DAMPAK MERAUKE INTEGRETED FOOD AND ENERG
DAMPAK MERAUKE INTEGRETED FOOD AND ENERGY ESTATE (MIFEE)
TERHADAP LIBERALISASI PANGAN DI INDONESIA
A. Pendahuluan
Pangan adalah komoditi yang tidak hanya memiliki kedudukan strategis dalam
pemenuhan kebutuhan dasar manusia, pangan juga memiliki keterkaitan erat dengan nilai
dan pondasi bangunan sosial, ekonomi, politik dan budaya suatu masyarakat, bangsa dan
negara. Ada salah satu ungkapan yang berbunyi “barang siapa yang menguasai pangan ia
akan berdaulat, tapi barang siapa tidak menguasainya maka ia akan terjajah sepanjang
hidupnya”. Itu sebabnya isu-isu yang menyangkut dengan pangan selalu mengemuka dan
menjadi pusat perseteruan dalam setiap perundingan ekonomi dan perdagangan
internasional serta menjadi alat efektif untuk menundukan dan mengendalikan
pemerintahan dan rakyat di suatu negara.
Proses liberalisasi pangan di Indonesia sebetulnya sudah terjadi sejak tahun 1900an, salah satunya keanggotaan Indonesia dalam CAFTA. Melalui CAFTA, Indonesia
selalu berada pada posisi tawar yang paling lemah, sehingga harus membuka keran
impornya untuk produk-produk pertanian pada 2012. Di WTO maupun AoA upaya lobby
delegasi pemerintah Indonesia hampir tidak maksimal bahkan cenderung mendapatkan
tekanan negara-negara maju. Pada saat itu pemerintah Indonesia sudah mengurangi tarif
untuk 6000 produk industri dan pertanian, memangkas 95% dari total tarifnya sebesar
rata-rata 40%. Sejak saat itu Indonesia sudah menjadi negara yang paling liberal
dibandingkan negara-neraga liberal lainnya.1
1 Petani Kecil di Tengah Kebijakan Industrialisasi Pangan, diakses dari http://binadesa.org/petani-kecil-di-tengahkebijakan-industrialisasi-pangan/, pada 29 Maret 2017, pukul 20.00.
Marauke Integreted Food and Energy Estate (MIFEE) ini sebetulnya hasil adopsi
pada masa pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1870, dan kembali dilanjutkan
secara masif pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang mengundang
investor dari Australia, Timur Tengah dan perusahaan konglomerat nasional untuk
menanamkan modalnya di Papua khususnya di sektor pertanian.
Dalam rangka menarik investor di sektor pertanian tersebut, pemerintah
mengeluarkan kebijakan pengadaan tanah seluas 1,2 juta hektar yang sudah dicadangkan
untuk Marauke Integreted Food and Energy Estate (MIFEE), dimana 1,15 juta hektar
adalah Hutan Produksi Konversi yang memang dicadangkan untuk pembangunan diluar
sektor kehutanan seperti pertanian. Dari 1,2 juta hektar tersebut yang dapat dijadikan
tanaman pangan hanya seluas 600.000 hektar. Kebijakan tersebut tertuang dalam rencana
Peraturan Presiden mengenai Tata Ruang Pulau Papua (Rapepres RTR Papua).2
Program ini selanjutnya dilanjutkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi, dalam
kunjungannya ke Marauke 9-10 Mei 2015 lalu. Ia menyebutkan akan melakukan konversi
lahan kembali dan dari luasan yang telah di konversi tersebut dalam tiga tahun
mendatang luasan lahan MIFEE akan mencapai wilayah seluas 4,6 juta hektar. 3 Tujuan
dari program ini sebetulnya semata-mata agar Indonesia mencapai swasembada beras dan
menghindari krisis pangan dimasa depan.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana dampak Merauke Integreted Food and Energy Estate (MIFEE) terhadap
liberalisasi pangan di Indonesia?
2 Ibid.
3 Said Abdullah, MIFEE dan Mimpi Swasembada Pangan, diakses dari http://kedaulatanpangan.net/2015/07/mifeedan-mimpi-swasembada-pangan/, pada 29 Maret 2017, pukul 20.10.
C. Kerangka Pemikiran
1. Liberalisme
Pemikiran liberalisme menghendaki adanya kebabsan individu dalam segenap
aspek kehidupan, sepanjang tidak menganggu kebebasan orang lain. Bahwa setiap
orang memiliki hak-hak tertentu yang tidak dapat dipindah-pindahkan atau dilanggar
oleh kekuasaan manapun. Negara hanya berfungsi melindungi saja dan sama sekali
tidak dibenarkan untuk ikut campur dalam pelaksanaan hak masing-masing individu.
Seorang ahli liberalisme Jefferson mengatakan bahwa setiap individu pada
dasarnya memiliki beberapa hak yang diberikan oleh Tuhan yang tidak bisa dialihkan
kepada individu lainnya, sedangkan pemerintah tidak memiliki hak sama sekali
karena hak dan kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah pada dasarnya berasal dari
rakyat. Salah satunya adalah kebebasan dalam berusaha, atau biasa dikenal dengan
ajaran laissez faire, ajaran ini di bawa ke Inggris oleh John Stuart Mills dalam
bukunya “Principle of Political Economy”, intinya tidak memperbolehkan negara
mencampuri kegiatan-kegiatan perekonomian perseorangan.4
2. Neoliberalisme
Tidak jauh berbeda dengan pandangan liberalisme, neoliberalisme lebih
menekankan pada konteks pasar bebas dan kompetisi. Dalam hal ini swasta atau para
pemilik modal (kapitalis) yang menentukan arah dan tujuan ekonomi suatu negara.
Bapak ekonomi kapitalis dunia, Adam Smith memandang produksi dan
perdagangan sebagai kunci untuk membuka kemakmuran. Agar produksi dan
perdagangan maksimal dan menghasilkan kekayaan universal, Smith menganjurkan
4 Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional – Teori dan Pendekatan, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2011, halaman 290.
pemerintah memberikan kebebasan ekonomi kepada rakyat dalam perdagangan
bebas, baik dalam ruang lingkup domestik maupun internasional.5
Smith mengklaim dalam sebuah perekonomian tanpa campur tangan pemerintah
(laissez faire) yang mengedepankan nilai-nilai kebebasan (liberalisme) maka
perekonomian secara otomatis mengatur dirinya untuk mencapai kemakmuran dan
keseimbangan.6
Dalam kasus MIFEE yang terjadi ketika pemerintah Indonesia membuka proyek
tersebut dan mengundang investor-investor asing untuk berinvestasi adalah seperti
yang sudah dikatakan oleh Adam Smith, bahwa nantinya peran pemerintah akan
semakin berkurang dan proyek MIFEE tersebut justru malah menjadi malapetaka bagi
Indonesia itu sendiri, karena jika proyek atau bidang vital (pangan) dikuasai oleh
asing yang terjadi adalah mereka akan mengedepankan interest-nya dan dapat
memonopoli sumber vital negara Indonesia.
D. Pembahasan
Wilayah Kabupaten Merauke memang terhitung sangat luas. Sebelum pemekaran
luas kabupaten ini adalah 119.749 Km2 (atau sekitar 11.994.900 ha.). Setelah pemekaran
pada tahun 2002, luas Kabupaten Merauke menyusut menjadi 45.071 Km2 atau sekitar
4,5 Juta Ha, yang terdiri dari lahan non-budi daya seluas sekitar 2 juta ha, dan lahan
budidaya sekitar 2,5 juta ha. Ini masih terhitung sangat luas jika dibandingkan dengan
luas kabupaten-kabupaten yang ada di Tanah Jawa. Menurut perhitungan, luas lahan
cadangan potensial sekitar 2,5 ha, yang terdiri dari 0,6 juta Ha (sekitar 24%) merupakan
lahan kering, dan sekitar 1,9 juta ha (sekitar 76%) merupakan lahan basah.7
5 Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, INSISTPress, Yogyakarta, 2003, halaman 54.
6 Mark Skousen, Teori-teori Ekonomi Modern : Sejarah Pemikiran Ekonomi, Prenada, Jakarta, 2006, halaman 2122.
7 Petani Kecil di Tengah Kebijakan Industrialisasi Pangan, diakses dari http://binadesa.org/petani-kecil-di-tengahkebijakan-industrialisasi-pangan/, pada 29 Maret 2017, pukul 21.00.
Adapun rancangan peruntukan pemanfaatan lahan dalam kawasan budidaya
adalah Hutan Produksi (HPK): 1.428.000 ha (57,31%), Hutan Produksi Terbatas (HPT):
860.953 ha (34.55%), dan Areal Penggunaan Lain (APL): 202.869 ha (8,14%). Dari
analisis potensi efektif lahan, Tata Ruang lahan yang potensial dikembangkan lebih jauh
adalah seluas 1,283.000 ha, dengan alokasi pemanfaatan untuk pangan 50%; tebu 30%;
dan sawit 20%.8
Marauke Integreted Food and Energy Estate (MIFEE) itu sendiri merupakan
pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pangan,
perkebunan, peternakan dan perikanan. Menurut data tahun 2013 pemerintah melibatkan
32 investor yang bergerak di bidang perkebunan, pertanian tanaman pangan, perikanan
darat, peternakan, konstruksi dan industri pengolahan kayu. Di antaranya adalah Medco
PT Bangun Tjipta Sarana, Artha Graha, Come-Xindo International, Digul Agro Lestari,
Buana Agro Tama, Wolo Agro Makmur, dan Binladen Group. Para investor diajak untuk
mengelola lahan seluas 1.282.833 ha yang berdasarkan rekomendasi Badan Penataan
Ruang Nasional (BKPRN) layak dikembangkan menjad kawasan pertanian pangan dan
bahan bakar hayati dalam skala luas.9
Dari hal di atas dapat kita lihat berbagai macam kepentingan investor yang ada
pada proyek ini, sehingga apa yang di idam-idamkan oleh pemerintah sangat bertolak
belakang dengan realitas yang terjadi. Proses liberalisasi sektor pangan kian terbuka lebar
pada sektor-sektor vital yang ada di Indonesia, meskipun ada beberapa pengusaha
nasional akantetapi mega proyek tersebut di dominasi oleh investor asing.
Apabila berjalan sesuai rencana, pada tahun 2030 MIFEE akan berkontribusi pada
penyediaan stok pangan per tahun sebagai berikut: padi 1,95 juta ton, jagung 2,02 juta
8 R. Yando Zakaria, MIFEE, Membunuh Papua Sekali lagi, diakses dari
https://www.academia.edu/3535969/MIFEE_Membunuh_Papua_Sekali_Lagi, pukul 21.12.
9 Petani Kecil di Tengah Kebijakan Industrialisasi Pangan, diakses dari http://binadesa.org/petani-kecil-di-tengahkebijakan-industrialisasi-pangan/, pada 29 Maret 2017, pukul 21.14.
ton, kedelai 167.000 ton, ternak sapi 64.000 ton, gula 2,5 juta ton, and Crude Palm Oil
(CPO) 937.000 ton. PDRB Merauke diramalkan akan mencapai Rp 124,2 juta per
kapita/tahun. Dalam rangka mendukung proyek ini, pemerintah juga sudah membuat
payung hukum agar proyek tersebut dapat berjalan, produk hukum tersebut di antaranya,
Undang-Undang (UU) Nomor 27 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan Pemerintah (PP) 26/2008 tentang Rencana Tata
Ruang Nasional (RTRWN), Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Penggunaan Kawasan
Hutan untuk Kepentingan di Luar Kegiatan Kehutanan, Peraturan Pemerintah (PP) No
24/2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, Peraturan Pemerintah (PP) No 10/2010
tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, Inpres No.5 tahun
2008 tentang Fokus Program Ekonomi tahun 2008-2009 dan Raperda Kabupaten
Merauke Tahun 2009 Tentang Merauke Integrated Food and Energy Estate.10
Ambisi pemerintah untuk mensukseskan proyek MIFEE kian nyata, dengan di
buatkannya payung hukum untuk para investor tersebut, membuat mereka sangat nyaman
untuk memegang kendali penuh atas mega proyek pangan tersebut. Di sini pemerintah
seakan-akan memberikan ribuan bahkan jutaan hektar tanah kepada pada investorinvestor, tidak peduli status lahannya bagaimana, entah itu tanah negara atau tanah
kehutanan, bila memungkinkan pemerintah dengan mudah melepas dan memberikannya
kepada para pengusaha pertanian tersebut. Tidak lagi memikirkan nasib para petani kecil
atau buruh tani yang sejak turun temurun hidup dalam pertanian namun sampai saat ini
tidak memiliki lahan.
10 R. Yando Zakaria, MIFEE, Membunuh Papua Sekali lagi, diakses dari
https://www.academia.edu/3535969/MIFEE_Membunuh_Papua_Sekali_Lagi, pukul 21.16.
Proyek yang berbicara untuk tujuan mencapai ketahanan pangan nasional semakin
pantas untuk dipertanyakan kembali, pasalnya lokasi yang dipilih ialah Papua yang
mayoritas makanan pokok rakyat disana adalah sagu yang diperoleh dari hutan sagu. Kini
hutan-hutan tersebut ditebangi dan digantikan tanaman pangan industri seperti padi,
jagung, sawit dan tanaman yang berorientasi ekspor. Proyek MIFEE sama sekali tidak
sensitif dengan latar belakang sejarah dan realitas yang ada di masyarakat. Dalam hal ini
ancaman kelaparan dan kehilangan sumber bahan makanan pokok masyarakat Papua,
yang dirasa sebagai jalan keluar bagi pemerintah ternyata jusru sebaliknya malah
menjerumuskan rakatnya sendiri kedalam krisis pangan berkepanjangan.
Disamping dampak di atas, terdapat juga dampak-dampak lainnya seperti dampak
pada budaya, demografi, ekonomi, dan juga lingkungan setempat. Kehadiran proyek
secara langsung dan besar seperti MIFEE akan mempengaruhi tatanan demografi
setempat. Ditandai oleh hadirnya tenaga kerja dalam jumlah yang sangat besar, hal
tersebut menjadi mungkin karena warga setempat tidak mampu masuk ke dalam proyek.
Baik karena alasan yang bersifat kuantitatif, dimana tidak sebandingnya kebutuhan
tenaga kerja untuk proyek terhadap jumlah penduduk asal yang sedikit. Maupun karena
alasan-alasan yang bersifat kualitatif, yakni tidak sesuainya kemampuan penduduk
dengan spesifikasi kerja yang dibutuhkan. Parahnya, demografi yang mengalami
transformasi secara radikal ini membuat kian mendominasinya kelompok pendatang baik
dari jumlah maupun pengaruh.11
Secara lebih mendalam, masalah-masalah yang berkaitan dengan dengan tatanan
sosial dan budaya ini adalah menyangkut permasalahan orientasi sistem nilai, etos kerja,
daya adaptasi orang Papua asli (OPA) yang bermuara pada disorientasi sistem nilai, dan
Masalah pemenuhan hak-hak dasar. Masalah-masalah yang menonjol dalam hal tatanan
11 Laksmi Savitri, MIFEE Untuk Kepentingan Siapa?, SAIN Institut, Bogor, 2010.
ekonomi menyangkut permasalahan yang menyangkut perubahan struktur agraria yang
bermuara pada perubahan kegiatan ekonomi utama. Perubahan pola kegiatan ekonomi
utama ini pada akhirnya juga akan mempengaruhi daya tahan dan kedaulatan pangan
masyarakat yang bersangkutan. Pemenuhan hak atas pangan pun akan terganggu.
Perubahan mata pencaharian hidup dari kegiatan ekonomi yang otonom menjadi
sekedar buruh dari sebuah sektor usaha yang dikendalikan oleh pihak lain akan membuat
kehidupan masyarakat setempat yang tadinya mandiri menjadi tergantung pada phak lain.
Proletarisasi masyarakat adat dan petani setempat pun tidak bisa dihindari. Demikian
pula, ‘depeasantisasi’, suatu proses memudarnya atau hilangnya kegiatan ekonomi tani
yang mandiri menjadi sekedar buruh, pada sektor usaha yang bersifat kapitalistis di
wilayah itu pun dimulai.12 Diiringi oleh rendahnya daya serap SDM orang Papua asli
(OPA) ke dalam proyek akan memperbesar marginalisasi ekonomi warga setempat.
Pada tatanan lingkungan, alih fungsi lahan tentu akan segera berpengaruh pada
perubahan permukaan lahan, perubahan hidro-orologi, perubahan vegetasi, dan
seterusnya. Dalam keadaan tertentu perubahan lingkungan ini juga akan memperdalam
persoalan-persolan ekonomi serta sosial dan budaya yang dihadapi masyarakat setempat.
Misalnya, penyempitan lahan akan mengurangi luasan ladang perburuan dan sekaligus
mengurangi habitat berbagai hewan buruan. Akibatnya asupan protein masyarakat pun
akan terus menurun. Penggantian mekanisme asupan protein melalui jalur jual-beli di
pasar belum tentu terjadi karena masyarakat belum tentu mampu menghasilkan uang
tunai yang cukup melalui keterlibatannya dalam sistem ekonomi ala MIFEE.13
Dampak selajutnya dari liberalisasi sektor pangan ini ialah berbagai persoalan
sosial budaya yang tidak bisa di hindari akibat dari proyek MIFEE ini, bahwa wilayah
12 R. Yando Zakaria, MIFEE, Membunuh Papua Sekali lagi, diakses dari
https://www.academia.edu/3535969/MIFEE_Membunuh_Papua_Sekali_Lagi, pukul 21.30.
13 Ibid.
Kabupaten Merauke termasuk ke dalam wilayah dengan Penduduk Tipe 2. 14 Artinya,
penduduk di wilayah ini banyak yang tinggal di hulu-hulu sungai besar dan kecil yang
terdapat di bagian Selatan Papua. Mata pencarian utama adalah meramu sagu dan
berburu. Mereka juga adang-kadang mencari ikan di sungai. Mereka tidak tahu berkebun
dan tidak hidup menetap di desa-desa. Mereka juga memiliki tempat-tempat yang
dianggap keramat. Tempat-tempat keramat ini mereka anggap sebagai tempat asal-usul
nenek moyang mereka.
Yang mekhawatirkan juga dampaknya terhadap lingkungan di Papua. Bukan tidak
mungkin akan terjadi ledakan hama karena konsep food estate adalah konsep pertanian
monokultur berskala luas, serta memungkinkan ketidakproduktifan lahan proyek food
estate. Tidak dapat dipungkiri juga kerusakan alam berkepanjangan akibat pembukaan
lahan untuk proyek tersebut. Seperti yang terjadi di beberapa negara Afrika, yang
hutannya menjadi lahan tandus, hal ini juga akan berakibat pada keanekaragaman flora
dan fauna endemik di bumi Papua yang terancam punah.
E. Kesimpulan
14 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Bogor, 1970.
Dari yang sudah saya paparkan di atas, bahwa liberalisasi tidak melulu menjadi sesuatu
hal yang dapat meningkatkan perekonomian negara. Suatu negara yang masih belum bisa
bersaing, tidak akan bisa menggempur liberalisme melalui pasar bebasnya. Merauke
Integreted Food and Energy Estate (MIFEE) sebagai salah satu contoh dari liberalisasi
sektor pangan di Indonesia. Menurut saya pemerintah Indonesia kurang cerdik dalam
melihat kondisi, baik budaya, dan geografis. Pasalnya dari 12 juta ha lahan yang telah
dibuat sejak pemerintahan SBY, hanya sekitar 600.000 yang dapat berfungsi, hal ini
dikarenakan kondisi geografis wilayah Merauke yang mengandalkan sawah tadah hujan.
Disamping itu juga lebih banyak dampak negatif dibandingkan dengan dampak
positifnya, pasalnya pemerintah itu sendiri tidak bisa menjanjikan proyek tersebut akan
berhasil, sedangkan proyek tersebut sudah dikuasai oleh penguasha-penguasaha asing
yang notabenenya memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Kembali yang menjadi
korban dari kapitalisme adalah rakyat Indonesia yang hanya menjadi buruh. Jika
pemerintah benar-benar memetakan wilayah yang menjadi konsentrasi pangan, mungkin
tidak terjadi hal seperti ini.
TERHADAP LIBERALISASI PANGAN DI INDONESIA
A. Pendahuluan
Pangan adalah komoditi yang tidak hanya memiliki kedudukan strategis dalam
pemenuhan kebutuhan dasar manusia, pangan juga memiliki keterkaitan erat dengan nilai
dan pondasi bangunan sosial, ekonomi, politik dan budaya suatu masyarakat, bangsa dan
negara. Ada salah satu ungkapan yang berbunyi “barang siapa yang menguasai pangan ia
akan berdaulat, tapi barang siapa tidak menguasainya maka ia akan terjajah sepanjang
hidupnya”. Itu sebabnya isu-isu yang menyangkut dengan pangan selalu mengemuka dan
menjadi pusat perseteruan dalam setiap perundingan ekonomi dan perdagangan
internasional serta menjadi alat efektif untuk menundukan dan mengendalikan
pemerintahan dan rakyat di suatu negara.
Proses liberalisasi pangan di Indonesia sebetulnya sudah terjadi sejak tahun 1900an, salah satunya keanggotaan Indonesia dalam CAFTA. Melalui CAFTA, Indonesia
selalu berada pada posisi tawar yang paling lemah, sehingga harus membuka keran
impornya untuk produk-produk pertanian pada 2012. Di WTO maupun AoA upaya lobby
delegasi pemerintah Indonesia hampir tidak maksimal bahkan cenderung mendapatkan
tekanan negara-negara maju. Pada saat itu pemerintah Indonesia sudah mengurangi tarif
untuk 6000 produk industri dan pertanian, memangkas 95% dari total tarifnya sebesar
rata-rata 40%. Sejak saat itu Indonesia sudah menjadi negara yang paling liberal
dibandingkan negara-neraga liberal lainnya.1
1 Petani Kecil di Tengah Kebijakan Industrialisasi Pangan, diakses dari http://binadesa.org/petani-kecil-di-tengahkebijakan-industrialisasi-pangan/, pada 29 Maret 2017, pukul 20.00.
Marauke Integreted Food and Energy Estate (MIFEE) ini sebetulnya hasil adopsi
pada masa pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1870, dan kembali dilanjutkan
secara masif pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang mengundang
investor dari Australia, Timur Tengah dan perusahaan konglomerat nasional untuk
menanamkan modalnya di Papua khususnya di sektor pertanian.
Dalam rangka menarik investor di sektor pertanian tersebut, pemerintah
mengeluarkan kebijakan pengadaan tanah seluas 1,2 juta hektar yang sudah dicadangkan
untuk Marauke Integreted Food and Energy Estate (MIFEE), dimana 1,15 juta hektar
adalah Hutan Produksi Konversi yang memang dicadangkan untuk pembangunan diluar
sektor kehutanan seperti pertanian. Dari 1,2 juta hektar tersebut yang dapat dijadikan
tanaman pangan hanya seluas 600.000 hektar. Kebijakan tersebut tertuang dalam rencana
Peraturan Presiden mengenai Tata Ruang Pulau Papua (Rapepres RTR Papua).2
Program ini selanjutnya dilanjutkan oleh pemerintahan Presiden Jokowi, dalam
kunjungannya ke Marauke 9-10 Mei 2015 lalu. Ia menyebutkan akan melakukan konversi
lahan kembali dan dari luasan yang telah di konversi tersebut dalam tiga tahun
mendatang luasan lahan MIFEE akan mencapai wilayah seluas 4,6 juta hektar. 3 Tujuan
dari program ini sebetulnya semata-mata agar Indonesia mencapai swasembada beras dan
menghindari krisis pangan dimasa depan.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana dampak Merauke Integreted Food and Energy Estate (MIFEE) terhadap
liberalisasi pangan di Indonesia?
2 Ibid.
3 Said Abdullah, MIFEE dan Mimpi Swasembada Pangan, diakses dari http://kedaulatanpangan.net/2015/07/mifeedan-mimpi-swasembada-pangan/, pada 29 Maret 2017, pukul 20.10.
C. Kerangka Pemikiran
1. Liberalisme
Pemikiran liberalisme menghendaki adanya kebabsan individu dalam segenap
aspek kehidupan, sepanjang tidak menganggu kebebasan orang lain. Bahwa setiap
orang memiliki hak-hak tertentu yang tidak dapat dipindah-pindahkan atau dilanggar
oleh kekuasaan manapun. Negara hanya berfungsi melindungi saja dan sama sekali
tidak dibenarkan untuk ikut campur dalam pelaksanaan hak masing-masing individu.
Seorang ahli liberalisme Jefferson mengatakan bahwa setiap individu pada
dasarnya memiliki beberapa hak yang diberikan oleh Tuhan yang tidak bisa dialihkan
kepada individu lainnya, sedangkan pemerintah tidak memiliki hak sama sekali
karena hak dan kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah pada dasarnya berasal dari
rakyat. Salah satunya adalah kebebasan dalam berusaha, atau biasa dikenal dengan
ajaran laissez faire, ajaran ini di bawa ke Inggris oleh John Stuart Mills dalam
bukunya “Principle of Political Economy”, intinya tidak memperbolehkan negara
mencampuri kegiatan-kegiatan perekonomian perseorangan.4
2. Neoliberalisme
Tidak jauh berbeda dengan pandangan liberalisme, neoliberalisme lebih
menekankan pada konteks pasar bebas dan kompetisi. Dalam hal ini swasta atau para
pemilik modal (kapitalis) yang menentukan arah dan tujuan ekonomi suatu negara.
Bapak ekonomi kapitalis dunia, Adam Smith memandang produksi dan
perdagangan sebagai kunci untuk membuka kemakmuran. Agar produksi dan
perdagangan maksimal dan menghasilkan kekayaan universal, Smith menganjurkan
4 Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional – Teori dan Pendekatan, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2011, halaman 290.
pemerintah memberikan kebebasan ekonomi kepada rakyat dalam perdagangan
bebas, baik dalam ruang lingkup domestik maupun internasional.5
Smith mengklaim dalam sebuah perekonomian tanpa campur tangan pemerintah
(laissez faire) yang mengedepankan nilai-nilai kebebasan (liberalisme) maka
perekonomian secara otomatis mengatur dirinya untuk mencapai kemakmuran dan
keseimbangan.6
Dalam kasus MIFEE yang terjadi ketika pemerintah Indonesia membuka proyek
tersebut dan mengundang investor-investor asing untuk berinvestasi adalah seperti
yang sudah dikatakan oleh Adam Smith, bahwa nantinya peran pemerintah akan
semakin berkurang dan proyek MIFEE tersebut justru malah menjadi malapetaka bagi
Indonesia itu sendiri, karena jika proyek atau bidang vital (pangan) dikuasai oleh
asing yang terjadi adalah mereka akan mengedepankan interest-nya dan dapat
memonopoli sumber vital negara Indonesia.
D. Pembahasan
Wilayah Kabupaten Merauke memang terhitung sangat luas. Sebelum pemekaran
luas kabupaten ini adalah 119.749 Km2 (atau sekitar 11.994.900 ha.). Setelah pemekaran
pada tahun 2002, luas Kabupaten Merauke menyusut menjadi 45.071 Km2 atau sekitar
4,5 Juta Ha, yang terdiri dari lahan non-budi daya seluas sekitar 2 juta ha, dan lahan
budidaya sekitar 2,5 juta ha. Ini masih terhitung sangat luas jika dibandingkan dengan
luas kabupaten-kabupaten yang ada di Tanah Jawa. Menurut perhitungan, luas lahan
cadangan potensial sekitar 2,5 ha, yang terdiri dari 0,6 juta Ha (sekitar 24%) merupakan
lahan kering, dan sekitar 1,9 juta ha (sekitar 76%) merupakan lahan basah.7
5 Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, INSISTPress, Yogyakarta, 2003, halaman 54.
6 Mark Skousen, Teori-teori Ekonomi Modern : Sejarah Pemikiran Ekonomi, Prenada, Jakarta, 2006, halaman 2122.
7 Petani Kecil di Tengah Kebijakan Industrialisasi Pangan, diakses dari http://binadesa.org/petani-kecil-di-tengahkebijakan-industrialisasi-pangan/, pada 29 Maret 2017, pukul 21.00.
Adapun rancangan peruntukan pemanfaatan lahan dalam kawasan budidaya
adalah Hutan Produksi (HPK): 1.428.000 ha (57,31%), Hutan Produksi Terbatas (HPT):
860.953 ha (34.55%), dan Areal Penggunaan Lain (APL): 202.869 ha (8,14%). Dari
analisis potensi efektif lahan, Tata Ruang lahan yang potensial dikembangkan lebih jauh
adalah seluas 1,283.000 ha, dengan alokasi pemanfaatan untuk pangan 50%; tebu 30%;
dan sawit 20%.8
Marauke Integreted Food and Energy Estate (MIFEE) itu sendiri merupakan
pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pangan,
perkebunan, peternakan dan perikanan. Menurut data tahun 2013 pemerintah melibatkan
32 investor yang bergerak di bidang perkebunan, pertanian tanaman pangan, perikanan
darat, peternakan, konstruksi dan industri pengolahan kayu. Di antaranya adalah Medco
PT Bangun Tjipta Sarana, Artha Graha, Come-Xindo International, Digul Agro Lestari,
Buana Agro Tama, Wolo Agro Makmur, dan Binladen Group. Para investor diajak untuk
mengelola lahan seluas 1.282.833 ha yang berdasarkan rekomendasi Badan Penataan
Ruang Nasional (BKPRN) layak dikembangkan menjad kawasan pertanian pangan dan
bahan bakar hayati dalam skala luas.9
Dari hal di atas dapat kita lihat berbagai macam kepentingan investor yang ada
pada proyek ini, sehingga apa yang di idam-idamkan oleh pemerintah sangat bertolak
belakang dengan realitas yang terjadi. Proses liberalisasi sektor pangan kian terbuka lebar
pada sektor-sektor vital yang ada di Indonesia, meskipun ada beberapa pengusaha
nasional akantetapi mega proyek tersebut di dominasi oleh investor asing.
Apabila berjalan sesuai rencana, pada tahun 2030 MIFEE akan berkontribusi pada
penyediaan stok pangan per tahun sebagai berikut: padi 1,95 juta ton, jagung 2,02 juta
8 R. Yando Zakaria, MIFEE, Membunuh Papua Sekali lagi, diakses dari
https://www.academia.edu/3535969/MIFEE_Membunuh_Papua_Sekali_Lagi, pukul 21.12.
9 Petani Kecil di Tengah Kebijakan Industrialisasi Pangan, diakses dari http://binadesa.org/petani-kecil-di-tengahkebijakan-industrialisasi-pangan/, pada 29 Maret 2017, pukul 21.14.
ton, kedelai 167.000 ton, ternak sapi 64.000 ton, gula 2,5 juta ton, and Crude Palm Oil
(CPO) 937.000 ton. PDRB Merauke diramalkan akan mencapai Rp 124,2 juta per
kapita/tahun. Dalam rangka mendukung proyek ini, pemerintah juga sudah membuat
payung hukum agar proyek tersebut dapat berjalan, produk hukum tersebut di antaranya,
Undang-Undang (UU) Nomor 27 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan Pemerintah (PP) 26/2008 tentang Rencana Tata
Ruang Nasional (RTRWN), Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Penggunaan Kawasan
Hutan untuk Kepentingan di Luar Kegiatan Kehutanan, Peraturan Pemerintah (PP) No
24/2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, Peraturan Pemerintah (PP) No 10/2010
tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, Inpres No.5 tahun
2008 tentang Fokus Program Ekonomi tahun 2008-2009 dan Raperda Kabupaten
Merauke Tahun 2009 Tentang Merauke Integrated Food and Energy Estate.10
Ambisi pemerintah untuk mensukseskan proyek MIFEE kian nyata, dengan di
buatkannya payung hukum untuk para investor tersebut, membuat mereka sangat nyaman
untuk memegang kendali penuh atas mega proyek pangan tersebut. Di sini pemerintah
seakan-akan memberikan ribuan bahkan jutaan hektar tanah kepada pada investorinvestor, tidak peduli status lahannya bagaimana, entah itu tanah negara atau tanah
kehutanan, bila memungkinkan pemerintah dengan mudah melepas dan memberikannya
kepada para pengusaha pertanian tersebut. Tidak lagi memikirkan nasib para petani kecil
atau buruh tani yang sejak turun temurun hidup dalam pertanian namun sampai saat ini
tidak memiliki lahan.
10 R. Yando Zakaria, MIFEE, Membunuh Papua Sekali lagi, diakses dari
https://www.academia.edu/3535969/MIFEE_Membunuh_Papua_Sekali_Lagi, pukul 21.16.
Proyek yang berbicara untuk tujuan mencapai ketahanan pangan nasional semakin
pantas untuk dipertanyakan kembali, pasalnya lokasi yang dipilih ialah Papua yang
mayoritas makanan pokok rakyat disana adalah sagu yang diperoleh dari hutan sagu. Kini
hutan-hutan tersebut ditebangi dan digantikan tanaman pangan industri seperti padi,
jagung, sawit dan tanaman yang berorientasi ekspor. Proyek MIFEE sama sekali tidak
sensitif dengan latar belakang sejarah dan realitas yang ada di masyarakat. Dalam hal ini
ancaman kelaparan dan kehilangan sumber bahan makanan pokok masyarakat Papua,
yang dirasa sebagai jalan keluar bagi pemerintah ternyata jusru sebaliknya malah
menjerumuskan rakatnya sendiri kedalam krisis pangan berkepanjangan.
Disamping dampak di atas, terdapat juga dampak-dampak lainnya seperti dampak
pada budaya, demografi, ekonomi, dan juga lingkungan setempat. Kehadiran proyek
secara langsung dan besar seperti MIFEE akan mempengaruhi tatanan demografi
setempat. Ditandai oleh hadirnya tenaga kerja dalam jumlah yang sangat besar, hal
tersebut menjadi mungkin karena warga setempat tidak mampu masuk ke dalam proyek.
Baik karena alasan yang bersifat kuantitatif, dimana tidak sebandingnya kebutuhan
tenaga kerja untuk proyek terhadap jumlah penduduk asal yang sedikit. Maupun karena
alasan-alasan yang bersifat kualitatif, yakni tidak sesuainya kemampuan penduduk
dengan spesifikasi kerja yang dibutuhkan. Parahnya, demografi yang mengalami
transformasi secara radikal ini membuat kian mendominasinya kelompok pendatang baik
dari jumlah maupun pengaruh.11
Secara lebih mendalam, masalah-masalah yang berkaitan dengan dengan tatanan
sosial dan budaya ini adalah menyangkut permasalahan orientasi sistem nilai, etos kerja,
daya adaptasi orang Papua asli (OPA) yang bermuara pada disorientasi sistem nilai, dan
Masalah pemenuhan hak-hak dasar. Masalah-masalah yang menonjol dalam hal tatanan
11 Laksmi Savitri, MIFEE Untuk Kepentingan Siapa?, SAIN Institut, Bogor, 2010.
ekonomi menyangkut permasalahan yang menyangkut perubahan struktur agraria yang
bermuara pada perubahan kegiatan ekonomi utama. Perubahan pola kegiatan ekonomi
utama ini pada akhirnya juga akan mempengaruhi daya tahan dan kedaulatan pangan
masyarakat yang bersangkutan. Pemenuhan hak atas pangan pun akan terganggu.
Perubahan mata pencaharian hidup dari kegiatan ekonomi yang otonom menjadi
sekedar buruh dari sebuah sektor usaha yang dikendalikan oleh pihak lain akan membuat
kehidupan masyarakat setempat yang tadinya mandiri menjadi tergantung pada phak lain.
Proletarisasi masyarakat adat dan petani setempat pun tidak bisa dihindari. Demikian
pula, ‘depeasantisasi’, suatu proses memudarnya atau hilangnya kegiatan ekonomi tani
yang mandiri menjadi sekedar buruh, pada sektor usaha yang bersifat kapitalistis di
wilayah itu pun dimulai.12 Diiringi oleh rendahnya daya serap SDM orang Papua asli
(OPA) ke dalam proyek akan memperbesar marginalisasi ekonomi warga setempat.
Pada tatanan lingkungan, alih fungsi lahan tentu akan segera berpengaruh pada
perubahan permukaan lahan, perubahan hidro-orologi, perubahan vegetasi, dan
seterusnya. Dalam keadaan tertentu perubahan lingkungan ini juga akan memperdalam
persoalan-persolan ekonomi serta sosial dan budaya yang dihadapi masyarakat setempat.
Misalnya, penyempitan lahan akan mengurangi luasan ladang perburuan dan sekaligus
mengurangi habitat berbagai hewan buruan. Akibatnya asupan protein masyarakat pun
akan terus menurun. Penggantian mekanisme asupan protein melalui jalur jual-beli di
pasar belum tentu terjadi karena masyarakat belum tentu mampu menghasilkan uang
tunai yang cukup melalui keterlibatannya dalam sistem ekonomi ala MIFEE.13
Dampak selajutnya dari liberalisasi sektor pangan ini ialah berbagai persoalan
sosial budaya yang tidak bisa di hindari akibat dari proyek MIFEE ini, bahwa wilayah
12 R. Yando Zakaria, MIFEE, Membunuh Papua Sekali lagi, diakses dari
https://www.academia.edu/3535969/MIFEE_Membunuh_Papua_Sekali_Lagi, pukul 21.30.
13 Ibid.
Kabupaten Merauke termasuk ke dalam wilayah dengan Penduduk Tipe 2. 14 Artinya,
penduduk di wilayah ini banyak yang tinggal di hulu-hulu sungai besar dan kecil yang
terdapat di bagian Selatan Papua. Mata pencarian utama adalah meramu sagu dan
berburu. Mereka juga adang-kadang mencari ikan di sungai. Mereka tidak tahu berkebun
dan tidak hidup menetap di desa-desa. Mereka juga memiliki tempat-tempat yang
dianggap keramat. Tempat-tempat keramat ini mereka anggap sebagai tempat asal-usul
nenek moyang mereka.
Yang mekhawatirkan juga dampaknya terhadap lingkungan di Papua. Bukan tidak
mungkin akan terjadi ledakan hama karena konsep food estate adalah konsep pertanian
monokultur berskala luas, serta memungkinkan ketidakproduktifan lahan proyek food
estate. Tidak dapat dipungkiri juga kerusakan alam berkepanjangan akibat pembukaan
lahan untuk proyek tersebut. Seperti yang terjadi di beberapa negara Afrika, yang
hutannya menjadi lahan tandus, hal ini juga akan berakibat pada keanekaragaman flora
dan fauna endemik di bumi Papua yang terancam punah.
E. Kesimpulan
14 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan, Bogor, 1970.
Dari yang sudah saya paparkan di atas, bahwa liberalisasi tidak melulu menjadi sesuatu
hal yang dapat meningkatkan perekonomian negara. Suatu negara yang masih belum bisa
bersaing, tidak akan bisa menggempur liberalisme melalui pasar bebasnya. Merauke
Integreted Food and Energy Estate (MIFEE) sebagai salah satu contoh dari liberalisasi
sektor pangan di Indonesia. Menurut saya pemerintah Indonesia kurang cerdik dalam
melihat kondisi, baik budaya, dan geografis. Pasalnya dari 12 juta ha lahan yang telah
dibuat sejak pemerintahan SBY, hanya sekitar 600.000 yang dapat berfungsi, hal ini
dikarenakan kondisi geografis wilayah Merauke yang mengandalkan sawah tadah hujan.
Disamping itu juga lebih banyak dampak negatif dibandingkan dengan dampak
positifnya, pasalnya pemerintah itu sendiri tidak bisa menjanjikan proyek tersebut akan
berhasil, sedangkan proyek tersebut sudah dikuasai oleh penguasha-penguasaha asing
yang notabenenya memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Kembali yang menjadi
korban dari kapitalisme adalah rakyat Indonesia yang hanya menjadi buruh. Jika
pemerintah benar-benar memetakan wilayah yang menjadi konsentrasi pangan, mungkin
tidak terjadi hal seperti ini.