BAB II PENGARUH HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP HUKUM WARIS ADAT PADA MASYARAKAT GAYO DI KABUPATEN ACEH TENGAH A. Sejarah Masuknya Islam Di Gayo Kabupaten Aceh Tengah - Pengaruh Hukum Waris Islam Terhadap Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Gayo (Studi Di Kabupat

BAB II PENGARUH HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP HUKUM WARIS ADAT PADA MASYARAKAT GAYO DI KABUPATEN ACEH TENGAH A. Sejarah Masuknya Islam Di Gayo Kabupaten Aceh Tengah Agama Islam pertama kali masuk ke Perlak dan Pase abad pertama hijrah atau

  abad ke 8 Masehi, orang Gayo yang bermukim disana secara berangsur-angsur mulai memeluk agama Islam. Ketika sebuah angkatan dakwah Islamiyah berjumlah 100 orang yang terdiri dari orang-orang Arab, Persia dan India dipimpin oleh Nakhoda Syahir Nuwi dari Teluk Kambey Gujarat berlabuh di teluk Perlak pada tahun 173 H atau 800 M, orang-orang Gayo yang bermukim diwilayah itu membaur dengan mereka dalam proses pemerintahan dan kemasyarakatan, diikat oleh tali persaudaran Islam. Pada waktu itu semua orang Gayo masuk Islam yang sebelumnya menganut

  27 animisme.

  Adat dan budaya masyarakat Gayo pada zaman Pra-Islam yang bersifat animisme masih tetap ada, bahkan perbuatan tercela seperti menghisap candu, mencuri, berjudi, menyabung ayam, guna-guna semacam ilmu santet dan lain-lain masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Gayo. Bahkan upacara keagamaan seperti memelihara roh-roh para datu muyang, jin, syetan, menjaga dan memuja kuburan 27 Mahmud Ibrahim, Mujahid Dataran Tinggi Gayo, Takengon, Yayasan Maqamammahmuda,

  2007, halaman 19

  

27 yang dianggap keramat masih tetap ada dalam sebagian masyarakat Gayo, namun berkat atas rahmat Allah SWT diiringi dengan perjuangan dakwah Islamiyah oleh para mubaliqh Islam yang datang ke negeri Tanah Gayo, ajaran agama Islam dan Aqidah mayarakat menjadi mantap. Maka segala perbuatan dosa syirik, khurafat dan

  28 tahayul dapat dihilangkan sedikit demi sedikit dalam diri masyarakat Gayo.

  Ajaran Islam didakwahkan ke kerajaan Lingga oleh ulama kerajaan Perlak. Pada tahun 181 H atau 808 M, oleh Ahmad Syarif memimpin pertama pelaksanaan ajaran Islam dalam kerajaan Islam Lingga. Masyarakat diwilayah itu menempuh kehidupan baru secara tertib dan tentram, karena diikat oleh dasar agama dan adat istiadat secara terpadu.

  Perinsip itu dituangkan kedalam 45 pasal adat masyarakat kerajaan lingga yang ditetapkan dalam musyawarah Merah (Reje), Ulama, pemimpin adat. Dan Cerdik Pandai pada tahun 450H/1115M setelah melalui proses panjang selama tiga setengah abad.

  Perinsip yang dimaksud dapat dihayati dari ungkapan adat: Agama urum edet,

  lagu zet urum sifeet, Agama kin senuwen, edet kin peger

  , artinya Agama Islam dan adat Gayo seperti zat dan sifat. Agama sebagi tanaman, adat sebagai pagarnya. Dari ungkapan tersebut jelas dan tegas, bahwa keterpaduan diantara adat dan syari’at Islam

28 Syukri, MA, Sarakopat, Sistem Pemerintahan Dan Relevansi Terhadap Pelaksanaan

  Otonomi Daerah, Jakarta, Hijri Pustaka Utama, 2009, halaman, 88 sangat erat dan saling menunjang. Fungsi adat untuk menunjang pelaksanaan ajaran

  29 agama Islam, adalah merupakan prinsip dalam kehidupan masyarakat Gayo.

  Masuknya ajaran Islam ke Tanah Gayo, diterima dengan senang hati oleh masyrakat Gayo, sebab budaya lokal didaerah ini disesuaikan dengan ajaran tauhid dan kebudayaan Islam. Islam baru menjadi pola anutan masyarakat, khususnya masyarakat adat Gayo setelah membentuk berbagai institusi sosial pada priode berikutnya.

  Atas upaya pelaksanaan ajaran Islam yang menimbulkan berbagai implikasi terhadap terbentunya struktur politik, maka adalah suatu konsekwensi logis bahwa perkembangan Islam menuju kepada yang lebih nyata lagi yaitu dengan berdirinya pusat-pusat kekuasaan Islam seperti berbagai kerajaan dan kesultanan di nusantara ini, termasuk berbagai kerajaan Aceh dan Tanah Gayo.

  Khusus di Tanah Gayo ada empat Kerajaan Islam yang amat besar pengaruhnya hingga saat sekarang ini, bahkan menjadi objek studi peneliti ilmiah bagi mereka yang ingin meneliti sistem politik atau pemerintahan di Tanah Gayo.

30 Keempat kerajaan tersebut ialah:

  1. Kerajaan Linge,

  2. Kerajaan Bukit,

  3. Kerajaan Cik Bebesen dan 4. Kerajaan Syih Utama. 29 30 Mahmud Ibrahim, Op.cit, halaman 19-20 Syukri, MA, Op.cit, halaman, 89

  Keempat kerajaan tersebut yang memegang adat-istiadat/budaya Gayo, sehingga adat/budaya Gayo dapat teraplikasi dengan ajaran Islam dalam berbagai

  31 aspek kehidupan masyarakat Gayo.

  Dalam kaitan dengan perkembangan Islam, Snouck Hurgronje menulis catatan bahwa sebelum kedatangan Belanda ke daerah Gayo, di daerah Gayo Lut Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah sekarang, sudah ada enam buah masjid yaitu: di Bebesen, Kebayakan, Toweren, Bintang, Tingkem dan Ketol (di Kute Gelime).

  Snouck juga menyebutkan bahwa di daerah Gayo Lues pun sudah ada enam buah mesjid, sedang di daerah Gayo Deret dan Gayo Serbe Jadi belum ada sebuah mesjid

  32 pun.

  Mengenai meunasah (Gayo, mersah) sesuai dengan adat yang berlaku di sana, ditemukan di setiap kampung (dalam Bahasa Gayo sering disebut belah yang arti harfiahnya adalah anak suku) karena mersah merupakan bagian dari kelengkapan kampung yang harus ada. Di daerah Gayo sama seperti di Aceh pesisir, di samping untuk tempat melaksanakan shalat fardhu berjamaah, mersah juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, pertemuan dan musyawarah, serta tempat bermalam bagi anak muda, duda dan bahkan tamu laki-laki.

  31 halaman, 89 32 Ibit,

  Kebudayaan Gayo, http://www.lintasgayo.com/28428/syariat-islam-dan-budaya-aceh- pedalaman.html, tanggal 20 januari 2013 Kebanyakan kampung di Gayo, orang perempuan melakukan shalat fardhu berjamaah di tempat khusus untuk mereka yaitu joyah. Jadi pada setiap kampung ditemukan sebuah mersah dan sebuah joyah. Karena salah satu fungsi utamanya adalah sebagai tempat shalat dan juga pusat aktifitas kehidupan sehari-hari, termasuk sebagai tempat mandi, cuci, dan kakus (MCK) semua penduduk, maka letak mersah dan joyah selalu di dekat anak sungai, selokan bahkan parit atau tempat lain yang air bersih bisa dialirkan ke sana. Jadi karena harus berdekatan dengan sumber air bersih (air mengalir), maka tidak selamanya mersah atau joyah berada di tengah kampung.

  Agama Islam dalam masyarakat Gayo adalah darah di kehidupan masyarakat sehingga faktor budaya, pendidikan, dan kesenian selalu berkaitan dengan Agama dan norma yang ada. Masyarakat Gayo sangat memperhatikan nilai norma dalam kehidupan sehari hari. Ini dimaksudkan agar agama tetap teguh dan adat bisa berjalan dengan agama, karena ( kuet edet muperala agama, rusak edet rusak agama) kuat adat semakin teguh agama, rusak adat rusak agama dan semua sistem masyarakat.

  Berkaitan dengan pengajian atau pendidikan agama, khususnya untuk anak- anak, oleh Snouck Hurgronje dalam bukunya tadi, disebutkan bahwa dalam adat Gayo ada empat tugas utama (sinte) yang harus ditunaikan orang tua terhadap anak- anaknya yaitu:

  1. Iturun manin (diberi nama, di-`aqiqah-kan),

  2. Imenjelisen (dikhitan, di-sunat-rasul-kan),

  3. Iserahan mungaji (diserahkan kepada guru untuk belajar mengaji, membaca Al-qur’an dan belajar pengetahuan praktis tentang ibadat) serta 4. Ikerjen atau iluahi (dicarikan jodoh dan dinikahkan).

  Snouck Hurgronje memberi penjelasan panjang lebar tentang tiga dari empat kegiatan di atas, namun untuk kegiatan mungaji beliau sebutkan secara sangat ringkas, bahwa di Gayo pada biasanya orang tua akan menyerahkan anaknya kepada

  33 guru mengaji.

  Masyarakat Gayo tidak hanya mengenal sistem adat, nilai norma tetapi juga mengenal sistem nilai budaya Gayo. Menurut C. Snock, 1996:XII, Sistem nilai ini yang selalu harus dijaga dan direalisasikan dalam masyarakat. Karena faktor ini sangat berpengaruh pada sistem baik secara individu maupun sistem bermasyarakat dalam kehidupan sehari hari. Masyarakat Gayo mempunyai skema sistem nilai

  34

  budaya Gayo, yaitu:

  a. Mukemel (harga diri)

  b. Tertip (tertip)

  c. Setie (setia)

  d. Semayang-Gemasih (kasih sayang)

  e. Mutentu (Kerja keras)

  f. Amanah (amanah) 33 Kebudayaan Gayo, http://www.lintasgayo.com/28428/syariat-islam-dan-budaya-aceh-

  pedalaman.html, tanggal 20 januari 2013 34 Budaya Gayo, http://ansar-senibudaya.blogspot.com/2011/01/tujuh-unsur-kebudayaan- gayo.html, 17 April 2012 g. Genap mupakat (musyawarah)

  h. Alang tulung (tolong menolong)

  Bersikemelen

  i. (kompetitif) Sebenarnya ada satu nilai lagi yang paling mendasar yaitu nilai Imen

  (keimanan atau keyakinan) terhadap kebenaran yang bersumber dari Allah dan Rasulnya. Nilai keimanan itu merupakan etos kerja atau ruh amal yang mendorong

  35 sekaligus mengendalikan dan mengarahkan kekuatan manusia untuk beramal.

B. Pengertian Hukum Waris Islam dan Hukum Waris adat

  Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf a, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peningalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

  Dalam Pasal 171 huruf b, Kompilasi Hukum Islam memberikan pengertian pewaris yaitu orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan, beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.

  Dan dalam Pasal 171 huruf c, memberikan pengertian ahli waris yaitu orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan 35 Mahmud Ibrahim dan AR. Hakim Aman Pinan, Syariat dan Adat Istiadat Jilid 1,Takengon,

  Maqamamahmuda, 2010, halaman, 20 perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

  Hasbi Ash-Siddieqy mengemukakan Hukum waris Islam adalah suatu ilmu yang dengan dialah dapat kita ketahui orang yang menerima pusaka dan orang yang tidak menerima pusaka, serta kadar yang diterima tiap-tiap waris dan cara

  36 pembagiannya.

  Hukum kewarisan disebut juga dengan ilmu Fara’idh oleh sebagian

  faradhiyun

  memberi pengertian yaitu ilmu fiqh yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib

  37 dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka.

  Dengan demikian sistem kewarisan Islam yang dimaksud baru dapat berlaku jika dilakukan setelah pewaris meninggal dunia dan juga pewaris adalah beragama Islam dan yang menerima juga beragama Islam. Dengan demikian pelaksanaan hukum waris bagi umat Islam adalah merupakan suatu ibadah.

  Hukum waris Islam adalah hukum yang mengatur proses pemindahan kepemilikan atas harta peninggalan (tirkah atau maurut) milik pewaris kepada ahli

  36 37 Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris, Jakarta, Bulan Bintang, 1973, halaman 18 Fatchur Rahman, Ilmu Mewaris Bandung, Alma’arif 1971, halaman 32 warisnya sesuai dengan bagian masing-masing hukum Allah. Hal ini yang diatur

  38

  adalah:

  a. Bagaimana pemindahan kepemilikan harta peninggalan yang dimiliki pewaris kepada ahli waris dapat dilakukan baik berupa rukun maupun syarat-syarat kewarisan termasuk didalamnya pengaturan kewajiban dan tanggung jawab ahli waris terhadap pewaris.

  b. Penentuan siapa-siapa diantara ahli waris yang berhak menjadi ahli waris dari pewarisnya, yang berasal dari jumlah ahli waris yang ada atau hidup, tetapi tidak semuanya menjadi ahli waris, kecuali mereka yang menurut hukum syara mempunyai hak untuk mendapatkan bagian harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris.

  c. Penentuan berapa besarnya bagian masing-masing yang akan diterima oleh ahli waris yang berhak menerimanya menurut hukum syara sesuai dengan kedudukan ahli waris dalam struktur dan tingkatan kekeluargaan pewaris yang bersangkutan.

  d. Pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut kepada ahli waris yang berhak dengan tidak menutup kemungkinan setelah masing-masing ahli waris yang berhak menyadari bagiannya dengan mengadakan “kesepakatan” untuk melakukan “perdamaian” dalam pembagian harta peninggalan tersebut.

  Berdasarkan dengan hal tersebut diatas dalam pewarisan Islam terdapat rukun pewarisan yang mempunyai 3 (tiga) rukun, yaitu:

  1. Tirkah, yaitu harta peninggalan si mati setelah di ambil biaya-biaya perawatan, melunasi utang-utang dan melaksanakan wasiat.

  2. Pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta peninggalan.

  3. Ahli waris, yaitu orang yang akan mewarisi atau menerima harta peninggalan.

38 Rachmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam dalam Dimensi Kompilasi Hukum Islam,

  Mandar Maju, 1994, halaman 2

  Ada tiga unsur dalam hukum kewarisan Islam yaitu:

  1. Pewaris (Al-Muwarrist) Adalah: seorang yang telah meninggal dunia dan meniggalkan sesuatu yang

  39 dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup.

  Dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 171 huruf b menjelaskan sebagi berikut: Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan, beragama Islam, meninggalkan ahli ahris dan harta peninggalan.

  40 Meninggal dunia atau mati dapat dibedakan menjadi: a. Mati sejati (haqiqy) adalah kematian yang dapat disaksikan oleh panca indra.

  b. Mati menurut putusan pengadilan (hukmy) adalah kematian yaang disebabkan adanya putusan hakim, baik orangnya masih hidup maaupun sudah mati.

  c. Mati menurut dugaan (taqdiry) adalah kematian yang didasarkan ada dugaan yang kuat bahwa yang bersangkutan telah mati.

  2. Ahli waris (warists) Adalah: orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang

  41 meninggal. 39 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2004, halaman 206 40 H.R.Otje Salaman S. Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, PT. Refika Aditama, Bandung, 2006, halaman, 5 41 Amir Syarifuddin, Op.Cit, halaman, 212

  Dalam Kompilasi Hukum Islam dalm pasal 171 huruf c, menjelaskan sebagai berikut: Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Disamping adanya hubungan kekerabatan dan perkawinan itu, mereka baru berhak menerima warisan secara hukum dengan terpenuhinya persyaratan sebagai berikut:

  a. Ahli waris itu masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris

  b. Tidak ada hal-hal yang menghalangi secara hukum untuk menerima warisan

  42 c. Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat.

  3. Warisan (mauruts) Adalah sesuatu yang ditinggal oleh orang yang meninggal dunia, baaik berupa

  43 benda bergerak maupun benda tak bergerak.

  Didalam Kompilasi Hukum Islam 171 huruf e memberikan penjelasan tentang pengertian harta warisan yaitu harta bawaan di tambah bagian dari harta bersama, setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.

  42 43 Ibit, halaman, 213 Ibit, halaman, 211

  Apa saja asas-asas kewarisan. Pembagian warisan berdasarkan Al-Quran dan

  44 Al-Hadis yang didalamnya memuat sejumlah asas, yaitu:

  a. Asas mengutamakan musyawarah, pembagian kewarisan dilakukan dengan mengutamakan jalan musyawarah (kesepakatan pihak-pihak).

  Hukum waris (faraid) memiliki karakter alternatif. Artinya, ia bisa dipilih dan dijadikan acuan bagi pembagian waris, bisa juga tidak digunakan. Menjadikan

  faraid

  sebagai acuan pembagian harta waris adalah mutlak, ketika tidak ditemukan kesepakatan antar sesama ahli waris. Tapi jika ditemukan kesepakatan antar sesama ahli waris, ilmu faraid dapat saja tidak digunakan.

  b. Asas keadilan, pembagian harta warisan bertujuan untuk mewujudkan keadilan.

  c. Asas bilateral, bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak untuk memperoleh harta warisan dan secara bertimbal balik.

  d. Asas individual, masing-masing ahli waris memilik hak masing-masing bukan atas nama kolektif/ bersama.

  e. Asas kesinambungan dan jaminan hidup, pengalihan harta dari pewaris kepada ahli waris adalah sebagai jaminan hidup bagi generasi selanjutnya.

  f. Asas kematian, kewarisan terjadi apabila ada kematian. Tidak ada kewarisan tanpa ada orang yang meninggal dunia.

44 Hak Waris Dan Perwalian dalam Waris Aceh,

  komnasperempuan.or.id/publikasi/Indonesia/materi publikasi/2011/Hak Waris dan Perwalian.pdf, diakses tanggal, 28 januari 2013

  45 Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:

  1. Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki- laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.

  2. Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.

  3. Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan

  wala an-ni'mah

  . Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.

  46 Penghalang orang mewaris dalam hukum kewarisan Islam ada tiga, yaitu:

  a. Perbudakan 45 46 Fatchur Rahman, Op.Cit, halaman 113

  Ibit, halaman , 83 Perbudakan menjadi penghalang untuk mewaris didasarkan pada kenyataan bahwa seorang budak tidak memiliki kecakapan bertindak atau tidak dapat menjadi subjek hukum hal ini termuat dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 75 yang artinya: ”Allah telah membuat perumpamaan ( yakni) seorang budak yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun...” Seorang budak tidak dapat mewaris karena ia tidak cakap berbuat. Seorang budak tidak dapat diwarisi jika ia meninggal dunia, sebab ia orang miskin yang tidak memiliki harta kekayaan sama sekali. Namun pada masa kini pada dasarnya perbudakan sudah tidak ada lagi, kalaupun ada mungkin jumlahnya amat kecil.

  b. Pembunuhan.

  Pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya pada prinsipnya menjadi penghalang baginya untuk mewarisi pewaris yang dibunuhnya. Adapun kaidah fiqhiyah yang berkaitan dengan masalah itu, yakni ”barang siapa yang ingin mempercepat mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka ia diberi sangsi tidak boleh mendapatkannya” Dalam hal pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja, para ulama sepakat bahwa pembunuhan yang demikian itu merupakan penghalang untuk mendapatkan warisan atau penghalang mewaris. Adapun pendapat para ulama mengenai pembunuhan yang dilakukan tanpa kesengajaan, para ulama

  syafi฀iyah berpendapat bahwa pembunuhan jenis apapun, tetap merupakan penghalng untuk mewaris. c. Berlainan Agama Berlainan agama berarti agama pewaris berlainan agama dengan ahli waris.

  Misalnya, pewaris beragama Islam, sedangkan ahli warisnya beragama kristen ataupun sebaliknya. Hal ini didasarkan pada hadits rasulullah yang artinya ” orang Islam tidak dapat mewarisi orang kafir, dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam.” (hadits riwayat Bukhori dan Muslim).

  Didalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 173 yang menyatakan sorang terhalang menjadi ahli waris apa bila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, di hukum karena:

  a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan ppengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih besar.

  Ada lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima, dan

  47

  waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas tersebut adalah:

  1. Asas Ijbari

  2. Asas Bilateral

  3. Asas Individual 47 Amir Syarifuddin, Op. Cit, halaman 19

  4. Asas Keadilan berimbang

  5. Asas Semata akibat kematian Asas Ijbari yaitu dalam hukum Islam peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa usaha dari yang akan meninggal atau kehendak yang akan menerima. Dari segi pewaris mengandung arti bahwa ia sebelum meninggal tidak dapat menolak peralihan harta tersebut. apapun kemauan pewaris terhadap hartanya, maka kemauannya itu dibatasi oleh ketentuan yang telah ditetapkan Allah. Oleh karena itu, sebelum meninggal ia tidak perlu memikirkan atau merencanakan sesuatu terhadap hartanya, karena dengan kematinnya itu secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya, baik ahli waris

  48 itu suka menerima atau tidak.

  Asas bilateral bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan dari pihak ibunya, begitu pula seorang perempuan berhak menerima harta warisan dari pihak ayahnya dan dari pihak ibunya. Dalam ayat 11 surah An- Nisa dijelaskan bahwa:

  a. Anak perempuan berhak menerima warisan dari kedua orang tuannya sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki dengan bandingan seorang anak laki-laki menerima sebanyak yang didapat dua orang anak perempuan b. Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Begitu pula ayahnya sebagai ahli waris laki-laki berhak menerima warisan dari anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan sebesar seperenam bagian, bila pewaris ada meninggalkan anak

48 Ibit, halaman, 22

  Asas Induvidual yaitu bahwa harta warisan dapat di bagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain, keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi kemudian jumlah tersebut dibagikan

  49 kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing.

  Asas keadilan berimbang yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Secara umum dapat dikatakan laki-laki membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan perempuan. Hal tersebut dikarenakan laki-laki dalam ajaran Islam memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap keluargannya termasuk para perempuan, sebagaimana dijelaskan Allah dalam surah annisa ayat 34.

  Asas semata akibat kematian yaitu kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai harta meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung maupun terlaksana setelah dia mati, tidak termasuk ke dalam istilah kewarisan menurut hukum Islam. Dengan demikian hukum kewarisan

  50 Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan, yaitu kewarisan akibat kematian.

  49 50 Ibit, halaman, 23 Ibit, halaman, 30

  Ahli waris atau disebut warist dalam istilah fikih ialah orang yang berhak atas harta warisan yang di tinggalkan oleh orang yang meninggal. Yang berhak menerima harta warisan adalah orang yang mempunyai hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan dengan pewaris yang meninggal. Disamping adanya hubungan dan perkawinan itu, mereka berhak menerima warisan secara hukum dengan terpenuhinya

  51

  persyaratan sebagai berikut:

  a. Ahli waris itu telah atau masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris;

  b. Tidak ada hal-hal yang menghalanginya secara hukum untuk menerima warisan; c. Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat.

  Faraidh adalah kata jamak dari faridhah artinya bagian tertentu bagi ahli

  waris dari harta pusaka, jadi ilmu faraidh adalah ilmu tentang pembagian harta pusaka, agar masing-masing ahli waris mendapat bagian sebagaimana mestinya yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

  Sebelum harta si pewaris dibagikan kepada ahli warisnya hendaklah terlebih

  52

  dahulu di selesaikan hal-hal berikut ini:

  a. Dipenuhinya kewajiban-kewajiban mengenai harta peninggalan tersebut, 51 seperti zakatnya, penebus gadaian apa bila ada. 52 Ibit, halaman, 213

  

T. Jafizham, Pengantar Hukum Faraidh, Medan, CV. Mestika, 1965, halaman, 20 b. Dikeluarkan ongkos penyelengaraan dan pemakaman jenazah menurut yang layak, seperti harga kafan, upah mengali kubur.

  c. Membayar hutang apa bila si pewaris mempunyai hutang

  d. Dipenuhi wasiatnya, dengan ketentuan wasiat itu tidak lebih dari seper tiga harta warisan.

  Sebab-sebab adanya hak waris ada tiga sebab yang menjadikan seseorang

  53

  mendapatkan hak waris yaitu:

  a. Kekerabatan

  b. Perkawinan

c. Wala’

  Kekerabatan (yang ada ikatan nasab), yaitu hubungan antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya. Ditinjau dari dari garis yang menghubungkan nasab antara yang mewariskan dengan yang mewarisi, kerabat-kerabat itu dapat digolongkan

  54

  kepada 3 (tiga) golongan yakni:

  a. Furu’, yaitu anak turun (cabang) dari si mayit

  b. Ushul, yaitu leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si mayit

  53 54 Ibit, Halaman, 113 Amir Syarifuddin, Op cit, halaman, 116

  c. Hawasyi, yaitu keluarga yang di hubungkan dengan si mayit melalui garis menyamping, seperti saudar, paman, bibi, dan anak turunannya dengan tidak membeda-bedakan laki-laki atau perempuanya. Perkawinan yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim

  (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.

  Wala’

  , yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan

  wala an-ni'mah

  . Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.

  Jumlah bagian yang di terima oleh ahli waris telah ditentukan dalam Al- Qur'an Surat An-Nisaa ayat 11 dan 12 ada enam macam, yaitu:

  1. Setengah (1/2)

  2. Seperempat (1/4)

  3. Seperdelapan (1/8)

  4. Dua pertiga (2/3)

  5. Sepertiga (1/3)

  55 6. Seperenam (1/6).

  Adapun ahli waris yang menerima bagian dengan besaran setengah (1/2) adalah

  Ashhabul Furudh

  yang berhak mendapatkan setengah dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah.

  "Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya ...'" (An-Nisaa: 176)

  Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri.

  Pertama seorang suami berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan istrinya dengan satu syarat, yaitu bila sang istri mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun dari suami lain (sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah berikut:

  "... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya " (An-Nisaa: 12) 55 Ibit, halaman, 41

  Kedua seorang istri akan mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan suaminya dengan satu syarat, yaitu apabila suami tidak mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya ataupun dari rahim istri lainnya. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah berikut:

  "... Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak ..." (An-Nisaa: 12) Dari sederetan Ashhabul Furudh yang berhak memperoleh bagian seperdelapan

  (1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Dalilnya adalah firman Allah SWT:

  "... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuh, wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu ..." (An-Nisaa: 12)

  Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita:

  1. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.

  2. Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.

  3. Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.

  4. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.

  "... dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (An-Nisaa: 11) Dan firman Nya "... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (An-Nisaa: 176) Adapun Ashhabul Furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.

  Seorang ibu berhak mendapatkan bagian 1/3 (sepertiga) dengan syarat:

  1. Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki- laki.

  2. Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu. Dalilnya adalah firman Allah: "... dan jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga..." (An-Nisaa: 11) Dan firman Nya:

  "... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam..." (An-Nisaa: 11) Adapun Asbhabul Furudh yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada tujuh orang. Mereka adalah (1) ayah, (2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan keturunan anak laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7) saudara laki-laki dan perempuan seibu.

  Firman Allah: "... Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ..." (An- Nisaa: 11) "... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam ..." (An-Nisaa: 11).

  Jumlah para ahli waris Ashabul Furudh itu semuanya ada 12 (dua belas) orang, terdiri dari 8 (delapan) orang perempuan dan 4 (empat) orang laki-laki,

  56 Ashabul Furudh

  golongan perempuan:

  1. Istri,

  2. Anak prempuan,

  3. Cucu perempuan pancar laki-laki (bintul ibni) betapa rendah menurunya,

  4. Saudari kandung,

  5. Saudari seayah,

  6. Saudari seibu, 56 Fatchur Rahman, Op. Cit, halaman 130

  7. Ibu, dan 8. Nenek shahihah.

  Adapun Ashabul Furudh golongan laki-laki, yaitu:

  1. Suami,

  2. Ayah,

  3. Kakek shahih, betapa tinggi mendakinya dan 4. Saudara seibu.

  Para ahli faraidh membedakan ashabah kedalam tiga macam, yaitu Ashabah

  binnafsih, ashabah bil-ghair dan ashabah ma’alghair.

  Ashabah binnafsih

  adalah kerabat laki-laki yang di pertalikan dengan si mayit tanpa diselingi oleh perempuan, yaitu leluhur laki-laki: bapak dan kakek, keturunan laki-laki: anak laki-laki dan cucu laki-laki dan saudar kandung atau sebapak: saudara laki-laki sekandung atau sebapak.

  Ashabah bil-ghair

  adalah kerabat perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadi ashabah dan untuk bersama-sama menerima ushubah (sisa), yaitu anak perempuan yang mewaris bersama dengan anak laki-laki; cucu perempuan yang mewaris bersama cucu laki-laki; dan saudara perempuan sekandung atau sebapak yang mewaris bersama dengan saudara laki-laki sekandung atau sebapak.

  Ashabah ma’alghair

  adalah kerabat perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadi ashabah, tetapi orang lain tersebut tidak berserikat dalam menerima ushubah (sisa), yaitu saudara perempuan atau cucu perempuan.

  Dzawil al-arham

  berarti seluruh kerabat yang bukan ashabul furudh dan bukan ashabah. Karena itu, semua kerabat yang tidak berhak mendapatkan warisan bagian tetap (faraidh) atau ashabah, oleh ulama faraidh disebut sebagai dzawi al- arham.

  Penyebutan ini dimaksudkan untuk membedakan orang-orang yang termasuk dalam kelompok ashabul furudh dan ashabah.

  Hal ini dilakukan karena setiap kelompok mempunyai hukum sendiri, seperti cucu dari anak perempuan, kakek dari ibu (bapak ibu), bibi dari bapak, bibi dan paman dari pihak ibu, atau seperti anak dari saudara perempuan dan saudara laki-laki. Mereka semua atau yang lainnya dari kerabat yang tidak mewarisi dengan bagian tetap atau ashabah, dimasukan kedalam kelompok dzawil al-arham.

  Hukum waris adat yaitu hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas hukum waris, harta warisan, pewaris dan ahli waris serta bagaimana cara harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikan dari pewaris

  57

  kepada ahli waris. Sehingga pada hakikatnya hukum waris adat adalah penerusan dan pengoperan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya.

57 Hillman hadikusuma, Op-Cit, halaman, 7

  Menurut Soepomo, hukum kewarisan adalah peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang harta benda, barang yang tidak berujud benda

  58

  dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya. Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa: a. Kewarisan menurut hukum adat adalah suatu proses mengenai pongoperan dan penerusan harta kekayaan, baik yang bersifat kebendaan atau bukan kebendaan.

  b. Pengoperan dan penerusan itu dilaksanakan oleh semua generasi kepada generasi berikutnya.

  Proses dalam penerusan dan peralihan itu dapat dimulai sejak pewaris masih hidup dan atau setelah pewaris meninggal dunia. Proses penerusan dan peralihan inilah yang membedakannya antara hukum waris adat dengan hukum waris Islam

  Dalam hukum adat mempunyai sistem dan asas yang berbeda dengan hukum

  59

  waris Islam. Sistim hukum waris adat dapat berlangsung secara:

  1. Sistem kewarisan individual yaitu suatu sistem kawarisan dimana setiap ahli waris mendapat pembagian untuk dapat menguasai dan memiliki harta warisan menurut bagian masing-masing. Sistem kewarisan ini pada umumnya berlaku pada kalangan masyarakat yang menganut sistem kekerabatan perantal, minsalnya terdapat pada masyarakat Jawa. Kebaikan sistem kewarisan individual ini antara lain dengan pemilikan secara individual maka ahli waris dapat bebas menguasai dan memiliki bagian harta kewarisannya, untuk di pergunakan sebagai modal kehidupan, tanpa dipengaruhi oleh anggota-anggota keluarga yang lain. Sedangkan kelemahan sistem kewarisan ini adalah dapat mengakibatkan pecahnya harta warisan dan merenggangnya tali kekerabatan. Sehingga dapat menimbulkan hasrat ingin memiliki secara pribadi, serta mengutamakan kepentingan diri sendiri. Oleh 58 59 Soepomo, Op-Cit, halaman, 72 Hillman hadikusuma, Op-Cit, halaman, 24 karena itu sistem kewarisan individual dapat menjurus kearah sifat individualisme dan materialisme.

  2. Sistem kewarisan kolektif yaitu sistem kewarisan dimana pewaris memberikan harta kepada ahli waris sebagai kesatuan yang tidak di bagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap ahli waris berhak untuk mengunakan harta warisan itu. Sistem kewarisan ini terdapat pada masyarakat minangkabau dan minahasa. Sistem kewarisan kolektif ini mempunyai fungsi yang sangat besar karena harta warisan itu dipergunakan bagi kelangsungan hidup keluarga besar pada masa sekarang maupun masa mendatang, dalam hal tolong-menolong antara sesama anggota di bawah pimpinan kepala kerabat. Kelemahan sistem kewarisan kolektif ini yaitu turut campurnya anggota keluarga lain dalam hal pengunaan harta warisan. Sistem pewarisan masyarakat adat yang termasuk sistem pewarisan kolektif hanya penerusan dan mengalihkan hak penguasaan atas harta yang tidak terbagi- bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepada keluarga yang mengantikan kedudukan bapak atau ibu sebagai kepala keluarga.

  3. Sistem kewarisan mayorat yaitu terbagai atas mayorat laki-laki dan mayorat perempuan, minsalnya pada masyarakat adat lampung berlangsung sistem mayorat laki-laki, ditanah batak dan pada masyarakat bali sistem mayorat laki- laki yaitu anak tertua laki-laki, di sumatra selatan, tanah semando, kalimantan barat dan suku dayak berlangsung sistem mayorat perempuan. Kelemahan dan kebaikan sistem pewarisan ini terletak pada kepemimpinan anak tertua dalam kedudukannya sebagai penganti orang tua yang telah wafat dalam mengurus harta kekayaan dan mememfaatkanya guna kepentingan semua anggota keluarga yang ditinggalkan.

  Di dalam hukum adat juga terdapat asas-asas hukum waris adat yang tentu berbeda dengan asas-asas yang terdapat dalam hukum Islam, adapun asas-asas waris

  60

  adat tersebut adalah:

  1. Asas ketuhanan dan pengendalian diri

  2. Asas kesamaan hak dan kebersamaan hak

  3. Asas kerukunan dan kekeluargaan 60 Ibit, halaman, 21

  4. Asas musyawarah dan mufakat

  5. Asas keadilan dan parimirma Asas ketuhanan dan pengendalian diri yaitu kesadaran bahwa Tuhan yang

  Maha Esa adalah maha mengetahui atas segala-galanya, maha pencipta dan maha adil, yang sewaktu-waktu dapat menjatuhkan hukumannya, maka apabila ada pewaris yang wafat para waris tidak akan bersilang selisih dan saling berebut atas harta warisan.

  Asas kesamaan dan kebersamaan hak atas harta warisan yang diperlukan secara adil dan bersifat kemanusiaan baik dalam acara pembagian maupun dalam cara pemamfaatannya dengan selalu memperhatikan para waris yang hidupnya kekurangan.

  Asas kerukunan dan kekeluargaan adalah asas yang bergunan untuk mempertahankan dan memelihara hubungan kekeluargaan yang tenteram dan damai dalam mengurus, menikmati dan memamfaatkan warisan. Minsalnya, jika dalam pembagian warisan terjadi persengketaan untuk keluarga dapat mengunakan pembagian harta warisan dan lebih dahulu diselesaikan apa yang menjadi sumber persengketaan.

  Asas musyawarah dan mufakat adalah dalam menyelesaikan pembagian harta warisan dipimpin oleh yang dituakan dan apabila terjadi kesepakatan maka setiap waris wajib menghormati, mentaati dan misalnya dalam masyarakat adat patrilineal dipimpin oleh anak laki-laki tertua.

  Asas keadilan parimirma adalah asas welas asih terhadap anggota keluarga pewaris dikarenakan kedudukan, jasa, karya dan sejarahnya, sehingga walaupun seseorang bukan nahli waris tetapi diperhitungkan memperoleh bagian dari harta warisan. Minsalnya, anak tidak sah, anak tiri, anak angkat, orang yang berjasa kepada keluarga, yatim piatu.

  Di Indonesia dikenal 3 (tiga) sistem hukum yaitu sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat, dikenal pula 3 (tiga) hukum waris yaitu:

  1. Hukum waris adat

  2. Hukum waris Islam

  3. Hukum waris barat Dengan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 dengan dikeluarkannya

  Kompilasi Hukum Islam, yaitu sebagai pedoman bagi instansi pemerintah maupun masyarakat yang memerlukannya dalam penyelesaian masalah-masalah hukum yaitu: hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakapan.

  Kedua hukum waris tersebut bila dihubungkan dengan penerapan hukum waris, maka kedua hukum waris tersebut sama-sama dapat dijumpai penerapannya di tengah-tengah masyarakat. Berlakunya hukum waris adat khususnya dikalangan umat Islam perlu diadakan penelitian guna memperoleh kepastian apakah hukum kewarisan adat yang berlaku itu sejalan atau tidak dengan ketentuan hukum kewarisan Islam. Dalam hal ketentuan hukum kewarisan adat itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum kewarisan Islam, dapat dinyatakan tetap berlaku bagi umat Islam sejauh pihak yang bersangkutan masih menghendakinya.

  Apabila terjadi sengketa waris diantara ahli waris bagi orang Islam dapat mengajukan ke pengadilan, berdasarkan berdasarkan pasal 21 dan pasal 49 Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989, badan peradilan yang diberikan kekuasaan untuk mengadili perkara warisan adalah Pengadilan Agama. Pasal 2 menentukan, Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam, mengenai perkara perdata tentang: a. Perkawinan

  b. Kewarisan, Wasiat, dan Hibah

  c. Wakaf, Shadagoh Semua perkara tersebut akan diputuskan berdasarkan hukum Islam.

  Bagi masyarakat Aceh apa bila terjadi sengketa waris bagi orang yang beragama Islam dapat mengajukan gugatan ke Mahkamah Syar’iyah, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nanggro Aceh Darusalam dan dengan berdasarkan Qanun Provinsi Nanggro Aceh Darussalam nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam.

  

C. Pengaruh Hukum Waris Islam Terhadap Hukum Waris Adat Gayo di

Kabupaten Aceh Tengah

  Salah satu hasil seminar, masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara yang diselengarakan di Peureulak pada tanggal 25 sampai 30 September 1980, adalah bahwa Islam masuk pertama sekali ke Nusantara melalui Peureulak pada abad petama

61 Hijriyah.

  Kepercayaan animesme yang meyakini orang Gayo dan adat istiadat yang mereka pegang teguh turun-temurun sejak berabad-abad sebelum Islam, berangsur- angsur dirobah dan disesuaikan dengan nilai dan norma jaran Islam. Walaupun kenyataannya menunjukan bahwa animisme masih mempengaruhi kelompok orang

  62 tertentu sampai sekarang.

  Perinsip keterpaduan antara nilai dan norma agama Islam dan adat istiadat, yang ditetapkan sejak berdirinya kerajaan Islam Peureulak pada tanggal 1 Muharram 225 H, atau 840 M dan kerajaan Islam Lingga tahun 295 H atau 910 M, serta kerajaan Islam Lingga Isaq pada tahun 376 H atau 989 M, serta kerajaan Islam lainnya, tetap merupakan keyakinan masyarakat pendukunya untuk dapat mewujudkan keteraturan, ketertiban, ketentraman, keamanan, kesejahteraan dan kebahgian.

  Keterpaduan itu berangsur-angsur pudar sejak Belanda menduduki wilayah Gayo tahun 1901, setelah C. Snouck Hurgronje mencetuskan teori resepsi yang 61 62 Mahmud Ibrahim dan AR. Hakim Aman Pinan Jilid 1, Op Cit, halaman 1

  Ibit, halaman, 1 memisahkan agama dan adat. Sebelumnya adat berfungsi menunjang pelasanaan ajaran agama Islam setelah teori itu menjadi terbalik, agama diupayakan menunjang pelaksanaan adat. Karena pelaksanaan perinsif keterpaduan antara syari’at dan adat istiadat telah terpisah, tidak seperti sebelumnya yang merupakann suatu kewajiban yang terpadu dan menyatu antara pemerintah (reje) sebagai penanggung jawab pelaksanaan dan ulama (imem) sebagai penanggung jawab pelaksanaan syari’at maka nilai dan norma adat tererosi dan berangsur-angsur terkikis dari diri pemimpin dan

  63 anggota masyarakat.

  Berlakunya hukum adat dan hukum Islam pada masyarakat menimbulkan polemik antara kedudukan hukum adat dan hukum Islam, disatu pihak menghendaki berlakunya hukum Islam tanpa melalui hukum adat atau langsung sebagai sumber hukum. Namun masyarakat sendiri tidak mempertentangkan antara hukum adat dan hukum Islam bahkan dapat hidup berdampingan dan telah ditentukan pula tempat kedudukanya masing-masing.

  Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah beragama Islam. Keberadaan Islam di Indonesia telah sedikit banyaknya mempengaruhi adat istiadat masyarakat setempat, ataupun sedikit banyaknya praktek keberagamaan telah dipengaruhi adat istiadat setempat. Termasuk dalam hal ini, hal-hal yang berkaitan dengan masalah kewarisan. 63 Ibit, halaman, 2