EKONOMI KESEJAHTERAAN ekonomi SYARIAH docx

1

EKONOMI KESEJAHTERAAN SYARIAH
M. SUYANTO
www.msuyanto.com

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.

Pengertian Ekonomi Kesejahteraan Konvensional dan
Ekonomi Kesejahteraan Syariah.

1.1.1. Pengertian Ekonomi Kesejahteraan Konvensional
Ekonomi Kesejahteraan merupakan cabang ilmu ekonomi yang menggunakan
teknik ekonomi mikro untuk menentukan secara serempak efisiensi alokasi dari
ekonomi makro dan akibat distribusi pendapatan yang berhubungan dengan itu
(O’Connel, 1982). Ekonomi kesejahteraan adalah kerangka kerja yang digunakan
oleh sebagian besar ekonom publik untuk mengevaluasi penghasilan yang
diinginkan masyarakat (Rosen, 2005:99). Ekonomi kesejahteraan menyediakan
dasar untuk menilai prestasi pasar dan pembuat kebijakan dalam alokasi

sumberdaya (Besley, 2002). Definisi ini merupakan seperangkat alokasi nilai guna
(utility) yang dapat dicapai dalam suatu subyek masyarakat terhadap kendala dari
citarasa dan teknologi.
Ekonomi kesejahteraan mencoba untuk memaksimalkan tingkatan dari
kesejahteraan sosial dengan pengujian kegiatan ekonomi dari individu yang ada
dalam

masyarakat.

Kesejahteraan

ekonomi

mempunyai

kaitan

dengan

kesejahteraan dari individu, sebagai lawan kelompok, komunitas, atau masyarakat

sebab ekonomi kesejahteraan berasumsi bahwa individu adalah unit dasar
pengukuran. Ekonomi kesejahteraan juga berasumsi bahwa individu merupakan

2

hakim terbaik bagi kesejahteraan mereka sendiri, yaitu orang-orang akan
menyukai kesejahteraan lebih besar daripada

kesejahteraan lebih kecil, dan

kesejahteraan itu dapat diukur baik dalam terminologi yang moneter atau sebagai
suatu preferensi yang relatif.
Kesejahteraan sosial mengacu pada keseluruhan status nilai guna bagi
masyarakat. Kesejahteraan sosial adalah sering didefinisikan sebagai penjumlahan
dari kesejahteraan semua individu di masyarakat. Kesejahteraan dapat diukur baik
secara kardinal yang dalam dollar (rupiah) atau “utils”, atau diukur secara ordinal
dalam terminology nilai guna yang relatif. Metoda kardinal adalah jarang
digunakan sekarang ini oleh karena permasalahan agregat yang membuat
ketelitian dari metoda tersebut diragukan. Ada dua sisi dari ekonomi
kesejahteraan, yaitu efisiensi ekonomi dan distribusi pendapatan. Efisiensi

ekonomi adalah positif lebih luas dan berhadapan dengan " ukuran dari kue".
Distribusi Pendapatan adalah jauh lebih normatif dan berhadapan dengan "
pembagian atas kue".
1.1.2. Pengertian Ekonomi Kesejahteraan Syariah
Ekonomi kesejahteraan konvensional hanya menekankan pada kesejahteraan
material saja, dengan mengabaikan kesejahteraan spiritual dan moral. Ekonomi
kesejahteraan syariah

bertujuan mencapai kesejahteraan manusia secara

menyeluruh, yaitu kesejahteraan material, kesejahteraan spiritual dan moral.
Konsep ekonomi kesejahteraan syariah bukan saja berdasarkan manifestasi nilai
ekonomi, tetapi juga nilai moral dan spiritual, nilai sosial dan nilai politik Islami.
Dengan demikian ekonomi kesejahteraan syariah mempunyai konsep lebih
komprehensif (Mannan, 1970:358).

3

Ekonomi kesejahteraan syariah dapat didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu
ekonomi yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu

alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang seirama dengan tujuan,
tanpa mengekang kebebasan individu, menciptakan keseimbangan makroekonomi
dan ekologi yang berkepanjangan, atau melemahkan solidaritas keluarga dan
sosial serta jaringan moral masyarakat. Tujuan mendorong kesejahteraan manusia
akan membantu menyediakan suatu arah yang tegas baik bagi pembahasan teoritis
maupun resep kebijakan (Chapra, 2001:108).

1.2.

Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan Konvensional dan
Ekonomi Kesejahteraan Syariah.

1.2.1. Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan Konvensional
Ada dua pendekatan yang dapat diambil terhadap ekonomi kesejahteraan,
yaitu pendekatan Neo-Klasik dan pendekatan ekonomi kesejahteraan yang baru.
Pendekatan Neo-klasik telah dikembangkan oleh Pigou, Bentham, Sidgwich,
Edgeworth, dan Marshall. Pendekatan Neo-Klasik berasumsi bahwa nilai guna
merupakan kardinal dan konsumsi tambahan itu menyediakan peningkatan yang
semakin kecil dalam nilai guna (diminishing marginal utility). Pendekatan NeoKlasik lebih lanjut berasumsi bahwa semua individu mempunyai fungsi nilai guna
yang serupa, oleh karena itu hal tersebut mempunyai makna untuk

membandingkan nilai guna individu dengan nilai guna milik orang lain. Oleh
karena asumsi ini, hal tersebut memungkinkan untuk membangun suatu fungsi
kesejahteraan sosial dengan hanya menjumlahkan seluruh fungsi nilai guna
individu.

4

Pendekatan ekonomi kesejahteraan yang baru didasarkan pada yang dikerjaan
oleh Pareto, Hicks, Kaldor, Boulding, Arrow, Robbin, Scitovsky, Galbrairh dan
Sen). Pendekatan ekonomi kesejahteraan yang baru dengan tegas mengenalkan
perbedaan antara bagian efisiensi dari disiplin dan bagian distribusi serta
memperlakukannya dengan cara yang berbeda. Pertanyaan dari efisiensi ditaksir
dengan ukuran-ukuran seperti efisiensi Pareto dan uji kompensasi Kaldor-Hicks,
sedangkan pertanyaan dari distribusi pendapatan dicakup di dalam spesifikasi
fungsi kesejahteraan sosial. Lebih lanjut, efisiensi tidak perlu memerlukan ukuran
kardinal nilai guna, nilai guna ordinal adalah cukup untuk analisis ini. Banyak
titik-tolak pemikiran ekonomi dapat diambil untuk membahas masalah welfare
(kemakmuran) dan welfare economics (ilmu ekonomi yang berorientasi
kemakmuran). The American Economics Association yang menempatkan Kenneth
Boulding sebagai salah satu pemikir ekonomi konpemtorer pada waktu itu,

bersejajaran dengan tokoh-tokoh lain seperti John Kenneth Galbraith, ragnar
Nurkse, Paul A. Samuelson, Wassly Lointief, Mozez Abramoritz, Andreas
Papandreou, Norman Buchanan, Paul Baran dan Milton Friedman. Lebih dari
setengah abad yang lalu, Howard S. Ellis dari University of California, Berkeley
selaku editor menerbitkan buku A Survey of Contemporary Economic I
(Homewood: Irwin, 1949) yang disponsori oleh The American Economics II terbit
pula dengan editor Prof. Bernard F. Haley dari Stanford University (Homewood:
Irwin 1952), yang juga disponsori oleh the American Economics Association.
Kedua jilid buku ini sebagai kesatuan boleh dibilang merupakan karya
monumental dalam pemikiran ekonomi. Setengah abad yang lalu itu masih
dengan tegas dikatakan oleh Kenneth Boulding bahwa the subject matter of

5

welfare economic, berbeda dengan lain-lain bentuk welfare, harus didekati dari
konsep harta atau “riches” ekonomi. Dengan pendekatannya ini ia lebih lanjut
memperkukuhkan konsepsi yang telah dikenal sebagai “social optimum”, yaitu
Paretian optimality (optimalitas ala Pareto dan Edgeworth), di mana economics
efficiency mencapai social optimum bila tidak seorangpun bisa lagi menjadi lebih
beruntung (better-off) tanpa membuat orang lain merugi (worse-off). Dalam pada

itu pemborosan (dalam konsepsi social optimum ini) masih terjadi bila seseorng
masih bisa menolong orang lain tanpa merugi. Apa yang dikemukakan Boulding
ini, dalam kaitan Vilfredo Pareto dan Francis Edgeworth, Alfried Marshall dan
A.C. Pigou, pada dasarnya adalah “old utilitarian” dan tidak terlepas dari
mekanisme perfect competition dalam pasar. Welfare dan competition menjadi dua
sejoli diangkat di sini sebagai paradigma klasikal oleh kaum Smithian. Inilah “old
welfare economics” yang berdasar pada utilitas, berorientasi harta atau kekayaan
ekonomi individu dan self-interest maximizalition, yang menegaskan tercapainya
Pareto

efficiency.

Dengan

demikian

“social

optimum”


semacam

ini

menggambarkan berlakunya institusi ekonomi berdasar paham individualisme dan
liberalisme ekonomi (Swasono,2005).
Efisiensi alokatif (allocative efficiency) sumber-sumber ekonomi ke
tingkat optimal yang menjadi titik tolak pemikiran kaum klasik Paretian ini (dan
kemudian juga neoklasik) ternyata tidak dengan sendirinya membawakan
kesejahteraan sosial (societal welfare). Bagaimanapun juga pareto efficiency tidak
membukakan kondisi untuk terbentuknya a good society (Sen, 2002) dan tidak
peka terhadap masalah distribusi. Welfare economics setengah abad yang lalu
berhenti di situ. Boulding kemudian dalam bukunya Economics as a Science

6

(1970) kurang lebihnya melepaskan pendapat awalnya tentang social optimum
yang sempit itu. Apa yang disebut sebagai “new welfare economics” mulai
muncul, kemudian menjadi “contemporerary welfare economics” sejak Kenneth
Arrow mengajukan “impossibility theorem”-nya, yaitu theorem yang ia

kembangkan sebagai upaya menggabungkan preferensi-preferensi masing-masing
anggota masyarakat menjadi preferensi sosial (social preference). Dari sini
ditunjukkan

secara

teoritis

bagaimana

sulitnya

menggabung

dan

mentransformasikan preferensi-preferensi individual menjadi preferensi sosial.
sepanjang yang saya ketahui Arrow-lah yang mengawali secara teoritikal proses
transformasi ini. Bila proses transformasi ini saya kaitkan dengan paham
kebersamaan (mutualisme, bukan individualisme). Kesimpulan saya demikian itu

karena dalam berpola interaksi sosial maka individu-individu sebagai makhluk
sosial akan berprilaku berdasar pada kaidah-kaidah nonekonomi yang lebih
kompleks. Dengan kata lain akan terjadi transformasi perilaku individu-individu
dalam pola interaksi sosial, bahkan mungkin terjadi transformasi mind-set,
terbentuk suatu coherent collective mind and behavior. Ada suatu possibility
teoritikal bila dari preferensi-preferensi individual. Preferensi sosial adal secara
independent, sebagai kehendak individu yang hidup bermasyarakat karena “rasa
bersama”. Di sinikah barangkali impossibility theorem-nya Arrow mendapatkan
sambungan dan bagi saya mengagumkan (Swasono,2005).
Sementara itu John Kenneth Galbraith, dengan mengemukakan pandangan
Sraffa (1926), John Robinson (1933) dan Chamberlain (1932) ikut menegaskan
bahwa persaingan (competition) patut diasumsikan sebagai tidak sempurna (non
perfect). Galbraith bisa memahami karya Arthur R. Burn The Decline of

7

Competition (1936) di mana elemen monopoli tidak lagi dipandang sebagai
sekedar kejadian sekali-kali eaktu ataupun deviasi dari persaingan bebas. Ia
berkesimpulan bahwa masalah kebijaksanaan monopoli sejak lama merupakan
masalah intellectual property of men whose faith is in competition. Sejak awal

(1950)

Galbraith

memprihatinkan

bahwa

perkembangan

monopoli

dan

konsentrasi merupakan penyalahgunaan (abuse) kekuasaan ekonomi. Dalam
bukunya The affluent Society (1958) ia menggambarkan keterdiktean konsumen
oleh iklan yang berlebih-lebihan. Iklan semacam itu merupakan pemborosan
sosial. selanjutnya secara konsisten ia membela kepentingan masyarakat luas
terhadap konsentrasi kekuatan ekonomi swasta, sebagaimana ia kemukakan
(1992) “…. The privatization of social services and public enterprises are aimed at
altering property relations and hence the distribution of wealrh and political power
toward the greater empowerment of the rich, big business, and the rentiers at the
cost of the underclass….”. (Privatisasi sarana-sarana dan perusahaanperusahaan negara bertujuan merubah hubungan-hubungan pemilikan dan
selanjutnya pula distribusi kekayaan dan kekuasaan untuk lebih memperkuat
posisi kelompok kaya, kalangan bisnis besar dan kaum pemupuk rente ekonomi
atas korban masyarakat bawah).
Setelah dengan sangat brilian dan teliti menggambarkan hubungan antara
welfare and competition (dianggap sebagi dua sejoli) akhirnya Tibor Scitovsky
mengemukakan melalui bukunya yang terkenal Welfare and Competition (1951),
bahwa competition memiliki berbagai kelemahan (shortcomings). Bila kaum
ekonom mengaggap peran kebijaksanaan ekonomi adalah mempertahankan
pekerjaan (employment) dan stabilitas harga (price stability), tugas negara adalah

8

mengobati kelemahan-kelemahan yang ada pada diri competition demi menjamin
welfare. Negara, menurut Scitovsky, harus menyediakan jasa-jasa yang
masyarakat secara kolektif dapat mengambil manfaat. Ia mendukung antitrust
legislation dan menolak aggressive competition yang bertujuan menegakkan
monopoli. Namun ia pada dasarnya tetap berkecenderungan memihak orde
kompetisi dan menghendaki pembatasan terhadap kontrol oleh negara.
Setelah Reder dan Samuelson melemparkan kritik terhadap welfare
economics-nya Boulding, Paul A. Baran lima tahun kemudian (1957) menegaskan
bahwa welfare economics barunya Reder dan Samuelson itu pun masih terbatas
pada masalah perlu tidaknya makna dan dimensi welfare di luar ekonomi an sich
perlu diperhitungkan. Baran secara kritis menunjukkan bahwa efisiensi ekonomi
memang memberikan kontribusi kepada human welfare berdasar kriteria bahwa
pada dirinya efisiensi ekonomi merupakan suatu orde sosial ekonomi yang hidup
di dalam masyarakat. Namun bagi Prof. Baran, posisi welfare economics yang
mengundang perdebatan teoritikal dan moral sesungguhnya terletak pada
melencengnya orde sosial ekonomi dari tujuan kehidupan ekonomi yang lebih
utuh dan mulia, dimana hubungan lembaga-lembaga ekonomi dan sosial pada
masyarakat kapitalis (yang mendewakan self interest, perfect individual liberty,
consumers’ sovereignty dan stelsel laissez faire itu) telah menghalangi tercapainya
well being masyarakat sebagai tujuan kehidupan ekonomi masyarakat yang utuh,
yaitu “… suatu masyarakat yang bebas dari keapatisan mental dan psikis (mental
and psychic stupor) yang diakibatkan oleh ideology kapitalis yang melumpuhkan
masyarakat miskin….”. Pada kesempatan ini Baran sempat mengungkit
keheranannya terhadap sikap John Stuart Mill, Alfred Marshall, K. Wicksell dan

9

A.C. Pigou yang terganggu oleh munculnya keraguan terhadap “the visible hand”.
Baran memuji F. Bastiat dan J.B. Clark yang menempatkan welfare berdasar
stelsel laissez faire sebagai “iron low” yang mengabaikan noble sentiments dan
high ethical standards para protagon yang menghendaki prinsip-prinsip ekonomi
yang sehat dalam orde ekonomi. Paretian optimum, kata Baran, mengundang
suatu pemikiran untuk reformasi sosial. sedang “The new economics”-nya
Keynes, meskipun dilihat oleh Baran (1952) sebagai dasar-dasar perencanaan
untuk mencapai full employment dalam sistem kapitalisme, telah menegaskan
tidak terjadinya otomatisme pasar atau tidak adanya mekanisme built in untuk
menjaga aggregate effective demand dalam mempertahankan full employment.
Namun Keynes tidak melihat kemerosotan aggregate demand itu sebagai masalah
struktural dalam alokasi sumber-sumber ekonomi.
Kita perlu pula mencatat apa yang dikemukakan oleh Abramovitz (1952),
bahwa “….Our interest in economic growth stems from, and is relevant to, our
interest in long term changes in economics welfare. But the two subjects are not
equivalents….” (Kepentingan kita pada pertumbuhan ekonomi bermula dari, dan
relevan dengan, kepentingan kita pada perubahan kesejahteraan ekonomi dalam
jangka panjang. Tetapi kedua subjek itu tidaklah sama). Dengan penegasannya ini
ia sepaham dengan Clark. Sampai saat ini kiranya masih berlaku, yaitu bahkan
saat ini banyak di antara kita yang berbicara mengenai growth namun
mengabaikan economic welfare pada tataran sosialnya (dalam dimensi societal
welfare).
Pandangan mengenai welfare economics, substansi dan dimensinya terus
makin berkembang, diawali antara lain oleh Robert A. Dahl dan Charles A.

10

Lindblom dalam buku

Politics, Political Economics and Welfare (1963).

Sementara itu, Oscar Lange melepaskan diri dari percaturan mengenai apakah
welfare economics hanya berdasar kriteria ekonomi sempit ataukah harus
mengandung nilai-nilai etikal, apakah welfare economics berlandaskan pada ilmu
ekonomi “positif” atau “normatif”, apakah berdasar pada proposisi “what there
is” atau “what there ought to be “. Lange menegaskan bahwa lingkup ilmu
ekonomi adalah menentukan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan ekonomi
yang telah ditentukan secara politik. Tujuan ekonomi yang ia maksudkan itu
adalah dalam tatarannya sebagai social preference dan social choice.
Dahl dan Lindblom menyayangkan bahwa istilah “political economy”
tidak bisa digunakan saat ini tanpa memainkan trik-trik mistik rohnya Adam
Smith, David Ricardo dan Stuart Mill. Berikut ini ia kemukakan dalam mengawali
bukunya yang terkenal itu : Dalam teori formal, ilmu politik dan ilmu ekonomi
acapkali dianggap sebagai kerabat jauh dan tidak begitu bicara satu sama lain.
Dahl dan Lindblom berusaha mencari jalan untuk menyatukan aspek-aspek
tertentu dari politik dan ekonomi ke dalam teori utuh yang konsisten. Pada ujud
pertamanya, pertanyaannya terpusat ke dalam masalah etika daripada masalah
ilmu. Kedua tokoh ini menegaskan bahwa tidak akan ada teori yang dapat
menyatukan ilmu politik dan ilmu ekonomi kecuali teori ini mengeksplisitkan
premis-premis sosiologi dan psikologi yang dikandung oleh masing-masing ilmu
politik dan ilmu ekonomi. Akhirnya dari situ perlu dapat ditarik suatu “rational
sosial action” untuk mencapai maksimisasi tujuan-tujuan good life, yang harus
dicapai dengan perjuangan melalui kalkulasi rasional dan control demokratis,
yaitu untuk meraih nilai-nilai dasar “freedom”, “equality” dan “progress”.

11

Makna welfare akhirnya bukan lagi sekedar tercapainya economic gain
secara optimal belaka. Efisiensi berdimensi sosial, politik, psikologi dan filosofi,
menjangkau tujuan humanisasi dan humanisme. Akhirnya dahl dan Lindblom
membuka jalan untuk suatu diskusi public yang lebih pelik, suatu yang open
ending dan mungkin akan makin membingungkan kaum ekonom konvensional.
Selanjutnya masalah welfare, lebih mengemuka lagi, setelah Amartya Sen
mengedepankan masalah etika dalam bukunya On Ethics and Economics
(Oxford : Basel Blakwell, 1987) dan demikian pula Amitai Etziomi, seorang
sosiolog terkemuka, dengan buku monumentalnya The Moral Dimensions:
Toward a New Economics (New York : Free Press, 1988).
Dalam relevansi dengan Orasi ini barangkali Hatta (negarawan), Baran
(idelog), Galbraith (reformis), Myrdal (reformis), Sen (ekonom), dan Etzioni
(sosilog) yang melihat bahwa preferensi sosial itu ada secara indpenden, di mana
individu-individu hidup di dalam suatu masyarakat sebagai kenyataan yang given.
Amartya Sen a.l. dalam bukunya Rationality and Freedom (Cambride: Berknap of
Harvard University Press, 2002), bertitik tolak dari social preference, social
choice dan impossibility theorem-nya Kenneth Arrow, menuju social welfare
judgements dan mekanisme social decision. Selanjutnya theorem-nya Arrow
makin berkembang canggih (memerlukan ketekunan dan kedalaman teoritikal
serta subtilitas nilai-nilai untuk memahaminya) berkat pencerahan lebih lanjut
oleh Sen, yang memberi makna lebih pada well being (kesejahteraan dalam arti
luas) dengan freedom (kebebasan) sebagai lawan dari unfreedom.
Welfare economic-nya Sen menjadi suatu gambaran dan proses rasional ke
arah melepaskan masyarakat dari hambatan untuk memperoleh kemajuan

12

(unfreedom) selanjutnya dengan mencari kriteria yang lebih luas (ecletic)
diharapkan dapat lebih memberi makna well being yang lebih mapan, dengan
ukuran-ukuran (performance criteria) barunya seperti “tingkat kehidupan” (levels
of living), “pemenuhan kebutuhan pokok” (basic needs fulfillment), “kualitas
kehidupan” (quality of life) atau “pembangunan manusia” (human development).
Sedangkan Bornstein secara normatif (“The Comparations of Economics System”,
1994) mengajukan “performance criteria” untuk social welfare yang makin luas,
sekaligus makin sulit menentukan batasannya, meliputi output, growth, efficiency,
stability, security, inequality dan freedom yang harus dikaitkan dengan suatu
social preference (Swasono,2005).
1.2.2. Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan Konvensional
Karena penekanan pada keadilan inilah, para fuqaha telah meletakkan sejumlah
qaidah ushul (legal maxim) yang dapat membantu merealisasikan kesejahteraan
untuk semua dalam cara yang seimbang dan adil. Diantara kaidah-kaidah ini
adalah sebagai berikut :


Suatu kerugian atau pengorbanan privat dapat ditimpakan untuk
menyelamatkan pengorbanan atau kerugian publik, dan suatu maslahat
yang lebih kecil dapat dikorbankan untuk merealisasikan maslahat yang
lebih besar



Suatu kerugian yang lebih besar dapt digantikan oleh kerugian yang lebih
kecil. Kemaslahatan mayoritas yang lebih

besar harus didahulukan

daripada kemaslahatan minoritas yang lebih sempit; kemaslahatan publik
harus dikedepankan daripada kemaslahatan privat.

13



Penghapusan

kesulitan

dan

bahaya

harus

didahulukan

daripada

mendapatkan kemaslahatan.


Bahaya harus dihilangkan sejauh mungkin.

Semua qaidah ushul di atas jelas bertentangan dengan konsep Pareto Optimal
yang tidak mengakui solusi apapun yang menuntut pengorbanan dari
sekelompok kecil (orang-orang kaya) untuk meningkatkan kesejahteraan yang
lebih banyak (orang-orang miskin). Karena itu, konsep ini dalam keadaan
apapun, tidak mungkin mendapatkan kedudukan tinggi dalam paradigma ilmu
ekonomi kesejahteraan syariah, seperti yang didapatkannya dalam ekonomi
kesejahteraan konvensional (Chapra, 2001:59).

1.3.

Pengertian Efisiensi Ekonomi Konvensional dan Efisiensi
Ekonomi Syariah

1.3.1. Pengertian Efisiensi Ekonomi Konvensional
Kebanyakan ahli ekonomi menggunakan efisiensi Pareto, sebagai tujuan
efisiensi mereka. Menurut ukuran ini dari kesejahteraan sosial, suatu situasi
adalah optimal hanya jika tidak ada individu dapat dibuat lebih baik tanpa
membuat orang lain lebih buruk. Kondisi ideal ini hanya dapat dicapai jika empat
kriteria dipenuhi. Rata-rata marginal substitusi dalam konsumsi harus identik
untuk semua konsumen ( tidak ada konsumen dapat dibuat lebih baik tanpa
membuat konsumen yang lain lebih buruk). Rata-rata transformasi di dalam
produksi harus identik untuk semua produk ( adalah mustahil meningkatkan
produksi setiap barang baik tanpa mengurangi produksi dari barang-barang yang
lain) Biaya sumber daya marginal harus sama dengan produk pendapatan marginal
untuk semua proses produksi (produk fisik marginal dari suatu faktor harus sama

14

dengan semua perusahaan yang memproduksi suatu barang) Rata-rata marginal
substitusi konsumsi harus sama dengan rata-rata marginal transformasi dalam
produksi. (proses produksi harus sesuai dengan keinginan konsumen) Ada
sejumlah kondisi-kondisi yang, kebanyakan ahli ekonomi setuju, boleh tidak
efisien

meliputi: struktur pasar yang tidak sempurna ( seperti monopoli,

monopsoni, oligopoli, oligopsoni, dan persaingan monopolistik) alokasi faktor
tidak efisien ( lihat dasar-dasar teori produksi), kegagalan pasar dan eksternalitas (
lihat juga biaya sosial), diskriminasi harga (lihat juga skimming harga),
penuruanan biaya rata-rata jangka panjang (lihat monopoli alami), beberapa jenis
pajak dan tariff. Untuk menentukan apakah suatu aktivitas sedang menggerakkan
ekonomi ke arah efisiensi Pareto, dua uji kompensasi yang telah dikembangkan,
setiap perubahan pada umumnya membuat sebagian orang lebih baik selagi
membuat orang yang lain tidak lebih buruk, maka uji ini menanyakan apa yang
akan terjadi jika pemenang mengganti kompensasi kepada yang kalah.
Menggunakan kriteria Kaldor suatu aktivitas akan memberi kontribusi untuk
Pareto optimal jika jumlah maksimum pemenang siap membayar lebih besar dari
jumlah minimum yang siap diterima oleh yang kalah.
Di bawah kriteria Hick, suatu aktivitas akan memberi kontribusi untuk
Pareto optimal jika sejumlah maksimum yang kalah disiapkan untuk menawarkan
kepada pemenang dalam rangka mencegah perubahan yang kurang dari sejumlah
minimum pemenang disiapkan untuk menerima sebagai uang suap untuk
membatalkan perubahan. Uji kompensasi Hick melihat dari sudut pandang yang
kalah, sedangkan uji kompensasi Kaldor melihat dari sudut pandang pemenang.
Jika kedua kondisi dapat memuaskan yang kalah maupun yang menang maka

15

baik pemenang maupun yang kalah akan setuju bahwa aktivitas yang diusulkan
akan menggerakkan ekonomi ke arah Pareto optimal. Ini adalah dikenal sebagai
efisiensi Kaldor-Hicks atau kriteria Scitovsky.
1.3.2. Pengertian Efisiensi Ekonomi Syariah
Efisiensi dalam pengertian Optimum Pareto yang netral nilai dan ekuilibrium
modern juga tidak muncul dalam literatur Islam. Ini tidak berarti bahwa konsep
efisiensi tidak dikenal. Konsep ini telah diidentifikasi dalam beberapa pengertian.
Salah satunya adalah dalam pengertian usaha untuk melakukannya yang terbaik.
Rasulullah saw. Menjunjung tinggi kualitas dengan menekankan ihsan kebaikan)
dan itqan (kesempurnaan). Beliau mengatakan,”Allah telah mewajibkan kamu
untuk berbuat baik (ihsan) dalam segala hal,” dan bahwa “Allah menyukai orang
yang melakukan pekerjaan, ia melakukannya dengan sempurna”. Upaya untuk
merealisasikan ihsan dapat melengkapi usaha melakukan itqan, dan keduanya
bersama-sama dapat membantu mewujudkan penggunaan sumber-sumber daya
manusia dan alam dengan cara yang paling efisien dan adil. Efisiensi juga perlu
dalam berbagai konteks sementara sumber-sumber daya tidak boleh disia-siakan
atau disalahgunakan karena adanya pertanggungjawaban kepada Tuhan. Menurut
salah satu nasihat Abu Yusuf kepada Harun ar-Rasyid, yang didasarkan pada
hadits, pertanggungjawaban ini berlaku bagi semua sumber daya, termasuk usia
manusia, ilmu, kekayaan, dan semua kemampuan fisiknya. Pertanggungjawaban
ini menuntut bahwa sumber-sumber daya dipergunakan untuk membantu
memaksimalkan kesejahteraan manusia. Pertanggungjawaban ini berlaku bagi
sumber-sumber daya, tidak pandang apakah itu SDM atau SDA, langka atau
melimpah, mengandung biaya atau gratis (Zarqa,1980:4).

16

Dengan demikian, penggunaan sumber-sumber daya yang paling efisien
dalam ilmu ekonomi konvensioanl dapat didefinisikan menurut Optimum Pareto,
sementara dalam suatu perekonomian Islam akan ditentukan berdasarkan
maqashid. Setiap penggunaan yang menggagalkan realisasi maqashid harus
dipandang sebagai kesia-siaan dan inefisiensi (Faridi,1983:40). Sebagai
contohnya, dalam ilmu ekonomi konvensional, konsep Optimum Pareto
membolehkan penghancuran kelebihan output jika hal ini memungkinkan pelaku
bisnis menahan penurunan labanya tanpa membuat konsumen menjadi lebih
buruk (kondisinya) karena naiknya harga. Namun, cara seperti ini tidak dapat
diterima dalam paradigma Islam karena perilaku seperti ini tidak hanya akan
merusak sumber-sumber daya yang telah disediakan oleh Allah sebagai suatu
bentuk amanah melainkan juga menimbulkan ketidakadilan kepada para
konsumen. Meskipun usaha mempertahankan harga pada tingkat sekarang tidak
dapat dibuat menjadi lebih bermanfaat jika kelebihan output tersebut tidak
dihancurkan, harga akan turun atau kelebihan itu dapat dibagikan kepada orangorang miskin. Begitu juga, waktu dan energi yang dipergunakan untuk shalat dan
berpuasa akan tampak sia-sia jika dipandang menurut kerangka materialisme,
karena hal itu akan menyebabkan, meskipun tidak selalu, penurunan output
sehingga menghambat maksimalisasi output dan laba. Namun, jika dipandang dari
sudut kontribusi si kaya yang akan dapat menciptakan character building dan
peningkatan spiritual serta kesejahteraan manusia, maka shalat dan puasa
sesungguhnya memiliki keunggulan positif. Barangkali karena alasan ini, dan
alasan lain, seperti yang ditunjukkan sebelumnya bahwa salah satu qaidah ushul
membolehkan penetapan suatu pengorbanan privat yang lebih sempit untuk

17

mendapatkan kemaslahatan public yang lebih besar. Umumnya para ulama
memandang bahwa syariat, dengan strategi dan nilai-nilai moral yang disediakan
untuk menanamkan nilai-nilai ini secara efektif dalam masyarakat, bukan saja
akan membantu menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi semua, melainkan juga
mendorong kemajuan manusia. Al-Mawardi mengindikasikan bahwa ajaran-ajaran
Islam telah terbukti menjadi fondasi yang solid bagi peningkatan dan stabilitas di
dunia. Ibnu Khaldun juga menekankan bahwa sebuah negara tidak dapat mencapai
kemajuan dan kekuatan kecuali dengan menerapkan syariat (Chapra, 2001:61).

1.4. Distribusi Pendapatan Konvensional dan Dstribusi
Pendapatan Syariah
1.4.1. Distribusi Pendapatan Konvensional
Ada banyak kombinasi dari nilai guna konsumen, dagan produksi, dan
kombinasi konsisten dari faktor input dengan efisiensi. Sesungguhnya, ada suatu
ketidak terbatasan dari konsumen dan keseimbangan produksi yang menghasilkan
Pareto optimal. Ada banyak optima yang merupakan titik batas berbagai
kemungkinan agregat produksi. Karenanya, efisiensi Pareto adalah dibutuhkan,
tetapi tak satu pun kondisi yang memenuhi untuk kesejahteraan sosial. Masingmasing Pareto optimal berhubungan dengan distribusi pendapatan yang berbeda
dalam ekonomi. Beberapa mungkin melibatkan ketidakseimbangan yang besar
dari pendapatan. Maka bagaimana cara kita memutuskan Pareto optimal yang
mana yang paling diinginkan? Keputusan ini dibuat, baik
maupun

secara diam-diam

secara terbuka, ketika kita menetapkan fungsi kesejahteraan sosial.

Fungsi ini berwujud keputusan nilai tentang nilai guna yang hubungan antar

18

pribadi. Fungsi kesejahteraan sosial adalah suatu cara secara matematika yang
menyatakan kepentingan relative individu-individu yang ada dalam masyarakat.
Suatu fungsi kesejahteraan nilai guna (juga disebut suatu fungsi
kesejahteraan Benthamite) menjumlahkan nilai guna dari tiap individu dalam
rangka memperoleh kesejahteraan keseluruhan masyarakat. Semua orang
diperlakukan yang sama, bukan masalah pada tingkat awal nilai guna mereka.
Satu unit nilai guna tambahan untuk seorang yang miskin tidaklah dilihat untuk
segala nilai lebih besar dibanding suatu unit tambahan dari nilai guna untuk
seorang jutawan yang mempunyai semua kekayaan yang ia pernah belanjakan.
Pada ekstrim yang lain adalah fungsi Max-Min yang diusulkan oleh John
Rawls. Menurut kriteria Max-Min, kesejahteraan maksimalkan jika nilai guna
anggota masyarakat itu yang mempunyai nilai guna paling kecil adalah yang
terbesar. Tidak ada kegiatan ekonomi akan meningkatkan kesejahteraan sosial
kecuali jika kegiatan itu meningkatkan posisi dari anggota masyarakat yang lebih
buruk (merugi). Kebanyakan ahli ekonomi menetapkan fungsi kesejahteraan
sosial itu adalah pertengahan antara dua ekstrim tersebut.
Fungsi kesejahteraan sosial adalah secara khas diterjemahkan ke dalam
kurva indiferens sedemikian rupa sehingga dapat digunakan di dalam ruang grafis
yang sama sebagai fungsi yang lain yang saling berhubungan. Suatu kurva
indiferens sosial nilai guna adalah

linier dan garis miring ke bawah yang

mengarah ke kanan. Kurva indiferens sosial Max-Min mengambil bentuk dari dua
garis lurus yang berpotongan sehingga membentuk suatu sudut 90 derajat. Suatu
kurva indiferens sosial yang digambar dari suatu fungsi kesejahteraan sosial
antara adalah suatu garis miring ke bawah yang mengarah ke kanan.

19

Bentuk antara dari kurva indiferensi sosial dapat ditafsirkan sebagai
peningkatan ketidakseimbangan, suatu peningkatan semakin besar nilai guna dari
individu yang secara relatif kaya diperlukan untuk mengganti kerugian nilai guna
dari individu yang secara relatif miskin. Suatu fungsi kesejahteraan sosial yang
kasar dapat dibangun dengan mengukur nilai dolar subyektif dari barang dan jasa
yang didistribusikan ke pemain di dalam ekonomi ( lihat juga surplus konsumen).
1.4.2. Distribusi Pendapatan Syariah
Beberapa alasan

yang menjadi dasar pemikiran distribusi pendapatan

diantara berbagai faktor produksi. Pertama, pembayaran sewa, umumnya pengacu
pada pengertian surplus yang diperoleh suatu unit tertentu dari suatu factor
produksi melebihi jumlah

minimum yang diperlukan untuk mempertahankan

factor itu dalam posisi yang sekarang, tampaknya hal ini tidaklah bertentangan
dengan jiwa Islam. Dijelaskan bahwa sewa dan bunga sangatlah berbeda.
Kedua, perbedaan upah akibat perbedaan bakat dan kesanggupan diakui
oleh Islam. Syarat-syarat pokonya ialah para majikan tidak akan mengisap para
pekerja dan dia harus membayar hak mereka sedangkan para pekerja tidak akan
mengeksploitir majikan mereka melalui serikat buruh, dan mereka juga harus
melaksanakan tugasnya dengan tulus dan jujur.
Ketiga, terdapat kontroversi antara riba dan bunga. Tapi bila arti riba
dipandang dalam perspektif sejarahnya tepat, tampaknya tidak ada perbedaan
antara riba dan bunga. Suatu survai singkat tentang semua teori modern mengenai
bunga mengungkapkan bahwa para ahli ekonomi tidak berhasil menemukan
jawaban yang jelas mengapa bunga harus dibayar. Di pihak lain teori Islam
tentang modal mengakui bahwa bagian modal dalam kekayaan nasional hanyalah

20

sejauh sumbangan yang akan ditentukan sebagai persentase berubah dari laba
daripada suatu persentase yang ditetapkan dari modal itu sendiri. Penulis cukup
yakin bila para pemimpin kaum Muslimin melakukan upaya yang tulus, maka
sangatlah mungkin untuk memiliki perekonimian yang bebas bunga. Tidak dapat
disangkal lagi bahwa

karena

bungalah

tumbuh kapitalisme dengan segala

kejahatan yang menyertainya dalam masyarakat. Bunga menimbulkan masalah
pengangguran, memperlambat proses kepulihan depresi menyebabkan masalah
pelunasan utang bagi negeri-negeri terbelakang, juga menghancurkan prinsip
pokok kerja sama, saling bantu, dan

menjadikan orang mementingkan

diri

sendiri.
Keempat, Islam memperkenankan laba biasa – bukan laba monopoli atau
laba yang timbul dari spekulasi. Akhirnya, telah kami jelaskan beberapa prinsip
yang umumnya diterima dari hukum waris Islam, yang dewasa ini merupakan
suatu system tetap, ilmiah dan indah lagi harmonis. Sumbangan paling positif
dari hukum waris Islam ialah bahwa ia mengakui peran serta wanita dalam proses
kegiatan ekonomi yang rumit.

1.5. Maksimalisasi Kesejahteraan Sosial Konvensional dan
Kesejahteraan Sosial Syariah
1.5.1. Maksimalisasi Kesejahteraan Sosial Konvensional
Masalah ekonomi kesejahteraan dasar adalah untuk menemukan suatu fungsi
kesejahteraan sosial maksimum secara teoritis, tunduk kepada berbagai kendala
seperti status dari teknologi dalam produksi, sumber alam yang yang tersedia,
infrastruktur

nasional, dan kendala perilaku seperti maksimalisasi nilai guna

konsumen dan maksimalisasi keuntungan produsen. Di ekonomi kemungkinan

21

yang paling sederhana ini bisa dilakukan dengan memecahkan tujuh penyamaan
secara serempak. Dalam persamaan Ekonomi yang sederhana ini misalnya hanya
mempunyai dua konsumen ( konsumen 1 dan konsumen 2), hanya dua produk
( produk X dan produk Y), dan hanya dua faktor-faktor produksi yaitu tenaga
kerja (L) dan modal (K)). Model dapat dinyatakan sebagai berikut :
Memaksimalkan kesejahteraan sosial: W=F(U1 U2) tunduk kepada terhadap
kendala : K= Kx+ Ky (Jumlah modal yang digunakan untuk produksi dari barang
X dan Y)
L= Lx+ Ly (Jumlah tenaga kerja yang digunakan di produksi barang X dan Y)
X= X(Kx Lx) ( Fungsi produksi untuk produk X)
Y= Y(Ky Ly) ( Fungsi produksi untuk produk Y)
U1= U1(X1 Y1) ( Preferensi (pilihan) dari konsumen 1)
U2= U2(X2 Y2) ( Preferensi dari konsumen 2)
Solusi masalah tersebut menggunakan Pareto Optimum. Contoh yang
realistis adalah menggunakan jutaan konsumen, jutaan produk dan beberapa
faktor produksi, tetapi persamaan matematiknya sangat kompleks. Juga,
menemukan sebuah solusi terhadap sebuah fungsi abstrak yang tidak secara
langsung menghasilkan sebuah rekomendasi kebijakan. Dengan kata lain,
pemecahan sebuah persamaan tidak memecahkan permasalahan sosial. Meskipun
demikian, sebuah model seperti yang telah disebutkan di atas dapat dipandang
sebagai sebuah argumen yang memecahkan sebuah persoalan sosial (seperti
pencapaian distribusi pareto optimal dari kekayaan) merupakan paling tidak dapat
memungkinkan secara teori.

22

Hubungan antara Produksi dan Konsumsi dalam sebuah model 7 persamaan
sederhana (model 2x2x2) dapat ditunjukkan secara grafik. Dalam Gambar 1.1,
batas yang mungkin produksi agregat, diberi label PQ menunjukkan seluruh titik
dari efisiensi dalam produksi barang X dan Y.

Jika ekonomi menghasilkan

kombinasi barang X dan Y ditunjukkan di titik A, kemudian rata-rata marginal
transformasi (MRT), X funtuk Y sama dengan 2.

Gambar 1.1.
Efisiensi Produksi dan Konsumsi

Titik A mendefinisikan sebuah diagram kotak Edgeworth dari konsumsi. Itu
merupakan kombinasi yang sama dari produk yang diproduksi di titik A, dapat
dikonsumsi oleh dua konsumen dalam ekonomi yang sederhana. Preferensi relatif
konsumen ditunjukkan oleh kurva indeferen di dalam kotak Edgeworth. Di titik B

23

rata-rata narginal substitusi (MRS) sama dengan 2, sementara di titik C rata-rata
marginal substitusi sama dengan 3. Hanya di titik B konsumsi seimbang dengan
produksi (MRS=MRT). Kurva 0BCA di dalam kotak Edgeworth (kadangkala
disebut sebuah kurva kontrak) mendefinisikan tempat titik-titik efisiensi dalam
konsumsi (MRS1=MRS2). Sebagaimana yang kita bergerak sepanjang kurva, kita
mengubah kobinasi barang X dan Y yang individu 1 dan individu 2 memilih untuk
mengkonsumsi. Data nilai guna yang menghubungkan dengan masing-masing
titik pada kurva ini dapat digunakan untuk membuat fungsi nilai guna. Fungsi
nilai guna (utility function) dapat diturunkan dari titik-titik pada kurva kontrak
(contract curve). Beberapa fungsi nilai guna dapat diturunkan, satu untuk masingmasing titik pada garis batas kemungkinan produksi (pada diagram di atas PQ).
Sebuah garis batas nilai guna (juga disebut sebuah garis batas nilai guna utama)
dapat diperoleh dari selubung luar seluruh fungsi nilai guna ini. Masing-masing
titik pada sebuah garis batas nilai guna sosial menggambarkan suatu alokasi
efisiensi sumberdaya ekonomi yang merupakan Pareto optimal dalam alokasi
faktor produksi, konsumsi dan interaksi produksi dan konsumsi (permintaan dan
penawaran).
Pada Gambar 1.2, kurva MN merupakan sebuah garis batas nilai guna sosial.
Ttitik D berhubungan dengan titik B dari diagram sebelumnya. Titik D ada pada
garis batas nilai guna sosial karena rata-rata marginal substitusi pada titik B sama
dengan rata-rata marginal transformasi di titik A. Titik E berhubungan dengan titik
C dalam diagram sebelumnya dan terletak di dalam garis batas nilai guna sosial
(menunjukkan inefisien) karena MRS pada titik C tidak sama dengan MRT pada
titik A. Meskipun seluruh titik pada garis batas nilai guna sosial utama merupakan

24

efisiensi Pareto, hanya satu titik yang menunjukkan kesejahteraan sosial
maksimum. Titik tersebut adalah titik Z (kadangkala disebut titik kebahagiaan)
dimana garis batas nilai guna sosial MN menrupakan tangent terhadap kurna
indiferen sosial yang mungkin yang tertinggi yang diberi label SI.

Gambar 1.2.
Maksimalisasi Kesejahteraan Sosial

1.5.2. Maksimalisasi Kesejahteraan Sosial Syariah
Banyak yang meragukan apakah sebuah fungsi nilai guna kardinal (atau
fungsi kesejahteraan social kardinal) adalah sembarang nilai. Bagaimana Anda
menjumlahkan nilai guna beberapa orang yang mempunyai nilai guna marginal
uang yang berbeda (kaya dan miskin)? Beberapa tetap meragunak nilai dari

25

fungsi nilai guna ordinal. Mereka telah mengusulkan pengertian lain dari
pengukuran “well-being” sebagai suatu alternative untuk menetan indeks harga,
fungsi “ketidakmauan untuk membayar” dan ukuran yang berorientasi pada harga
lain. Ukuran yang berbasis pada harga ini terlihat sebagai peningkatan
konsumerisme dan produktivisme dengan banyak. Ukuran yang berbasis pada
harga akan dicatat bahwa

itu mungkin untuk melaksanakan ekonomi

kesejahteraan tanpa menggunakan harga , meskipun ini tidak selalu dilaksanakan.
Secara eksplisit asumsi nilai dalam fungsi kesejahteraan dan seca implicit
dalam pemilihan criteria efisiensi, membuat ekonomi kesejahteraan bidang yang
sangat subyektif dan normatif. Ini dapat membuat controversial. Jika asumsiasumsi nilai ini tersembunyi atau diterima secara tidak kritis, ekonomi kesejahtn
akan menjadi berbahaya. Teknik ekonomi kesejahteraan merupakan pegangan
untuk posisi awal permulaan. Maksimalisasi kesejahteraan merupakan optimum
secara relatif terhadap posisi awal permulaan.
Dalam salah satu doanya, Rasulullah saw. Memohon perlindungan kepada
Allah dari ilmu yang tidak bermanfaaat. Mengacu kepada doa ini, tes untuk
menentukan keberhasilan dan kegagalan suatu cabang ilmu pengetahuan adalah
sejauh mana konmtribusi langsung atau tidak langsung dari sains tersebut
terhadap realisasi kesejahteraan manusia yang secara jelas merupakan target
maqashidusy syariah yang akan dibahas dalam bab ini. Ilmu ekonomi pun tidak
dikecualikan. Sekalipun ilmu ekonomi Islam akan tetap berkonsentrasi pada aspek
alokasi dan distribusi sumber-sumber daya, persis seperti ilmu ekonomi
konvensional, namun tujuan utamnya hatus merealisasikan maqashid. Hal ini akan
mengesampingkan kemungkinan melihat tiap-tiap ekulibrium pasar sebagai

26

keadaan optimum. Hanya ekuilibrium pasar yang harmoni, atau apaling tidak
mengandung konflik dengan maqashid yang dapat dipandang sebagai optimum
dan bisa diterima. Mengingat optimum Pareto selalu dikaitkan dengan tiap-tiap
ekulibrium pasar, maka perlu menggantikannya dengan konsep optimum Islam,
yang berarti bahwa ekulibrium pasar yang merefleksikan realisasi serentak tingkat
optimalitas aspek efisiensi dan pemerataan yang selaras dengan maqashid.
Suatu perekonomian dapat dikatakan telah mencapai tingkat efisiensi
optimum jika telah mampu menggunakan keseluruhan potensi sumberdaya
material dan manusianya dalam suatu cara di mana barang dan jasa yang
memenuhi kebutuhan dapat diproduksi dalam jumlah maksimal dengan tingkat
stabilitas ekonomi yang masuk akal dan dengan laju pertumbuhan masa depan
yang

berkesinambungan.

Uji

untuk

efisiensi

demikian

terletak

dalam

ketidakmampuan untuk mencapai suatu keadaan yang secara sosial lebih dapat
diterima tanpa menciptakan ketidakseimbangan makroekonomi dan ekologi yang
berkepanjangan atau tanpa merusak institusi keluarga dan keharmonisan sosial
atau jaringan moral masyarakat. Suatu perekonomian dapat dikatakan telah
mencapai pemerataan (keadilan) optimal jika barang dan jasa yang diproduksi
dapat didistribusikan dalam suatu cara di mana kebutuhan individu (tanpa
memandang apakah mereka kaya atau miskin, pria atau wanita, muslim atau
nonmuslim) dapat dipenuhi secara memadahi dan juga terdapat distribusi
kekayaan dan pendapatan yang adil tanpa berdampak buruk pada motivasi kerja,
menabung, investasi dan melakukan usaha (Chapra, 2001:100).
1.6. Mengukur Kesejahteraan Sosial Konvensional dan

Kesejahteraan Sosial Syariah

27

1.6.1. Mengukur Kesejahteraan Sosial Konvensional
Bagaimana kesejahteraan diukur ? Ini tidak adak jawaban yang telah
disepakati terhadap pertanyaan tersebut baik dalam disiplin ataupun lintas disiplin
tersebut. Meskipun demikian ada dua pendekatan untuk mengukur kesejahteraan
tersebut, yaitu pendekatan pengukuran secara obyektif dan pendekatan
pengukuran secara obyektif.
Sebagian besar yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan ekonomi
adalah pendapatan nyata rumah tangga yang dimiliki orang, yang disesuaikan
dengan perbedaan ukuran rumah tanggga dan komposisi demografi (Ravallion
dan Lokshin, 2000). Ini dapat didefinisikan sebagai pendapatan total rumah
tangga dibagi dengan

sebuah garis kemiskinan yang memberikan biaya dari

tingkat nilai guna (utility) beberapa referensi pada harga yang berlaku dan
demografi rumah tangga. Di bawah kondisi tertentu, rasio ini dapat
diintepretasikan sebagai metrik uang yang nyata dari nilai guna yang
mendefinisikan konsumsi yang lebih (Blackorby dan Donaldson, 1987).
Praktek yang standar adalah mengkalibrasi fungsi biaya dari perilaku
permintaan konsumen. Parameter-parameter fungsi biaya adalah dapat dikenali
secara umum dari perilaku permintaan pada saat atribut-atribut rumah tangga
berubah (Pollack dan Wales, 1979).

Masalah ini masih mengganggu jika

diaplikasikan dalam dunia nyata dan intepretasi kebijakan data pada kesejahteraan
ekonomi meliputi profil kemiskinan mengarahkan untuk memberikan ukuran
kemiskinan yang konsisten melwati subkelompok dari masyara.
Organisasi-organisasi internasional menggunakan indikator kualitas hidup
untuk mengevaluasi dan membandingkan kinerja sosio-ekonomi negara Misalnya

28

yang terkenal adalah Human Development Index dari United Nations. Untuk
membangun masing-masing indeks, membutuhkan subindikator untuk dipilih.
Pilihan ini bergantung pada dimensi yang dipertimbangkan relevan, misalnya
pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan pendapatan (Carbonell,2002).
Beberapa ekonom telah mengubah data pada persepsi kesejahteraan itu
sendiri sebagai sumber informasi tambahan untuk merlakukan idendifikasi. Ada
beberapa pendekatan, Van Praag (1968,1971) memperkenalkan the Income
Evaluation Question (IEQ) yang bertanya apakah pendapatan dianggap “sangat
jelek”,”jelek”, “tidak baik”, “tidak jelek”,”baik”, dan “sangat baik”. Metode yang
lain didasarkan pada the Minimum Income Question (MIQ) yang bertanya apakah
pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar mencukupi.
Garis kemiskinan subyektif dapat dikalibrasikan terhadap jawaban
(Kapteyn, 1988). Dengan pendekatan ini, indikator kesejahteraan masih diambil
untuk mengukur pendapatan secara obyektif atau pengeluaran yang dinormalisasi
dengan (subyektif) garis kemiskinan. Carbonell (2000), menggunakan Subjective
Well-Being (SWB) atau General Satisfaction (GS) individu untuk menjawab
pertanyaan kesejahteraan subyektif. Welfare menggambarkan kepuasan individu
dalam arti yang sempit, yaitu kepuasan financial, sedangkan well-being
merupakan kepuasan individu dalam arti yang luas, yaitu kepuasan individu
dalam kehidupan. Tanggapan terhadap pertanyaan subyektif mengenai kepuasan
dengan domain yang kongkrit dari kehidupan merujuk pada Domain Satisfactions
(DS), yang dalam literature ekonomi terdiri dari Financial Satisfaction (FS), Job
Satisfaction (JS) dan Health Satisfaction (HS).
1.6.2. Mengukur Kesejahteraan Sosial Ekonomi Syariah

29

Kelemahan dari konsep Pareto Optimal adalah tidak dapat digunakan untuk
memecahkan masalah-masalah soial yang mendasar dari distribusi dan
redistribusi. Islam sangat memperhatikan masalah-masalah social ini. Ekonomi
kesejahteraan konvensional pada saat mempunyai masalah dalam alokasi dan
mencoba memecahkan masalah alokasi tersebut berdasarkan pada pertimbangan
nilai yang berubah-ubah dari alokasi tersebut. Pertimbangan nilai yang berubahubah tersebut berlaku pada fungsi kesejahteraan konvensional. Pengertian ini
bukan dasar yang kokoh dari ilmu ekonomi kesejahteraan (Chowdhury,1999).
Tetapi pertimbangan moral dan sosial dalam Islam yang saling berhubungan harus
mencakup pertimbangan nilai yang dikandung Al-Qur’an. Fungsi kesejahteraan
semacam ini hanya dibatasi pada masyarakat Islam. Jika para ekonom tidak
mengetahui bagaimana membedakan antara berkembang dan kurang berkembang
yang dihasilkan dari sebuah perubahan kebijakan yang seharusnya terhadap
keputusan investasi baru, maka keputusan tersebut tidak dapat memberikan setiap
rekomendasi mengenai setiap alokasi sumberdaya.

Ini tidak ada cara yang

mempertimbangkan hasil bersih yang berdasarkan prioritas obyektif meskipun
masalah perbandingan antar personal. Hanya merupakan jalan keluar berupa
rumusan dari seperangkat pertimbangan nilai secara eksplisit yang memungkinkan
para analis untuk mengevaluasi keputusan investasi yang berdasarkan pada
kriteria kesejahteraan. Prinsip syariah akan menyediakan dasar untuk membuat
alokasi, produksi dan distribusi secara adil dan sah. Oleh karena itu, prinsip
syariah merupakan penting sekali untuk mengelompokkan kriteria umum yang
akan membantu untuk membangun peringkat nilai guna (utility) dari kombinasi
yang berbeda dari barang yang dikonsumsi oleh anggota masyarakat Islam. Peta

30

indeference pada keputusan individu didasarkan barangkali dianggap sebagai
fungsi kesejahteraan social dan moral Islam (Manna, 1984).
Konsep nilai guna dalam Islam merupakan sebuah konsep yang lebih luas
daripada konsep nilai guna dalam ekonomi kesejahteraan konvensional.
(maslahah-al-Ibad). Bentuk maslahah merujuk pada kesejahteraan yang luas dari
manusia. Menurut Al-Shatibi, maslahah merupakan kepenilikan atau kekuatan
barang atau jasa yang menguasai elemen dasar dan sasaran kehidupan manusia di
dunia. Ada lima elemen dasar kehidupan di dunia, yaitu kehidupan (al-nafs),
kepemilikan (al-mal), kebenaran (ad-din), kecerdasan (al-aql) dan keturunan (alnasl). Semua barang dan jasa yang mempunyai kekuatan untuk menaikkan lima
elemen dasar ini yang dikatakan mempunyai maslahah dan barang dan jasa yang
mempunyai maslahah akan dinyatakan sebagai kebutuhan. Keinginan dalam
ekonomi konvensional ditentukan oleh konsep nilai guna sementara kebutuhan
dalam Islam ditentukan oleh konsep maslahah (Khan, 1989).
Konsep barang juga berbeda dalam Islam. Dalam Islam barang merupakan
karunia yang terbaik dari Tuhan pada manusia. Menurut Al-Qur’an barang
konsumsi adalah barang yang melambangkan nilai moral dan ideologi mereka
(manusia). Dalam Al-Qur’an, barang dinyatakan dalam dua istilah, yaitu altayyibat dan al-rizq. Kata al-tayyibat digunakan 18 kali, sedangkan kata al-rizq
digunakan 120 kali dalan Al-Qur’an. Al-tayyibat merujuk pada suatu yang bail,
suatu yang murni dan baik, sesuatu yang bersih dan murni, sesuatu yang baik dan
menyeluruh serta makanan yang terbaik. Al-rizq

merujuk pada makanan yang

diberkahi Tuhan, pemberian yang menyenangkan dan ketetapan Tuhan (Ali,
1975). Menurut Islam, barang konsumen adalah berdaya guna, materi yang dapat

31

dikonsumsi yang bermanfaat yang bernilai guna yang menghasilkan perbaikan
material, moral, spiritual bagi konsumen. Sesuatu yang tidak berdaya guna dan
dilarang dalam Islam bukan merupakan barang dalam pengertian Islam. Dalam
barang ekonomi konvensional adalah barang yang dapat dipertukarkan. Tetapi
barang dalam Islam adalah barang yang dapat dipertukarkan dan berdaya guna
secara moral (Choudhury, 1991).
Kriteria kesejahteraan akan bekerja dalam kondisi untuk memilih di antara
proyek-proyek investasi yang berbeda untuk mengalokasikan sumberdaya dengan
dasar Syariah secara Islam. Memanglah, sebagian besar kriteria ini tumpang
tindih satu dengan yang lainnya.

Meskipun, kriteria yang diseb