pesona kur mengatasi kemiskinan (2)

TEKANAN KEMISKINAN KOMUNITAS NELAYAN TRADISIONAL
DIPERKOTAAN

(Kemiskinan di wilayah pesisir perkotaan memicu destructive fishing)
Disusun oleh

Sukardi
1. Pendahuluan
Secara umum, yang disebut nelayan tradisional adalah nelayan yang
memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional,
modal usaha yang kecil, dan organisasi penangkapan yang relatif sederhana.
Dalam kehidupan sehari-hari, nelayan tradisional lebih berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan sendiri, dalam arti hasil alokasi hasil tangkapan yang dijual
lebih banyak dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari,
khususnya pangan, dan bukan diinvestasikan kembali untuk pengembangan skala
usaha. Berbeda dengan nelayan modern yang seringkali mampu merespon
perubahan dan lebih fleksibel dalam menyiasati tekanan perubahan dan kondisi
over fishing. Nelayan tradisional seringkali justru mengalami proses marginalisasi
dan menjadi korban dari program pembangunan dan modernisasi perikanan yang
sifatnya historis. Akibat keterbatasan teknologi yang dimiliki, ruang gerak nelayan
tradisional umumnya sangat terbatas, mereka hanya mampu beroperasi di perairan

pantai. Kegiatan penangkapan ikan dilakukan dalam satu hari sekali melaut (one
day a fishing trip), beberapa contoh nelayan yang termasuk tradisional adalah
nelayan jukung, nelayan pancingan, nelayan udang, nelayan pengumpul kerang
dan sebagainya.
Sejak terjaninya krisis merambah ke berbagai wilayah tahun 1998 sampai
saat ini, nelayan tradisional boleh dikatakan adalah kelompok masyarakat pesisir
yang paling menderita dan merupakan korban pertama dari perubahan situasi
sosial ekonomi yang terkesan tiba-tiba, namun berkepanjangan. Dalam pandangan
sosiologi bahwa apa yang dapat dilakukan nelayan tradisional untuk bertahan dan
melangsungkan kehidupannya, jika dari hari ke hari potensi ikan di luat makin
langka karena cara penangkapan yang berlebihan (Over Fishing) dengan hanya
mengandalkan pada perahu tradisional dan alat tangkap ikan yang sederhana, jelas
para nelayan tradisional ini tidak akan pernah mampu bersaing dengan nelayan
modern yang didukung perangkat yang serba canggih dan kapal besar yang
memiliki daya jangkau yang jauh lebih luas.
Salah satu paradigma pembangunan yang banyak dianut adalah paradigma
modernisasi. Agen pembangunan internasional dan pemerintah negara
berkembang, menjadikan paradigma ini sebagai acuan otoritatif di dalam
melaksanakan sebagai bagian integral dari pembangunan ekonomi secara
keseluruhan. Indonesia sejak tahun 1966, dalam proses pembangunannya,

paradigma ini juga turut merasuk ke hampir semua sektor kehidupan (Sasono,
1980), termasuk dibidang perikanan dan kelautan (revolusi biru). Istilah revolusi
biru (modernisasi perikanan) merupakan turunan dari revolusi hijau pada sektor
1

pertanian, yang awal mulanya dilakukan melalui introduksi teknologi baru dalam
kegiatan perikanan (motorisasi dan inovasi alat tangkap).
Secara teoritis modernisasi yang terjadi melalui kapitalisasi (peningkatan
arus modal dan teknologi), akan berpengaruh terhadap perubahan struktur sosial
masyarakat. Peningkatan kebutuhan spesialisasi pekerjaan atau tumbuhnya
pekerjaan-pekerjaan baru dengan posisi baru dalam struktur sosial masyarakat
akan memainkan peranan-peranan sosial tertentu sesuai dengan tuntutan
statusnya. Struktur-strukrur yang baru ini membawa sejumlah implikasi.
Modernisasi perikanan (blue revolution) yang telah berlangsung selama ini
tidak dapat dipungkiri mengakibatkan banyak perubahan dalam kehidupan sosial
ekonomi nelayan. Tetapi tidak semua lapisan masyarakat nelayan dapat menikmati
berkah modernisasi perikanan tersebut, terkait dengan ketersediaan modal
ekonomi yang ada. Menurut Kusnadi (2002), setelah seperempat abad kebijakan
modernisasi perikanan dilaksanakan tingkat kesejahteraan hidup nelayan tidak
banyak berubah secara substantif, yang terjadi justru sebaliknya, yakni

melebarnya kesenjangan sosial ekonomi antar kelompok sosial dalam masyarakat
nelayan dan meluasnya kemiskinan yang menjadi Fenomena Kemiskinan
Masyarakat Pesisir.
Pengalaman selama ini telah menunjukkan bahwa tidak mudah mengatasi
kemiskinan struktural yang membelenggu nelayan tradisional di berbagai segi
kehidupan. Kesulitan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan tradisional,
selain dipengaruhi sejumlah kelemahan internal, juga karena pengaruh faktor
eksternal. Keterbatasan pendidikan, kurangnya kesempatan untuk mengakses dan
menguasai teknologi yang lebih modern, dan tidak dimilikinya modal yang cukup
adalah faktor-faktor internal yang seringkali menyulitkan usaha-usaha untuk
memberdayakan kehidupan para nelayan tradisional. Di sisi lain, sejumlah faktor
eksternal, seperti makin terbatasnya potensi sumber daya laut yang bisa
dimanfaatkan nelayan, persaingan yang makin intensif, mekanisme pasar, posisi
tawar nelayan di hadapan tengkulak, keadaan infrastruktur pelabuhan perikanan,
dan yurisdiksi daerah otonomi adalah beban tambahan yang makin memperparah
keadaan.
Menurut Satria (2002) dan Suyanto (2003); bahwa tekanan kemiskinan
struktural yang melanda kehidupan nelayan tradisional, sesungguhnya disebabkan
oleh faktor-faktor yang kompleks. Faktor-faktor tersebut tidak hanya berkaitan
dengan fluktuasi musim-musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia, modal

serta akses, jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai
produsen, tetapi juga disebabkan oleh dampak negatif modernisasi perikanan atau
Revolusi Biru yang mendorong terjadinya pengurasan sumber daya laut secara
berlebihan. Proses demikian masih terus berlangsung hingga sekarang dan
dampak lebih lanjut yang sangat terasakan oleh nelayan adalah semakin
menurunnya tingkat pendapatan mereka dan sulitnya memperoleh hasil
tangkapan.
Menurut Kusnadi (2002); bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial
ekonomi atau ketimpangan pendapatan merupakan persoalan krusial yang
dihadapi dan tidak mudah untuk diatasi. modernisasi perikanan selain
menyebabkan terjadinya proses marginalisasi nelayan tradisional dan nelayan
kecil, kebijakan ini juga telah mendorong timbulnya situasi overfishing di
sejumlah kawasan perairan. Gejala demikian dan tidak terkontrolnya penggunaan
2

peralatan tangkap yang bisa merusak kelestarian lingkungan telah menimbulkan
kompetisi yang semakin ketat dalam memperebutkan sumber daya perikanan,
sehingga ujung-ujungnya bisa ditebak, yaitu konflik menjadi terbuka, pembakaran
kapal trawl terjadi di berbagai perairan, kesenjangan sosial ekonomi makin
menjadi-jadi, dan kemiskinan bertambah meluas di kawasan pesisir.

Nelayan perkotaan nasibnya lebih parah dibandingkan dengan nelayan
yang berada di pedesaan, karena nelayan perkotaan seringkali selalu dalam posisi
yang terpinggirkan dalam program pembangunan kota, dengan alasan bukan
merupakan jenis pekerjaan yang mayoritas dilakukan oleh penduduk kota.
Keadaan ini justru memperparah kemiskinan para nelayan kota, sehingga mereka
terperangkap dalam kubangan kemiskinan. Tekanan-tekanan kemiskinan nelayan
tradisional di perkotaan, seringkali strategi dan program pemerintah tidak
berpihak kepada komunitas nelayan tradisional.

2. Kemiskinan Struktural Komunitas Nelayan Tradisional
Kemiskinan struktural komunitas nelayan tradisional adalah kemiskinan
yang diderita suatu komunitas nelayan tradisional, karena struktur sosial
masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang
sebenarnya tersedia bagi mereka. Secara teoritis, kemiskinan struktural dapat
diartikan sebagai suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang
penyebab utamanya bersumber, dan oleh karena itu dapat dicari pada struktur
sosial yang berlaku (Alfian, 1980).
Sedangkan menurut Edi Suharto, bahwa Kemiskinan struktural adalah
kemiskinan yang terjadi bukan dikarenakan ketidakmamuan si miskin untuk
bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial

dalam menyediakan kesempatan kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat
bekerja. Struktur sosial yang berlaku telah mengurung mereka ke dalam suasana
kemiskinan secara turuntemurun selama bertahuntahun. Sejalan dengan itu,
mereka hanya mungkin keluar dari penjara kemelaratan melalui suatu proses
perubahan struktur yang mendasar.
Kemiskinan struktural, biasanya terjadi di dalam suatu masyarakat di mana
terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang hidup melarat dengan mereka
yang hidup dalam kemewahan dan kaya-raya. Mereka itu, walaupun merupakan
mayoritas terbesar dari masyarakat, dalam realita tidak mempunyai kekuatan apa
-apa untuk mampu memperbaiki nasib hidupnya. Sedangkan minoritas kecil
masyarakat yang kaya raya biasanya berhasil memonopoli dan mengontrol
berbagai kehidupan, terutama segi ekonomi dan politik.
Masyarakat nelayan sulit dilepaskan dari “jebakan kemiskinan”,
masyarakat nelayan dihadapkan pada musim “paceklik” yang tak kunjung akhir.
Untuk mengatasi masalah di musim paceklik ini, berbagai upaya telah dilakukan
nelayan, contohnya adalah beberapa nelayan menjual perhiasan istri demi
menyambung hidup keluarganya, atau rela menggadaikan rumah/tanah serta
meminjam uang di para rentenir. Selain itu, kompleksnya permasalahan
kemiskinan masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup
dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian dalam

menjalankan usahanya. Kondisi inilah yang mengakibatkan nelayan dijauhi oleh
institusi-institusi perbankan dan perusahaan asuransi, seperti sulitnya masyarakat
3

nelayan mendapatkan akses pinjaman modal, baik untuk modal kerja maupun
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Di tengah kesusahan itulah,
masyarakat nelayan menggantungkan hidupnya pada institusi lain yang mampu
menjamin keberlangsungan hidup keluarganya. Jaminan sosial dalam suatu
masyarakat merupakan implementasi dari bentuk-bentuk perlindungan, baik yang
diselenggarakan oleh negara, maupun institusi-institusi sosial yang ada pada
masyarakat terhadap individu dari resiko-resiko tertentu dalam hidupnya (Benda
Beckmann, 2001).
Permasalahan dan keluhan “Pusing” dengan tingginya harga bahan bakar
minyak (BBM) yang tidak hanya dirasakan pemilik kendaraan “darat”, sejumlah
nelayan “sang pemilik kendaraan laut” terpaksa harus mengurungkan niat mencari
ikan karena “mahalnya” ditambah dengan ketiadaan/kelangkaan BBM. Memang
kenaikan harga BBM, “sangat” menimbulkan fenomena baru dalam masyarakat.
Beragam warna, beragam”hiruk-pikuk”, dari masalah internal atau eksternal
muncul. Ada yang disebut dengan nelayan tradisional yang selalu mengandalkan
BBM yang diadakan oleh Pertamina setempat, berbeda dengan nelayan besar yang

menggunakan alat tangkap modern. Nelayan yang memiliki kapal besar dan alat
tangkap modern bisa saja mendapatkan atau membeli BBM di kepulauan atau
provinsi terdekat tempat mereka mencari ikan, namun bagi nelayan tradisional
mereka memiliki keterbatasan jelajah. Padahal, 80 persen warganya nelayan
tradisional memberikan kontribusi besar dalam produksi perikanan tangkap, untuk
itu kelancaran pasokan BBM sangat menentukan. Tingginya harga bahan bakar
minyak (BBM) dan kelangkaan BBM tidak saja akan berpengaruh pada
penurunan produksi perikanan, namun lebih luas berdampak pada kehidupan
nelayan yang masih dikelompokkan dalam masyarakat ekonomi menengah ke
bawah.
Nelayan dan ”Jebakan” Kemiskinan, bisa memiliki arti bahwa
masyarakat nelayan miskin tidak mempunyai hak atas kuasa sumber daya
perikanan karena keterbatasan sumber daya dan keterbatasan akses. Kawasan
lautan kebanyakan diakses dan didominasi oleh pemilik modal dan birokrat, atau
kolaborasi keduanya. Sebagai contoh, operasi pukat harimau, penyerobotan
wilayah tangkap oleh nelayan-nelayan besar bahkan nelayan dari luar wilayah
NKRI atau nelayan asing yang cenderung diabaikan oleh pemerintah, sehingga
wilayah tangkap nelayan tradisional (traditional fishing ground) terbatas, dan
terbatas pula sumber daya perikanannya.
Nelayan dan ”Jebakan” Kemiskinan juga, berkaitan sekali dengan masalah

yang menjadi semakin problematik dalam situasi perkotaan. Pertanyaan mendasar
bahwa, siapakah yang disebut “nelayan”? Jika dilakukan pengukuran dengan
berbagai parameter statistik kependudukan yang tersedia, siapa saja yang
menjejali pesisir perkotaan dapat masuk dalam kategori yang dipahami sebagai
“kaum miskin kota” (urban poor). Pada kenyataannya, pekerjaan nelayan tidak
dapat serta-merta disamakan dengan apa yang dilakukan oleh kaum miskin kota
untuk penghidupannya, yang identik dengan sektor-sektor non-formal dan bahkan
merupakan masalah sosial perkotaan yang serius. Mudahnya, nelayan seharusnya
menjadi perhatian sepenuhnya dinas perikanan setempat dan tidak menjadi urusan
dinas sosial. Hal ini perlu ditegaskan karena jika kelak sektor perikanan secara
statistik sudah dianggap “punah” dan dinas terkaitnya di pemerintahan daerah

4

dilikuidasi, maka para “mantan nelayan” tidak akan menjadi tambahan pekerjaan
rumah bagi dinas sosial.
Sungguh ironis dengan sumber daya alam laut yang luar biasa, nasib
nelayan seakan diam ditempat. Secara normatif seharusnya hidup dalam
kesejahteraan. Namun kenyataannya, sebagian besar masyarakat pesisir masih
merupakan masyarakat tertinggal dibandimg komunitas masyarakat lain. Itu

disebabkan karena tingkat pendidikan mereka masih rendah. Masa depan
kelestarian pengelolaan potensi kelautan kita membutuhkan kearifan dan
sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi untuk mengelola dan
memanfaatkannya.
Menuju era industrialisasi, wilayah pesisir dan lautan merupakan prioritas
utama untuk pusat pengembangan industri, pariwisata, agribisnis, agroindustri
pemukiman, dan transportasi. Kondisi demikian bagi kota-kota yang terletak di
wilayah industri terus dikembangkan menuju tata ekonomi baru dan
industrialisasi. Tidak mengherankan bila sekitar 65% penduduk Indonesia
bermukim di sekitar wilayah pesisir. (Wahyuningsih Darajati, 2004).
Potret pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan selama kurun
waktu Orde Baru, dicirikan oleh kurang mengindahkannya aspek kelestarian
lingkungan, serta ketimpangan pemerataan pendapatan antara nelayan tradisional
dan pelaku industri. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan, sangat
diwarnai oleh rezim yang bersifat open acces, sentralistik, seragamisasi, kurang
memperhatikan keragaman biofisik alam dan sosio-kultural masyarakat lokal.
bahkan antara kelompok pelaku komersial (sektor modern) dengan kelompok
usaha kecil dan subsisten (sektor tradisional) saling mematikan. Dampak nyata
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan adalah munculnya konflik
musiman antara nelayan dan masyarakat setempat (sektor tradisional) dan pelaku

industri komersial (sektor modern).
Dengan karakteristik wilayah laut dan pesisir yang banyak permasalahan
tersebut yang sebagaimana disampaikan di atas, wilayah laut dan pesisir
menghadapi berbagai isu dan permasalahan terkait dengan penataan ruang
diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Potensi konflik kepentingan (conflict of interest) dan tumpang tindih antar
sektor dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah
pesisir. Dalam hal ini, konflik kepentingan tidak hanya terjadi
antar “users”, yakni sektoral dalam pemerintahan dan juga masyarakat
setempat, namun juga antar penggunaan antara lain: kegiatan konservasi laut
dan pesisir seperti hutan bakau (mangrove), terumbu karang dan biota laut
lainnya, perikanan budidaya maupun tangkapan pariwisata bahari dan pantai,
pertambangan, seperti minyak, gas, timah dan galian lainnya, serta pemerataan
pembangunan di wilayah Pesisir.
2) Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir bermata pencaharian di
sektor-sektor non-perkotaan. Sebagian besar dari 126 kawasan tertinggal yang
diidentifikasi dalam kajian Penyempurnaan RTRWN merupakan wilayah
pesisir.
3) Kemiskinan masyarakat pesisir yang turut memperberat tekanan terhadap
pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tidak terkendali. Salah satu faktor

5

penyebabnya adalah belum adanya konsep pembangunan masyarakat pesisir
sebagai subyek dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir.
Walaupun telah menjadi common interests, proses pelibatan masyarakat
sebagai subyek utama dalam pengelolaan wilayah pesisir masih belum
menemukan bentuk terbaiknya. Persepsi yang berbeda mengenai hak dan
kewajiban dari masyarakat seringkali menghadirkan konflik antar kepentingan
yang sulit dicarikan solusinya, meningkatkan transaction cost, dan cenderung
merugikan kepentingan pemerintah dan perusahaan serta masyarakat umumnya.
Hal lainnya adalah menyangkut tatacara penyampaian aspirasi agar berbagai
kepentingan seluruh stakeholders dapat terakomodasi secara adil, efektif, dan
seimbang. Pelibatan masyarakat perlu dikembangkan berdasarkan konsensus yang
disepakati bersama serta dilakukan dengan memperhatikan karakteristik sosialbudaya setempat (local unique).

3. Destructive Fishing
“Destuctive Fishing” merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan
nelayan seperti menggunakan bahan peledak, bahan beracun dan menggunakan
alat tangkap tidak ramah lingkungan, bertentangan dengan kode etik
penangkapan. Kegiatan ini umumnya bersifat merugikan bagi sumberdaya
perairan yang ada. Kegiatan ini semata-mata hanya ingin meraup keutungan yang
besar dengan cara cepat/instan akan tetapi memberikan dampak yang tidak baik
bagi ekosistem perairan khususnya terumbu karang.
Destructive fihsing merupakan kegiatan illegal fishing yaitu dengan tujuan
menangkap sebanyak-banyaknya ikan karang yang banyak namun dengan etika
penangkapan yang salah. Karena kegiatan penangkapan yang dilakukan sematamata memberikan keuntungan hanya untuk nelayan tersebut, dan berdampak
kerusakan untuk ekosistem karang. Kegiatan yang umumnya dilakukan nelayan
dalam melakukan penangkapan dan yang di kategorikan illegal fishing adalah
penggunaan alat tangkap yang dapat merusak ekosistem seperti kegiatan
penangkapan dengan pemboman, penangkapan dengan menggunakan racun serta
penggunaan alat tangkap trawl pada daerah yang memiliki karang
Seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa destructive fishing
merupakan kegiatan mall praktek dalam penangkapan ikan atau pemanfaatan
sumberdaya perikanan yang secara yuridis menjadi pelanggaran hukum
(kejahatan). Secara umum,maraknya destructive fishing disebabkan oleh
beberapa faktor ; (1) Rentang kendali danluasnya wilayah pengawasan tidak
seimbang dengan kemampuan tenaga pengawas yangada saat ini (2) Terbatasnya
sarana dan armada pengawasan di laut (3) Lemahnyakemampuan SDM Nelayan
Indonesia dan banyaknya kalangan pengusaha bermental pemburu rente ekonomi
(4) Masih lemahnya penegakan hukum, serta (5) Lemahnya koordinasi dan
komitmen antar aparat penegak hukum.
Keterdesakan dan tekanan sosial ekonomi masyarakat pesisir membuat
perilaku sebahagian nelayan tradisional mengambil jalan pintas dalam
mendapatkan hasil dengan cara merusak ekosistem pesisir yang merupakan
potensi laut yang akan dimanfaatkan secara berkelanjutan. Kegiatan penangkapan
yang dilakukan nelayan yang mengalami keterdesakan / tekanan ekonomi seperti
menggunakan bahan peledak, bahan beracun dan menggunakan alat tangkap yang
6

tidak ramah lingkungan, bertentangan dengan kode etik penangkapan. Kegiatan
ini umumnya bersifat merugikan bagi sumberdaya perairan yang ada. Kegiatan ini
semata-mata hanya akan memberikan dampak yang kurang baik bagi ekosistem
perairan, akan tetapi memberikan keuntungan yang besar bagi nelayan.
Untuk menangkap sebanyak-banyaknya ikan karang yang banyak,
digolongkan kedalam kegiatan illegal fishing. Karena kegiatan penangkapan yang
dilakukan semata-mata memberikan keuntungan hanya untuk nelayan tersebut,
dan berdampak kerusakan untuk ekosistem karang. Kegiatan yang umumnya
dilakukan nelayan dalam melakukan penangkapan dan termasuk kedalam
kegiatan illegal fishing adalah penggunaan alat tangkap yang dapat merusak
ekosistem seperti kegiatan penangkapan dengan pemboman, penangkapan dengan
menggunakan racun serta penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan pada
daerah yang memiliki terumbu karang.

4. Akar Masalah dan Solusi dalam Penentasan Kemiskinan
Struktural Nelayan Tradisional
Mendengar kata nelayan dari dulu sampai saat ini, seolah-olah identik
dengan kemiskinan. Karena memang faktanya sebagian besar nelayan hingga kini
masih banyak yang miskin. Ini sungguh sebuah ironi, karena laut Indonesia
memiliki potensi produksi lestari (MSY = Maximum Sustainable Yield) ikan laut
yang cukup besar, sekitar 6,51 juta ton/tahun atau 8,2% dari dari total MSY ikan
laut dunia. Lebih dari itu, sejak awal 1980an (pemerintah Orde Baru) sampai saat
ini telah banyak banyak program pemerintah digulirkan untuk mengatasi
kemiskinan nelayan. Lalu apa yang salah?. Boleh jadi kebijakan dan programnya
kurang tepat, atau implementasinya yang tidak sesuai dengan rencana.
A. Akar Kemiskinan Nelayan
Banyak faktor yang menyebabkan mayoritas nelayan di Indonesia masih
terlilit derita kemiskinan. Sejumlah faktor itu dapat dikelompokkan menjadi tiga:
1. Faktor teknis,
2. Faktor kultural, dan
3. Faktor struktural.
Dalam tataran praktis, nelayan miskin karena pendapatan (income) nya lebih kecil
dari pada pengeluaran untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga dan dirinya
dalam kurun waktu tertentu. Sejauh ini pendapatan nelayan, khususnya nelayan
tradisional dan nelayan ABK dari kapal ikan komersial/modern (diatas 30 GT),
pada umumnya kecil (kurang dari Rp 1 juta/bulan) dan sangat fluktuatif atau tidak
menentu.
Secara teknis, pendapatan nelayan bergantung pada nilai jual ikan hasil
tangkap dan ongkos (biaya) melaut. Selanjutnya, nilai jual ikan hasil tangkapan
ditentukan oleh ketersediaan stok ikan di laut, efisiensi tekonologi penangkapan
ikan, dan harga jual ikan. Sedangkan, biaya melaut bergantung pada kuantitas dan
harga dari BBM, perbekalan serta logistik yang dibutuhkan untuk melaut yang
bergantung pula pada ukuran (berat) kapal dan jumlah awak kapal ikan. Selain
itu, nilai investasi kapal ikan, alat penangkapan, dan peralatan pendukungnya
sudah tentu harus dimasukkan kedalam perhitungan biaya melaut. Berdasarkan
7

pada sejumlah variable yang mempengaruhi pendapatan nelayan tersebut,
sedikitnya ada sembilam permasalahan teknis yang membuat sebagian besar
nelayan masih miskin yaitu sebagai berikut :
1. Banyak nelayan yang kini melakukan usaha penangkapan ikan di wilayahwilayah perairan laut yang stok SDI (sumber daya ikan) nya
mengalami overfishing (tangkap lebih). Bahkan banyak kelompok SDI
terutama udang penaeid, ikan demersal, ikan pelagis besar, dan ikan pelagis
besar di banyak wilayah pengelolaan perikanan (WPP) telah
mengalami overfishing . Permasalahan lainnya adalah karena sebagian besar
(95%) nelayan nasional menggunakan kapal ikan yang tidak bermesin atau
kapal bermesin di bawah 30 GT dengan alat tangkap yang umumnya
tradisional (kurang efisien), maka mereka sebagian besar menangkap ikan di
perairan laut dangkal kurang dari 12 mil laut yang pada umumnya telahfully
exploited (laju penangkapan sama dengan MSY) atau overfishing.
Konsekuensinya, hasil tangkapan ikan per satuan upaya (kapal ikan atau alat
tangkap) dan pendapatan pun rendah. Sementara itu, fishing grounds yang
masih produktif (underfishing) sebagian besar dijarah oleh armada kapal ikan
asing. Fishing grounds tersebut meliputi ZEEI Samudera Hindia, Laut Natuna
dan ZEEI Laut Cina Selatan, Selat Karimata, Laut Sulawesi, ZEEI Samudera
Pasifik, Laut Banda, Laut Arafura, dan wilayah laut dalam serta wilayah laut
perbatasan lainnya.
2. Pencemaran laut, perusakan ekosistem pesisir (seperti mangrove, terumbu
karang, padang lamun, dan estuari) yang semakin dahsyat, dan perubahan
iklim global ditenggarai menurunkan stok (populasi) SDI.
3. Sebagian besar nelayan menangani (handling) ikan hasil tangkapan selama di
kapal sampai di tempat pendaratan ikan (pelabuhan perikanan) belum
mengikuti cara-cara penanganan yang baik (Best Handling Practices).
Akibatnya, mutu ikan begitu sampai di tempat pendaratan sudah menurun atau
bahkan busuk, sehingga harga jualnya murah. Hal ini disebabkan karena
kebanyakan kapal ikan tidak dilengkapi dengan palkah pendingin atau wadah
(container) yang diberi es untuk menyimpan ikan agar tetap segar. Selain itu,
banyak nelayan tardisional yang beranggapan bahwa membawa es berarti
menambah biaya melaut, apalagi kalau tidak dapat ikan atau hasil
tangkapnnya sedikit, atau esnya mencair sebelum mendapatkan ikan, maka
rugi besar.
4. Hampir semua nelayan tradisional mendaratkan ikan hasil tangkapannya di
pemukiman nelayan, tempat pendaratan ikan (TPI), atau pelabuhan perikanan
pantai (PPP) yang tidak dilengkapi dengan pabrik es atau cold storage dan
tidak memenuhi persyaratan standar sanitasi dan higienis. Sehingga, semakin
memperburuk mutu ikan yang berimplikasi terhadap harga jual ikan. Hampir
semua nelayan tradisional tidak bisa mendaratkan ikannya di pelabuhan
perikanan samudera (PPS) atau pelabuhan perikanan nusantara (PPN) yang
pada umumnya sudah memenuhi persyaratan sanitasi dan higienis, karena
mereka harus membayar biaya tambat-labuh yang mahal (tidak terjangkau).
5. Di masa paceklik dan kondisi laut sedang berombak besar atau angin kencang
(badai), antara 2 sampai 4 bulan dalam setahun, nelayan tidak bisa melaut
untuk menangkap ikan. Bagi nelayan dan anggota keluarganya yang tidak
memiliki usaha lain, saat-saat paceklik seperti ini praktis tidak ada income,
8

6.

7.

8.
9.

sehingga mereka terpaksa pinjam uang dari para rentenir yang biasanya
mematok bunga yang luar biasa tinggi, rata-rata 5 persen per bulan. Di
sinilah, awal nelayan mulai terjebak dalam ‘lingkaran setan kemiskinan’,
karena pendapatan yang ia peroleh di musim banyak ikan, selain untuk
memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari juga dikeluarkan untuk bayar utang
sekaligus bunganya.
Pada musim paceklik, harga jual ikan di lokasi pendaratan ikan biasanya
tinggi (mahal), tetapi begitu musim ikan (peak season) tiba, harga jual
mendadak turun drastis. Lebih dari itu, nelayan pada umumnya menjual ikan
kepada padagang perantara (middle-man), tidak bisa langsung kepada
konsumen terakhir. Sehingga, harga jual ikan yang mereka peroleh jauh lebih
murah dari pada harga ikan yang sama di tangan konsumen terakhir. Padahal,
jumlah pedagang perantara itu umumnya lebih dari dua tingkatan.
Kebanyakan nelayan membeli jaring, alat tangkap lain, BBM, beras, dan
bahan perbekalan lainnya untuk melaut juga dari pedagang perantara yang
jumlahnya bisa lebih dari dua tingkatan, tidak langsung dari pabrik atau
produsen pertama. Sehingga, nelayan membeli semua sarana produksi
perikanan tersebut dengan harga yang lebih mahal ketimbang harga
sebenarnya di tingkat pabrik. Kondisi ini tentu membuat biaya melaut lebih
besar dari pada yang semestinya.
Harga BBM dan sarana produksi untuk melaut lainnya terus naik, sementara
harga jual ikan relatif sama dari tahun ke tahun, atau kalaupun naik relatif
lamban. Hal ini tentu dapat mengurangi pendapatan nelayan.
Sistem bagi hasil antara pemilik kapal ikan, nahkoda kapal, fishing master,
dan ABK ditenggarai jauh lebih menguntungkan pemilik kapal. Dan, yang
paling dirugikan adalah ABK. Karena itu, pada umumnya pemilik kapal
modern (diatas 30 GT) beserta nahkoda kapal dan fishing master sudah
sejahtera, bahkan kaya. Sementara, ABK nya masih banyak yang miskin.

Kultur (etos kerja) nelayan pada umumnya juga belum sejalan dengan etos
kemajuan dan kesejahteraan. Dari sisi pengeluaran, rata-rata ukuran keluarga
nelayan adalah 5 jiwa (orang) yang terdiri dari ayah, ibu, dan 3 anak, lebih besar
ketimbang rata-rata ukuran keluarga secara nasional yang hanya 4 jiwa. Lebih
dari itu, kebanyakan nelayan juga lebih boros dibandingkan dengan petani, dan
nelayan enggan untuk menabung. Dari sisi pendapatan, banyak nelayan yang
ketika suatu hari atau trip mendapatkan banyak ikan, lalu hari atau trip berikutnya
tidak mau ke laut mencari ikan. Demikian juga halnya, saat musim paceklik ikan,
nelayan pada umumnya segan atau tidak mau bekerja di sektor ekonomi lainnya,
seperti budidaya tambak, pertanian pangan, hortikultura, peternakan, dan menjadi
karyawan/buruh. Masih banyak nelayan yang resisten alias tidak mau menerima
inovasi teknologi baru, baik yang berkaitan dengan teknologi penangkapan,
pengelolaan lingkungan hidup, maupun manajemen keuangan keluarga. Semua
ini membuat banyak keluarga nelayan yang pola hidupnya ibarat ‘lebih besar
pasak dari pada tihang’. Tingkat pendidikan dan pengetahuan yang umumnya
rendah diyakini menjadi penyebab utama mengapa banyak keluarga nelayan
memiliki budaya yang berlawanan dengan etos kemajuan dan kesejahteraan.
Faktor yang boleh jadi merupakan penyebab dominan dari kemiskinan
nelayan adalah yang bersifat struktural, yakni kebijakan dan program pemerintah
9

yang tidak kondusif bagi kemajuan dan kesejahteraan nelayan. Mahal dan susah
didapatkannya BBM, alat tangkap, beras, dan perbekalan melaut lainnya bagi
nelayan, terutama nelayan di luar Jawa, wilayah perbatasan, dan pulau-pulau kecil
terpencil, merupakan bukti nyata dari minimnya kepedulian pemerintah kepada
nelayan. Demikian juga halnya dengan sumber modal. Sampai saat ini nelayan,
terutama yang tradisional, masih sangat sulit atau tidak bisa mendapatkan
pinjaman kredit dari perbankan. Bayangkan, kapal ikan yang terbuat dari kayu,
sebesar apapun, belum bisa dijadikan sebagai agunan. Prasarana pendaratan ikan
atau pelabuhan yang memenuhi persyaratan santitasi dan higienis yang dilengkapi
dengan industri hilir (pengolahan hasil perikanan) juga masih terbatas bagi
nelayan. Harga jual ikan yang sangat fluktuatif (tak menentu) juga belum secara
tuntas diatasi oleh pemerintah. Alih-alih ikan impor membanjiri pasar domestik
kita dalam tiga tahun terakhir.
Kegiatan pencurian ikan (illegal, unregulated and unreported fishing) oleh
nelayan asing yang kian marak juga tidak diberantas secara sungguh-sungguh.
Akhir-akhir ini banyak pengusaha nasional yang ‘nakal’ menggunakan kapal ikan
asing yang benderanya sudah diubah menjadi bendera Indonesia beroperasi
menangkap ikan di Indonesia. Padahal, kapal-kapal eks asing itu sejatinya masih
milik pengusaha asing, seperti Thailand, Taiwan dan RRC. Ikan hasil tangkapnya
hanya sebagian kecil didaratakan di pelabuhan perikanan Indonesia, hanya untuk
mengelabuhi (kamulflase) aparat pemerintah dan rakyat Indonesia. Sedangkan,
porsi besar ikannya dibawa ke negara masing-masing dan diproses di sana. Selain
rugi ikan, Indonesia pun dirugikan melalui BBM bersubsidi yang sejatinya untuk
nelayan nasional, jadi dimanfaatkan oleh nelayan asing.
B. Solusi Mensejahterakan Nelayan
Beranjak dari anatomi permasalahan kemiskinan nelayan di atas, maka
kebijakan, strategi, dan program untuk memerangi kemiskinan nelayan dan
sekaligus mensejahterahkannya haruslah bersifat komprehensif, terpadu, dan
sistemik serta dikerjakan secara berkesinambungan. Tidak bisa dilakukan dengan
pendekatan proyek seperti yang kini dilakukan, dengan membagi-bagi kapal ikan
kepada nelayan, tanpa mempersiapkan kapasitas mereka, dan tanpa
memperhatikan keseimbangan antara ketersediaan stok ikan dan upaya tangkap.
Cara-cara semacam ini hanya membuat mental nelayan rusak, yakni membuat
mereka manja dan hanya mau menjadi ‘tangan di bawah’, bukan ‘tangan di atas’.
Faktanya, sekarang banyak kapal bantuan itu tidak bisa dimanfaatkan oleh
nelayan secara optimal. Salah sasaran, karena si penerima biasanya konstituen
dari partai si pemberi bantuan.
Oleh karena itu, mulai sekarang kita perlu menerapkan grand
design manajemen pembangunan perikanan tangkap yang tepat, benar dan
berkelanjutan. Sehingga, ia mampu menjaga kelestarian stok SDI, meningkatkan
kesejahteraan nelayan, dan meningkatkan kontribusi sub-sektor perikanan tangkap
bagi pertumbuhan ekonomi dan kemajuan bangsa secara berkelanjutan.
Yang harus dilakukan adalah menata ulang dan memastikan, bahwa jumlah
upaya tangkap dan laju penangkapan di suatu wilayah perairan laut (WPP, wilayah
laut yang menjadi kewenangan pengelolaan pemerintah kabupaten/kota atau
provinsi) tidak boleh melebihi 80% MSY SDI. Atau, untuk wilayah-wilayah yang
padat penduduk dan tinggi angka penganggurannya, bisa sampai sama dengan
10

MSY SDI. Selanjutnya, jumlah kapal ikan yang beroperasi di setiap wilayah
perairan laut itu ditetapkan dengan cara membagi nilai MSY atau 80% MSY
dengan catchability (kapasitas menangkap) kapal ikan. Jenis dan ukuran kapal
ikan beserta alat tangkapnya mesti yang efisien dan ramah lingkungan, sehingga
memungkinkan bagi nelayan ABK mendapatkan income yang mensejahterakan,
yakni rata-rata Rp 2.550.000/nelayan/bulan. Dengan incomesebesar itu, nilai total
MSY sebesar 6,52 juta ton/tahun, dan rata-rata harga ikan yang berlaku sekarang,
maka jumlah nelayan Indonesia seharusnya sekitar 1,9 juta orang saja. Karena
jumlah nelayan laut sekarang sekitar 2,3 juta orang, maka secara bertahap sisanya
yang 400.000 orang harus dialihkan ke mata pencaharian (usaha) lain seperti
budidaya laut (mariculture), budidaya tambak, budidaya di perairan air tawar,
budidaya dalam akuarium, budidaya garam, industri pengolahan hasil perikanan,
industri bioteknologi kelautan, industri mesin dan peralatan perikanan, industri
galangan kapal, dan industri serta jasa penunjang perikanan lainnya, yang peluang
pengembangannya masih terbuka lebar. Segenap usaha alternatif ini dapat juga
dijadikan sebagai matapencaharian bagi nelayan pada saat musim paceklik.
Kegiatan IUU fishing oleh nelayan asing maupun nelayan nasional harus
ditumpas sampai ke akar-akarnya. Pencemaran laut harus dikendalikan, sehingga
konsentarsi bahan pencemar di perairan laut memenuhi ambang batas aman bagi
perikanan. Ekosistem pesisir yang terlanjur rusak mesti direhabilitasi, selebihnya
harus dikonservasi melalui manajemen berbasis kawasan lindung laut (marine
protected area). Strategi dan program adaptasi untuk mengantisipasi dampak
perubahan iklim global harus disiapkan sejak sekarang.
Program diklatluh (pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan) untuk
peningkatan kapasitas dan budaya nelayan agar lebih kondusif untuk kemajuan
dan kesejahteraannya perlu lebih dtingkatkan, baik kuantitas maupun kualitasnya,
secara sistematis dan berkesinambungan. Akhirnya, seluruh kebijakan politikekonomi termasuk fiskal dan moneter, perdagangan (ekspor – impor), dan iklim
investasi harus dibuat kondusif bagi kinerja maksimal sub-sektor perikanan
tangkap.

REFERENSI

11

Ala, Andre Bayo. 1996. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan.
Yogyakarta : Liberty
Alfian, Mely G. Tan, Selo Soemardjan. 1980. Kemiskinan Struktural: Suatu
Bunga Rampai. Jakarta : YIIS
Auslan, Patrick Mc. 1986. Tanah Perkotaan Dan Perlindungan Rakyat Jelata.
Jakarta : Pen. PT Gramedia
Baker, David. 1980. ”Memahami Kemiskinan di Kota : Masa Apung di Kota”.
PRISMA. No. 6 Tahun VIII
Dahuri,R.,Rais,J., Ginting,SP.,Sitepu, HJ., 2004, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu, PT. Pradnya Paramita, Jakarta
Dietriech G. Bengen. 2001. Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu,
Insitut Pertanian Bogor, Bogor
Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan. LKIS, Yogyakarta.
Kusnadi, Konflik Sosial Nelayan, Ke -miskinan dan Perebutan Sumber -daya
Perikanan (Yogyakarta: LKiS, 2002).
Mungkasa, O (2013), Arahan Pemanfaatan Ruang dan Arahan Pengendalian
Pemanfaatan Ruang, Pulau dan Kepulauan, Bappenas, Jakarta
Suparlan, Supardi. 1995. Kebudayaan Kemiskinan dalam Kemiskinan di
Perkotaan : Bacaan Untuk Antropologi Perkotaan. Yogyakarta : YOI
Suyanto, Bagong, Perangkap Kemiskinan Problem dan Strategi Pengentas annya
Dalam Pembangunan Desa (Yogyakarta: Aditya Media, 1996).
Sasono, Adi 1999, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Menuju Indonesian Baru,
Cidesindo, Jakarta. Hlm 321

12