Pengaruh Hukum Waris Islam Terhadap Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Gayo (Studi Di Kabupaten Aceh Tengah)

(1)

TESIS

Oleh

ADI FITRA

107011062/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ADI FITRA

107011062/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nomor Pokok : 107011062 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Dr.Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Dr. Mahmul Siregar, SH, MKn


(5)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : ADI FITRA

Nim : 117011062

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : PENGARUH HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP HUKUM WARIS ADAT PADA MASYARAKAT GAYO (STUDI DI KABUPATEN ACEH TENGAH)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : ADI FITRA Nim :117011062


(6)

menghilangkan rasa keadilan dan memutuskan hubungan garis kekeluargaan (nasab). Hukumpatah titi adalah putusnya hubungan kewarisan antara kakek/nenek dengan cucu akibat ayah atau ibunya meninggal dahulu dari pewaris, didalam adat Gayo ahli waris

patah titiini sama sekali tidak mendapatkan sedikitpun harta yang di tinggalkan pewaris yaitu kakeknya dan lebih menyakitkan adalah putusnya hubungan keluarga diantara mereka yang menerima waris dan yang terkenapatah titi. Didalam hukum Islam benar tidak ada pengantian tempat, akan tetapi didalam Islam tidak memutuskan hubungan keluarga bahkan cucu yang orang tuanya meninggal terlebih duhulu tetap mendapatkan bagian dengan carahibah walau pun jumlah yang diterima hanya sedikit tetapi tetap juga mendapatkan harta warisan dari kakeknya. Salah satu konsep pembaharuan Hukum Kewarisan Islam adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebar luaskan melalui Instruksi Presiden Nomor l Tahun l99l yang diikuti Keputusan Menteri Agama Nomor l54 Tahun l99l. Untuk dapat diterapkannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini di dalam Peradilan Agama yang ada di seluruh Indonesia. KHI memberikan hak seorang ahli waris yang telah meninggal dunia kepada keturunannya yang masih hidup. Aturan ini tercantum dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Berdasarkan hal tersebut diatas maka permasalah dalam penulisan tesis ini adalah Bagaimana pengaruh hukum waris Islam terhadap hukum waris adat pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah. Bagaimana perkembangan hukum patah titi pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran hukum patah titi pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah. Untuk membahas permasalah tersebut maka sifat penelitian yang dilakukan adalah deskriftif analisis yang mengambarkan perkembangan hukum waris adat yang ada pada masyarakat Gayo. dengan pendekatan yuridis sosiologi (empiris)dilakukan dengan cara kualitatif. Dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan pendekatan induktif.

Hasil penelitian menunjukan bahwa telah ada pengaruh hukum waris Islam terhadap hukum waris adat Gayo dengan diberikannya hak waris cucu yang orang tuanya meninggal terlebih dahulu dari pewaris karena merupakan satu keturuan (nasab) dari pewaris dan setelah di undangkanya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menganulir hukumpatah titidi masyarakat Gayo.

Saran diharafkan masyarakat Gayo dalam melakukan pembagian warisan dapat melaksanakannya sesuai dengan Syari’at Islam dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebaiknya jangan mengunakan hukumpatah titilagi dalam pembagian warisan dan agar dapat disosialisasikan masalah hukum pengantian tempat dalam pembagian waris agar tidak terjadipatah titilagi dimasyarakat Gayo.


(7)

distribution which is considered unfair by either party. In Gayo community, this inheritance-related conflict occurs due to the Patah Titi law which eliminates the sense of justice and disconnects the cognates. Patah Titilaw is the disconnection of cognates between grandfather/grandmother and their grandchildren because the father or the mother of the grandchild/ren died before the testator. In the traditional culture of Gayo, the beneficiary of this Patah Titi does not receive the property left by his/her grandfather/grandmother at all, and which is more painful is that the family relationship between the beneficiary/grandchildren and their grandfather’s family who experiences Patah Titi. It is true that there is no substitution in Islamic Law, but Islamic Law does not disconnect the cognates, even the grandchildren who have lost their parents still get their parts through grant although the amount they receive is small but they still receive inheritance from their grandfather. One of the concepts of Islamic InheritanceLaw Reform is the Compilation of Islamic law widely socialized through Presidential Instruction No.1/1991 followed with the Decree of Minister of Religious Affairs No. 154/1991. In order that this Compilation of Islamic Law can be applied in the Religious Courts in Indonesia, the Compilation of Islamic Law in its Article 185, gives the right of a heir who has passed away to his/her descendants who are still alive.

Based on the information mentioned above, the research problems to be answered in this study were how Islamic Inheritance Law influenced Adat Inheritance Law in Gayo community in Aceh Tengah District, how Patah Titi Law developed in Gayo community in Aceh Tengah District, and what factors influenced the shift in Patah Titi Law in Gayo community in Aceh Tengah District. This descriptive analytical study described the development of Adat Inheritance Law in Gayo community and qualitatively discussed it sociologically juridical (empirical) approach. The conclusion of this study was drawn through inductive approach. The result of this study showed that Islamic Law has had influence on Adat Law in Gayo community. It is seen from the condition in which the inheritance right of the

grandchildren whose parents have passed away before the testator

(grandfather/grandmother) has been given because the grandchildren are of the same cognates as the testator after the enactment of the Compilation of Islamic Law which annulled Patah Titi Law in Gayo community.

Gayo community is suggested to implement distribution of inheritance in accordance with Islamic Shari’a and Compilation of Islamic Law not Patah Titi Law. Keywords: Influence, Islamic Inheritance Law, Gayo Adat Inheritance Law


(8)

iii

Puji dan syukur hanya bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan Tesis ini, sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar MAGISTER KENOTARIATAN di Universitas Sumatera Utara Medan. Dalam memenuhi tugas inilah penulis menyusun dan memilih judul : “PENGARUH HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP HUKUM WARIS ADAT PADA MASYARAKAT GAYO (STUDI DI KABUPATEN ACEH TENGAH)”. Saya menyadari bahwa Tesis ini jauh dari kesempurnaan baik dari segi materinya, maupun dari segi tehnik penyajiannya, untuk itu dengan hati terbuka, saya menerima saran dan keritik dari semua pihak, agar dapat menjadi pedoman dimasa yang akan datang.

Didalam penulisan dan penyusunan tesis ini, saya mendapat bimbingan dan pengarahan serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tidak dapat dinilai harganya dengan apapun secara khusus kepada yang terhormat, Bapak Prof. Dr. Runtung , SH, MHum,Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, danIbu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum, selaku komisi pembimbing yang penuh kesabaran dan keiklasan dalam memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sejak awal hingga terselesainya tesis ini. Dan juga penulis ucapkan terimakasih kepada dosen penguji Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, MHum dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHumyang telah memberikan masukan yang berharga terhadap kesempurnaan tesis ini.

Selanjutnya ucapan terimakasih juga saya ucapkan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk dapat mengikuti pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(9)

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dorongan selama menempuh pendidikan dan masukan kepada penulis untuk kesempurnaan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak-bapak dan Ibu-Ibu Dosen Program Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan.

6. Seluruh Staf Biro Pendidikan, serta teman-teman di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah banyak membantu dalam penyelesaian tesis ini.

7. Terimaksih juga saya persembahkan kepada seluruh teman-teman kelas Khusus angkatan 2010 yang terus memberikan motivasi, semangat dan kerja sama dan diskusi, membantu dan memberikan pemikiran kritik dan saran yang dari awal masuk di sekolah Pasca Sarjana Universita Sumatera Utara Medan.

Secara khusus penulis menghaturkan sembah dan sujud dan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orang tuaku Bapak H. Abbas dan Ibu Almarhumah Hj. Nursinah yang tidak sempat melihat kelulusan ku, dan yang telah bersusah payah melahirkan, membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran dan kasih sayang serta memberikan doa restu, sehingga penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Medan Program Studi Magister Kenatariatan.


(10)

v

Terimakasih juga kepada kakak-kakak dan abang-abangku yang telah banyak memberikan perhatian dan do’anya serta dukungannya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan sekolah Pasca Sarjana di Universita Sumatera Utara Medan.

Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada Informan dan responden serta seluruh pihak-pihak yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu-persatu, atas kerja sama dan bantuannya dalam penyeseaian Tesis ini.

Saya berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezki yang melimpah.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati dan penuh ucapan sukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, saya menyerahkan diri semaga tetap dalam lindungannya. Semoga tesis ini dapat berguna bagi diri saya dan juga semua pihak dan kalangan yang mengembangkan Ilmu Hukum, Khususnya Bidang Ilmu Kenotariatan.

Medan, Agustus 2013 Penulis


(11)

Nama : Adi Fitra, SH

Tempat dan tanggal lahir : Takengon, 6 Juli 1975

Alamat : Kampung Kemili Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Nama Isteri Nama anak

: Santi Aramiko S.Pd Muhammad Raihan

II. ORANG TUA

Nama Bapak : H. Abbas

Nama Ibu : Almarhumah Hj. Nursinah

II. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN SD Negeri No.5 Takengon Aceh Tengah SMP Negeri 12 Ulee Kareng Banda Aceh STM WIRASWASTA 2 Bandung Jawa Barat Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB)

S2 Program Studi Magister Kenotariatan FH USU : : : : :

Dari tahun 1984 - 1990 Dari tahun 1990 - 1993 Dari tahun 1993 - 1996 Dari tahun 1997 - 2002 Dari tahun 2010 - 2013


(12)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR ISTILAH ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi ... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Konsepsi ... 19

G. Metode Penelitian ... 21

BAB II PENGARUH HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP HUKUM WARIS ADAT PADA MASYARAKAT GAYO DI KABUPATEN ACEH TENGAH ... 27

A. Sejarah Masuknya Islam Di Gayo Kabupaten Aceh Tengah... 27

B. Pengertian Hukum Waris Islam dan Hukum Waris adat ... 33

C. Pengaruh Hukum Waris Islam Terhadap Hukum Waris Adat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah ... 58


(13)

B. Sistem Kekerabatan Masyarakat Gayo Di Kabupaten Aceh

Tengah ... 72

C. Pengertian Hukum Patah Titi ... 79

D. Hukum Waris Adat Masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh tengah ... 87

E. Hukum Patah Titi dan Perkembangannya Pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah ... 107

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA PERGESERAN HUKUM PATAH TITI PADA MASYARAKAT GAYO DI KABUPATEN ACEH TENGAH ... 126

A. Faktor Agama... 126

B. Faktor Ekonomi ... 129

C. Faktor Pendidikan ... 132

D. Faktor Kompilasi Hukum Islam ... 136

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 144

A. Kesimpulan ... 144

B. Saran ... 145


(14)

1. Data jumlah penduduk di kabupaten Aceh tengah... 69 2. Pendapat responden tentang hukumpatah titi... 85 3. Pendapat responden tentang pembagian waris dilaksanakan

sebelum pewaris meninggal dunia, akan tetapi harta tersebut

belum bisa dimiliki sebelum pewaris meninggal dunia... 105 4. Pendapat responden tentang hukum yang digunakandalam

pembagian warisan... 106 5. Pendapat responden tentang ketidak adilan dalam hukum

patah titidalam pembagian warisan... 109 6. Pendapat responden terhadap keberadaan hukumpatah titi.. 111 7. Pendapat responden terhadap ahli waris pengganti dalam


(15)

1. Patah titi versi 1... 82

2. Patah titi versi 2... 83

3. Patah titi versi 3... 84


(16)

ayah atau ibu meninggal dahulu dari pewaris yaitu kakek

2. Rejeartinya raja dalam arti bisa kepala kampung atau desa atau pemimpin

3. Agama urum edet, lagu zet urum sifeet, Agama kin senuwen, edet kin peger,

artinya Agama Islam dan adat Gayo seperti zat dan sifat. Agama sebagi tanaman, adat sebagai pagarnya.

4. Mersah atau menasah artinya tempat pelaksanaan sholat pardhu berjamaah khusus kaum laki-laki dan merupakan kelengkapan kampung yang harus ada. 5. Joyahartinya tempat pelaksanaan sholat pardhu berjamaah khusus kaum wanita

dan merupakan kelengkapan kampung yang harus ada.

6. Belahartinya kelompok orang yang bergabung dalam suatu belah (klen) karena satu asal keturunan atau senasib sepenanggungan atau karena diakui ataau diterima sebagai anggota belah.

7. Kuet edet muperala agama, rusak edet rusak agama artinya kuat adat semakin teguh agama, rusak adat rusak agama dan semua sistem masyarakat.

8. Sinte artinya empat tugas utama orang tua terhadap anaknya yaitu Iturun mani, Imenjelesen, Iserahan mungaji, ikerjen atau iluahi.

9. Iturun manin, artinyasinte pertama yang harus dilaksanakan oleh orang tua dan keluarga inti untuk memberi nama, menyembelih aqiqah, memotong rambut, berdo’a dan walimah ( kenduri)

10.Imenjelisenyaitu sinte ke kedua arinya ketika anak telah berusia 7 (tujuh) tahun sampai dengan 13 (tiga belas) tahun keluarga inti melaksanakan sinte kedua untuk mengkhitan anknya.

11.Iserahan mungaji sinte ke tiga artinya diserahkan kepada guru untuk belajar mengaji, membaca Al-qur’an dan belajar pengetahuan praktis tentang ibadat. 12.Ikerjenatau iluahi, sinte ke empat yaitu dicarikan jodoh dan dinikahkan.


(17)

15.Manatartinya amanat

16.Penosah ni punmuartinya ini pemberian pamanmu?

17.Ini tenaring ni awan/ananmuartinya ini peninggalan kakek/nenekmu. 18.Angkapartinya pihak laki-laki ditarik kedalam belah isteri.

19.Nujuhyaitu setelah tujuh hari pewaris berada dalam barzakh

20.Sawah ni lou yaitu pada hari ke empat puluh empat dari hari meninggalnya pewaris.

21. Kenduri acara syukuran 22.Lingge kerajaan Lingga 23.Lemak lungi jenis makanan

24.Mukemel, (harga diri) artinya rasa malu kepada Allah agar tidak berbuat sesuatu yang dilarang oleh Allah.

25.Tertip, (tertip) arinya teratur atau beraturan dalam melaksanakan sefgala hal. 26.Setie,(setia) artinya dalam pri bahasa Gayo di sebut “setie murip gemasih papa”

arinya kesetian hidup karena kasih sayang, walaupun karena itu hidup merana. 27.Semayang-Gemasih,(kasih sayang) artinya kasih sayang sejati dan amat berguna

bagi orang yang dikasihi, walaupun tanda kasih sayang itu tidak begitu banyak. 28.Mutentu, (Kerja keras) artinya rajin dan bekerja keras dan rapi melaksanakan

sesuatu, orang Gayo yang melaksanakan nilai “mutentu” baik laki-laki maupun perempuan terutama remaja amaat di hormati dan disayang masyarakat.


(18)

bertukar pikiran, segala urusan atau masalah yang akan diselesaikan atau akan dilaksanakan, terlebih dahulu dimusyawarahkan diantara pihak-pihak bersangkutan bagaimana cara melaksanakan atau menyelesaikannya.

31.Alang tulung, (tolong menolong) artinya saling tolong menolong meringankan beban orang lain.

32.Bersikemelen, (kompetitif) arinya nilai penunjang bagi terlaksananya nilai-nilai laainnya untuk mewujudkan nilai puncak yaitu malu (mukemel).

33.Kuning ni tenaruhartinya kuning telur 34.Sara ineartinya satu mamak

35.Sudereartinya saudara. 36.Musyawarahartinyapakat

37.Jaweartinya terpisah periuk nasi dari orang tuanya atau sudah mandiri.

38.Walidari pihak ibu disebut dengan wali karong. Tetapi wali karong tidak dapat bertanggung-jawab terhadap keturunan

39.Ango atau Juelen,di mana pihak suami seakan-akan membeli wanita yang bakal dijadikan istri, maka si istri dianggap masuk ke dalam belah suami

40.Cere banciartinya cerai karena perselisihan

41.Angkap artinya di mana pihak laki-laki suami ditarik ke dalam belah si isteri Suami terlepas dari belahnya. Bentuk perkawinan rangkap ini dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu bentuk angkap nasap dan bentuk angkap sementara.


(19)

menghilangkan rasa keadilan dan memutuskan hubungan garis kekeluargaan (nasab). Hukumpatah titi adalah putusnya hubungan kewarisan antara kakek/nenek dengan cucu akibat ayah atau ibunya meninggal dahulu dari pewaris, didalam adat Gayo ahli waris

patah titiini sama sekali tidak mendapatkan sedikitpun harta yang di tinggalkan pewaris yaitu kakeknya dan lebih menyakitkan adalah putusnya hubungan keluarga diantara mereka yang menerima waris dan yang terkenapatah titi. Didalam hukum Islam benar tidak ada pengantian tempat, akan tetapi didalam Islam tidak memutuskan hubungan keluarga bahkan cucu yang orang tuanya meninggal terlebih duhulu tetap mendapatkan bagian dengan carahibah walau pun jumlah yang diterima hanya sedikit tetapi tetap juga mendapatkan harta warisan dari kakeknya. Salah satu konsep pembaharuan Hukum Kewarisan Islam adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebar luaskan melalui Instruksi Presiden Nomor l Tahun l99l yang diikuti Keputusan Menteri Agama Nomor l54 Tahun l99l. Untuk dapat diterapkannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini di dalam Peradilan Agama yang ada di seluruh Indonesia. KHI memberikan hak seorang ahli waris yang telah meninggal dunia kepada keturunannya yang masih hidup. Aturan ini tercantum dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Berdasarkan hal tersebut diatas maka permasalah dalam penulisan tesis ini adalah Bagaimana pengaruh hukum waris Islam terhadap hukum waris adat pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah. Bagaimana perkembangan hukum patah titi pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran hukum patah titi pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah. Untuk membahas permasalah tersebut maka sifat penelitian yang dilakukan adalah deskriftif analisis yang mengambarkan perkembangan hukum waris adat yang ada pada masyarakat Gayo. dengan pendekatan yuridis sosiologi (empiris)dilakukan dengan cara kualitatif. Dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan pendekatan induktif.

Hasil penelitian menunjukan bahwa telah ada pengaruh hukum waris Islam terhadap hukum waris adat Gayo dengan diberikannya hak waris cucu yang orang tuanya meninggal terlebih dahulu dari pewaris karena merupakan satu keturuan (nasab) dari pewaris dan setelah di undangkanya Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menganulir hukumpatah titidi masyarakat Gayo.

Saran diharafkan masyarakat Gayo dalam melakukan pembagian warisan dapat melaksanakannya sesuai dengan Syari’at Islam dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebaiknya jangan mengunakan hukumpatah titilagi dalam pembagian warisan dan agar dapat disosialisasikan masalah hukum pengantian tempat dalam pembagian waris agar tidak terjadipatah titilagi dimasyarakat Gayo.


(20)

distribution which is considered unfair by either party. In Gayo community, this inheritance-related conflict occurs due to the Patah Titi law which eliminates the sense of justice and disconnects the cognates. Patah Titilaw is the disconnection of cognates between grandfather/grandmother and their grandchildren because the father or the mother of the grandchild/ren died before the testator. In the traditional culture of Gayo, the beneficiary of this Patah Titi does not receive the property left by his/her grandfather/grandmother at all, and which is more painful is that the family relationship between the beneficiary/grandchildren and their grandfather’s family who experiences Patah Titi. It is true that there is no substitution in Islamic Law, but Islamic Law does not disconnect the cognates, even the grandchildren who have lost their parents still get their parts through grant although the amount they receive is small but they still receive inheritance from their grandfather. One of the concepts of Islamic InheritanceLaw Reform is the Compilation of Islamic law widely socialized through Presidential Instruction No.1/1991 followed with the Decree of Minister of Religious Affairs No. 154/1991. In order that this Compilation of Islamic Law can be applied in the Religious Courts in Indonesia, the Compilation of Islamic Law in its Article 185, gives the right of a heir who has passed away to his/her descendants who are still alive.

Based on the information mentioned above, the research problems to be answered in this study were how Islamic Inheritance Law influenced Adat Inheritance Law in Gayo community in Aceh Tengah District, how Patah Titi Law developed in Gayo community in Aceh Tengah District, and what factors influenced the shift in Patah Titi Law in Gayo community in Aceh Tengah District. This descriptive analytical study described the development of Adat Inheritance Law in Gayo community and qualitatively discussed it sociologically juridical (empirical) approach. The conclusion of this study was drawn through inductive approach. The result of this study showed that Islamic Law has had influence on Adat Law in Gayo community. It is seen from the condition in which the inheritance right of the

grandchildren whose parents have passed away before the testator

(grandfather/grandmother) has been given because the grandchildren are of the same cognates as the testator after the enactment of the Compilation of Islamic Law which annulled Patah Titi Law in Gayo community.

Gayo community is suggested to implement distribution of inheritance in accordance with Islamic Shari’a and Compilation of Islamic Law not Patah Titi Law. Keywords: Influence, Islamic Inheritance Law, Gayo Adat Inheritance Law


(21)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cicero seorang filsuf terkenal dari bangsa Rumawi pernah mengatakan bahwa

“Ubi Societas Ibi Ius”, artinya dimana ada masyarakat disitu pasti ada hukum. Masyarakat memerlukan aturan hukum, agar kehidupan menjadi tertib dan tidak ada seorangpun yang dapat diperlakukan dengan tidak adil, yang salah harus tetap dihukum sesuai dengan tingkat kesalahannya.

Dalam perkembangannya dewasa ini hukum terus mengikuti perkembangan yang ada dalam masyarakat dan bukan sebaliknya masyarakat yang mengikuti hukum. Hukum bukanlah sesuatu yang dipaksakan keberlakuannya di tengah-tengah masyarakat. Karena sesuatu perbuatan yang dipaksakan maka sesungguhnya hasilnya pasti tidak akan baik.

Didalam hukum Islam, hukum kewarisan yang lazim disebut dengan hukum

faraidh merupakan bagian dari keseluruhan hukum Islam yang khusus mengatur dan membahas tentang proses peralihan harta peninggalan dan hak-hak serta kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup.

Sekarang ini bidang kewarisan mengalami perkembangan yang berarti, disebabkan oleh kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dan pola


(22)

kewarisan Islam yang mengalami perkembangan dengan adanya ahli waris pengganti yang penerapannya di Indonesia diatur dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Berbeda dalam hal pewarisan menurut hukum adat Gayo, yang mana dalam pembagian warisan tidak dikenal penggantian tempat (plaatsvervulling) yang sangat merugikan pihak dari pewaris, yang akan menjadi pertikaian dikarenakan pembagian harta warisan yang dirasa tidak adil oleh salah satu pihak atau beberapa pihak ahli waris.

Sistem pembagian warisan dalam hukum adat Gayo, didasarkan pada sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak sistem pewarisan(patrilineal)yang mana kedudukan anak laki-laki mendapat lebih banyak bahagiannya dari kedudukan wanita didalam pewarisan.1

Dalam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya dibedakan dalam tiga corak yaitu :

a. Sistem patrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan bapak dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari pada kedudukan anak wanita dalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram,Nusa tenggara, Irian).

b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan ibu dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari pada kedudukan anak wanita dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano, Timor).

1

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung, Citra Aditya Bakti , 2003, halaman. 23


(23)

c. Sistem Parental, yaitu sistem yang ditarik menurut garis kedua orangtua, atau menurut garis dua sisi. Bapak dan ibu dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi).2

Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta pengoperan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia

(generatie)kepada keturunannya. Proses itu telah mulai dalam waktu orang tua masih hidup.3

Proses pengoperan itu dilakukan pertama sekali secara menurun kepada: anak, cucu, cicit, dan seterusnya, jika tidak ada secara menurun maka dilakukan dengan cara ke atas yaitu: Orang tua, kakek atau nenek, dan seterusnya, jika keatas juga tidak ada maka dilakukan dengan jalan kesamping, yaitu: saudara, anak saudara, cucu saudara, dan seterusnya, jika kesamping juga tidak ada maka berlaku prinsip ahli waris derajat terdekat mendinding ahli waris yang jauh.

Tetapi pada kenyataan sebagian adat masyarakat Gayo mengenal suatu istilah

patah titi (tidak ada penggantian tempat)yaitu ahli waris meninggal terlebih dahulu dari pada pewaris, maka harta warisan pewaris tersebut yang seharusnya jatuh kepada cucu sebagai pengganti bapaknya yang penerima warisan, tetapi hal tersebut tidak terjadi karena dianggap telah putus hubungan.


(24)

Adapun patah titisudah sangat dikenal dalam praktek hukum kewarisan adat Aceh pada umumnya dan khususnya pada masyarakat Gayo, bahkan telah menjadi istilah “negatif” bagi anak-anak yang orang tuanya lebih dahulu meninggal dunia dari kakeknya. Ungkapan-ungkapan berikut sering terjadi dalam masyarakat adat Aceh berkaitan denganpatah titi:4

1. “Kamu tidak ada hak lagi, karena sudahpatah titi”. Maksudnya adalah, seorang paman mengatakan kepada seorang keponakannya bahwa ia tidak mendapatkan hak kewarisan apapun dari harta yang ditinggalkan oleh orang tua pamannya (kakek dari keponakannya sendiri), sebab orang tua (saudara paman) keponakan itu sudah terlebih dulu meninggal dari kakeknya;

2. “Kita tidak ada hubungan lagi, karena kita sudahpatah titi”. Ungkapan seperti itu biasa diucapkan oleh seorang keponakan kepada pamannya, namun yang dimaksudkan bukan sekedar tidak ada hubungan hak kewarisan, akan tetapi tidak ada hubungan kekerabatan dengan pamannya, hal itu terjadi lantaran ia tidak mendapatkan hak kewarisan apapun dari harta kakeknya dengan sebab orang tuannya lebih dulu meninggal dari kakeknya;

3. “Kamu tidak bisa menuntut hak kewarisan, karena kamu sudah patah titi”. Maksudnya adalah, bahwa seorang cucu tidak boleh menuntut hak kewarisan kakeknya, sebab orang tuanya lebih dahulu meninggal dari kakeknya, sedangkan orang tuanya ada saudara laki-laki yang masih hidup.

Dari ungkapan di atas menggambarkan bahwa, pelaksanaan patah titi dalam hukum kewarisan adat Gayo memunculkan problematika hukum yang membutuhkan penelitian yang lebih mendalam dan sungguh-sungguh, khususnya tentang kenyataan hukumpatah tititersebut dan implikasinya terhadap penerapan prinsip-prinsip hukum kewarisan Islam terhadap hukum adat.

4

Hukum Patah Titi Dalam Kewarisan Aceh,


(25)

Hukum adat waris patah titi ini sebenarnya sudah lama diterapkan di dalam masyarakat Gayo, akan tetapi dewasa ini tidak semuanya masyarakat Gayo mau menerapakan hukum warispatah titiini, karena memilki unsur ketidak adilan dalam hukum waris dan pada umumnya masyarakat Gayo juga beragama Islam dengan sendirinya Hukum Islam mempengaruhi masyarakat adat Gayo yang ada di Kab. Aceh Tengah.

Salah satu nilai hukum kewarisan Islam adalah bahwa peralihan hak kewarisan pewaris kepada ahli waris bertujuan untuk menjaga kesinambungan garis

nasab (keturunan). Sebaliknya pelaksanaan patah titi dalam hukum kewarisan adat Gayo cenderung memutuskan hubungan kekerabatan di antara ahli waris, terutama ahli waris garis keturunan ke bawah yaitu cucu.

Salah satu konsep pembaharuan Hukum Kewarisan Islam adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebar luaskan melalui Instruksi Presiden Nomor l Tahun l99l, yang dikeluarkan tanggal 10 Juni l99l yang diikuti Keputusan Menteri Agama Nomor l54 Tahun l99l. Untuk dapat diterapkannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini di dalam Peradilan Agama yang ada di seluruh Indonesia,

Dalam KHI diberikannya hak seorang ahli waris yang telah meninggal dunia kepada keturunannya yang masih hidup. Aturan ini tercantum dalam Pasal 185 KHI yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut:


(26)

“Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya” kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173 KHI.

Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:

a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris;

b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

Dilihat dari tujuannya, pembaharuan hukum kewarisan tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah dan menghindari sengketa. Dalam kaitannya dengan hal ini, Soepomo dalam bukunya bahkan mengatakan bahwa munculnya institusi pergantian tempat didasarkan pada aliran pemikiran bahwa harta benda dalam keluarga sejak semula memang disediakan sebagai dasar material keluarga dan turunannya.5

Jika seorang anak meninggal sedang orangtuanya masih hidup, anak-anak dari orang yang meninggal dunia tersebut akan menggantikan kedudukan bapak atau ibunya sebagai ahli waris harta benda kakeknya.

5

Hukum Patah Titi di Aceh, http://www.idlo.int/bandaacehawareness.htm. Diakses tanggal, 14 Maret 2012.


(27)

Namun demikian, KHI juga memberi batasan bahwa harta yang didapat oleh sang cucu bukanlah keseluruhan dari harta yang seharusnya didapat sang ayah, yaitu bagian ahli waris penganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang di ganti pasal 185 ayat 2 KHI. Islam tetap memandang kemuliaan dan keadilan bagi cucu atau anak yatim yang telah ditinggalkan oleh orangtuanya tadi, antara lain dengan memberikan atau menyisihkan sedikit bagian dari harta warisan tersebut kepada sang anak yatim.

Dalam konteks permasalahan ini jelas bahwa pemberlakuan hukum adat waris

patah titiyang ada di sebahagian masyarakat Gayo bertentangan dengan KHI maupun hukum perdata yang berlaku. Kendatipun demikian masih ada sebagian masyarakat Gayo yang masih menerapkan patah titidalam pembagian harta warisan. Terkadang dalam pembagian harta warisan melalui patah titiini bisa memicu konflik ahli waris yang merasa dirugikan akibatpatah tititersebut.

Ketidak puasan diantara ahli waris yang merasa dirugikan mereka melakukan gugatan ke pengadilan Mahkamah Syar’iyah. Ada yang merasa diuntungkan dengan adanyapatah titi ini, karena bagian warisannya bertambah. Selain itu juga ada pihak ahli waris yang ingin menguasai harta tersebut dengan cara serakah.

Dewasa ini perkembangan Hukum Waris patah titi ini lambat laun sudah mulai ditinggalkan sebagian besar masyarakat Gayo dikarenakan perkembangan


(28)

zaman dan pada umumnya juga penduduk suku Gayo kabupaten Aceh Tengah memeluk Agama Islam.

Terkait dengan penyelesaian sengketa kewarisan, berdasarkan data Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berkerjasama dengan IDLO (international development law organization) sepanjang tahun 2007 Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh telah menangani 125 kasus kewarisan dan 292 kasus penetapan ahli waris (bukan penetapan penggantian ahli waris). Namun demikan, dalam kasus yang berkaitan dengan patah titi ini, dengan sendirinya Mahkamah Syar’iyah akan menerapkan ketentuan Pasal 185 KHI, yaitu menghapus hukum adatpatah titi yang dikenal oleh masyarakat Aceh yang sekaligus mengakui cucunya sebagai ahli waris pengganti bagi ayahnya yang telah meninggal dunia lebih dahulu dari pada kakek/neneknya. Minimnya penanganan kasus penggantian ahli waris di Mahkamah Syar’iyah, sebut Syahrizal, dikarenakan masih minimnya sosialisasi tentang penggantian ahli waris.6

Pada kenyataannya, penggantian ahli waris merupakan suatu pembaharuan hukum Islam yang cukup besar di Indonesia. Jika aturan hukum ini disosialisasikan dengan baik, pemahaman patah titi tidak lagi mencuat dalam kehidupan masyarakat Gayo, Aceh pada umumnya.

6Hukum Patah Titi Di Aceh, http://www.idlo.int/bandaacehawareness.htm. Diakses tanggal,


(29)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan di teliti dan dibahas secara lebih mendalam pada penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaruh hukum waris Islam terhadap hukum waris adat pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah?

2. Bagaimana perkembangan hukum patah titi pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah?

3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran hukum patah titi

pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada masalah diatas, maka tujuan penelitian ini yang dilakukan penulis adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh hukum waris islam terhadap hukum waris adat pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah

2. Untuk mengetahui perkembangan hukum patah titi pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah

3. Untuk menetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pergeseran hukumpatah titipada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah


(30)

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat menberi mamfaat baik secara teoritis maupun secara praktis yaitu:

1. Secara Teoritis

Dengan adanya penelitian ini dapat membantu kita untuk lebih memperhatikan dan berusaha untuk memberikan sumbangan pemikiran sesuai dengan kebenaran dan fakta yang ada dan yang terjadi dilapangan.

2. Secara Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermamfaat sebagai masukan untuk para Notaris, masyarakat umum, akademis maupun dalam upaya mempersiapkan peraturan tentang kedudukan ahli waris sebagai pewaris pada masyarakat adat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran hukum patah titi pada masyarakat adat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan yang ada dilingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Unversitas Sumatera Utara menunjukan bahwa penelitian dengan judul pengaruh hukum islam terhadap hukum waris adat pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah,


(31)

dengan permasalahan pertama bagaimana pengaruh hukum waris islam terhadap hukum waris adat pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan permasalahan kedua bagaimana perkembangan hukum patah titi pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah ketiga faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran hukum patah titi pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah yang penelitiannya dilakukan di kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nangro Aceh Darusalan belum ada yang membahasnya, sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara akademis.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukan ketidak benarannya.7

Menurut M. Solly Lubis menyebutkan bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan(problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang


(32)

mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang merupakan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.8

Pada dasarnya teori yang berkenaan dengan judul diatas adalah teori yang berkenaan dengan sosiologi hukum yaitu teori yang dikemukakan oleh Eugen Ehrlich. Dalam bukunya berjudul“Fundamental Principles of the Sociology of Law”.

Dari bukunya tersebut terdapat konsep“living law”, Konsep ini menekankan bahwa, hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, atau dengan apa yang disebut dengan hukum adat .9

Dalam penjelasan umum Alinea I Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa : “Undang-Undang Dasar suatu Negara ialah sebagian dari hukumnya dasar Negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.”10

Pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis (hukum adat). Seperti dijelaskan pada pasal 131

8M. Solly Lubis, Filsafat dan Penelitian, Mandar Madju, Bandung, 1994, halaman 19 9Syafruddin Kalo, Modul Kuliah Penemuan Hukum, disampaikan pada Rangkaian Sari

Kuliah Semester II, Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan, USU Medan, 2007, halaman.18


(33)

I.S (Indische Staatssregeling) ayat 2 b (Stb 1925 no .415 jo.577), Mengenai dasar berlakunya hukum adat termasuk juga berlakunya hukum waris adat di Indonesia yaitu :

“Bagi golongan Indonesia asli (Bumi Putra), golongan Timur Asing dan bagian-bagian dari golongan bangsa tersebut, berlaku peraturan hukum yang didasarkan atas agama dan kebiasaan mereka”

Teori receptio in Complexu menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab ia telah memeluk agama Islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. Teori ini berlaku di Indonesia ketika teori ini diperkenalkan oleh Mr. Lodewijk Willem Christian van den Berg.Teori Receptio in Complexuini telah diberlakukan di zaman VOC sebagaimana terbukti dengan dibuatnya pelbagai kesimpulan hukum untuk pedoman pejabat dalam menyelesaikan urusan-urusan hukum rakyat pribumi yang tinggal di dalam wilayah kekuasaan VOC yang kemudian dikenal sebagaiNederlandsch Indie.11

Teori Receptiemenyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat. Hukum Islam berlaku bagi rakyat pribumi kalau norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat.Teori Receptiedikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronye dan kemudian dikembangkan oleh van Vollenhoven dan Ter Haar. Teori ini dijadikan alat oleh Snouck Hurgronye agar orang-orang pribumi


(34)

jangan sampai kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam. Jika mereka berpegang terhadap ajaran dan hukum Islam, dikhawatirkan mereka akan sulit menerima dan dipengaruhi dengan mudah oleh budaya barat. Ia pun khawatir hembusanPan Islamismeyang ditiupkan oleh Jamaluddin Al-Afgani berpengaruh di Indonesia.12

Teori Receptie Exit diperkenalkan oleh Hazairin. Menurutnya setelah Indonesia merdeka, tepatnya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 dijadikan Undang-Undang Negara Republik Indonesia, semua peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang berdasarkan teori receptie bertentangan dengan jiwa UUD ’45. Dengan demikian, teori receptie itu harusexitalias keluar dari tata hukum Indonesia merdeka.13

Teori Receptie bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Secara tegas UUD ’45 menyatakan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

12

Teori Receptie, http://agendapamel.wordpress.com/islamic-studies/christiaan-snouck-hurgronje-teori-receptie/, diakses tanggal, 17 April 2012

13

Teori Berlakunya Hukun Islam, http://master-masday.blogspot.com/2011/05/teori-tentang-berlakunya-hukum-islam-di.html, diakses tanggal, 17 april 2012


(35)

Demikian dinyatakan dalam pasal 29 (1) dan (2) Undang-undang Dasar Republik Indonesia.14

Teori Receptie Exit yang diperkenalkan oleh Hazairin dikembangkan oleh Sayuti Thalib. dengan memperkenalkanTeori Receptie A Contrario. Teori Receptie A Contrario yang secara harfiah berarti lawan dari Teori Receptie menyatakan bahwa hukum adat berlaku bagi orang Islam kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam. Dengan demikian, dalamTeori Receptie A Contrario, hukum adat itu baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.15

KalauTeori Receptie mendahulukan berlakunya hukum adat daripada hukum Islam, maka Teori Receptie A Contrario sebaliknya. Dalam Teori Receptie, hukum Islam tidak dapat diberlakukan jika bertentangan dengan hukum adat.Teori Receptie A Contrario mendahulukan berlakunya hukum Islam daripada hukum adat, karena hukum adat baru dapat dilaksanakan jika tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Teori Receptie in complexu maupun Teori Receptie, didalam masyarakat nampaknya masih silang pendapat. Ada yang menyatakan bahwa Teori Receptio in complexulebih mendekati kenyataan karena hukum agama akan berlaku bagi mereka yang memeluk agama yang dianutnya, hal ini terlihat bagi mereka yang beragama

14


(36)

http://master-masday.blogspot.com/2011/05/teori-tentang-Islam melaksanakan hukum http://master-masday.blogspot.com/2011/05/teori-tentang-Islam seperti pelaksanaan perkawinan yang harus memenuhi rukun dan syarat perkawinan.

Dipihak lain pendukung Teori Receptie yaitu C. Van Vollenhoven mengatakan bahwa hukum yang berlaku bagi orang indonesia asli adalah hukum adat bukan hukum agama, sebab hukum agama merupakan hukum pendatang yang masuk ke Indonesia.

Inilah teori resepsi yang disebut Hazairin sebagai “teori iblis” itu. Karena merasa hukum Islam dipermainkan begitu rupa oleh Pemerintah Kolonial Belanda, karena mengajak orang Islam untuk tidak mematuhi dan melaksanakan perintah Allah dan Sunnah Rasul dengan dalih hukum adat tidak melarangnnya.

Dengan demikian berlakunya sistem hukum adat di Indonesia tergantung kepada daerahnya masing-masing sesuai adat dan kebiasaan mereka. Hal ini juga ditegaskan oleh Soepomo yang mengatakan bahwa : “Hukum Adat merupakan hukum yang melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hukum yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan, dimana ia memutuskan perkara.”16


(37)

Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian kita ke arah suatu kejadian penting dalam suatu masyarakat tertentu yaitu ada seorang anggota masyarakat meninggal dunia.17

Seorang manusia lazimnya selaku anggota keluarga yang masih hidup, mempunyai tempat dalam keluarga dengan disertai berbagai hak-hak dan kewajiban terhadap orang-orang anggota keluarga dan terhadap barang-barang yang berada dalam keluarga tersebut.

Dengan kata lain ada perhubungan hukum antara seorang manusia itu disatu pihak dan dunia luar dan sekitaranya di lain pihak sedemikian rupa bahwa saling mempengaruhi dari kedua belah pihak itu berupa kenikmatan atau beban yang dirasakan oleh masing-masing pihak.

Apabila seorang anggota keluarga itu pada suatu waktu meninggal dunia maka dengan sendirinya maka muncullah pertanyaan, apakah yang akan terjadi dengan perhubungan-perhubungan hukum itu, hukum ini mempunyai hubungan sangat erat pada waktu si anggota keluarga meninggal.

Walaupun demikian seorang anggota keluarga yang meninggal itu sudah dimakamkan, perhubungan-perhubungan hukum itu tidaklah lenyap begitu saja,


(38)

bukankah seorang anggota keluaraga tersebut masih sanak saudara yang ditinggalkan, apakah itu ayah atau ibunya, kakek atau neneknya atau juga anak-anaknya.

Pada umumnya di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa atau kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan, oleh karena sistem garis keturunan yang berbeda-beda yang menjadi dasar dari sistem sosial suku-suku atau kelompok-kelompok etnik.18

Maka dalam hal ini, disetiap masyarakat dibutuhkan suatu aturan hukum yang mengatur bagaimana cara-cara kepentingan-kepentingan dalam masayarakat itu dapat diselamatkan, agar masyarakat itu dapat diselamatkan juga selaku tujuan dari segala aspek hukum.

Dalam asas hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.19

Sistem pewarisan yang ada di masyarakat Gayo pada umumnya menganut sistem pewarisan patrilineal, yaitu sistem kekerabatan yang ditarik berdasarakan garis bapak, dimana kedudukan pria lebih banyak pengaruhya dari pada kedudukan wanita dalam hal pembagian harta warisan.

18Soerjono Soekanto dan Yusuf Usman, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat,

Jakarta: Gahalia Indonesia, halaman. 25-26.

19Muhammda Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di


(39)

Sebaliknya dalam praktek kewarisan adat Gayo tidak diakui istilah pengantian tempat (plaatsvervulling) tersebut. Bahkan status cucu tidak dapat menggantikan posisi orang tuanya yang lebih dulu meninggal dalam hal mewarisi harta kakek atau neneknya.

2. Konsepsi

Konsepsi berasal dari bahasa Latin,conceptusyang memilki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berpikir, daya berpikir khususnya penalaran dan pertimbangan.

Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.

Konsepsi diartikan juga sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional. Pentingnya definisi adalah untuk menghindarkan pengertian atau penafsiran yang berbeda dari satu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penulisan tesis ini dirangkaikan kerangka konsepsi sebagai berikut:

a. Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bagaimana harta peninggalan atau harta warisan dari generasi kegenerasi berikutnya20


(40)

b. Hukum waris adalah norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik materi maupun yang immateril, sehingga jelas manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya.21

c. Subjek hukum waris adalah pewaris dan ahli waris. Pewaris adalah seorang yang meninggalkan harta warisan sedangkan ahli waris adalah seorang atau beberapa orang yang menerima harta warisan22

d. Para waris ialah anak termasuk anak dalam kandungan ibunya jika lahir hidup; tetapi tidak semua anak adalah ahli waris, kemungkinan para waris lainya seperti anak tiri, anak angkat, anak piara, waris balu, waris kemenakan, dan anggota kerabat dan waris lainya. Kemudian berhak tidaknya para waris pengganti seperti cucu, ayah-ibu, kakek-kakek, waris anggota kerabat dan waris lainya. Kemudian berhak tidaknya para waris tersebut di pengaruhi oleh sistem kekerabatan bersangkutan dan mungkin juga karena pengaruh agama, sehingga antara daerah yang satu dan yang lain terdapat perbedaan.23

e. Para waris adalah semua orang yang (akan) menerima penerusan atau pembagian warisan baik ia sebagai ahli waris yaitu orang yang berhak mewarisi maupun yang bukan ahli waris tetapi mendapat warisan. Jadi ada waris yang ahli waris dan waris yang bukan ahli waris. Batas antara keduanya sukar di tarik garis

21Badruzzaman Ismail,Asas-Asas Dan Perkembangan Hukum Adat, Banda Aceh: Gua Hira,

2003, halaman. 167

22

Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko,Hukum Adat Indonesia,Jakarta, CV. Rajawali, 1983, halaman 228

23


(41)

pemisah, oleh karena ada yang ahhli waris di suatu daerah sedang di daerah lain ia hanya waris, begitu pula ada yang di suatu daerah sebagai waris tetapi tidak mewarisi sedangkan di daerah lain ia mendapat warisan.24

f. Ahli waris penganti adalah ahli waris yang “menggantikan” kedudukan seseorang yang telah meninggal lebih dahulu dari pewaris pasal 185 KHI.

g. Patah titi adalah putusnya hubungan kewarisan antara cucu dengan kakek dikarenakan ayah atau ibu meninggal terlebih dahulu dari pewaris yaitu kakek. h. Suku Gayo adalah suku yang mendiami daerah dataran tinggi Gayo atau sering

disebut Tanoh Gayo, komunitas masyarakatnya untuk saat ini yang banyak mendiami di lima kabupaten di Aceh yaitu Aceh Tenggara, Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Tamiang, dan Gayo Lues. Pada dasarnya suku bangsa Gayo terdiri dari tiga bagian atau kelompok, Gayo Lut mendiami daerah Aceh Tengah dan Bener Meriah, Gayo Lues mendiami daerah Gayo Lues dan Aceh Tenggara serta Gayo Blang mendiami sebagian kecamatan di Aceh Tamiang.25

G. Metodologi Penelitian

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analisis yaitu menggambarkan perkembangan hukum waris adat yang ada pada masyarakat Gayo


(42)

di Kabupaten Aceh tengah, serta menganalisis masalah-masalah yang timbul yang berhubungan dengan hal tersebut secara terperinci dan kritis selanjutnya mencoba menarik kesimpulan dan memberikam masukan berupa saran.

Bahan-bahan penelitian ini akan diperoleh secara kuesioner atau angket, yaitu sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hak yang ia ketahui. Untuk memperkuat bahan-bahan penelitian ini maka dilakukan wawancara kepada Camat, Kepala Desa, dan masyarakat berkompoten dalam masalah ini di kabupaten Aceh Tengah, Provensi Nangro Aceh Darusalam.

2. Metode Pendekatan

Ditinjau dari sudut tujuan penelitian maka penelitian ini mengunakan metode

yuridis sosiologis (empiris). Yuridis sosiologi (empiris) berarti penelitian ini mempelajari bahan pustaka dan data yang terdapat dari hasil wawancara dan di bandingkan dengan undang-undang yang berlaku sekarang.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nangro Aceh Darusalam. Kecamatan Bebesen yang luas wilayahnya 47,19


(43)

Kmଶ yang terdiri dari 28 desa dengan jumlah penduduk 34.264 pada tahun 2010.26 Dikarenakan luasnya wilayah di kecamatan Bebesen tersebut maka diambilah 3 (tiga) desa sebagai sampel adalah:

1. Desa Kemili 2. Desa Bebesen 3. Desa Belang Gele

Ketiga desa tersebut merupakan desa yang masih kuat dalam menegakan hukum adatnya dan merupakan desa yang tertua yang ada sebelum adanya pemekaran desa, dibandingkan desa-desa lain yang ada di dalam Kabupaten Aceh Tengah.

4. Populasi dan Sampel

Populasi dalam melakukan penelitian ini adalah seluruh masyarakat Gayo yang telah melakukan pembagian harta warisan di Kecamatan Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nangro Aceh Darusalam.

Dalam penelitian ini diambil dari 1 (satu) kecamatan dan dari kecamatan tersebut diambil 3 (tiga) desa dan setiap desa diambil 10 (sepuluh) orang sampel dalam satu keluarga yang mewakili 1 (satu) orang. Dengan demikian jumlah sampel ada 30 (tiga puluh) orang dari 3 (tiga) desa tersebut yang telah melakukan pembagian harta warisan baik dengan hukum adat maupun hukum Islam.


(44)

Untuk kelengkapan data dalam penulisan ini, maka dilakukan wawancara dengan narasumber lainnya sebagai tambahan data yaitu:

1. Tokoh-tokoh masyarakat Gayo

2. Ketua MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) Kab. Aceh Tengah 3. Ketua Mahkamah Syar’iyah Kab. Aceh Tengah

4. Aparat Desa

5. Metode Pengumpulan Data

Untuk mendapat data yang akurat dan relevan, baik berupa pengetahuan ilmiah, maupun tentang suatu fakta atau gagasan, maka pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan (Library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan baik berupa dokumen-dokumen, maupun peraturan Perundang-undangan, yang berkaitan dengan hukum waris adat pada masyarakat Gayo.

b. Study Lapangan (Faild Research)yaitu untuk melakukan wawancara dengan masyarakat dan pemerintah yang berada dalam kecamatan Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nangro Aceh Darusalam.


(45)

6. Alat Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara sebagai berikut :

a. Studi Dokumen, digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data sekunder yang berkaitan dengan materi penelitian. Sehingga untuk mengumpulkan data skunder guna dipelajari kaitannya dengan permasalahan yang diajukan. Data ini diperoleh dengan mempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang ada kaitannya dengan hukum waris adat pada masyarakat Gayo.

b. Wawancara, dilakukan dengan pedoman wawancara kepada informan dan responden yang telah ditetapkan dengan memilih model wawancara langsung (tatap muka), yang terlebih dahulu dibuat pedoman wawancara dengan sistematis, tujuannya agar mendapatkan data yang mendalam dan lebih lengkap dan punya kebenaran yang konkrit baik secara hukum maupun kenyataan yang ada di lapangan.


(46)

7. Analis Data

Analisis data merupakan proses penelaahan yang diawali dengan melalui verifikasi data sekunder dan data primer. Untuk selanjutnya dilakukan pengelompokkan sesuai dengan pembahasan permasalahan. Analisis data adalah sesuatu yang harus dikerjakan untuk memperoleh pengertian tentang situasi yang sesungguhnya, disamping itu juga harus dikerjakan untuk situasi yang nyata.

Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara kualitatif dengan mengumpulkan data primer dan sekunder, selanjutnya dilakukan pemeriksaan dan pengelompokan agar menghasilkan data yang lebih sederhana sehingga mudah dibaca dan dimengerti. Selanjutnya dilakukan klasifikasi data menurut jenisnya dalam bentuk persentase.

Kemudian data yang telah disusun secara sistematik dalam bentuk persentase dianalisis sehingga dapat diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam pelaksanaan warisan di Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah. Selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode induktif sebagai jawaban dari masalah yang telah dirumuskan.


(47)

BAB II

PENGARUH HUKUM WARIS ISLAM

TERHADAP HUKUM WARIS ADAT PADA MASYARAKAT GAYO DI KABUPATEN ACEH TENGAH

A. Sejarah Masuknya Islam Di Gayo Kabupaten Aceh Tengah

Agama Islam pertama kali masuk ke Perlak dan Pase abad pertama hijrah atau abad ke 8 Masehi, orang Gayo yang bermukim disana secara berangsur-angsur mulai memeluk agama Islam. Ketika sebuah angkatan dakwah Islamiyah berjumlah 100 orang yang terdiri dari orang-orang Arab, Persia dan India dipimpin oleh Nakhoda Syahir Nuwi dari Teluk Kambey Gujarat berlabuh di teluk Perlak pada tahun 173 H atau 800 M, orang-orang Gayo yang bermukim diwilayah itu membaur dengan mereka dalam proses pemerintahan dan kemasyarakatan, diikat oleh tali persaudaran Islam. Pada waktu itu semua orang Gayo masuk Islam yang sebelumnya menganut animisme.27

Adat dan budaya masyarakat Gayo pada zaman Pra-Islam yang bersifat animisme masih tetap ada, bahkan perbuatan tercela seperti menghisap candu, mencuri, berjudi, menyabung ayam, guna-guna semacam ilmu santet dan lain-lain masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Gayo. Bahkan upacara keagamaan seperti memelihara roh-roh para datu muyang, jin, syetan, menjaga dan memuja kuburan


(48)

yang dianggap keramat masih tetap ada dalam sebagian masyarakat Gayo, namun berkat atas rahmat Allah SWT diiringi dengan perjuangan dakwah Islamiyah oleh para mubaliqh Islam yang datang ke negeri Tanah Gayo, ajaran agama Islam dan Aqidah mayarakat menjadi mantap. Maka segala perbuatan dosa syirik, khurafat dan tahayul dapat dihilangkan sedikit demi sedikit dalam diri masyarakat Gayo.28

Ajaran Islam didakwahkan ke kerajaan Lingga oleh ulama kerajaan Perlak. Pada tahun 181 H atau 808 M, oleh Ahmad Syarif memimpin pertama pelaksanaan ajaran Islam dalam kerajaan Islam Lingga. Masyarakat diwilayah itu menempuh kehidupan baru secara tertib dan tentram, karena diikat oleh dasar agama dan adat istiadat secara terpadu.

Perinsip itu dituangkan kedalam 45 pasal adat masyarakat kerajaan lingga yang ditetapkan dalam musyawarah Merah (Reje), Ulama, pemimpin adat. Dan Cerdik Pandai pada tahun 450H/1115M setelah melalui proses panjang selama tiga setengah abad.

Perinsip yang dimaksud dapat dihayati dari ungkapan adat: Agama urum edet, lagu zet urum sifeet, Agama kin senuwen, edet kin peger, artinya Agama Islam dan adat Gayo seperti zat dan sifat. Agama sebagi tanaman, adat sebagai pagarnya. Dari ungkapan tersebut jelas dan tegas, bahwa keterpaduan diantara adat dan syari’at Islam

28

Syukri, MA, Sarakopat, Sistem Pemerintahan Dan Relevansi Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah,Jakarta, Hijri Pustaka Utama, 2009, halaman, 88


(49)

sangat erat dan saling menunjang. Fungsi adat untuk menunjang pelaksanaan ajaran agama Islam, adalah merupakan prinsip dalam kehidupan masyarakat Gayo.29

Masuknya ajaran Islam ke Tanah Gayo, diterima dengan senang hati oleh masyrakat Gayo, sebab budaya lokal didaerah ini disesuaikan dengan ajaran tauhid dan kebudayaan Islam. Islam baru menjadi pola anutan masyarakat, khususnya masyarakat adat Gayo setelah membentuk berbagai institusi sosial pada priode berikutnya.

Atas upaya pelaksanaan ajaran Islam yang menimbulkan berbagai implikasi terhadap terbentunya struktur politik, maka adalah suatu konsekwensi logis bahwa perkembangan Islam menuju kepada yang lebih nyata lagi yaitu dengan berdirinya pusat-pusat kekuasaan Islam seperti berbagai kerajaan dan kesultanan di nusantara ini, termasuk berbagai kerajaan Aceh dan Tanah Gayo.

Khusus di Tanah Gayo ada empat Kerajaan Islam yang amat besar pengaruhnya hingga saat sekarang ini, bahkan menjadi objek studi peneliti ilmiah bagi mereka yang ingin meneliti sistem politik atau pemerintahan di Tanah Gayo. Keempat kerajaan tersebut ialah:30

1. Kerajaan Linge, 2. Kerajaan Bukit,

3. Kerajaan Cik Bebesen dan 4. Kerajaan Syih Utama.


(50)

Keempat kerajaan tersebut yang memegang adat-istiadat/budaya Gayo, sehingga adat/budaya Gayo dapat teraplikasi dengan ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Gayo.31

Dalam kaitan dengan perkembangan Islam, Snouck Hurgronje menulis catatan bahwa sebelum kedatangan Belanda ke daerah Gayo, di daerah Gayo Lut Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah sekarang, sudah ada enam buah masjid yaitu: di Bebesen, Kebayakan, Toweren, Bintang, Tingkem dan Ketol (di Kute Gelime). Snouck juga menyebutkan bahwa di daerah Gayo Lues pun sudah ada enam buah mesjid, sedang di daerah Gayo Deret dan Gayo Serbe Jadi belum ada sebuah mesjid pun.32

Mengenaimeunasah(Gayo,mersah) sesuai dengan adat yang berlaku di sana, ditemukan di setiap kampung (dalam Bahasa Gayo sering disebut belah yang arti harfiahnya adalah anak suku) karena mersah merupakan bagian dari kelengkapan kampung yang harus ada. Di daerah Gayo sama seperti di Aceh pesisir, di samping untuk tempat melaksanakan shalat fardhu berjamaah,mersah juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, pertemuan dan musyawarah, serta tempat bermalam bagi anak muda, duda dan bahkan tamu laki-laki.

31Ibit,halaman, 89 32

Kebudayaan Gayo, http://www.lintasgayo.com/28428/syariat-islam-dan-budaya-aceh-pedalaman.html, tanggal 20 januari 2013


(51)

Kebanyakan kampung di Gayo, orang perempuan melakukan shalat fardhu berjamaah di tempat khusus untuk mereka yaitu joyah. Jadi pada setiap kampung ditemukan sebuah mersah dan sebuah joyah. Karena salah satu fungsi utamanya adalah sebagai tempat shalat dan juga pusat aktifitas kehidupan sehari-hari, termasuk sebagai tempat mandi, cuci, dan kakus (MCK) semua penduduk, maka letakmersah

danjoyahselalu di dekat anak sungai, selokan bahkan parit atau tempat lain yang air bersih bisa dialirkan ke sana. Jadi karena harus berdekatan dengan sumber air bersih (air mengalir), maka tidak selamanyamersahataujoyahberada di tengah kampung.

Agama Islam dalam masyarakat Gayo adalah darah di kehidupan masyarakat sehingga faktor budaya, pendidikan, dan kesenian selalu berkaitan dengan Agama dan norma yang ada. Masyarakat Gayo sangat memperhatikan nilai norma dalam kehidupan sehari hari. Ini dimaksudkan agar agama tetap teguh dan adat bisa berjalan dengan agama, karena ( kuet edet muperala agama, rusak edet rusak agama) kuat adat semakin teguh agama, rusak adat rusak agama dan semua sistem masyarakat.

Berkaitan dengan pengajian atau pendidikan agama, khususnya untuk anak-anak, oleh Snouck Hurgronje dalam bukunya tadi, disebutkan bahwa dalam adat Gayo ada empat tugas utama (sinte) yang harus ditunaikan orang tua terhadap anak-anaknya yaitu:

1. Iturun manin(diberi nama, di-`aqiqah-kan), 2. Imenjelisen(dikhitan, di-sunat-rasul-kan),


(52)

3. Iserahan mungaji (diserahkan kepada guru untuk belajar mengaji, membaca Al-qur’an dan belajar pengetahuan praktis tentang ibadat) serta

4. Ikerjenatauiluahi(dicarikan jodoh dan dinikahkan).

Snouck Hurgronje memberi penjelasan panjang lebar tentang tiga dari empat kegiatan di atas, namun untuk kegiatan mungaji beliau sebutkan secara sangat ringkas, bahwa di Gayo pada biasanya orang tua akan menyerahkan anaknya kepada guru mengaji.33

Masyarakat Gayo tidak hanya mengenal sistem adat, nilai norma tetapi juga mengenal sistem nilai budaya Gayo. Menurut C. Snock, 1996:XII, Sistem nilai ini yang selalu harus dijaga dan direalisasikan dalam masyarakat. Karena faktor ini sangat berpengaruh pada sistem baik secara individu maupun sistem bermasyarakat dalam kehidupan sehari hari. Masyarakat Gayo mempunyai skema sistem nilai budaya Gayo, yaitu:34

a. Mukemel(harga diri) b. Tertip(tertip)

c. Setie(setia)

d. Semayang-Gemasih(kasih sayang) e. Mutentu(Kerja keras)

f. Amanah(amanah)

33Kebudayaan Gayo,

http://www.lintasgayo.com/28428/syariat-islam-dan-budaya-aceh-pedalaman.html, tanggal 20 januari 2013

34Budaya Gayo,


(53)

g. Genap mupakat(musyawarah) h. Alang tulung(tolong menolong) i. Bersikemelen(kompetitif)

Sebenarnya ada satu nilai lagi yang paling mendasar yaitu nilai Imen

(keimanan atau keyakinan) terhadap kebenaran yang bersumber dari Allah dan Rasulnya. Nilai keimanan itu merupakan etos kerja atau ruh amal yang mendorong sekaligus mengendalikan dan mengarahkan kekuatan manusia untuk beramal.35

B. Pengertian Hukum Waris Islam dan Hukum Waris adat

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf a, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peningalan (tirkah)

pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

Dalam Pasal 171 huruf b, Kompilasi Hukum Islam memberikan pengertian pewaris yaitu orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan, beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.

Dan dalam Pasal 171 huruf c, memberikan pengertian ahli waris yaitu orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan


(54)

perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Hasbi Ash-Siddieqy mengemukakan Hukum waris Islam adalah suatu ilmu yang dengan dialah dapat kita ketahui orang yang menerima pusaka dan orang yang tidak menerima pusaka, serta kadar yang diterima tiap-tiap waris dan cara pembagiannya.36

Hukum kewarisan disebut juga dengan ilmu Fara’idh oleh sebagian

faradhiyun memberi pengertian yaitu ilmu fiqh yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka.37

Dengan demikian sistem kewarisan Islam yang dimaksud baru dapat berlaku jika dilakukan setelah pewaris meninggal dunia dan juga pewaris adalah beragama Islam dan yang menerima juga beragama Islam. Dengan demikian pelaksanaan hukum waris bagi umat Islam adalah merupakan suatu ibadah.

Hukum waris Islam adalah hukum yang mengatur proses pemindahan kepemilikan atas harta peninggalan (tirkah atau maurut) milik pewaris kepada ahli

36Hasbi Ash-Shiddieqy,Fiqhul Mawaris, Jakarta, Bulan Bintang, 1973, halaman 18

37


(55)

warisnya sesuai dengan bagian masing-masing hukum Allah. Hal ini yang diatur adalah:38

a. Bagaimana pemindahan kepemilikan harta peninggalan yang dimiliki pewaris kepada ahli waris dapat dilakukan baik berupa rukun maupun syarat-syarat kewarisan termasuk didalamnya pengaturan kewajiban dan tanggung jawab ahli waris terhadap pewaris.

b. Penentuan siapa-siapa diantara ahli waris yang berhak menjadi ahli waris dari pewarisnya, yang berasal dari jumlah ahli waris yang ada atau hidup, tetapi tidak semuanya menjadi ahli waris, kecuali mereka yang menurut hukum syara mempunyai hak untuk mendapatkan bagian harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris.

c. Penentuan berapa besarnya bagian masing-masing yang akan diterima oleh ahli waris yang berhak menerimanya menurut hukum syara sesuai dengan kedudukan ahli waris dalam struktur dan tingkatan kekeluargaan pewaris yang bersangkutan.

d. Pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut kepada ahli waris yang berhak dengan tidak menutup kemungkinan setelah masing-masing ahli waris yang berhak menyadari bagiannya dengan mengadakan “kesepakatan” untuk melakukan “perdamaian” dalam pembagian harta peninggalan tersebut.

Berdasarkan dengan hal tersebut diatas dalam pewarisan Islam terdapat rukun pewarisan yang mempunyai 3 (tiga) rukun, yaitu:

1. Tirkah, yaitu harta peninggalan si mati setelah di ambil biaya-biaya perawatan, melunasi utang-utang dan melaksanakan wasiat.

2. Pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta peninggalan.


(56)

Ada tiga unsur dalam hukum kewarisan Islam yaitu:

1. Pewaris (Al-Muwarrist)

Adalah: seorang yang telah meninggal dunia dan meniggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup.39

Dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 171 huruf b menjelaskan sebagi berikut:

Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan, beragama Islam, meninggalkan ahli ahris dan harta peninggalan.

Meninggal dunia atau mati dapat dibedakan menjadi:40

a. Mati sejati(haqiqy)adalah kematian yang dapat disaksikan oleh panca indra. b. Mati menurut putusan pengadilan (hukmy) adalah kematian yaang disebabkan

adanya putusan hakim, baik orangnya masih hidup maaupun sudah mati. c. Mati menurut dugaan (taqdiry) adalah kematian yang didasarkan ada dugaan

yang kuat bahwa yang bersangkutan telah mati. 2. Ahli waris(warists)

Adalah: orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal.41

39

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam,Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2004, halaman 206

40

H.R.Otje Salaman S. Mustofa Haffas,Hukum Waris Islam,PT. Refika Aditama, Bandung, 2006, halaman, 5

41


(57)

Dalam Kompilasi Hukum Islam dalm pasal 171 huruf c, menjelaskan sebagai berikut:

Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Disamping adanya hubungan kekerabatan dan perkawinan itu, mereka baru berhak menerima warisan secara hukum dengan terpenuhinya persyaratan sebagai berikut:

a. Ahli waris itu masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris

b. Tidak ada hal-hal yang menghalangi secara hukum untuk menerima warisan c. Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat.42 3. Warisan(mauruts)

Adalah sesuatu yang ditinggal oleh orang yang meninggal dunia, baaik berupa benda bergerak maupun benda tak bergerak.43

Didalam Kompilasi Hukum Islam 171 huruf e memberikan penjelasan tentang pengertian harta warisan yaitu harta bawaan di tambah bagian dari harta bersama, setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.


(58)

Apa saja asas-asas kewarisan. Pembagian warisan berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadis yang didalamnya memuat sejumlah asas, yaitu:44

a. Asas mengutamakan musyawarah, pembagian kewarisan dilakukan dengan mengutamakan jalan musyawarah (kesepakatan pihak-pihak).

Hukum waris (faraid) memiliki karakter alternatif. Artinya, ia bisa dipilih dan dijadikan acuan bagi pembagian waris, bisa juga tidak digunakan. Menjadikan

faraid sebagai acuan pembagian harta waris adalah mutlak, ketika tidak ditemukan kesepakatan antar sesama ahli waris. Tapi jika ditemukan kesepakatan antar sesama ahli waris,ilmu faraiddapat saja tidak digunakan.

b. Asas keadilan, pembagian harta warisan bertujuan untuk mewujudkan keadilan. c. Asas bilateral, bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak untuk

memperoleh harta warisan dan secara bertimbal balik.

d. Asas individual, masing-masing ahli waris memilik hak masing-masing bukan atas nama kolektif/ bersama.

e. Asas kesinambungan dan jaminan hidup, pengalihan harta dari pewaris kepada ahli waris adalah sebagai jaminan hidup bagi generasi selanjutnya.

f. Asas kematian, kewarisan terjadi apabila ada kematian. Tidak ada kewarisan tanpa ada orang yang meninggal dunia.

44

Hak Waris Dan Perwalian dalam Waris Aceh,

komnasperempuan.or.id/publikasi/Indonesia/materi publikasi/2011/Hak Waris dan Perwalian.pdf, diakses tanggal, 28 januari 2013


(59)

Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:45

1. Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.

2. Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.

3. Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan

wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakanwala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.

Penghalang orang mewaris dalam hukum kewarisan Islam ada tiga, yaitu:46


(60)

Perbudakan menjadi penghalang untuk mewaris didasarkan pada kenyataan bahwa seorang budak tidak memiliki kecakapan bertindak atau tidak dapat menjadi subjek hukum hal ini termuat dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 75 yang artinya:

”Allah telah membuat perumpamaan ( yakni) seorang budak yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun...” Seorang budak tidak dapat mewaris karena ia tidak cakap berbuat. Seorang budak tidak dapat diwarisi jika ia meninggal dunia, sebab ia orang miskin yang tidak memiliki harta kekayaan sama sekali. Namun pada masa kini pada dasarnya perbudakan sudah tidak ada lagi, kalaupun ada mungkin jumlahnya amat kecil.

b. Pembunuhan.

Pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya pada prinsipnya menjadi penghalang baginya untuk mewarisi pewaris yang dibunuhnya. Adapun kaidah fiqhiyah yang berkaitan dengan masalah itu, yakni ”barang siapa yang ingin mempercepat mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka ia diberi sangsi tidak boleh mendapatkannya” Dalam hal pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja, para ulama sepakat bahwa pembunuhan yang demikian itu merupakan penghalang untuk mendapatkan warisan atau penghalang mewaris. Adapun pendapat para ulama mengenai pembunuhan yang dilakukan tanpa kesengajaan, para ulama syafi฀iyah berpendapat bahwa pembunuhan jenis apapun, tetap merupakan penghalng untuk mewaris.


(61)

c. Berlainan Agama

Berlainan agama berarti agama pewaris berlainan agama dengan ahli waris. Misalnya, pewaris beragama Islam, sedangkan ahli warisnya beragama kristen ataupun sebaliknya. Hal ini didasarkan pada hadits rasulullah yang artinya ” orang Islam tidak dapat mewarisi orang kafir, dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam.” (hadits riwayat Bukhori dan Muslim).

Didalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 173 yang menyatakan sorang terhalang menjadi ahli waris apa bila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, di hukum karena:

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan ppengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih besar.

Ada lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima, dan waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas tersebut adalah:47

1. AsasIjbari

2. AsasBilateral


(62)

4. AsasKeadilan berimbang

5. AsasSemata akibat kematian

Asas Ijbari yaitu dalam hukum Islam peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa usaha dari yang akan meninggal atau kehendak yang akan menerima. Dari segi pewaris mengandung arti bahwa ia sebelum meninggal tidak dapat menolak peralihan harta tersebut. apapun kemauan pewaris terhadap hartanya, maka kemauannya itu dibatasi oleh ketentuan yang telah ditetapkan Allah. Oleh karena itu, sebelum meninggal ia tidak perlu memikirkan atau merencanakan sesuatu terhadap hartanya, karena dengan kematinnya itu secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya, baik ahli waris itu suka menerima atau tidak.48

Asas bilateral bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan dari pihak ibunya, begitu pula seorang perempuan berhak menerima harta warisan dari pihak ayahnya dan dari pihak ibunya. Dalam ayat 11 surah An-Nisa dijelaskan bahwa:

a. Anak perempuan berhak menerima warisan dari kedua orang tuannya sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki dengan bandingan seorang anak laki-laki menerima sebanyak yang didapat dua orang anak perempuan

b. Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Begitu pula ayahnya sebagai ahli waris laki-laki berhak menerima warisan dari anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan sebesar seperenam bagian, bila pewaris ada meninggalkan anak

48


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Abdurrahman, Kedudukan Hukum Adat Dalam Rangka Pembagunan Nasional, Alumni, Bandung, 1978

Ali, Mohammad Daud Hukum Islam: Pengantar Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakrta : Rajawali Press. 2003.

Ash-Shiddieqy Hasby, Fiqhul Mawaris,Jakarta, Bulan Bintang, 1973 Asri, Benyamin, Hukum Waris Islam, Tarsito, Bandung,1989

Daut Ali, Muhammad, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Raja Grapindo Persada,Jakarta

Erwin T Rudy, Simorangkir Prasetyo J.T,Kamus Hukum,Sinar Grafika, Jakarta 2000 Gani. A, Fuad Mahdy,Hukum Adat,Darussalam Banda Aceh, 1987

Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2003

Hadikusuma, Hilman,Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003 Hasan, Hatta, Aman Asnah, Gayo Masyarakat dan kebudayaannya, Balai Pustaka,

Jakarta, 1996

Harahap, M. Yahya, Hukum Perkawinan Nasional, CV.Zahir Trading Co, 1985 Medan

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadits. Jakarta: Tintamas.

Ibrahim, Mahmud dan Aman Pinan, AR. Hakim, Syari’at dan Adat Istiadat,Jilid 1, Yayasan Magamammahmuda, Takengon, Aceh Tengah, 2002

---, Syari’at dan Adat Istiadat, Jilid 2, Yayasan Magamammahmuda, Takengon, Aceh Tengah, 2005

---,Syari’at dan Adat Istiadat, Jilid 3, Yayasan Magamammahmuda, Takengon, Aceh Tengah, 2010


(2)

Ibrahim, Mahmud, Mujahid Dataran Tinggi Gayo, Yayasan Maqamammahuda, Takengon, Aceh Tengah, 2007

Ismail, Badruzzaman, Asas-Asas Perkembangan Hukum Adat, CV. Gua Hira, Banda Aceh, 2003

Jafizham, T,Pengantar Hukum Paraid,CV. Mestika, Medan, 1965

Kalo, Syafruddin, Modul Kuliah Penemuan Hukum, disampaikan pada Rangkaian Sari Kuliah Semester II,Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan, USU Medan, 2007

Koesnoe, Muhammad,Hukum Adat sebagai Suatu Model hukum, PT. Mandar Maju, Bandung, 1992

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994 MK, M. Anshary,Pembaruan Sistem Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia,Madani

Press, Jakarta-Bogor, 2009

Melalatoa, M.J, Kebudayaan Gayo, Badan Perpustakaan Provinsi Nangro Aceh Darusalam

Munawar, Isak Teori Ahli Waris Penganti Dalam Sistem Hukum Kewarisan Islam, Artikel

Oemarsalim,Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia,Rineka Cipta, Jakarta, 2006 Pitlo, A. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda,

PT. Intermasa, Jakarta

Pitlo, A dan Mertokusumo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Pt. Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, 1993

Prodjodikoro, Wirjono,Hukum Waris Di Indonesia, Sumur, Bandung, 1980 Rahman, Fatchur, Ilmu Waris,PT. Alma’arif, Bandung, 1971

Ramulyo, Idris, Hukum Kewarisan Islam, Ind-Hill,co, Jakarta, 1984

Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam,PT. Sinar Baru Algensindo Offset Bandung, 1997 Rato, Dominikus, Hukum Perkawinan Dan Waris Adat, Laksbang Yustitia,

Surabaya, 2011

Rusyd, Ibnu, Terjemahan Bidayatu’l mujtahid Juz 3, CV. Asy-Syifa’, Semarang, 1990


(3)

Salman, H.R Otje dan Anton F. Susanta, Teori Hukum, Rafika Aditama, Bandung 2004

Salman H.R Otje dan Haffas. Mustofa, Hukum Waris Islam, Rafika Aditama, Bandung 2006

Sejarah Dan Adat Istiadat Masyarakat Gayo Kabupaten Aceh Tengah, Kerja Sama Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah Dengan Tim Peneliti Sejarah Dan Budaya, FKIP Unsyiah Banda Aceh Tahun 2004

Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2004

Soekanto, Soerjono, Inti Sari Hukum Keluarga, Universitas Indonesia, Jakarta 1980

---,Hukum Adat Indonesia,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983 ---,Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raaja Grafindo Persada, Jakarta, 2006 Soekanto, Soerjono dan Taneko, B. Soleman,Hukum Adat Indonesia, CV. Raja Wali,

Jakarta, 1983

Soekanto Soerjono , Pengantar Penelitian hukum, Jakarta, UI Prees, 1986, halaman 6

Soerjono Soekanto dan Yusuf Usman, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, Jakarta: Gahalia Indonesia, halaman. 25-26

Soepomo, R Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Pradya Paramita, 1987, halaman. 79

Soemadinigrat, Salman Otje,Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap hukum Waris, Alumni, Bandung 1993

Syukri, MA,Sarakopat, Sistem Pemerintahan Dan Relevansi Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah,Jakarta, Hijri Pustaka Utama, 2009,

Usman, Rachmadi, Hukum Kewarisan Islam dalam Dimensi Kompilasi Hukum Islam,Mandar Maju, 1994

Thalib, Sajuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1981

Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, PT. Toko Gunung Agung,,Jakarta, 1983


(4)

Wiradnyana, Ketut dan Taufikurrahman Setiawan, Merangkai Identitas Gayo, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2011

B. Peraturan Perundang-undangan Undang- undang Dasar 1945

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nanggro Aceh Darusalam

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tanggal 15 juni 1998 Nomor: 273K/AG/1996

C. Penelusuran Internet

Budaya Gayo, http://ansar-senibudaya.blogspot.com/2011/01/tujuh-unsur-kebudayaan-gayo.html, 17 April 2012

Hukum Patah Titi Dalam Kewarisan Aceh, http://konsultasi-ki.blogspot.com/2012/02/hukum-patah-titi-dalam-kewarisan-adat.html

Diakses tanggal, 14 Maret 2012

Hukum Patah Titi Di Aceh, http://www.idlo.int/bandaacehawareness.htm. Diakses tanggal, 14 Maret 2012

Hukum Patah Titi Di Aceh, http://www.idlo.int/docNews/214DOC1.pdf, tanggal, 20 maret 2012

Hak Waris Dan Perwalian dalam Waris Aceh,

komnasperempuan.or.id/publikasi/Indonesia/materi publikasi/2011/Hak Waris dan Perwalian.pdf, diakses tanggal, 28 januari 2013

Kabupaten Aceh Tengah, http://acehprov.go.id/images/stories/file/23 Kab_Kota/PDF/ACEH TENGAH.


(5)

Kebudayaan Gayo, http://www.lintasgayo.com/28428/syariat-islam-dan-budaya-aceh-pedalaman.html, tanggal 20 januari 2013

Konstribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum Nasional, http://www.ditpertais.net/annualconference/2008/dokumen/KONTRIBUSI--%20HUKUM%20ISLAM-muchsin.pdf, diakses tanggal 11 April 2013

Surat Annisa, http://mkitasolo.blogspot.com/2011/11/tafsir-surat-nisa-4-ayat-7-10.html, tanggal, 1 maret 2013

Suku Gayo Takengon, http://acehpedia.org/Suku_Gayo Diakses tanggal, 14 Maret 2012

Teori Receptie, http://agendapamel.wordpress.com/islamic-studies/christiaan-snouck-hurgronje-teori-receptie/, diakses tanggal, 17 April 2012

Teori Berlakunya Hukun Islam, http://master-masday.blogspot.com/2011/05/teori-tentang-berlakunya-hukum-islam-di.html, diakses tanggal, 17 april 2012 Patah Titi Dalam Kewarisan Aceh,

http://konsultasi-ki.blogspot.com/2012/02/hukum-patah-titi-dalam-kewarisan-adat.html Diakses tanggal, 14 Maret 2012

Peranan Keluarga, Sekolah dan Masyarakat dalam Pendidikan, http://www.infodiknas.com/259-pendidikan-lingkungan-keluarga-sekolah-dan-masyarakat, tanggal, 27 mei 2012

Peranan Keluarga, Sekolah dan Masyarakat dalam Pendidikan, http://paudfip.wordpress.com/2009/06/17/peranan-keluargasekolah-dan-masyarakat-dalam-endidikan-anak/, tanggal, 27 mei 2012

D. Wawancara

Wawancara dengan Bapak Drs. H.M. Yacoeb Abdullah, Ketua Mahkamah Syar’iyah Takengon Aceh Tengah, bulan November 2012.

Wawancara dengan Tengku Sally, mantan pegawai syar’iyah Takengon Aceh Tengah, tanggal 4 Mei 2012.

Wawancara dengan Bapak Drs. Halihasimi mantan Kepala KUA (Kantor Urusan Agama) Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah, Tanggal, 19 Novenber 2012.

Wawancara dengan Bapak Drs. Nasaruddin kepala Dusun Terminal kec Bebesen Kab Aceh Tengah Tanggal, 11 November 2012


(6)

Wawancara dengan Tengku Mahmud Imam Masjid Babut Taubah Kampung Terminal Kec. Bebesen Kabupaten Aceh Tengah, Tanggal, 10 November 2012

Wawancara dengan Tengku H. Ali Jadun, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Tengah Tanggal, 22 Januari 2013

Wawancara dengan Hj. Tengku Jorah. Ketua Pengajian Nurul Hikmah Terminal Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, Tanggal, 21 Januari 2013