Tingkat Kerawanan Bencana Tanah Longsor di Kawasan Wisata Tawangmangu-Candi Sukuh, Candi Cetho dan Sekitarnya.

(B. Pertanian)
Tingkat Kerawanan Bencana Tanah Longsor di Kawasan Wisata Tawangmangu-Candi Sukuh,
Candi Cetho dan Sekitarnya
Kata kunci : tanah longsor, dormant, kerawanan tinggi, drainasi buruk
Sulastoro RI; Widijanto, Hery; Koosdaryani
Fakultas Teknik UNS, Penelitian, BOPTN UNS, Hibah Bersaing, 2012
Pada tanggal 27 Desember 2007 telah terjadi tanah longsor yang cukup besar di beberapa daerah di
wilayah Kabupaten Karanganyar. Di wilayah Kabupaten Karanganyar terdapat 8 kecamatan yang
dinyatakan rawan longsor, yaitu Kecamatan Ngargoyoso, Jatiyoso, Jatipuro, Jumapolo, Karangpandan,
Matesih, Jenawi dan Tawangmangu. Bencana tanah longsor pada akhir tahun 2007 tersebut
menyebabkan beberapa daerah di wilayah 8 kecamatan tersebut menjadi rentan atau mudah longsor
karena longsoran tahun 2007 belum selesai, tetapi masih berhenti sesaat karena hilangnya daya
pendorongnya, dalam hal ini adalah air hujan. Di Kawasan Wisata Tawangmangu-Candi Sukuh-Candi Ceto
dan sekitarnya juga masih sering terjadi tanah longsor hingga sekarang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerawanan tanah longsor dan teknik pengelolaan
lingkungan yang tepat bagi daerah yang rawan longsor di Kawasan Wisata Tawangmangu-Candi SukuhCandi Cetho dan sekitarnya merupakan daerah yang padat penduduk, banyak kegiatan manusia karena
merupakan daerah tujuan wisata.
Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survey yang didahului dengan studi pustaka dan data
sekonder.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kawasan Wisata Tawangmangu-Candi Sukuh-Candi Cetho dan
sekitarnya merupakan daerah yang mempunyai tingkat kerawanan sedang hingga tinggi. Tingkat

kerawanan tinggi disebabkan karena drainasi air buruk, lereng terjal, mengelola lahan dengan cara
dioncori, dan tanah longsor yang pernah terjadi bersifat dormant dan belum ada upaya penanggulangan
untuk meningkatkan kemantapan lereng.
Kemantapan lereng di daerah rawan longsor dapat dilakukan dengan memperbaiki tata air terutama
perbaikan drainasi baik air permukaan maupun air tanah, menghindari pengelolaan lahan pertanian
dengan sistem sawah atau oncoran, menanam tanaman keras berevapotranspirasi tinggi, misalnya
lamtoro gung dan pinus.