9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Tentang Pengelolaan Perparkiran Kota Medan Perda Nomor 10 Tahun 2011 (Studi Pemko Medan)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai

  dengan perkembangan masyarakat dan negara baik di bidang kenegaraan maupun di bidang sosial dan ekonomi. Pada mulanya pajak merupakan suatu pungutan, tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara kepentingan negara seperti menjaga keamanan Negara, menyediakan jalan umum, membayar gaji pegawai dan lain sebagainya. Namun setelah terbentuknya suatu negara, pajak merupakan iuran wajib rakyat kepada negara.

  Dari pajak ini yang mana akan digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan,pelaksanaan tugas-tugas rutin pemerintahan dan pembangunan

  1 daerah.

  Pada tahun 1999 pembagian pajak menurut wewenang pemungutan pajak dipisahkan menjadi pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat yang dipungut oleh pemerintah pusat terdiri dari pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai. Untuk pajak daerah dipungut oleh pemerintah daerah itu sendiri. Dasar dilakukan pemungutan oleh pemerintah daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah mengatakan bahwa Pemerintah dan masyarakat di daerah dipersilahkan mengurus rumah tangganya sendiri secara bertanggung jawab. Pemerintah Pusat tidak lagi mempatronasi, apalagi 1 Panca Kurniawan dan Agus Purwanto, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di mendominasi mereka. Peran Pemerintah Pusat ini adalah melakukan supervisi, memantau, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah. Dengan adanya otonomi daerah, maka pemerintah daerah diberikan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Langkah-langkah yang perlu di ambil dengan cara menggali segala kemungkinan sumber keuangannya sendiri sesuai dengan dan dalam batas-batas peraturan perundang-undangan yang

  2 berlaku.

  Untuk merealisasikan pelaksanaan Otonomi Daerah maka sumber pembiayaan pemerintah daerah tergantung pada peranan pendapatan asli daerah.

  Hal ini diharapkan dapat menjadi penyangga utama dalam membiayai kegiatan pembangunan di daerah. Oleh karena itu Pemerintah daerah harus dapat mengupayakan peningkatan penerimaan yang berasal dari daerah sendiri sehingga akan memperbesar tersedianya keuangan daerah yang dapat digunakan untuk berbagai kegiatan pembangunan. Dengan ini akan semakin memperbesar keleluasaan daerah untuk mengarahkan penggunaan keuangan daerah sesuai dengan rencana, skala prioritas dan kebutuhan daerah yang bersangkutan.

  Di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 disebutkan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, yang terdiri dari :

  1. Pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD terdiri dari:

  a. Hasil pajak daerah

  b. Hasil retribusi daerah c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan

  d. Lain-lain PAD yang sah

  2. Dana Perimbangan yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi 3 3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

  Melihat sektor di atas, maka salah satu sektor yang perlu ditingkatkan untuk menunjang penerimaan daerah adalah retribusi daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah 4 tangganya sebagai badan hukum public.

  Pendapatan Asli Daerah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah mempunyai peran penting dalam pembangunan. Hal ini dapat dilihat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah dimana peranan PAD diharapkan dan diupayakan dapat menjadi penyangga utama dalam membiayai kegiatan pembangunan di daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah harus dapat mengupayakan peningkatan penerimaan yang berasal dari daerah sendiri. Dengan demikian akan memperbesar tersedianya keuangan daerah yang dapat digunakan untuk berbagai 5 kegiatan pembangunan yang bersifat mandiri.

  Pungutan pajak dan retribusi daerah masih belum dapat dimanfaatkan 6 secara optimal oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi. Keadaan 3 Mustaqiem, Pajak Daerah dalam Transisi Otonomi Daerah, Cetakan Pertama, FH UII

  PRESS, Yogyakarta, 2008, hal 22 4 5 Hamdani Aini, Perpajakan, Bina Aksara, Jakarta,1985, hal 196 Andrian Sutedi, hukum pajak dan retribusi daerah, Ghalia Indonesia, Bogor 2008, hal 3 ini diperlihatkan bahwa banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian dan peningkatan PAD, terutama hal ini disebabkan oleh : relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah, perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah, kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah dan kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah. Kondisi yang ada di Kota Medan dengan potensi sumber daya alam yang sangat minim memaksa Pemerintah Kota Medan untuk lebih kreatif mengoptimalkan potensi yang lain. Salah satu potensi yang memerlukan perhatian khusus dari Pemerintah Kota Medan adalah penyelenggaraan retribusi parkir.

  Untuk mendukung kegiatan tersebut Pemerintah Kota Medan telah mengeluarkan dua Perda yang khusus mengatur sektor perparkiran ini, yaitu Perda Nomor 10 Tahun 2011 tentang pajak parkir dan peraturan daerah kota medan nomor : 7 tahun 2002 tentang retibusi pelayanan parkir ditepi jalan umum, tempat khusus Parkir dan perizinan pelataran parkir sebagai bagian dari Propinsi Sumatera Utara tentunya memerlukan dana yang cukup besar dalam menyelenggarakan kegiatan pembangunan daerah di berbagai sektor. Salah satu sumber pendapatan asli daerah kabupaten Kapuas adalah retribusi parkir.

  Retribusi parkir di tepi jalan umum merupakan jenis retribusi jasa umum yaitu pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan pemerintah daerah.

  Karena jalan menyangkut kepentingan umum, penetapan jalan umum sebagai tempat parkir mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang

  7

  berlaku. Sedangkan parkir menurut Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1999 tentang Retribusi di Tepi Jalan Umum Pasal 1 huruf g adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara. Setiap pelayanan penyediaan tempat parkir di tepi jalan umum dipungut tertribusi dengan nama retribusi di tepi jalan umum.

  Kondisi keuangan PD Parkir Kota Medan sejak Tahun 2008 sampai 2012 menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Namun pada Tahun 2012 target yang meningkat tetapi justru tidak tercapai. Hal ini tergambar dari tabel target dan realisasi pendapatan sebagaimana digambarkan pada tabel di bawah ini :

  Tabel 1 Target dan Realisasi Retribusi Parkir Kota Medan Tahun 2008-2012

  No. Tahun Target Realisasi % 1. 2008 Rp. 2.763.500.500,00 Rp. 2.974.771.875,00 107,65% 2. 2009 Rp. 3.678.292.500,00 Rp. 3.694.486.150,00 100,44% 3. 2010 Rp. 4.369.300.500,00 Rp. 4.585.913.751,00 104,96% 4. 2011 Rp. 5.550.531.000,00 Rp. 5.617.631.630,00 101,21% 5. 2012 Rp. 7.644.300.600,00 Rp. 6.780.341.550,00 88,69%

   Sumber : PD. Parkir Medan, 21 Maret 2012

  Namun meskipun target yang telah ditentukan pada tahun 2008 sampai 2011 meningkat tetapi pada tahun 2012 ketika target dinaikkan justru tidak tercapai sesuai dengan tabel di atas. Hal ini dikarenakan masih banyak kawasan perparkiran yang tersebar di beberapa titik di Kota Medan yang tidak masuk sebagai lahan parkir di PD Parkir Medan. Hal ini banyak dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk meraub keuntungan. Merekalah para

7 Marihot P Siahaan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,PT Grafindo Persada, Jakarta,

  juru parkir liar yang tidak memiliki surat izin parkir dari PD Parkir Medan. Hal ini membuat pemungutan jasa retribusi parkir tidak berjalan efektif.

  Permasalahan retribusi atau retribusi daerah lebih tepatnya diatur dalam Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah dimana yang dimaksud dengan retribusi daerah atau retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Sedangkan retribusi jasa umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Jenis-jenis retribusi jasa umum seperti yang diatur dalam PP No 66/2001 antara lain :

  1. Retribusi pelayanan kesehatan

  2. Retribusi pelayanan persampahan atau kesehatan

  3. Retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akte catatan sipil

  4. Retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat

  5. Retribusi parkir di tepi jalan umum

  6. Retribusi pelayanan pasar

  7. Retribusi pengujian kendaraan bermotor

  8. Retribusi penggantian biaya cetak peta 8

  9. Retribusi pengujian kapal perikanan Retribusi parkir di tepi jalan umum yang di kelola oleh pemerintah Kota

  Medan merupakan upaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dan merupakan salah satu pendapatan terbesar dari sumber pendapatan lain sehingga Pemerintah Kabupaten Kapuas mengawasi pelaksanaan retribusi parkir ini.

  Seperti halnya di pasar melati yang merupakan pasar terbesar di Kota Medan, di sana terdapat pilihan tempat parkir yang memakai bahu jalan sebagai tempat parkir sehingga akan mengganggu penguna jalan ketika melintasi jalur tersebut. Kompetisi antar tukang parkir ini lah yang sering membuat kemacetan di sepanjang jalan mahakam ini. Hal yang membuat kecewa adalah ketika mendapati karcis yang tertera Rp 5.00,00 namun kenyataannya harga yang dibayarkan adalah Rp 1.000,00 bahkan Rp 2.000,00 (untuk pengguna sepeda motor), belum lagi juru parkir yang curang yaitu menerbitkan karcis sendiri tanpa persetujuan dari Dinas Pendapatan Daerah yang terkait. Banyaknya lahan parkir di tepi jalan umum sekitar pasar Melati, pasar Modern/pertokoan, dan pelabuhan menjadikan tempat ini sebagai lahan bagi para juru parkir, belum lagi pendapatan yang dihasilkan oleh juru parkir yang cukup lumayan, belum lagi tingginya tingkat pengangguran membuat sebagian orang lebih memilih jadi juru parkir. Banyaknya juru parkir inilah yang membuat persaingan perebutan lahan parkir, sampai kecurangan dalam menentukan tarif yang seolah-olah juru parkir yang menentukan harga yang harus dibayarkan, belum lagi karcis yang dipakai lebih dari satu kali, bahkan sengaja tanpa karcis itu sendiri, padahal mereka terdaftar sebagai juru parkiryang 9 resmi yang mempunyai kartu identitas dan berseragam juru parkir.

  Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut maka penulis merasa tertarik untuk mencoba menganalisis lebih jauh dengan judul: Tinjauan Yuridis Tentang Pengelolaan Perparkiran Kota Medan Perda No. 10 Tahun 2011 (Studi Pemko Medan)

  B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang di atas maka pokok permasalahan yang dikemukakan adalah :

  1. Bagaimana pengelolaan retribusi parkir di kota Medan?

  2. Bagaimana pelaksanaan pemungutan pajak parkir daerah kota Medan?

  3. Apa kendala-kendala yang dihadapi dalam pemungutan pajak parkir?

  C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

  1. Tujuan Penelitian

  Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah

  a. Untuk mengetahui pengelolaan retribusi parkir di kota Medan

  b. Untuk mengetahui pelaksanaan pemungutan pajak parkir daerah kota Medan

  c. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam pemungutan pajak parkir

  2. Manfaat Penelitian

  a. Secara Teoritis 1) Hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan keilmuan dan pengetahuan. Karena akan menambah khasanah keilmuan dan pengetahuan yang ada terutama yang berkaitan dengan Manajemen Strategi dan Keuangan Daerah.

  2) Selain itu karena penelitian ini tentang studi Manajemen Strategi dan Keuangan daerah maka dapat bermanfaat juga untuk pengembangan studi Manajemen Strategi dan Keuangan Daerah

  b) Secara praktis

  a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi UPTD Perpakiran Dinas Perhubungan Kota Kota dalam memecahkan masalah yan berhubungan dengan implementasi strategi peningkatan retribusi parkir di Tepi jalan umum.

  b. Dari hasil penelitian mengenai tinjauan yuridis tentang pengelolaan perparkiran kota medan perda no. 10 tahun 2011 ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan implementasi kebijakan ini dan bagi peneliti dapat menambah pengetahuan dan mempertajam analisis masalah kebijakan yang berhubungan dengan perparkiran serta bagi peneliti lain skripsi ini bisa dijadikan acuan dalam melakukan kajian mengenai implementasi kebijakan parkir tepi jalan umum.

D. Tinjauan Pustaka

1. Sumber-sumber Penerimaan Daerah Lahirnya UU No.25 Tahun 1999 yang kemudian diubah menjadi UU No.

  32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah satu upaya mutakhir dari Pusat untuk mengatur pola hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah. Namun yang jelas, UU tersebut dalam ukuran yuridis formal telah memberikan harapan baru bagi daerah untuk memperoleh kesempatan guna mewujudkan kemandiriannya dalam mengelola dan memanfaatkan sumber- 10 sumber pendapatan yang dimiliki dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.

  Berdasarkan UU No.33 tahun 2004 (sebagai pengganti UU No.25 Tahun 1999), sumber-sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi meliputi; pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.

  Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan daerah yang utama dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Karena penyelenggaraan pemerintahan di daerah akan terlaksana dengan baik apabila didukung oleh dana yang memadai, disamping dana yang berasal pusat. Namun demikian meskipun terdapat bantuan transfer dana dari pusat, daerah diharapkan tidak selalu bergantung kepada pusat dalam artian daerah harus mampu menggali sumber- sumber pembiayaan yang berasal dari daerahnya sendiri. Sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal namun tetap dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  Dalam rangka menggali sumber-sumber keuangan daerah terutama dalam meningkatkan pendapatan asli daerah, pemerintah daerah harus berusaha mencari sumber-sumber keuangan yang potensial yaitu pajak daerah dan retribusi daerah. 10 Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah; Kajian Tentang Hubungan Kewenangan daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah diatur dengan UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksananya dengan PP No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah merupkan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

  Pelaksanaan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tersebut, dilaksanakan dengan menerbitkan peraturan daerah (Perda). UU No.34 Tahun 2000 tersebut memberikan peluang kebebasan kepada Pemerintah Daerah untuk menyusun Perda tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Dampak yang timbul kemudian adalah banyaknya bermunculan Perda-perda baru tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang meresahkan masyarakat dan pelaku usaha sehingga menimbulkan kondisi yang tidak kondusif bagi perkembangan eekonomi dan investasi secara nasional. Selain itu, Perda-perda baru tersebut menimbulkan terjadinya pungutan-pungutan yan pada akhirnya menciptakan ekonomi biaya

  11 tinggi (high cost economy) yang memberatkan ekonomi nasional.

  Berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000 dan UU No. 32 Tahun 2004 Pemerintah c.q. Departemen Keuangan diberikan mandat untuk memonitor dan mengevaluasi perda DPRD. Pada kenyataannya kewenangan yang diberikan kepada Daerah tersebut memberikan dampak banyaknya perda tentang pajak daerah dan retribusi daerah tersebut yang dibatalkan oleh pemerintah, karena 11 Sebagaimana hasil temuan dari Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama

  Internasional, Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan Departemen Keuangan RI, Evaluasi dianggap bertentangan dengan undang-undang di atasnya dan mengganggu iklim investasi dan usaha di daerah sehingga memberatkan pelaku usaha. Ketentuan tentang penerbitan Peraturan Daerah yang harus mendapatkan pengesahan dari Pusat dirasakan telah mengurangi makna otonomi daerah sebagai perwujudan kemadirian daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

  Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004, sumber-sumber penerimaan daerah dalam rangka desentralisasi adalah pendapatan daerah dan pembiayaan.

  12 Pendapatan Daerah bersumber kepada :

  a. Pendapatan Asli Daerah

  b. Dana Perimbangan

  c. Lain-lain pendapatan Pendapatan asli daerah ini merupakan bagian terpenting dari penerimaan

  Daerah. Semakin tinggi sumber PAD akan semakin tinggi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  Sejak pelaksanaan otonomi daerah peningkatan PAD selalu menjadi pembahasan penting termasuk strategi peningkatannya. Hal ini mengingat bahwa kemandirian daerah menjadi tuntutan utama sejak diberlakukannya otonomi daerah. Optimalisasi potensi daerah digalakkan untuk meningkatkan PAD. Dalam era otonomi daerah PAD merupakan pencerminan dari local taxing power yang 12 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan Antara seharusnya memiliki peranan yang cukup signifikan. Namun kenyataannya peran PAD terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota masih relatif kecil. Rata-rata kontribusi PAD terhadap total penerimaan sebelum era desentralisasi sebesar 0,2 persen (1998-2000), sedangkan 13 pada era desentralisasi mengalami penurunan menjadi 8,1 persen (2000-2001).

  Untuk peningkatan PAD terkait dengan peran legislatif daerah dalam hal ini adalah pada tingkat kebijakan dimana dewan harus menentukan unsur kelayakan dan kemudahan jenis pungutan serta dapat menjamin keadilan baik secara vertikal maupun horizontal. Disamping itu dewan juga dapat berpartsisipasi dalam bentuk pengawasan. Bila dewan benar-benar mampu menjalankan fungsinya dengan baik dalam kebijakan dan pengawasan, maka optimalisasi PAD akan benar-benar terwujud.

2. Pajak Daerah

  Pengaturan tentang pajak daerah diatur dalam UU No. 34 Tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan dari UU No.18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksananya dengan PP No.65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Berdasarkan UU dan PP tersebut Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk 14 melakukan perubahan terhadap masing-masing jenis pajak. Untuk itu daerah 15 diberikan kewenangan memungut 11 jenis pajak. Penetapan ini didasarkan pada 13 Muhammad Zaenuddin, dalam Batam Pos, Strategi Peningkatan PAD, Selasa 20

  November 2007 14 Pasal 1 ayat 6 UU No. 34 Tahun 2000, pajak daerah adalah pungutan wajib yang dilakukan terhadap orang pribadi atau badan oleh daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. 15 UU No.34 Tahun 2000 adalah; (1) Pajak Propinsi adalah; pajak kendaraan bermotor

  pertimbangan bahwa pajak tersebut secara umum dapat dipungut hampir di semua daerah dan merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dan praktek merupakan pungutan yang baik.

  Jenis pajak provinsi bersifat limitatif yang berarti provinsi tidak dapat memungut pajak lain selain yang telah ditetapkan. Adanya pembatasan jenis pajak provinsi tersebut terkait dengan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom yang terbatas yang hanya meliputi kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas daerah kabupaten/kota dan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah kabupaten/kota, serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu. Provinsi dapat tidak memungut pajak yang telah ditetapkan tersebut jika dipandang hasilnya kurang memadai. Besarnya tarif pajak provinsi berlaku definitif yang ditetapkan secara seragam di seluruh Indonesia dan diatur dalam PP No. 65 Tahun 2001 tentang pajak daerah.

  Jenis pajak kabupaten/kota tidak bersifat limitatif, artinya kabupaten/kota diberi peluang untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya selain yang telah ditetapkan secara eksplisit dalam UU No.34 Tahun 2000, dengan menetapkan sendiri jenis pajak yang bersifat spesifik dengan memperhatikan kriteria yang telah ditetapkan oleh undang-undang tersebut. Namun ada rambu- 16 rambu atau kriteria yang harus diikuti : a. Bersifat pajak dan bukan retribusi;

  bahan bakar kendaraan bermotor, pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan, (2) Pajak Kabupaten/Kota adalah; pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan bahan galian golongan C, dan pajak parkir. 16 Pasal 2 ayat 4 huruf a-h UU No.34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi b. Obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah, serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan; c. Obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum; d. Obyek pajak bukan merupakan obyek pajak provinsi dan/atau obyek pajak pusat; e. Potensinya memadai;

  f. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;

  g. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat, dan; h. Menjaga kelestarian lingkungan.

  Jika ada pajak daerah yang akan dikenakan tidak memenuhi satu saja dari rambu di atas, maka seyogyanya dipertibangkan untuk dibatalkan pengesahannya.

  UU No.34 Tahun 2000 secara tegas telah menyatakan bahwa pemerintah pusat bisa meminta daerah untuk membatalkan pajak-pajak yang dianggap tidak memenuhi syarat-syarat tersebut.

  Besarnya tarif yang berlaku definitif untuk pajak kabupaten/kota ditetapkan dengan peraturan daerah, namun tidak boleh lebih tinggi dari tarif maksimum yang telah ditetapkan undang-undang. Dengan adanya pemisahan jenis pajak yang dipungut oleh provinsi dan yang dipungut oleh kabupaten/kota diharapkan tidak adanya pengenaan pajak berganda.

17 Kristiadi , pajak daerah secara teori hendaknya memenuhi beberapa

  persyaratan, antara lain :

  a. Tidak bertentangan atau searah dengan kebijakan pemerintah pusat

  b. Sederhana dan tidak banyak jenisnya

  c. Biaya administrasinya rendah

  d. Tidak mencampuri sistem perpajakan pusat

  e. Kurang dipengaruhi oleh “business cycle” tapi dapat berkembang dengan meningkatnya kemakmuran f. Beban pajak relatif seimbang dan “tax base” yang sama diterapkan secara nasional

  Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi.

  Untuk itu pemerintah daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap 18 menempatkan sesuai dengan fungsinya.

3. Retribusi Daerah

  Menurut UU 34 Tahun 2000, retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Defisini tersebut menunjukkan adanya imbal balik langsung antara pemberi dan penerima jasa. Hal ini berbeda dengan pajak, yaitu iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung 17 Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional Departemen

  Keuangan RI, Op. Cit, hal. 25 18 Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional Departemen

  yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.

  Retribusi juga dapat diartikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai akibat adanya kontra prestasi yang diberikan oleh Pemda/pembayaran tersebut didasarkan atas prestasi/pelayanan yang diberikan Pemda yang langsung dinikmati secara perseorangan oleh warga masyarakat dan 19 pelaksanaannya didasarkan atas peraturan yang berlaku

  Sebagaimana halnya pajak daerah, retribusi diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat.

  Pasal 1 ayat (28) UU No. 34 Tahun 2000 : Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka retribusi tidak lain merupakan pemasukan yang berasal dari usaha-usaha Pemerintah Daerah untuk menyediakan sarana dan prasarana yang ditujukan untuk memenuhi kepentingan warga msyarakat baik individu maupun badan atau koorporasi dengan kewajiban memberikan pengganti berupa uang sebagai pemasukan kas daerah. Daerah kabupaten/kota diberi peluang dalam menggali sumber-sumber keuangannya

19 Halim, Abdul, Damayani , Theresia, Pengelolaan Keuangan Daerah, Seri Bunga

  dengan menetapkan jenis retribusi selain yang telah ditetapkan, sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat.

  Retribusi dapat digolongkan atas tiga golongan, yaitu Retribusi Jasa 20 Umum; Retribusi Jasa Usaha; dan Retribusi Perizinan Tertentu.

  a. Retribusi Jasa Umum adalah retribusi atas jasa yang disediakan tau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Jenis Retribusi Jasa Umum antara lain; Retribusi Pelayanan Kesehatan;

  Retribusi Pelayanan Kebersihan/Persampahan; Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Penduduk dan Akte Catatan Sipil dan lain-lain.

  b. Retribusi Jasa Usaha adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Jenis retribusi jasa usaha antara lain; Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; Retribusi

  Pasar Grosir dan/atau Pertokoan; Retribusi Tempat Pelelangan dan lain- lain.

  c. Retribusi Perizinan Tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian ijin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan, atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumberdaya alam, sarana, prasarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan 20 umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis Retribusi Perizinan

  Suparman Zen Kemu, Analisis Usulan Pembentukan Perda Mengenai Retribusi Perijinan Pembuangan Limbah Cair Sebagai Langkah Pencegahan Polusi Limbah Cair di Tertentu terdiri dari; Retribusi Ijin Mendirikan Bangunan; Retribusi Ijin

  Tempat Penjualan Minuman Beralkohol; Retribusi Ijin Gangguan; dan Retribusi Ijin Trayek.

  Berdasarkan PP No.66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, daerah dapat menerapkan berbagai jenis retribusi lainnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang. Jenis retribusi lainnya, misalnya adalah penerimaan negara

  21

  bukan pajak yang telah diserahkan kepada daerah. Ketentuan inilah yang membuka peluang bagi daerah untuk menerbitkan berbagai jenis retribusi yang pada akhirnya dibatalkan oleh Pemerintah Pusat karena dianggap mengganggu iklim investasi di daerah dan memberatkan pelaku usaha.

  Tim gabungan yang terdiri dari perwakilan Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri, telah membatalkan dan merevisi 111 peraturan daerah (perda) bermasalah dari 193 perda tentang pajak dan retribusi yang diterima tim sepanjang 2005. Sejak 2001 tim telah membatalkan dan merevisi total 448 perda dari 4.574 perda yang diterima. dari total 448 perda itu, yang dibatalkan sebanyak 404 perda dan yang direvisi 44 perda dari berbagai sektor. Sektor yang terbanyak adalah pertanian dan peternakan (87), industri dan perdagangan (68), dan

  22 perhubungan (66).

E. Keaslian Penulisan

  Penelitian ini dilakukan atas ide dan pemikiran dari peneliti sendiri atas masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penelitian dimaksud. 21 Ahmad Yani, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia,

  PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.63 22 Tempo Interaktif, Pemerintah Batalkan 448 Perda Bermasalah, Edisi Jum’at 29 April

  Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penelitian tentang Tinjauan Yuridis Tentang Pengelolaan Perparkiran Kota Medan Perda No. 10 Tahun 2011 (Studi Pemko Medan) belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya.

F. Metode Penelitian

  Penelitian merupakan sarana untuk memperkuat dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Penelitian pada dasarnya merupakan, “suatu upaya pencarian” bukannya sekedar mengamati dengan teliti terhadap sesuatu obyek yang mudah 23 terpegang, di tangan. Untuk itu tujuan utamanya adalah menambah dan memperluas pengetahuan guna memperkuat teori-teori yang sudah ada atau juga menemukan teori baru, sehingga sebuah penelitian dilakukan secara sistematis, konsisten dan metodologis. Secara sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu, metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu.

  Soerjono Sukanto, penelitian secara ilmiah artinya suatu metode yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala, dengan jalan menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap 23 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, fakta tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah- 24 masalah yang ditimbulkan oleh fakta tersebut.

  Sedangkan penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan 25 menganalisanya. Metodologi menjadi cukup penting karena metode pada prinsipnya memberikan pedoman tentang cara peneliti untuk mempelajari dan menganalisa permasalahan yang dihadapi.

1. Metode Pendekatan

  Metode pendekatan dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif 26 dengan pendekatan yuridis normatif. Penelitian hukum normatif yang merupakan studi dokumen, menggunakan pendekatan perundang-undangan.

  Dalam penelitian ini yang diteliti adalah sampai sejauh mana hukum positif tertulis yang ada itu sinkron atau serasi satu sama lain. Hal ini dapat dilakukan melalui 2 (dua) jalur, yaitu :

  a. Vertikal, melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain apabila dilihat dari sudut vertikal atau hierarki peraturan perundang- undangan yang ada.

  24 25 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 2007, hal 2.

  Ibid, hal 43 b. Horisontal, apabila yang ditinjau adalah peraturan perundang-undangan yang 27 berkedudukan sederajat dan yang mengatur bidang yang sama.

  Kegiatan dalam penelitian hukum normatif meliputi : a. Memilih pasal-pasal yang bersifat norma hukum.

  b. Menyusun sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu.

  c. Menganalisis pasal-pasal tersebut dengan menggunakan asasasas hukum yang ada.

  d. Menyusun suatu konstruksi dengan persyaratan : 1) Mencakup semua bahan hukum yang diteliti 2) Konsisten 3) Memenuhi syarat-syarat estetis 28

  4) Sederhana

  2. Spesifikasi Penelitian

  Spesifikasi penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis yakni suatupenelitian yang berusaha menggambarkan masalah hukum, sistem hukum dan mengkajinya atau menganalisisnya sesuai dengan kebutuhan daripenelitian ini.

  3. Jenis Data

  Penelitian ini menggunakan data yang berasal dari : Data Sekunder. Data sekunder diperoleh dari bahan pustaka dan dokumentasi merupakan data dasar 27 28 Bambang Sunggono, Op. Cit. hal 94 - 96.

  Ronny Hanijito Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia dalam penelitian hukum normatif, yang menjadi pijakan untuk menjawab permasalahan dan tujuan penelitian. Apabila dilihat dari sisi kekuatan mengikatnya data sekunder di bidang hukum dapat dibedakan menjadi : 1) Bahan-bahan hukum primer, meliputi : Perubahan Undang-undang Dasar

  Negara RI Tahun 1945, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah.

  2) Bahan-bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan atau membahas lebih lanjut hal-hal yang telah diteliti pada bahan- bahan hukum pimer, meliputi, bahan hukum yang diperoleh dari teks, jurnal, kasus-kasus, desertasi, hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

  4. Teknik Pengumpulan Data

  Teknik pengumpulan data dan informasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi Kepustakaan. Dalam hal ini, alat pengumpul data kepustakaan dipergunakan untuk mengumpulkan data sekunder, dapat dilakukan dengan melihat dan memperoleh buku-buku referensi mengenai pajak daerah, laporan- laporan hasil penelitian terdahulu, karyakarya ilmiah lainnya.

  6. Teknik Analisa Data

  Dalam melakukan analisa data, maka data yang diperoleh dianalisa secara kualitatif atau bersifat analisis data kualitatif normatif atau studi dokumenter dengan menggunakan buku-buku literatur yang berhubungan dengan sistem pemungutan pajak dalam era otonomi daerah. Data yang telah dianalisis ini kemudian akan disajikan dalam sebuah penulisan skripsi.

G. Sistematika Penulisan

  Penulisan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Tentang Pengelolaan Perparkiran Kota Medan Perda No. 10 Tahun 2011 (Studi Pemko Medan), sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:

  BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan membahas mengenai latar belakang, Perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan metode penelitian

  BAB II PENGELOLAAN RETRIBUSI PARKIR DI KOTA MEDAN Bab ini akan membahas tentang Konsep Pengelolaan, Fungsi Manajemen, Konsep Keuangan Daerah dan Konsep Retribusi Daerah dan Retribusi Parkir

  BAB III PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK PARKIR DAERAH KOTA MEDAN Pada bagian ini akan membahas mengenai Perparkiran Umum, Dasar Hukum Perparkiran Umum dan Jenis – jenis Pajak di Indonesia serta Retribusi Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah untuk melaksanakan pembangunan daerah menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

  BAB IV KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PEMUNGUTAN PAJAK PARKIR Pada bab ini berisikan Faktor-Faktor Yang Menjadi Kendala Dalam Pelaksanaan Pemungutan Pajak Parkir dan Pajak Parkir Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Medan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Berisikan Kesimpulan dan Saran dari hasil penelitian

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Perdagangan Barang Tiruan yang Menggunakan Merek Terkenal BerdasarkanUU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek (Studi di Kota Medan)

0 1 17

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Hukum Administrasi Negara Terhadap Pemungutan Pajak Hotel Di Kota Rantau Prapat Berdasarkan Perda Kabupaten Labuhanbatu Nomor 6 Tahun 2011

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Tentang Perlindungan Hukum Nasabah Penyimpanan Dana (Studi Pada BNI 46 Cabang Medan)

0 1 9

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Implementasi Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Pajak Reklame (Studi Tentang Penerbitan Izin Reklame di Kota Medan)

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pengawasan Izin Usaha Pariwisata Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Kepariwisataan(Studi Pemko Medan)

0 1 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Terhadap Pengelolaan Aset Bpjs Kesehatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Peran Pelaksana Tugas (Plt) Walikota Dalam Pemerintahan Kota Menurut Hukum Administrasi Negara (Studi Pemerintah Kota Medan)

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Implementasi Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pengangkutan Hewan Melalui Pesawat Udara Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan

0 0 17

BAB II PENGELOLAAN RETRIBUSI PARKIR DI KOTA MEDAN A. Konsep Pengelolaan - Tinjauan Yuridis Tentang Pengelolaan Perparkiran Kota Medan Perda Nomor 10 Tahun 2011 (Studi Pemko Medan)

0 0 14