UU Desa dan Promosi Pembangunan Desa yan




Perpektif Inklusi Sosial dalam UU 6/2014: Kebijakan dan Tantangan
Implementasinya1
Oleh:
Rikardo Simarmata2
R. Yando Zakaria3
1. Pengantar
Sejauh ini cara untuk mendefinisikan inklusi sosial (social inclusion) adalah dengan
mengacu pada definisi eksklusi sosial (social exclusion). Definisi inklusi sosial adalah
kebalikan dari definisi eksklusi sosial. Nabin Rawal, dengan mengutip P. Francis,
mendefiniskan eksklusi sosial sebagai suatu proses yang membuat individu atau
kelompok tertentu tidak dapat berpartisipasi sebagian atau sepenuhnya, dalam
kehidupan sosial mereka.4 Dengan membalikkan definisi tersebut, maka inklusi sosial
dapat diartikan sebagai suatu proses yang memungkinkan individu atau kelompok
tertentu untuk dapat berpartisipasi sebagian atau seluruhnya dalam kehidupan sosial
mereka. Alasan mengapa inklusi sosial didefinisikan dengan cara seperti itu tidak
lepas dari kaitannya dengan eksklusi sosial. Keduanya dilihat sebagai dua sisi dari
satu mata uang. 5 Eksklusi sosial adalah counterpart bagi inklusi sosial, dan
sebaliknya.6 Dari segi gradasi, Gidley, at al. (2010) membuat gradasi inklusi sosial ke

dalam akses, partisipasi dan pemberdayaan.7
Sementara itu, menurut pengertian formal, kelompok-kelompok yang mengalami
eksklusi dalam pembangunan maupun kehidupan sosial diberi nama sebagai
kelompok rentan. Dokumen peraturan dan kebijakan menentukan cakupan kelompok

1

Tulisan ini dimungkinkan oleh keterlibatan kedua penulis sebagai short time consultant pada
KOMPAK, Juni – Agustus 2015. Isi sepenuhnya menjadi tanggung-jawab kedua penulis.
2
Staf Pengajar pada Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Menamatkan program
pendidikan S3 dan memperoleh gelar Doctor (Dr.) pada Fakultas Hukum Universitas Leiden, Negeri
Belanda.
3
Praktisi antropologi. Pengajar tamu pada Jurusan Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, FISIPOL
UGM; dan Fellow pada Lingkar pembaran Desa dan Agraria (KARSA), Yogyakarta. Mantan Tenaga
Ahli Pansus RUU Desa DPR RI.
4
Nabin Rawal, 2008. “Social Inclusion and Exclusion: A Review”, dalam Dhaulagiri Journal of
Sociology and Anthropology, Volume 2, hal. 161-180.

5
Nabin Rawal, 2008: 171.
6
Gidley, J, Hampson, G, Wheeler, L and Bereded-Samuel, E, 2010. “Social inclusion: context, theory
and practice”, dalam The Australasian Journal of University-Community Engagement, vol. 5, no. 1, pp.
6-36.
7
Gidley, J, Hampson, G, Wheeler, L, and Bereded-Samuel, E, 2010: 2.




1




rentan yaitu perempuan, miskin fakir miskin, manula, korban bencana alam dan
sosial, serta penyandang disabilitas.8 Dalam bentuk yang terbatas, masyarakat adat
juga dimasukan ke dalam cakupan tersebut.9 Kelompok yang punya asosiasi dengan

kelompok rentan adalah kelompok marginal. Kelompok marginal biasanya dikaitkan
dengan kemiskinan sekalipun tidak selalui demikian. Kelompok marginal bisa
mencakup perempuan, penduduk miskin dan kelompok minoritas agama. Baik
kelompok rentan maupun kelompok marginal diartikan sebagai kelompok yang tidak
memiliki akses terhadap sumberdaya, informasi dan kepercayaan diri.10
Dalam pada itu, pada bagian Penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa, selanjutnya disebut UU 6/2014, antara lain disebutkan bahwa
“…pelaksanaan pengaturan Desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut kedudukan
masyarakat hukum adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta
kemajuan dan pemerataan pembangunan sehingga menimbulkan kesenjangan
antarwilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat mengganggu
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Dengan demikian, UU No. 6/2014
dapat dikatakan menggunakan perspektif inklusi sosial.
Ada tiga bentuk inklusi sosial dalam UU Desa. Pembagian ke dalam 3 bentuk tersebut
didasarkan pada sasaran kelompok marginal. Bentuk pertama berupa pengakuan atas
masyarakat hukum adat untuk menyelenggarakan pemerintahan yang didasarkan pada
hak asal-usul dan susunan asli (subsidiaritas). Pengakuan tersebut memberi
kesempatan pada masyarakat hukum adat untuk berpartisipasi dalam pembangunan
dan penyelenggaraan pemerintahan secara umum. Bentuk kedua inklusi sosial dalam

UU Desa berupa pemberian kesempatan kepada kelompok miskin dan perempuan
untuk

berpartisipasi

dalam

perencanaan

dan

penyelenggaraan

desa,

serta

pembangunan desa. Adapun bentuk ketiga inklusi sosial dialamatkan kepada semua

8


Lihat dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia; UU No. 17/2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025; UU No. 25/2009 dan Sekretaris Jenderal
Kementerian Sosial,2014, ‘Isu-isu strategis penyelenggaraan kesejahteraan sosial 2015 (diunduh dari
mail.kemsos.go.id/.../Paparan%20Setjen%20Rakor%2...). Selain ketiga kelompok tersebut, anak dan
manula juga dimasukan kedalam cakupan penduduk rentan.
9
Lihat misalnya dalam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional. 2013. “Masyarakat Adat di Indonesia: Menuju Perlindungan Sosial yang
Inklusif” (diunduh dari
http://www.bappenas.go.id/files/6914/2865/6850/Masyarakat_Adat_di_IndonesiaMenuju_Perlindungan_Sosial_yang_Inklusif.pdf).
10
Lihat adalam Akatiga.2010. Kelompok Marjinal dalam PNPM-Perdesaan. Bandung: Akatiga.




2





warga desa, termasuk kelompok marginal, untuk berpartisipasi dalam penataan desa,
perencanaan desa, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa.11
Dalam tulisan ini kami coba memberikan perhatian kepada 3 (tiga) hal berikut:
pertama, karakter kerangka hukum terkait masalah inklusi/eksklusi sosial yang
terkandung dalam UU 4/2016 dan beberapa peraturan perundang-undangan terkait
dan/atau yang relevan lainnya; kedua, memetakan bentuk-bentuk kegiatan yang
berkaitan dengan promosi program inklusi sosial yang dilakukan oleh para-pihak yang
telah berkembang selama 1 – 2 tahun terakhir ini; dan ketiga, memberikan analisis
peluang keterlaksanaan kerangka hukum yang terkait dengan upaya-upaya inklusi
sosial, berikut pemetaan tentang kondisi-kondisi pemungkin dan penghalangnya.
2.

Kerangka Hukum dan Kebijakan Inklusi Sosial dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan dan Pembangunan Desa

Sebagaimana sudah disebutkan bahwa UU Desa memiliki 3 bentuk inklusi sosial
berdasarkan kelompok sasaran. Tulisan ini hanya akan lebih menekankan pemaparan
terkait bentuk kedua dan ketiga. 12 UU Desa menentukan bahwa inklusi sosial

berlangsung di sejumlah arena yang meliputi: penataan desa, penyelenggaraan
pemerintahan desa, pembangunan desa dan pembuatan peraturan. Dalam keempat
arena tersebut inklusi sosial tampak dalam dua wujud, yaitu, pertama, hak kelompok
marginal. Hak tersebut meliputi: (i) hak untuk berpartisipasi; (ii) hak mendapatkan
layanan dan informasi; dan (iii) hak untuk mengawasi. Kedua, kewajiban
pemerintahan desa. Kewajiban tersebut mencakup: (i) keharusan menyelenggarakan
pemerintah dengan prinsip-prinsip tertentu (demokratis, non-diskriminatif); dan (ii)
keharusan berkoordinasi dan melibatkan semua kelompok kepentingan dalam desa.
Pada arena penataan desa inklusi sosial terlihat dalam bentuk keharusan penetapan
dan perubahan status desa dilakukan atas prakarsa atau kehendak masyarakat.13 Pada

11 Perlu disampikan di sini bahwa saat proses legislasi UU Desa ada usulan dari dua kelompok
masyarakat sipil yang peduli dengan masalah kelompok disabilitas dn/atau difabel dan
kelompok pemerhati masalah kebecanaan. Kedua jaringan kerja masyarakat sipil ini
menginginkan agar dalam UU Desa ‘kelompok disabilitas dan/atau difabel’ dan ‘kelompok rawan
bencana’ disebutkan secara implisit. Namun usulan dimaksud tidak berhasil diterima. Para
legislator, meski telah dijelaskan oleh para tenaga ahli bahwa penyebutan secara eksplisit itu
penting, tetap beranggapan hal itu sudah cukup tertampung dalam sebutan ‘kelompok marginal’.
12 Ulasan kerangka hukum dan hambatan penerapan kebijakan terkait desa adat ini tidak akan
dilakukan dalam tulisan ini karena telah tercakup dalam uraian tulisan lain yang ada dalam edisi ini.

13
Pasal 8 Ayat (2), Pasal 11 Ayat (1) dan Pasal 12 Ayat (1).




3




arena ini inklusi sosial ditujukan pada semua warga desa termasuk kelompok
marginal. Wujud inklusi sosial berupa hak warga desa untuk berpartisipasi (penetapan
dan perubahan status desa). Pada arena penyelenggaraan pemerintahan desa, inklusi
sosial nampak baik dalam wujud kewajiban pemerintahan desa maupun hak
masyarakat. Pada wujud yang pertama inklusi meliputi: (i) penyelenggara
pemerintahan desa (kepala desa, perangkat desa, anggota BPD) diwajibkan
menjalankan pemerintahan desa dengan prinsip-prinsip tertentu seperti demokratis,
partisipatif, berkeadilan gender dan non-diskriminatif; (ii) pemerintahan desa
diwajibkan menjalin koordinasi dan kerjasama dengan semua kelompok kepentingan

di desa; dan (iii) pemerintahan desa diharuskan menyertakan kelompok perempuan
dan masyarakat miskin dalam musyawarah desa. Adapun wujud berupa hak
masyarakat meliputi: (i) hak warga desa untuk mengawasi kegiatan pemerintahan
desa, berpartisipasi dalam pemilihan umum, memperoleh pelayanan yang sama dan
adil, dan hak kelompok perempuan untuk memiliki wakil di Badan Permusyawaratan
Desa.14
Inklusi sosial pada arena penyelenggaraan pemerintahan desa secara khusus menyebut
kelompok miskin dan perempuan dalam konteks musyawarah desa. Selain itu arena
itu juga menekankan inklusi sosial dari sisi kewajiban pemerintahan desa. Wujud
inklusi sosial dalam arena ini adalah kewajiban pemerintahan desa (bekerja dengan
prinsip-prinisip tertentu, berkoordinasi dan bekerjasama, menyertakan kelompok
marginal dalam musyawarah desa), dan hak kelompok marginal (mengawasi
pembangunan desa, memperoleh pelayanan).
Inklusi pada arena pembangunan desa tampak dalam: (i) keterlibatan warga desa
dalam perencanaan desa lewat masyawarah desa; (ii) ikut serta menanggapi laporan
pelaksaaan

pembangunan

desa;


(iii)

mendapatkan

informasi

terkait

perencanaan&pelaksanaan pembangunan desa; dan (iv) terlibat dalam pendirian BUM
Desa. Inklusi pada arena ini tidak dikhususkan pada kelompok marginal tertentu
melainkan kepada semua kelompok marginal.15 Wujud inklusi sosial hanya muncul
dalam bentuk hak kelompok marginal baik untuk berpartisipasi (musdes perencanaan
desa, tanggapan atas laporan pelaksanaan pembangunan desa, pembentukan BUM

14

Pasal 24 huruf d, j dan k, Pasal 26 Ayat (4), Pasal 29, Pasal 51,Pasal 54, Pasal 58, Pasal 63, dan
Pasal 64 ayat 1 huruf d, Pasal 68 Ayat (1), dan Pasal 58 Ayat (1).
15

Pasal 68 Ayat (1), Pasal 80 Ayat(1), Pasal 82 Ayat (1) dan (5), dan Pasal 88 Ayat (1).




4




Desa) maupun mendapatkan informasi terkait perencanaan & pelaksanaan
pembangunan.
Adapun pada arena pembuatan peraturan inklusi sosial terlihat pada hak warga desa
untuk berpartisipasi dalam pembuatan rancangan peraturan desa.16 Sasaran inklusi
sosial pada arena ini adalah seluruh kelompok marginal.
3.

Kualitas dan keterlaksanaan kebijakan inklusi sosial dalam UU 6/2016

Untuk memeriksa kualitas kandungan inklusi sosial dalam UU Desa, akan dilakukan
perbandingan dengan UU terkait, yaitu yang mengatur mengenai pelayanan publik
atau organisasi yang menyelenggarakan pelayanan publik, dan perencanaan
pembangunan. Undang-undang yang mengatur pelayanan publik atau organisasi
pelayanan publik adalah: UU Pemerintahan Daerah,17 UU Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, 18 UU Pelayanan
Publik 19 , dan UU Aparatur Sipil Negara. 20 Adapun UU yang terkait dengan
perencanaan pembangunan adalah UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.21
Wujud inklusi sosial dalam UU Pemerintahan Daerah terlihat baik dalam bentuk
kewajiban pemerintah maupun hak masyarakat. Wujud berupa kewajiban pemerintah
nampak pada ketentuan yang mengatakan bahwa pelayanan dasar harus bisa diakses
oleh publik. Dalam kaitan dengan itu, pemerintah daerah dilarang untuk membuat
peraturan daerah (perda) yang muatannya menganggu pelayanan dasar. Akses juga
harus disediakan untuk informasi pelayanan publik. Adapun inklusi sosial dalam
wujud hak publik terdapat dalam ketentuan mengenai pertisipasi dalam semua tahap
pembangunan (perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, monitoring, evaluasi),
pengelolaan

aset

atau

sumberdaya

alam

daerah,

dan

penyusunan

peraturan&kebijakan. Perlu diberi catatan bahwa untuk perencanaan pembangunan,
UU ini menentukan perlunya komunikasi khusus untuk memastikan kepentingan


16

Pasal 69 Ayat (9) dan Ayat (10).
No. 23/2014.
18
No. 28/1999.
19
No. 25/2009.
20
No. 5/2014.
21
No. 25/2004.
17




5




kelompok marginal terakomodasi. 22

Bentuk partisipasi mulai dari memberikan

masukan sampai ikut memutuskan.
Inklusi sosial dalam UU Pemerintahan Daerah ditujukan pada semua kelompok
marjinal namun dalam situasi tertentu dikhususkan pada perempuan. Inklusi pada
kelompok perempuan terlihat pada penetapan pemberdayaan sebagai salah satu
urusan (wajib) pemerintahan.23
Dalam UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, wujud inklusi
sosial terlihat dalam rupa kewajiban pemerintah dan hak masyarkat. UU ini
mengharuskan pemerintah atau penyelenggara negara terbuka dan tidak boleh
diskriminatif dengan cara membedakan suku, agama, ras dan golongan. Adapun hak
masyarakat berupa berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara, dan mendapatkan
pelayanan dasar dan perlindungan hukum yang sama.
Dalam UU Pelayanan publik, inklusi sosial juga terlihat dalam dua wujud yaitu
kewajiban pemerintah dan hak masyarakat. Inklusi sosial ada dalam kewajiban
pemerintah karena UU ini memerintahkan pemerintah untuk menyelenggarakan
pelayanan publik yang adil dan tidak diskriminatif. Kewajiban lain pemerintah adalah
memberikan perlakuan (fasilitas) khusus kepada masyarakat rentan dalam rangka
menciptakan keadilan.24 Ditekankan bahwa pelayanan khusus tersebut tidak boleh
menciptakan biaya tambahan. UU Pelayanan Publik memaksudkan inklusi sosial
ditujukan kepada kelompok rentan yang mencakup penyandang cacat, lanjut usia,
wanita hamil, anak-anak, korban bencana alam dan sosial.
Inklusi sosial dalam UU Aparatur Sipil Negara hanya terlihat dalam wujud kewajiban
pemerintah yaitu melarang aparatur sipil negara diskriminatif dalam artian
membedakan berdasarkan gender, suku, agama, ras dan golongan.25 Hal serupa juga
pada UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang hanya memiliki wujud
inklusi sosial pada hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyusunan dokumen
perencanaan pembangunan (Rencana Kerja Pemerintah Daerah, Rencana Kerja

22

Penjelasan Pasal 262 Ayat (1).
Pasal 12 Ayat (2b).
24
Pasal 4 huruf j dan Penjelasannya, Penjelasan Pasal 21 huruf g, dan Pasal 29 Ayat (1) dan
Penjelasannya.
25
Penjelasan Pasal 1 huruf j.
23




6




Satuan Kerja Pemerintahan Daerah.26 Baik UU Aparatur Sipil Negara dan UU Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional memaksudkan inklusi sosial untuk semua
kelompok marginal tanpa memberikan penekanan pada kelompok tertentu.
Berdasarkan uraian mengenai perbandingan kandungan kualitas inklusi sosial dalam
UU Desa dengan 5 UU terkait lainnya, sebagaimana dipaparkan di atas, ada beberapa
catatan yang perlu dikemukakan. Catatan pertama bahwa, sama seperti 5 UU terkait,
UU Desa meneruskan tradisi inklusif dalam sistem legislasi nasional. Bila yang
menjadi ukuran adalah partisipasi warga maka hampir semua UU memiliki ketentuan
mengenai hal tersebut. Berbagai UU di bidang pengelolaan sumberdaya alam
mewajibkan pemerintah untuk menyertakan masyarakat dalam pengurusan hutan27,
penyusunan

perencanaan

perkebunan

(nasional

dan

daerah),

perikanan, 29 pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,

28
30

pengelolaan
dan dalam

penyelenggaraan penataan ruang.31
Catatan kedua, jika berbicara mengenai partisipasi, yang merupakan tingkatan kedua
inklusi sosial, maka UU Desa relatif lebih maju dibandingkan dengan UU terkait
lainnya. Bila empat dari lima UU terkait lainnya menentukan partisipasi hanya dalam
bentuk memberikan masukan maka UU Desa sudah sampai pada bentuk mengambil
keputusan. Partisipasi dalam bentuk tersebut ada pada ketentuan yang mewajibkan
adanya wakil unsur perempuan dan masyarakat miskin di dalam musyawarah desa,
serta wakil perempuan dalam keanggotaan BPD. Dalam soal ini hanya UU
Pemerintahan Daerah yang sama dengan UU Desa yang menentukan bahwa
masyarakat ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai pengelolaan aset
dan/atau sumber daya alam daerah. Jika dikaitkan dengan tingkatan tertinggi inklusi
sosial, yaitu pemberdayaan, UU Desa bahkan terlihat sangat maju dibandingkan
dengan UU terkait lainnya. UU Desa memiliki ketentuan mengenai pemberdayaan
baik sebagai tugas pemerintahan desa maupun hak masyarakat desa. Sekali lagi,
dalam hal ini UU Desa hanya bisa disamai oleh UU Pemerintahan Daerah, UU

26

Pasal 2 Ayat(4) huruf d, Pasal 5 Ayat (3), Pasal 6 Ayat (2), dan Pasal 7 Ayat(2).
Pasal 68 s/d Pasal 70 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan.
28
Pasal 8 dan Penjelasannya UU No. 18/2004 tentang Perkebunan.
29
Pasal 6 Ayat (2) dan Penjelasan Umum.
30
Pasal 60&Pasal 61 UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
sebagaimana telah diubah oleh UU No. 1/2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
31
Pasal 65 UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang.
27




7




Kehutanan,32 UU Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 33 dan UU
Perikanan.34
Catatan ketiga yang bisa disampaikan bahwa cara UU Desa untuk inklusif tidak
hanya dengan memberikan hak dan kesempatan yang sama kepada semua warga
negara, termasuk kelompok marginal. Untuk memastikan bahwa kelompok marginal
mendapatkan hak dan kesempatan yang sama tersebut, sesekali UU Desa memberikan
‘perlakuan khusus’. Perlakuan khusus tersebut tampak dalam ketentuan yang
mensyaratkan keberadaan unsur atau perwakilan kelompok marginal dalam forum
atau lembaga tertentu. Namun dalam hal ini UU Desa masih belum semaju UU
Pelayanan Publik yang menentukan perlakuan khusus tersebut secara eksplisit.
Sebagaimana sudah disebutkan bahwa UU ini mengharuskan penyelenggara
pelayanan publik untuk memberikan perlakuan khusus kepada kelompok masyarakat
rentan tanpa adanya biaya tambahan.
Jadi, bila dibandingkan dengan kelima UU terkait dan beberapa UU di bidang
pengelolaan sumberdaya alam, kandungan inklusi sosial dalam UU Desa relatif lebih
punya kualitas karena: (i) menaikan tingkat partisipasi ke ikut serta mengambil
keputusan; (ii) mendorong inklusi sosial ke tingkatan pemberdayaan, dan (iii)
memastikan kelompok marginal mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dengan
memberikan perlakuan khusus. Namun, dalam hal-hal tertentu, kandungan inklusi
sosial dalam UU Desa masih di bawah kandungan UU lain karena UU lain sudah
lebih eksplisit dalam melindungi kelompok marginal. Berhubung UU Desa belum
eksplisit dalam soal tersebut maka perlu untuk memeriksa seberapa jauh peraturan
pelaksannya sudah mengaturnya lebih eksplisit.
Dalam laporan ini peraturan pelaksana UU Desa yang dianalisa terdiri dari 1 PP dan 4
Permen. 35 Hampir serupa dengan UU Desa, kelima peraturan pelaksana tersebut
memiliki ketentuan-ketentuan mengenai inklusi sosial yang terdapat pada arena

32

Pasal 67 Ayat (1) huruf c.
Pasal 63.
34
Pasal 60 s/d Pasal 64.
35
Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah PP No. 43/2014 Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sedangkan peraturan menteri meliputi: (i) Permendagri No. 111/2014
tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa; (ii) Permendagri No. 114/2014 tentang Pedoman
Pembangunan Desa; (iii) Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
No. 1/2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal-Usul dan Kewenangan Lokal
Berskala Desa; dan (iv) Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No. 2/2015
Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa.
33




8




penetapan desa, pemerintahan desa, musyawarah desa, peraturan desa, pembangunan
desa, lembaga kemasyarakatan desa, BUM Desa dan kerjasama desa. Kemiripan juga
nampak dari segi bentuk dan wujud. Bentuk berupa hak masyarakat dengan wujud
partisipasi, masih merupakan ketentuan yang paling sarat dengan kandungan inklusi
sosial. Partisipasi misalnya disebutkan dalam ketentuan mengenai penataan desa
(pembentukan, pemekaran dan perubahan), penyelenggaraan pemerintahan desa,
pembangunan desa, peraturan desa, musyawarah desa, BUM Desa, kerjasama desa
dan LKD.
Dengan ketentuan-ketentuan seperti itu maka dapat dikatakan bahwa kelima peraturan
pelaksana tersebut telah menegaskan ketentuan-ketentuan dalam UU Desa dengan
mengaturnya lebih lanjut. Kendati demikian, dalam konteks inklusi sosial, kelima
peraturan pelaksana tersebut membuat kemajuan karena, pertama, memperluas
kelompok marginal yang penyebutannya eksplisit; kedua, menegaskan perlindungan
atau perlakuan khusus, dan ketiga, menegaskan dan memperluas keterlibatan
kelompok marginal dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa.
Kemajuan pertama terdapat pada PP No. 43/2014 dan Peraturan Menteri Desa dan
PDT No. 2/2015. Kedua peraturan pelaksana tersebut menambah daftar kelompok
marginal yaitu

kelompok pemerhati dan perlindungan anak, sebagai unsur yang

harus terwakili dalam musyawarah desa. 36 Daftar tersebut bahkan terbuka untuk
bertambah karena kedua peraturan tersebut memberi peluang kelompok lain dengan
mempertimbangkan kondisi sosial budaya.37 Adapun kemajuan kedua bisa dilihat
pada PP No. 43/2014 (Pasal 72 ayat 1) yang memberikan jaminan adanya perwakilan
perempuan dalam keanggotaan BPD. Sebelumnya, UU Desa belum sampai
memberikan jaminan, baru sebatas untuk diperhatikan.
Kemajuan ketiga terbilang yang paling ekstensif. Kemajuan ini paling banyak
ditemukan pada Permendagri No. 114/2014 dan Peraturan Menteri Desa dan PDT No.
2/2015. Contoh yang pertama dari kemajuan ini adalah menyebutkan keterlibatan
kelompok marginal (perempuan) ke dalam proses pemerintahan dan pembangunan,
yang sebelumnya tidak disebutkan di dalam UU Desa maupun PP No. 43/2014.

36

Pasal 80 Ayat (3) huruf i PP No. 43/2014, dan Pasal 5 Ayat (3) huruf i Peraturan Menteri Desa dan
PDT No. 2/2015.
37
Pasal 80 Ayat (4) PP Np. 43/2012 dan Pasal 5 Ayat (4) Peraturan Menteri Desa dan PDT No. 2/2015.




9




Misalnya: (i) Permendagri No. 114/2014 menentukan bahwa perempuan harus terlibat
sebagai tim penyusun RPJM Desa dan Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa), serta
masuk dalam tim penyelenggara kegiatan-kegiatan RKP Desa; 38 (ii) keterlibatan
kelompok marginal sebagai panitia penyelenggaran musyawarah desa. Peraturan
Menteri Desa dan PDT No. 2/2015 membuka peluang tersebut dengan mengatakan
bahwa susunan kepanitian musyawarah desa disesuaikan dengan kondisi sosial
budaya masyarakat39; dan (iii) keikutsertaan perempuan dalam delegasi desa untuk
membahas kerjasama antar desa, kerjasama dengan pihak ketiga dan membahas
rencana investasi dengan pihak swasta/investor.40
Contoh kedua dari kemajuan ketiga adalah pertimbangan untuk memperhatikan
kelompok marginal dalam menyelenggarakan pemerintahan desa. Hal ini misalnya
berkaitan dengan musyawarah desa yang menurut Peraturan Menteri Desa dan PDT
No. 2/2015 harus diselenggarakan di tempat yang disesuaikan dengan kondisi
obyektif desa dan kondisi sosial budaya masyarakat.41
Di samping ketiga bentuk kemajuan di atas, kemajuan juga terlihat tatkala inklusi
sosial dimasukan ke dalam agenda pembangunan. Misalnya Peraturan Menteri Desa
dan PDT No. 2/2015, memasukan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
ke dalam ruang lingkup dan bidang kerjasama antar desa.42
4.

Peta pandangan dan dinamika insiatif promosi perspektif dan program
inklusi sosial

Sejumlah organisasi dan proyek mempromosikan penggunaan perspektif inklusi sosial
dalam penyelenggaraan pemerintahan atau pembangunan. Promosi tersebut telah
dilakukan bahkan sebelum UU Desa diberlakukan. Kehadiran UU Desa dipandang
sebagai momentum yang bagus untuk menyuarakan kembali signifikansi perspektif
inklusi sosial dalam pembangunan. UU Desa dipandang sebagai momentum yang
tepat karena substansi yang diaturnya menyangkut kepentingan banyak kalangan. UU
Desa dilihat sebagai pintu masuk yang bagus untuk mempromosikan inklusi sosial

38

Pasal 8 Ayat (4), Pasal 33 Ayat (4), dan Pasal 40 Ayat (3).
Pasal 7 Ayat(3).
40
Pasal 73 Ayat (1) huruf e, Pasal 78 Ayat(1) huruf e dan Pasal 84 Ayat(1) huruf e Peraturan Menteri
Desa dan PDT No. 2/2015.
41
Pasal 9 Ayat (3).
42
Pasal 72 Ayat (1) huruf b angka 2.
39




10




karena berbagai hal-hal konkrit bisa dilakukan. Momentum tersebut juga berpangkal
dari ‘membesarnya kewenangan dan keuangan desa’, sehingga para promotor itu
melihat upaya-upaya promosi inklusi sosial menjadi semakin relevan didorong dari
tingkat desa karena tersedia sumber dana untuk menyelesaikan masalah-masalah yang
dihadapi oleh kelompok marjinal itu.
Peta organisasi dan proyek yang bekerja untuk promosi inklusi sosial mencakup (a)
pandangan atau pemikiran mengenai UU Desa; (b) program dan kegiatan beserta
perkembangannya; (c) pendekatan dan strategi yang digunakan; dan (d) capaiannya.
Meski begitu, organisasi dan proyek yang ditampilkan dalam peta ini hanya yang
bekerja untuk kelompok masyarakat adat, petani, perempuan, dan kelompok
minoritas lainnya seperti orang miskin dan penyandang disabilitas (diffable).
4.1. Pandangan mengenai UU Desa
Pandangan mengenai UU Desa dan peraturan pelaksananya berpusat pada seberapa
jauh kelompok marginal (masyarakat adat, perempuan, orang miskin, penyandang
disabilitas) dapat berpartisipasi dalam pembangunan desa. Berangkat dari fokus
seperti itu, organisasi dan proyek yang bekerja untuk isu gender umumnya
memandang UU Desa dan peraturan pelaksananya terbatas dalam melibatkan
kelompok marginal dalam pembangunan desa. Program Maju Perempuan untuk
Penanggulangan Kemiskinan (MAMPU) misalnya, menilai UU Desa tidak memberi
ruang yang cukup bagi perempuan untuk terlibat dalam pemerintahan desa.
Pencermatan yang sama juga dikemukakan juga oleh Pusat Telaah dan Informasi
Regional (PATTIRO). Menurut organisasi yang berkonsentrasi di Pulau Jawa ini, UU
Desa memiliki paling tidak 3 kelompok ketentuan yang tidak secara terang
mengharuskan partisipasi, dan perlindungan terhadap perempuan. Partisipasi
menyangkut musyawarah desa (musdes), Musyawarah Rencana Pembangunan Desa
(Musrembangdes) dan Badan Permusyawaratan Desa, sementara perlindungan
menyangkut alokasi anggaran desa.43
Pandangan semacam itu tidak lantas membuat organisasi-organisasi tersebut
berkesimpulan bahwa tidak ada peluang dalam UU Desa dalam mempromosikan

43

Keterangan lengkap mengenai pandangan Pattiro di atas dapat dibaca pada
pattiro.org/?p=3459&lang=en.




11




inklusi sosial. MAMPU melihat ketentuan mengenai asas sudah bagus dan harus
dirujuk sekaligus diaktualisasikan dalam peraturan pelaksananya. 44 Peran penting
peraturan pelaksana juga dilihat oleh PATTIRO yang melihat bahwa peraturan daerah
diperlukan untuk mengeksplisitkan partisipasi dan perlindungan terhadap kelompok
perempuan.45
Peluang pada UU Desa juga dilihat oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA)
dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). KPA melihat Badan Usaha Milik
Desa (BUM Desa) berpotensi menjadi unit usaha yang mengelola pemanfaatan tanahtanah hasil redistribusi secara kolektif. Dengan ukuran luas yang sangat kecil, tanahtanah hasil redistribusi kepada petani miskin akan lebih efisien dan produktif bila
dikelola secara kolektif. Peluang memanfaatkan BUM Desa juga dipikirkan oleh
MAMPU

beserta

beberapa

mitranya

yaitu

dengan

mendorongnya

bekerja

menggunakan falsafah dan manajemen simpan pinjam yang selama ini dijalankan
oleh sejumlah kelompok perempuan.
Pada saat yang sama, AMAN juga melihat UU Desa menyediakan peluang bagi
pengakuan masyarakat adat. Bersama dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.
52/201446, AMAN melihat UU Desa menyediakan satu dari tiga model peluang
pengakuan masyarakat adat.47 Advokasi pengakuan masyarakat adat lewat UU Desa
sangat

cocok

digunakan

bagi

komunitas-komuntas

adat

yang

institusi

pemerintahannya sudah melebur ke dalam desa administratif.
4.2. Beberapa contoh program dan kegiatan organisasi masyarakat sipil


44

Ketentuan mengenai asas terdapat dalam Pasal 3. Asas yang relevan dengan inklusi sosial adalah
demokrasi, partisipasi dan kesetaraan.
45
Pemikiran bahwa peraturan daerah dapat digunakan untuk mengeksplisitkan pengaturan mengenai
partisipasi dan perlindingan perempuan, saat ini tengah dicoba diwujudkan oleh Intitute Mosintuwu
bersama peserta Sekolah Perempuan yang dikelolanya saat ini di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Turut membantu inisiatif ini KARSA dan INFEST (Yogyakarta). Inisiatif ini sedang mengadvokasi
Ranperda Perlindungan dan Perluasan Partisipasi Perempuan dalam Penyelengaraan Pemerintah dan
Pembanguna Desa.
46
Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
47
Dua peluang lainnya adalah Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.
5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan UU No.
41/1999 tentang Kehutanan. Penjelasan mengenai ketiga model pengakuan tersebut didapatkan dalam
presentasi berjudul, ‘Peluang dan Tantangan Pengakuan dan Perlindungan Hukum bagi Masyarakat
Adat melalui Desa Adat, dalam acara Lokakarya Nasional “Tantangan Masyarakat Adat dan
Pembaharuan Agraria dalam Pelaksanaan Putusan MK 35 dan UU Desa” , Jakarta, 3-4 Februari 2015.




12




Berbagai organisasi dan proyek yang bekerja untuk isu sosial inklusi berusaha
merespon pemberlakuan UU Desa. Respon tersebut ada yang berbentuk reaktif
(jangka pendek) namun ada juga yang sudah dirancang sedemikian rupa (jangka
panjang).

Respon

yang

bersifat

reaktif

seluruhnya

berupa

kegiatan

sosialisasi/diseminasi UU Desa. Dari segi pengelolaan, kegiatan sosialisasi/diseminasi
dilakukan dengan dua cara. Pertama, melakukan sosialisasi/diseminasi sebagai
kegiatan selingan atau materi tambahan dalam sebuah pertemuan, dengan durasi
waktu selama satu sampai dua jam. Kedua, menyelenggarakan sosialisasi/diseminasi
sebagai kegiatan tersendiri dengan memakan waktu satu atau 2 hari.
Adapun respon yang bersifat terencana terjadi apabila organisasi dan proyek memiliki
program baru yang dilahirkan setelah pemberlakuan UU Desa. Sekedar menyebut
contoh adalah Hibah Inovasi MAMPU yang mendukung 2 LSM untuk menguatkan
partisipasi perempuan dalam perencanaan dan pembuatan aturan desa. Contoh lainnya
adalah kursus sehari mengenai UU Desa yang dilakukan oleh KARSA (Yogyakarta).
Kursus sehari tersebut tidak dipungut biaya. Selain dari bentuk atau cara merespon,
inisiatif organisasi dan proyek dalam rangka menjadikan UU Desa sebagai arena
mempromosikan perspektif inklusi sosial juga bisa dicermati dengan melihat program
dan kegiatan yang dikembangkan dan diselenggarakan. Secara garis besar program
dan kegiatan tersebut berkenaan dengan sosialisasi/diseminasi dan implementasi.
Program dan kegiatan implementasi terbilang kompleks karena mencakup berbagai
isu dan kegiatan. Implementasi dapat diurai lagi ke dalam isu dan kegiatan-kegiatan
(a)

Mengawal penyusunan rancangan peraturan; (b) Mengawal pelaksanaan; (c)

Meningkatkan Partisipasi warga desa; dan (d) Pengembangan ekonomi desa.
Mengawal penyusunan rancangan peraturan mencakup kegiatan menyusun dan
menyiapkan masukan-masukan terhadap rancangan peraturan yang disiapkan oleh
pihak lain (pemerintah), dan terlibat dalam penyusunan rancangan peraturan.
Pandangan kritis dan masukan atas Rancangan Peraturan Pemerintah tentang
Penyelenggaraan Desa, yang disusun oleh 50 perwakilan organisasi perempuan pada
Mei 2014 lalu, merupakan contoh dari menyusun masukan terhadap rancangan
peraturan yang disiapkan oleh lembaga lain. 48 Di tingkat Kabupaten, Institute

48

Judul lengkap dokumen rumusan masukan tersebut adalah Pandangan Kritis dan Masukan dari
Gerakan Perempuan Indonesia untuk Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Desa.




13




Mosintuwu berupaya menghasilkan rekomendasi bagi UU Desa dan aturan-aturan
pelaksanaannya melalui Kongres Perempuan Poso yang diseleggarakan pada 25 – 27
Maret 2014, yang melibatkan sekitar 1.000 perempuan dari 70 desa yang ada di
Kabupaten Poso. Dalam Rekomendasi Hasil Kongres yang berisikan 10 rekomendasi,
antara lain disebutkan “dalam Peraturan Pemerintah harus ditegaskan bahwa
Pemerintah Desa berkewajiban melibatkan perempuan dalam setiap lembaga-lembaga
pemerintahan desa minimal 50%”; “Pemerintah Desa berkewajiban menganggarkan
kegiatan pemberdayaannperempuan minimal 50% dalam APBDes dan 30% dalam
program pembanguna kabupaten”; “Pemerintah Kabupaten berkewajiban membuat
Peraturan Daerah tentang keterlibatan perempuan minimal 50% dalam perencanaan di
musyawarah desa dan dalam pelaksanaan dan pengawasan pembangunan desa’.49
Adapun contoh untuk kegiatan terlibat dalam pembuatan rancangan peraturan adalah
kegiatan AMAN mendampingi 6 pemerintah daerah untuk menyusun rancangan
peraturan daerah kabupaten mengenai pengakuan keberadaan masyarakat adat.
Contoh lain adalah penyusunan raperda yang mengkomodir keterwakilan perempuan
dalam BPD oleh Satunama. Sedangkan mengawal pelaksanaan mencakup kegiatan
membuat panduan dan rumusan pemikiran yang dapat menjadi rujukan bagi berbagai
pihak untuk memastikan implementasi UU Desa mencapai atau tidak menyimpang
dari tujuan-tujuannya. Untuk kegiatan membuat panduan, PATTIRO sedang proses
menyusun anotasi UU Desa yang diharapkan menjadi rujukan bagi NGOs dan
pemerintah dalam melakukan advokasi dan penyusunan peraturan pelaksana agar
sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam UU Desa. Pada saat bersama
PATTIRO juga menyusun indikator-indikator untuk mengukur kemandirian suatu
desa terutama dalam soal menjalankan otonomi desa. Selain itu ada FPPD yang
membuat buku pintar yang diharapkan dapat membantu pemerintahan desa untuk
mengenali tugas-tugasnya seperti yang diatur dalam UU Desa.
Partisipasi sendiri pada intinya berupa program atau kegiatan yang mendorong
keterlibatan maksimal kelompok-kelompok marginal dalam penyelenggaraan
pemerintahan desa. Arena yang paling umum dalam mendorong partisipasi ini adalah
keterlibatan dalam musyawarah dsa, musyawarah pembangunan desa, dan
penyusunan anggaran desa. Lewat Hibah Inovasi yang dikebambangkan MAMPU,

49

Rekomendasi Kongres Perempuan Poso untuk Tim Perumus Peraturan Pemerintah untuk UU Desa.




14




INFEST selama tahun 2015 memfasilitasi keterlibatan perempuan dalam perencanaan
di Kab Banjarnegara & Wonosobo (Jawa Tengah), Malang (Jawa Timur), Poso
(Sulawesi Tengah) dan Takalar (Sulawesi Selatan). Untuk penganggaran 14 mitra
PNPM Peduli akan melakukannya di 12 kabupaten dan 10 provinsi. Arena lain untuk
mendorong partisipasi adalah penyusunan peraturan desa. Kegiatan untuk ini
misalnya dilakukan oleh Walang Perempuan yang akan mendorong keterlibatan
perempuan dalam penyusunan peraturan desa di 5 negeri di Ambon.
Selain dengan cara memanfaatkan berbagai siklus perencanaan pembanguna di
tingkat desa, partisipasi juga didorong lewat kelembagaan. Isu konkritnya adalah
sistem keanggotaan Badan Permusyawaryan Desa (BPD) yang berbasis golongan dan
bukan kewilayahan, serta cakupan lembaga Kelembagaan Masyarakat desa yang
mengakomodir organisasi atau forum yang dibentuk atas inisiatif masyarakat sendiri.
KPA dan PATTIRO mengusulkan agar pemerintah daerah membuat peraturan daerah
yang menentukan bahwa keanggotaan BPD tidak didasarkan pada kewilayahan
melainkan golongan. Sistem ini akan memberi peluang bagi perempuan dan petani
miskin memiliki wakil di BPD. Advokasi dengan isu yang sama dlakukan juga oleh
Gemawan di Kalimantan Barat. MAMPU maju dengan usulan konkrit agar wakil
perempuan di BPD sebesar 30%.
Sementara itu, implementasi dalam rangka pengembangan ekonomi desa berfokus
pada pengembangan dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) yang
diharapkan bisa mendorong ekonomi yang berbasis kolektivitas. Sebagai bagian dari
program Desa Maju Reforma Agraria (DAMARA), KPA sedang bekerja di Dusun
Kulonbambang, Desa

Sumberurip, Kec. Doko, Kab Blitar, Jawa Timur, untuk

mengembangkan percontohan pengembangan BUM Desa sebagai unit ekonomi
pengelola tanah-tanah redistribusi. Selain itu, pengembangan BUM Desa juga
diharapkan tidak bersifat teknokratik melainkan berbasis pada model-model usaha
yang berkembang di tengah-tengah masyarakat desa. Lewat Forum Komunitas,
PEKKA mendorong agar koperasi simpan pinjam yang dikelola oleh kelompokkelompok perempuan dijadikan rujukan untuk mengembangkan BUM Desa.
5. Arah kebijakan dan program ke depan




15




Jika dilihat dari apa yang telah dilakukannya sejauh ini, para promotor program
inklusi sosial yang tercakup dalam kajian ini masih setia dengan pendekatan
pemberdayaan. Berbagai kegiatannya dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompk
kegiatan utama. Masing-masing adalah kelompok kegiatan pengorganisasian;
advokasi; dan kelompok kegiatan yang dimaksukan untuk pengembangan ekonomi –
baik secara individu terlebih penting lagi adalah kelompok – yang terlibat dalam
agenda pemberdayaan masyarakat itu. Meski tidak berbanding lurus, kerangka kerja
‘tiga kaki’ (Juliantara, 2003) ini mirip dengan kerangka kerja untuk merancang
program-program inklusi sosial yang dikembangkan oleh Gidley, et.al. (2010), di
mana pengorganisasi dapat disejajarkan sebagai upaya memenuhi dan/atau
peningkatan partisipasi kelompok marjinal; advokasi sebagai upaya pengembangan
potensi manusia bagi terciptanya iklim kebijakan yang berpihak pada kelompok
marjinakl; dan pengembangan ekonomi sebagai proksi dari upaya peningkatan akses
kelompok marjinal pada berbagai sumber pelayanan dasar yang dibutuhkan.50
Jika demikian adanya, agenda bersama apa yang dapat dilakukan para pihak ke
depan? Untuk menjawab pertanyaan ini kami mengusulkan kerangka kerja kedua, jika
dapat dikatakan begitu, yakni untuk menggunakan kerangka kerja dalam jalur
pengembangan

dan/atau

peningkatan

kapasitas.

Merujuk

pada

kerangka

pengembangan kapasitas yang dikembangkan oleh GTZ - SfDM, Support for
Decentralization Measures (2005), berbagai kapasitas yang dibutuhkan mencakup (1)
kebijakan dan regulasi turunan lainnya (2) penataan ulang kelembagaan yang ada, (3)
pembaruan prosedur kerja dan mekanisme koordinasi, (4) peningkatan kinerja
sumberdaya manusia, (5) pengembangan ketrampilaan sesuai kualifikasi yang
dibutuhkan, serta (6) perubahan sistem nilai dan sikap untuk mengahdapi sistem yang
baru.51


50

Lihat Dadang Juliantara, 2003. Pembaruan Desa, Bertumpu pada yang Terbawah’. Yogyakarta:
LAPERA Pustaka Utama); dan Gidley, et.al. 2010. “Social Inclusion: Context, Theories, and
Practice”. Dalam The Australian Journal of University-Community Engagemet, Vol. 5, No. 1, pp. 6 –
36.
51
Lihat GTZ- SfDM, Support for Decentralization Measures. Guidelines on Capacity Building in the
Regions. Module C: Supplementary Information and References. SfDM Report 2005-4 (2005).




16




Untuk memudahkan pemahaman,
Kebutuhan Pengembangan Kapasitas

berbagai hal itu dapat
dikelompokkan ke dalam 3
tingkatan pengembangan kapasitas.

Institutional

Masing-masing adalah sebagai
Capacity

berikut: (1) menyangkut
Personal

serangkaian kegiatan untuk

Organisasional

mengembangkan kapasitas pada
tingkat sistem kelembagaan atau kebijakan; 52 (2) pengembangan kapasitas pada
tingkat lembaga atau organisasi;53 dan (3) serangkaian upaya untuk pengembangan
kapasitas pada tingkat individu.54
Itulah tantangan-tantangan yang juga harus bisa dijawab. Selain itu, pengalamanpengalaman dari berbagai program masa lalu perlu juga untuk dipertimbangkan.
Seperti yang pernah dialami melalui program ACCESS, sejedar menyebut satu contoh
saja. Menurut kajian yang dilakukan oleh Decentralisastion Support Facility (2007),
ACCESS adalah satu dari sedikit contoh program inklusi sosial yang dapat dikatakan
berhasil. Kajian tersebut melihat keberhasilan sebuah proyek dari 4 aspek, yaitu (i)
strategi kelembagaan dan sistem akuntabilitas, (ii) Persyaratan dan strategi
implementasi proyek, (iii) sumberdaya manusia dan pengembangan kapasitas, dan (iv)
dampak dan keberlanjutannya. Hasilnya adalah bahwa hanya ACCESS, dari 5
program/proyek yang diamati yang mampu meraih nilai di ata nilai rata-rata, dan
hanya Kecamatan Development Project (Program Pengembangan Kecamatan) yang
mampu memperoleh nilai di atas rata-rata untuk beberapa hal yang dikaji. Tingginya
nilai yang mampu diraih ACCESS, yang mencerminkan perbedaan yang penting
dengan program/proyek lain, diperoleh karena cakupan area yang relative terbatas dan
masih dalam rentang control manajemen; bantuan per kabupaten yang relative besar;

52

Termasuk di dalamnya pengembangan kerangka hukum dan kebijakan baru atau
perubahan/harmonisasi hukum/kebijakan yang ada, sehingga memungkinkan berbagai pihak
menjalankan perannya dan kebijakan terkait mencapai tujuannya.
53
Termasuk di dalamnya perluasan struktur manajemen, proses dan prosedur kerja. Tidak hanya dalam
organisasi tertentu, namun juga pengelolaan hubungan antara organisasi yang berbeda dan sektor
(publik, swasta dan masyarakat)
54
Termasuk di dalamnya serangkaian proses untuk melengkapi individu dengan keterampilan
pemahaman, dan akses terhadap informasi, pengetahuan dan pelatihan yang memungkinkan mereka
untuk bekerja efektif.




17




pendanaan olh dua pihak (proyek dan pemerintah daerah setempat); dan pelibatan
berbagai organisasi masyarakat sipil yang memang sudah bekerja relative lama di
daerah-daerah yang bersangkutan.
Hubungan yang paling konsisten adalah adalah antara indikator prosedur pelaksanaan
proyek dan dampak. Hal ini menunjukkan bahwa prosedur yang ditentukan dan sistem
monitoring memiliki pengaruh terbesar pada pencapaian dampak. Hubungan antara
staf dan pelatihan kurang konsisten. Hal ini menunjukkan bahwa staf dan pelatihan
sensitif jender kurang atau belum diterapkan, sehingga penerapan prosedur program
agar sensitive gender tidak/kurang berjalan. Pengalaman ACCESS jelas menunjukkan
bahwa jika strategi, prosedur, dan pengembangan kapasitas staf mendapat perhatian
yang serius, kemungkinan besar hasil yang positif dapat tercapai.55
Perlu pula diingat bahwa, dalam rangka meningkatan kinerja program-program yang
mempromosikan isu inklusi sosial ini, beberapa kajian, seperti AKATIGA, (2010);
Bappenas, (2010); dan Laksono, et.al., (2014),56 mencatat hal-hal berikut ini:


Pemberdayaan masyarakat adalah proses transformasi dalam waktu yang tidak
singkat. Untuk itu perlu dirancang peta jalan untuk mencapainya.



Memperkuat lembaga pengorganisasian masyarakat lokal, dengan perhatian
khusus

pada

kelompok

marjinal,

dengan

memanfaatkan

sistem

pengorganisasian lokal yang dikenal oleh masy. Yang bersangkutan.


Bentuk kegiatan usaha dalam program pemberdayaan mengacu pada
livelihood yang ada. Jangan mengancurkan odal sosial cq. etos kerja yang
berlaku.



Jika diperlukan, memfasilitasi simpan pinjam yang lebih berkelanjutan.



Perbaikan Institusi dan Teknis, seperti Pembentukan sekolah fasilitator;
Pelatihan (Training); Pembiayaan operasional yang memadai; Fokus pada isu
partisipasi kunci untuk monitor dan memberikan umpan balik; Menggunakan
kelompok monitoring independen; Mengurangi keterlambatan penyaluran
dana ke lapangan.


55

Lebih lanjut lihat Decentralisation Support Facility, 2007. Gender Review and PNPM Strategy
Formulation. Mission Report. Working Paper on the Findings of Joint Donor and Government Mission.
56
Lihat AKATIGA, (2010), op.cit.; Bappenas, (2010), op.cit.; dan Laksono, et.al., (2014). Etos Kerja
Masyarakat Maluku Tenggara. Laporan Penelitian. Kerjasama Pemerintah Kabupaten Maluku
Tenggara & Pusat Studi Asia Pasifik, Universitas Gadjah Mada.




18




Dalam memperkaya pilihan-pilihan kegiatan yang dapat dilakukan di masa depan
kami mengusulkan temuan-temuan dan/ataupun usulan kegiatan yang dihasilkan oleh
berbagai insiatif berbagai pihak perlu dijadikan pertimbangkan juga. Salah satunya
yang kami anggap penting adalah sebagaimana yang dihasilkan dalam sebuah
lokakarya yang dilakukan oleh Knowledge Sector Ininitiative (KSI) pada tgl. 5 – 6
Mei 2015 lalu, dan dihadiri tidak kurang dari 30-an organisasi masyarakat sipil yang
berasal baik dari Jakarta dan sekitarnya maupun dari berbagai daerah lain di
Indonesia. Pada lokakarya dua hari ini terungkap bahwa, setidaknya ada 4 kelompok
persoalan yang perlu ditangani lebih lanjut agar keberadaan UU Desa dapat bekerja
secara lebih optimal. Keempat kelompok persoalan itu adalah menyangkut persoalanpersoalan diskoneksi dan disharmoni kebijakan dan kelembagaan; tantangan untuk
lebih

meningkatkan

partisipasi

masyarakat;

peluang

dan

tantangan

untuk

pengembangan ekonomi kreatif; serta optimalisasi peluang penerapan nomenklatur
desa adat. Dalam lokakarya dimaksud telah pula dirumuskan agenda kerja strategis
untuk masing-masing kelompok persoalan itu. Antara lain, dalam konteks kebijakan
dan kelembagaan, disarankan untuk melakukan Analisis kritis dan eksaminasi public
atas regulasi yang ada; konsolidasi organisasi masyarakat sipildan ahli untuk
merumuskan draft alternatif revisi regulasi teknis; dan melakukan uji materiil ke
Mahkamah Agung jika masukan-masukan kalangan organisasi sipil itu tidak
didengarkan oleh pihak yang berwenang. Dalam konteks pengembangan partisipasi
masyarakat yang lebih luas disarankan, antara lain, melakukan pendidikan kritis
kepada

warga

di

paling

bawah;

ketrampilan

berkomunikasi

yang

baik;

mengembangkan kapasitas kader desa dan fasilitator desa agar mampu menggerakkan
warga masyarakat lain – khususnya kelompok-kelompok yang selama ini mendapat
perlakukan pengucilan -- untuk semakin terlibat dalam proses politik dan
pembangunan tingkat desa. Dalam konteks pengembangan ekonomi kreatif, antara
lain, disarankan untuk melakukan penggalian pengetahuan terkait model-model
praktek ekonomi pedesaan, seperti model pengelolaan aset produksi masyarakat desa,
pemanfaatan asset desa/pemerintah lainnya yang dijadikan asset produktif masyarakat
desa, mekanisme kerjasama ekonomi antar desa, dll.; melakukan advokasi regulasi di
daerah dan nasional yang mendukung pengembangan praktek ekonomi produktif
pedesaan, seperti pendayagunaan dan pemanfaatan aset desa, subsidi (pertanian,
perikanan, usaha kecil, dll), perlindungan social-ekonomi masyarakat miskin
pedesaan, reforma agraria, dll.; dan melakukan endampingan perencanaan dan praktek



19




pengelolaan ekonomi produktif pedesaan, yang bisa iawali dengan praktek
perencanaan kawasan (ekonomi) perdesaan serta pengembangan basis produksi di
pedesaan. Sedangkan untuk kegiatan optimalisasi peluang nomenklatur desa adat
peserta lokakarya mengusulkan agar, antara lain, melakukan pemetaan/Identifikasi
realitas/kondisi adat saat ini untuk membantu memberikan tipologi dan rekomendasi
soal apakah cocok penggunaan UU Desa atau tidak, mengingat beragamnya bentuk
dan kondisi masyarakat adat yang ada; melakukan kajian tentang kemungkinan
konsekuensi atau implikasi penerapan desa adat pada konteks masyarakat yang
bersangkutan; menggali persepsi masyarakat soal implikasi UU Desa atau
Permendagri terkait dengan pengakuan wilayah adat; dan mengdentifikasi kebutuhan
agar peluang implementasi desa adat dapat jadi optimal.57 Selain itu, pengalamanpengalaman baik dalam hal mengotimalkan kerjasama para pihak, sebagaimana yang
terungkap dalam Diskusi Setengah Hari yang diselenggarakan KOMPAK pada
tanggal 4 Mei 2015 lalu perlu pula dipertimbangkan.58
6. Penutup: beberapa rekomendasi strategis
Dalam konteks kebijakan iklusi sosial, berdasarkan uraian di atas, kelemahan UU
Desa dan sejumlah peraturan pelaksananya terkait dengan inklusi sosial mencakup
tiga hal. Pertama, belum menjadikan inklusi sosial sebagai sebuah persepektif
sehingga seharusnya menyebar merata pada semua ketentuan. Saat ini UU Desa dan
peraturan pelaksananya mengatur inklusi sosial (perempuan) hanya dalam segelintir
ketentuan. Peraturan Menteri Desa dan PDT No. 2/2015 bisa dikatakan perkecualian
karena memunculkan inklusi sosial pada hampir semua tahapan masyawarah desa.
Kedua, salah satu implikasi dari tidak menggunakan inklusi sosial sebagai perspektif
bahwa UU Desa dan peraturan pelaksananya tidak secara eksplisit menggunakan
istilah kelompok marginal dan hanya menyebut beberapa kelompok sebagai
cakupannya. UU tentang Pelayanan Publik dapat menjadi contoh untuk perbaikan.
UU ini ini: (i) menyebut kelompok rentan (margnal) secara eksplisit; dan (ii)
membuat cakupan yang relatif lengkap mengenai kelompok marginal (penyandang
cacat, lanjut usia, wanita hamil, anak-anak, korban bencana alam dan sosial). Ketiga,
hampir belum memberikan jaminan bagi terlaksananya inklusi sosial dengan cara

57

Lebih jauh lihat Knowledge Sector Initiative, Notulensi Lokakarya Undang-Undang Desa,

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65