Development of porous calcium (4)

KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Dampak
Tindakan Korupsi Diberbagai Aspek.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk
masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Pekanbaru , 7 April 2016

Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..…………………................................................................... i

Daftar Isi ….….………………......................................................................... ii
Bab I. Pendahuluan …….……..………............................................................ 1
1.1. Latar Belakang ………..…………………...................................................1
Bab II. Tinjauan Pustaka

………….……………………………………….... 4

Bab III Pembahasan ………………………………........................................... 7
3.1. Dampak Korupsi Terhadap Ekonomi ...................………. ....................... 7
3.2. Dampak Korupsi Terhadap Sosial Kemiskinan ....................................... 14
3.3. Dampak Korupsi Terhadap Birokasi Pemerintahan …............................. 16
3.4. Dampak Korupsi Terhadap Politik dan Demokrasi ..…………............... 18
3.5. Dampak Korupsi Terhadap Penegakan Hukum ………............................ 20
3.6. Dampak Korupsi Terhadap Pertahanan Keamanan .…............................ 21
3.7. Dampak Korupsi Terhadap Kerusakan Lingkungan ……......................... 23
Bab IV Kesimpulan Dan Saran ........................................................................ 26
A. Kesimpulan ................................................................................................ 26
B. Saran ..............................................................................................………. 26

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Korupsi di tanah negeri, ibarat “warisan haram” tanpa surat wasiat. Ia tetap lestari
sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam tiap orde yang datang silih
berganti. Hampir semua segi kehidupan terjangkit korupsi. Apabila disederhanakan penyebab
korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan
penyebab korupsi yang datang dari diri pribadi sedang faktor eksternal adalah faktor penyebab
terjadinya korupsi karena sebab-sebab dari luar. Faktor internal terdiri dari aspek moral, misalnya
lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, aspek sikap atau perilaku misalnya pola hidup
konsumtif dan aspek sosial seperti keluarga yang dapat mendorong seseorang untuk berperilaku
korup. Faktor eksternal bisa dilacak dari aspek ekonomi misalnya pendapatan atau gaji tidak
mencukupi kebutuhan, aspek politis misalnya instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan
mempertahankan kekuasaan, aspek managemen & organisasi yaitu ketiadaan akuntabilitas dan
transparansi, aspek hukum, terlihat dalam buruknya wujud perundang-undangan dan lemahnya
penegakkan hukum serta aspek sosial yaitu lingkungan atau masyarakat yang kurang mendukung
perilaku anti korupsi.
Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam
melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang direncanakan
mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan pembangunan
terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni (orang-orang yang

terlibatsejak dari perencanaan samapai pada pelaksanaan) dan pembiayaan. Diantaradua faktor
tersebut yang paling dominan adalah faktor manusianya.Indonesia merupakan salah satu negara
terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya,
negaratercinta ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah

negara yang kaya malahan termasuk negara yang miskin.Mengapa demikian? Salah satu
penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya
dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas moral dan
kepribadiannya.
Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara
menyebabkan terjadinya korupsi.Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi
social (penyakit social) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil
keuangan negara yang sangat besar. Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya
perampasan dan pengurasankeuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan
anggotalegislatif dengan dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lainsebagainya di luar
batas kewajaran.
Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi hampir di seluruh
wilayah tanah air. Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu, sehingga
yang menonjol adalah sikap kerakusan dan aji mumpung. Persoalannya adalah dapatkah korupsi

diberantas? Tidak ada jawaban lain kalau kita ingin maju, adalah korupsi harus diberantas. Jika
kita tidak berhasil memberantas korupsi,atau paling tidak mengurangi sampai pada titik nadir
yang paling rendahmaka jangan harap Negara ini akan mampu mengejar ketertinggalannya
dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang maju. Karena korupsi membawa
dampak negatif yang cukup luas dan dapat membawa negara ke jurang kehancuran.Dalam arti
yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan
pribadi.
Semua bentuk pemerintah pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya
korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan
dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang

diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya
pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,
terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan
narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja.
Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan
antara korupsi dan kriminalitas kejahatan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin

“corruptio” atau “corruptus”. Selanjutnya

dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih tua.
Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah

“corruption, corrupt” (Inggris),

“corruption” (Perancis) dan “corruptie/korruptie” (Belanda). Arti kata korupsi secara harfiah
adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian.
Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia, adalah
“kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran”. Pengertian
lainnya, “perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan
sebagainya”. Selanjutnya untuk beberapa pengertian lain, disebutkan bahwa :
1. Korup artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan
sendiri dan sebagainya;


2. Korupsi artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan
sebagainya; dan;
3. Koruptor artinya orang yang melakukan korupsi. Dengan demikian arti kata korupsi adalah
sesuatu yang busuk, jahat dan merusak, berdasarkan kenyataan tersebut perbuatan korupsi
menyangkut sesuatu yang bersifat amoral, sifat dan keadaan yang busuk, menyangkut jabatan
instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian,
menyangkut faktor ekonomi dan politik dan penempatan keluarga atau golongan ke dalam
kedinasan di bawah kekuasaan jabatan.
Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang dimaksud corruptie
adalah korupsi, perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Selanjutnya
Baharudin Lopa mengutip pendapat David M. Chalmers, menguraikan istilah korupsi dalam
berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan
manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Hal ini diambil
dari definisi yang berbunyi “financial manipulations and deliction injurious to the economy are
often labeled corrupt”.
Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan, dan merugikan kepentingan umum.
Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari
norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam
rangka memenuhi kepentingan pribadi. Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan

curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus.
Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur
bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang

sama. Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan
negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi
keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan
wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata)
untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki
oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau
keluarga, sanak saudara dan teman. Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang
pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang
bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si
pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam bentuk balas jasa juga
termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak
ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau
partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga
dapat dianggap sebagai korupsi.


BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Dampak Korupsi Terhadap Ekonomi
Korupsi mengurangi kemampuan pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam bentuk
peraturan dan kontrol akibat kegagalan pasar (market failure). Ketika kebijakan dilakukan dalam

pengaruh korupsi yang kuat maka pengenaan peraturan dan kebijakan, misalnya, pada
perbankan, pendidikan, distribusi makanan dan sebagainya, malah akan mendorong terjadinya
inefisiensi.
Korupsi mendistorsi insentif seseorang, dan seharusnya melakukan kegiatan yang
produktif menjadi keinginan untuk merealisasikan peluang korupsi dan pada akhimya
menyumbangkan negatif value added. Korupsi menjadi bagian dari welfare cost memperbesar
biaya produksi, dan selanjutnya memperbesar biaya yang harus dibayar oleh konsumen dan
masyarakat (dalam kasus pajak), sehingga secara keseluruhan berakibat pada kesejahteraan
masyarakat yang turun.
Korupsi mereduksi peran pundamental pemerintah (misalnya pada penerapan dan
pembuatan kontrak, proteksi, pemberian property rights dan sebagainya). Pada akhirnya hal ini
akan memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan ekonomi yang dicapai.
Korupsi mengurangi legitimasi dari peran pasar pada perekonomian, dan juga proses

demokrasi. Kasus seperti ini sangat terlihat pada negara yang sedang mengalami masa transisi,
baik dari tipe perekonomian yang sentralistik ke perekonomian yang lebih terbuka atau
pemerintahan otoriter ke pemerintahan yang lebih demokratis, sebagaimana terjadi dalam kasus
Indonesia.
Korupsi memperbesar angka kemiskinan. ini sangat wajar. Selain dikarenakan programprogram pemerintah sebagaimana disebut di atas tidak mencapai sasaran, korupsi juga
mengurangi potensi pendapatan yang mungkin diterima oleh si miskin. Menurut Tanzi (2002),
perusahaan perusahaan kecil adalah pihak yang paling sering menjadi sasaran korupsi dalam
bentuk pungutan tak resmi (pungutan liar). Bahkan, pungutan tak resmi ini bisa mencapai hampir
dua puluh persen dari total biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan ini amat
mengkhawatirkan, dikarenakan pada negara negara berkembang seperti Indonesia, perusahaan
kecil (UKM adalah mesin pertumbuhan karena perannya yang banyak menycrap tenaga kerja).

Korupsi memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat (an enermous destruction
effects) terhadap berbagai sisi kehidupan bangsa dan negara, khususnya dalam sisi ekonomi
sebagai pendorong utama kesejahteraan masyarakat. Mauro menerangkan hubungan antara
korupsi dan ekonomi. Menurutnya korupsi memiliki korelasi negatif dengan tingkat investasi,
pertumbuhan ekonomi, dan dengan pengeluaran pemerintah untuk program sosial dan
kesejahteraan. Hal ini merupakan bagian dari inti ekonomi makro. Kenyataan bahwa korupsi
memiliki hubungan langsung dengan hal ini mendorong pemerintah berupaya menanggulangi
korupsi, baik secara preventif, represif maupun kuratif.

Di sisi lain meningkatnya korupsi berakibat pada meningkatnya biaya barang dan jasa,
yang kemudian bisa melonjakkan utang negara. Pada keadaan ini, inefisiensi terjadi, yaitu ketika
pemerintah mengeluarkan lebih banyak kebijakan namun disertai dengan maraknya praktek
korupsi, bukannya memberikan nilai positif misalnya perbaikan kondisi yang semakin tertata,
namun justru memberikan negatif value added bagi perekonomian secara umum. Misalnya,
anggaran perusahaan yang sebaiknya diputar dalam perputaran ekonomi, justru dialokasikan
untuk birokrasi yang ujung-ujungnya terbuang masuk ke kantong pribadi pejabat.
Berbagai macam permasalahan ekonomi lain akan muncul secara alamiah apabila korupsi
sudah merajalela dan berikut ini adalah hasil dari dampak ekonomi yang akan terjadi, yaitu:
1. Lesunya Pertumbuhan Ekonomi dan Investasi
Korupsi bertanggung jawab terhadap lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi dalam
negeri. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak
efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian
dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko
pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan.

Penanaman modal yang dilakukan oleh pihak dalam negeri (PMDN) dan asing (PMA)
yang semestinya bisa digunakan untuk pembangunan negara menjadi sulit sekali terlaksana,
karena permasalahan kepercayaan dan kepastian hukum dalam melakukan investasi, selain
masalah stabilitas. Dari laporan yang diberikan oleh PERC (Political and Economic Risk

Consultancy) pada akhirnya hal ini akan menyulitkan pertumbuhan investasi di Indonesia,
khususnya investasi asing karena iklim yang ada tidak kondusif. Hal ini jelas karena terjadinya
tindak korupsi yang sampai tingkat mengkhawatirkan yang secara langsung maupun tidak
mengakibatkan ketidakpercayaan dan ketakutan pihak investor asing untuk menanamkan
investasinya ke Indonesia.
Kondisi negara yang korup akan membuat pengusaha multinasional meninggalkannya,
karena investasi di negara yang korup akan merugikan dirinya karena memiliki ‘biaya siluman’
yang tinggi. Dalam studinya, Paulo Mauro mengungkapkan dampak korupsi pada pertumbuhan
investasi dan belanja pemerintah bahwa korupsi secara langsung dan tidak langsung adalah
penghambat pertumbuhan investasi. Berbagai organisasi ekonomi dan pengusaha asing di
seluruh dunia menyadari bahwa suburnya korupsi di suatu negara adalah ancaman serius bagi
investasi yang ditanam.
2. Penurunan Produktifitas
Dengan semakin lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi, maka tidak dapat
disanggah lagi, bahwa produktifitas akan semakin menurun. Hal ini terjadi seiring dengan
terhambatnya sektor industri dan produksi untuk bisa berkembang lebih baik atau melakukan
pengembangan kapasitas. Penurunan produktifitas ini juga akan menyebabkan permasalahan
yang lain, seperti tingginya angka PHK dan meningkatnya angka pengangguran. Ujung dari
penurunan produktifitas ini adalah kemiskinan masyarakat.

3. Rendahnya Kualitas Barang dan Jasa Bagi Publik
Ini adalah sepenggal kisah sedih yang dialami masyarakat kita yang tidak perlu terjadi
apabila kualitas jalan raya baik sehingga tidak membahayakan pengendara yang melintasinya.
Hal ini mungkin juga tidak terjadi apabila tersedia sarana angkutan umum yang baik, manusiawi
dan terjangkau. Ironinya pemerintah dan departemen yang bersangkutan tidak merasa bersalah
dengan kondisi yang ada, selalu berkelit bahwa mereka telah bekerja sesuai dengan prosedur
yang ditetapkan.
Rusaknya jalan-jalan, ambruknya jembatan, tergulingnya kereta api, beras murah yang
tidak layak makan, tabung gas yang meledak, bahan bakar yang merusak kendaraan masyarakat,
tidak layak dan tidak nyamannya angkutan umum, ambruknya bangunan sekolah, merupakan
serangkaian kenyataan rendahnya kualitas barang dan jasa sebagai akibat korupsi. Korupsi
menimbulkan berbagai kekacauan di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik
ke proyek-proyek lain yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak.
Pejabat birokrasi yang korup akan menambah kompleksitas proyek tersebut untuk
menyembunyikan berbagai praktek korupsi yang terjadi. Pada akhirnya korupsi berakibat
menurunkan kualitas barang dan jasa bagi publik dengan cara mengurangi pemenuhan syaratsyarat keamanan bangunan, syarat-syarat material dan produksi, syarat-syarat kesehatan,
lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan
pemerintahan dan infrastruktur dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran
pemerintah.

4. Menurunnya Pendapatan Negara Dari Sektor Pajak

Sebagian besar negara di dunia ini mempunyai sistem pajak yang menjadi perangkat
penting untuk membiayai pengeluaran pemerintahnya dalam menyediakan barang dan jasa
publik, sehingga boleh dikatakan bahwa pajak adalah sesuatu yang penting bagi negara. Di
Indonesia, dikenal beberapa jenis pajak seperti Pajak penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan
Nilai (PPn), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), dan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB).
Pajak berfungsi sebagai stabilisasi harga sehingga dapat digunakan untuk mengendalikan
inflasi, di sisi lain pajak juga mempunyai fungsi redistribusi pendapatan, di mana pajak yang
dipungut oleh negara selanjutnya akan digunakan untuk pembangunan, dan pembukaan
kesempatan kerja yang pada akhirnya akan menyejahterakan masyarakat. Pajak sangat penting
bagi kelangsungan pembangunan negara dan kesejahteraan masyarakat juga pada akhirnya.
Kondisi penurunan pendapatan dari sektor pajak diperparah dengan kenyataan bahwa
banyak sekali pegawai dan pejabat pajak yang bermain untuk mendapatkan keuntungan pribadi
dan memperkaya diri sendiri. Kita tidak bisa membayangkan apabila ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pajak ini berlangsung lama, tentunya akan berakibat juga pada percepatan
pembangunan, yang rugi juga masyarakat sendiri, inilah letak ketidakadilan tersebut.

5. Meningkatnya Hutang Negara
Kondisi perekonomian dunia yang mengalami resesi dan hampir melanda semua negara
termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, memaksa negara-negara tersebut untuk
melakukan hutang untuk mendorong perekonomiannya yang sedang melambat karena resesi dan
menutup biaya anggaran yang defisit, atau untuk membangun infrastruktur penting. Bagaimana
dengan hutang Indonesia?

Korupsi yang terjadi di Indonesia akan meningkatkan hutang luar negeri yang semakin
besar. Dari data yang diambil dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutang, Kementerian
Keuangan RI, disebutkan bahwa total hutang pemerintah per 31 Mei 2011 mencapai US$201,07
miliar atau setara dengan Rp. 1.716,56 trilliun, sebuah angka yang fantastis. Hutang tersebut
terbagi atas dua sumber, yaitu pinjaman sebesar US$69,03 miliar (pinjaman luar negeri
US$68,97 miliar) dan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar US$132,05 miliar. Berdasarkan
jenis mata uang, utang sebesar US$201,1 miliar tersebut terbagi atas Rp956 triliun, US$42,4
miliar, 2.679,5 miliar Yen dan 5,3 miliar Euro. Posisi utang pemerintah terus meningkat dari
tahun ke tahun. Pada 2009, jumlah utang yang dibukukan pemerintah sebesar US$169,22 miliar
(Rp1.590,66 triliun). Tahun 2010, jumlahnya kembali naik hingga mencapai US$186,50 miliar
(Rp1.676,85 triliun). Posisi utang pemerintah saat ini juga naik dari posisi per April 2011 yang
sebesar US$197,97 miliar. Jika menggunakan PDB Indonesia yang sebesar Rp6.422,9 triliun,
maka rasio utang Indonesia tercatat sebesar 26%.
Sementara untuk utang swasta, data Bank Indonesia (BI) menunjukkan jumlah nilai utang
pihak swasta naik pesat dari US$73,606 miliar pada 2009 ke posisi US$84,722 miliar pada
kuartal I 2011 atau setara 15,1%. Secara year on year (yoy) saja, pinjaman luar negeri swasta
telah meningkat 12,6% atau naik dari US$75,207 pada kuartal I 2010. Dari total utang pada tiga
bulan pertama tahun ini, utang luar negeri swasta mayoritas disumbang oleh pihak non-bank
sebesar US$71,667 miliar dan pihak bank sebesar US$13,055 miliar (www.metronews.com
/read/news/ 2011,14 Juni 2011).
Bila melihat kondisi secara umum, hutang adalah hal yang biasa, asal digunakan untuk
kegiatan yang produktif hutang dapat dikembalikan. Apabila hutang digunakan untuk menutup
defisit yang terjadi, hal ini akan semakin memperburuk keadaan. Kita tidak bisa membayangkan

ke depan apa yang terjadi apabila hutang negara yang kian membengkak ini digunakan untuk
sesuatu yang sama sekali tidak produktif dan dikorupsi secara besar-besaran.
3.2 Dampak Korupsi Terhadap Sosial dan Kemiskinan
Ada beberapa dampak buruk yang akan diterima oleh kaum miskin akibat korupsi,
diantaranya. Pertama, Membuat mereka (kaum miskin) cenderung menerima pelayanan sosial
lebih sedikit. Instansi akan lebih mudah ketika melayani para pejabat dan konglemerat dengan
harapan akan memiliki gengsi sendiri dan imbalam materi tentunya, peristiwa seperti ini masih
sering kita temui ditengah–tengah masyarakat. Kedua, Investasi dalam prasarana cenderung
mengabaikan proyek–proyek yang menolong kaum miskin, yang sering terjadi biasanya para
penguasa akan membangun prasarana yang mercusuar namun minim manfaatnya untuk
masyarakat, atau kalau toh ada biasanya momen menjelang kampanye dengan niat mendapatkan
simpatik dan dukungan dari masyarakat. Ketiga, orang yang miskin dapat terkena pajak yang
regresif, hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki wawasan dan pengetahuan tentang soal pajak
sehingga gampang dikelabuhi oleh oknum. Keempat, kaum miskin akan menghadapi kesulitan
dalam menjual hasil pertanian karena terhambat dengan tingginya biaya baik yang legal maupun
yang tidak legal, sudah menjadi rahasia umum ketika seseorang harus berurusan dengan instansi
pemerintah maka dia menyediakan uang, hal ini dilakukan agar proses dokumentasi tidak
menjadi berbelit–belit bahkan ada sebuah pepatah “kalau bias dipersulit kenapa dipermudah”.
Korupsi, tentu saja berdampak sangat luas, terutama bagi kehidupan masyarakat miskin
di desa dan kota. Awal mulanya, korupsi menyebabkan Anggaran Pembangunan dan Belanja
Nasional kurang jumlahnya. Untuk mencukupkan anggaran pembangunan, pemerintah pusat
menaikkan pendapatan negara, salah satunya contoh dengan menaikkan harga BBM. Pemerintah
sama sekali tidak mempertimbangkan akibat dari adanya kenaikan BBM tersebut harga-harga

kebutuhan pokok seperti beras semakin tinggi biaya pendidikan semakin mahal, dan
pengangguran bertambah. Tanpa disadari, masyarakat miskin telah menyetor 2 kali kepada para
koruptor. Pertama, masyarakat miskin membayar kewajibannya kepada negara lewat pajak dan
retribusi, misalnya pajak tanah dan retribusi puskesmas. Namun oleh negara hak mereka tidak
diperhatikan, karena “duitnya rakyat miskin” tersebut telah dikuras untuk kepentingan pejabat.
Kedua, upaya menaikkan pendapatan negara melalui kenaikan BBM, masyarakat miskin kembali
“menyetor” negara untuk kepentingan para koruptor, meskipun dengan dalih untuk subsidi
rakyat miskin. Padahal seharusnya negara meminta kepada koruptor untuk mengembalikan uang
rakyat yang mereka korupsi, bukan sebaliknya, malah menambah beban rakyat miskin

3.3 Dampak Korupsi Teradap Birokrasi Pemerintahan
Birokrasi, baik sipil maupun militer, memang merupakan kelompok yang paling rawan
terhadap korupsi. Sebab, di tangan mereka terdapat kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan,
yang menjadi kebutuhan semua warga negara. Oleh karena itu, Transparency International,
lembaga internasional yang bergerak dalam upaya anti korupsi, secara sederhana mendefinisikan
korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi.
Lebih jauh lagi, TI membagi kegiatan korupsi di sektor publik ini dalam dua jenis, yaitu
korupsi administratif dan korupsi politik. Secara administratif, korupsi bisa dilakukan ‘sesuai
dengan hukum’, yaitu meminta imbalan atas pekerjaan yang seharusnya memang dilakukan,
serta korupsi yang ‘bertentangan dengan hukum’ yaitu meminta imbalan uang untuk melakukan
pekerjaan yang sebenarnya dilarang untuk dilakukan.
Pada kasus Indonesia, jenis korupsi pertama terwujud antara lain dalam bentuk uang
pelicin dalam mengurus berbagai surat-surat, seperti Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin
Mengemudi, Akta Lahir atau Paspor agar prosesnya lebih cepat. Padahal seharusnya, tanpa uang
pelicin surat-surat ini memang harus diproses dengan cepat. Sementara jenis korupsi yang kedua,

muncul antara lain dalam bentuk ‘uang damai’ dalam kasus pelanggaran lalu lintas, agar si
pelanggar terhindar dari jerat hukum.
Sementara pada birokrasi militer, peluang korupsi, baik uang maupun kekuasaan, muncul
akibat tidak adanya transparansi dalam pengambilan keputusan di tubuh angkatan bersenjata
serta nyaris tidak berdayanya hukum saat harus berhadapan dengan oknum militer yang
seringkali berlindung di balik institusi militer.
Tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dipimpin oleh Dr. Indria Samego
mencatat empat kerusakan yang terjadi di tubuh ABRI akibat korupsi:
 Secara formal material anggaran pemerintah untuk menopang kebutuhan angkatan bersenjata
amatlah kecil karena ABRI lebih mementingkan pembangunan ekonomi nasional. Ini untuk
mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat bahwa ABRI memang sangat peduli pada
pembangunan ekonomi. Padahal, pada kenyataannya ABRI memiliki sumber dana lain di luar
APBN.
 Perilaku bisnis perwira militer dan kolusi yang mereka lakukan dengan para pengusaha keturunan
Cina dan asing ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang lebih banyak mudaratnya daripada
manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan prajurit secara keseluruhan.
 Orientasi komersial pada sebagian perwira militer ini pada gilirannya juga menimbulkan rasa iri
hati perwira militer lain yang tidak memiliki kesempatan yang sama. Karena itu, demi menjaga
hubungan kesetiakawanan di kalangan militer, mereka yang mendapatkan jabatan di perusahaan
negara atau milik ABRI memberikan sumbangsihnya pada mereka yang ada di lapangan.
 Suka atau tidak suka, orientasi komersial akan semakin melunturkan semanagat profesionalisme
militer pada sebagaian perwira militer yang mengenyam kenikmatan berbisnis baik atas nama
angkatan bersenjata maupun atas nama pribadi. Selain itu, sifat dan nasionalisme dan janji ABRI,
khususnya Angkatan Darat, sebagai pengawal kepentingan nasional dan untuk mengadakan
pembangunan ekonomi bagi seluruh bangsa Indonesia lambat laun akan luntur dan ABRI dinilai
masyarakat telah beralih menjadi pengawal bagi kepentingan golongan elite birokrat sipil,

perwira menengah ke atas, dan kelompok bisnis besar (baca: keturunan Cina). Bila ini terjadi,
akan terjadi pula dikotomi, tidak saja antara masyarakat sipil dan militer, tetapi juga antara
perwira yang profesional dan Saptamargais dengan para perwira yang berorientasi komersial.
3.4 Dampak Korupsi Terhadap Politik dan Demokrasi
Dalam data Indeks Persepsi Korupsi Transparansi Internasional 2012, India menempati
peringkat ke-94 dengan skor 36, di bawah Thailand, Maroko, dan Zambia. Meskipun India
adalah negara demokrasi, korupsi tetap jadi penyakit yang terus melanda. Sebaliknya, di
Singapura, penyelenggaraan pemerintahan yang bersih telah menjadi praktik yang lama
berlangsung. Padahal, Singapura bukanlah tergolong negara demokrasi. Skor indeks persepsi
korupsi Singapura adalah 87, menempati peringkat ke-5, di atas Swiss, Kanada, dan Belanda.
Dalam kasus India dan Singapura, demokrasi tak tampak berkorelasi dengan berkurangnya
korupsi.
Di negara-negara demokrasi baru, demokrasi juga seperti tak berpengaruh terhadap
pengurangan korupsi. Sebagai contoh, Indonesia telah menjadi negara demokrasi sejak tahun
1998. Menurut Freedom House, lembaga pemeringkat demokrasi dunia, Indonesia sudah
tergolong negara bebas sepenuhnya (demokrasi) sejak 2004. Namun, Indeks Persepsi Korupsi
2012 menempatkan Indonesia di peringkat ke-118 dengan skor 32. Artinya, masyarakat
merasakan bahwa korupsi masih merajalela di negeri ini.
Mengapa di sejumlah negara, terutama negara-negara demokrasi baru, demokrasi tampak
tidak menihilkan korupsi? Jawabannya terkait dengan kualitas demokrasi di suatu negara.
Ada dua aspek penting yang terkait dengan demokrasi: prosedur dan substansi. Negara-negara
demokrasi baru seperti Indonesia umumnya masih tergolong ke dalam demokrasi prosedural.
Yang sudah berjalan adalah aspek-aspek yang terkait dengan pemilihan umum.

Hal ini tidak cukup menjamin berlangsungnya demokrasi yang dapat meminimalkan
korupsi. Para aktor yang korup dalam demokrasi prosedural dapat memanipulasi pemilihan
umum yang justru membuat mereka menjadi pemegang tampuk kekuasaan.

3.5 Dampak Korupsi Terhadap Penegakan Hukum
Sejak lahirnya UU No. 24/PrP/1960 berlaku sampai 1971, setelah diungkapkannya
Undang-undang pengganti yakni UU No. 3 pada tanggal 29 Maret 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Baik pada waktu berlakunya kedua undang-undang tersebut dinilai tidak
mampu berbuat banyak dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena
undang-undang yang dibuat dianggap tidak sempurna yaitu sesuai dengan perkembangan zaman,
padahal undang-undang seharusnya dibuat dengan tingkat prediktibilitas yang tinggi. Namun
pada saat membuat peraturan perundang-undangan ditingkat legislatif terjadi sebuah tindak
pidana korupsi baik dari segi waktu maupun keuangan. Dimana legislatif hanya memakan gaji
semu yang diperoleh mereka ketika melakukan rapat. Sehingga apa yang dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan itu hanya melindungi kaum pejabat saja dan mengabaikan
masyarakat.
Menyikapi hal seperti itu pada tahun 1999 dinyatakan undang-undang yang dianggap
lebih baik, yaitu UU No.31 tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU No. 20 tahun 2001
sebagai pengganti UU No. 3 tahun 1971. kemudian pada tanggal 27 Desember telah dikeluarkan
UU No. 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu sebuah lembaga negara
independen yang berperan besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hal ini berarti dengan dikeluarkannya undang-undang dianggap lebih sempurna, maka
diharapkan aparat penegak hukum dapat menegakkan atau menjalankan hukum tersebut dengan

sempurna. Akan tetapi yang terjadi pada kenyataannya adalah budaya suap telah menggerogoti
kinerja aparat penegak hukum dalam melakukan penegakkan hukum sebagai pelaksanaan produk
hukum di Indonesia. Secara tegas terjadi ketidaksesuaian antara undang-undang yang dibuat
dengan aparat penegak hukum, hal ini dikarenakan sebagai kekuatan politik yang melindungi
pejabat-pejabat

negara.

Sejak

dikeluarkannya

undang-undang

tahun

1960,

gagalnya

pemberantasan korupsi disebabkan karena pejabat atau penyelenggara negara terlalu turut
campur dalam pemberantasan urusan penegakkan hukum yang mempengaruhi dan mengatur
proses jalannya peradilan. Dengan hal yang demikian berarti penegakan hukum tindak pidana di
Indonesia telah terjadi feodalisme hukum secara sistematis oleh pejabat-pejabat negara. Sampai
sekarang ini banyak penegak hukum dibuat tidak berdaya untuk mengadili pejabat tinggi yang
melakukan korupsi. Dalam domen logos, pejabat tinggi yang korup mendapat dan menikmati
privilege karena mendapat perlakuan yang istimewa, dan pada domen teknologos, hukum pidana
korupsi tidak diterapkan adanya pretrial sehingga banyak koruptor yang diseret ke pengadilan
dibebaskan dengan alasan tidak cukup bukti.

3.6 Dampak Korupsi Terhadap Peratahanan Keamanan
Korupsi di Bidang Pertahanan dan Keamanan belum dapat disentuh oleh agen-agen
pemberantas kosupsi. Dalam bidang Pertahanan dan Keamanan, peluang korupsi, baik uang
maupun kekuasaan, muncul akibat tidak adanya transparansi dalam pengambilan keputusan di
tubuh angkatan bersenjata dan kepolisian serta nyaris tidak berdayanya hukum saat harus
berhadapan dengan oknum TNI/Polri yang seringkali berlindung di balik institusi Pertahanan dan
Keamanan.

Tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dipimpin oleh Dr. Indria Samego
(1998) mencatat empat kerusakan yang terjadi di tubuh ABRI akibat korupsi:
1. Secara formal material anggaran pemerintah untuk menopang kebutuhan angkatan bersenjata
amatlah kecil karena ABRI lebih mementingkan pembangunan ekonomi nasional. Ini untuk
mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat bahwa ABRI memang sangat peduli pada
pembangunan ekonomi. Padahal, pada kenyataannya ABRI memiliki sumber dana lain di luar
APBN
2. Perilaku bisnis perwira militer dan kolusi yang mereka lakukan dengan para pengusaha
keturunan Cina dan asing ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang lebih banyak mudaratnya
daripada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan prajurit secara keseluruhan.
3. Orientasi komersial pada sebagian perwira militer ini pada gilirannya juga menimbulkan rasa iri
hati perwira militer lain yang tidak memiliki kesempatan yang sama. Karena itu, demi menjaga
hubungan kesetiakawanan di kalangan militer, mereka yang mendapatkan jabatan di perusahaan
negara atau milik ABRI memberikan sumbangsihnya pada mereka yang ada di lapangan.
4. Suka atau tidak suka, orientasi komersial akan semakin melunturkan semangat profesionalisme
militer pada sebagaian perwira militer yang mengenyam kenikmatan berbisnis baik atas nama
angkatan bersenjata maupun atas nama pribadi. Selain itu, sifat dan nasionalisme dan janji ABRI,
khususnya Angkatan Darat, sebagai pengawal kepentingan nasional dan untuk mengadakan
pembangunan ekonomi bagi seluruh bangsa Indonesia lambat laun akan luntur dan ABRI dinilai
masyarakat telah beralih menjadi pengawal bagi kepentingan golongan elite birokrat sipil,
perwira menengah ke atas, dan kelompok bisnis besar (baca: keturunan Cina). Bila ini terjadi,
akan terjadi pula dikotomi, tidak saja antara masyarakat sipil dan militer, tetapi juga antara
perwira yang profesional dan Saptamargais dengan para perwira yang berorientasi komersial.

3.7 Dampak Korupsi Terhadap Kerusakan Lingkungan
Kebanyakan manusia menempatkan lingkungan hidup hanya sebagai bahan eksploitasi
untuk tujuan jangka pendek. Kondisi ini tentu sangat medesak untuk segera dikendalikan. Perlu
diadakan suatu sistem yang konkrit untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup secara berkelanjutan. Jika tidak, kerusakan lingkungan hidup sudah pasti akan menjadi
ancaman besar bagi peradaban masyarakat dunia. Paradigma yang menempatkan lingkungan
sebagai obyek eksploitasi telah membawa kerusakan lingkungan fatal yang berujung kepada
berbagai bencana alam yang sangat merugikan. Hal ini pun dikuatkan oleh Emil Salim yang
menyimpulkan bahwa ada lima tantangan besar yang harus dihadapi gerakan penyelamatan
lingkungan hidup, diantaranya : pertama adalah penyelematan air dari eksploitasi secara
berlebihan dan pecemaran yang kian meningkat, baik air tanah, sungai, danau, rawa, maupun air
laut. Kedua, merosotnya kualitas tanah dan hutan akibat tekanan penduduk dan eksploitasi besarbesaran untuk keperluan pembangunan. Ketiga, menciutnya keanekaan hayati akibat rusaknya
habitat lingkungan berbagai tumbuh-tumbuhan dan hewan. Keempat, perubahan iklim, dan yang
terakhir adalah meningkatnya jumlah kota-kota berpenduduk banyak.
Melihat kerusakan lingkungan hutan yang begitu parah seharusnya sudah membuat
negara ini menindak dengan keras terhadap pelaku-pelaku kejahatan kerusakan lingkungan,
terutama yang disertai praktik KKN. Dalam praktik KKN di ranah lingkungan hidup yang patut
diwaspadai adalah para pelaku perusak lingkungan yang datang dari kalangan pemodal besar
seperti perusahaan-perusahaan besar yang terlibat di sektor kehutanan maupun pertambangan.
Hal ini ditegaskan oleh mantan wakil ketua KPK Chandra Hamzah dalam sebuah worksop
investigasi kasus lingkungan di Jakarta, dimana menurutnya, perusahaan-perusahaan yang
melakukan kerusakan terhadap alam umumnya sulit ditindak karena mereka mengantongi izin
usaha yang cukup. Karena itu menurutnya, yang perlu diwaspadai adalah proses kontrol

administrasi dalam pemberian izin sebelum perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi. Baik itu
izin usaha baik dari pemerintah daerah maupun dari pemerintah pusat. Lalu menurut beliau,
perusahaan-perusahaan kecil yang bergerak di bidang kehutanan namun pada RKAT tahun
berikutnya tercatat memiliki jumlah keuntungan yang sangat besar, maka patut dicurigai
perusahan tersebut mendapatkan hasil bukan dari pohon-pohon yang mereka tanam melainkan
dari hutan-hutan alam yang seharusnya tidak boleh ditebang.
Permasalahan yang terjadi, masyarakat kita kurang peduli akan kerugian ekologis ini,
seringkali pelaku-pelaku usaha yang menyebabkan kerusakan lingkungan hanya terfokus
mengenai ganti rugi terhadap penduduk setempat. Memang benar ganti rugi itu perlu bahkan itu
kewajiban mereka, namun ganti kerugian oleh para pelaku usaha jangan hanya sebatas ganti rugi
materi kepada manusia, namun juga kepada alam. Alam yang rusak tidak bisa diperbaiki hanya
dengan semalam perlu waktu berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin saja kerusakan tersebut
tidak akan bisa diperbaiki.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Semua bentuk korupsi dicirkan tiga aspek. Pertama pengkhianatan terhadap kepercayaan
atau amanah yang diberikan, kedua penyalahgunaan wewenang, pengambilan keuntungan
material ciri-ciri tersebut dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk korupsi yang mencangkup
penyapan pemersasn, penggelapan dan nepotisme
Kesemua jenis ini apapun alasannya dan motivasinya merupakan bentuk pelanggaran
terhadap norma-norma tanggung jawab dan menyebabkan kerugian bagi badan-badan negara dan
publik.
4.2 Saran
Dengan penulis makalah ini, penulis mengharapkan kepada pembaca agar dapat memilih
manfaat yang tersirat didalamnya dan dapat dijadikan sebagai kegiatan motivasi agar kita tidak
terjerumus oleh hal-hal korupsi dan dapat menambah wawasan dan pemikiran yang intelektual
hususnya dalam mata kuliah anti korupsi”.

DAFTAR PUSTAKA

MM.Khan. 2000. Political And Administrative Corruption Annota Ted Bibliography.
Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Yang Bersih Dan Bebas Dari Kolusi,
Korupsi Dan Nepotisme.
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantas Tindak Pidana.
http://forester-untad.blogspot.co.id/2014/05/makalah-dampak-tindakan-korupsi.html.
http://nothing-page.blogspot.co.id/2013/09/korupsi-data-makalah.html.