STANDAR KUALITAS KOMPETENSI KONSELOR PROFESIONAL : Studi Pengembangan Standar Kompetensi di Lingkungan Pakar Konseling Perguruan Tinggi Negeri dan Konselor SMA Negeri.

(1)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DISERTASI ... ii

PERNYATAAN TENTANG KEASLIAN DISERTASI ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR BAGAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2 Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 13

1.3 Identifikasi Masalah dan Pertanyaan Penelitian ... 15

1.4 Tujuan Penelitian . ... 16

1.5 Signifikansi dan Kegunaan Penelitian ... 18

1.6 Metode Penelitian ... 21

BAB II : KAJIAN TEORETIK STANDARDISASI KOMPETENSI KONSELOR PROFESIONAL ... 22

2.1 Landasan Pengembangan Profesionalisme Konselor dan Permasalahannya ... 22

2.2 Pengembangan Standar Kompetensi Konselor Profesional ... 24

2.3 Kaitan Kompetensi dan Performansi Konselor Profesional ... 60

2.4 Peranan dan Fungsi Konselor ... 63

2.4.1 Peran (role) konselor ... 63

2.4.2 Fungsi konselor ... 71

2.5 Performansi Aktual yang Berpedoman pada Standardisasi Konselor Profesional ... 73


(2)

xiv

2.6 Studi-studi Terdahulu yang Terkait dengan Profesionalisme

Konselor ... 81

2.7 Standar Profesional sebagai Pedoman Peningkatan Profesionalisme Konselor ... 87

2.8 Kode Etik dan Profesi Konseling ... 92

BAB III. METODE PENELITIAN ... 108

3.1 Rancangan Penelitian ... 108

3.2 Definisi Operasional ... 112

3.3 Asumsi Penelitian ... 119

3.4 Lokasi dan Subyek Penelitian ... 123

3.5 Prosedur Penelitian ... 124

3.6 Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 127

3.6.1 Prosedur pengumpulan data ... 127

3.6.2 Pengolahan data ... 130

3.7 Pengembangan Instrumen Pengumpul Data ... 132

3.7.1 Jenis instrumen ... 132

3.7.2 Pengembangan instrumen penelitian ... 134

3.8 Teknik Analisis Data ... 149

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANNYA ... 151

4.1 Hasil Penelitian ... 151

4.1.1 Data penelitian ... 151

4.1.2 Analisis data ... 153

4.1.2.1 Menjawab pertanyaan penelitian pertama ... 153

4.1.2.2 Menjawab pertanyaan penelitian nomor dua ... 155

4.1.2.3 Menjawab pertanyaan penelitian nomor tiga ... 160

4.1.2.4 Menjawab pertanyaan penelitian nomor empat ... 161

4.1.2.5 Menjawab pertanyaan penelitian nomor lima ... 166

4.1.3 Temuan lain ... 187


(3)

xv

BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 200

5.1 Kesimpulan ... 200

5.2 Rekomendasi ... 205

DAFTAR PUSTAKA ... 209

LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Tabel spesifikasi pengukuran variabel penelitian ... 216

2. Angket 1 (Angket Standardisasi Kompetensi Konselor Profesional) ... 235

3. Angket 2 (Angket Performansi Kompetensi Konselor Profesional) . 245 4. Pedoman Wawancara ... 259

5. Rangkuman hasil uji coba angket 1 ... 266

6. Rangkuman hasil uji coba angket 2 ... 274

7. Data Penelitian ... 282

8. Subyek Pakar BK (didokumentasikan) 8. Subyek Konselor (didokumentasikan) 9. Skor Angket 1 dan Angket 2 (didokumentasikan) RIWAYAT HIDUP ... 301


(4)

BAB I

PENDAHULUAN

Di dalam bab ini akan dipaparkan mengenai latar belakang penelitian, pembatasan dan rumusan masalah, identifikasi masalah dan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi dan kegunaan penelitian, metode penelitian, dan subyek penelitian.

1.1 Latar Belakang Penelitian

Kondisi perubahan sosial yang amat cepat dan makin kompleksnya keadaan masyarakat di era globalisasi dewasa ini telah terjadi di seluruh belahan dunia. Begitu cepatnya perubahan dan perkembangan dunia itu, sehingga beberapa futuris menyebut bahwa “the world is in the making process.” Perubahan itu melahirkan diferensiasi dan situasi global yang berbeda dari sebelumnya. Pada gilirannya, perubahan memungkinkan terjadinya ketidakpastian dan kejutan baru (Toffler, 1970; Maslow; 1977; Naisbitt, 1990; Sanusi, 1998; dan Marzurek dkk., 2000). Tetapi perubahan juga sekaligus sebagai peluang berpartisipasi bagi individu untuk mempertahankan dan memperkembangkan eksistensi kehidupannya. Perubahan-perubahan tersebut telah pula mengubah kondisi kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan aspek psikologis manusia, termasuk di dalamnya para remaja, antara lain para remaja yang sedang belajar di Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA). Dampak tersebut sudah


(5)

menembus dunia pendidikan, meliputi segala unsur di dalamnya, yakni siswa, pendidik (guru dan konselor), manajemen dan masyarakat terkait.

Kompleksitas yang diakibatkan oleh perubahan tersebut membawa berbagai implikasi terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Orang mengharapkan pendidikan kita hendaknya dapat memberikan sesuatu yang sempurna. Terlebih-lebih lagi, pendidikan di Indonesia dihadapkan pada kompetisi yang ketat di antara negara-negara di Asia, bahkan di seluruh dunia dalam mengemban tugas menghasilkan sumber daya manusia berkualitas, yang siap dalam situasi kompetisi tersebut. Berbagai tuntutan kualifikasi personil sekolah, termasuk konselor sebagai sebuah profesi harus dipenuhi dalam upaya membekali siswa dengan pengalaman dan keterampilan diri. Namun tidak mungkin memberikan sesuatu yang lengkap, oleh karenanya, siswa harus pula mengembangkan dirinya secara mandiri.

Tuntutan kualifikasi pendidikan dicapai dengan efektif erat sekali hubungannya dengan manusia (dasar filosofis). Mengenai pandangan pendidikan, M.D. Dahlan (1988: 8-12) mengemukakan enam rentang wawasan tentang pendidikan, mulai dari yang paling langsung dan mudah diamati dalam kehidupan sehari-hari hingga yang paling mendasar dan tuntas. Pandangan tersebut adalah: (1) pengertian bahwa mendidik adalah mengatur tingkah laku anak secara sepihak; (2) pendidikan sepenuhnya harus berpusat pada anak didik; (3) perhatian terhadap aktivitas anak didik di samping mengakui perlunya arahan dari pihak


(6)

pendidik; (4) pelaksanaan pendidikan atas dasar impuls yang muncul secara insidental pada si pendidik; (5) kebenaran dasar tindakan pendidikan semata-mata kepada situasi sosial yang dibatasi oleh kesementaraan ruang dan waktu; dan (6) sikap kurang berani merumuskan tujuan akhir pendidikan dan hanya sampai mengutak-atik hasil yang dibatasi oleh ke-disinian dan ke-kinian(here and now). Keenam wawasan pendidikan di atas tidak akan memberikan hasil yang memuaskan karena berbagai kelemahan yang dikandungnya. Manusia utuh yang memuaskan hanya dapat dicapai melalui pendidikan tuntas, yang mencerminkan manusia kaffah, dalam arti satunya niat, pikir, ucap, perilaku dan tujuan, yang direalisasikan dalam hidup bermasyarakat. Dalam perspektif filosofis ini hendaknya pendidikan, khususnya bimbingan dan konseling (BK) dikembangkan. Lebih spesifik lagi, dalam kompetensi konselor profesional. Dengan kompetensi konselor yang profesional dan dilengkapi dengan profesionalitas layanan lainnya (seperti pengajaran oleh guru, pendidikan oleh orang tua), diharapkan dapat menghasilkan individu/siswa yang utuh.

Sentral pengembangan BK, secara spesifik difokuskan pada kompetensi konselornya dalam menampilkan kinerja tertinggi yang diabdikan kepada pengguna layanan konseling itu sendiri. “The social complexity and rapid rate of social change increase the need for raising the level of competence in counseling” (Rao; 1981: 234). Kompetensi konselor itu dikembangkan dengan mengacu pada pandangan hakikat


(7)

manusia. Acuan ini wajar karena permasalahan kehidupan manusia itu muncul dari permasalahan-permasalahan filosofis dalam pandangan dunia dalam dirinya.

“Philosophical counseling’ refers to a process in which a counselor (note: apparently not necessarily a philosopher!) works with a client to critically reflect on the ideas and world-views associated with a specific life-problems…preliminarily defined by the client…These life problems must arise from philosophical problems in the implicit world-view of the client” (Shlomit C. Schuster, 1999).

Isu filosofis dalam konseling perlu dibahas sebagai sebuah kenyataan karena pemahaman atau cara pandang terhadap isu ini akan menentukan bagaimana sosok konselor dikembangkan dan bagaimana konselor membantu klien. Bagaimana klien menjadi lebih baik karena upaya konselor. Klien sebagai pengguna jasa layanan merupakan titik tuju dan sekaligus tolok ukur keberhasilan layanan konseling oleh konselor. Menjadi seperti apa klien itu adalah sebagai hasil intervensi dan pengaruh keterandalan konselor. Keterandalan konselor ini menumbuhkan kepercayaan publik (public trust) maupun akuntabilitas, sehingga profesi ini semakin diakui, dimanfaatkan keberadaannya. Kompetensi itu perlu dibakukan, dicapai sesuai harapan tiap konselor. Dengan demikian, krusial sekali dihasilkan atau dibakukan standar kompetensi konselor profesional di Indonesia. Standar ini dirumuskan dari hasil kesepakatan pertimbangan pakar konseling untuk memenuhi kebutuhan klien di lapangan. Standar ini amat berguna untuk dasar penyiapan sarjana bimbingan konseling pada pendidikan konselor (sebelum S1) dan


(8)

penyiapan melalui pemberian sertifikasi maupun lisensi pada sarjana bimbingan konseling (setelah S1) melalui pendidikan profesi oleh ABKIN dan LPTK; serta diharapkan sebagai dasar evaluasi untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas kinerja konselor (profesionalisasi) di lapangan. Standar kompetensi ini dikembangkan bukan untuk konselor pada setting tertentu saja, misalnya yang bertugas di SD, SMTP, SMA, PT atau masyarakat saja, melainkan untuk konselor umum Indonesia yang ditentukan dengan persyaratan pencapaian standar minimal kompetensi melalui proses penyiapan terstandar pendidikan konselor maupun pendidikan profesi. Ini berarti standar ini dapat dipandang sebagai instrumen fundamental profesionalisasi konselor.

Para pendidik, konselor diharapkan sadar dan jeli kepada beberapa hal pokok berikut, sebagaimana dikermukakan oleh Rochman Natawidjaja (1990:15), pertama-tama adalah kesadaran akan perbedaan individu, kedua, kesadaran akan perlunya sistem pengajaran dan pelayanan pendidikan lainnya yang lebih terfokus pada diri siswa, ketiga kesadaran akan perlunya konsep demokratis diaplikasikan dalam upaya pendidikan secara tepat, keempat, kesadaran akan permasalahan yang dihadapi individu dalam masyarakat yang beragam, dan senantiasa berubah; kelima, kesadaran akan rumit dan muskilnya persoalan yang dihadapi manusia dalam kehidupan modern.

Untuk itu, paradigma baru dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) harus mengacu pada pendidikan


(9)

multikultural, yaitu adanya kebudayaan beragam dalam satu masyarakat yang tetap merupakan kesatuan. Namun kesatuan itu bersifat jamak. Kejamakan itu berbeda satu dengan lainnya. Berbeda, berarti memiliki kekhususan, adanya variasi, ada heterogenitas serta hubungan persamaan dan perbedaan antara kelompok kultur tertentu yang bukan merupakan pertentangan antar kelompok atau satu sama lainnya bersikap eksklusif. Paradigma pendidikan multikultural ini berkembang seiring dengan hak dan keunikan siswa individual yang belajar bersama dengan yang lain dalam suasana saling menghormati; toleransi; berpengertian (Conny Semiawan, 2003:103). Pentingnya keberagaman itu disatujiwakan menjadi pertimbangan pengembangan substansi standar kompetensi konselor profesional dan selaras dengan pernyataan Kim, U. et al. (1994: 32-33) berikut,

Collectivism is defined by explicit and firm group boundaries. It is considered to be more than the mere sum of individual characteristics. In collectivist societies, one of the most important differentiations made about individual is wether a person is part of an in-group or an out-group. Collectivist cultures emphasize a we versus they distinction. The emphasis on collective welfare, harmony, and duties typically applies only to the in-group and usually does not extend to out-groups.

Salah satu pertanyaan yang penting diajukan untuk menilai kualitas penyelenggaraan BK di sekolah adalah apakah pekerjaan dan fungsi BK itu telah dilaksanakan oleh setiap personil sekolah secara profesional, apakah keprofesionalan tenaga konselor di SMA itu telah mencapai standar profesional yang telah disepakati oleh para pakar dan kalangan praktisi dalam bidang BK ? Pertanyaan ini seyogianya menjadi penggerak


(10)

motivasi intrinsik bagi tiap insan BK untuk membuktikan aktualisasi kerja nyata di sekolah. Meskipun standar kompetensi konselor profesional yang dihasilkan dari studi yang sistematik, cermat dan empirik belum dihasilkan maupun disepakati.

Pertanyaan di atas semakin penting karena didorong oleh keadaan profesi kependidikan pada umumnya dan profesi konselor pada khususnya. Penulis berpendapat bahwa fenomena yang kurang menguntungkan itu menunjukkan adanya pembinaan atau kondisi yang belum memadai untuk menghasilkan konselor profesional, baik pada latar pendidikan konselor maupun medan tugas konselor di setting sekolah dan setting masyarakat. Pada medan tugas konselor, misalnya di sekolah masih banyak masalah klien terbengkalai dan belum secara menonjol ditanggungjawabi konselor. Sekaitan dengan latar belakang pendidikan konselor, terdapat sinyalemen bahwa konselor belum mampu mengunjukkerjakan layanan BK yang berkualitas. Keadaan tersebut tentu harus ditangani secara sungguh-sungguh.

Berdasarkan pada pengamatan penulis terhadap berbagai berita di media massa-cetak dan elektronik didapatkan gejala-gejala bahwa berbagai masalah pada usia remaja baik di SMA maupun di masyarakat makin meluas, baik dilihat dari frekuensi maupun variabilitas masalahnya. Misalnya masalah psiko-sosial, karier, belajar, pribadi, dan telah cukup sering menjurus kepada tindakan kriminal (seperti penggunaan narkotik dan bahan terlarang (narkoba), pencurian kendaraan bermotor), dan


(11)

pelanggaran norma masyarakat (seperti pergaulan antar jenis kelamin). Perlu dicermati informasi bahwa 73,4 % pengguna narkoba di Sumatera Utara adalah usia sekolah (Analisa, 3 April 2005). Data ini perlu konfirmasi dari sumber-sumber lain. Penyalahgunaan narkoba yang meluas terjadi di kalangan remaja sebagai akibat dari semakin tak tertanganinya masalah pribadi psiko-sosial dengan baik dan sangat meresahkan berbagai pihak. Masalah-masalah lain pada remaja berkenaan dengan perencanaan karier yang belum mantap di sekolah, cara belajar serta penggunaan waktu yang kurang efektif. Semua persoalan tersebut membawa implikasi pentingnya kompetensi konselor profesional dikuasai untuk tujuan meningkatkan pelayanan sehingga permasalahan siswa dapat ditangani.

Di samping itu, tugas perkembangan yang harus dipenuhi remaja yang sedang tumbuh, sebagaimana dikemukakan oleh Havighurst (1953: 120-158), pencarian identitas diri (searching for self-identity) yang diistilahkan oleh Erick Erikson (Wrenn, 1968: 5), yaitu perkembangan ke arah individualitas yang mantap (matang) serta berbagai kompleksitas masalah remaja lainnya tidak akan dapat dipenuhi dengan baik jika konselor tidak mampu melaksanakan tugas secara profesional. Tugas ini tidak patut dilimpahkan kepada guru yang sejak semula telah disibukkan oleh tanggung jawab kurikuler, meskipun fungsi bimbingan dalam proses belajar mengajar tetap dilakukan sesuai proporsinya. Permasalahan dan tuntutan tersebut di atas seyogianya dapat diintervensi melalui layanan BK berkualitas dari seorang konselor profesional.


(12)

Beranjak dari pemikiran bahwa perkembangan itu berlangsung dalam suatu kondisi interaksi sosial, maka proses bimbingan juga merupakan proses interaksi sosial. Dalam kerangka berpikir ini akan kelihatan bahwa proses bimbingan tidak bisa lepas dari proses memberi pengaruh yang memungkinkan siswa memperbaiki dan mengubah perilakunya ke arah perkembangan yang diharapkan. Dilihat dari perspektif psikologis, pemberian pengaruh ini bukan dalam arti membawa siswa ke arah yang dapat memua skan konselor, tetapi dalam arti menciptakan suasana emosional dan psikologis yang kondusif bagi perkembangan siswa (emotional and psychological comfort). Tampak bahwa kondisi penyelenggaraan BK di sekolah dibutuhkan untuk menampilkan kinerja optimal yang berdampak pada penciptaan keadaan di atas.

Dilihat dari perspektif historis, BK pertama sekali dirintis di Indonesia dengan didirikannya jurusan bimbingan dan konseling di UPI (IKIP Bandung saat itu) pada tahun 1964 yang dibidani oleh Dr. Mochtar Buchori, M.Ed. Perkembangan selanjutnya mengenai konseling pada kurun waktu terakhir adalah keluarnya UUSPN tahun 2003 tentang penegasan konselor sebagai profesi yang memungkinkan diselenggarakannya pendidikan akademik atau profesi. BK telah diakui tumbuh memberikan kontribusi positif dalam membantu perkembangan siswa, walaupun masih dirasakan berbagai masalah. Rochman Natawidjaja (1990: 16) secara tegas menyatakan bahwa “BK memiliki


(13)

fungsi dan posisi kunci dalam pendidikan di sekolah, yaitu sebagai pendamping fungsi utama sekolah dalam bidang pengajaran dan intelektual siswa dalam menangani ikhwal sisi sosial-pribadi siswa.” Seiring dengan pendapat ini, M.D. Dahlan (1988: 26-27) mengatakan bahwa: ”…bimbingan dan penyuluhan selalu merupakan suatu momen ilmu mendidik…” Dari kedua pendapat di atas, jelaslah bahwa BK di SMA merupakan layanan esensial pendidikan untuk mengoptimalkan serta membangkitkan potensi dan perkembangan siswa.

Hingga saat ini masih cukup terdengar suara sumbang tentang kinerja konselor berkenaan dengan fungsi dan tanggung jawabnya di SMA, yakni masih ditemukan perilaku kurang profesional. Melalui berbagai hasil penelitian mengenai penampilan konselor di sekolah, ditemukan bahwa perilaku konselor yang kurang profesional memunculkan impresi maupun persepsi kurang positif. Hasil penelitian M. Asrori (1990) menunjukkan bahwa kinerja petugas bimbingan baru 40,63% yang termasuk kategori “tinggi” dan 59,37 % termasuk kategori “sedang”. Konselor dianggap siswa masih belum memiliki kemampuan seperti yang diharapkan dalam aspek keterampilan konseling individual. Penelitian Juntika (1993) menemukan bahwa pelaksanaan konseling oleh guru pembimbing belum sesuai dengan yang diharapkan, yakni masih kurangnya kemampuan pembimbing dalam menangani dan menggali masalah yang dihadapi siswa. Temuan yang masih sejalan, Marjohan (1994) menemukan bahwa baru 39,47% guru pembimbing yang dapat


(14)

menerapkan kemampuan profesional konseling dalam kategori “tinggi”, sedangkan 60,53% baru mampu menerapkan kemampuan tersebut pada kategori “sedang”.

Selaras dengan kondisi di atas, Pine (1974) mengemukakan kritik terhadap konselor, antara lain: ketika bertugas konselor tidak memakai prosedur yang semestinya dan belum begitu terlatih untuk menggunakan teknik dan prosedur profesional. Ia mengatakan bahwa banyak konselor menjadi agen institusi mengenai tugas-tugas administrasi di sekolah. Konselor lebih banyak melakukan pekerjaan administrasi sekolah, ketimbang tugas BK. Sedangkan Brossard dalam (Nugent, 1981: 106), mengemukakan pula bahwa “konselor rendah mutunya dalam latihan dan kepribadian serta mereka tidak dapat menciptakan hubungan intim dengan siswa.” Menurut Bucker dalam (Nugent, 1981: 107), “konselor sekolah tidak mengetahui apa peran mereka yang sebenarnya di sekolah.” Tampaknya, substansi materi dan keberhasilan pendidikan konselor (pre-service training) untuk merekrut atau menseleksi, mendidik dan menghasilkan cikal bakal konselor profesional patut direvitalisasi, dipertanyakan kembali. Inovasi apapun yang dilakukan tidak akan memberikan perubahan yang berarti bagi peningkatan mutu pendidikan tanpa disertai dengan peningkatan mutu kinerja guru (Holmes Group, 1986), dan konselor. Perlu dikemukakan bahwa konselor juga berperan sebagai pendidik dan pengajar.


(15)

Berdasarkan pada studi pendahuluan yang peneliti lakukan di SMAN IV dan SMAN II Medan, ditemukan bahwa latar belakang pendidikan konselor masih amat variatif. Masih banyak guru BK berlatar belakang pendidikan sarjana muda maupun sarjana yang berkeahlian bukan BK; perbandingan jumlah konselor dan siswa belum rasional; program kerja BK bersifat insidental; pengakuan dan keterlibatan masyarakat terhadap BK belum cukup; belum terampil dan mampu melakukan konseling dan tes serta non-tes; konselor yang mengikuti instruksi kepala sekolah secara terpaksa, kepala sekolah juga belum peduli dan belum menguasai tentang BK, demikian pula dengan guru.

Dapat disimpulkan bahwa sekolah sebagai suatu organisasi kurang menunjukkan suasana kerja yang kondusif terhadap pelaksanaan layanan konseling yang berkualitas. Kondisi ini terjadi karena dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal konselor. Faktor internal konselor mencakup antara lain kemampuan dan keterampilan, motivasi kerja, penguasaan keahlian; sedangkan faktor eksternal konselor dapat dikemukakan mencakup iklim sekolah, dukungan dan partisipasi aparat sekolah lain, gaya kepemimpinan kepala sekolah, guru-guru, siswa-siswa, dan orang tua. Tampaknya, “kesahihan spektrum konselor perlu dikaji lebih lanjut melalui studi lapangan yang cermat dan sistemik” (Rochman Natawidjaja, 2003:107).

Berdasarkan pada fakta mendesaknya masalah-masalah siswa yang kompleks dan meluas, kurang profesionalnya kinerja konselor serta


(16)

tuntutan perubahan yang terjadi dalam persaingan pada tingkat lokal, nasional, dan internasional, maka penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan standar profesionalisme konselor yang dikembangkan dari faktor-faktor penentu dalam diri konselor itu sendiri seperti sikap, pengetahuan, keterampilan. Faktor-faktor tersebut adalah kunci layanan BK secara profesional. Untuk menghasilkan standar dimaksud, penulis mengajukan pertanyaan pokok: “bagaimana pengembangan standar kompetensi profesionalisme konselor dilakukan”?

1.2 Pembatasan dan Rumusan Masalah

Suatu keadaan dikatakan sebagai masalah apabila keadaan tersebut menunjukkan adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa yang ada dalam kenyataan, sehingga menimbulkan pertanyaan.

Secara umum, penelitian ini diharapkan menghasilkan standar kompetensi konselor profesional yang tervalidasi secara empirik oleh para pakar BK di Indonesia. Sedangkan, pada kenyataannya, standar kompetensi konselor profesional yang ada masih perlu diuji secara empirik mendalam dalam konteks ke-Indonesia-an yang dapat dijadikan dasar pendidikan konselor ataupun pendidikan profesi yang berangkat dari tuntutan dan kebutuhan nyata tugas konselor di lapangan.

Dengan adanya standar profesionalisme konselor, secara konsekuensial berarti memberdayakan kondisi objektif profesionalisme konselor di lapangan, sehingga dapat dikatakan bahwa kebutuhan standar


(17)

perilaku profesionalisme konselor itu disebabkan oleh kondisi internal (internal environment) dan kondisi eksternal (external environment) dimana standar tersebut dikembangkan. Kondisi internal dalam menampilkan profesionalisme konselor dalam penelitian ini dikemukakan dalam hal ini sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Sedangkan kondisi eksternal yang turut memberi kontribusi bagi terwujudnya pemberdayaan profesionalisme konselor mencakup peran maupun fungsi personil sekolah lainnya dalam mendukung tampilnya perilaku profesionalisme konselor tersebut. Keseluruhan kondisi internal maupun eksternal di atas yang mengacu kepada lingkungan dan tugas perkembangan remaja di SMA dikembangkan menjadi suatu standar profesionalisme konselor yang diharapkan atau sesuai standar profesional yang ditetapkan. Karena begitu luasnya faktor penentu standar perilaku itu peneliti memfokuskan masalah pada aspek personal, profesional, dan kependidikan sebagai aspek yang dibutuhkan untuk menjalankan profesi konseling di setting sekolah dan masyarakat.

Berdasarkan pada studi pendahuluan yang penulis lakukan di dua SMAN di Medan diperoleh kesan bahwa profesionalisme konselor yang terdiri atas sikap, pengetahuan, keterampilan, kemampuan konselor dalam menampilkan ruang lingkup profesinya terkesan masih kurang efektif. Penelitian ini mengungkap materi profesionalisme konselor mencakup antara lain sikap, pengetahuan, keterampilan: membina hubungan antar pribadi (Ciri-ciri Kepribadian(CK)); kompetensi Konseling


(18)

Anak dan Remaja (KAR); kompetensi Konseling Kelompok (KK); kompetensi Konseling Individual (KI); kompetensi Konseling Sekolah (KS); kompetensi Konseling Adiksi (KA); kompetensi Konseling Pra-nikah/Perkawinan/Keluarga (KPPK) dan kompetensi Multikultural dan Populasi Khusus (KMPK), kompetensi Pengembangan Program Bimbingan (KPPB); kompetensi Pengembangan Karier Klien (KPKK); Kompetensi Konsultasi (KKo); Kemampuan Diagnosis, Dokumentasi Rekord dan Referal (KDDR), Kompetensi Supervisi Konselor (KSK); dan Kompetensi Evaluasi dan Riset (KER), Kompetensi Pengukuran (KP), Perkembangan Individu (PI), dan Kompetensi Kependidikan (KPn). Imtaq melandasi dan terintegrasi dalam keseluruhan dimensi kompetensi.

Keseluruhan isi materi kompetensi di atas dianggap telah diupayakan sedapat mungkin meliput keseluruhan kompetensi konselor profesional untuk konselor umum Indonesia dalam setting sekolah dan masyarakat. Selanjutnya, masalah penelitian ini dirumuskan: “Kompetensi-kompetensi konselor profesional apa sajakah yang dipersyaratkan dalam standar kompetensi konselor profesional ? Bagaimana standar kompetensi konselor profesional dihasilkan ?

1.3 Identifikasi Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pada latar belakang dan rumusan masalah penelitian, maka masalah penelitian ini difokuskan pada pengembangan standar profesionalisme konselor umum dalam setting sekolah dan masyarakat. Standar akan lebih bermakna apabila dijadikan dasar oleh konselor di


(19)

sekolah atau masyarakat dalam bentuk performansi aktual (kinerja nyata). Konselor ini secara faktual berlatar belakang pendidikan BK dan non-BK di dalam rentang kondisi penyelenggaraan bimbingan dari memadai hingga kurang memadai. Secara lebih operasional, fokus masalah di atas dapat diidentifikasi secara lebih terinci dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian berikut :

1.3.1 Sampai tingkat mana performansi aktual kompetensi konselor profesional secara keseluruhan maupun bila dilihat dari masing-masing dimensi kompetensi konselor profesional di SMAN ?

1.3.2 Sampai tingkat mana performansi aktual kompetensi konselor profesional berdasarkan latar belakang pendidikan konselor dan kondisi penyelenggaraan BK baik secara keseluruhan maupun dilihat dari masing-masing dimensinya ?

1.3.3 Kompetensi-kompetensi apasaja yang termasuk dalam kompetensi inti, kompetensi khusus, dan kompetensi bersama? Mengapa ketiga kompetensi tersebut penting ?

1.3.4 Sampai tingkat mana ambang batas profesionalitas yang realistis dicapai konselor ?

1.3.5 Bagaimanakah standar akhir kompetensi konselor profesional dihasilkan ?

1.4 Tujuan Penelitian

Beranjak dari permasalahan di atas, tujuan umum penelitian ini adalah untuk menghasilkan suatu standar kualitas kompetensi konselor


(20)

profesional untuk dijadikan dasar peningkatan kualitas kinerja konselor dalam profesi konseling. Standar ini dirumuskan dari hasil kesepakatan pertimbangan pakar konseling untuk memenuhi kebutuhan klien di lapangan. Standar ini akan amat berguna bagi dasar penyiapan sarjana bimbingan konseling oleh pendidikan konselor (sebelum S1) dan penyiapan melalui pemberian sertifikasi maupun lisensi pada sarjana bimbingan konseling (setelah S1) melalui pendidikan profesi oleh ABKIN dan LPTK; serta diharapkan sebagai dasar evaluasi untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas kinerja konselor (profesionalisasi) di lapangan. Standar kompetensi ini dikembangkan bukan untuk konselor yang bertugas di SD, SMTP, SMA, PT atau masyarakat atau antar negara di tingkat internasional saja, melainkan bagi konselor umum Indonesia yang ditentukan dengan persyaratan pencapaian standar minimal kompetensi melalui proses penyiapan terstandar pendidikan konselor maupun profesi. Untuk mencapai standar kompetensi konselor profesional, ditemukan terlebih dahulu konstruk bangun kompetensi konselor profesional.

Pada saat menghadapi klien, kompetensi konselor terstandar yang ditampilkan penting kongruen atau merupakan respon terhadap hakikat kepedulian klien, sebaliknya, tidak penting menunjukkan kompetensi konselor yang tidak kongruen terhadap kepedulian unik klien.

Secara khusus, penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh data empirik tentang:


(21)

1.4.1 tingkat performansi aktual kompetensi konselor profesional secara keseluruhan dan menurut masing-masing dimensinya di Indonesia dewasa ini.

1.4.2 tingkat performansi aktual kompetensi konselor profesional menurut tiap-tiap dimensi bila dilihat dari latar belakang pendidikan konselor, kondisi penyelenggaraan BK.

1.4.3 kategorisasi kompetensi konselor profesional yang termasuk dalam kompetensi inti, bersama, dan khusus serta alasan pentingnya kompetensi tersebut.

1.4.4 tingkat ambang batas profesionalitas konselor yang realistis.

Jika nomor 14.1 dan 14.2 merupakan pencapaian tujuan khusus penelitian, maka nomor 14.3 dan 14.4 di atas merupakan data empirik yang dibutuhkan untuk keperluan pengembangan standar kompetensi konselor profesional (pencapaian tujuan umum penelitian).

1.5 Signifikansi dan Kegunaan Penelitian

Sebagaimana dikemukakan pada bagian latar belakang penelitian, penelitian ini merupakan pemecahan masalah yang krusial untuk menghasilkan standar profesionalisme konselor secara konkret. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dikatakan signifikan karena dengan dihasilkannya standar kompetensi konselor profesional berimplikasi terhadap kualitas layanan BK yang dialami pengguna jasa layanan (para siswa) apabila dijadikan dasar dalam memberi layanan.


(22)

Secara teoretik, hasil penelitian ini memberi temuan baru yang bermanfaat mengenai bangun konstruk kompetensi konselor profesional sebagai produk penelitian ini (dalam bentuk bagan 4.1). Secara eksplisit, konstruk tersebut memiliki relevansi tinggi terhadap pendidikan konselor maupun pendidikan profesi terstandar. Dengan kata lain, pendidikan konselor dan profesi terstandar ini (ditanggungjawabi oleh LPTK dan ABKIN) akan menyelenggarakan proses pendidikan berdasarkan konstruk dimensi kompetensi yang ditemukan dalam rangka penganugrahan konselor profesional.

Standar kompetensi konselor profesional ini diperuntukkan bagi kepentingan klien. Secara konseptual, tugas-tugas lingkungan perkembangan klien menjadi kepedulian utama pengembangan standar di atas atau performansi konselor. Oleh karena klien yang akan dijangkau standar ini hidup dalam kultur masyarakat kolektif (klien Indonesia) yang lebih menekankan interdependensi ketimbang independensi (nilai-nilai, kepuasan dan harga diri klien ditentukan oleh keberartiannya dalam kelompok (relevant others), maka atas nama kepentingan kesejahteraan klien tersebut di atas patut pula dibangun rapport dengan klien selama pembukaan konseling dimulai dengan mengungkap perasaan klien dalam kaitannya dengan orang-orang terdekat yang dicintainya. Kecenderungan kolektivisme di atas mengimplikasikan unsur perasaan dalam

interpersonal relationship lebih dominan daripada rasionalitas. Karena akar konseling Indonesia diawali dan tumbuh dalam pendidikan, maka


(23)

konselor juga berperan sebagai pendidik, yang dituntut untuk memiliki kompetensi kependidikan.

Secara praktis-operasional, hasil penelitian ini akan berguna bagi para praktisi kependidikan di sekolah (kepala sekolah, guru-guru, konselor dan personil sekolah lainnya). Bagi kepala sekolah, hasil penelitian ini dapat membantu memahami, merencanakan, mengarahkan, memfasilitasi kualitas pelaksanaan layanan BK profesional dalam bentuk pengembangan in service training. Bagi konselor, hasil ini menambah kesadaran akan pentingnya kerja sama personil sekolah dalam memberikan layanan konseling profesional sehingga konselor perlu menyiapkan kompetensi untuk melaksanakan kegiatan BK profesional. Bagi guru, dapat diungkap secara jelas mengenai porsi penerapan peran bimbingan yang dilakukan di sekolah. Dengan tersedianya layanan BK profesional di sekolah, masalah-masalah dan kebutuhan-kebutuhan siswa akan dapat diatasi dan dipenuhi, sehingga kuantitas maupun kualitas masalah para siswa remaja yang kompleks itu akan terkurangi, bahkan teratasi.

Manfaat bagi para pengambil kebijakan adalah tergugahnya kepedulian membina BK profesional secara terencana di sekolah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pendidikan dan pengajaran serta lebih komit mendorong penyelenggaraan pelatihan dan pendidikan konselor di seluruh Indonesia pada setiap sekolah. Standar ini dapat menjadi alat ukur keberhasilan menjadi konselor profesional, karena


(24)

standar ini bermuatan kompetensi beranah tidak saja kognitif, tapi juga afektif dan psikomotorik, maka seseorang dinyatakan berhasil menjadi konselor profesional apabila telah melalui proses pendidikan dan pelatihan konselor yang intensif oleh LPTK. Hasil penelitian dapat pula dijadikan referensi, baik bagi peneliti lebih lanjut maupun dalam penulisan naskah yang berkaitan dengan masalah bimbingan. Referensi itu dapat berupa ulasan untuk mendukung teori yang telah ada atau dapat juga digunakan untuk menyesuaikan teori yang ada dengan kondisi di lapangan.

1.6 Metode Penelitian

Sehubungan dengan masalah dan tujuan penelitian yang akan dicapai, penelitian ini diselenggarakan dengan menggunakan pendekatan

Research and Development (R & D). Pendekatan R & D ini dilakukan dengan menerapkan metode Delphi, yakni metode yang digunakan untuk mengevaluasi, mengelola, menyepakati secara bulat pendapat-pendapat para pakar BK tentang kompetensi konselor profesional. Subyek penelitian adalah para pakar BK di perguruan tinggi dan konselor di SMAN di kota Bandung, Malang, dan Padang. Sampel diambil secara purposive sampling. Alasan perekrutan subyek konselor di tiga kota tersebut adalah bahwa pendidikan pascasarjana (S2, S3) maupun pendidikan sarjana (S1) BK telah dilaksanakan, yang memungkinkan konselor praktisi telah sering berinteraksi, berkolaborasi, serta mengakses informasi BK untuk kepentingan kualitas kinerjanya di sekolah.


(25)

(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

Bab ini mengetengahkan langkah-langkah penelitian dalam rangka mencapai tujuan utama penelitian. Secara metodologis, dikemukakan sub bab-sub bab sebagai berikut: rancangan penelitian; definisi operasional; asumsi penelitian; subyek penelitian; prosedur penelitian; pengembangan instrumen pengumpul data; dan teknik analisis data.

3.1 Rancangan Penelitian

3.1.1 Pendekatan penelitian

Secara umum, penelitian ini terutama bertujuan untuk menghasilkan standar kompetensi konselor profesional di Indonesia. Standardisasi kompetensi konselor profesional ini dikaji secara empirik dengan menggunakan pendekatan penelitian dan pengembangan (Research & Development/R & D). Pendekatan penelitian ini oleh beberapa ahli disebut juga dengan istilah pengembangan berbasis riset (Research-Based Development), yaitu penelitian yang mengacu kepada prinsip-prinsip dan langkah-langkah penelitian serta pengembangan yang dikemukakan oleh Walter R. Borg dan Gall (1983: 775). Borg dan kawan-kawan menerangkan bahwa “educational research and development (sometimes called research based development) is a process used to develop and validate (educational) products”. Proses kegiatan R & D ini


(27)

berlangsung secara bersiklus, mulai dari tahap pengkajian atau penelusuran awal topik-topik yang ingin dikonstruksi atau direkonstruksi.

Tujuan utama R & D sebenarnya adalah untuk mengembangkan produk-produk efektif guna memenuhi kepentingan kegiatan pendidikan dan kegiatan lainnya. Produk-produk yang dikembangkan dapat digunakan sebagai materi pelatihan, bahan-bahan pelajaran, atau produk-produk lainnya (Gay, 1987 dan Eijkelhof dkk.,1992). Produk di atas dilakukan oleh pertimbangan (judgment) pakar BK secara logis dengan memperhatikan tuntutan kesejahteraan klien secara empiris dan praktik di lapangan dan dilakukan deskripsi, analisis, integrasi terhadap masing-masing penilaian pakar tersebut yang mengarah pada kebulatan pendapat kemudian dilakukan revisi terhadap produk hingga diperoleh tingkat keefektifan yang sesuai atau memenuhi kebutuhan, standar kriteria dan spesifikasi tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Ditegaskan, R & D dapat berfungsi menjembatani penelitian pendidikan dengan dunia praktik (Holtzkom & Lutz, 1984 dan Borg dan Gall, 1979). Unesco menegaskan bahwa:

R & D is needed to bridge the gap between qualitative and quantitative assesment and evaluation; and to explore the relationship between the students and teacher in science and technology learning for the purpose of gaining a better understanding of the development of students learning of science and technology (UNESCO, 1993: 38).

Dalam desain penelitian ini, ditentukan model penelitian yang digunakan. Agar tujuan penelitian dapat dicapai secara lebih terarah, maka perlu ditentukan kerangka atau konstruk permasalahan penelitian.


(28)

Model penelitian yang lahir dari konstruk penelitian sangat bermanfaat untuk memformulasikan dan memperjelas ruang lingkup masalah yang diteliti serta menjabarkan variabel yang terlibat dalam penelitian ini.

Sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian ini, maka tahapan penelitian dan pengembangan terdiri atas dua tahap penelitian, yaitu: tahap pertama, dilakukan pengkajian dan perumusan standar profesionalisme konselor di Amerika Utara, Eropah, Australia, Asia dan terutama mengacu pada SKKI yang dihasilkan dari Kongres X ABKIN di Semarang tanggal 13-16 April 2005 serta teori konseptual studi terkait. Dari pengkajian dan perumusan yang dilakukan dihasilkan standar hipotetik kompetensi profesionalisme konselor melalui pengintegrasian dari ketiga Benua di atas, kemudian diadaptasikan sedapat mungkin dengan situasi dan kondisi untuk digunakan atau diterapkan di Indonesia. Adaptasi didasari oleh argumen bahwa di samping produk standar diperuntukkan bagi konselor Indonesia, konsep yang diadopsi umumnya juga berasal dari budaya individualisme (Barat), yang secara kontinum menekankan independensi ketimbang interdependensi untuk disesuaikan pada masyarakat Indonesia yang berorientasi budaya kolektif yang mementingkan pelibatan perasaan, individu dan kelompoknya tidak berbatas tegas, berorientasi pada interdependensi ketimbang independensi. Pada tahap kedua, dilakukan pengujian dan perbaikan standar profesionalisme konselor melalui para pakar BK di Indonesia dan tahap ini menghasilkan suatu standar profesionalisme konselor.


(29)

Standar ini mengacu pada Draft SKKI yang dihasilkan Kongres X ABKIN di Semarang tanggal 13-16 April 2005. Metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan standar profesionalisme konselor hipotetik di Indonesia (standar awal) adalah deskriptif-analitik. Metode deskriptif analitik dilakukan karena penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan, menganalisis, dan mengambil suatu generalisasi dari pengamatan tentang profesionalisme konselor, dan memperhatikan tugas-tugas perkembangan klien.

Telaahan dalam penelitian ini adalah konselor dengan berbagai dimensi tugasnya. Konselor ini memiliki tugas yang harus dikerjakan baik di sekolah maupun di luar sekolah. Pendekatan pengembangan dalam penelitian ini digunakan untuk membentuk kerjasama antara peneliti dengan konselor, dalam rangka merancang, memahami, dan mengevaluasi standar profesionalisme konselor tersebut. Pendekatan ini juga digunakan agar mereka dapat memanfaatkan standar profesionalisme konselor dalam mengembangkan kualitas layanan dan profesionalismenya sehingga produk ini diharapkan menjadi dasar pengembangan konselor profesional dalam melaksanakan layanan BK.

Adapun prosedur pengkajian dan perumusan standar hipotetik (standar awal) profesionalisme konselor sebagai berikut:

o. Analisis konseptual terhadap ragam aspek dan pencapaian tugas perkembangan, lingkungan perkembangan individu dari Blocher, D.H. (1974), dan analisis konseptual terhadap pengembangan standar


(30)

profesionalisme konselor dilakukan dengan mengacu pada konstruk penelitian (kompetensi profesional, kepribadian, dan kompetensi kependidikan). Tahap ini menghasilkan deskripsi dan analisis ragam aspek dan pencapaian tugas perkembangan siswa/klien, dan implementasi profesionalisme konselor secara aktual di beberapa SMAN di Bandung.

o. Analisis kebutuhan nyata terhadap standar profesionalisme konselor dalam mengimplementasikan layanan BK berdasarkan tugas dan lingkungan perkembangan, dan implementasi profesionalisme konselor di lapangan; tahap ini akan menghasilkan kebutuhan akan standar profesionalisme konselor di setting sekolah dan masyarakat. Kebutuhan ini akan diperkuat oleh adanya kesenjangan antara profesionalisme aktual di lapangan dengan profesionalisme ideal yang seharusnya ditampilkan oleh konselor di pekerjaannya.

o. Pengujian ketepatan dan kelaikan standar awal pengembangan profesionalisme konselor secara rasional melalui pendekatan pertimbangan rasional yang dilakukan oleh para ahli bimbingan di perguruan tinggi, konselor di beberapa SMAN di kota masing-masing; tahap ini menghasilkan standar kompetensi konselor profesional.

3.2 Definisi Operasional

Graziano dan Raulin (2000: 81) mengatakan, “an operational definition is a definition of a variable in terms of the procedures used by the researcher to measure or manipulate the variable.” Sebelum


(31)

operasionalisasi variabel penelitian dilakukan, terdapat beberapa konsep pokok yang perlu diklarifikasi untuk mendapatkan kesamaan pengertian, yaitu: penelitian pengembangan diartikan dalam penelitian ini sebagai strategi atau pendekatan proses yang digunakan untuk mengembangkan atau memvalidasi produk standar untuk dijadikan dasar guna memenuhi kepentingan pembinaan kualitas praktik profesi konseling.

Standards are those statements providing a description of what students should know and be able to do at the highest level of expectation. Standards specify the level or rate of performance the student will achieve againts a particular competency or set of indicators (Campbell & Dahir, 1997).

Standar-standar merupakan pernyataan-pernyataan yang memberikan suatu deskripsi tentang apa yang seharusnya diketahui dan mampu dilakukan oleh konselor pada tingkat harapan tertinggi. Standar seperti ini mengkhususkan pada tingkat performansi yang dicapai konselor terhadap suatu kompetensi tertentu atau sekumpulan indikator. Standardisasi profesionalisme konselor didefinisikan sebagai proses menstandarkan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan konselor SMA dalam menampilkan layanan profesinya dengan memberikan bahan-bahan yang sesuai dengan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab akan layanan BK di sekolah.

Profesionalisme konselor berarti sikap konselor terhadap profesinya serta derajat pengetahuan, keterampilan dan keahlian yang dimiliki dalam menampilkan tujuh belas dimensi kompetensi konselor profesional, yakni ciri kepribadian; kompetensi anak dan remaja; konseling kelompok;


(32)

konseling individual; konseling sekolah; konseling adiksi; konseling pasangan/perkawinan/keluarga; konseling multikultural dan populasi khusus; kompetensi pengembangan program bimbingan; kompetensi pengembangan karier klien; kompetensi konsultasi; kompetensi diagnosis, dokumentasi dan referal; kompetensi supervisi konselor; kompetensi evaluasi dan riset; kompetensi pengukuran; kompetensi kependidikan, kompetensi perkembangan individu dalam rangka melaksanakan ruang lingkup tugas atau fungsi BK di semua setting. Secara sistematik, pengertian masing-masing dimensi akan dikemukakan sebagai berikut:

3.2.1 Karakteristik kepribadian adalah atribut-atribut atau sifat-sifat yang seharusnya dimiliki oleh konselor profesional yang memberi pengaruh amat fasilitatif terhadap kepedulian, pengembangan dan perubahan tingkah laku klien.

3.2.2 Kompetensi konselor dalam membantu populasi atau lingkungan target pilihan adalah kompetensi yang harus dikuasai berkenaan dengan keunikan setting atau populasi sasaran dimana konselor bekerja, misalnya konseling anak remaja, konseling karier, konseling adiksi, konseling krisis atau traumatik, dan sebagainya.

3.2.3 Kompetensi pengembangan program bimbingan ialah kompetensi yang harus dikuasai konselor dalam merencanakan, mengorganisir, mengimplementasikan, dan mengevaluasi program dalam upaya menangani kebutuhan, permasalahan, perkembangan klien/kelompok klien (Schmidt, 1999: 112-135).


(33)

3.2.4 Kompetensi pengembangan karier klien adalah kompetensi yang harus dikuasai konselor dalam membantu kemampuan klien menangani perkembangan karier klien sendiri dengan membantu klien dalam proses perencanaan, pengelolaan, dan pengidentifikasian sumber-sumber kehidupan karier klien.

3.2.5 Kompetensi konsultasi adalah kompetensi yang seharusnya dikuasai konselor dalam suatu proses yang kompleks yang menuntut praktik dan penelitian mendalam agar mencapai perkembangan keterampilan klien yang signifikan (Gibson & Mitchell dalam Zins dan Curtis: 1995: 363).

3.2.6 Kompetensi diagnosis, dokumentasi dan referal adalah kompetensi yang seyogianya dikuasai konselor dalam mencari faktor penyebab (mendiagnosis) tingkah laku, memelihara serta memanfaatkan data dan mengambil langkah mengalihtangankan atau menerima alih tangan dari ahli/pihak lain (referal dalam konseling).

3.2.7 Kompetensi supervisi konselor adalah kompetensi yang seharusnya dikuasai konselor untuk membantu konselor lain dalam bidang kesupervisian, agar didapatkan kemantapan perilaku profesional dalam BK.

3.2.8 Kompetensi evaluasi dan riset adalah

evaluation as the determination of the worth of a thing. It includes obtaining information for use in judging the worth of a program, product, procedure, or objective, or the potential utility of alternative aproach designed to attain specific objectives (Worthen & Sanders, 1973).


(34)

Research isthe activity aimed at obtaining generalizible knowledge by contriving and testing claims about relationships among variables or describing generalizible phenomena.

Kompetensi riset dan evaluasi adalah kompetensi yang perlu dikuasai oleh konselor dalam memperbaiki praktik konseling, membuktikan efektivitas konseling, menghasilkan produk, pengetahuan yang penting tentang perkembangan tingkah laku manusia yang efektif (Blocher, 1974: 266).

3.2.9 Kompetensi pengukuran (appraisal) adalah

is synonymous with evaluation and encompasses processes for measuring a range of student atributes, abilities, and interest and for making professional judgments based on the results of these measurements. Student appraisal (sometimes referred to as evaluation) involves collecting data from a variety of sources, forming opinions and making comparisons with those data, and drawing conclusions with which to guide students and others and educational and career decisions (Schmidt, 1999: 204).

Kompetensi pengukuran didefinisikan sebagai kemampuan yang harus dikuasai konselor meliputi proses-proses untuk mengukur rentang minat, kemampuan, sifat-sifat dan untuk membuat pertimbangan professional berdasar pada hasil-hasil pengukuran ini. Pengukuran (kadang-kadang mirip dengan evaluasi) melibatkan kegiatan pengumpulan data dari berbagai sumber, membentuk pendapat, dan membuat perbandingan dengan data itu serta menarik kesimpulan dalam rangka mengarahkan keputusan karier dan pendidikan siswa/individu lain.


(35)

3.2.10 Kompetensi kependidikan didefinisikan sebagai kompetensi yang harus dikuasai oleh konselor berkenaan dengan landasan keilmuan pendidikan, landasan budaya, dan prinsip-prinsip pendidikan.

3.2.11 Kompetensi perkembangan individu adalah kompetensi yang seyogianya dikuasai oleh konselor sehubungan dengan penerapan kaidah, prinsip perkembangan dan konsep kepribadian untuk memfasilitasi perkembangan individu.

3.2.12 Konselor dalam penelitian ini didefinisikan sebagai pendidik yang berlatar belakang pendidikan sarjana (S1) Bimbingan Konseling, diangkat sebagai konselor sekolah serta telah bertugas sekurang-kurangnya selama satu tahun sebagai konselor di sekolah tempat bekerja, dan pada saat penelitian ini dilakukan masih bertugas sebagai konselor.

Standar profesionalisme konselor dalam penelitian ini dapat didefinisikan sebagai seperangkat instrumen berupa sistem kerja yang dijadikan dasar untuk membina profesionalisme konselor berdasarkan lingkup tugas yang menjadi kewenangannya.

3.2.13 Pengetahuan

“knowledge as defined here includes those behaviors and test situations which emphasize the remembering, either by recognition or recall, of ideas, material, or phenomena” (Benyamin S. Bloom, 1977: 62).

Mengacu pada pendapat Bloom di atas, pengetahuan dalam penelitian ini adalah keseluruhan perilaku dan keadaan penilaian


(36)

yang menekankan kegiatan mengingat gagasan-gagasan, materi dan gejala yang berkenaan dengan pelayanan BK.

3.2.14 Kemampuan dan keterampilan

Kemampuan dan keterampilan konselor dalam penelitian ini didefinisikan sebagai seperangkat penguasaan pengetahuan dan keterampilan dalam mengunjukkerjakan BK dalam perilaku nyata sekaitan dengan 17 dimensi kompetensi konselor profesional dalam setting sekolah dan masyarakat.

3.2.15 Benchmarking study (studi benchmark) didefinisikan sebagai studi mengenai proses memfasilitasi perbandingan yang sistematik antara performansi aktual, ideal dan threshold standards konselor dan evaluasi terhadap praktik, proses, dan performansi untuk membantu perbaikan dan regulasi diri.

3.2.16 Teknik Delphi (Delphi Technique) didefinisikan sebagai teknik menstruktur proses komunikasi seluruh pakar BK berkenaan dengan 17 dimensi kompetensi konselor profesional agar proses itu efektif dalam memungkinkan semua pakar BK menghasilkan kesepakatan atau persetujuan dengan masing-masing dimensi kompetensi tersebut.

3.2.17 Kredensialisasi didefinisikan sebagai penganugrahan kepercayaan kepada konselor profesional yang menyatakan bahwa yang bersangkutan memiliki kewenangan dan memperoleh lisensi untuk


(37)

menyelenggarakan layanan profesional secara independen kepada masyarakat maupun lembaga.

3.2.18 Lisensi didefinisikan sebagai izin yang diberikan kepada konselor untuk menyelenggarakan praktik konseling secara independen karena telah memenuhi persyaratan kompetensi yang dikualifikasikan, yang dievaluasi terus menerus oleh ABKIN, diberlakukan/ditinjau ulang untuk periode waktu tertentu.

3.2.19 Sertifikasi didefinisikan sebagai suatu proses pemberian pengakuan terhadap penguasaan sikap, pengetahuan dan kemampuan dalam kompetensi konseling dari LPTK yang bekerjasama dengan ABKIN.

3.3 Asumsi Penelitian

Penelitian ini dilandasi oleh asumsi-asumsi sebagai berikut:

Pertama, keberhasilan BK di SMA ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu konselor, sikap dan kepedulian kepala sekolah, guru, siswa, orang tua dan masyarakat, besar kecilnya sekolah, dan rasio antara konselor dengan siswa (Miller, et al, 1978: 151). Dari faktor- faktor tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa konselor merupakan faktor pelaku utama dalam menyelenggarakan pelayanan BK; sementara itu pengembangan tugas oleh konselor yang berada dalam ruang lingkup profesinya berada dan terkait dalam suatu sistem di dalam organisasi sekolah itu sendiri, maupun dalam sistem yang lebih luas di luar sekolah. Sudah barang tentu keseluruhan sistem terkait tersebut semakin penting dilibatkan dukungan


(38)

dan perannya dalam menampilkan pelayanan BK profesional. Dengan demikian patut dipertimbangkan variabel di luar diri konselor untuk dilibatkan dalam penelitian ini.

Kedua, sikap, pengetahuan, keterampilan, kemampuan bimbingan dan konseling yang dikuasai atau dimiliki oleh konselor dalam semua setting dapat diidentifikasi dan diajarkan melalui pendidikan, baik pendidikan pre-service training maupun in-service training. Ini memberikan pengertian bahwa taraf pengetahuan, kemampuan dan keterampilan konselor sekolah yang merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan terwujudnya perilaku profesionalisme konselor dalam melaksanakan tugasnya dapat diungkap secara deskriptif dengan menggunakan instrumen tertentu sehingga profesionalisme tersebut dapat ditingkatkan melalui pelatihan apabila ditemukan tingkat pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang rendah dalam melaksanakan tugas layanan BK. Oleh karenanya standar kompetensi konselor profesional penting dihasilkan.

Ketiga, “the role of the counsellor involves a range of tasks and competencies. The concept of skill captures only one component of counsellor competence” (McLeod; 2003: 493). Konselor merupakan suatu profesi yang mengemban lingkup atau deskripsi tugas yang jelas dan teramati, memiliki seperangkat tugas dan kewajiban yang memerlukan keahlian, kemampuan dan keterampilan khusus dalam memberikan pelayanannya kepada setiap pengguna jasa layanan bimbingan,


(39)

khususnya para klien. Kemampuan dan keterampilan khusus konselor berkenaan dengan lingkup tugas dan kewajibannya dapat diidentifikasi dan dipotret secara objektif untuk dikomparasikan dengan standar ideal konselor profesional.

Keempat, tingkat penguasaan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, sikap seseorang dalam melaksanakan BK dapat menunjukkan profesionalisme konselor. Dari itu, tingkat penguasaan tersebut dapat dijadikan bahan untuk menilai dan memperbaiki kinerja profesionalisme konselor di lapangan. Untuk meningkatkan kinerja profesionalisme konselor tersebut mutlak diperlukan standar ideal kompetensi konselor profesional di sekolah dan masyarakat.

Kelima, pengembangan dan peningkatan profesionalisme konselor dapat disusun dalam berbagai bentuk dan cara, sehingga dapat membantu meningkatkan kinerja konselor menuju tuntutan perilaku profesional.

Keenam, upaya penilaian maupun perbaikan performansi profesionalisme konselor di lapangan membutuhkan standar kompetensi profesi konselor itu sendiri sebagai dasar atau pedoman untuk dapat mengukur tingkat pencapaian profesionalisme konselor. Selanjutnya dapat ditentukan seberapa banyak lagi usaha untuk mengoptimalkannya secara terukur.

Ketujuh, konselor sekolah yang telah memperoleh pendidikan formal dan pengalaman yang memadai dalam BK secara utuh dan yang


(40)

hingga saat ini masih menjalankan perannya di sekolah dipandang mampu memberikan layanan konseling dalam setting masyarakat. Itulah sebabnya konselor sekolah dalam penelitian ini dipandang tepat sebagai subyek penelitian untuk mendapatkan data tentang performansi aktual kompetensi konselor profesional di Indonesia.

Kedelapan, standardisasi profesionalisme konselor tidak bisa lepas atau dipisahkan dari konsep dasar ilmu BK, profesionalisme, ekspektasi pengguna jasa layanan BK, tugas dan lingkungan perkembangan individu, ada-tidaknya dukungan maupun kesempatan dalam menampilkan kinerja profesionalitas konselor di lapangan.

Kesembilan, perilaku profesional konselor itu tidak hanya terbatas pada layanan atau setting konseling (konteks hubungan konselor-klien) saja, melainkan pada situasi apasaja ketika konselor tampil dalam perilaku performansi nyatanya di sekolah atau luar sekolah.

Kesepuluh, standar perilaku konselor merupakan suatu keharusan untuk setiap orang yang mengaku dan mengadakan kegiatan BK. Setiap orang yang memasuki bidang kegiatan profesi tertentu, dalam hal ini konseling harus mematuhi norma dan standar perilaku profesional yang berlaku dan diberlakukan dalam pekerjaan atau profesi konselor. Standar perilaku konselor profesional yang dikaji adalah standar ideal bukan aktual konselor.


(41)

3.4 Lokasi dan Subyek Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Perguruan Tinggi UPI, UNP, dan UM, serta di SMAN di Bandung, Malang, Padang. Perguruan Tinggi tersebut dipilih secara purposif berdasarkan asumsi bahwa pakar BK (berpendidikan S1, S2, S3) terdapat di perguruan tinggi. Subyek pakar BK dalam penelitian ini adalah 3 orang pakar BK berpendidikan S1; 12 orang pakar BK berpendidikan S2; dan 15 orang pakar BK berpendidikan S3. Seluruh pakar BK berjumlah 30 orang. Sampel ini diambil dengan teknik

purposive sampling (tertera pada lampiran). Rochman, N. (1988: 73) menyatakan bahwa “sampel purposif diambil dengan jalan menunjuk anggota populasi tertentu, dengan dasar keyakinan bahwa anggota tertentu itu adalah paling tepat untuk menjadi sampel”. Subyek konselor dalam penelitian ini seluruhnya berjumlah 64 orang konselor, terdiri dari 32 orang konselor berasal dari sekolah yang penyelenggaraan program BK-nya baik dan 32 orang konselor lainBK-nya berasal dari sekolah yang penyelenggaraan program BK-nya kurang memadai (diterakan pada lampiran 7). Informasi tentang baik, kurang memadai tersebut didapat dari masing-masing Kantor Dinas setempat berdasarkan kriteria yang ditetapkan lembaga tersebut. Kriteria yang digunakan adalah GPA (Grade Point Average) sekolah, pengadaan fasilitas BP, dan latar belakang pendidikan dan pengalaman tenaga bimbingan di sekolah yang bersangkutan.


(42)

3.5 Prosedur Penelitian

Prosedur yang ditempuh untuk mengembangkan standar kompetensi profesionalisme konselor dalam penelitian ini dengan menerapkan langkah-langkah berikut :

3.5.1 Tahap persiapan

Tahap persiapan dalam penelitian ini sebagai tahap awal pengembangan standar kompetensi profesionalisme konselor di setting sekolah dan masyarakat meliputi kegiatan:

3.5.1.1 Studi awal (preliminarily study), yakni mencari informasi untuk menyusun dan mengembangkan standar kompetensi profesionalisme konselor melalui studi literatur dan teoretik konseptual, yang meliputi kegiatan:

3.5.1.1.1 Mendeskripsikan temuan penelitian tentang kebutuhan siswa dalam pengatasan masalah, kemudahan dalam tugas perkembangan, dan pertumbuhan kepribadian. 3.5.1.1.2 Mendeskripsikan temuan penelitian mengenai kondisi

objektif tugas dan lingkungan perkembangan siswa. 3.5.1.1.3 Mendeskripsikan temuan penelitian tentang kondisi

objektif perilaku profesionalisme konselor dalam mengimplementasikan pelayanan BK, termasuk standar profesionalisme konselor dari beberapa sumber.

3.5.1.2 Mengkaji rancangan konseptual standar profesionalisme konselor di beberapa negara dan Benua.


(43)

3.5.1.3 Mengkaji berbagai hasil penelitian yang terkait dengan permasalahan pokok penelitian pengembangan standar kompetensi profesionalisme konselor.

3.5.1.4 Mengkaji ketentuan formal pelaksanaan BK profesional di SMA. 3.5.2 Tahap merancang standar kompetensi konselor profesional hipotetik. Langkah-langkah yang ditempuh dalam tahap ini adalah sebagai berikut:

3.5.2.1 Merancang standar hipotetik kompetensi profesionalisme konselor yang dikembangkan berdasarkan kajian teoretik yang dikemukakan oleh Engels dan Dameron (1990), serta Blocher (1974), kondisi objektif di lapangan, kajian hasil-hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan standar kompetensi profesionalisme konselor, standar kompetensi konselor di Amerika Utara, di Australia, di Jerman Barat, Benua Asia, dan kajian ketentuan formal pelaksanaan perilaku profesional konselor dalam memberikan layanan BK di SMA.

3.5.2.2 Analisis kesenjangan antara standar kompetensi profesionalisme konselor secara hipotetik dengan implementasi aktual profesionalisme konselor di lapangan (benchmarking study). 3.5.2.3 Mendeskripsikan kerangka kerja kolaboratif dengan personil

konseling di lapangan (konselor) dalam menguji kelayakan standar hipotetik kompetensi profesionalisme konselor.


(44)

3.5.3 Tahap uji kelayakan (uji rasional) standar kompetensi konselor profesional. Pada tahap ini peneliti melakukan kegiatan:

3.5.3.1 Uji kelayakan melalui metode Delphi (Delphi method) dan kesepakatan dengan para ahli, teman sejawat dan konselor di SMA Pemerintahan Kota Bandung, Malang, Padang sebagai tiga kota lokasi penelitian.

3.5.3.2 Mendeskripsikan hasil pelaksanaan uji kelayakan standardisasi profesionalisme konselor.

3.5.4 Tahap perbaikan standar hipotetik kompetensi konselor profesional (tahap revisi). Berdasarkan hasil pelaksanaan uji kelayakan, peneliti melakukan kegiatan:

3.5.4.1 Mengevaluasi hasil uji kelayakan standar hipotetik kompetensi konselor profesional.

3.5.4.2 Memperbaiki standar hipotetik kompetensi konselor profesional. 3.5.4.3 Menyusun standar hipotetik profesionalisme konselor dalam

setting sekolah maupun setting masyarakat.

3.5.5 Tahap uji lapangan (Teruji I) standar hipotetik kompetensi konselor profesional. Pelaksanaan uji lapangan dilakukan bersama konselor melalui langkah-langkah berikut:

3.5.5.1 Menyusun rencana kegiatan uji lapangan standar kompetensi konselor profesional.

3.5.5.2 Melaksanakan uji lapangan standar kompetensi konselor profesional.


(45)

3.5.5.3 Mendeskripsikan hasil pelaksanaan uji lapangan standar kompetensi konselor profesional.

3.5.6 Tahap merancang standar akhir profesionalisme konselor (Teruji II). Langkah yang ditempuh dalam tahap ini adalah sebagai berikut:

3.5.6.1 Mengevaluasi hasil uji lapangan konselor profesional (Teruji I). 3.5.6.2 Memperbaiki standar kompetensi profesionalisme konselor.

3.5.6.3 Tersusun standar akhir kompetensi konselor profesional (Teruji II). 3.5.7 Tahap diseminasi

3.6 Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

3.6.1 Prosedur pengumpulan data

3.6.1.1 Persiapan pengumpulan data

Kegiatan-kegiatan persiapan pengumpulan data melibatkan sekumpulan kegiatan berikut ini:

3.6.1.1.1 Studi pendahuluan; dilakukan untuk mengetahui keadaan subyek penelitian di lapangan.

3.6.1.1.2 Menyusun angket variabel penelitian, yakni variabel standardisasi kompetensi profesionalisme konselor, angket performansi aktual kompetensi konselor profesional, diturunkan dari kisi-kisi angket yang mengacu pada teori Bloom tentang pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam mengimplementasikan fungsi tugas BK. Sedangkan materi isi 17 dimensi kompetensi konselor profesional


(46)

disadurkembangkan dari pendapat Engels dan Dameron (1990: 2-151). Pendapat ini diperkaya dan diintegrasikan dengan standar profesional organisasi profesi konselor beberapa negara/benua, serta teori konseptual studi terkait dengan masalah ini. Instrumen-instrumen pengumpul data ini dituntaskan sampai pada tahap siap dijalankan setelah melalui tahapan: (1) pertimbangan tiga orang pakar BK, (2) uji coba kepada responden penelitian.

3.6.1.1.3 Menggandakan kuesioner yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya tersebut sebanyak jumlah responden.

3.6.1.1.4 Mengajukan permohonan izin penelitian ke UPI, Sospol, FIP UPI, FIP UM, FIP UNP, kepala sekolah dari 12 SMAN. Surat izin penelitian tertera pada lampiran 13.

3.6.1.1.5 Meminta persetujuan dan sekaligus menentukan jadwal waktu pelaksanaan kegiatan pengumpulan data dengan melakukan kontak kepada setiap pakar BK sebagai responden penelitian, yakni pada program Pascasarjana UPI, UM, dan UNP serta para konselor di SMAN-SMAN melalui kepala sekolah di ketiga kota Program Pascasarjana/(Bandung, Padang, Malang).

3.6.1.2 Pelaksanaan pengumpulan data

Serangkaian kegiatan dalam melaksanakan kegiatan pengumpulan data adalah sebagai berikut:


(47)

3.6.1.2.1 Mengunjungi para pakar BK di Pascasarjana atau tempat lain sesuai dengan waktu maupun tempat yang telah disepakati sebelumnya. Pada pertemuan ini dimohon untuk memberikan pertimbangan keilmuannya (expert judgment) terhadap kuesioner standardisasi profesionalisme konselor yang disediakan. Setelah kuesioner tersebut selesai diisi, berdasarkan persetujuan masing-masing pakar BK baik saat itu atau pada waktu lain, kemudian peneliti mewawancarai para pakar konseling untuk mengungkap pendapat tentang kompetensi inti, bersama, dan khusus beserta alasannya melalui pedoman wawancara yang telah disusun oleh peneliti sebelumnya (pedoman wawancara tertera pada lampiran 4). 3.6.1.2.2 Menjalankan kuesioner standardisasi performansi aktual

kompetensi profesionalisme konselor. Pada saat kuesioner dijalankan peneliti berusaha sedapat-dapatnya berada di tempat pengisian hingga proses pengisian angket selesai. Ini dilakukan untuk memberi penjelasan-penjelasan yang fasilitatif apabila di antara responden ada yang mempertanyakan atau memperjelas maksud pernyataan kuesioner dan menghindari adanya kuesioner yang diisi tidak lengkap.


(48)

3.6.1.2.3 Untuk memberi penjelasan-penjelasan yang fasilitatif apabila di antara responden ada yang mempertanyakan atau memperjelas maksud pernyataan kuesioner dan menghindari adanya kuesioner yang diisi tidak lengkap.

3.6.2 Pengolahan data

Sekuensi (langkah-langkah) kegiatan pengolahan data dilakukan sebagai berikut ini:

3.6.2.1 Memberi kode (tanda) responden pakar BK dan konselor.

3.6.2.2 Melakukan verifikasi data untuk mengetahui jumlah kuesioner yang memenuhi persyaratan untuk diolah dan seterusnya dianalisis.

3.6.2.3 Mentabulasi data tentang keprofesionalan konselor. Untuk tingkat profesionalisme konselor dilakukan penskoran terhadap kinerja aktual konselor di lapangan sebagai berikut:


(49)

3.6.2.3.1 Skor diberi nilai empat jika responden (konselor) menjatuhkan pilihan jawaban yang menggambarkan perilaku profesionalisme konselor tergolong sangat tinggi.

3.6.2.3.2 Skor diberi nilai tiga apabila responden menjatuhkan pilihan jawaban yang menggambarkan perilaku profesionalisme konselor tergolong tinggi.

3.6.2.3.3 Skor diberi nilai dua jika responden menjatuhkan pilihan jawaban yang menggambarkan perilaku profesionalisme konselor tergolong rendah.

3.6.2.3.4 Skor diberi nilai satu jika responden menjatuhkan pilihan jawaban yang menggambarkan perilaku profesionalisme konselor tergolong sangat rendah.

Sedangkan penskoran terhadap standar kompetensi konselor profesional melalui pertimbangan ahli dilakukan sebagai berikut:

(1) Skor diberi nilai empat, jika responden pakar BK memutuskan pilihan berdasarkan pertimbangan keahliannya terhadap standar kompetensi konselor profesional tergolong sangat penting.

(2) Skor diberi nilai tiga, jika responden pakar BK memutuskan pilihan berdasarkan pertimbangan keahliannya terhadap standar kompetensi konselor profesional tergolong penting.


(50)

(3) Skor diberi nilai dua, jika responden pakar BK memutuskan pilihan berdasarkan pertimbangan keahliannya terhadap standar kompetensi konselor profesional tergolong agak penting.

(4) Skor diberi nilai satu jika responden pakar BK memutuskan pilihan berdasarkan pertimbangan keahliannya terhadap standar kompetensi konselor profesional tergolong tidak penting.

3.7 Pengembangan Instrumen Pengumpul Data Penelitian

3.7.1 Jenis Instrumen

Penelitian ini menggunakan metode laporan diri (self-report) dan wawancara untuk mengumpulkan data penelitian. Metode laporan diri dilaksanakan melalui teknik kuesioner, sedangkan metode wawancara diadministrasikan melalui pedoman wawancara. Teknik kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data mengenai tingkat performansi aktual konselor profesional di sekolah dan dengan teknik yang sama juga digunakan untuk mengumpulkan data mengenai pendapat para pakar BK terhadap tingkat relevansi dan urgensinya keseluruhan kompetensi skonselor profesional. Meskipun kedua Jenis instrumen pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini baik yang ditujukan kepada konselor praktisi maupun kepada para pakar BK diurunkan (merupakan urunan) dari konsep teoretik yang sama, namun pada tingkat teknis operasional telah dikonstruk secara berbeda menurut sampel populasi target yang akan memberi respon terhadap pernyataan yang diberikan.


(51)

Pemilihan teknik angket sebagai metode pengumpulan data didasarkan kepada beberapa rasionel. Pertama, responden pakar BK memiliki banyak tugas akademik, dinamik, dengan mobilitas yang tinggi dalam kesehariannya sehingga umumnya waktu yang tersedia amat terbatas. Responden konselor juga memiliki tugas yang padat di sekolah. Peneliti sendiri juga memiliki waktu yang terbatas dalam penelitian ini, sementara jumlah subyek yang perlu diukur amat banyak. Penggunaan metode kuesioner ini diharapkan dapat mengatasi keterbatasan waktu tersebut. Kedua, berdasarkan pada kajian studi-studi terkait dengan penelitian ini sebagaimana banyak dipublikasikan dalam banyak literatur, jurnal, akses internet mengenai performansi aktual konselor dalam menampilkan kompetensinya dapat diukur melalui metode laporan diri (self-report) ini. Ketiga, subyek memiliki kemampuan untuk memberikan data melalui kuesioner dalam penelitian ini. Keempat, beberapa keterbatasan yang inheren dalam penggunaan kuesioner dapat ditanggulangi dengan cara mengendalikan secara cermat proses pengadministrasiannya.

Penerapan metode wawancara didasarkan atas dasar argumen bahwa beberapa data yang diperoleh melalui kuesioner memerlukan penelusuran mendalam (probing) terhadap item kompetensi konselor profesional yang amat sukar didapatkan melalui kuesioner saja dalam penelitian ini. Untuk memperoleh data tersebut, metode wawancara ini pada dasarnya melengkapi pengumpulan data yang dibutuhkan.


(52)

Wawancara digunakan untuk mendapatkan data yang lebih kaya mengenai kompetensi utama (core competencies), kompetensi bersama (common competencies), dan kompetensi khusus (specific competencies) (Canadian Standards and Guidelines for Career Development: 2001) serta rasionalisasi para pakar mengkategorisasikan tiap kompetensi ke dalam masing-masing kompetensi di atas. Disamping itu, dengan wawancara diperoleh gambaran yang lebih hidup dan realistis. Menurut Nasution (1987: 163), “…Selain itu wawancara dapat digunakan untuk menguji angket yang akan dilancarkan…”.

3.7.2 Pengembangan Instrumen Penelitian

Angket dan pedoman wawancara dikembangkan oleh penulis dengan mengacu pada pedoman dalam pengembangan instrumen pengukuran sebagaimana banyak dikemukakan dalam banyak literatur (Ancok, 1987; Friedenberg, 1995; Natawidjaja, 2002). Berdasarkan pada masalah dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini maka langkah-langkah untuk mengembangkan instrumen penelitian tersebut adalah: 3.7.2.1 Menyusun tabel spesifikasi

Menurut definisi konseptual dan operasional variabel yang hendak diukur, dikembangkan tabel spesifikasi untuk ketiga angket yang akan dikembangkan. Tabel spesifikasi ini secara faktual dapat dilihat pada lampiran 1.

Standardisasi kompetensi konselor profesional ataupun performansi aktual kompetensi konselor profesional diukur melalui 17


(53)

dimensi profesionalisme konselor profesional beserta rincian indikatornya, yaitu dimensi ciri kepribadian (19 indikator); dimensi kompetensi bagi populasi dan lingkungan terpilih terdiri pula atau subdimensi konseling anak dan remaja (10 indikator); subdimensi konseling kelompok (10 indikator); subdimensi konseling individual (14 indikator); subdimensi konseling sekolah (8 indikator); subdimensi konseling adiksi (3 indikator); subdimensi konseling pasangan/perkawinan/keluarga (4 dimensi); subdimensi konseling multikultural (5 indikator); dimensi pengembangan program bimbingan (11 indikator); dimensi pengembangan karier klien (11 indikator); dimensi konsultasi (11 indikator); dimensi diagnosis/dokumentasi/referal (15 indikator); dimensi supervisi konselor (6 indikator); dimensi evaluasi dan riset (8 indikator); dan dimensi pengukuran (appraisal) (7 indikator); dimensi kependidikan, dan dimensi perkembangan individu..

Tingkat performansi kompetensi konselor profesional diukur melalui 126 item yang dirancang untuk melihat kinerja actual konselor di lapangan. Sedangkan standardisasi kompetensi konselor profesional diukur melalui 98 item yang dirancang untuk mencari kesepakatan pakar BK sebagai penimbang ahli sekaligus responden dalam penelitian ini, mengenai penting tidaknya kompetensi yang dinilai.

Substansi dan kondisi kompetensi utama, kompetensi bersama, dan kompetensi spesifik diukur melalui konsep definisi operasionalnya dan


(1)

Borg, W.R. et al., (1983). Educational Research: In Introduction, New York: Boston South End Press.

Bowers, J.J., & Hatch, P.A. (2002). The National Model for School Counseling Programs. Alexandria: American School Counselor Association.

Brammer, L.M., and Shostrom, E.L. (1982). Therapeutic Psychology : Fundamentals of Counseling and Psychoterapy. 4th.Ed. New Jersey: Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Brannen, J. (1992). Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research. England: Avebury.

Canadian Standards and Guidelines for Career Development (2001). Core Competencies. Ontario. ATEC for the National Steering Committee for Career Development Guidelines and Standards.

Capuzzi, D., & Gross, D.R. (1991). Introduction To Counseling: Perspectives for The 1990s. Boston: Allyn and Bacon.

Chiko, C.H. et al., (1980). “A Model to Systematize Competencies in Counselor Education”. Counselor Education and Supervision. 19.283-291.

Choi, S.C. et al. (1993). “Indegenous Analysis of Collective Representations: A Korean Perspective,” dalam Kim, U. & Berry, J.W. (Eds), Indigeneous Psychologies: Research and Experience in Cultural. London: SAGE Publications, Inc.

Corey, G., & Corey, M.S. (1988). Issues and Ethics in the Helping Professions. 3rd. Ed. California: Brooks/Cole Publishing Company. Cormier, W.H., dan Cormier, L.S. (1985). Interviewing Strategies for

Helper: Fundamentals Skill and Cognitive Behavioral Interventions. 2nd. Ed. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company. Creswell, J.W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing

Among Five Traditions. London, New Delhi: Sage Publications International Educational and Professional Publisher.

Dahlan, M.D. (1988). Posisi Bimbingan dan Penyuluhan Dalam Pendidikan Dalam Kerangka Ilmu Pendidikan. Bandung: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar di IKIP Bandung.


(2)

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1989). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (2003). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Jakarta: Balai Pustaka.

Dick, W., & Carey, L. (1990). The Systematic Design of Instruction. 3rd. Ed. Glenview, Illinois: Scot, Foresman and Company.

Direktorat P2TKKPT. (2003). Dasar Standardisasi Profesi Konseling. Jakarta: Depdiknas.

Dyer, W. W., & Vriend, J. (1977). Counseling Techniques that Work. New York: Funk & Wagnalls.

Eijkelhof H. et al., (1992). Experiences with Research and development to Improve STS Education on Radioactivity and Linizining Radiation. Yager Research Education. ICACE. Year-Book.

Ellis, T. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model. Columbia: The Educational Resource Information Center.

Engels, D. W., & Dameron, J. D. (1990). The Professional Counselor: Competencies, Performance Guidelines and Assesment. 2nd. Ed. Texas: American Association for Counseling and Development. Erikson, E.H. (1968). Identity: Youth and Crisis. New York: Norton &

Company.

Friedenberg, L. (1995). Psychological Testing, Design, Analysis, and Use. Boston: Allyn and bacon.

Fullan, M. (2000). Reader on Educational Leadership. San Fransisco: Jossey-Bass A Wiley Company.

Furqon, et al., (2001). Peningkatan Kinerja Profesional Guru Pembimbing Melalui Penelitian Tindakan Kolaboratif Guru – Dosen. Bandung: Penelitian PPB FIP UPI.

Gay, L.R. (1987). Research in Education. New York: McGraw-Hill Book, Company.

Gaspersz, V. (2003). Iso 9001: 2000 and Continual Quality Improvement. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


(3)

Gaudet C., & Vincent A. (1993). “Characteristics of Training and Human Resource Development Degree Programs in the United States”. The Delta Pi Epsilon Journal, 35 (3), 139.

George R.I., & Christiani T.S. (1981). Theory, Methods, & Processes of Counseling & Psychotherapy. New Jersey: Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs.

Gibson, R.L., & Mitchell, M.H. (1986). Introduction to Counseling and Guidance. 2nd. Ed. New York: Macmillan Publishing Company. Gibson, R.L., & Mitchell, M.H. (1995). Introduction to Counseling and

Guidance. 4th Ed. Englewood Cliffs, N.J.: Merrill.

Graziano, A.M., & Raulin, M.L. (2000). Research Methods: A Process of Inquiry. 4th.ed. Boston: Allyn and Bacon.

Hatip, M. (1989). “Profil Konselor Sekolah Menengah Atas”. Tesis, Fakultas Pascasarjana IKIP Bandung.

Havighurst, R.J. (1961). Human Development and Education. New York: Longman Green and Co.

Holmes Group (1990). Tomorrow’s School. A Report of the Holmes Group. East Lansing, MI: Author.

Holtzkom, D. et al., (1984). Research with reach in Science Education: A Research Guided Responses to the Concerns of Education. Washington Dc., National Science Teachers Associations.

Jones, A. J. (1963). Principles of Guidance. 5th. Ed. New York: McGraw-Hill Book Company, Inc.

Judi, L.B., dan Patricia, A.H. (2002). The National Model for School Counseling Programs. [ onlinne ]. Tersedia di http://www.. Schoolcounselor. Org. html [………..2002].

Kartadinata, S. (1996). Kerangka Kerja BK dalam Pendidikan: Pendekatan Ekologis Sebagai Suatu Alternatif. Bandung: Depdikbud IKIP Bandung.

Kartadinata, S. (2005). “Arah dan Tantangan BK Profesional: Proposisi Historik-Futuristik: Tema Perspektif Baru Profesi Konseling di Era Global”. Makalah FIP & PPS UPI.


(4)

Kim, U. (1994). “Individualism and Collectivism: Conceptual Clarification and Elaboration,” dalam Kim, U. et al. (Eds), Individualism and Collectivism: Theory, Methods, and Aplications. London: SAGE Publications International Educational and Professional Publisher. Mahoney, M.J., & Amkoff, D. (1978). “Cognitive and Self-Control

Therapies,” dalam Garfield, S.L., & Bergin, A.E., (Eds.) Handbook of Psychotherapy and Behavioral Change. An Empirical Analysis. 2nd. Ed. New York: John Wiley & Sons.

Marzurek, et al., (2000). Education in A Global Society. A Comparative Perspective. Boston: Allyn and Bacon.

Matsumoto, D. (2004). Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

McLeod, J. (2003). An Introduction To Counselling. 3rd. Ed. Buckingham-Philadelphia: Open University Press.

McMillan, J.H., & Schumacher, S. (2001). Research in Education. 5th. Ed. New York: Longman.

Miller, F.M. (2003). Ethical Issues for School Counselors: Course Outcomes As a result of the work in this course, the counselor. In Article [Online], Tersedia: file://\My Document\ethical issues in school counseling.htm [20 September 2003]

Miller, F.W. (1961). Guidance Principles and Services. Colombus, Ohio: Merril Books.

Mungin, E. W. (2005). “Standardisasi Profesi Konseling”. Konvensi Nasional XIV BK, Semarang, 13-16 April 2005.

Muri Yusuf A. (1995). Program Pengembangan Profesionalitas Petugas Bimbingan Sekolah. Disertasi Doktor pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Nasution, S. (1988). Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Bandung: Tarsito.

Natawidjaja, R. (1990). “Fungsi dan Profesionalisasi BK dalam Pendidikan”. Bandung: Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu pendidikan pada FIP IKIP Bandung, Tanggal 18 Oktober 1990.


(5)

Natawidjaja, R. (2002). Penyusunan Instrumen penelitian. Bandung: Depdiknas.

Natawidjaja, R. (2003), Spektrum Profesi BK. Disampaikan dalam Konvensi Nasional XIII ABKIN Bandung, 8-10 Desember 2003, Depdiknas UPI.

Nayak, A.K. (1997). Guidance and Counseling. New Delhi: Aph Publishing Corporation.

Norman, J., & Helen, L. (2000). Benchmarking for Higher Education. Buckingham: The Society for Research into Higher Education & Open University Press.

Nugent, F.A. (1981). Professional Counseling : An Overview. Belmont, California: Brooks/Cole Publishing Company, A. Division of Wardsworth, Inc.

O’Donohue, W., & Krasner, L. (1995). Handbook of Psychological Skills Training: Clinical Techniques and Application. Boston: Allyn & Bacon.

Prayitno (1990). “Profesionalisasi Konseling”. Makalah pada Diskusi Studi Pengembangan Model Pendidikan Profesional Tenaga Kependidikan, Bandung.

Rao, S.N. (1981). Counseling Psychology, New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company, Ltd.

Randall. J. (1999). Benchmarks Standards for Chemistry. [Online]. Tersedia di http://www.qaa.ac.uk/chem.htm. [21 Juni 2004]

---, (1999). Benchmarking Standards for Law (England, Wales, & N.I.): Text for employer and general public. [Online]. Tersedia di

http://www.qaa.ac.uk/laweng.htm [21 Juni 2004]

Sanusi, A. dkk. (1991). Pendidikan Profesional Tenaga Kependidikan. Bandung Departemen P & K IKIP Bandung.

Sanusi, A. (1998). Pendidikan Alternatiif: Menyentuh Aras Dasar Persoalan Pendidikan dan Kemasyarakatan. Bandung: Grafindo Media Pratama.

Schmidt, J.J. (1999). Counseling in Schools: Essentials Services and Comprehensive Programs. 3th. Ed. Boston: Allyn and Bacon.


(6)

Schreyer, W.A. (1992). “The Responsbility of Leadership is to See The World Whole”. The Delta Pi Epsilon Journal. 34 (2), 58.

Shertzer and Stone (1980). Fundamentals of Counseling. Boston: Houghton Mifflin Company.

Simanowitz, V. & Pearce, P. (2003). Personality Development. London: Open University Press.

Sormunen, C., & Chalupa, M. (1994). “Perceived Preservice and Inservice Technology Training Needs of Indiana Business Teachers”. The Delta Pi Epsilon Journal. 36 (1), 16.

Spencer, L.M., & Spencer, S.M. (1993). Competence at Work: Models for Superior Performance. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Stamm, M.L., & Nissman, B. (1979). Improving Middle School Guidance. Boston: Allyn and Bacon.

Supriadi, D. (1990). “Profesi dan Profesionalitas Konseling”. Makalah, PPS IKIP Bandung.

Supriadi, D. (1997). Membangun Bangsa Melalui Pendidikan. Bandung: PPs IKIP Bandung.

Surya, M. (1990). “Profesionalisasi Layanan Bimbingan Di Sekolah”. Makalah pada Seminar dan Lokakarya Guru/Petugas Bimbingan dan Penyuluhan SLTA Muhammadiyah bersama Majlis Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta.

______(2001). Pedoman Penulisan Ilmiah. Bandung: Depdiknas PPS UPI Bandung.

Turoff, M., & Linstone, H.A. (1975). The Delphi Method: Techniques and Applications. Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company Advanced Book Program Reading.

Websters’ Ninth New Collegiate Dictionary (1990).

Wheeler, S., & King, D. (2001). Supervising Counsellors: Issues of Responsbility. London: Sage Publications.