Tinjauan Yuridis Aturan Hukum Mengenai Profesi Bidang dengan Gender Laki-Laki Dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia.

(1)

ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS ATURAN HUKUM MENGENAI PROFESI BIDAN DENGAN GENDER LAKI-LAKI DIKAITKAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DI INDONESIA

Setiap manusia memiliki hak asasi untuk mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya, hal ini dapat dilakukan dengan bekerja. Namun dalam pelaksanaanya, terdapat beberapa perkerjaan yang memberikan batasan laki-laki untuk bekerja. Hal ini terjadi dalam peraturan profesi bidan yang menjelaskan bahwa hanya seorang perempuan yang dapat berprofesi sebagai bidan. Peraturan tersebut mengarahkan kepada suatu tindakan diskriminasi. Sehingga peraturan tersebut perlu untuk dikaji lebih lanjut karena suatu tindakan diskriminasi melanggar Hak Asasi Manusia.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif karena sasaran penelitian ini adalah hukum. Penelitian yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum, serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perlindungan hukum dalam profesi bidan dengan gender laki-laki, buku-buku tentang hukum, dan majalah serta media massa.

Perbedaan gender dalam pekerjaan, khususnya dalam profesi bidan tidak sesuai dengan peraturan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Peraturan yang mengakomodir mengenai profesi bidan harus diubah, untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang tidak membedakan antara gender laki-laki dan perempuan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.


(2)

x

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

ABSTRACT

LEGAL RESEARCH CONCERNING THE RULE OF LAW REGARDING THE MIDWIVES PROFESSION WITH MALE GENDER ASSOCIATED

WITH HUMAN RIGHTS BASED ON THE REGULATION IN INDONESIA

Every human being has the rights to maintain life and improve their living standards, this can be by working. Nevertheless in the implementation, there are several working area that gives restrictions for men to enter that working area. It occurs in the midwife profession regulation which explains that only a woman can work as a midwife. The regulation directing to the act of discrimination. Therefore regulations need to be review further because of an act of discrimination in violation of Human Rights Principle.

The method used in this research is juridical normative, wich the object of the research is law. Juridical normative research is the approach that was undertaken by means of examining the theories, concepts, principles law, and the regulations concerning with the protection of the law in midwives profession to male gender, law books, and magazines as well as the mass media.

Discrimination based on gender in working area, such as midwives profession are not in line with human rights regulation in Indonesia. The regulations of midwives profession should be changed, to accommodate modern development wich is not discrimination between men and women in according with the prevailing law.

Keyword: Midwife Profession, Human Rights, Gender Distinction, Discrimination based on Gender


(3)

xi

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL………..……….………. LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN...………...…….. LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING...……….…….. LEMBAR PERSETUJUAN PANITIA SIDANG ………. PERNYATAAN TELAH MENGIKUTI SIDANG ……….…..

LEMBAR PERSETUJUAN REVISI ………. KATA PENGANTAR ………..……….…….. ABSTRAK ………...……….…..…..

DAFTAR ISI...……….. BAB I PENDAHULUAN……….……… A. Latar Belakang Masalah………... B. Identifikasi Masalah………..……….…. C. Tujuan Penelitian……….…………... D. Kegunaan Penelitian………... E. Kerangka Pemikiran………...……… F. Metode Penelitian………... G. Sistematika Penulisan……….

BAB II KEDUDUKAN BIDAN SEBAGAI PROFESI

BERDASARKAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA ……

A. Sejarah Kebidanan di Indonesia ………...………... i ii iii iv v vi vii x xi 1 1 14 14 15 16 25 28 31 31


(4)

xii

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA B. Definisi Bidan dan Kedudukan Bidan Sebagai Profesi ……….

C. Syarat untuk Berprofesi Sebagai Bidan ………. D. Tugas dan Kewenangan Seorang Bidan di Indonesia ……… E. Perlindungan Hukum terhadap Profesi Bidan di Indonesia ……...… 1. Standar Pelayanan Kebidanan sebagai Aspek Perlindungan

Hukum Bagi Bidan di Komunitas ……… 2. Kode Etik Bidan Sebagai Bagian Dari Upaya Perlindungan

Hukum Bagi Bidan ……… 3. Standar Asuhan Kebidanan sebagai Aspek Perlindungan

Hukum Bagi Bidan ………

BAB III PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM PROFESI BIDAN DENGAN GENDER LAKI-LAKI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG HAK ASASI MANUSIA ……

A. Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia ………...………... B. Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia ……… C. Hak Bekerja sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia ………... D. Hak Laki-Laki untuk Berprofesi dibidang yang Umumnya Dikerjakan Perempuan ………... E. Perlindungan Kesetaraan Gender terhadap Hak Asasi Manusia …...

BAB IV ANALISA ATURAN HUKUM MENGENAI PROFESI BIDAN DENGAN GENDER LAKI-LAKI DIKAITKAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA BERDASARKAN PERATURAN

36 52 55 58 58 59 66 69 69 72 80 88 93


(5)

xiii

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA ………

A. Aturan Hukum Positif di Indonesia yang Mengakomodir Peraturan Hukum Mengenai Profesi Bidan ………... B. Peraturan Hak Asasi Manusia Mengenai Profesi Bidan dengan

Gender Laki-Laki di Indonesia ……….. C. Peraturan Hukum Mengenai Profesi Bidan di Indonesia yang

Menyebabkan Dilanggarnya Hak Asasi Manusia ………..

BAB V PENUTUP ………...

A. Kesimpulan ……… B. Saran ………..

DAFTAR PUSTAKA ………...

CURRICULUM VITAE

MATRIX REVISI

110

110

117

120

127

127 129 131


(6)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Manusia memiliki akal sehat serta martabat yang membedakan dari makhluk yang lain.1 Manusia mampu untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan kebutuhannya. Manusia juga dapat membedakan perbuatan mana yang baik dan buruk. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, artinya manusia tidak dapat hidup sendiri. Oleh karena itu, manusia hidup memerlukan bantuan orang lain. 2

Sejak lahir, manusia mempunyai hak asasi yang harus dijunjung tinggi dan diakui oleh semua orang. Hak asasi tersebut dikenal dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak Asasi Manusia didasarkan pada prinsip fundamental bahwa semua manusia memiliki

1 http://www.kompasiana.com/andikadhamarjati98/pekerjaan-dan-penghidupan-yang-layak-bagi-

masyarakat-indonesia_54f5dd9ca33311444f8b478b diakses pada tanggal 2 bulan September tahun 2015 pukul 12.03 WIB

2 http://sitirohmaniyah-nia.blogspot.co.id/2014/09/hakikat-dan-tanggung-jawab-manusia.html


(7)

martabat yang interen tanpa memandang jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, asal-usul bangsa, umur, kelas, keyakinan politik, dan agama.

Hak Asasi Manusia juga bersifat universal, artinya dapat berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat diambil oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaannya juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia.3

Menurut Koentjoro Poerbo Pranoto, hak asasi manusia adalah hak yang bersifat asasi. Artinya hak–hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak bisa dipisahkan dari hakikatnya sehingga bersifat suci. Dengan kata lain, hak asasi merupakan hak dasar yang dimiliki manusia sebagai anugerah dari Tuhan yang dibawa sejak lahir sehingga hak asasi itu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri.4 Hak Asasi Manusia

berisi hak dasar manusia yang mengatur antara hubungan penguasa dengan rakyatnya. Setiap manusia berhak untuk menikmati hak-haknya tersebut. Hak Asasi Manusia terbagi dalam beberapa bagian. Salah satu hak yang terdapat dalam HAM yaitu hak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya (Menurut UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia).

3 http://izelcool.blogspot.co.id/2011/04/hak-asasi-manusia-artikel.html diakses pada tanggal 31

bulan Agustus tahun 2015 pukul 14:45 WIB

4 Chotib, Kewarganegaraan 1 Menuju Masyarakat Madani, Edisi Kedua, Jakarta : PT Ghalia


(8)

Manusia membutuhkan pekerjaan untuk mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya. Pekerjaan merupakan suatu kegiatan aktif yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhannya dengan tujuan tertentu. Tujuan tertentu yang dimaksud yaitu penghasilan atau pendapatan. Pekerjaan yang dilakukan manusia bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan. Kebutuhan tersebut merupakan bagian dari hidup manusia.5

Manusia yang bekerja dapat disebut tenaga kerja. Tenaga Kerja adalah adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, fungsi hukum itu adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Dengan pokok pikiran bahwa “sarana pembaharuan masyarakat” didasarkan pada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan dan pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan atau dipandang (mutlak) perlu.6 Ketenagakerjaan sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan pembangunan nasional diarahkan untuk mengatur, membina dan mengawasi segala kegiatan yang berhubungan dengan tenaga kerja sehingga dapat terpelihara adanya ketertiban untuk mencapai keadilan.

5 http://www.seputarpendidikan.com/2014/08/pengertian-pekerjaan-profesi-dan.html diakses pada

tanggal 2 bulan September tahun 2015 pukul 11:20 WIB

6 Mochtar Kusumaatmadja. Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan. Bandung: Binacipta, 1995,


(9)

Pada masa lampau beberapa pekerjaan hanya dapat dilakukan oleh seorang laki-laki, terdapat perbedaan gender yang mempengaruhi suatu pekerjaan tersebut. Seorang laki-laki yang bekerja mempunyai harapan dapat memenuhi kebutuhan keluarganya dan umumnya perempuan bekerja di dalam rumah atau sering disebut ibu rumah tangga. Namun seiring berkembangnya jaman membawa perubahan terhadap konsep gender, khususnya pada seorang perempuan.

Perempuan adalah makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki karakteristik tertentu (yang dapat menstruasi, hamil, dan melahirkan anak). Saat ini sudah banyak perempuan yang telah menyelesaikan pendidikannya sehingga memiliki pengetahuan dan keterampilan. Hal itu merupakan modal bagi seorang perempuan untuk bekerja, sehingga terdapat kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki dalam bekerja. Setiap perempuan dan laki-laki yang melakukan pekerjaan yang sama, berhak mendapatkan atas hak yang sama.

Pada saat ini terdapat berbagai bidang pekerjaan. Salah satu pekerjaan yang diminati yaitu pekerjaan dibidang kesehatan. Hal ini dikarenakan semakin tinggi angka kehidupan seseorang, maka kebutuhan kesehatan juga akan semakin naik. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. 7 Dari batasan ini terlihat jelas bahwa


(10)

kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk melakukan suatu kegiatan apapun.

Faktor yang membuat manusia berminat untuk bekerja dibidang kesehatan yaitu dari segi keuangan, sosial dan juga cita–cita yang ingin diwujudkanya. Profesi dibidang kesehatan dari segi keuangan sangat menjanjikan untuk kehidupan di masa depan. Dari segi sosial, profesi dibidang kesehatan bertujuan untuk membantu orang lain, sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat. Pengabdian kepada masyarakat merupakan pelaksanaan pengamalan ilmu pengetahuan langsung pada masyarakat.

Profesi dibidang kesehatan di masa depan akan banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Profesi dibidang kesehatan atau disebut sebagai tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan, serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

Tenaga kesehatan terbagi dalam 7 jenis, tenaga medis (dokter, dokter gigi, dokter hewan) tenaga keperawatan (perawat, bidan), tenaga kefarmasian (apoteker, analis farmasi, asisten apoteker), tenaga kesehatan masyarakat (epidemiolog kesehatan, penyuluh kesehatan dan lain-lain), tenaga gizi


(11)

(nutrionis, dietisien), tenaga keterapian fisik (fisioterapis, radioterapis dan lain-lain) dan tenaga (radiographer, radiotrapis dan lain-lain)8

Profesi bidan sebagai tenaga kesehatan yang memiliki peran sangat sentral dalam pelayanan kesehatan dasar.9 Profesi bidan merupakan profesi yang paling dekat dengan perempuan, berjuang untuk kelayakan hidup perempuan. Ikatan Bidan Indonesia (IBI) tidak mengatur profesi bidang berjenis kelamin laki-laki. Di negara maju, banyak laki–laki berprofesi sebagai bidan, contohnya di United Kingdom atau dikenal dengan Inggris.

Dahulu di Inggris profesi kebidanan dianggap sebagai perawatan kehamilan yang lazim dilakukan oleh perempuan kepada perempuan juga. Namun pada abad ke-16 kaum laki–laki mulai tertarik, sekaligus terlibat dalam profesi bidan. Sehingga pada masa ini istilah “Bidan Laki-Laki” mulai digunakan. Tindakan medis yang terjadi pada tahun di abad tersebut menjadi pelopor bergabungnya bidan lelaki menjadi spesialis kebidanan.

Pada tahun 1952 Undang-Undang Kebidanan di Inggris melarang bidan laki-laki untuk mengikuti pelatihan dan berpraktek sebagai bidan. Tetapi pada akhir 1960 sejumlah kecil perawat laki-laki mulai menentang gagasan bahwa laki-laki tidak diperkenankan menjadi bidan.

8 Dwi Ratna Sarashvati, Tanya Jawab Hukum Kesehatan, Jakarta : Yayasan Kusuma Buana,

2008, hlm. 13

9 Winda Kusumandari, Bidan Sebuah Pendekatan Midwifery of Knowledge, Yogyakarta : Nuha


(12)

Selanjutnya pada tahun 1975 mulai diperkenalkan Rancangan Undang-Undang yang tujuannya menghapus diskriminasi seks dalam suatu pekerjaan. Tahun tersebut merupakan tahun terakhir yang menjadi penghambat kelamin laki–laki untuk memasuki sekolah kebidanan. Sejak saatu itu didirikan dua sekolah kebidanan yang dialokasikan untuk pelatihan bidan lelaki, yang akan terus di pantau untuk memastikan kesesuaian laki-laki sebagai bidan.

Pada tahun 1977 laki-laki pertama masuk pelatihan kebidanan. Pada tahun 1979 “percobaan pelatih kebidanan kepada laki–laki” itu dianggap sukses, dan ternyata “bidan lelaki pada umumnya dapat diterima oleh ibu, suami, para bidan umumnya dan staf medis lainnya”. Kemudian Royal College of

Midwives merekomendasikan bahwa pendidikan bidan harus dibuka untuk

laki-laki. Pada 16 Maret 1983 menteri luar negeri mengumumkan bahwa hambatan yang terdapat dalam Undang-Undang Diskriminasi Seks (1975) yang berkaitan dengan bidan laki-laki itu harus dihapus.10

Percobaan pelatihan bidan kepada laki-laki merupakan hal baru yang dapat dicoba untuk memberikan ilmu pengetahuan mengenai kebidanan kepada laki-laki. Dengan adanya pendidikan bidan dengan gender laki-laki, hal tersebut memberikan peluang dengan gender laki-laki yang ingin berprofesi sebagi bidan.

10 http://primakartika.blogspot.com/2012/03/bidan-laki-laki.html diakses pada tanggal 13 bulan


(13)

Peristiwa tersebut memberikan gambaran bahwa di negara maju, seorang laki-laki diperbolehkan untuk berprofesi sebagai bidan. Secara medis tugas yang dilakukan oleh bidan dan dokter kandungan umumnya sama, yaitu menangani kesehatan alat reproduksi wanita khususnya bagi wanita. Salah satu tugasnya untuk membantu pemeriksaan ibu hamil dan proses persalinan. Dokter adalah seorang lulusan pendidikan kedokteran yang ahli dalam penyakit dan pengobatanya (Menurut Undang–Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran). Istilah dokter dalam konteks medis, ialah semua profesional medis dengan gelar dokter (dr.) dan spesialis (Sp.) atau berbagai gelar lainnya. Dokter spesialis adalah dokter yang mengkhususkan keahliannya dalam suatu macam penyakit.

Dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi (Kebidanan dan Kandungan) atau disingkat dengan Sp.Og berasal dari bahasa Latin “obstare”, yang berarti “siap siaga/ to stand by”) adalah spesialisasi pembedahan yang menangani pelayanan kesehatan wanita selama masa kehamilan, persalinan dan nifas.

Ginekologi berasal dari kata Gynaecology. Secara umum ginekologi adalah ilmu yang mempelajari kewanitaan (science of women). Namun secara khusus adalah ilmu yang mempelajari dan menangani kesehatan alat reproduksi wanita (organ kandungan yang terdiri atas rahim, vagina dan indung telur).11

11 http://drprima.com/kehamilan/pengertian-obstetri-dan-ginekologi.html diakses pada tanggal 2


(14)

Bidan adalah adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan. (Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/MENKES/PER/X/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan).

Pada umumnya laki-laki diperbolehkan untuk bersekolah menjadi dokter dan berprofesi sebagai kedokteran spesialis kandungan. Bahkan di Indonesia pun dokter kandungan lebih cenderung laki–laki, tidak ada batasan bagi laki-laki untuk bersekolah menjadi dokter spesialis kandungan. Pada kenyataannya Di Indonesia Profesi bidan dilakukan oleh perempuan, dan tidak pernah ada profesi bidan dilakukan oleh laki-laki.

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1464/Menteri/Per/X 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Bidan tidak mengatur mengenai profesi bidan untuk laki–laki. Peraturan Menteri tersebut hanya mengatur bahwa bidan adalah seorang Perempuan. Kondisi tersebut menunjukan bahwa ada sesuatu yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Aturan tersebut sering dianggap sebagai diskriminasi terhadap laki–laki.12

Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat

12 Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum Meuju Hukum yang Berpespektif Kesetaraan dan


(15)

pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya (Menurut Undang – Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Perlakuan diskriminasi sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas mengutamakan kesetaraan dan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat baik dibidang politik, ekonomi, sosial budaya, hukum dan bidang kemasyarakatan lainnya.

Kesetaraan gender merupakan persamaan terhadap laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional, serta persamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.

Kesetaraan gender memiliki kaitan dengan keadilan gender. Keadilan gender merupakan suatu proses dan perlakuan adil terhadap laki–laki dan perempuan. Kesetaraan dan keadilan gender dapat terwujud dengan tidak adanya diskriminasi baik terhadap laki–laki maupun perempuan. Sehingga antara laki–laki dan perempuan memiliki kesempatan berpartisipasi atas


(16)

pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan tersebut.13

Pengertian gender secara umum yaitu perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Gender berbeda dengan jenis kelamin, gender merupakan sifat dan perilaku yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikontruksikan secara sosial maupun kultural bukan karena sifat biologis. Jenis Kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin yang ditentukan secara biologis oleh Tuhan (dikenal/sebagai kodrat Tuhan).

Diskriminasi gender terhadap profesi bidan bagi laki–laki merupakan kondisi tidak adil, yang berakibat dari sistem struktur sosial dimana laki–laki menjadi korban dari sistem tersebut. Pembagian tugas yang dilakukan antara perempuan dan laki–laki seharusnya sama, selama tidak adanya diskriminasi gender pada profesi bidan. Diskriminasi gender menjadi hambatan untuk tercapainya keadilan dan kesetaraan gender antara perempuan dan laki–laki. Diskriminasi gender pada profesi bidan merugikan bagi kaum laki–laki untuk meningkatkan taraf hidupnya dan mencapai cita–citanya. Diskriminasi gender pada profesi bidan merupakan bagian dari diskriminasi subordinasi. Diskriminasi subordinasi adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya.

13 http://nciez-k.blogspot.co.id/2013/08/makalah-tentang-kesetaraan-gender.html diakses tanggal 2


(17)

Pada profesi bidan, perempuan memiliki hak yang penuh untuk bersekolah kebidanan dan berprofesi sebagai bidan. Hal ini dikarenakan wanita lebih ahli membantu pemeriksaan ibu hamil dan proses persalinan. Sedangkan menurut Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI) tidak adanya pengaturan profesi bidan dengan gender laki-laki. Hal ini berbeda dengan profesi dokter yang memperbolehkan laki–laki untuk bersekolah dan berprofesi sebagai dokter spesialis kandungan.

Di Indonesia tidak ada peraturan yang mengatur tentang profesi bidan dengan gender laki-laki, sehingga perlu diteliti lebih lanjut. Apabila dilihat dari aspek HAM, semua manusia berhak untuk untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya. Pada profesi bidan di Indonesia tidak mengatur mengenai profesi bidan bagi laki–laki. Hal ini memberikan batasan dengan gender laki-laki untuk mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya. Apabila dilihat dari aspek ketenagakerjaaan tidak adanya aturan hukum mengenai profesi bidan dengan gender laki-laki di Indonesia, sehingga tidak dapat menciptakan lapangan pekerjaan dengan gender laki-laki untuk berprofesi sebagai bidan. Oleh karena itu diperlukan pengaturan hukum mengenai profesi bidan dengan gender laki-laki di Indonesia.

Sejauh ini belum ada penelitian yang membahas atau meneliti mengenai aturan hukum profesi bidan dengan gender laki-laki. Adapun penelitian yang mendekati topik penelitian penulis, seperti “Tanggung jawab hukum bidan dalam pertolongan persalinan yang tidak sesuai dengan standart operational


(18)

procedure (SOP) ditinjau dari Undang-Undang Kesehatan Nomor 26 tahun

2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan” yang dibuat oleh Irwan Adi Santika dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran tahun 2013. “Hubungan karakteristik pengetahuan dan sikap dengan tindakan bidan desa dalam mencegah dan mengatasi kehamilan di Kabupaten Samosir” oleh Deliana Pasuhip dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara tahun 2008, “Perilaku bidan KIA/KB dalam pelaksaaan program Prevention Of Mother To Child (PMTCT) di Rumah Sakit Haji Kota Medan” oleh Vonny Syarah dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara tahun 2013 dan “Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku bidan dalam pencegahan infeksi saat melakukan pertolongan persalinan di Kabupaten Lampung Timur” oleh Fitria Widoret dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia tahun 2012.

Penulis menyatakan bahwa penelitian yang disebutkan tersebut memiliki sudut pandang dan objek penelitian yang berbeda dengan yang dilakukan penulis untuk penelitian ini. Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan diatas penulis bermaksud untuk membahas permasalahan yang berbeda dengan skripsi yang telah ada dengan judul:

“TINJAUAN YURIDIS ATURAN HUKUM MENGENAI PROFESI BIDAN DENGAN GENDER LAKI-LAKI DIKAITKAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA”


(19)

B. Indentifikasi Masalah

Identifikasi Masalah dalam penulisan tugas akhir ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah aturan hukum positif di Indonesia mengakomodir peraturan hukum mengenai profesi bidan?

2. Bagaimanakah pengaturan hukum Hak Asasi Manusia mengenai profesi bidan dengan gender laki-laki di Indonesia?

3. Apakah pengaturan hukum mengenai profesi bidan dengan gender laki-laki di Indonesia menyebabkan dilanggarnya Hak Asasi Manusia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penulis menulis laporan ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui aturan hukum positif di Indonesia yang mengakomodir peraturan hukum mengenai profesi bidan;

2. Untuk mengetahui pengaturan hukum Hak Asasi Manusia mengenai profesi bidan dengan gender laki-laki di Indonesia;

3. Untuk mengetahui penyebab dilanggarnya Hak Asasi Manusia mengenai profesi bidan dengan gender laki-laki di Indonesia.


(20)

D. Kegunaan Penelitian

Manfaat penulisan ini terbagi dua, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis :

1. Secara Teoritis

a. Penulisan tugas akhir ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pembaca untuk mengembangkan ilmu hukum pada umumnya yang berkepentingan dengan aturan hukum mengenai profesi bidan dengan gender laki-laki di Indonesia;

b. Penulisan tugas akhir ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan yang bermanfaat didalam profesi bidan di Indonesia khususnya dengan gender laki-laki;

c. Penulisan tugas akhir ini diharapkan dapat memberikan masukan dan gambaran, serta pemahaman bagi penulis tentang aturan hukum mengenai profesi bidan dengan gender laki-laki di Indonesia.

2. Secara Praktis

a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi para peneliti khususnya yang sedang memperdalam hal yang berkaitan dengan aturan hukum mengenai profesi bidan di Indonesia;


(21)

b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi menteri kesehatan untuk menciptakan peraturan yang dapat mengakomodir peraturan hukum mengenai profesi bidan dengan gender laki-laki di Indonesia;

c. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah untuk menciptakan peluang lapangan kerja dengan gender laki-laki dalam profesi bidan di Indonesia;

d. Memberikan sumbangan informasi bagi masyarakat tentang peraturan hukum mengenai profesi bidan dengan gender laki-laki di Indonesia.

E. Kerangka Pemikiran

Menurut Franz Magnis Suseno profesi dokter tergolong profesi paling luhur yang dikenal oleh manusia. Profesi luhur merupakan profesi yang menekankan pada pengabdian kepada masyarakat sehingga merupakan suatu pelayanan pada masyarakat dengan motivasi utama bukan untuk memperoleh nafkah dari pekerjaannya. Menurut Franz Magnis Suseno profesi luhur yang baik harus didukung dengan moralitas yang tinggi. Berkaitan dengan moralitas tinggi Franz Magnis Suseno menyatakan terdapat tiga ciri yaitu:

1. Berani berbuat dengan bertekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi;


(22)

3. Memiliki idealisme yang tinggi.14

Profesi luhur tidak sama seperti profesi pada umumnya. Manusia yang memilih berprofesi luhur wajib menyadari bahwa daya dorong dalam bekerja adalah keinginan untuk mengabdi kepada sesama serta menjalankan dan menjunjung tinggi kode etik yang telah diikrarkannya, bukan semata-mata dari segi materi.15

Bidan merupakan tenaga kesehatan yang memiliki peran yang sangat sentral dalam pelayaan kesehatan dasar. Bidan secara khusus dipercaya dan dibutuhkan dalam mendampingi dan menolong ibu melahirkan. Peran bidan di masyarakat sangat dihargai dan dihormati karena tugasnya sangat mulia, yaitu mendampingi serta menolong ibu melahirkan sehingga dapat merawat bayinya dengan baik.

Bidan tergolong profesi luhur, dengan melakukan pengabdian kepada masyarakat khususnya terhadap perempuan. Profesi bidan mempunyai nilai luhur pada saat penerapan fungsi nilai dalam etika profesi seorang bidan. Dimana seorang bidan yang professional dapat memberikan pelayanan pada klien berdasarkan pelayanan dengan kebenaran, kejujuran, serta ilmu yang diperoleh agar tercipta hubungan yang baik antara bidan dan klien.

14 E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Cetakan Ke-3, Yogyakarta : Kanikus, 2008, hlm. 166. 15 https://hendy212.wordpress.com/2010/04/11/dua-prinsip-etika-profesi-luhur/ diakses pada


(23)

Pelayanan adalah hak yang paling utama bagi seorang bidan, oleh karena itu bidan harus selalu sedia dalam kondisi apapun juga, demi keselamatan, pengabdian dan pelayanan yang lebih baik bagi pasien tersebut. Bidan memberikan dukungan terhadap pasien dan keluarganya dalam proses persalinan.16 Bidan dalam memberdayakan perempuan melalui dukungan, pendampingan, pendidikan kesehatan dan konseling.

Profesi bidan dan profesi dokter merupakan profesi luhur, dengan menekankan pada pengabdian kepada masyarakat sehingga merupakan suatu pelayanan pada masyarakat dengan motivasi untuk meletakkan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi. Sehingga kedudukan profesi bidan dan profesi dokter sama.

Di Indonesia tidak ada pengaturan hukum mengenai profesi bidan dengan gender laki-laki. Peraturan bidan di Indonesia hanya mengatur bahwa bidan seorang perempuan seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah teregistrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/MENKES/PER/X/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan). Hal ini menimbulkan diskriminasi gender pada laki–laki untuk berprofesi sebagai bidan. Karena peraturan tidak menjelaskan mengenai laki-laki untuk profesi bidan. Laki–laki tidak mendapatkan hak untuk bersekolah dan berprofesi sebagai bidan.

16 Winda Kusumandari, Op.Cit, hlm. 31


(24)

Peristiwa tersebut berkaitan dengan Hak Asasi Manusia dimana setiap manusia berhak untuk menikmati hak-haknya tersebut. Salah satu hak yang terdapat Salah satu hak yang terdapat dalam HAM yaitu hak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya. Dengan tidak adanya pengaturan profesi bidan dengan gender laki-laki. Maka laki-laki yang ingin berprofesi sebagi bidan tidak dapat mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya sebagaimana mestinya.

Definisi Hak Asasi Manusia menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menjelaskan HAM secara substansial dan dapat dijadikan sebagai pegangan normatif atau secara yuridis. Jadi, HAM menurut Undang-Undang tersebut merupakan hak yang telah tertuang dalam hukum yang real dan telah ada patokan atau dasar bagi Negara Indonesia untuk dijadikan landasan operasional dalam menjalankan peraturan tentang Hak Asasi Manusia.

Dalam pengaturan profesi bidan tidak memberikan kesempatan bagi laki-laki untuk bisa berprofesi bidan. Hal ini merupakan suatu pelanggaran berupa diskriminasi yang dialami laki-laki. Pada hakikatnya laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk bisa bekerja, salah satunya untuk berprofesi sebagai bidan.

Berdasarakan uraian diatas mengenai kesempatan bagi laki-laki yang ingin berprofesi sebagai bidan, hal tersebut berkaitan dengan teori hukum progresif. Satjpto Rahardjo memberikan suatu gagasan bahwa “hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur dan cita-cita”.


(25)

Dalam gagasan tersebut mengandung makna bahwa hukum adalah untuk manusia bukan untuk sebaliknya. Manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuanya untuk mengabdi kesejahteraan manusia.

Para pelaku hukum dituntut mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum. Mereka harus memiliki empati dan kepedulian pada penderitaan yang dialami rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan kebahagiannya), harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir penyelenggaraan hukum.17

Teori yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia juga dikemukakan oleh John Locke dalam Teori Hukum Alam. Dalam teori ini Hak Asasi Manusia dipandang sebagai Hak Kodrati (hak yang sudah melakatsudah melekat pada manusia sejak lahir) dan jika manusia tersebut meninggal maka hak-hak yang dimilikinya pun akan hilang. Manusia adalah subjek hukum kodrat, sebab hukum ini mengajarkan bahwa semua manusia memilki kesamaan martabat dan kebebasan. Manusia tidak boleh merugikan atau mengganggu status kodrat sesamanya, sebab manusia perlu menghormati hidup, kebebasan, dan harta miliknya.18 Hak asasi Manusia dimiliki secara otonom (independent)

terlepas dari pengaruh negara sehingga tidak ada alasan negara untuk membatasi HAM tersebut. Jika hak-hak tersebut diserahkan kepada negara, negara boleh membatasi hak-hak yang melekat pada manusia itu. Menurut

17 Satjipto Rahardjo, Teori Hukum, Yogyakarta : Genta, 2013, hlm. 190 18 E. Sumaryono, Etika dan Hukum, Yogyakarta : Kanisus, 2002, hlm. 210


(26)

John Locke, semua individu dikaruniai oleh alam, hak yang inheren atas kehidupan, kebebasan dan harta, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dipindahkan atau dicabut oleh negara.

John Locke mendasarkan juga teorinya pada keadaan manusia dalam alam bebas. Dan memang menganggap bahwa keadaan alam bebas atau keadaan alamiah itu mendahului adanya negara, dan dalam keadaan itu pun telah ada perdamaian dan akal pikiran seperti halnya dalam negara. Menurut John Locke, dalam keadaan alam bebas atau alamiah itu manusia telah mempunyai hak-hak alamiah, yaitu hak-hak manusia yang dimaksud yang dimiliknya secara pribadi itu adalah:

1. hak akan hidup;

2. hak akan kebebasan atau kemerdekaan; 3. hak akan milik, hak akan memiliki sesuatu.

Jadi menurut kodratnya manusia itu sejak lahir telah mempunyai hak-hak kodrat, hak-hak alamiah, dan menurut John Locke disebut hak-hak dasar atau hak–hak asasi. Menurut kodratnya manusia itu lahir tanpa adanya hak apa-apa, hak itu baru akan diperoleh nanti sesudah manusia itu hidup bernegara. Dalam keadaan alam bebas itu, atau sejak manusia itu dilahirkan menurut kodratnya baru memiliki sifat-sifat, bukan hak.

Maka untuk menjamin terlaksananya hak-hak manusia, manusia lalu menyelenggarakan perjanjian masyarakat untuk membentuk masyarakat lalu


(27)

Negara. Dalam perjanjian itu orang-orang menyerahkan hak-hak almiahnya kepada masyarakat tetapi tidak semuanya. Masyarakat ini kemudian menunjuk seorang penguasa dan kepada penguasa ini kemudian diberikan wewenang untuk menjaga dan menjamin terlaksananya hak-hak asasi manusia tadi. Tetapi didalam menjalankan tugasnya ini kekuasaan penguasa adalah terbatas, yang membatasinya adalah hak-hak asasi tersebut, artinya didalam menjalankan kekuasaannya itu penguasa tidak boleh melanggar hak-hak asasi.19

Sehingga dalam praktek seharusnya tidak boleh ada pengaturan yang melanggar hak-hak asasi manusia sebagaiman dalam profesi bidan yang tidak mengatur profesi bidan dengan gender laki. Hal tersebut membatasi laki-laki untuk berprofesi sebagai bidan. Pengaturan mengenai profesi bidan seharusnya terbuka untuk perempuan dan laki-laki, sehingga tidak ada diskriminasi gender dengan gender laki-laki untuk berprofesi sebagai bidan.

Pembangunan bangsa Indonesia yang sedang berlangsung saat ini bertujuan untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut serta menciptakan perdamaian dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Salah satu aspek yang menjadi sasaran pembangunan adalah aspek hukum itu

19 http://sintaapriliya.blogspot.co.id/2013/11/analisis-pemikiran-john-locke_14.html diakses pada


(28)

sendiri. Pembangunan hukum tersebut sangatlah dibutuhkan untuk meneruskan perjuangan bangsa merdeka setelah terlepas dari belenggu penjajahan kolonialisme barat, serta merupakan eksistensi sebagai negara yang berdaulat tentunya memerlukan kehadiran hukum nasional yang mencerminkan nilai-nilai kultur dan budaya bangsa. Pembangunan hukum pada dasarnya meliputi usaha mengadakan pembaruan pada sifat dan isi dari ketentuan hukum yang berlaku dan usaha-usaha yang diarahkan bagi pembentukan hukum baru yang diperlukan dalam pembangunan masyarakat.20

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum diharapkan agar berfungsi lebih dari untuk menjamin kepastian dan ketertiban yakni sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” atau “sarana pembangunan”. Dengan pokok-pokok pikiran, hukum merupakan “sarana pembaharuan masyarakat” didasarkan pada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan dan pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan atau dipandang (mutlak) perlu.21

Berkaitan dengan teori hukum pembangunan tersebut, terdapat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dibidang Kesehatan (RPJPN) 2005-2025. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam

20 Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia, Bandung : Alumni,

1980, hlm. 1.


(29)

Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yaitu untuk: 1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2) memajukan kesejahteraan umum; 3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan 4) ikut menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dalam bentuk rumusan visi, misi dan arah pembangunan nasional. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dibidang Kesehatan (RPJPN) 2005-2025 ditetapkan 4 (empat) misi Pembangunan Kesehatan, yaitu:22

1. Menggerakkan pembangunan nasional berwawasan kesehatan; 2. Mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat;

3. Memelihara dan meningkatkan upaya kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau;

4. Meningkatkan dan mendayagunakan sumber daya kesehatan.

Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2025 adalah meningkatnya kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud, melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia.

22 http://dinkes.ntbprov.go.id/sistem/data-dinkes/uploads/2013/10/RPJPK-2005_2025.pdf diakses


(30)

F. Metode Peneilitian

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Penulis menggunakan metode yuridis normatif karena sasaran penelitian ini adalah hukum atau kaidah. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah teori–teori, konsep-konsep, asas-asas hukum, serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penilitian ini. Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan sifat penelitian, pendekatan penelitian, jenis data, teknik pengumpulan data dan analisis data sebagai berikut:

1. Sifat Penelitian

Sifat Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif, yaitu menjelaskan suatu gejala, peristiwa yang sedang diteliti dan berkaitkan dengan kejadaian sekarang. Dalam penelitian ini penilis mecoba menjelasakan aturan hukum mengenai profesi bidan dengan gender laki-laki.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian skripsi ini dilakukan dengan menggunakan Pendekatan Undang-Undang (statue approach) dan Pendekatan Konseptual (conseptual


(31)

Undang-Undang dan regulasai yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. 23

Pendekatan Konseptual beranjakan dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan, doktrin dan doktrin didalam ilmu hukum, akan menghasilkan pengetian hukum, konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan.

3. Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder. Data sekuder berupa semua publikasi tentang hukum meliputi buku–buku, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data a. Teknik Pengumpulan Data

Data sekunder diperoleh dengan cara sebagai berikut: 1) Studi Kepustakaan

Studi Kepustakaan dilakukan untuk mencari teori-teori, pandangan-pandangan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Penulis menggunakan teknik studi Kepustakaan


(32)

yang merupakan data sekunder yang berasal dari berbagai bahan-bahan hukum sebagai berikut:

a) Bahan Hukum Primer, berupa Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan profesi bidan, yaitu:

(1) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

(2) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2007 tentang Ketenagakerjaan;

(3) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan; (4) Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran;

(5) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan;

(6) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/Menkes/PER/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan;

(7) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 369/MENKES/SK/III/2007 tentang Standar Profesi bidan; (8) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

900/MENKES/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan.


(33)

b) Bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku tentang Hukum Hak Asasi Manusia, hukum kesehatan, bidan etika kebidanan serta hasil-hasil penelitian berupa skripsi dibidang hukum, dan artikel; c) Data sekunder bahan hukum tertier yang berupa kamus hukum,

kamus bahasa, majalah serta media masa.24

b. Teknik Analisis Data

Teknik analisa data yang digunakan adalah kualitatif. Teknik analisis data kualitatif adalah proses analisis kualitatif yang mendasarkan pada adanya hubungan variabel-variabel yang sedang diteliti sehingga dapat digunakan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan hukum yang ditunjukan untuk memberikan gambaran kepada pembaca mengenai seluruh bahasan dalam penulisan hukum yang akan disusun. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini diawali dengan menguraikan Latar Belakang Masalah, Perumusan dan Identifikasi Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian yang terdiri dari Sifat Penelitian, Pendekatan Penelitian, Jenis Data, serta Teknik Pengumpulan Data dan Teknik Analisis Data, dan diakhiri dengan Sistematika Penulisan.

24 Peter Mahmud Marzuki, Ibid, hlm. 181


(34)

BAB II DEFINISI BIDAN DAN KEDUDUKAN BIDAN SEBAGAI PROFESI BERDASARKAN PERUNDANG–UNDANGAN DI INDONESIA

Pada bab ini penulis akan menjelaskan mengenai tinjauan pustaka, membahas mengenai uraian teori yang berkaitan dengan profesi bidan akan dipaparkan. Pengertian dan pengaturan mengenai bidan dan pengaturan profesi bidan akan dijelaskan secara rinci. Penulis akan membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan profesi di Indonesia yang mengatur untuk perempuan yang akan dikaitkan dengan laki-laki yang ingin berprofesi sebagai Bidan. Sehingga akan memperjelas bahwa tidak adanya pengarturan mengenai profesi bidan dengan gender laki-laki di Indonesia.

BAB III PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM PROFESI BIDAN DENGAN GENDER LAKI-LAKI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG HAM

Pada bab ini penulis akan menjelasakan mengenai objek penelitian, yaitu perlindungan hak asasi manusia dalam profesi bidan dengan gender laki-laki berdasarkan Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Hal-hal yang termasuk dalam bab ini definisi Hak Asasi Manusia, Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Pengaturan kesetaraan gender yang berkaitan dengan batasan dengan gender laki-laki untuk berprofesi sebagai bidan. Dan perlindungan Hak Asasi Manusia mengenai profesi bidan dengan gender laki-laki.


(35)

BAB IV PEMBAHASAN PENGATURAN HUKUM HAM MENGENAI PROFESI BIDAN DENGAN GENDER LAKI – LAKI DI INDONESIA

Pada bab ini, analisis berdasarkan identifikasi masalah akan dibahas secara detail. Penulis akan mencoba menganalisa bagaimana aturan hukum positif di Indonesia mengakomodir peraturan hukum mengenai profesi bidan yang membatasi terhadap laki-laki untuk berprofesi sebagai bidan. Bagaimana peraturan hukum Hak Asasi Manusia mengenai profesi bidan bagi laki–laki di Indonesia, ditinjau dari sudut Hak Asasi Manusia. Kemudian pengaturan hukum mengenai profesi bidan dengan gender laki-laki di Indonesia yang menyebabkan dilanggarnya Hak Asasi Manusia

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, penulis akan memberikan beberapa kesimpulan yang merupakan jawaban dan identifikasi masalah. Penulis pun akan memberikan beberapa saran yang bersifat yang dapat diterapkan bagi masyarakat yang berkepentingan.


(36)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Dari hasil analisa yang telah di bahas di Bab IV maka penulis dapat menyimpulkan bahwa:

1. Aturan hukum positif di Indonesia sudah mengakomodir peraturan hukum mengenai profesi bidan, diantaranya:

a. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

b. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan;

c. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 369/Menkes/SK/ 111/2007 tentang Standar Profesi Bidan;

d. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 Registrasi Dan Praktik Bidan;

e. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 938/Menkes/SK/ VI11/2007 tentang Standar Asuhan Kebidanan;

f. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/Menkes/PER/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaran Praktik Bidan.

Profesi bidan merupakan suatu profesi luhur, hal ini ditunjukan dengan pelayanan yang diberikan sebagai bentuk pengabdian seorang bidan kepada masyarakat. Dalam suatu profesi terdapat suatu peraturan


(37)

yang berfungsi untuk memberikan perlindungan hukum kepada setiap orang yang menjalankan profesi tersebut.

2. Pengaturan hukum Hak Asasi Manusia mengenai profesi bidan dengan gender laki-laki di Indonesia tidak sesuai dengan Hak Asasi Manusia. Pengaturan hukum mengenai profesi bidan tidak sesuai dengan pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 9 ayat 1 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa, setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk bekerja dan meningkatkan taraf hidupnya.

3. Pengaturan hukum mengenai profesi bidan dengan gender laki-laki di Indonesia yang menyebabkan dilanggarnya Hak Asasi Manusia, karena peraturan hukum mengenai profesi bidan tidak sesuai dengan UUD 1945 dan Hak Asasi Manusia. Hal ini berdasarkan definisi bidan yang menjelaskan bahwa hanya seorang perempuan yang berhak berprofesi sebagai bidan, hal tersebut tidak sesuai dengan UUD dan HAM yang memberikan hak yang sama untuk laki-laki dan perempuan untuk bekerja. Dalam peraturan mengenai profesi bidan, menimbulkan suatu pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia berupa diskriminasi terhadap kesempatan kerja terhadap laki-laki.


(38)

B. Saran

Dari hasil analisa yang telah di bahas di Bab IV maka penulis dapat menyarankan bahwa:

1. Peraturan hukum positif mengenai profesi bidan di Indonesia perlu dirubah, karena sudah tidak relevan. Hal ini berdasarkan pada definisi

bidan yang mengatakan bahwa “Bidan adalah seorang perempuan”, harus dirubah menjadi “setiap orang”. Peraturan mengenai profesi bidan harus dirubah, agar setiap orang baik laki-laki maupun perempuan dapat berprofesi sebagai bidan.

2. Pengaturan hukum Hak Asasi Manusia mengenai profesi bidan dengan gender laki-laki di Indonesia, perlu diperbaiki agar peraturan tersebut tidak hanya diperuntukan untuk seorang perempuan, karena laki-laki juga memiliki hak yang sama untuk dapat bekerja berprofesi sebagai bidan. Hal ini berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk bekerja dan meningkatkan taraf kehidupanya.

3. Untuk mencegah adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam pengaturan hukum mengenai profesi bidan, maka peraturan yang menyebabkan adanya suatu diskriminasi dalam bidang pekerjaan perlu dihapuskan. Apabila dikaitkan dengan peraturan hukum mengenai profesi bidan diluar negeri, maka peraturan mengenai profesi bidan di Indonesia


(39)

harus sesuai dengan UUD dan HAM yang memberikan hak laki-laki dan perempuan untuk berprofesi sebagai bidan.


(40)

131

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara, Jakarta : PT Serambil Ilmu Semesta, 2014.

Atik Purwandari, Konsep Kebidanan Sejarah dan Profesionalisme, Jakarta : Buku Kedokteran EGC, 2008.

Bagir Manan, Perkembangan dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di

Indonesia, Bandung : Alumni, 2001.

Barlolomeus Budi Windarto, Tuhan Mendekati Manusia, Yogjakarta : Kanisius, 2006.

Bambang Prishardoyo, Pelajaran Ekonomi, Jakarta : Grasindo, 2005.

Binsar Gultom, Pelanggaran HAM Dalam Keadaan Darurat Di Indonesia, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Christina Lia Uripni, Komunikasi Kebidanan, Jakarta : Buku Kedokteran EGC, 2003.

Chotib, Kewarganegaraan 1 Menuju Masyarakat Madani, Jakarta : PT Ghalia Indonesia, 2007.

Dwi Ratna Sarashvati, Tanya Jawab Hukum Kesehatan, Jakarta : Yayasan Kusuma Buana, 2008.

Erma Yulihastin, Bekerja Sebagai Bidan, Jakarta : Erlangga, 2008.

Eryati Darwin, Etika Profesi Kesehatan, Kebijakan dan Etik, Yogjakarta : Deepublish, 2014.


(41)

132

E, Sumaryono, Etika dan Hukum, Yogyakarta : Kanisus, 2002.

Hadi Setia Tunggal, Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, Jakarta : Harvindo, 2000.

Hendry, Belajar Otodidak Java dengan NetBeans 6,0, Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2008.

Heni Puji Wahyuningsih, Etika Profesi Kebidanan, Yogyakarta: Fitramaya, 2008.

Ida Bagus Gde Manuaba, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga

Berencana untuk Pendidikan Bidan, Jakarta : Buku Kedokteran EGC,

1998.

Ida Bagus Gde Manuaba, Pengantar Kuliah Obstetri, Jakarta : Buku Kedokteran EGC, 2007.

Jubilee Enterprise, 101 Tips For Woman, Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2008.

Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta : PT Bina Aksara, 1982.

Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, Kesetaraan

dan Non Diskriminasi di Tempat Kerja Indonesia, Jakarta : Kementrian

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2012.

Magnis Suseno, Kota dan Kerja, Jakarta : Rangkaian Studium Generale, 2009. Malhayati, I’m The Boss, Yogyakarta : Jogja Bangkit Publisher, 2010.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat dan Pembangunan, Bandung : Binacipta, 1995.


(42)

133

Nelien Hasples, Meningkatkan Kesetaraan Gender, Jakarta : Organisasi Perburuhan Indonesia (ILO), 2005.

Nunuk P, Muniarti, Getar Gender, Magelang : Yayasan Indoensia Tera, 2004. Octa Dwienda, Prinsip Etika dan Moralitas dalam Pelayanan Kebidanan,

Jakarta : Deepublish, 2014.

Pandji Setijo, Pendidikan Pancasila Prespektif Sejarah Perjuangan Bangsa, Jakarta : Grasindo, 2010.

P,N,H, Simanjuntak, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 2007.

Saparinah Sadli, Berbeda Tapi Setara, Jakarta : Buku Kompas, 2010.

Satjipo Rahardjo, Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia, Bandung : Alumni, 2011.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000. Satjipto Rahardjo, Teori Hukum, Yogyakarta : Genta, 2013.

Shinta, Pengantar Psikologi Sosial, Yogjakarta : Universitas Prokalmasi 15, 2002.

Soekidjo Notoatmodjo, Etika dan Hukum Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta, 2010.

Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Stephen P, Robbins, Perilaku Organisas, Jakarta : Salemba Empat, 2008. Sudarwan Danim Darwis, Metode Penelitian Kebidanan Prosedur, Kebijakan


(43)

134

Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum Meuju Hukum yang Berpespektif

Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2006.

Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Suatu Sistem Hukum Nasional, Bandung : Alumni, 1991.

Suryani Soepardan, Etika Kebidanan dan Hukum Kesehatan, Jakarta : Buku Kedokteran EGC, 2008.

Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila, Cetakan ke-2, Yogjakarta : Fakultas Ekonomi UI, 1983.

Syafrudin, Kebidanan Komunitas, Jakarta : Buku Kedokteran EGC, 2009, Tim Pusat Studi Pancasila UGM, Prosiding Kongres Pancasila VI, Jakarta :

Pusat Studi Pancasila UGM, 2014.

Tim Visi Yustisia, Panduan Lulus Ujian Profesi Advokat, Jakarta : Visimedia Pustaka, 2014.

Winda Kusumandari, Bidan Sebuah Pendekatan Midwifery of Knowledge, Yogyakarta : Nuha Medika, 2010.


(44)

135

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Ketetapan MPR No XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2007 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

Undang-Undang No, 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/MENKES/PER/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 572/MenKes/Per/VI/1996 pasal 1 ayat 1 tentang Registrasi dan Praktik Bidan.

Keputusan Presiden Nomor 23 tahun 1994 Pasal 1 butir 1 tentang Pengangkatan Bidan Sebagai Pegawai Tidak Tetap.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 369/MENKES/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 900/MenKes/SK/2000 tentang Registrasi dan Praktik Bidan.


(45)

136

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 822/MenKes/SK/IX/1993 pasal 1 butir 1 tentang penyelenggaraan Program Pendidikan Bidan.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan, Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 871/MenKes/SK/VIII/1994

tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengangkatan Bidan Sebagai Pegawai Tidak Tetap.

C. Pranata Luar

http://www,kompasiana,com/andikadhamarjati98/pekerjaan-dan-penghidupan-yang-layak-bagi-masyarakat indonesia54f5dd9ca33311444f8b478b

http://sitirohmaniyah-nia,blogspot,co,id/2014/09/hakikat-dan-tanggung-jawab-manusia,html

http://izelcool,blogspot,co,id/2011/04/hak-asasi-manusia-artikel,html http://primakartika,blogspot,com/2012/03/bidan-laki-laki,html

http://drprima,com/kehamilan/pengertian-obstetri-dan-ginekologi,html https://hendy212,wordpress,com/2010/04/11/dua-prinsip-etika-profesi-luhur/ http://nciez-k,blogspot,co,id/2013/08/makalah-tentang-kesetaraan-gender,html http://primakartika,blogspot,com/2012/03/bidan-laki-laki,html


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara, Jakarta : PT Serambil Ilmu Semesta, 2014.

Atik Purwandari, Konsep Kebidanan Sejarah dan Profesionalisme, Jakarta : Buku Kedokteran EGC, 2008.

Bagir Manan, Perkembangan dan Pengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia, Bandung : Alumni, 2001.

Barlolomeus Budi Windarto, Tuhan Mendekati Manusia, Yogjakarta : Kanisius, 2006.

Bambang Prishardoyo, Pelajaran Ekonomi, Jakarta : Grasindo, 2005.

Binsar Gultom, Pelanggaran HAM Dalam Keadaan Darurat Di Indonesia, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Christina Lia Uripni, Komunikasi Kebidanan, Jakarta : Buku Kedokteran EGC, 2003.

Chotib, Kewarganegaraan 1 Menuju Masyarakat Madani, Jakarta : PT Ghalia Indonesia, 2007.

Dwi Ratna Sarashvati, Tanya Jawab Hukum Kesehatan, Jakarta : Yayasan Kusuma Buana, 2008.

Erma Yulihastin, Bekerja Sebagai Bidan, Jakarta : Erlangga, 2008.

Eryati Darwin, Etika Profesi Kesehatan, Kebijakan dan Etik, Yogjakarta : Deepublish, 2014.


(2)

E, Sumaryono, Etika dan Hukum, Yogyakarta : Kanisus, 2002.

Hadi Setia Tunggal, Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, Jakarta : Harvindo, 2000.

Hendry, Belajar Otodidak Java dengan NetBeans 6,0, Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2008.

Heni Puji Wahyuningsih, Etika Profesi Kebidanan, Yogyakarta: Fitramaya, 2008.

Ida Bagus Gde Manuaba, Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan, Jakarta : Buku Kedokteran EGC, 1998.

Ida Bagus Gde Manuaba, Pengantar Kuliah Obstetri, Jakarta : Buku Kedokteran EGC, 2007.

Jubilee Enterprise, 101 Tips For Woman, Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2008.

Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta : PT Bina Aksara, 1982.

Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, Kesetaraan dan Non Diskriminasi di Tempat Kerja Indonesia, Jakarta : Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2012.

Magnis Suseno, Kota dan Kerja, Jakarta : Rangkaian Studium Generale, 2009. Malhayati, I’m The Boss, Yogyakarta : Jogja Bangkit Publisher, 2010.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat dan Pembangunan, Bandung : Binacipta, 1995.


(3)

Nelien Hasples, Meningkatkan Kesetaraan Gender, Jakarta : Organisasi Perburuhan Indonesia (ILO), 2005.

Nunuk P, Muniarti, Getar Gender, Magelang : Yayasan Indoensia Tera, 2004. Octa Dwienda, Prinsip Etika dan Moralitas dalam Pelayanan Kebidanan,

Jakarta : Deepublish, 2014.

Pandji Setijo, Pendidikan Pancasila Prespektif Sejarah Perjuangan Bangsa, Jakarta : Grasindo, 2010.

P,N,H, Simanjuntak, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 2007.

Saparinah Sadli, Berbeda Tapi Setara, Jakarta : Buku Kompas, 2010.

Satjipo Rahardjo, Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia, Bandung : Alumni, 2011.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000. Satjipto Rahardjo, Teori Hukum, Yogyakarta : Genta, 2013.

Shinta, Pengantar Psikologi Sosial, Yogjakarta : Universitas Prokalmasi 15, 2002.

Soekidjo Notoatmodjo, Etika dan Hukum Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta, 2010.

Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Stephen P, Robbins, Perilaku Organisas, Jakarta : Salemba Empat, 2008. Sudarwan Danim Darwis, Metode Penelitian Kebidanan Prosedur, Kebijakan


(4)

Sulistyowati Irianto, Perempuan dan Hukum Meuju Hukum yang Berpespektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2006. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Suatu Sistem Hukum Nasional,

Bandung : Alumni, 1991.

Suryani Soepardan, Etika Kebidanan dan Hukum Kesehatan, Jakarta : Buku Kedokteran EGC, 2008.

Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila, Cetakan ke-2, Yogjakarta : Fakultas Ekonomi UI, 1983.

Syafrudin, Kebidanan Komunitas, Jakarta : Buku Kedokteran EGC, 2009, Tim Pusat Studi Pancasila UGM, Prosiding Kongres Pancasila VI, Jakarta :

Pusat Studi Pancasila UGM, 2014.

Tim Visi Yustisia, Panduan Lulus Ujian Profesi Advokat, Jakarta : Visimedia Pustaka, 2014.

Winda Kusumandari, Bidan Sebuah Pendekatan Midwifery of Knowledge, Yogyakarta : Nuha Medika, 2010.


(5)

B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945

Ketetapan MPR No XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2007 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

Undang-Undang No, 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464/MENKES/PER/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 572/MenKes/Per/VI/1996 pasal 1 ayat 1 tentang Registrasi dan Praktik Bidan.

Keputusan Presiden Nomor 23 tahun 1994 Pasal 1 butir 1 tentang Pengangkatan Bidan Sebagai Pegawai Tidak Tetap.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 369/MENKES/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 900/MenKes/SK/2000 tentang Registrasi dan Praktik Bidan.


(6)

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 822/MenKes/SK/IX/1993 pasal 1 butir 1 tentang penyelenggaraan Program Pendidikan Bidan.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan, Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 871/MenKes/SK/VIII/1994

tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengangkatan Bidan Sebagai Pegawai Tidak Tetap.

C. Pranata Luar

http://www,kompasiana,com/andikadhamarjati98/pekerjaan-dan-penghidupan-yang-layak-bagi-masyarakat indonesia54f5dd9ca33311444f8b478b

http://sitirohmaniyah-nia,blogspot,co,id/2014/09/hakikat-dan-tanggung-jawab-manusia,html

http://izelcool,blogspot,co,id/2011/04/hak-asasi-manusia-artikel,html http://primakartika,blogspot,com/2012/03/bidan-laki-laki,html

http://drprima,com/kehamilan/pengertian-obstetri-dan-ginekologi,html https://hendy212,wordpress,com/2010/04/11/dua-prinsip-etika-profesi-luhur/ http://nciez-k,blogspot,co,id/2013/08/makalah-tentang-kesetaraan-gender,html http://primakartika,blogspot,com/2012/03/bidan-laki-laki,html