Pelaksanaan Hukum Waris Islam Pada Masyarakat Batak Toba Di Kota Medan

(1)

TESIS

Oleh

MIKA LESTARI

117011027/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada

Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MIKA LESTARI

117011027/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum) (Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

Anggota : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum 2. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum


(5)

Nama : MIKA LESTARI

Nim : 117011027

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : PELAKSANAAN HUKUM WARIS ISLAM PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :MIKA LESTARI Nim :117011027


(6)

menjadi tiga kelompok yaitu: susunan kekeluargaan patrilineal, kekeluargaan matrilineal, dan kekeluargaan parental. Seorang yang sudah meninggal dunia, maka akan timbul hubungan yang meninggal dunia dengan yang ditinggalkan serta yang harus dipenuhi si pewaris atau yang masih hidup (ahli waris) terutama harta kekayaan si pewaris. Dalam hal kewarisan dapat berlaku hukum adatnya atau hukum Islam. Sehingga berlaku juga bagi masyarakat Batak Toba muslim dimana dalam masalah kewarisan tersebut berlaku Hukum Waris Islam.

Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Medan, tepatnya daerah Medan Kota. Populasi penelitian ini adalah pemuka adat, dan masyarakat Batak Toba yang ada dilokasi penelitian. Sampel yang diambil secara purposive sampling dengan mengambil 10 responden sebagai sampel. Terhadap mereka digunakan tehnik wawancara secara langsung. Penelitian tesis ini merupakan penelitian yang bersifat deduktif analisis, dimana penelitian ini menggambarkan, menganalisa yang ada pada saat ini. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan secara Yuridis Sosiologis yaitu penerapan kaedah Hukum Islam terhadap pelaksanaan Hukum Islam pada masyarakat Batak Toba di Kota Medan. Analisis penelitian menggunakan analisis kualitatif yang kemudian ditafsirkan secara logis dan sistematis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan Hukum Waris Islam pada masyarakat Batak Toba di kota Medan belum sepenuhnya menggunakan Hukum Islam, sebagian masih menggunakan hukum adat. Walaupun pengaruh hukum Islam dirasakan belum seluruhnya menyentuh Hukum Waris Adat. Dengan terciptanya kesadaran hukum maka masyarakat Batak Toba di kota Medan dalam pembagian harta warisan menggunakan Hukum Waris Islam karena pelaksanaan Hukum kewarisan Islam merupakan bagian dari ajaran agamanya dan menjadi kewajiban agama Islam baginya. Sedangkan sengketa yang terjadi pada para ahli waris pada suku Batak Toba di kota Medan biasanya terlebih dahulu diadakan konsultasi, mediasi kepada salah satu keluarga/ pihak yang dituakan. Apabila tidak ada penyelesaiannya baru dibawa ke Pengadilan Agama. Tetapi pada kenyataannya yang terjadi penyelesaian sengketa harta warisan pada masyarakat Batak Toba yang sampai ke Pengadilan Agama jarang sekali terjadi.


(7)

parental family structure. If someone dies, there will be a correlation between him, the person who is still alive, the heir, and the inheritance. In the case of inheritance, there are adat law and the Islamic law, and these laws are in effect on Batak Toba people who are Moslems; they have to comply with the Islamic Law on Inheritance.

The research was conducted at Medan Kota, Medan. The population was adat leaders and Batak Toba community at the location of the research. The samples consisted of ten respondents, taken by using purposive sampling technique and in-depth interviews. The research was deductive analysis and judicial sociological approach in which the principles of the Islamic law on the implementation of the Islamic law on Batak Toba community in Medan. The data were analyzed qualitatively which was interpreted logically and systematically.

The result of the research showed that the implementation of the Islamic law on Inheritance in Batak Toba community in Medan had not yet used the Islamic law completely, for some of the still used adat law. It seems that the Islamic law does not much influence the adat law on inheritance. The awareness of law should encourage Batak Toba community in Medan to use the Islamic law because the implementation of the Islamic law is a part of their belief and becomes their obligation to comply with. The dispute which occurs to heirs of Batak Toba in Medan is usually consulted to one of the family members who are considered the oldest member. If there is no resolution of the dispute, the case will be brought to the Religious Court. The fact, however, is that the dispute of inheritance in Batak Toba community in Medan is rarely brought to the Religious Court.


(8)

Dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allah S.W.T, syukur alhamdulillah atas berkat Rahmat dan Karunianya yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul : PELAKSANAAN HUKUM WARIS ISLAM PADA MASYARAKAT BATAK TOBA (Studi di Kota Medan). Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan masukan, bantuan serta saran. Meskipun penulis menyadari dalam penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna. Dan juga dalam penyelesaian tesis ini banyak pihak yang membantu serta membimbing penulis. Untuk itu perkenankanlah penulis pada kesempatan ini mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya khususnya kepada : 1. Rektor Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), SP.A(K), yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi sehingga dapat memperoleh gelar Magister di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(9)

serta para staf pengajar yang telah mendidik dan memberikan ilmunya dengan sepenuh hati.

3. Kepada Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, serta Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS, atas kesediaan memberikan bimbingan serta petunjuk dan saran dalam penyelesaian tesis ini. Dimana berkat bimbingan yang diberikan hingga dapat diperoleh hasil yang baik. Serta ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada BapakProf. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN,dan IbuDr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku dosen penguji saya yang telah banyak memberikan masukan dalam penyempurnaan tesis ini.

4. Teristimewa penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang tiada bertepi kepada kedua orang tua, dan nenek tersayang karena atas segala pengorbanan, dorongan dan doa yang tiada henti-hentinya yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan dan tesis ini.

5. Terima kasih kepada para staf Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membantu penulis dalam pengurusan administrasi selama penulis dalam masa perkuliahan berlangsung sampai dengan sekarang.


(10)

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatam ini, semoga Allah SWT membalas kebaikan semuanya. Penuh harapan semoga tesis ini bisa bermanfaat untuk orang banyak, Amin Ya Robbal Alamin.

Wabillahi Taufik Wal hidayah, Wassalamualaikum Wr. Wb

Medan, Oktober 2013 Penulis


(11)

Nama : MIKA LESTARI

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 29 Oktober 1985 Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jalan Eka Rasmi Gg. Eka Mulia No. 49 Medan Johor

II. KELUARGA

Nama Ayah : Slamet

Nama Ibu : Sulastri

Nama Saudara : 1. Joko Dwi Purnomo

III. PENDIDIKAN

Tahun 1991-1997 : SD Angkasa I Lanud Medan Tahun 1997-2000 : SLTP Negeri 28 Medan Tahun 2000-2003 : SMK Sandy Putra 2 Medan

Tahun 2007-2011 : S1 Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara

Tahun 2011-2013 : S2 Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(12)

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR ISTILAH ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 18

C. Tujuan Penelitian ... 18

D. Manfaat Penelitian ... 18

E. Keaslian Penelitian ... 19

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 20

1. Kerangka Teori ... 20

2. Konsepsi ... 21

G. Metode Penelitian ... 24

1. Sifat Penelitian dan Jenis Penelitian... 24

2. Lokasi Penelitian... ... 25

3. Populasi dan Teknik Sampling... 26

4. Teknik Pengumpulan data ... 26

5. Alat Pengumpulan Data ... 28

6. Analisis Data ... 28

BAB II PELAKSANAAN HUKUM WARIS ISLAM PADA KALANGAN MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN ... 30


(13)

D. Pengaruh Hukum Waris Adat Bagi Orang Batak Toba

Muslim ... 67

E. Pelaksanaan Hukum Waris Islam Pada Masyarakat Batak Toba di Kota Medan... 73

F. Proses Pewarisan Dan Pembagian Harta Warisan Dalam Masyarakat Adat... 77

G. Prinsip dasar pembagian harta warisan ... 79

H. Pengaruh Hukum Islam Terhadap Hukum Adat ... 85

BAB III JENIS- JENIS SENGKETA YANG TERJADI PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN ... 88

A. Sengketa Didalam Hubungan Kekeluargaan... 88

B. Penyelesaian Sengketa Kewarisan Islam Pada Masyarakat Batak Toba Di Kota Medan... 95

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 104

A. Kesimpulan ... 104

B. Saran ... 105


(14)

dalammemecahkan masalah

Animisme : Kepercayaan kepada mahluk halus dan roh

Bere : Kemanakan/anak dari kakak atau adik

perempuan kita

Boru : Pihak keluarga yang mengambil isteri dari satu marga (keluarga lain)

Conflict of Human Interest : Konflik antar kepentingan manusia

Dalihan Na Tolu : Kaki Tungku Nan Tiga, menjadi filsafat

utama orang batak dimana dilambangkan sebagai tiga pihak yang sama kuat dan menjadi satu kesatuan yang seimbang yaitu, Dongan Sabutuha, Boru, Hula-Hula. Dengan demikian orang Batak dapat menduduki salah satu posisi tersebut.

Dongan Sabutuha : Satu Perut Asal/saudara laki-laki satu marga

Du Bius : Penafsiran mendua

Eksogami : Pernikahan dengan orang diluar sukunya

Faraid : Pembagian waris dalam Islam

Gender : Suatu konsep tentang perempuan dan

laki-laki yang dikonstruksikan (dibentuk) budaya sehingga tidak bersifat universal

Hagabeon : Keturunan

Hakam : Pendamai


(15)

membayar ganti (tebusan)

Legitimie Portie : Bahagian mutlak

Living Law : Hukum yang hidup di masyarakat

Namariboto : Kalangan kelompok marga sendiri

Partuturan : Adat Istiadat

Patrilineal : Menarik garis keturunan dari pihak laki-laki

Paternal Grandfather : Lelaki tertua, ahli warisnya hanya pada

kerabat tertua

Rangkap Ni Gabe : Kebahagiaan, kesejahteraan

Rangkap Ni Tondi : Jodoh

Sabutuha : Perut Asal

Siapudan : Anak laki-laki paling kecil

Sinamot : Mas Kawin

State and Society : Negara dan masyarakat

Tondi : Jiwa atau roh


(16)

KHI : Kompilasi Hukum Islam

KUA : Kantor Urusan Agama

MA : Mahkamah Agung

MARI : Mahkamah Agung Republik Indonesia

PA : Pengadilan Agama

PN : Pengadilan Negeri

PPN : Pegawai Pencatat Nikah

UU Perkawinan : Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan

UU : Undang-Undang

UUD : Undang-Undang Dasar


(17)

menjadi tiga kelompok yaitu: susunan kekeluargaan patrilineal, kekeluargaan matrilineal, dan kekeluargaan parental. Seorang yang sudah meninggal dunia, maka akan timbul hubungan yang meninggal dunia dengan yang ditinggalkan serta yang harus dipenuhi si pewaris atau yang masih hidup (ahli waris) terutama harta kekayaan si pewaris. Dalam hal kewarisan dapat berlaku hukum adatnya atau hukum Islam. Sehingga berlaku juga bagi masyarakat Batak Toba muslim dimana dalam masalah kewarisan tersebut berlaku Hukum Waris Islam.

Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Medan, tepatnya daerah Medan Kota. Populasi penelitian ini adalah pemuka adat, dan masyarakat Batak Toba yang ada dilokasi penelitian. Sampel yang diambil secara purposive sampling dengan mengambil 10 responden sebagai sampel. Terhadap mereka digunakan tehnik wawancara secara langsung. Penelitian tesis ini merupakan penelitian yang bersifat deduktif analisis, dimana penelitian ini menggambarkan, menganalisa yang ada pada saat ini. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan secara Yuridis Sosiologis yaitu penerapan kaedah Hukum Islam terhadap pelaksanaan Hukum Islam pada masyarakat Batak Toba di Kota Medan. Analisis penelitian menggunakan analisis kualitatif yang kemudian ditafsirkan secara logis dan sistematis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan Hukum Waris Islam pada masyarakat Batak Toba di kota Medan belum sepenuhnya menggunakan Hukum Islam, sebagian masih menggunakan hukum adat. Walaupun pengaruh hukum Islam dirasakan belum seluruhnya menyentuh Hukum Waris Adat. Dengan terciptanya kesadaran hukum maka masyarakat Batak Toba di kota Medan dalam pembagian harta warisan menggunakan Hukum Waris Islam karena pelaksanaan Hukum kewarisan Islam merupakan bagian dari ajaran agamanya dan menjadi kewajiban agama Islam baginya. Sedangkan sengketa yang terjadi pada para ahli waris pada suku Batak Toba di kota Medan biasanya terlebih dahulu diadakan konsultasi, mediasi kepada salah satu keluarga/ pihak yang dituakan. Apabila tidak ada penyelesaiannya baru dibawa ke Pengadilan Agama. Tetapi pada kenyataannya yang terjadi penyelesaian sengketa harta warisan pada masyarakat Batak Toba yang sampai ke Pengadilan Agama jarang sekali terjadi.


(18)

parental family structure. If someone dies, there will be a correlation between him, the person who is still alive, the heir, and the inheritance. In the case of inheritance, there are adat law and the Islamic law, and these laws are in effect on Batak Toba people who are Moslems; they have to comply with the Islamic Law on Inheritance.

The research was conducted at Medan Kota, Medan. The population was adat leaders and Batak Toba community at the location of the research. The samples consisted of ten respondents, taken by using purposive sampling technique and in-depth interviews. The research was deductive analysis and judicial sociological approach in which the principles of the Islamic law on the implementation of the Islamic law on Batak Toba community in Medan. The data were analyzed qualitatively which was interpreted logically and systematically.

The result of the research showed that the implementation of the Islamic law on Inheritance in Batak Toba community in Medan had not yet used the Islamic law completely, for some of the still used adat law. It seems that the Islamic law does not much influence the adat law on inheritance. The awareness of law should encourage Batak Toba community in Medan to use the Islamic law because the implementation of the Islamic law is a part of their belief and becomes their obligation to comply with. The dispute which occurs to heirs of Batak Toba in Medan is usually consulted to one of the family members who are considered the oldest member. If there is no resolution of the dispute, the case will be brought to the Religious Court. The fact, however, is that the dispute of inheritance in Batak Toba community in Medan is rarely brought to the Religious Court.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia memiliki keragaman suku dan budaya. Letak geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan menyebabkan perbedaan kebudayaan yang mempengaruhi pola hidup dan tingkah laku masyarakat. Kita dapat melihat hal ini pada suku-suku yang terdapat di Indonesia. Salah satu contohnya adalah suku Batak. Suku Batak terbagi lagi menjadi beberapa bagian yaitu Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak PakPak dan Batak Mandailing. Dalam hal ini saya mengambil pembahasan tentang Batak Toba.

Suku Batak sebagai salah satu golongan etnis di Sumatera sejak dahulu sampai kini selalu menempuh kebudayaannya menurut kepribadian sendiri. Tampaknya modernisasi yang terjadi dalam segala segi hidup zaman ini tidak mengubah kepribadian itu, karena orang-orang Batak berpedoman pada filsafat leluhur yang tertuang di atas landasan Dalihan Na Tolu. Begitu teguhnya prinsip yang mengikat sehingga mereka, baik secara golongan tetap mendasarkan hidupnya pada falsafah itu sejak dahulu sampai sekarang.1 Memang, masyarakat Indonesia hidup dalam suasana Hukum Adat, sehingga sesungguhnya Hukum Adat tersebut dijumpai di dalam kehidupan sehari-harinya, akan tetapi Hukum Adat tersebut harus

1 E.H.Tambunan, Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya, edisi


(20)

diketemukan untuk diketahui, untuk dimengerti serta disadari bahwa hukum tersebut merupakan hukum yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Adat istiadat mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat dalam masyarakat. Kekuatan mengikatnya tergantung pada masyarakat yang terutama berpangkal tolak pada perasaan keadilannya.2

Lebih jauh Von Savigny mengatakan bahwa manusia di dunia ini terdiri atas berbagai bangsa dan tiap-tiap bangsa itu mempunyai jiwa bangsa sendiri yang disebut

volksgeist,jiwa bangsa ini berbeda satu dengan yang lain menurut tempat dan waktu. Semangat jiwa bangsa itu terjelma dalam bahasa, adat istiadat, dan organisasi sosial.3 Manusia sebagai mahluk individu bisa saja mempunyai sifat untuk hidup menyendiri tetapi manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat menyendiri. Manusia harus hidup bermasyarakat, sebab ia lahir, hidup berkembang, dan meninggal dunia di dalam masyarakat.4

Perkembangan sosial budaya yang bergerak cepat dewasa ini menimbulkan banyak dampak terhadap kehidupan dan pergaulan sosial orang Batak Toba. Disadari sepenuhnya bahwa perkembangan itu merupakan pengaruh kemajuan pendidikan, hubungan masyarakat yang terbuka dan sangat cepat antar propinsi dan antar suku bangsa, pengaruh komunikasi yang diterima dari media pers, terutama elektronik hingga ke pelosok desa, serta pengenalan produk daerah lain dan luar negeri. Semuanya akan memepengaruhi sikap dan cara berpikir orang Batak Toba. Pada

2

Soekanto dan Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia,Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, hal. 73.

3H.Abdul Manan,Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta: Kencana, 2004 , hal. 41. 4Ibid.


(21)

mulanya tunggal itu, dipercaya jugaDebata Na Tolu yaitu tiga tuhan yang masing-masing menguasai suatu tempat dialam raya dan dunia. Sekitar 400 tahun kemudian beberapa diantara penganut tersebut menunaikan ibadah haji ke tanah Arab, sekembalinya dari Arab mereka ingin mengembangkan agama Islam ke daerah yang belum menganut Islam. Mereka tahu bahwa orang Batak masih animisdan paganis.

Mereka menuju kesana dan sistem pengembangan agama yang dilakukan ialah kekerasan perang.5 Di dalam pengembangan Islam ke tanah Batak, orang Minangkabau yang disebut orang pidari dan diartikan sebagai orang yang berjubah putih, menyerang dalam jumlah ribuan. Tentara Islam itu dipimpin oleh Tuanku Rao dan si Pongkinangolngolan yang diakui orang Batak sebagaibere (kemanakan) Raja Sisingamangaraja X (Sihombing). Perang Paderi berlangsung dua kali, yaitu tahun 1825 sampai dengan 1829 yang pertama, kemudian yang kedua pada tahun 1830 sampai dengan 1833, mereka banyak membunuh orang Batak karena mau diislamkan. Sejak perang Paderi, maka agama Islam berkembang di tanah Batak. Jadi, masuknya agama Islam tersebut ke tanah Batak disebabkan perang paderi, bukan karena hubungan dagang dengan orang Arab.6

Sistem kekeluargaan yang dikenal pada masyarakat Batak Toba adalah sistem patrilineal, yang mengakui garis keturunan laki-laki, dan merupakan generasi penerus orang tuanya. Sedangkan anak perempuan bukan generasi orang tuanya dan apabila dia kawin akan masuk kedalam dan suaminya. Masyarakat Batak Toba yang

5 Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba (Suatu

Pendekatan Sejarah, Antropologi Budaya Politik), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hal. 43.


(22)

menganut sistem kekeluargaan yang patrilineal yaitu garis keturunan dari pihak ayah. Hal ini terlihat dari marga yang di pakai oleh orang Batak yang turun dari marga ayahnya. Orang Batak mengenal marga dengan arti satu asal keturunan asal, satu nenek moyang,sabutuha artinya satu perut asal. Jadi marga menunjukkan keturunan asal. Karena orang Batak menganut paham garis keturunan bapak jadi, marga merupakan satu kesatuan kelompok yang mempunyai garis keturunan yang sama berdasarkan nenek moyang yang sama.status sosial sangat ditentukan oleh marga. Di dalam hubungan sosial orang Batak, marga merupakan dasar untuk menentukan

partuturan, hubungan persaudaraan baik untuk kalangan semarga maupun dengan orang-orang dari marga lain. Fungsi lain marga yaitu menentukan kedudukan seseorang di dalam pergaulan masyarakat yang teratur menurut pola dasar pergaulan yang dinamakan Dalihan Na Tolu.7 Dengan mengetahui marga seseorang, maka setiap orang Batak otomatis lebih mudah mengetahui hubungan sosial diantara mereka.

Hukum Waris Adat Batak Toba tidak mengenal hak waris terhadap anak perempuan. Melihat dari hal ini jugalah secara otomatis bahwa kedudukan kaum ayah dan laki-laki dalam masyarakat adat dapat dikatakan lebih tinggi dari kaum wanita, namun bukan berarti kedudukan wanita lebih rendah. Apalagi pengaruh perkembangan zaman yang menyetarakan kedudukan wanita dan pria terutama dalam

7 Dalihan Natolu,arti Harfiah Kaki Tungku Nan Tiga, menjadi Filsafat utama orang Batak

dimana dilambangkan sebagai tiga pihak yang sama kuat dan menjadi satu kesatuan yang seimbang, yaitu :Dongan Sabutuha, Boru, Hula-Hula,dengan demikian, semua orang Batak dapat menduduki salah satu posisi tersebut. Semua posisi itu sama kuatnya dan sama pentingnya serta saling melengkapi satu sama lainnya seperti ketiga batu yang membentuk tungku tersebut.


(23)

hal pendidikan. Akibat dari sistem ini sangat berpengaruh terhadap kedudukan anak perempuan dan janda khusunya dalam hal warisan. Tetapi dengan keluarnya TAP MPRS No II tahun 1960 dan Putusan Mahkamah Agung No.119 K/SIP/1961 adalah merupakan tonggak sejarah atas perubahan dan perkembangan terhadap kedudukan anak perempuan dan janda sebagai ahli waris orang tuanya dan suaminya bersama dengan anak laki-laki.

Orang Batak Toba yang sudah menjalani pendidikan modern kemungkinan besar tidak lagi sepenuhnya menerima kebenaran uraian yang agak mitologis mengenai sejarah perkembangan sukunya. Tetapi bagaimanapun juga, dia akan menghargai asal usul leluhurnya itu. Konsep mendasar dalam organisasi kekerabatan ini adalah marga. Marga adalah kelompok orang-orang yang merupakan keturunan dari seorang kakek bersama dan garis keturunan itu dihitung melalui bapak (bersifat patrilineal). Mungkin secara nyata tidak dapat lagi diperinci rentetan nama para kakek bersamanya, sekian generasi yang lalu, namun ada suatu keyakinan bahwa orang-orang yang menggunakan nama marga yang sama terjalin hubungan darah, dan salah satu konsekuensinya adalah larangan menjalin ikatan perkawinan bagi perempuan dan laki-laki yang punya nama marga yang sama. Sistem kekerabatan merupakan sendi utama dalam kebudayaan orang Batak Toba.

Dalam kebudayaan Batak, kedudukan adat itu merupakan kedudukan yang ditentukan oleh jenis hubungan kekerabatan tertentu. Oleh karena itu, suatu kelompok kekerabatan terhadap pihak tertentu memiliki kedudukan tertinggi, yaitu terhadap keluarga yang telah mengambil anak perempuannya sebagai menantu, sedangkan


(24)

terhadap kelompok lain, yaitu kelompok kekerabatan ayah dari isterinya, ia mempunyai kedudukan yang lebih rendah. Seluruh hidup Batak Toba dikuasai oleh struktur kekerabatan yang bersifat patrilineal. Pengaruh itu misalnya meliputi sistem kewarisan, perkawinan, pemilikan tanah dan pola tempat tinggal.8

Orang-orang yang merupakan keturunan dari seorang kakek bersama, memang disebut sebagai orang-orang dari satu rahim (dongan sabutuha), namun itu tidak mengandung arti bahwa hubungan melalui ibu diperhitungkan dalam garis keturunan. Ikatan-ikatan kekerabatan yang menurut garis keturunan patrilineal merupakan ikatan yang sangat penting, dan secara kejiwaan, ikatan itu terus ditekankan melaui berbagai upacara Adat yang selalu menjadikan kelompok-kelompok bersangkutan bisa bertemu sewaktu-waktu. Kalau seorang kerabat melangsungkan perkawinan, ikatan yang terjadi dengan hula-hula/boru merupakan ikatan yang menghubungkan kelompok kekerabatan yang bersangkutan dengan satuan kekerabatan yang lain, namun suatu hal yang sering dibahas dalam suatu sistem patrilineal yang sangat ketat seperti halnya dengan sistem kekerabatan Batak Toba adalah posisi perempuan. Perempuan merupakan bagian dari kelompok ayahnya, sebelum dia kawin. Pada saat perempuan itu melangsungkan perkawinan, kerabat dari pihak laki-laki akan membayar mas kawin (sinamot) kepada orang tua pihak perempuan. Setelah perkawinan dilangsungkan, perempuan itu akan meninggalkan lingkungan ayahnya dan dimasukkan ke dalam suatu kekerabatan


(25)

suaminya. Namun, dilingkungan suaminya dia selalu diberi penamaan boru dari marga ayahnya, dan hubungannya dengan kerabat ayahnya punya sifat yang khusus.

Dalam kebudayaan Batak Toba juga dapat dijumpai rumusan mengenai tujuan hidup/nilai-nilai yang utama dalam hidup, yaitu hagabeon (diberkati karena keturunan, panjang umur),hamoraon(kekayaan) danhasangapon(kehormatan). Tiga misi budaya ini (H3) didasarkan pada nilai-nilai budaya tradisional Batak Toba yang disosialisasikan secara mantap. Didalam usaha meraih H3, orang Batak, khususnya Batak Toba mengalami konflik dihampir semua perilaku sosial kultural dan mereka tidak pernah lari dari konflik. Karena kuatnya pengaruh nilai-nilai tradisi dalam kehidupan Batak Toba itu, pengaruh luar seperti agama kristen dan pendidikan tidak menghilangkan identitas kebatakannya. Bahkan pengaruh luar itu mungkin merupakan alat untuk memperkokoh identitas kebatakan (Toba). Khususnya mengenai tujuan hidup yang utama itu, dalam pandangan Batak tradisional memiliki banyak anak adalah sangat penting.

Secara kultural konseptualisasi Batak Toba mengenai anak mengacu hanya kepada laki-laki dan bukan perempuan. Dampak dari hubungan kekuasaan yang timpang antara laki-laki dan perempuan ini adalah hanya laki-laki yang mempunyai hak waris atas tanah dan perempuan tidak mempunyai hak semacam itu. Perempuan memang dianggap patut untuk meminta sebidang tanah kepada ayah, saudara laki-lakinya, yang dihubungkan dengan peristiwa yang sangat khusus yaitu perkawinan

(pauseang), atau meminta untuk anak laki-lakinya dalam arti ini, berbeda dengan anak laki-laki, hak anak perempuan terbatas pada “hak meminta” berdasarkan cinta


(26)

kasih. Perempuan dianggap patut untuk meminta bagian dari harta, sedangkan laki-laki berhak atas bagian tertentu dari harta waris.9

Hal lain yang merupakan kelemahan adalah bahwa anak perempuan tidak berhak menjadi ahli waris, dalam pembagian warisan orang tua yang mendapatkan warisan adalah anak laki-laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah. Pembagian warisan untuk anak laki-laki juga tidak sembarangan, karena pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki-laki yang paling kecil atau dalam bahasa bataknya disebut siapudan, dan dia mendapatkan warisan yang khusus.

Apabila sepasang suami isteri tidak mempunyai anak laki-laki maka harta peninggalannya akan jatuh kepada kerabat laki-laki yang dekat (saudara ayahnya). Sementara anak perempuannya tidak mendapatkan apapun dari harta orang tuanya. Dalam hukum adatnya mengatur bahwa saudara ayah yang memperoleh warisan tersebut harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si pewaris sampai mereka berkeluarga. Tetapi untungnya hal-hal yang terkait dengan hak-hak perempuan telah mengalami perubahan, karena apabila perempuan yang diperlakukan menurut hukum adat tradisional itu mengajukan perkaranya ke Pengadialn Negeri, maka hakim akan memberi keputusan yang menguntungkannya. Dalam hal ini Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan keputusan yang menegaskan bahwa

9Sulistyowati Irianto,Perempuan diantara Berbagai Pilihan Hukum,Jakarta:Yayasan Obor


(27)

dalam sistem patrilineal, mestinya perempuan juga diberi hak waris yang sama dengan laki-laki.10

Suatu perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan. Kematian akan mengakibatkan pengalihan hak dan kewajiban dalam bidang harta kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut yang pada mulanya berada di tangan si meninggal secara hukum akan berpindah kepada mereka yang ditinggalkan yaitu para ahli waris dari si meninggal. Pewarisan terjadi, bila ada yang meninggal dari sebuah perkawinan mereka yang sah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Pembagian harta warisan sangat berhubungan dengan susunan kekeluargaan yang ada pada masyarakat adat di Indonesia. Proses pergeseran nilai hukum adat itu terutama sekali dalam bidang hukum waris tidak selamanya berjalan mulus akan tetapi tidak jarang menimbulkan korban jiwa, ini disebabkan karena adanya pertentangan kepentingan dari dua pihak, disatu pihak ingin tetap mempertahankan kaedah-kaedah yang lama karena dianggap lebih menguntungkan baginya sedangkan di pihak lain menuntut dilakukannya perubahan karena dirasakannya hukum adat yang lama itu tidak adil. Pewaris adalah suatu proses perwalian/perpindahan harta, peninggalan/harta warisan seseorang yang telah meninggal/harta warisan seseorang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada ahli warisnya. Hukum Waris Adat dari


(28)

suatu suku bangsa Indonesia yang tradisionalnya sangat dipengaruhi sekali oleh sistem kemasyarakatan/kekerabatan dan sistem pewarisan dari suku bangsa yang bersangkutan.

Cukup banyak orang Batak Toba yang memeluk agama Islam, yag mana dalam Hukum Islam menempatkan anak perempuan sebagai ahli waris sebagaimana yang terdapat dalam Alqur’an Surat An-Nisa ayat 11 yang menyebutkan “ Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka) untuk anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta”. Bagi orang Batak Toba yang menganut agama Islam tentu ada 2 (dua) pilihan hukum waris yang dapat berlaku yaitu Hukum Adat dan Hukum Islam.

Dalam hal pewarisan, hukum adat patrilineal masih membedakan gender, yaitu di mana pihak yang berhak sebagai penerima waris atau ahli waris adalah kaum laki-laki saja. Perjuangan menciptakan kesetaraan gender tentu bukanlah hal yang gampang. Tidak jarang, pemahaman dan empati perempuan di zaman serba modern ini ternyata justru masih terkungkung pola pikir “patriakhi”. Pada masyarakat patrilineal yang terdapat pada daerah Karo, Nias, Tapanuli, Makasar, dan Lombok serta berbagai daerah lainnya di Indonesia masih menganggap bahwa anak laki-laki masih lebih berharga atau lebih tinggi kedudukannya daripada anak perempuan. Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun penerus yang membawa marga dari orang tuanya. Dalam hukum adat Batak Toba, anak perempuan tidak


(29)

memperoleh hak untuk mewarisi harta peninggalan orangtuanya. Kedudukan anak perempuan dalam hukum waris sangat penting karena seringkali anak perempuan terabaikan dalam hukum waris di kehidupan sehari-hari.

Bahwa proses pergeseran Hukum Waris Adat tersebut digambarkan secara umum ialah kearah pengakuan hak yang sama antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam menerima warisan dari orang tuanya serta pengakuan janda sebagai ahli waris mendiang suaminya.

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.179 K/SIP/1961 tanggal 01 November 1961 dalam perkara antara Langtewas Sitepu dan Ngadu Sitepu lawan Benih Ginting.

Duduk Perkara :

Benih Ginting ada menguasai sebidang tanah yang dikenal dengan “Juma Pasar” terletak di desa Sukandebi, tanah karo, dimana tanah itu diperolehnya dari peninggalan ibu kandungnya bernama mendiang Rumbane br.Sitepu. Dimana Rumbane br.Sitepu mendapatkan tanah tersebut dari kakak kandungnya bernama Dem br.Sitepu, dan Dem br.Sitepu memperolehnya dari peninggalan ayah kandungnya bernama Rolak Sitepu. Sedangkan Rolak Sitepu mendapatkan tanah tersebut dari pembagian harta warisan orang tuanya.

Langtewas Sitepu dan Ngadu Sitepu (Penggugat) anak kandung dari Tindik Sitepu menggugat Benih Ginting (Tergugat) di Pengadilan Negeri Kabanjahe untuk menyerahkan tanah “Juma Pasar” tersebut kepadanya dengan alasan bahwa Rolak Sitepu selaku saudara kandung dari Tindik Sitepu tidak ada mempunyai anak


(30)

laki-laki, sehingga menurut hukum adat Batak Karo tanah tersebut seharusnya diwariskan kepada Penggugat. Pertimbangan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) yaitu bahwa berdasar selain rasa prikemanusiaan dan keadilan umum juga atas hakikat persamaan hak antara pria dan wanita, dalam beberapa putusan sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak laki-laki dan perempuan bersama-sama berhak atas warisan, dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan.

Sehingga Kemudian dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARl) antara lain:

1. Yurisprudensi MARl No.179 K/Sip/1961 yang menetapkan bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan bersama berhak atas harta warisan, dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan bagian anak perempuan.

2. Yurisprudensi MARl No.100 K/Sip/1967 yang menetapkan bahwa janda adalah sebagai ahli waris daripada mendiang suaminya dengan ketentuan:

a. Harta peninggalan diwarisi oleh anak laki-laki dengan perempuan dengan hak yang sama.

b. Harta pewarisan (harta pencaharian bersama atau gono-gini) dibagi dua bagian, setengah untuk bagian janda setengah lagi untuk di bagi secara bersama-sama antara janda dan anak-anaknya.


(31)

Dalam uraian diatas ternyata perkembangan hukum dalam hukum adat tentang pewarisan semakin lama semakin nyata dalam kedudukan hak wanita telah mengarah kepada pengakuan kekuasaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Di Indonesia, hukum waris yang berlaku secara nasional belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hukum waris yang berdasarkan Hukum Islam, Hukum Adat, dan Hukum Perdata Eropa. Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial belanda dahulu. Kita sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu mendambakan adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional (seperti halnya Hukum Perkawinan dengan UU Nomor 1 tahun 1974), yang sesuai dengan bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan sesuai pula dengan aspirasi yang benar-benar hidup di masyarakat.

Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah meninggal dunia kepada ahli waris nya. Hukum kewarisan Islam disebut juga hukum fara’id, yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan. Sumbernya adalah Al-Qur’an dan Al-Hadist.11Bagi masyarakat golongan Indonesia asli yang beragama Islam di bidang keperdataan semula diberlakukan hukum agamanya (Hukum Islam) tetapi akibat pengaruh teori Receptio dari C.Snouck Hurgronye, Hukum Islam lambat laun dihapuskan dari khasanah Hukum Indonesia. Maka Hukum Islam hanya berlaku

11 M.Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Utama, 2002,


(32)

bila dikehendaki oleh Hukum Adat masyarakat yang bersangkutan.12 Hukum kewarisan Islam dibatasi oleh asas-asas yang terkandung dalam Hukum Waris tersebut. Asas hukum kewarisan Islam yang dapat disalurkan dari Qur’an dan Al-Hadist adalah ijbari, bilateral, individual, keadilan berimbang, akibat kematian.

Proses peralihan harta dari orang yang telah mati kepada yang masih hidup dalam hukum kewarisan Islam mengenal 3 (tiga) unsur yaitu pewaris, harta warisan, dan ahli waris.13 Masuknya ajaran Agama Islam pada masyarakat Batak Toba juga mempengaruhi kehidupan serta pandangan masyarakatnya, yang akhirnya akan menimbulkan pergeseran atau perubahan terhadap Hukum Adat Batak termasuk hukum warisnya. Ajaran agama Islam memperkenalkan aturan warisan yang berbeda dengan aturan warisan yang dikenal masyarakat karo. L.W.C. Van Den Berg dengan teorinyaReceptio in Complexumengajarkan bahwa Hukum Islam diterima (diresepsi) secara keseluruhan oleh umat islam.14 Kemudian muncul teori Receptio yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi orang islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat.15 Ajaran-ajaran islam yang termasuk di dalam Al-Qur’an dan Al-hadist mengandung pedoman-pedoman dasar tentang penataan kehidupan manusia secara normatif, baik dalam arti kehidupan pribadi, keluarga, maupun kehidupan

12 Sajuti Thalib, Receptio a Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam),

Jakarta: Bina Aksara, 1982, cetakan ketiga, hal. 25-46.

13

Amir Syarifuddin,Hukum Kewarisan Islam,Jakarta: Kencana, 2004, hal. 204.

14Ahmad Rofiq,Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 13. 15Ibid, hal. 16.


(33)

masyarakat.16Al-QurandanAl-Hadistsebagaimana telah dikemukakan oleh para ahli Hukum Islam, pada umumnya berisikan norma yang bersifat umum sebagian mengandung norma moral dan norma hukum.17

Dari seluruh hukum yang telah ada dan berlaku dewasa ini disamping hukum perkawinan, hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang memegang peranan yang sangat penting, bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku di masyarakat itu.18 Dalam waris Islam bagian laki-laki dua kali bagian perempuan, sedangkan dalam Hukum Waris Perdata bagian perempuan seimbang/sama rata dengan bagian laki-laki. Namun demikian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga ditegaskan bahwa para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, serta masing-masing menyadari bagiannya.19Bagi setiap pribadi muslim adalah kewajiban baginya untuk melaksanakan kaidah-kaidah peraturan Hukum Islam yang ditunjuk oleh peraturan-peraturan yang jelas. Dalam masyarakat Batak Toba yang menganut sistem patrilineal demikian juga dalam menerima warisan dari ke dua orang tuanya menurut hukum Adat Batak hanyalah anak laki-laki saja. Masih adanya pluralitas dalam sistem hak waris pada masyarakat Indonesia mengakibatkan timbulnya persinggungan diantara sistem-sistem Hukum Waris tersebut. Tetapi dengan keluarnya TAP MPRS No.II/1960 dan Putusan Mahkamah Agung No.179

16Said Agil Husin Al-Munawar,Hukum Islam dan Pluralitas Sosial,Jakarta: PT.Penadami,

2004, hal. 28.

17

Ibid

18

Moh.Idris Ramulyo,Hukum Perkawinan , Hukum Kewarisan, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hal. 93.


(34)

K/SIP/1961 dan hingga keluarmya Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan serta dipengaruhi oleh politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan, kedudukan anak perempuan dalam pewarisan khususnya orang Batak telah mengalami perubahan. Di dalam pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan di sebutkan :

1. Harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama

2. Harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah / warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing.

Dengan adanya perubahan / perkembangan tersebut,sudah terlihat adanya asas kesamaan/kesederajatan antara laki-laki dan perempuan, rasa keadilan dan persamaan hak serta asas prikemanusiaan. Secara hukum hak perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan UUPA No.5 tahun 1960, pasal (9). Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari masih mempunyai kesulitan-kesulitan merealisasikan kesamaan hak tersebut.

Dalam hal pewarisan, Hukum Adat patrilineal masih membedakan gender.20 Yaitu dimana pihak yang berhak sebagai penerima waris atau ahli waris adalah kaum laki-laki saja. “Perjuangan menciptakan kesetaraan gender tentu bukanlah hal yang

20Sir.Alfocine Idarmeity Sianturi,Kesetaraan Gender dalam Semangat, Habitus baru, 2008,

hal. 1.

Gender adalah suatu konsep tentang perempuan dan laki-laki yang dikonstruksikan (dibentuk) budaya sehingga tidak bersifat universal. Oleh sebab jender tidak universal maka ia dapat berbeda menurut tempat,waktu,golongan,masyarakat,ekonomi,hukum dan agama.


(35)

gampang. Tidak jarang pemahaman dan empati perempuan di zaman serba modern ini ternyata justru akan terkungkung pola pikirpatriakhi.21

Peran serta posisi perempuan dalam bermasyarakat tergantung pada nilai budaya yang mengaturnya. Seringkali orang langsung dapat menyimpulkan bahwa perempuan sebagai mahluk yang dinomor duakan akibat budaya patriarkhi, padahal asumsi tersebut tidak terjadi pada semua kelompok masyarakat. Akses dalam harta warisan, saat ini telah banyak sorotan, dimana anak perempuan sudah mulai menuntut haknya dalam harta warisan dari orang tuanya. Beberapa fakta menyatakan sudah terjadi perubahan perlakuan terhadap anak perempuan. Hal ini disebabkan oleh masuknya unsur-unsur baru ke dalam masyarakat yang mulai mengklaim anak perempuan untuk lebih maju. Fakta menyatakan bahwa anak perempuan yang lebih berhasil dalam pendidikan bahkan sampai pada tingkat perguruan tinggi, anak perempuan juga kebanyakan merantau serta anak perempuan juga sudah mulai menuntut warisan, ketika dalam sebuah keluarga tidak ada anak laki-laki. Berbagai macam perjuangan dilakukan oleh anak perempuan guna untuk mendapatkan kesempatan yang sama dengan anak laki-laki untuk maju.

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan tersebut diatas, maka dilakukan penelitian tesis yang berjudul :

Pelaksanaan Hukum Waris Islam pada Masyarakat Batak Toba ” (Studi di kota Medan).

21James P.Pardede, Berbagi Peran dalam Mengurangi Angka Kekerasan Terhadap


(36)

B. Perumusan Masalah

Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan Hukum Waris Islam pada masyarakat Batak Toba di Kota Medan?

2. Bagaimana penyelesaian sengketa yang terjadi dalam pembagian warisan di kalangan masyarakat Batak Toba yang beragama Islam di Kota Medan?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan hukum waris Islam pada masyarakat Batak Toba di Kota Medan.

2. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa yang terjadi dalam pembagian warisan di kalangan orang Batak Toba di Kota Medan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian merupakan pencerminan secara konkrit kegiatan ilmu dalam memproses ilmu pengetahuan.22 Penulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis antara lain :

1. Secara teoritis

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran dibidang ilmu hukum, khususnya dalam disiplin ilmu hukum bidang hukum

22Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum,Bandung: Mandar Maju, 2008,


(37)

waris Islam, baik dari segi perundangan maupun dari segi penerapannya khususnya tentang pelaksanaan hukum waris pada masyarakat Batak Toba. 2. Secara praktis

Diharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan dan masukan bagi pengambil kebijakan dan para pelaksana hukum dibidang hukum waris khususnya Hukum Waris Islam.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan di Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang membicarakan masalah “Pelaksanaan Hukum Waris Islam pada Masyarakat Batak Toba”. Adapun penelitian yang terkait dengan hukum waris Islam Batak Toba yaitu :

1. Tesis yang berjudul : Tinjauan yuridis terhadap pelaksanaan pembagian harta warisan dalam perkawinan poligami menurut perspektif hukum waris Islam. Penelitian ini dilakukan oleh Nadia Akass.

2. Tesis yang berjudul : Perceraian dan akibat hukumnya pada masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen Protestan. Penelitian ini dilakukan oleh Junjungan Moses S.

Berdasarkan hal tersebut diatas, objek kajian dalam penelitian ini merupakan suatu permasalahan yang belum pernah tersentuh secara komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya, penelitian ini merupakan sesuatu yang baru. Tesis


(38)

ini merupakan hasil karya penulis sendiri. Dengan demikian penelitian ini asli serta dapat dipertanggung jawabkan secara akademis dan ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangkan yang logis artinya menundukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.23 Kontitunitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial juga sangan ditentukan oleh teori.24

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.25 Kerangka teori yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kerangka pemikiran dan butir-butir pendapat, teori, tesis dari para penulis ilmu hukum dibidang hukum waris, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetuui ataupun tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal dalam penulisan tesis ini.

Dalam hal berlakunya Hukum Islam yang sebagian di persinggungkan dengan hukum adat di Indonesia terdapat tori-toeri dalam pertumbuhan dan perkembangan hukum di Indonesia yaitu :

23 Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi dan Tesis, Yogyakarta:

2006, hal. 6.

24Soerjono Soekanto,Op.Cit,hal. 6.


(39)

a) Theorie Receptio In Complexu, merupakan teori yang dikemukakan oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Christiaan van den Berg yang mengatakan bahwa “bagi orang islam berlaku penuh hukum islam sebab dia telah memeluk agama islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan.

b) Ajaran Islam tentang pentaatan hukum yang ditentukan dalam Al-Qur’an bahwa bagi orang Islam pada dasarnya diperintahkan untuk taat kepada allah dan rasul-nya, tidak ada pilihan lain jika ternyata Allah dan Rasul menetapkan hukum yang pasti dan jelas.

Dengan adanya teori-teori tersebut diatas menggambarkan betapa eratnya Hukum Islam dengan penduduk Indonesia, masyarakat Indonesia (masyarakat adatnya), negara Republik Indonesia dan hukum nasional Indonesia.

Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, bahwa setiap masnusia pasti mengalami peristiwa yang biasa disebut peristiwa hukum yakni meninggal dunia. Apabila ada suatu peristiwa hukum yaitu meninggalnya seseorang sekaligus menimbulkan akibat hukum yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang meninggal dunia.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori konsepsi yang diterjemahkan sebagai usaha yang membawa sesuatu yang abstrak menjadi yang konkrit yang disebut dengan “operational defenition”. Pentingnya defenisi


(40)

operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan atau penafsiran mendua (du bius) dari suatu istilah yang dipakai dan dapat ditemukan suatu kebenaran.26

Kerangka konseptual pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak. Namun demikian suatu kerangka konseptual belaka, kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang akan dapat menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian. Definisi merupakan keterangan mengenai maksud untuk memakai sebuah lambang secara khusus yaitu menyatakan apa arti dari sebuah kata.27

Adapun uraian daripada konsep dasar atau istilah yang digunakan dalam penulisan ini agar pelaksanaannya diperoleh sesuai dengan tujuan yang akan ditentukan diantaranya adalah :

a. Sistem kekerabatan ada 3 (tiga) yaitu :

a. Sistem Matrilineal yaitu sistem yang menarik garis keturunan menurut garis ibu.

Contohnya di Minangkabau. Pada masyarakat Minangkabau yang menjadi ahli waris ialah hanya anak dari si ibu jika yang meninggal laki-laki maka yang menjadi ahli warisnya ialah saudaranya perempuan dan kemanakannya.

26Rusdi Malik, Penemu Agama Dalam Hukum di Indonesia, Jakarta: Universitas Trisakti,

hal. 15.


(41)

b. Sistem Patrilineal yaitu sistem yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (bapak)

c. Sistem parental yaitu sistem yang menarik garis keturunan menurut garis ibu dan bapak. Pada masyarakat Parental yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki dan anak perempuan secara bersama-sama namun bagian anak laki-laki lebih besar dari bagian anak perempuan.

b. Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah meninggal dunia kepada ahli waris nya.

c. Sistem Pewarisan ada 3 (tiga) macam yaitu:

a. Sistem Kolektif yaitu bahwa harta warisan itu terdiri dari pewaris kepada ahli warisnya dalam keadan utuh tidak terbagi-bagi.

b. Sistem Masgraf yaitu warisan dari pewaris itu hanya beralih kepada anak laki-laki saja (Masyarakat laki-laki).

c. Sistem Individual yaitu harta warisan itu di bagi-bagikan kepada ahli warisnya yaitu anak laki-laki dan anak perempuan.

d. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam,meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.

e. Ahli Waris adalah orang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.


(42)

f. Harta Warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, pengurusan jenazah, pembayaran hutang.

g. Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah kegiatan pengumpulan atau sesuatu yang dihimpun. KHI di Indonesia merupakan langkah awal dalam kodifikasi hukum islam dibidang muamalah yang berlaku dalam yurisdiksi Peradilan Agama bagi warga negara indonesia yang beragama islam. KHI berlaku sah dan dijadikan pedoman bagi seluruh Peradilan Agama di Indonesia berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama No.154 tahun 1991 tertanggal 22 juli 1991.28

G. Metode Penelitian

Metodologi berasal dari kata “Metode” yang artinya cara yang tepat untuk melakukan sesuatu, dan “logos” yang artinya ilmu atau pengetahuan. Jadi metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.

1. Sifat Penelitian dan Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriftif analisis, yaitu penelitian yang diharapkan akan menggambarkan , menelaah dan menjelaskan secara menyeluruh tentang masalah dan sistem hukum dan mengkajinya secara sistematis sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan.


(43)

Jenis Penelitian yang digunakan adalah menggunaan penelitian empiris dengan menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis dilihat dari segi perundang-undangan, peraturan-peraturan serta norma hukum yang relevan. Sedangkan pendekatan empiris menekankan penelitian yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan empiris dengan jalan terjun langsung ke lapangan.29 Penelitian ini digunakan karena data-data yang dibutuhkan berupa hasil dari wawancara dengan para informan.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang diambil yaitu di Kota Medan, dengan pembagian atas beberapa tempat yaitu Medan Johor, Medan Barat, Medan Denai, Medan Area, Medan Kota. Dan berdasarkan luasnya lokasi penelitian maka peneliti lebih menetapkan pada satu sektor tempat yang dapat mewakili yang lain yaitu Medan Kota. Saya memlih Kota Medan karena Kota Medan merupakan kota impian untuk migarsi suku bangsa batak sejak dekade 20 an, orang-orang sudah datang ke Medan. Sehingga dengan banyaknya bangsa Batak khususnya dalam penelitian ini masyarakat Batak Toba, sehingga lebih mudah untuk mencari informasi di Kota Medan tersebut. Demikian juga bagi masyarakat Batak Toba melakukan migrasi ke Kota Medan disebabkan faktor-faktor penarik yang ditawarkan seperti, kesempatan kerja yang lebih baik, fasilitas pendidikan yang lebih baik dan lain sebagainya.

29

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Judimetri, Jakarta: Ghalia, Indonesia, 1990, hal. 40.


(44)

3. Populasi dan Teknik Sampling

Populasi adalah keseluruhan elemen atau unsur yang akan diteliti. Sampel adalah sebahagian dari populasi. Artinya tidak akan ada sampel jika tidak ada populasi. Oleh karena itu populasi biasanya sangat besar dan luas, maka tidak mungkin untuk meneliti seluruh popuasi tetapi cukup diambil sebagian saja untuk diteliti sebagai sampel sehingga memberikan gambaran yang tepat dan benar.30

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah non random sampling/non probability sampling dengan teknik purposive sampling dimana tidak semua populasi akan diteliti tetapi dipilih yang dianggap mewakili secara keseluruhan.31 Sampling dalam penelitian ini meliputi, pemuka adat, Ketua PBI (Persatuan Batak Islam) di Kota Medan, dan masyarakat Batak Toba di Kota Medan. 4. Teknik Pengumpulan data

Dan teknik pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu :

1. Penelitian Kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca, mempelajari, dan menganalisa literatur/buku-buku, peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

Data dibedakan berdasarkan sumbernya menjadi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang dukumpulkan dan disatukan secara langsung dari obyek yang diteliti dan untuk kepentingan studi yang bersangkutan.

30

Ibid, hal. 44. 31

Sugiarto, Dergibson Siagian, Deny S. Oetomo, Tehnik Sampling, Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama, 2003, Hal. 7-8.


(45)

Sedangkan data sekunder adalah data yang dikumpulkan dan disatukan oleh studi-studi sebelumnya atau yang diterbitkan oleh berbagai instansi lain.32 2. Penelitian Lapangan (field research), yaitu dilakukan dengan menghimpun

data primer dengan wawancara langsung kepada informan, dengan menggunakan daftar pertanyaan secara acak (bebas berstruktur), agar memperoleh informasi yang lebih dalam terhadap penelitian ini.

Bahan hukum dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu : a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan.

Bahan hukum primer dalam penelitian ini terdiri dari : Undang-Undang perkawinan No.1 Tahun 1974, KHI (Kompilasi Hukum Islam).

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah semua bahan hukum yang merupakan publikasi dokumen tidak resmi meliputi buku-buku, karya ilmiah.33

c. Bahan Hukum Tersier

d. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, dan lain-lain.

32Suparmoko,Metode Penelitian Praktis,Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1999, hal. 67. 33Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2005,


(46)

Untuk mendapatkan hasil yang penelitian yang objektif dan dapat dipertanggung jawabkan, maka alat pengumpulan data dilakukan dengan : 5. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari : a. Studi Dokumen, yang dilakukan dengan menghimpun data dengan melakukan

penelaah bahan-bahan kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer, baru kemudian bahan hukum sekunder dan tersier.34

b. Wawancara langsung, yaitu dengan menjumpai secara langsung pihak-pihak yang terkait dalam permasalahan ini seperti masyarakat Batak Toba Islam dan tokoh adat.

c. Quisioner, yaitu daftar pertanyaan yang akan diberikan kepada responden. 6. Analisis Data

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertitik tolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan komplek.

Analisis data adalah proses mengatur urutan data/mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan satu uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.35

Sumber data pada penelitian ini berupa data sekunder yakni bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan (library research) berupa

perundang-34Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta:Raja Grafindo

Persada, 1995, hal. 13.


(47)

undangan, buku-buku, jurnal-jurnal hukum, serta data primer yang diperoleh dari penelitian dilapangan (field reserch) berupa hasil wawancara yang diuraikan, kemudian disusun secara berurutan dan disajikan dalam penulisan yang sistematis. Dan selanjutnya data primer dan data sekunder yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, analisis secara kualitatif dengan cara mengkategorikan data-data yang telah diperoleh dan kemudian ditafsirkan dalam usaha untuk mencari jawaban terhadap masalah penelitian, sehingga ditarik suau kesimpulan dengan menggunakan metode berfikir deduktif, yaitu dimulai dari hal yang umum dan menarik hal-hal umum tersebut kepada hal-hal yang khusus.


(48)

BAB II

PELAKSANAAN HUKUM WARIS ISLAM PADA KALANGAN MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN

A. Dasar Berlakunya Hukum Waris Islam di Indonesia 1. Pengertian Hukum Kewarisan Islam

Hukum Islam adalah hukum yang sangat demokratis, pluralis, dengan karakteristiknya yang sempurna, universal, dinamis dan sistematis. 36 Istilah waris dalam Islam disebut juga denganfara’idyaitu bentuk jamak dari faridah yang secara

harfiyah berarti bagian yang telah ditentukan. Pengertian ini erat kaitannya dengan fardu yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan.37 Artinya hukum kewarisan dalam Islam merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim, ia dianggap sebagai hukum yang berlaku secara mutlak. Dan hukum kewarisan Islam secara mendasar memang merupakan ekspresi langsung dari teks suci yang berasal dari Al-Quran dan Ash-Sunnah. Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Selain itu hukum Islam juga memiliki prinsip yang sangat bersahaja, dengan konsep kemaslahatan, menegakkan keadilan, tidak menyulitkan, menyedikitkan beban, dan

36Faturrahman Djamil,Falsafah Hukum Islam, logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hal. 46-51. 37Juhaya S.Praja,Filsafat Hukum Islam, LPPM, Universitas Islam Bandung, Bandung, 1995,


(49)

diturunkan (diterapkan) secara berangsur-angsur. 38 Hukum kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dirumuskan dalam Pasal 171 huruf a : Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Hukum waris yang berlaku bagi warga negara Indonesia (WNI) saat ini ada tiga macam yaitu :

1. Hukum Waris Barat tertuang di dalam KUH Perdata

2. Hukum Waris Islam merupakan ketentuan Al Qur’an dan Hadist. Penggunaan hukum Waris Islam tergantung pada keimanan merupakan faktor utama. 3. Hukum Waris Adat beraneka tergantung di lingkungan mana masalah waris

itu terbuka.39

Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu. Kita sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu mendambakan adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional (seperti halnya hukum perkawinan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974), yang sesuai dengan bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan sesuai pula dengan aspirasi yang benar-benar hidup di masyarakat. Setiap masalah yang dihadapi oleh manusia ada hukumnya (wajib, sunat, haram, mubah, makruh), disamping ada pula hikmahnya atau motif hukumnya. Namun, hanya sebagian kecil

38

Jaih Mubarok,Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam,Rosda Karya, Jakarta: 2000, hal. 7-11.

39Suraini Ahlan Syarif,Intisari Hukum Waris menurut Burgelijke Wetboek, Ghalia, Jakarta:


(50)

saja yang telah ditunjukkan oleh Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang jelas dan pasti. Sebab masalah yang belum atau ditunjukkan oleh Al-Qur’an atau sunnah itu diserahkan kepada pemerintah, ulama atau cendekiawan Muslim, dan ahlul hilli wal’aqdi(orang-orang yang punya keahlian menganalisa dan memecahkan masalah) untuk melakukan pengkajian atau ijtihad guna menetapkan hukumnya, yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat dan perkembangan kemajuannya.40 Seperti halnya hukum kewarisan yang lain, dalam hukum kewarisan Islam juga terdapat pengaturan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus ditaati dan diikuti oleh setiap muslim. Pelanggaran atas hak orang lain atau kelalaian dalam melaksanakan kewajiban akan menjadikan adanya persoalan atau permasalahan baru. Hal itu jelas tidak sejalan dengan tujuan Hukum Islam, yaitu mewujudkan kemaslahatan umum dan memberikan kemanfaatan, dan kerusakan bagi umat manusia.

Setiap tindakan warga negara Republik Indonesia yang beragama Islam harus mematuhi aturan-aturan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), adapun segala tindakan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang ada akan dianggap sebagai bentuk dari perbuatan melanggar hukum. Untuk lebih jelasnya dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam buku II (Hukum Kewarisan) yang terdiri dari 6 Bab dan 43 pasal (pasal 171-214) yang pada intinya isi dari KHI adalah berasal dari kita-kitab fiqih para ulama terkemuka yang dasar-dasar hukumnya diambil dari kitab-kitab fiqih mawaris.

40M.Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta: 1975, hal.


(51)

Namun permasalahan tentang kewarisan, pembagian waris sampai penghalang mewarisi tidak akan pernah selesai, karena masalah-masalah baru akan terus bermunculan seiring dengan perkembangan zaman yang semakin kompleks. Di dalam fiqih terdapat kaidah yang mengatakan bahwa hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat dan keadaan.41Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan wujud nyata pembaharuan hukum Islam di Indonesia yang disesuaikan dengan perubahan waktu, tempat dan keadaan sosial kultural Indonesia. Meskipun demikian segala hal yang berkaitan dengan hukum kewarisan Islam seperti kriteria sebagai ahli waris, besarmya bagian warisan, syarat dan rukun waris yang telah dimasukkan dalam pasal-pasal yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sama sekali tidak menyimpang dari ajaran Islam.

2. Hukum Islam dan Hukum Adat di Indonesia 1. Sistem Hukum di Indonesia

Yang dimaksud dengan sistem hukum di Indonesia adalah hukum yang berlaku di Indonesia. Di dunia ada lima sistem hukum yang hidup dan berkembang, yaitu :

a. Sistem Civil Law yang berasal dari hukum Romawi dan dianut oleh Eropa Barat Kontinental yang kemudian dibawa kenegeri-negeri jajahannya oleh pemerintah kolonial Barat dahulu.

41

Ditbinbapera Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama RI, Jakarta: 1999/2000, hal.134.


(52)

b. Sistem Common Law yang dianut di Inggris dan negara bekas jajahannya yang kini tergabung dalam negara-negara peresemakmuran.

c. Sistem Hukum Adta di negara-negara Asia dan Afrika.

d. Sistem Hukum Islam yang dianut oleh orang Islam dimanapun mereka berada.42

e. Sistem Hukum Komunis yang dianut oleh negara-negara komunis.

Saat ini yang berlaku di Indonesia hanya tiga yaitu sistem Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Kontinental. Berlakunya tiga sistem tersebut menunjukkan kemajemukan sistem yang berlaku, artinya sangat dimungkinkan suatu masalah yang timbul dapat diselesaikan oleh ketiga sistem yang ada, sehingga diperlukan pilihan sistem hukum mana yang diberlakukan. Sistem hukum di Indonesia merupakan perpaduan beberapa sistem hukum.

Sistem hukum Indonesia merupakan perpaduan dari hukum agama, hukum adat, dan hukum negara eropa terutama Belanda sebagai bangsa yang pernah menjajah Indonesia. Belanda berada di Indonesia sekitar 3,5 abad lamanya maka tidak heran apabila banyak peradaban mereka yang diwariskan termasuk sistem hukum. Bangsa Indonesia sebelumnya juga merupakan bangsa yang telah memiliki budaya atau adat yang sangat kaya. Bukti peninggalan atau fakta sejarah mengatakan bahwa Indonesia terdiri dari kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha. Zaman kerajaan meninggalkan warisan-warisan budaya yang hingga saat ini masih terasa. Salah satu nya dalah peraturan-peraturan adat yang hidup dan bertahan hingga saat ini masih


(53)

terasa dan bertahan hingga kini. Salah satunya adalah peraturan adat yang hidup dan nilai-nilai hukum adat merupakan salah satu sumber hukum di Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terutama Islam. Selain itu, Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam juga tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari unsur agama. Oleh karena itu, sistem hukum Indonesia sekarang juga erat kaitannya dengan hukum agama meskipun tidak menyerap seutuhnya dari hukum agama tersebut. Sedangkan status sebagi negara dengan slogan Bhineka Tunggal Ika juga membuat sistem hukum Indonesia tidak bisa tidak untuk menyerap berbagai hukum adat yang sudah sejak lama ada di masyarakat Indonesia.43

B. Perkawinan

Perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan akad nikah. Sasaran utama dari disyariatkannya perkawinan dalam Islam diantaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusai yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk memelihara dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus memperhatikan norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Perkawinan menuntut tanggung jawab dan kedewasaan secara fisik maupun mental. Dalam perkawinan dibutuhkan pemikiran yang rasional dan dapat mengambil keputusan atau sikap yang matang,

43

M.Bakri, Pengantar Hukum Indonesia, Sistem Hukum Indonesia Pada Era Reformasi, Penerbit: Elektrik Pertama dan Terbesar di Indonesia


(54)

karena perkawinan itu sendiri merupakan suatu proses awal dari perwujudan bentuk kehidupan manusia.

1. Arti dan Tujuan Perkawinan

Di dalam hukum Islam pernikahan merupakan satu anjuran bagi kaum muslimin. Dari sudut ilmu bahasa kata perkawinan berasal dari kata “kawin” yang merupakan terjemahan dari bahasa arab “nikah”. Kata nikah mengandung dua pengertian yaitu dalam arti sebenarnya (haqikat) berarti berkumpul dan dalam arti kiasan berarti aqad atau mengadakan perjanjian perkawinan. Menurut hukum Islam yang dimaksud dengan perkawinan adalah aqad yang bersifat luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya sebagai suami isteri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga yang penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni, keadaan yang lazim disebut sakinah.44 Sedangkan pengertian Perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan bahwa “ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.45

Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak hanya merumuskan arti perkawinan, melainkan terdapat juga tujuan perkawinan. Untuk membentuk keluarga

44Sudarsono,Hukum Perkawinan Nasional,Jakarta: Rineka Cipta, 2005, hal. 2. 45Lihat Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 1.


(55)

bahagia dan kekal yang merupakan hakikat dari tujuan perkawinan, tidak hanya dipengaruhi oleh unsur rohani tetapi juga harus memenuhi unsur yuridis yakni perkawinan harus dicatatkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi pasangan yang beragama Islam, maka pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama, sedangkan bagi pasangan yang memeluk agama selain Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Dari pengertian ini perkawinan mengandung aspek akibat hukum, melangsungkan perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong menolong. Tujuan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 telah dirumuskan sangat ideal karena tidak hanya melihat dari segi lahir saja melainkan sekaligus terdapat suatu pertautam batin antara suami dan isteri yang ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang sesuai dengan kehendak Tuhan yang Maha Esa.46

Berdasarkan penjelasan umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pencatatan kelahiran, pencatatan kematian, demikian pula pencatatan perkawinan dipandang sebagai suatu peristiwa penting, bukan suatu peristiwa hukum.47Akta nikah dan pencatatan perkawinan bukan merupakan satu-satunya alat bukti mengenai adanya perkawinan atau keabsahan perkawinan, karena itu akta nikah dan pencatatan perkawinan bukan alat bukti yang menentukan. Karena yang

46Prakoso, Djoko dan Murtika,Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: PT Bina

Aksara, 1987, hal. 4.

47

Bagir Manan,Keabsahan dan Syarat-Syarat Perkawinan antar Orang Islam Menurut UU No.1 tahun 1974,makalah disampaikan dalam Seminar Nasional dengan tema Hukm keluarga dalam Sistem Nasional antara Realitas dan Kepastian Hukum, yang diselenggarakan Mahkamah Agung Republik Indonesia, di Hotel Redtop, pada hari sabtu tanggal 1 Agustus 2009, hal. 4.


(56)

menentukan keabsahan suatu perkawinan adalah menurut agama.48Dalam pandangan umat Islam, perkawinan merupakan asas pokok kehidupan dalam pergaulan, sebagai perbuatan yang sangat mulia dalam mengatur kehidupan berumah tangga. Pertalian nikah atau perkawinan, juga merupakan pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan umat manusia.49

Dalam hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut selektivitas. Artinya bahwa, seseorang ketika hendak melangsungkan pernikahan terlebih dahulu harus menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa ia terlarang untuk menikah. Hal ini untuk menjaga agar pernikahan yang dilangsungkan tidak melanggar aturan-aturan yang ada. Terutama bila perempuan yang hendak dinikahi ternyata terlarang untuk dinikahi, yang dalam dalam Islam dikenal dengan istilahmahra(orang yang haram dinikahi).

Di dalam Hukum Adat dikenal juga adanya larangan perkawinan, salah satu aturan yang dilarang dalam Hukum Adat Batak adalah dilarangnya melangsungkan perkawinan semarga. Artinya masyarakat Batak tidak boleh menikah dengan orang lain yang memiliki marga yang sama dengannya.

Bagi mereka yang menarik garis keturunan kebapaan, utusan keluarga dari pihak laki-laki lebih dahulu pergi melamar kepada pihak keluarga perempuan. Tidak seperti dalam masyarakat yang menarik garis keturunan keibuan, yang datang melamar adalah pihak perempuan. Menurut peraturan perundang-undangan yang

48Ibid, hal.6.


(57)

berlaku, hukum adat tetap berlaku bagi orang Indonesia asli, selama belum diatur dengan Undang-Undang dan sepanjang adat tersebut masih dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Perkawinan menurut adat, tidaklah hanya mengikat suami istri saja, tetapi juga mengikat keluarga kedua belah pihak, yaitu keluarga pihak perempuan dengan keluarga pihak laki-laki.50

Hukum Adat yang mengatur tentang pernikahan di Indonesia sangat beragam. Akan tetapi, apabila diklasifikasikan dapat diketahui bahwa terdapat tiga macam sistem pernikahan adat di Indonesia yaitu :

1. Sistem Endogami

Dalam sistem pernikahan endogami, masyarakat hanya diperbolehkan menikah dengan seorang dari suku keluarganya sendiri. Masyarakat yang dikenal menggunakan sistem ini adlah masyarakat tanah Toraja. Walaupun demikian telah terjadi pergeseran budaya karena beberapa faktor, seperti sudah mudahnya akses dengan wilayah atau daerah lain sehingga peraturan ini mulai ditinggalkan.

2. Sistem Eleutherogami

Sistem pernikahan ini berbeda dengan sistem pernikahan endogami dan eksogami. Tetapi hanya mengatur larangan yang berhubungan dengan ikatan

50 Masykuri Abdillah.”Distorsi Sakralitas Perkawinan Pada Masa Kini”, dalam Mimbar


(58)

kekeluargaan atau keturunan, seperti larangan menikah dengan ibu, nenek, dan sebagainya.51

3. Sistem Eksogami

Dalam sistem pernikahan eksogami, masyarakat diharuskan menikah dengan orang diluar sukunya atau orang diluar clan nya. Sistem seperti ini dapat dijumpai di daerah Tapanuli, Minangkabau, dan beberapa daerah lainnya. 2. Sah nya Perkawinan

a. Menurut Hukum Islam

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, selanjutnya dituliskan dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, diterbitkan agar ada unifikasi hukum dan ada kepastian hukum dibidang hukum perkawinan. Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 orientasi hukum dalam rangka pembaharuan dan pembangunan Hukum Nasional, adalah tidak mengenal pergolongan rakyat dan diterapkannya unifikasi hukum bagi warganegara Indonesia, adanya pandangan hukum yang mempertimbangkan masuknya hukum agama dalam konsep unifikasi hukum, sehingga terdapat unifikasi akan tetapi juga mewadahi adanya pluralisme di sektor hukum (sahnya perkawinan), artinya hukum agama, khususnya hukum Islam mendapatkan legitimasi sebagai hukum positif di Indonesia.

Salah satu aspek hukum perkawinan yang penting untuk dicermati adalah sahnya perkawinan dengan masih banyaknya anggota masyarakat yang melakukan

51Soerjono Soekanto,Inti Sari Hukum Keluarga, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1992, hal.


(59)

praktek “ nikah sirri ”, pada hal suatu perkawinan yang sah akan menempatkan kedudukan pria dan wanita dalam aspek sosialnya pada posisi terhormat, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang terhormat.52 Kepastian hukum merupakan indikator bahwa sesuatu Undang-Undang termasuk dalam kategori sebagai hukum yang baik. Dalam perspektif Islam pernikahan atau perkawinan itu dipandang bukan hanya sebagai suatu sakramen saja, tetapi merupakan kontrak yang dibuat oleh kedua belah pihak.53

Dengan demikian berlaku pula asas-asas perjanjian dan ruang lingkupnya berada dalam hukum keluarga. Selain itu dalam hubungan keluarga terdapat pula makna pembinaan dan pengaturan sebagai tatanan hubungan antar manusia yang tertib dan teratur,54 sehingga pemahaman mengenai perkawinan dan keluarga akan dapat dipergunakan sebagai sarana bagi manusia untuk menunaikan kehidupannya di dunia. Dengan demikian Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dibuat agar masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya dalam hal perkawinan ada kepastian dalam tingkah lakunya, sehingga terdapat ketertiban masyarakat dan dimaksudkan untuk memecahkan masalah-masalah masyarakat dalam lingkup hukum keluarga dan perkawinan, bukan justru menimbulkan masalah baru dalam masyarakat.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan perkawinan itu sebagai berikut :

52

Wahidin,Jurnal Dinamika Hukum,Vol 10, No. 1, Januari 2010.

53Sayyed Hassein Nasr,Agama Sejarah dan Peradaban, Surabaya: Risalah Gusti, 2003, hal.

80.


(60)

1. Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai (Pasal 6 ayat 1) 2. Harus mendapat izin dari kedua orang tua, bilamana masing-masing calon

belum mencapai umur 21 tahun (Pasal 6 ayat 2)

3. Batas umur minimla 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita, kecuali ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh orang tua kedua belah pihak (Pasal 7 ayat (1) dan (2)

4. Bahwa kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin, kecuali bagi mereka yang agamanya mengizinkian untuk berpoligami (Pasal 9 Jo. Pasal 3 ayat (2) dan pasal 4.

5. Bagi seorang janda untuk dapat kawin lagi harus setelah lewat masa iddah (Pasal 11)

Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 yang dijabarkan lebih rinci dalam peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 proses pelaksanaan petkawinan itu juga berlangsung secara bertahap :

1. Pemberitahuan kehendak akan kawin kepada pegawai Pencatat Perkawinan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan itu dilakukan oleh kedua calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya, bisa secara tertulis ataupun lisan, yang memuat nama, umur, agama, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai, dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu.

2. Pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan itu oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan selama 10 hari kerja.

3. Pelaksanaan perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya, dihadapan Pegawai Pencatatan Perkawinan dan dihadiri oleh dua orang saksi.

4. Pencatatan perkawinan bagi yang melangsungkan perkawinan menurt agama Islam, dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA), dan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan selain agama Islam, dilakukan oleh Kantor Catatan Sipil. Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinnan diatur syarat-syarat sahnya suatu perkawinan. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi :


(1)

pemanggilan saksi-saksi, dan memberikan keputusan berdasarkan musyawarah. Apabila tidak berhasil digunakan cara negosiasi terhadap kedua belah pihak, barulah mereka dapat mengajukannya ke Pengadilan Agama. Setelah adanya Undang-Undang Pengadilan Agama ditegaskan bahwa bagi mereka yang beragama Islam patuh dan tunduk pada Hukum Islam, pembagian warisannya harus secara Islam dan jika timbul sengketa waris harus diselesaikan di Pengadilan Agama. Apabila penyelesaian sengketa pembagian hukum waris menggunakan Hukum Waris Islam, akan diketahui siapa saja ahli waris yang berhak atas harta warisan, besar perolehan ahli waris masing-masing.

B. Saran

1. Hendaknya pada masyarakat Batak Toba muslim di Kota Medan melaksanakan Hukum Waris berdasarkan syariat Islam, meskipun setiap umat Islam didorong untuk mengetahui persoalan mendasar sistem faraidh Islam. Paing tidak walaupun mereka membagi warisan itu atas musyawarah, tetapi masing-masing ahli waris mengetahui haknya sesuai faraidh. Hendaknya pengaruh adat dikurangi dan perlu adanya sosialisaasi hukum tentang Waris Islam oleh Tokoh Agama setempat sehingga masyarakat khususnya Batak Toba mengetahui tentang Hukum Waris Islam.

2. Sebaiknya kepada masyarakat Batak Toba muslim di Kota Medan dalam menyelesaikan sengketa lebih mengutamakan musyawarah berdasarkan syariat Islam. Dengan adanya sengketa waris hendaknya ahli waris satu dengan lainnya mempunyai etikad baik untuk mengutamakan rasa kekeluargaan. Karena kultur Islam lebih menjunjung tinggi asas musyawarah.


(2)

DAFTAR PUSTAKA A. BUKU

Ali, M.Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Raja Grafindo Utama, Jakarta, 2002

Ali, Zainuddin,Pelaksanaan Hukum Waris di Indonsia, Sinar Grafika, 2008

Al-Munawar, Said Agil Husin, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, PT.Penadami, Jakarta, 2004

Anshary MK, M, Hukum Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010

Ash Shiddieqy, Hasbi M,Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975 Bakri, M, Pengantar Hukum Indonesia, Sistem Hukum Indonesia Pada Era

Reformasi,Penerbit: Elektrik Pertama dan Terbesar di Indonesia Beckman, Keebet Von Benda, Pluralisme Hukum, Jakarta, Huma, 2006

Djamil, Faturrahman,Falsafah Hukum Islam, logos Wacana Ilmu, Jakarta: 1997 Hadad, Al,Wanita dalam Syariat dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993 Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum adat Indonesia, Mandar Maju,

Bandung 1992

Halim, A.Ridwan,Hukum Adat Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, 1989 Harahap, M. Yahya,Hukum Perkawinan Nasional,Zahir Trading, Medan: 1975 Huala, Adolf, Arbitrase Komersial Indonesia, Jakarta, Rajawali Press, 1991

Ihromo, T.O,Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Pustaka aset, Jakarta, 1986 Irianto, Sulistyowati, Perempuan diantara Beragai Pilihan Hukum, Yayasan Obor

Indonesia, Jakarta, 2003

Ismuha,Pencaharian Bersama Suami Isteri, Jakarta, Bulan Bintang, 1965 Juhaya, Praja S, Filsafat Hukum Islam, LPPM, Bandung, 1995


(3)

Lubis,Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian,(Bandung:Mandar Maju, Bandung, 1994 Malik, Rusdi, Penemu Agama Dalam Hukum di Indonesia, Jakarta: Universitas

Trisakti, Jakarta

Manan, Abdul H, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Jakarta, Kencana, 2004 Maryaeni,Metode Penelitian Kebudayaan, Bumi Aksara, Jakarta, 1999 Marzuki, Mahmud Peter, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada, 2005

Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Rosda Karya, Jakarta, 2000

Muhammad, Bushar, Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita, 2000 Nasr, Hassein, Sayyed, Agama Sejarah dan Peradaban, Surabaya: Risalah Gusti,

2003

Nasution, Bahder Johan, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008

Oetomo, Deny S, dan Sugiarto, Dergibson, Tehnik sampling, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2003

Prakoso, Djoko dan Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: PT Bina Aksara, 1987

Prawirohamidjojo, R. Soetojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia,Airlangga University press, 1998

Prodjohamidjojo, Martimam, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan, Jakarta, Indonesia Legal Publishing, 2003

Pudjosewojo, Kusumadi,Pengantar Hukum Adat, Jakarta: tt

Putra Jaya, Serikat, Nyoman, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2005

Rahardjo, Satjipto,Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2006


(4)

Ramulyo, Moh.IdrisHukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Sinar Grafika, Jakarta, 1995

Rasjid, Sulaiman,Fiqh Islam,jakarta, Attahiriyah, 1993

Rofiq, Ahmad,Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995 S.Praja, Juhaya,Filsafat Hukum Islam, LPPM, Universitas Islam Bandung, Bandung,

1995

Saifuddin,Sistem Hukum Indonesia, Banjarmasin, Pustaka Banua, 2010

Sianturi, Alfocine, Idarmeity, Kesetaraan Gender dalam Semangat, Habitus baru, 2008

Sihombing, T.M, falsafah batak (tentang kebiasaan-kebiasaan adat istiadat), Balai Pustaka, Jakarta 2000

Simanjuntak, Bungaran Antonius Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba (Suatu Pendekatan Sejarah, Antropologi Budaya Politik), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006

Simartana, Ricardo,Pluralisme Hukum, Donny Donardono (Ed),Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia,Huma, 2007

Sinaga, Anicetus B, Permata Perkawinan dalam Adat Batak Toba, Jakarta, 1976 Situmeang, P.L. Doangsa,Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba, Djambatan,

2003

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995

Soemitro, Hanitijo Ronny, Metodologi Penelitian Hukum dan Judimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990

Somawinata, Yusuf, dan Suparman, Usman,Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2002

Sudarsono,Hukum Perkawinan Nasional,Jakarta: Rineka Cipta, 2005 Sudarsono,Pokok-pokok Hukum Islam, Jakarta, Rineka Cipta, 1992


(5)

Suparmoko,Metode Penelitian Praktis,Yogyakarta : BPFE yogyakarta, 1999

Syarif, Ahlan, Suraini, Intisari Hukum Waris menurut Burgelijke Wetboek, Ghalia, Jakarta, 1998

Syarifuddin, Amir,Hukum Kewarisan Islam,Kencana, Jakarta 2004

Syukur, Asywadie, Intisari Hukum Perkawinan dan Kekeluargaan Dalam Fikih Islam,Cetakan pertama, Bina Ilmu, Surabaya, 1985

Tambunan, E.H, Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya, Penerbit Tarsito, Bandung, 1982

Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta, Cetakan ketujuh, Pradnya Paramita, 1983, Hal. 239

Thalib, SajutiReceptio a Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum islam), Bina Aksara, Jakarta, 1982

Wicaksono, Satriyo F,Hukum Waris, Jakarta, Visi Media 2011

Wignjodipuro, Soerojo, Pengantar dan Azs-Azas Hukum Adat, Jakarta, 2004, Haji Mas Agung

Yuhassarie, Emmiy, dan Damayanti, Shanti, Procedding Arbitrase dan Mediasi, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 2003

Zubaeri, Pelaksanaan Hukum Perkawinan Antara Islam dan Kristen, Cetakan pertama, Bahagia, Pekalongan, 1985

B. MAKALAH DAN JURNAL

Abdillah, Masykuri, ”Distorsi Sakralitas Perkawinan Pada Masa Kini”, dalam Mimbar Hukum No. 36 tahun 1998

Mengenai hukum Islam, hukum adat, hukum Eropa yang berlaku di Indonesia dewasa ini, vide Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980.

Manan, Bagir, Keabsahan dan Syarat-Syarat Perkawinan menurut Orang Islam Menurut UU No.1 Tahun 1974, makalah disampaikan dalam Seminar


(6)

Nasional dengan tema hukum keluarga dalam Sistem Hukum Nasional antara Realitas dan Kepastian Hukum, di Hotel Redtop, pada hari Sabtu, 1 Agustus 2009

Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarna Perguruan Tinggi Agama/ IAIN di Jakarta Direktorat Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, II, Cetakan kedua, Jakart: 1983

Pardede P, James, Berbagi Peran dalam Mengurangi Angka Kekerasan Terhadap Perempuan, Harian Analisa, 27 April 2008

Thaib, Hasballah M, Hukum Waris Islam, Diktat Program Magister Kenotariatan USU, Medan, 2012

Ustad Ammi Nur Baits,Dewan Konsultasi Syariah

Wiratha, Made, Pedoman Penulisan Usulan Pebelitian Skripsi dan Tesis, Yogyakarta, 2006

Wahidin,Jurnal Dinamika Hukum,Vol 10, No. 1, Januari 2010 C. PERUNDANG-UNDANGAN

Keputusan MARI Nomor 179/K/SIP/1961 tanggal 1 November 1961 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Weetboek)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam (KHI) D. Website

http://pedulihukum.blogspot.com/2009/02/negosiasi-dan-mediasi.html http://pernikahanadat.blogspot.com