STATUS WILAYAH SABAH DALAM SENGKETA MALAYSIA DAN KESULTANA SULU BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL.
STATUS WILAYAH SABAH DALAM KONFLIK BERSENJATA
MALAYSIA DAN KESULTANAN SULU BERDASARKAN HUKUM
INTERNASIONAL
ABSTRAK
Audrey Adyuta Putri
110110090016
Kedaulatan Teritorial merupakan sesuatu yang dimiliki oleh setiap
negara untuk menjalankan pemerintahannya. Namun seringkali
kedaulatan teritorial suatu negara dihadapkan dengan beberapa kendala
yang sangat berpotensi untuk menjadi suatu sengketa antar negara yang
berdaulat. Kedatangan kelompok bersenjata dari Kesultanan Sulu Filipina
ke wilayah Sabah untuk mengklaim wilayah tersebut menimbulkan
ketegangan politik dan keamanan antara Filipina dan Malaysia. Para
pengikut Kesultanan Sulu memasuki Sabah atas alasan wilayah Malaysia
timur tersebut merupakan wilayah Kesultanan Sulu sebelum diduduki
kolonialis Barat. Klaim tersebut ditolak secara tegas oleh Malaysia sebab
Sabah merupakan bagian integral Malaysia sejak kemerdekaannya pada
tahun 1963. Adanya perbedaan interpretasi perjanjian terdahulu yang
diyakini kedua belah pihak menambah persoalan baru dalam sengketa
yang terjadi. Penulis mengangkat persoalan tersebut dengan tujuan,
Pertama, untuk mengetahui bagaimana status wilayah Sabah berdasarkan
teori-teori hukum internasional yang berlaku. Kedua, usaha apakah yang
dapat dilakukan oleh pihak Kesultanan Sulu dalam klaimnya terhadap
wilayah Sabah.
Penulis menggunakan metode penelitian dengan pendekatan
yuridis normatif. Metode penelitian dengan tahap pengumpulan data yang
digunakan adalah studi kepustakaan dan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Data tersebut kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu objek
permasalahan yang berupa sinkronisasi fakta-fakta yang terjadi dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang dilakukan oleh
Penulis dapat disimpulkan bahwa penentuan wilayah Sabah berdasarkan
perjanjian 1878 perlu dibuktikan lebih lanjut mengenai hal penyewaan atau
penjualan yang sebenarnya dilakukan berdasarkan prinsip penyerahan
kedaulatan dan leasing of territory. Pelanggaran kesepakatan oleh
Malaysia yang melakukan tindakan pemilihan suara secara sepihak
menjadikan hak berdaulat atas Sabah seharusnya berada pada pihak
Filipina. Upaya yang dapat dilakukan oleh Kesultanan Sulu dalam
usahanya memperoleh wilayah Sabah adalah dengan melakukan upaya
penyelesaian sengketa secara damai melalui Filipina untuk mengumpukan
bukti terkait status kepemilikannya terhadap Sabah. Filipina dapat
mengajukan rekomendasi tim pencari fakta karena berhubungan dengan
status perjanjian 1878 yang memiliki dua interpretasi yang berbeda.
MALAYSIA DAN KESULTANAN SULU BERDASARKAN HUKUM
INTERNASIONAL
ABSTRAK
Audrey Adyuta Putri
110110090016
Kedaulatan Teritorial merupakan sesuatu yang dimiliki oleh setiap
negara untuk menjalankan pemerintahannya. Namun seringkali
kedaulatan teritorial suatu negara dihadapkan dengan beberapa kendala
yang sangat berpotensi untuk menjadi suatu sengketa antar negara yang
berdaulat. Kedatangan kelompok bersenjata dari Kesultanan Sulu Filipina
ke wilayah Sabah untuk mengklaim wilayah tersebut menimbulkan
ketegangan politik dan keamanan antara Filipina dan Malaysia. Para
pengikut Kesultanan Sulu memasuki Sabah atas alasan wilayah Malaysia
timur tersebut merupakan wilayah Kesultanan Sulu sebelum diduduki
kolonialis Barat. Klaim tersebut ditolak secara tegas oleh Malaysia sebab
Sabah merupakan bagian integral Malaysia sejak kemerdekaannya pada
tahun 1963. Adanya perbedaan interpretasi perjanjian terdahulu yang
diyakini kedua belah pihak menambah persoalan baru dalam sengketa
yang terjadi. Penulis mengangkat persoalan tersebut dengan tujuan,
Pertama, untuk mengetahui bagaimana status wilayah Sabah berdasarkan
teori-teori hukum internasional yang berlaku. Kedua, usaha apakah yang
dapat dilakukan oleh pihak Kesultanan Sulu dalam klaimnya terhadap
wilayah Sabah.
Penulis menggunakan metode penelitian dengan pendekatan
yuridis normatif. Metode penelitian dengan tahap pengumpulan data yang
digunakan adalah studi kepustakaan dan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Data tersebut kemudian digunakan untuk menggambarkan suatu objek
permasalahan yang berupa sinkronisasi fakta-fakta yang terjadi dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang dilakukan oleh
Penulis dapat disimpulkan bahwa penentuan wilayah Sabah berdasarkan
perjanjian 1878 perlu dibuktikan lebih lanjut mengenai hal penyewaan atau
penjualan yang sebenarnya dilakukan berdasarkan prinsip penyerahan
kedaulatan dan leasing of territory. Pelanggaran kesepakatan oleh
Malaysia yang melakukan tindakan pemilihan suara secara sepihak
menjadikan hak berdaulat atas Sabah seharusnya berada pada pihak
Filipina. Upaya yang dapat dilakukan oleh Kesultanan Sulu dalam
usahanya memperoleh wilayah Sabah adalah dengan melakukan upaya
penyelesaian sengketa secara damai melalui Filipina untuk mengumpukan
bukti terkait status kepemilikannya terhadap Sabah. Filipina dapat
mengajukan rekomendasi tim pencari fakta karena berhubungan dengan
status perjanjian 1878 yang memiliki dua interpretasi yang berbeda.