fakta sejarah.

Kitab Pararaton, Gajah Mada yang Beberapa abad kemudian, tepatnya dijuluki Mangkubumi dipandang sebagai tahun 1972, Pangeran Arya meresensi pahlawan. Perang Bubat dengan melakukan penulisan

Seiring waktu dan perubahan Purwaka Caruban Nagari yang bersumber zaman muncul resepsi masyarakat terhadap pada naskah yang lebih tua, yaitu Negara Perang Bubat dalam bentuk sastra modern

Kertabumi (1677)

karya

Pangeran seperti novel.

58 Patanjala Vol. 10 No. 1 Maret 2018: 51 - 66 Lahirnya novel Indonesia modern pernikahan itu untuk mempererat tali

yang bersumber pada peristiwa Perang persaudaraan antara Majapahit dan Sunda. Bubat merupakan penerimaan atau respon

adalah ketika masyarakat terhadap Perang Bubat dari rombongan Dyah Pitaloka tiba di Bubat, generasi yang lebih kemudian atau dapat dalam novel Perang Bubat, Hayam Wuruk dikatakan pandangan dan tanggapan tidak

Perbedaannya

dalam penjemputan pembaca yang paling mutakhir. Resepsi rombongan karena dilarang oleh Gajah sastra atas novel-novel tersebut dapat Mada, tetapi dalam novel Gajah Mada, diketahui dalam bagian 3.1.

hadir

Perang Bubat , Hayam Wuruk tidak hadir dalam rombongan penjemputan karena

3. Resepsi Sastra Berupa Unsur Karya

direkayasa oleh Lurah Arya Sentong. Setelah data diklasifikasi terdapat

dalam aspek resepsi sastra terhadap novel Indonesia pengkhianatan

Kemudian,

yang menceritakan modern

yang menanggapi unsur terjadinya Perang Bubat adalah kedua pembentuk struktur, seperti tokoh, alur, novel memiliki persamaan, yaitu terjadinya dan latar.

yang menyebabkan Peresepsian

Perang

Bubat

yang gugurnya rombongan Sunda karena membandingkan unsur struktur novel, pengkhianatan. Pengkhianatan itu terletak yaitu antara novel Perang Bubat Karya pada anggapan

sastra

bahwa kedatangan Yoseph Iskandar dan novel Gajah Mada, rombongan Sunda ke Bubat dipandang Perang Bubat karya Langit Kresna sebagai tanda takluk dan mengakui Hariadi.

107)) kekuasaan Majapahit. Hal itu ditolak oleh meresepsi dua novel tersebut dengan Raja Sunda. Perbedaannya, dalam novel membandingkan tokoh dalam Perang Perang Bubat, Hayam Wuruk mengetahui Bubat karya Yoseph Iskandar dengan siasat Gajah Mada yang menjadikan Dyah tokoh dalam novel Gajah Mada, Perang Pitaloka sebagai putri persembahan. Bubat karya Langit Kresna Hariadi. Tokoh Hayam Wuruk berada di bawah kendali yang dibandingkan adalah Hayam Wuruk, patihnya. Gajah Madalah yang mengatur Raja Sunda, Dyah Pitaloka, dan Gajah pemerintahan. Gajah Mada memegang hak Mada.

pandita ratu , yang

Perbandingan tokoh dalam dua diperintahkannya harus terwujud . novel tersebut ditanggapi dari sudut

Hayam Wuruk dalam novel Gajah pandang pengarang dengan memerhatikan Mada, Perang Bubat tidak mengetahui apa latar belakang pengarangnya.

pun tentang rencana Dyah Pitaloka Adanya tanggapan bahwa latar dijadikan upeti. Oleh karena itu, ia tetap belakang pengarang dan kultur etnik yang menjalankan berbagai ritual prapernikahan. berbeda, yaitu Sunda dan Jawa akan

Dalam aspek Ambisi, Gajah Mada menghasilkan sudut

pandang yang berambisi ingin menyatukan Nusantara di berbeda. Asmalasari menyoroti persamaan bawah panji-panji Majapahit. Kedua novel dan perbedaan sudut pandang dua tersebut sama-sama memiliki ambisi Gajah pengarang tersebut melalui aspek rencana Mada. Saat itu, hampir seluruh wilayah pernikahan, pengkhianatan, dan ambisi.

Nusantara bersatu kecuali Sunda. Gajah Dalam rencana pernikahan, novel Mada sangat ingin menaklukkan Sunda. Perang Bubat dan Gajah Mada, Perang Momen Bubat dijadikan jalan untuk Bubat memiliki persamaan, yaitu sama- mewujudkan cita-citanya. sama menceritakan keinginan Hayam

Perbedaan kedua novel tersebut Wuruk menikahi Dyah Pitaloka karena adalah dalam novel Perang Bubat, Gajah Raja Majapahit itu terpikat

oleh Mada adalah ―dalang‖ terjadinya Perang kecantikannya. Tujuan lain rencana Bubat. Pernikahan Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka dimanfaatkan untuk

Perang Bubat..... (Yeni Mulyani)

59 menaklukkan Sunda, sedangkan dalam

dunia tentang novel Gajah Mada, Perang Bubat, tokoh kepemimpinan dan harga diri terdapat Gajah Mada digambarkan sebagai korban. pada novel Sang Mokteng Bubat. Tokoh Ia diperalat oleh sebagian pendukungnya yang

Pandangan

acuan untuk yang

dijadikan

tidak menginginkan adanya mengidentifikasi pandangan dunia adalah pernikahan itu.

tokoh utama. Dalam novel itu, tokoh utama Adanya persamaan dalam novel adalah sang Prabu. Ketika sang Prabu tersebut dapat diinterpretasikan bahwa menghadapi masalah di Palagan Bubat, kedua pengarang, yaitu Yosep Iskandar yaitu ia dihadapkan pada dua pilihan yang dan Langit Hariadi Kresna dalam proses harus segera diputuskan: menerima atau kreatifnya mengacu pada sumber yang menolak usulan tokoh Mahapatih Gajah sama, yaitu peristiwa Perang Bubat, Mada agar tunduk pada Kerajaan sedangkan

terjadinya perbedaan Majapahit. Jika menerima, sang Prabu penerimaan yang berkaitan dengan tokoh- menjadi hina karena itu mengimplikasikan tokoh dalam novel menunjukkan bahwa tunduk kepada Raja Majapahit, jika selain horizon harapan terhadap Perang menolak berarti harus perang melawan Bubat yang tidak sama juga latar belakang prajurit Majapahit. Putusan yang diambil kultur pengarang cukup memengaruhi sang Prabu adalah memertahankan harga pencitraan tokoh.

diri sebagai raja dan orang Sunda. Hariadi sebagai

Dipandang dari resepsi pembaca, mencitrakan

orang

Jawa

sebagai Hidayat menerima Sang Mokteng Bubat protagonis yang menjadi korban sehingga sebagai pandangan dunia orang Sunda nama baiknya tetap terjaga, sedangkan yang berkaitan dengan jati diri orang Yoseph Iskandar sebagai orang Sunda Sunda yang lebih suka memertahankan memandang Gajah Mada sebagai penyebab harga diri daripada tunduk atau berada di terjadinya peristiwa Perang Bubat.

Gajah

Mada

bawah kekuasaan orang lain. Peresepsi

Pandangan dunia nomor 2, yaitu menanggapi dan menyambut novel yang pandangan dunia tentang perempuan yang bertema Perang Bubat secara stuktural teresepsikan melalui novel Dyah Pitaloka. adalah hasil penelitian Hidayat. Hidayat Protagonis novel, Dyah Pitaloka adalah (2015: 117) secara khusus menanggapi

Sunda yang bertekad pandangan tokoh dalam tiga novel tentang mengangkat derajat perempuan Sunda agar Perang Bubat, yaitu dalam Sang Mokteng sejajar dengan pria. Citra perempuan Bubat (1991) karya Yoseph Iskandar, Sunda yang dicita-citakannya tidak lagi

perempuan

Dyah Pitaloka: Senja di langit Majapahit seperti Dayang Sumbi atau Purbasari, (2005) karya Hermawan Aksan, dan tetapi seorang perempuan yang cakap, Perang Bubat: Tragedi di Balik Kisah pintar, dan ngelmu ‗ilmu olah tubuh‘.

Pitaloka berjuang (2009) karya Aan Merdeka Permana.

Cinta Gajah Mada dan Dyah Pitaloka Dyah

memertahankan kehormatan negerinya Hasil analisis terhadap pandangan sampai titik darah penghabisan. tokoh dalam menghadapi berbagai masalah

Pendirian dan pandangan Dyah yang dihadapinya dipandang sebagai Pitaloka dipandang sebagai pandangan

pandangan dunia orang Sunda. Pandangan dunia orang Sunda yang berkaitan dengan dunia orang Sunda dalam tiga novel perempuan. Perempuan Sunda harus tersebut adalah (1) pandangan dunia menjaga kehormatan negerinya sebagai tentang kepemimpinan dan harga diri, (2) yang utama, sedangkan urusan pribadi pandangan dunia tentang perempuan, dan harus menjadi nomor dua. (3) pandangan dunia tentang arti cinta,

Pandangan dunia nomor 3 adalah kepasrahan, dan kebahagiaan.

tentang arti cinta, kepasrahan, dan kebahagiaan yang teresepsikan dalam

60 Patanjala Vol. 10 No. 1 Maret 2018: 51 - 66 novel Perang Bubat: Tragedi di Balik

Yang menjadi tokoh sentral adalah Kisah Cinta Gajah Mada dan Dyah Dyah Pitaloka. Ia digambarkan sebagai Pitaloka. putri Linggabuawana yang cantik, cerdas, Protagonis novel, yaitu Dyah dan baik hati. Setelah menerima lamaran Pitaloka berpandangan bahwa sebagai Raja Hayam Wuruk, Dyah Pitaloka pergi perempuan apalagi perempuan putri raja, bersama rombongan Kerajaan Sunda harus menerima apapun yang menimpa menyongsong masa depan ke Tanah Jawa. pada dirinya dan harus pasrah. Sementara

Masa depan yang disambutnya di itu, Gajah Mada Muda atau Ramada luar dugaannya, Ia tidak sekadar berkelana mencari kebahagiaan sampai ke menyerahkan diri, tetapi mengantar Tanah Sunda. Ketika ―menjalin cinta‖ nyawanya. Putri Sunda itu tewas dengan dengan

Dyah Pitaloka, Ramada gagah berani di ujung tusuk konde. Ia menemukan kebahagiaan.

memilih mati bersama ayahanda dan Namun, kebahagiaan itu tidak abadi. rakyatnya demi membela kehormatan Sang Prabu, ayahanda Dyah Pitaloka, tidak negeri daripada takluk. berkenan menerima Gajah Mada sebagai

Penokohan novel ini dinilainya juga menantu karena alasan kelas. Gajah Mada sebagai sesuatu yang berlebihan terutama meneruskan

ke saat menggambarkan Hayam Wuruk Majapahit. Di sinilah, ia meniti karier sebagai Raja Majapahit yang gagah, tetapi sampai mencapai patih. Patih Gajah Mada menangis meratapi kematian Dyah menemukan kebahagiaan setelah berhasil Pitaloka, calon permaisuri yang tewas di menyatukan Nusantara dengan sumpahnya medan laga. yang termasyur, Sumpah Palapa .

perjalanan

sampai

Sulwesi sebagai penerima dan Hermawan

Aksan meresepsi pembaca novel Senja di Langit Majapahit peristiwa Perang Bubat sangat berbeda karya Hermawan Aksan juga menyoroti dengan

Ia aspek alur cerita yang diterimanya adanya menggambarkan hubungan asmara antara pengembangan alur. Pengembangan alur Dyah Pitaloka dan Gajah Mada sebelum dalam novel ini dipandang sebagai sesuatu Gajah Mada menjadi Patih Majapahit. Jadi, yang

novel-novel

lainnya.

menarik. Menurutnya, dalam novel ini sesungguhnya Gajah Mada pengembangan alur tampak dari upaya sudah mengenal Dyah Pitaloka ketika pengarang yang leluasa menggabungkan Rombongan Raja Sunda mendatangi antara fakta dan imajinasi. Fakta diperoleh Kerajaan Majapahit. Gajah Mada tidak rela dari peristiwa Perang Bubat, sedangkan kekasihnya akan diperistri Raja Hayam fiksi sebagai imajinasi dan kreativitas Wuruk. Hal ini antara lain yang menjadi pengarang. latar belakang terjadinya Perang Bubat.

Peresepsi sastra lain adalah Satria Kemudian, Sulwesi (2006: 1-3) (2008:1) menyoroti tokoh Dyah Pitaloka meresensi novel Senja di Langit Majapahit yang tidak menyerah pada keingingan karya Hermawan Aksan. Secara khusus Gajah Mada supaya takluk pada Raja

Sulwesi meresensi tokoh Gajah Mada dan Hayam Wuruk, sebagai upeti. Namun, Dyah Pitaloka. Ia menggambarkan Gajah Satria menyayangkan perempuan ini bunuh Mada dengan penokohan yang memiliki diri. Menurut Satria, Dyah Pitaloka dua sisi, yaitu sisi baik dan sisi buruk. Sisi seharusnya tidak bunuh diri. Ia harus tetap baiknya, Gajah Mada adalah seorang patih tegar dan meneruskan perjuangan ayahnya yang setia. Kesetiaannya kepada kerajaan yang membela negara sampai titik darah tidak perlu diragukan. Hidupnya pun penghabisan. dibaktikan demi kejayaan Majapahit. Sisi

Di sisi lain, Satria juga meresepsi buruknya, Gajah Mada adalah tokoh yang asal-muasal terjadinya Perang Bubat. ambisius, licik, dan keji.

Penulis artikel ini membuat semacam sinopsis yang isinya mengungkapkan latar

Perang Bubat..... (Yeni Mulyani)

61 belakang terjadinya perang. Analisis Satia Raksa (2012) secara khusus meresepsi

diawali dengan ketertarikan Hayam Wuruk buku Kidung Sunda dengan jud ul ―Analisa kepada putri Sunda Galuh yang bernama Kidung Sunda‖. Ia membahas isi Kidung Dyah Pitaloka.

Sunda dengan detail. Bahasan Raksa lebih Namun, ketika antarkeluarga sudah tepatnya berupa kritik. saling menyetujui, Mahapatih Gajah Mada

Hal pertama yang dikritik oleh memiliki pemikiran lain. Ia memandang Raksa (2012: 1) adalah jumlah armada dan bahwa Sunda Galuh harus takluk kepada rombongan Raja Galuh ketika berkunjung Kerajaan Majapahit dan Dyah Pitaloka ke Kerajaan Majapahit. Armada kapal dianggap putri seserahan. Putri itu bukan kecil berjumlah 200 dan sejumlah kapal calon istri yang sederajat dengan Raja berukuran besar. Hitungan matematis Hayam Wuruk.

sederhana menurut Raksa jumlah itu Dalam

kaitannya dengan mengimplikasikan bahwa satu perahu rata- penerimaan pembaca, penulis artikel ini rata membawa 10 orang,

berarti mempertanyakan mengapa tokoh Dyah rombongan berjumlah 20.000 orang. Itu Pitaloka sampai bunuh diri? Untuk bukan jumlah sedikit. Boleh dikatakan menjawab pertanyaan itu agak sulit karena 20.000 orang adalah jumlah yang tidak

yang berlebihan untuk sebuah acara pernikahan. menerangkan secara detail apa motivasi

ada sumber

sejarah

Jumlah orang sebanyak itu cukup Dyah Pitaloka bunuh diri. Pemahaman untuk sebuah rencana penggempuran atau umum yang berkembang adalah karena penyerangan suatu negara atau kerajaan semua keluarga tewas di medan laga, Dyah lain pada saat itu. Pitaloka putus asa lalu bunuh diri.

Jika rencana penyerangan terhadap Satria juga menilai Langit Krisna kerajaan lain itu benar, yang menjadi Hariadi termasuk pengarang kreatif yang pertanyaan adalah mengapa istri dan putri memanfaatkan peristiwa Perang Bubat Raja Galuh ikut dalam perjalanan itu? sebagai novel yang di dalamnya

Raksa menerimanya sebagai sesuatu mengandung kisah cinta romantik dengan yang biasa atau lumrah. Keikutsertaan istri akhir yang tragis. Ia menampilkan kisah dan putri

dalam perjalanan hidup Dyah Pitaloka yang sebenarnya pertempuran hal yang wajar seperti yang sudah terlanjur jatuh cinta kepada seorang dilakukan oleh pasukan Mongol —yang rakyat jelata yang bernama Saniscara.

raja

melakukan perjalanan panjang ke negara Saniscara adalah seorang pemuda lain sering membawa keluarga--. Mereka yang

keluarga sekaligus mencurahkan rasa cintanya pada Dyah memanfaatkannya untuk persiapan upacara Pitaloka melalui lukisan. Lukisan yang sebelum memulai perang. Keluarga juga mengabadikan Dyah Pitaloka inillah yang dalam perjalanan panjang dapat menjadi akhirnya sampai ke tangan Hayam Wuruk.

pandai melukis.

Ia selalu membawa

motivator, menambah semangat tempur Kisah cinta Dyah Pitaloka dengan bagi raja dan pasukan. Saniscara gagal di tengah jalan. Dyah

Interpretasi bahwa Raja Galuh Pitaloka dan Saniscara tidak mungkin berangkat ke Bubat akan perang diperkuat sampai ke pernikahan karena faktor politik oleh sebuah pernyataan dalam Kidung dan status sosial yang berbeda.

Sunda:

Sunda akan pembaca untuk bereksplorasi tentang

Hal ini memberikan ruang bagi

―Orang

mempersembahkan putri raja, tetapi apakah sesungguhnya cinta harus dihalangi

diperkenankan oleh oleh norma-norma seperti politik dan

tidak

bangsawan-bangsawannya. Mereka status sosial?

sanggup gugur di medan perang, Pembaca lain yang juga menanggapi

menyerah, akan peristiwa Perang Bubat adalah Raksa.

tidak

akan

mempertaruhkan darahnya. ‖

62 Patanjala Vol. 10 No. 1 Maret 2018: 51 - 66 Pernyataan tersebut memberikan menunjukkan superioritas perekonomian

informasi adanya pemberitahuan dari Raja dan kemampuan dana yang besar. Sunda Galuh kepada para bangsawannya

Kemudian, Raksa (2012: 4) juga tentang penyerahan putri raja sebagai tidak menerima isi Kidung Sunda yang di persembahan bagi Raja Majapahit

dalamnya mendeskripsikan perjalanan Para bangsawan menolak pilihan itu. Raja Sunda Galuh menuju Kerajaan Artinya, teori rencana penyerahan sang Majapahit untuk menemui Raja Hayam putri yang akan dinikahkan dengan Raja Wuruk. Hayam Wuruk tidak pernah terjadi. Yang

Menurut Raksa, tradisi Jawa atau ada Raja Sunda Galuh dan pembesar istana Sunda, dan di mana pun dalam pernikahan, sepakat menyatakan perang terhadap laki-laki pihak laki-laki yang harus datang Majapahit.

ke tempat calon istri. Ini sebaliknya. Jika Simpulannya, Perang Bubat ini Raja Sunda Galuh dan pasukannya yang sudah direncanakan sebelumnya. Daerah digambarkan dalam Kidung Sunda Bubat sengaja dipilih karena lokasi ini dikatakan merasa terhina sebagai alasan dipandang sebagai daerah strategis yang untuk berperang pada saat itu karena sudah ditetapkan untuk menggepur dminta takluk secara miliiter oleh Gajah Kerajaan Majapahit

Mada, secara logika itu tidak mungkin. Perumpamaan yang lain menurut Jika alasan perang seperti itu, sebenarnya teori Raksa adalah perjalanan berlayar dari sejak awal dia sudah menghinakan diri tanah Sunda ke tanah Jawa ujung timur dengan datang mengantar Putri Citraresmi dipastikan menggunakan perahu yang sebagai calon istri Raja Majapahit, Hayam memuat jumlah personil lebih dari tiga Wuruk. puluh orang dalam satu perahu. Jika

Jadi, hal ini merupakan paradoks dijumlahkan dari rata-rata satu buah, total yang tidak dapat diterima. Jika memang di jumlah orang mencapai 60.000 orang. daerah tertentu terdapat pihak perempuan Jumlah yang fantastis untuk sebuah mendatangi

laki-laki dalam rencana

pihak

pernikahan, itu membumihanguskan Kerajaan Majapahit merupakan kebenaran yang tidak dapat yang sedang melakukan invansi ke luar diterima. wilayah kerajaan.

penyerangan

sekaligus kaitannya

dengan

Kemudian, Raksa (2012: 8) Raksa memberi dua kemungkinan mengungkapan satu nilai yang paling tentang perahu yang digunakan rombongan menonjol dalam Kidung Sunda, yaitu nilai Sunda Galuh. Perahu itu produksi rakyat kepahlawanan. Nilai ini tampak dari Sunda Galuh dengan teknologi pada masa pasukan Sunda Galuh. Kepahlawanan itu yang sangat dimungkinkan atau bisa pasukan Sunda Galuh tidak mengenal kata jadi hasil membeli dari negara lain karena menyerah. Mereka perang seperti model perahu yang digunakan adalah perahu perang puputan, yaitu perang sampai besar yang mirip dengan perahu tentara habis-habisan. Mereka memiliki semangat Mongol waktu menyerang Kerajaan perang sampai titik darah terakhir. Mereka Kediri

pada masa pemerintahan gugur sebagai pahlawan perang. Jayakatwang.

Nilai kepahlawan ini sangat Raksa menduga perahu dibeli dari membanggakan dan mengharukan bagi Kerajaan Sriwijaya karena kerajaan itu siapa pun yang membacanya. Di sini pun terkenal mempunyai teknologi maritim digambarkan pihak lawan, yaitu pasukan yang unggul. Selain itu, sesuatu yang wajar Kerajaan Majapahit merasa terharu kepada jika kapal yang digunakan merupakan pasukan Sunda Galuh. Untuk itu, pasukan kapal megah yang sangat luar biasa karena Kerajaan

Majapahit memberi Kerajaan Sunda Galuh hidup makmur dan penghormatan pada pasukan yang gugur. besar

wilayah kekuasaannya

ingin

Perang Bubat..... (Yeni Mulyani)

63 Hal terakhir yang diresepsi oleh Ramadhan menerima adanya benang

Raksa (2012: 12) adalah perihal merah antara Bhayangkara saat ini dengan kekalahan pasukan Sunda Galuh. Raksa Bhayangkara

pada masa Kerajaan menginterpretasi

kekalahan tersebut Majapahit. Realitas polisi saat ini disebabkan pasukan Sunda Galuh tidak mengingatkan kembali pada sepak terjang terlatih dalam perang, sedangkan pasukan Patih Gajah Mada beserta pasukan Kerajaan

sedang Bhayangkaranya yang berambisi untuk menginvasi negara lain sering perang. menaklukkan seluruh Nusantara. Bahkan, Bahkan dalam Kidung Sunda dinyatakan pada masa kejayaannya hampir seluruh bahwa Gajah Mada mempunyai pasukan kerajaan di Asia Kecil berada di bawah elit intelejen yang bernama Bayangkara. kekuasaan

Majapahit

yang

Kerajaan Majapahit. Pasukan yang telah terlatih dan terdidik Penaklukkan tersebut harus terhenti ketika mendekati sempurna.

terjadi tragedi pembantaian rombongan Mahapatih Gajah Mada

dan pengantin dari Kerajaan Sunda di Tanah pasukannya bekerja keras mencari strategi Bubat oleh ambisi Gajah Mada yang tidak perang dalam menghadapi pasukan musuh rela akan adanya pernikahan antara putri yang jumlahnya cukup banyak.

musuhnya dengan Raja Peresepsian Raksa terhadap Kidung Majapahit. Pada masa itu Kerajaan Sunda Sunda dengan peresepsian pencipta Kidung merupakan kerajaan yang sulit untuk Sunda yang diterjemahkan oleh Hasan dikalahkan. Wirasutisna terhadap terjadinya Perang

kerajaan

Raden Wijaya sebagai Raja Bubat menunjukkan perbedaan yang Majapahit merasa kecewa dan dikhianati sangat mencolok. Pencipta Kidung Sunda hingga harus memberi sanksi pada yang meresepsi peristiwa Perang Bubat panglima dan pasukannya. Kisah Gajah pada abad ke-16 memandang kepergian Mada dan pasukan Bhayangkara pada rombongan Raja Sunda memenuhi masa penaklukkan Majapahit seperti pinangan Raja Majapahit, sedangkan terulang kembali pada masa modern. Polisi Raksa yang meresepsi peristiwa Perang kini lebih ditakuti oleh masyarakat karena Bubat pada abad ke 22 atau tepatnya tahun cenderung melakukan tindakan di luar 2012 memandang tujuan keberangkatan wewenangnya. Demikian penerimaan rombongan Raja Sunda Galuh yang Ramadhan dalam penafsiran

ulang disertai istri dan putrinya serta membawa terhadap peristiwa Perang Bubat. sejumlah prajurit ke Jawa sengaja akan berperang. Raksa sebagai peresepsi dari

4. Resepsi Sastra terhadap Unsur Luar

generasi modern yang horizon harapannya

Karya

lebih luas dan hidup pada zaman Yang dimaksud resepsi sastra modernisasi dapat menilai alat transportasi secara sosiologis adalah tanggapan yang digunakan rombongan Raja Sunda pembaca terhadap unsur di luar struktur sebagai produksi Sunda Galuh atau sastra seperti pengarang dan pembaca. mungkin saja dibeli dari Kerajaan Firdaus (2006: 3) melaporkan hasil diskusi Sriwijaya yang pada saat itu sudah dan peluncuran novel ke-4 tentang Perang mempunyai teknologi maritim yang Bubat karya Langit Kresna Hariadi (LHK) unggul.

yang berjudul Gajah Mada: Perang Bubat Resepsi terhadap Perang Bubat yang yang diselenggarakan oleh Universitas menarik dan berbeda dari yang lain adalah Parahyangan dalam rangka ―Pekan yang ditulis oleh Ramadhan (2017: 16) Sejarah‖.

diskusi tersebut menyoroti penamaan Bhayangkara untuk peresepsian lebih diarahkan kepada Korps Kepolisian RI yang berasal dari pengarang. Diungkapkan bahwa LKH di

Dalam

nama pasukan khusus yang dipimpin oleh dalam novelnya menyampaikan Gajah Mada pada saat Perang Bubat. keberpihakan bukan kepada dua kubu yang

64 Patanjala Vol. 10 No. 1 Maret 2018: 51 - 66 berkonflik, melainkan kepada nalar dan Permana dalam novelnya Perang Bubat