Siklus Kebijakan Sebuah Model Sederhana

Aryawardhana
105020103111006
Teori Siklus Kebijakan
Siklus Kebijakan – Sebuah Model Sederhana dari Proses Kebijakan
Pada tahun 1956 Lasswell memperkenalkan tujuh tahap model proses kebijakan
yang terdiri dari kabar, dorongan, rekomendasi, permohonan, penerapan, keputusan,
penilaian kebijakan. Model ini telah sangat berhasil sebagai kerangka dasar bagi bidang
studi kebijakan dan menjadi titik awal dari berbagai tipologi proses kebijakan. Versi- versi
yang dikembangkan oleh Brewer dan Deleon (1983), Mei dan Wildavsky (1978), Anderson
(1975), dan Jenkins (1978) adalah salah satu yang paling banyak diadopsi. Saat ini,
differensiasi antara agenda-setting, perumusan kebijakan, pengambilan keputusan,
pelaksanaan, dan evaluasi (yang akhirnya mengarah ke terminasi) telah menjadi cara yang
konvensional untuk dapat menggambarkan kronologi proses kebijakan.
Pemahaman Lasswell tentang model proses kebijakan lebih bersifat preskriptif
(memberikan arahan) dan normatif daripada deskriptif dan analitis. Tahapan- tahapan linear
yang dikemukakan oleh Lasswell didesain seperti model pemecahan masalah dan mirip
dengan model dari perencanaan dan pengambilan keputusan di teori organisasi dan
administrasi publik. Sementara studi empiris tentang pengambilan keputusan dan
perencanaan dalam organisasi, yang dikenal sebagai teori pengambilan keputusan dan
perencanaan dalam organisasi, yang dikenal sebagai teori perilaku pengambilan keputusan
yang dikemukakan oleh Simon (1947), telah berulang kali menunjukkan bahwa pembuatan

keputusan pada kenyataannya di dunia nyata biasanya tidak selalu mengikuti urutan
tahapan ini. Menurut model rasional, pembuatan keputusan apapun harus didasarkan pada
analisis yang komperehensif terhadap masalah dan tujuan, diikuti oleh koleksi inklusif dan
analisis informasi dan mencari alternatif terbaik untuk mencapai tujuan tersebut. Ini meliputi
analisis biaya dan manfaat dari opsi berbeda dan seleksi akhir arah tindakan.
Perspektif tahapan Lasswell kemudian berubah menjadi model siklus setelah
dikombinasikan dengan model input-output Easton. Perspektif siklus menekankan proses
umpan balik antara outpu dan input dari pembuatan kebijakan, yang menyebabkan proses
kebijakan berlangsung terus-menerus. Tahap model siklus ini diantaranya pertama, masalah
didefinisikan dan dimasukkan dalam agenda, kebijakan selanjutnya dikembangkan, diadopsi
dan diimplementasikan, dan, akhirnya kebijakan ini akan dinilai terhadap efektivitas dan
efisiensi dan baik dihentikan atau dimulai ulang.

Tahap-tahap Siklus Kebijakan
Dalam menyusun suatu kebijakan, urutan-urutan perlu dilalui, dari mulai perumusan
masalah, dan diakhiri dengan penghentian kebijakan. Tahap-tahap siklus kebijakan
diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Agenda Setting
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas
kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut

sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu
berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam
agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang
lebih daripada isu lain. Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu
isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy
issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues
biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah
tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter
permasalahan tersebut. Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau
fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian
atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda
kebijakan. Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber,
1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986) diantaranya:
1.
2.
3.
4.

Telah mencapai titik kritis tertentu jika diabaikan,
Akan menjadi ancaman yang serius;

Telah mencapai tingkat partikularitas tertentu à berdampak dramatis;
Menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak (umat

manusia) dan mendapat dukungan media massa;
5. Menjangkau dampak yang amat luas ;
6. Mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;
7. Menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah
dirasakan kehadirannya)

2. Formulasi Kebijakan dan Pengambilan Keputusan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para
pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan

masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau
pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk
dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing slternatif
bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.
3. Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan
publik. Suatu kebijakan atau program harus diimplementasikan agar mempunyai dampak

atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas
merupakan alat administrasi publik dimana aktor, organisasi, prosedur, teknik serta sumber
daya diorganisasikan secara bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih
dampak atau tujuan yang diinginkan.
4. Evaluasi dan Penghentian Kebijakan
Secara

umum evaluasi kebijakan

dapat

dikatakan

sebagai

kegiatan

yang

menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan

dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya,
evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam
seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap
perumusan

masalh-masalah

kebijakan,

program-program

yang

diusulkan

untuk

menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
Kritik
Terkait dengan deskripsi, model tahapan dikatakan mengalami ketidaktepatan

deskriptif karena realitas empiris tidak sesuai dengan klasifikasi proses kebijakan dalam
tahap diskrit dan berurutan. Implementasi, misalnya, mempengaruhi agenda-setting; atau
kebijakan akan dirumuskan sementara beberapa lembaga uji coba lapangan untuk
menegakkan program ambigu, atau penghentian kebijakan harus dilaksanakan. Dalam
sejumlah kasus itu lebih atau kurang mungkin, atau setidaknya tidak berguna, untuk
membedakan antara tahap. Dalam kasus lain, urutan terbalik, beberapa tahapan kehilangan
sepenuhnya atau ada bersamaan.
Dalam hal nilai konseptual, siklus kebijakan kekurangan mendefinisikan elemen
kerangka teoritis. Secara khusus, model tahapan tidak menawarkan penjelasan kausal
untuk transisi antara tahapan yang berbeda. Oleh karena itu, studi tahap tertentu menarik
pada sejumlah konsep teoritis yang berbeda yang belum diturunkan dari kerangka siklus itu

sendiri. Model khusus yang dikembangkan untuk menjelaskan proses dalam tahap tunggal
tidak terhubung dengan pendekatan lain mengacu pada tahap lain dari siklus kebijakan.

POLICY CYCLE DALAM PEMERINTAHAN BELANDA SECARA UMUM
AGENDA SETTING
Agenda Setting merupakan suatu proses awal yang akan menjadi cikal bakal
terbentuknya suatu kebijakan. Dalam proses ini terdapat identifikasi masalah-masalah yang
muncul dalam ruang publik. Selanjutnya dari masalah yang ada dipilih salah satu yang

dominan. Proses pemilihan ini dilakukan karena pada dasarnya tidak semua masalah dapat
diangkat sebagai kebijakan. Pengambilan masalah ini pada akhirnya akan membentuk suatu
policy agenda yang di dalamnya terdapat interpretasi dari masalah-masalah yang ada.
Pihak-pihak yang mempengaruhi setting policy agenda diantaranya sebagai berikut : (1)
kantor-kantor publik; (2) birokrasi; (3) media massa; dan (4) kelompok kepentingan. Pihakpihak tersebut memiliki peran masing-masing untuk membentuk suatu kebijakan[1].
Penerapan agenda setting dalam kebijakan Belanda adalah sebagai berikut:Isu-isu
yang ada dalam ruang publik Belanda dibahas dalam forum sidang yang disebut standing
committee. Standing committee terdiri dari anggota parlemen, senate, dan eksekutif yang di
dalamnya

terdapat

anggota

kabinet.

Kabinet

dalam


awal

perumusan

kebijakan

mengakomodasi isu-isu dan tuntutan-tuntutan dalam publik untuk selanjutnya dari rumusan
tersebut akan dibahas dan mendapat review dari anggota parlemen.
Isu-isu yang diangkat dalam kebijakan-kebijakan Belanda dipengaruhi oleh faktorfaktor eksternal diantaranya hukum internasional dari United Nation, dan pengaruhpengaruh yang datang dari European Union (EU). Saat United Nation merilis suatu hukum
internasional yang memuat isu baru dan belum dibahas dalam hukum nasional, Belanda
akan berusaha mengakomodasi kepentingan tersebut dengan hukum nasionalnya. Sebelum
diadopsi menjadi hukum nasional, hukum internasional akan dibahas dalam forum yang
dibentuk di European Union (EU). Setelah melalui pembahasan di EU selanjutnya akan
diadopsi menjadi isu-isu yang akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan pembentukan
policy di Belanda.
Aktor domestik yang berperan dalam penentuan agenda setting selain dari internal
pemerintah adalah dari partai politik. Partai politik di Belanda yang terdiri dari VVD, CDA,
dan PVV membentuk koalisi yang saling mendukung satu sama lain dalam proses
penentuan agenda setting dalam perumusan kebijakan di negara Belanda. Ketiga partai


tersebut menghindari konsep oposisi dan mosi tidak percaya kepada kabinet sehingga
dalam proses penetuan agenda setting mereka menganut sistem kerjasama dalam
pembuatan agenda setting suatu kebijakan. Isu yang disepakati secara mayoritas akan
didukung secara mulus oleh pihak-pihak yang terlibat dalam standing comittee.
Peran media dalam penyusunan agenda setting di Belanda adalah menjadi suatu
sarana yang efektif untuk menyebarkan diskursus dan isu-isu dari publik yang dapat
dijadikan sebagai cikal bakal suatu kebijakan. Karena pemerintahan Belanda benar-benar
menghargai eksistensi suara masyarakat sebagai implementasi sistem demokrasi. Di sisi
lain media Belanda juga menjadi sarana bagi pemerintah untuk menyalurkan kebijakankebijakan yang akan dirilisnya kepada publik sehingga pada akhirnya peran media benarbenar menjadi perantara antara rakyat dan pemerintah sebagai perwujudan sistem
demokrasi.
Pemerintah Belanda tidak memberikan perhatian lebih pada kelompok-kelompok
kepentingan dalam pembentukan agenda setting. Hal tersebut terjadi karena pemerintah
Belanda lebih terfokus pada eksistensi kapasitas seorang individu sebagai manusia yang
independen sehingga realitas isu-isu yang diangkat sebagai kebijakan juga berorientasi
pada individu.
POLICY FORMULATION
Formulasi kebijakan mencakup proses pendefinisian, proses diskusi, penerimaan,
dan penolakan terhadap suatu masalah yang telah ditetapkan dalam agenda setting.
Realitas formulasi kebijakan terdapat pada staf-staf yang ada dalam pemerintahan termasuk
di dalamnya badan eksekutif, legislatif, yudikatif dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi

formulasi kebijakan. Secara lebih detail formulasi kebijakan dapat dilihat melalui siklus
kebijakan menurut Gabriel Almond.
Dalam siklus tersebut Almond mengawali analisis dari input kebijakan berupa isu-isu
yang datangnya dari masyarakat. Input yang ada mengakomodasi kepentingan masyarakat
melalui

artikulasi

kepentingan

melalui

kelompok-kelompok

kepentingan.

Dalam

pemerintahan Belanda, isu-isu yang ada dihimpun melalui bill yang berisi tuntutan-tuntutan
atau adanya pengajuan dari kabinet. Akomodasi kepentingan dilakukan melalui media dan

akses partai politik yang mengakomodasi kepentingan individu. Kelompok kepentingan tidak
menjadi fokus dalam pemerintahan Belanda karena pada dasarnya Belanda lebih terfokus
pada individu sebagai makhluk independen.

Selanjutnya kepentingan tersebut akan melalui penghimpunan dalam proses
agregasi kepentingan. Pihak yang terlibat dalam proses ini adalah partai politik yang
selanjutnya akan menyampaikannya pada badan legislatif. Dalam konteks Belanda agregasi
kepentingan dilakukan dengan cara mengimpun suara dari publik melalui tuntutan publik
melalui partai politik yang ada di Belanda atau adopsi kebijakan oleh para menteri kabinet.
Menteri di kabinet dalam proses pembuatan kebijakan pada awalnya merancang draf
undang-undang yang akan dibawa dalam standing comittee. Draf tersebut nantinya akan
mendapat masukan dari parpol yang telah melakukan agregasi terhadap kepentingan publik.
Proses formulasi kebijakan dilakukan dalam standing committee dengan mekanisme
debat. Dalam mekanisme ini dapat diketahui adanya approval atau rejection baik dari
parlemen maupun dari partai politik sebagai pertimbangan dalam formulasi kebijakan.
Mekanisme debat dilakukan melalui beberapa tahap, diantaranya tahap I, juru bicara dari
tiap partai politik yang telah melakukan agregasi terhadap kepentingan publik memberikan
masukan dan kritik terhadap formulasi yang diajukan oleh kabinet. Tahap II, debat antara
parlemen dan kabinet. Dalam proses ini parlemen memberikan saran dan kontribusi
terhadap formulasi yang diajukan kabinet. Dalam proses debat parlemen memberikan saran
dan masukan untuk formulasi kebijakan dan menemukan poin-poin mayor yang benar-benar
mampu menyalurkan agregasi kepentingan dari masyarakat.
Setelah

kepentingan

diakomodasi

maka

kepentingan

akan

melalui

proses

pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh badan legislatif dan eksekutif. Dalam
pemerintahan Belanda, setelah melalui proses diskusi dalam agregasi kepentingan,
selanjutnya akan masuk dalam proses pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh lembaga
legislatif yang terwujud dalam peran kabinet dan lembaga legislatif yang terwujud dalam
peran senat dan parlemen. Kabinet sebagai lembaga legislatif yang diketuai oleh perdana
menteri berperan menyusun dan menambal kebijakan yang didapat dari proses agregasi
kepentingan. Selanjutnya badan legislatif akan memberikan evaluasi dan persetujuan
terhadap rumusan kebijakan tersebut untuk menjadi sebuah kebijakan. Setelah kebijakan
dibuat selanjutnya diterapkan yang melibatkan badan eksekutif kabinet dan birokrasi dalam
pemerintahan Belanda. Untuk selanjutnya setelah melalui proses penerapan kebijakan akan
terdapat proses penghakiman kebijakan yang dilakukan oleh badan peradilan dalam
pemerintahan Belanda. Selanjutnya dari proses ini akan menghasilkan output berupa
kebijakan yang akan mendapat pengaruh dari lingkungan eksternal.

IMPLEMENTATION

Implementasi merupakan aplikasi kebijakan-kebijakan baru dan program-program
yang telah direncanakan. Kebijakan yang sukses dapat dilihat dari aplikasi keputusan
pemerintah dalam struktur birokratis. Implementasi terbagi menjadi tiga kategori, terdiri dari :
(1) top-down models, meningkatkan kemampuan pembuat kebijakan untuk menghasilkan
regulasi obyektif yang tegas dan mengontrol proses implementasi; (2) bottom-up model,
orientasi terhadap birokrasi lokal sebagai aktor utama dalam proses realisasi kebijakan dan
melihat suatu implementasi sebagai proses negosiasi dalam jaringan; dan (3) hybrid models,
menggabungkan elemen dari kedua teori sebelumya dan model teori yang lain.
Implementasi dalam kebijakan Belanda melibatkan eksekutif sebagai pelaksana
kebijaksanaan yang terwujud dengan eksistensi kabinet yang dipimpin oleh seorang
perdana menteri. Eksekutif bertugas sebagai pelaksana regulasi dalam suatu pemerintahan
dan menyelenggarakan kegiatan sehari-hari pemerintahan meliputi koordinasi, manajemen,
dan fasilitasi tiap-tiap departemen dalam pemrintahan.
Setiap badan dalam pemerintahan Belanda memberlakukan suatu pemisahan
kekuasaan yang berlaku secara tegas. Maksudnya¸ pemerintahan Belanda dibagi menjadi
departemen-departemen khusus yang setiap subnya memiliki tugas masing-masing.
Departemen dalam pemerintahan Belanda bekerja dengan mekanisme sebagai berikut,
pemerintah pusat merilis sebuah kebijakan besar yang melibatkan peran departemen yang
ada. Selanjutnya, departemen-departemen dalam pemerintah menyesuaikan kebijakan
besar dengan departemen mereka dengan cara membuat kebijakan-kebijakan yang
penerapannya terorientasi pada departemen itu sendiri secara spesifik. Jadi antara
departemen yang terlibat dalam suatu pemerintahan memiliki kebijakan masing-masing
yang tujuan akhirnya untuk mengimplementasikan kebijakan besar dari pemerintahan pusat.
Dalam implementasi kebijakan demokrasi, Belanda benar-benar terorientasi
terhadap individu. Hal tersebut karena pemerintah Belanda benar-benar menghargai realitas
individu sehingga pemerintah Belanda akan berusaha untuk menyediakan akses bagi warga
Belanda untuk tetap berpartisipasi dalam election.
Pemerintah Belanda memfokuskan kebijakannya dalam hal imigrasi, keamanan
publik, dan Jaminan Sosial. Dalam hal imigrasi, Belanda berkomitmen untuk memberantas
imigran gelap dan pengungsi dengan suaka ekonomi, tetapi di sisi lain Belanda menerima
pengungsi dalam hal sosial dan bencana dalam suatu suaka yang disebut dengan asylum
selama prosedur pengungsian sesuai dengan hukum internasional.
Dalam bidang keamanan publik, pemerintah Belanda merealisasikam sebanyak
3000 personil polisi tambahan yang bertugas menjaga keamanan setiap realitas individu

dalam masyarakat. Sedangkan dalam bidang jaminan sosial, pemerintah Belanda
berkomitmen untuk melakukan pemangkasan dan efisiensi birokrasi dengan cara
mengurangi politikus dan administrator setiap tahunnya untuk penghematan dana dan
mengalihkan dana yang lebih besar untuk sektor jaminan sosial. Efisiensi dilakukan setiap
tahun sehingga jumlah PNS menjadi sesedikit mungkin. Setiap tahunnya baik badan
legislatif maupun eksekutif selalu dikurangi sebanyak 1/3. Setiap tahunnya pemerintah
daerah harus menyerahkan proposal kepada pemerintah pusat mengenai PNS yang akan
dikurangi dan sebaliknya setiap tahunnya pemerintah pusat juga mengirimkan proposal
terhadap pemerintah di bawahnya (randstad).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintah Belanda dalam proses
pemerintahannya menerapkan model implementasi hybrid models, karena dalam proses
pemerintahan Belanda terdapat dua gelombang implementasi kebijakan yang dilakukan
secara berselingan yakni top down model dan bottom up. Top down model ditunjukkan pada
saat pemerintah pusat memberikan randstad, penerapan kebijakan keamanan, penerapan
kebijakan migrasi, dan jaminan sosial sedangkan bottom up dapat dilihat dari mekanisme
pemangkasan birokrasi dan realitas bahwa meskipun pemerintah pusat memberikan advice
ataupun randstad pemerintah daerah tetapmemiliki kewenanga untuk mempertimbangkan
apakah mereka akan melaksanakan kebijakan yang bersangkutan atau tidak.
EVALUATION
Evaluation merupakan suatu proses yang melihat apakah suatu output kebijakan
telah mencapai tujuan yang direncanakan setelah melalui proses legislasi dan diterapkan
oleh birokrasi. Evaluasi biasanya melibatkan pihak-pihak tertentu yang secara formal
memang memiliki keahlian dalam bidang-bidang tertentu dan memahami proses dan
sasaran dari kebijakan yang diaplikasikan.
Pada pemerintah Belanda evaluasi dilakukan dengan membawa suatu UndangUndang dan hasil penerapannya dalam standing committee. Pada dasarnya standing
committee menempati dua peran penting diantaranya sebagai bagian dalam policy
formulation dan juga merupakan tahap evaluasi terhadap kebijakan yang memang sudah
berlaku di masyarakat.
Secara berkala pemerintahan Belanda melakukan debat dalam bidang sosial dan
politik. Pelaksanaan evaluasi melalui debat dilakukan dengan cara mendiskusikan dan
mengevaluasi pelaksanaan suatu kebijakan yang melibatkan pihak-pihak diantaranya
ministry (kementerian), parlemen, dan sekretaris negara. Proses awal evaluasi dilakukan
dengan pola sebagai berikut, (1) para menteri menyiapkan dokumen kebijakan dengan

kabinet dalam pertemuan kecil dan selanjutnya membawanya dalam forum; (2) selanjutnya
pada tahap ini setiap juru bicara partai diberi waktu untuk berbicara dengan tujuan evaluasi
terhadap kebijakan yang dirilis pemerintah Belanda serta implikasi dari kebijakan tersebut di
masyarakat. Dalam proses ini jubir partai dapat memberikan evaluasi mengenai sejauh
mana kebijakan telah terimplementasi dan memberikan suatu perubahan, apakah tujuan
yang direncanakan telah dapat dicapai dan sejauh mana pencapaiannya. Selanjutnya apa
yang disampaikan oleh jubir partai akan mendapat jawaban dari Sekretaris negara dan
menteri-menteriyang bertanggung jawab; (3) pada proses ini debat berlangsung antara
Parlemen dan kabinet, parlemen yang terdiri dari senate dan house of representatives
memberikan evaluasi terhadap kinerja kabinet dalam lingkup sebagai berikut senate dan
house of representatives memiliki kewenangan untuk mengidentifikasi sejauh mana
pelaksanaan tugas mereka, apakah telah mencapai tujuan yang direncanakan ataukah
belum.

Selanjutnya,

parlemen

akan mengajukan

pertanyaan-pertanyaan mengenai

anggaran dan kebijakan yang dilakukan oleh kabinet, sejauh mana kinerja kabinet dalam hal
ini, dan memberikan masukan-masukan kekurangan dalam hal implikasi yang nantinya
dapat dimunculkan kembali untuk proses agenda setting.
Selain melalui debate, evaluasi juga dilakukan melalui pemberian advice melalui
proposal yang berasal dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Kebijakan birokrasi
di Belanda menentukan adanya pengurangan PNS dan administrator dikurangi 1/3 tiap
tahunnya agar dapa dicapai pegawai dengan jumlah sesedikit mungkin sehingga dapat
diorientasikan pada enterpreneurship. Menanggapi proses ini pemerintah pusat melihat
adanya kemungkinan kekurangan tenaga kerja dari birokrasi-birokrasi yang ada sehingga
pemerintah merilis sebuah proposal advice yang disebut randstad yang didalamnya memuat
evaluasi dalam hal transportasi dan infrastruktur. Selain itu pemerintah pusat memberikan
masukan terhadap pemerintahan daerah mengenai kinerja mereka tanpa memasuki tugas
mereka yang spesifik karena dalam pemerintahan Belanda diferensiasi tugas sangat
dijunjung tinggi.