Paud untuk Masa Depan yang Lebih Baik
PAUD untuk Masa Depan yang Lebih Baik:
sejumlah isu dan tantangan
Ali Formen
Seminar Nasional
Pengembangan Profesionalisme Pendidik Anak Usia Dini
Program Studi Pendidikan Guru PAUD
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu
19 Oktober 2013
PAUD untuk Masa Depan yang Lebih Baik:
sejumlah isu dan tantangan
Ali Formen
Prolog
Tidak ada keraguan bahwa pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan investasi untuk hidup
dan masa depan yang lebih baik (Calman & Tarr‐Whelan, 2005; World Bank, 2006). PAUD tidak
saja memberikan manfaat dan keuntungan dalam pengertian pendidikan per se, yaitu tumbuh
kembang dan belajar anak (Bredekamp & Copple, 1995; Kostelnik, Soderman, & Whiren, 2007)
tetapi juga sangat penting bagi pembangunan sebuah bangsa. Noble (2005) misalnya menyebutkan
bahwa PAUD merupakan “perangkat pembangunan ekonomi yang paling baik”. Tak hanya soal
ekonomi sejumlah literatur internasional bahkan percaya bahwa PAUD merupakan “lokomotif
praktik demokratis” (Dahlberg & Moss, 2005) dan juga situs bagi perkembangan etos kewargaan
(citizenship) yang efektif (Ailwood, 2003; Mitchell & Davison, 2010). Dengan melihat semua ini,
tentu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa PAUD merupakan pilihan “investasi yang bijak”
(Calman & Tarr‐Whelan, 2005).
Deretan optimisme di atas tentu sangat penting dibaca oleh para pegiat, mahasiswa, peneliti,
pengembang dan akademisi, serta pengambil kebijakan bidang PAUD. Pada saat yang sama
optimisme tersebut juga harus dipandang secara kritis manakala harus dibaca dalam konteks
pengembangan PAUD di Indoensia. Apakah optimisme merupakan satu hal yang berdiri sendiri;
ataukah optimisme tersebut dapat terwujud dengan variabel‐variabel pemungkin? Lebih lanjut,
apakah PAUD Indonesia memiliki atribut yang cukup dan selaras dengan optimisme tersebut?
Apapun jawaban yang kita kemukanan, yang jelas, mayoritas literatur kajian PAUD telah
mempostulatkan optimisme dan kontribusi tersebut. Jadi, postulat itu kini serupa “mandat” yang
harus ditunaikan bagi PAUD di Indonesia. Untuk mengurainya, risalah ini coba mendiskusikan
optimisme tersebut dalam konteks Indonesia dan mengaitkannya dengan sejumlah prediksi masa
depan. Dengan cara tersebut risalah ini berharap dapat berbagi informasi mengenai langkah
penyesuaian yang mungkin diperlukan lapangan PAUD Indonesia dalam merespons perubahan
yang mungkin muncul di masa depan.
Dialog
Dikatakan, masa depan selalu menyisakan misteri. Namun rupa dan coraknya dapat kita lihat dari
kecenderungan masa kini dan aspirasi yang tumbuh di kalangan mereka yang coba mengkreasinya.
Risalah ini berpandangan dua hal ini penting untuk diperhatikan lapangan PAUD, jika memang
keberadaannya diharapkan kontributif bagi masa depan? Kecenderungan dan kenyataan masa kini
perlu dibaca, karena sebagaimana kita ketahui bersama pendidikan memang misi yang kadang‐
kadang tampak berstandar ganda: konservatif di satu sisi dan kritis di sisi lain. Aspirasi masa kini
akan masa depan juga perlu diperhatikan, karena lapangan pendidikan juga perlu menyadari
apakah aspirasi tersebut “masuk akal” dan “achievable”—ataukah sebaliknya, utopis dan
mengawang‐awang—dan dengan kesadaran itu dapat dipetakan penyesuaian dan transformasi
yang diperlukan. Untuk itu pada bagian berikut akan disajikan sejumlah gambaran masa depan
yang tersedia dalam di lapangan, dalam sejumlah literatur dan rujukan.
Beberapa konstruk masa depan
Banyak literatur dan rujukan, dengan argumen masing‐masing coba menggambarkan rupa masa
depan dalam skala global. Awal dekade 1990‐an kita disuguhi ramalan Naisbitt dan Abdurdene,
Megatrends 2000. Salah satu ramalan mereka adalah kematian agama‐agama yang terlembaga
(organized religions) dan kebangkitan spiritualitas yang tidak mengikatkan diri pada agama formal.
1
Sebagian ramalan ini terbukti, utamanya soal kegairahan publik terhadap isu spiritualitas. Tetapi
sebagiannya tak terbukti, setidaknya di Indonesia, karena sejak awal alaf baru justru Indonesia
menyaksikan menguatnya kelembagaan agama. Bom Bali, juga tragedi 11 September meruntuhkan
hampir semua fondasi ramalan tersebut. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, formalisasi hak
siswa atas pendidikan agama memperkuat tesis “spiritualitas memang penting tetapi bukan
segalanya”. Imaji bahwa masa depan adalah spiritual dan bukan religius, yang berkembang selama
dekade 1990‐an hingga awal 2000‐an kini terbukti kandas.
Kini, masa depan juga coba dipetakan dan diimajikan. James Canton menggunakan istilah yang
tidak tanggung‐tanggung dalam menggambarkan masa depan: extreme future, masa depan ekstrem
(Canton, 2007). Disebut demikian karena dalam skenario yang dia buat, masa depan tampak
sebagai babak yang sama sekali lain, atau melompat dari masa kini. Dalam bukunya, The Extreme
Future, Canton menyebutkan 10 tren utama di masa depan (Tabel 1).
Tabel. 1. 10 tren masa depan ekstrem
Trends
Bahan bakar masa
depan
Ekonomi inovasi
Angkatan kerja masa
depan
Kedokteran umur
panjang
Sains aneh
Keamanan masa depan
Globaliasi masa depan
Perubahan iklim masa
depan
Masa depan individu
Masa depan AS
Krisis energi, masa depan pacaminyak, masa depan energi alternatif. Energi akan
memainkan peran penting dalam tiap kehidupan kita pada abad ke‐21
Transformasi ekonomi global yang bergerak dari pertemuan perdagangan bebas,
teknologi dan demokrasi akan menumbuhkan pekerjaan, pasar, globalisasi dan
kompetisi baru, juga perdamaian dan keamanan baru. Ekonomi Inovasi akan
dikendalikan tiga kekuatan: nano‐bio‐IT‐neuro.
Angkatan kerja di AS akan akan semakin multikultur, semakin banyak perempuan, dan
Hispanik. Angkatan kerja masa depan harus memiliki bekal Ekonomi Inovasi agar
kompetitif secara global.
Muncul kekuatan baru yang secara radikal mengubah dunia kedokteran dan
pengobatan seperti nanotech, neurotech, genomics yang memungkinkan hidup yang
lebih panjang dan sehat.
Sains akan mentransformasikan tiap aspek hidup, budaya, dan ekonomi kita.
Ancaman besar bagi kebebasan dan kehidupan kita mulai dari haker, teroris hingga
pengendali pikiran. Penting bagi kita untuk memetakan lanksap risiko abad ke‐21.
Realitas baru dalam perdagangan dan kompetisi global; kebangkitan India dan Cina;
pertarungan antara budaya dan ideologi; juga antara budaya dan ekonomi.
Lingkungan terus berubah dan karenanya kita mesti bersiap menghadapi peningkatan
pemanasan global, polusi, dan ancaman terhadap keragaman hayati.
Risiko dan tantangan yang muncul dari institusi, pemerintah, dan ideologi dalam upaya
meneguhkan HAM dan kemerdekaan individu.
Kekuatan Amerika sebagai kampiun demokrasi, HAM, dan pasar bebas.
Konteks buku Canton memang Amerika. Tetapi isu dan skenario yang ia angkat, tidak dapat
disangkal, sebagian besarnya menyangkut hajat global. Oleh karena itu penting bagi kita yang hidup
di masa kini membaca dan mencermati skenario‐skenario tersebut. Lapangan PAUD perlu
memikirkan apa implikasi‐implikasi forecast Canton bagi praxis PAUD di masa kini.
Masa depan ekstrem yang disajikan Canton merupakan forecast pada level global. Lantas,
bagaimanakah forecast untuk konteks nasional? Pertanyaan ini penting untuk dijawab jika memang
PAUD dipercaya dan akan ikut ambil bagian dalam proses transformasi nasional. Tentang hal ini di
lapangan terdapat sejumlah forecast Indonesia masa depan walaupun sebagiannya terkesan
jargonistik (Tabel 2). Menariknya, di antara yang tersedia tersebut, terdapat forecast yang secara
langsung berkenaan dan berasal dari lapangan PAUD, yaitu “anak Indonesia harapan”, yang
diasosiasikan dengan generasi 2045 (Direktorat Jenderal PAUDNI, 2011).
2
Tabel 2. Empat skenario masa depan Indonesia
Indonesia 2020
Indonesia 2025
• Indonesia Emas 2020, • Visi resmi
dimotori oleh aktivis
pembangunan
Emotional Spiritual
menurut UU 17/2007
Quotient (ESQ) 165
tentang Rencana
Pembangunan Jangka
• Bangsa Indonesia
Panjang Nasional
sudah terlepas dari
2005‐2025
krisis moral dan
seluruh komponen
• Masyarakat Indonesia
bangsa telah berhati
yang Mandiri, Maju,
emas
Adil, dan Makmur
Indonesia 2030
• Indonesia 2030
• Negara maju yang
unggul dalam
pengelolaan kekayaan
alam (Yayasan Indonesia
Forum, 2007)
Indonesia 2045
• Indonesia Emas
(Kemendikbud)
• Ekonomi yang kuat dan
berkeadilan; demokrasi
yang stabil dan
berkualitas; serta
peradaban bangsa yang
maju dan unggul
(Yudhoyono, 2012)
• Bangsa yang besar,
bangsa yang sejahtera
dan sudah masuk dalam
kategori negara maju,
dengan pencapaian yang
membanggakan dan
reputasi yang terhormat
(Bakrie, 2012)
• Anak Indonesia Harapan,
kado ulang tahun ke‐100
Indonesia.
Sebagai tambahan, di lapangan juga tersedia sejumlah proyeksi lain yang perlu dicermati, misalnya
proyeksi jumlah penduduk dan pendapatan. Komite Ekonomi Nasional menyebutkan bahwa jumlah
penduduk nasional pada tahun 2045 diproyeksikan sebesar 353 jiwa (Tanjung, 2011b; 2011a),
sebuah angka yang besar tentu saja. Diprediksikan pula pada 2020 mendatang Indonesia akan
mulai menikmati kelimpahan kelompok usia produktif. Besarnya penduduk secara total,
dikombinaskan dominasi kelompok produktif, bila tidak didukung kapasitas yang memadai baik
secara individual maupun kelompok, tentu saja potensial menciptakan kerawanan sosial. Dalam
konteks ini tesis Ekonomi Inovasi (Canton, 2007) di satu sisi dan tesis PAUD sebagai piranti
pembangunan (Noble, 2005) menjadi penting untuk diperhatikan.
Proyeksi pertumbuhan penduduk
Optimisme tersebut di atas rupanya dibayangi oleh sejumlah beban yang belum terselesaikan
hingga kini, dan potensial pula menjadi bom waktu di masa depan. Pascareformasi, Indonesia
menyaksikan separatisme sebagai hantu yang terus mengganggu proses pematangan nasionalisme.
Secara politik memang ancaman ini sudah berhasil dikelola dan ditundukkan secara cerdas, yakni
dengan menempatkan otonomi daerah pada tingkat kabupaten/kota (Harvey, 2002). Tetapi
langkah tersebut tidak akan pernah benar‐benar berhasil tanpa strategi budaya yang secara
3
sistematis ditujukan bagi penumbuhan kesadaran baru akan pentingnya kesatuan dan kebangsaan.
Bara multikulturalitas Indonesia seringkali dengan mudah meledak dan membakar etos kesatuan
dan kebangsaan, seperti ditunjukkan dengan sangat baik dalam studi Fahardian (2005)—juga
dalam sejumlah konflik sosial horisontal dalam dua‐tiga tahun terakhir Syii‐Sunni di Madura atau
kasus Ahmadiyah sekadar untuk menyebut contoh, juga insiden‐insiden kontra‐nasionalisme
seperti anti hormat bendera di kawasan Solo.
Terkait dengan masa depan Indonesia sebagai sebuah kesatuan, para pesohor Indonesianis seperti
Don Emmerson dan Harvey memang tidak menunjukkan keraguan. Dua Indonesianis ini tegas
menyebut, sebagai sebuah kesatuan Indonesia akan tetap survive (Emmerson, 2000; Harvey, 2002).
Namun keduanya sama‐sama mengisyaratkan pentingnya upaya‐upaya sistematis dalam
membinanya melalui jalur‐jalur non‐legal‐formal; di sinilah pendidikan menjadi penting. Dalam
bukunya, The Next 100 Years: A forecast for the 21st century, George Friedman (2009) menyebut
Indonesia. Menurutnya Indoensia belum akan terbebas dari ancaman terorisme transnasional.
Dalam satu dekade terakhir kita dibuat yakin bahwa ideologi kekerasan dan teror bukan saja kejam
tetapi nyata, ada di antara kita, dan terus berkembang tanpa kita sadari. Selama satu dekade kita
juga dibuat yakin, ia bukan saja sekadar mampir di tanah air kita, tetapi memang nyata beranak
pinak di sini, tanpa kita sadari. Kita bahkan disadarkan bahwa insitusi pendidikan kita juga diam‐
diam dibajak sebagiannya menjadi situs kaderisasi kelompok‐kelompok berhaluan keras itu.
Apa yang kita miliki di PAUD
Seperti yang telah disebutkan di bagian awal tulisan ini, mungkin pokok‐pokok pikiran tentang
masa depan di atas terasa tidak relevan dengan dunia PAUD. Bukankah dunia PAUD adalah dunia
bermain—lantas mengapa PAUD harus dibebani dengan agenda setting yang sedemikian “berat”?
Terhadap gugatan ini atau semacamnya, pendirian paper ini jelas, bahwa PAUD lahir bukan dalam
ruang hampa. Froebel, Montessori, Ki Hadjar Dewantara dan semua peletak dasar PAUD memiliki
visi dan nilai yang jelas yang mereka bela dan perjuangkan. Maka tuntutan agar lapangan PAUD
memperhatikan isu‐isu besar tersebut dengan sendirinya adalah sebuah keniscayaan. Ahli
pendidikan karakter Berkowitz (2005) mengingatkan, “adalah sebuah kesia‐siaan belaka untuk
membuat perangkap tikus, tanpa tahu tikus itu serupa apa”. Dus, bagaimana mungkin lapangan
PAUD mewujudkan anak Indonesia harapan dan memberikannya sebagai kado seabad
kemerdekaan bila lapangan PAUD tak peduli dengan isyarat dan peta masa depan dan konteks
tempat ia berpijak. Sebelum menyinggung persoalan ini, ada baiknya beberapa vignette berikut
dikemukakan di sini.
Ujian Peer‐Teaching PLPG 2008. Kandidat masuk dengan membawa stumpuk media. Salah satunya, sebatang
tanaman yang tampaknya dia cabut dari salah satu pekarangan Kampus Kelud Unnes. Setelah ritus baris dan
doa, kandidat memulai sesi pembelajaran. “Anak‐anak, hari ini tema kita adalah tanaman”, katanya sambil
mengangkat “hasil curian” dari pekarangan Unnes tadi. Saya membuat catatan di lembar penilaian peer‐
teaching. Segera saya dilanda gundah untuk memberikan tanda cek (√) di bawah angka 2 ataukah 3 di kolom
penilaian. Didera gundah saya memilih membuat tulisan di lembar penilaian. “Hidden curriculum. Kandidat
mengajarkan kehidupan dengan kematian dan penghormatan pada ciptaan Tuhan dengan
pembunuhan”...Seluruh kandidat selesai melaksanakan uji performansi, kini tiba saat review. Kami pun terlibat
debat. Saya mengutip ungkapan lama “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Hari ini ibu asal‐asalan
mencabut tanaman, jangan salahkan murid kelak merampas hak orang tanpa sesal”.
Workshop Perangkat Pembelajaran PLPG 2013. Setelah perkenalan dan paparan tujuan workshop secara
singkat, saya mengajukan pertanyaan favorit saya kepada peserta. ‘Pada musim penghujan, di manakah ulat‐
ulat bertelur?’ ‘Di atas daun’, mayoritas peserta serempak menjawab. Dua atau tiga peserta kadang‐kadang
terlihat diam. ‘Oke, ulat anak siapa?’ ‘Kupu‐kupu’, jawab peserta serempak. ‘Oke, jadi, siapa yang bertelur.
Itulah pentingnya bahan ajar dan membaca sebelum mengajar’… Lalu seperti biasa saya mondar‐mandir
menghampiri meja peserta, mencek proses kerja peserta. “Apa tema untuk RKH Ibu hari ini”. “Keluargaku, Pak”,
jawab peserta mantap. “Apa materi konseptual yang Ibu akan sampaikan dalam peer‐teaching”, saya bertanya
setengah menyelidik, sambil mengingat‐ingat materi kuliah Gender and Early Childhood Education yang saya
ikuti sewaktu S‐2. “Sedang saya coba buat, Pak”, kata peserta. “Bisa tolon ceritakan rencana isinya”, kata saya
lagi. Dan seperti yang sudah‐sudah saya mendapatkan jawaban yang “aneh” tetapi selalu direproduksi. “Begini
Pak. Materi konseptual akan saya sampaikan di kegiatan awal…adalah ‘Keluargaku, keluargaku terdiri atas ayah
4
ibu, kakak dan aku. Ayahku mencari nafkah. Ibu di rumah”. Segera saya bergumam, dan peserta itupun tanggap,
dan menyergah, “Apa salah, Pak?”. “Saya tidak tahu” jawab saya sambil menambahkan, “Ibu perempuan, kan?”
sambil ngeloyor pergi ke meja lain. Peserta itu bengong dengan sikap saya…
Di meja lain, saya mendapati peserta dengan tema “Alat Komunikasi”. “Apa fokus tema Ibu?”, “Koran, Pak”,
jawabnya sumringah penuh percaya diri. “Bagus, sip, top!”—saya tahu saya akan kecewa tetapi saya coba untuk
membangun harapan. Koran adalah media pemicu literasi yang baik. Lalu apa kegiatn inti Ibu? “Ini Pak. Satu
anak menebalkan huruf K‐O‐R‐A‐N”. “Good, bagus, top” kata saya memberi semangat. “Terus, yang kedua,
bermain peran menjadi loper Koran, Pak”. Saya mulai mengernyitkan kening, mengingat bisnis koran cetak
mungkin suatu saat akan gulung tikar karena semakin banyak korang online. “Ketiga ini Pak, membentuk koran
menjadi bola untuk lempar‐tangkap”, kata peserta itu mantap. “Oke, sip. Begini, Bu. Menurut ibu koran itu alat
komunikasi atau alat olahraga. Kira‐kira Ibu senang apa tidak bila lulusan TK Ibu menjadi anak‐anak yang
keranjingan membaca?”. Wajah peserta itu berseri, tapi penuh tanda tanya. “Seneng, Pak”. “Oke, kalau
memang demikian, jangan suruh anak meng‐uwel‐uwel koran. Tapi bimbing anak memfungsikan koran
sebagaimana mestinya”. “Maksud, Pak Ali…?”. “Ya, temukan cara yang pas agar anak mengerti manfaat koran
dan konteks komunikasi”. Seperti biasanya saya ngeloyor setelah memprovokasi peserta…
Beberapa pelajaran dapat kita tarik dari tiga vignette di atas. Vignette pertama menggambarkan
praxis pembelajaran yang parsial, pembelajaran memisahkan diri dari realitas, serta pembelajaran
yang gagal mempertimbangkan efek concomitant setiap tindakan yang diambil dalam proses
pembelajaran formal. Pada saat yang sama, praktikan tidak menyadari perannya sebagai model
sikap dan perilaku bagi siswa. Ini dimungkinkan terjadi karena parahnya kecenderungan
simplifikasi pendidik serta matinya perspektif.
Vignette kedua memberikan pelajaran yang kompleks. Tetapi dapat diringkas dengan menyatakan
bahwa seringkali praktik pembelajaran di PAUD tidak theory/research‐informed, yakni tidak
berjalan di bawah terang teori apalagi riset. Ini tentu bertentangan dengan prinsip ilmiah
pembelajaran. Ini tampak jelas dalam dialog tentang ulat dan kupu‐kupu, yang sayangnya pasti
bukan satu‐satunya kasus yang dapat dijumpai. Tentu sangat berbahaya bagi masa depan anak
untuk mendapatkan informasi yang salah sejak dini.
Pelajaran yang sama juga dapat dipetik dari vignette kedua. Praktikan tampak membangun ideal
yang tidak selaras dengan realitas sekiling bahkan realitas dirinya, juga tren, tuntutan serta
identitas baru perempuan. Praktikan terkesan mengajarkan “masa lalu” menekankan aspek
konservatif pembelajaran sehingga mengesampingkan misi evaluatif dan kritis pembelajaran. Di
tengah kenyataan pentingnya perempuan untuk merambah sektor publik, dan kenyataan bahwa
etika kepedulian merupakan dasar moralitas perempuan (lihat misalnya Gilligan, 1982; Berk,
2006) sehingga banyak di antara mereka yang memainkan peran ganda, pilihan praktikan tentu
memprihatinkan. Ini semua tiada lain adalah karena absennya perspektif dari praxis pembelajaran
di PAUD. Dan karena praktik‐praktik di PLPG juga tidak lahir dari ruang hampa, kurang lebih begitu
pula praktik yang sesungguhnya terjadi di ruang‐ruang kelas TK dan pusat PAUD kira. Hilangnya
perspektif juga tampak dalam vignette ketiga. Catatan proses tersebut, menggambarkan secara
telanjang pemahaman sempit terhadap kegiatan pengembangan. Terkesan pula bahwa program
pengembangan didominasi aspek motorik, sehingga life skills yang semestinya dikuasai anak untuk
keperluan sepanjang hidupnya tidak tersentuh. Bayangkan jika anak difasilitasi untuk membuka
koran, mengidentifikasi materi‐materi tertentu di dalamnya, dan menggunakan materi‐materi
tersebut lebih lanjut, misalnya tentu siswa akan mengerti “fitrah” koran yang sesungguhnya.
Selain pelajaran‐pelajaran tadi, kita juga tidak dapat menutup mata, bahwa bertolak belakang
dengan prinsip idealnya yang child‐centered kenyataan sehari‐hari pembelajaran PAUD kita
sangatlah teacher‐oriented. Tak dapat disangkal, kebanyakan kita beranggapan bahwa mengajar
berarti ceramah dan memaparkan. Tidakkah ini bidah bagi PAUD?
Mengapa ini semua terjadi? Paper ini berpandangan faktor utama yang menyebabkan hal itu terjadi
adalah absennya perspektif dalam praxis PAUD kita. Satu‐satunya perspektif yang dipromosikan,
sebagaimana tercermin dalam naskah‐naskah kebijakan kita, adalah perspektif perkembangan. Kita
5
melihat memposisikan PAUD dalam sekat parsial yang dan menjauhkannya dari peran sosial‐
budayanya sebagaimana dikutip di awal risalah ini. Dominasi perspektif perkembangan dalam
praktik PAUD kita menjadikan perspektif alternatif menjadi tidak memiliki ruang yang cukup, dan
anak pun tidak memiliki kesempatan mempelajarinya. Contoh kasus: apa artinya menjadi orang
Indonesia bagi anak usia dini? Sungguh ini bukan pertanyaan yang mudah dijawab, dan senyatanya
hal itu pun tidak tersedia secara komprehensif dalam dokumen‐dokumen resmi kebijakan kita.
Atas ini semua, di balik optimisme yang tersemat dalam frasa “generasi emas”, atau “anak
Indonesia harapan”, kita perlu menyelipkan pertanyaan: adakah anak Indonesia dalam beberapa
dekade mendatang?
Meskipun berpandangan bahwa matinya perspektif merupakan pangkal persoalan dalam
pembelajaran PAUD kita, tetapi risalah ini tetap harus mengakui, bahwa mengubah perspektif,
menyediakan atau mengembangkan perspektif bukanlah hal yang mudah. Harus diakui bahwa
LPTK sebagai pendidikan kandidat guru PAUD juga miskin perspektif. LPTK juga tidak
theory/research‐informed dalam proses penyiapan calon guru. Kurikulum pendidikan calon guru
PAUD juga bias dan didominasi perspektif perkembangan; juga lebih didominasi keterampilan‐
keterampilan teknis. Akibatnya kemampuan pengembangan kurikulum kandidat guru tidak cukup
tangguh. Akibat lanjutannya adalah tumbuhnya sikap yang menempatkan mengajar sebagai
pekerjaan teknis. Kenyataan ini menyisakan pekerjaan rumah bagi LPTK untuk mereformulasi
kurikulum pendidikan calon guru PAUD.
Memanfaatkan masa depan untuk PAUD yang lebih relevan
TKW dan Bahasa Inggris Kajian PAUD mahasiswa semester I angkatan 2013. “Oke teman‐teman, this is an
English class, so I think it's better for us to speak English or at least campur‐campur between English and
Bahasa. I just returned from Jakarta tadi malam, and beside me was a lady. I know from our conversation
that she is from a TKW who’s worked in Saudi for some years. ‘Is any one of you whose mother is a TKW?’
Saya bertanya untuk mencek apakah cerita saya sensitif apa tidak, saya tahu ada beberapa mahasiswa yang
orangtuanya bekerja menjadi TKI di luar negeri. Belum sempat saya mendapatkan konfirmasi lengkap,
salah satu mahasiswi, Fatma, menangis. “Fatma, are you alright, is your mother a TKW?” “Yes, Sir”, katanya
sambil menghapus air mata. “No, worries. Is any one else whose mom or dad is working overseas as a TKI?”
tanya saya lagi. Salah satu mahasiswa, saya mengingatnya sebagai si Gigi Besi, menyahut, ‘My father is a
driver in Saudi Arabia’. ‘That’s good! I hope all of you will be TKW.’ ‘No!’, mahasiswa serempak. Saya lihat
Fatma masih menahan tangis. ‘Okey guys. This is what I wanna share with you to start today’s meeting. Ibu
yang semalam satu pesawat, told me that she ‘Naik, air lines”—airlines dilafalkan dengan cara
pronunciation bahasa Indonesia. ‘Apa pelajaran yang bisa kita ambil, what lesson can we take from her?’
Kelas senyap, dan Fatma masih menundukkan wajah. ‘Oke, for me, dia tidak mendapatkan kesempatan
belajar yang cukup dari majikannya meskipun sudah lama di Saudi. Terbukti dia tidak bisa mengucapkan
airlines dengan benar, bahkan tidak mengerti apa nama maskapai yang membawanya dari Madinah sampai
Jakarta (airlines=maskapai). Begini, menurut literatur yang saya baca banyak negara maju dan kawasan
berbahasa Inggris akan kekurangan penduduk di masa depan. LGBT might gain more strengths and
rasionalisasi perkawinan, misalnya menikah tanpa punya anak, mungkin menjadi tren. Dus merekapun
kekurangan tenaga kerja. This is of course a big opportunity for you guys work globally. I dream that some
of you will be a director of a childcare center in Singapore, a teacher or teacher trainer or a consultant of
perusahaan mainan anak, or a social worker somewhere in the UK or somewhere else in Europe. I do
believe you can achieve that sort of dream. And this is TKW dalam pandangan saya.’ Kelas berseru ‘Amiin’,
saya lihat Fatma komat‐kamit membaca doa. ‘But…but, so sorry to say guys, English is somehow the key!’
Sengaja vignette di atas ditampilkan sekadar memberikan gambaran bagaimana kita
memanfaatkan informasi tentang masa depan untuk meningkatkan relevansi pembelajaran. Tentu
banyak konstruk masa depan lain, sebagaiamana disajikan di bagian pendahulu, yang dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan relevansi PAUD. Bahkan, bila kita memiliki perspektif yang
kokoh, bukan mustahil praxis pembelajaran dapat kita desain sebagai kritik atas skenario dan
konstruk masa depan yang ditawarkan. Futurist Sohail Inayatullah (2008) misalnya mengajukan
istilah “masa depan bekas”, yakni imaji masa depan yang pernah digunakan orang lain, dan saat ini
sudah terbukti usang. Apa yang dikemukakan Inayatullah tersebut tentu sebuah periangatan,
bahwa masa depan citra masa depan tidak dapat dikreasi dengan cara cut‐and‐paste.
6
Lapangan PAUD kita misalnya saat ini didominasi oleh perspektif perkembangan, karena di masa
lalu perspektif ini dianggap sebagai pintu bagi masa depan anak yang lebih baik. Kenyataannya
perspektif ini belakangan dikritik bahkan di tempak kelahirannya sendiri antara lain karena tidak
sensitif kultur atau menafikan keadilan gender (Lubeck, 1998; Blaise, 2005). Bagaimana kita dapat
memanfaatkan masa depan untuk masa kini sesungguhnya sama dengan bagaimana kita
memanfaat teori/riset untuk praktik profesional pada umumnya, dan dapat diilustrasikan sebagai
berikut.
Imaji masa
depan
Kualitas
manusia yang
diperlukan
Penyesuaian‐
penyesuaian
Epilog
Menjadi tugas para pegiat dan seluruh aktor PAUD untuk membaca dan merenungkan apa yang
dapat disumbangkan PAUD untuk merespons isu‐isu masa depan ini. Hanya bila lapangan PAUD
dapat merespons isu‐isu tersebut secara efektif klaim bahwa PAUD adalah investasi yang bijak bagi
hiudup dan masa depan yang lebih baik dapat dibuktikan. Terkait dengan hal itu, risalah ini telah
menunjukkan, meskipun sekilas, gambaran‐gambaran dan visi masa depan Indonesia. Lapangan
PAUD harus memiliki konfidensi sekaligus kerangka kerja yang jelas dalam merespons tuntutan
misalnya Ekonomi Inovasi. Demikian halnya lapangan PAUD harus memiliki kerangka kerja yang
jelas misalnya untuk menerjemahkan dalam praktik sehari‐hari apa yang dimaksud dengan
menjadi orang Indonesia di masa depan, apa pula yang dimaksud dengan berperadaban unggul,
dan karenannya pula apa yang harus ditumbuhkembangkan pada diri para belia kita hari ini. Untuk
menjawab persoalan ini lapangan PAUD dapat memulainya dengan memberikan rumusan dan
gambaran apa sesungguhnya yang dia maksud dengan “anak Indoensia harapan”. Kita patut
khawatir, tanpa rumusan yang jelas visi yang serupa mantra itu tak lebih dari ilusi.
Rujukan
Ailwood, J. (2003). Governing Early Childhood Education through Play. Contemporary Issues in Early
Childhood, 4(3), 286‐299.
Berk, L. E. (2006). Child Development (7th ed.). New York: Allyn and Bacon.
Berkowitz, M. W. (2005). The science of character education. In W. Damon (Ed.), Bringing in A New
Era in Character Education (pp. 43‐63). Hoover Institution Press: Stanford, California.
Blaise, M. (2005). Playing It Straight: Uncovering Gender Discourse in The Early Childhood Classroom.
New York: Routledge.
Bredekamp, S., & Copple, C. (Eds.). (1995). Reaching Potentials: Transforming Early Childhood
Curriculum and Assessment (Vol. 2). Washington: National Association for the Education of
Young Children (NAEYC).
Calman, L. J., & Tarr‐Whelan, L. (2005). Early Childhood Education for All: A Wise Investment. New
York: Legal Momentum’s Family Initiative and the MIT Workplace Center.
7
Canton, J. (2007). The Extreme Future: the top trends that will reshape the world in the next 20 years.
New York: Plume Book.
Dahlberg, G., & Moss, P. (2005). Ethics and Politics in Early Childhood Education. New York:
RoutledgeFalmer.
Direktorat Jenderal PAUDNI. (2011). Kerangka Besar Pembangunan PAUD Indonesia Periode 2011 ‐
2025. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Emmerson, D. K. (2000). Will Indonesia Survive? Foreign Affairs, 79(3), 95‐106.
Fahardian, C. E. (2005). Christianity, Islam, and Nationalism in Indonesia. New York: Routledge.
Gilligan, C. (1982). In A Different Voice: Psychological Theory and Women's Development. Cambridge,
Massachusetts and London: Harvard Uiversity Press.
Harvey, B. S. (2002). The Future of Indonesia as A Unitary State: Separatism and Decentralization.
Alexandria, Virginia: Project Asia, Center for Strategic Studies CNA Corporation.
Inayatullah, S. (2008). Six pillars: futures thinking for transforming. Foresight, 10(1), 4‐21.
Kostelnik, M. J., Soderman, A. K., & Whiren, A. P. (2007). Developmentally Appropriate Curriculum:
Best Practices in Early Childhood Education (4th ed.). Upper Saddle River: Pearson.
Lubeck, S. (1998). Is Developmentally Appropriate Practice for Eeveryone. Childhood Education,
74(5), 283‐292.
Mitchell, L., & Davison, C. (2010). Early Childhood Education as Sites for Children’s Citizenship:
Tensions, challenges and possibilities in New Zealand’s policy framing. International Journal
of Equity and Innovation in Early Childhood, 8(1), 12‐24.
Noble, R. (2005). The Best Economic Development Tool. Business and Economic Review, (April‐June
2005), 3‐6. Retrieved from
http://edweb.tusd.k12.az.us/kinder1resources/documents/EarlyChildhood.pdf
Tanjung, C. (2011a). Indonesia ‐ The World’s Next Economic Power. Jakarta: Komite Ekonomi
Nasional RI.
Tanjung, C. (2011b). Inovasi dan Kreativitas untuk mendukung Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.
Jakarta: Komite Ekonomi Nasional RI.
World Bank. (2006). Early Childhood Education and Development: An Investment for A Better Life.
Jakarta: The World Bank, Royal Embassy of Netherlands Jakarta, Departemen Pendidikan
Nasional Republik Indonesia.
8