RESPON DAN KOPING KELUARGA TERHADAP PENDERITA KANKER SERVIKS YANG MENDAPAT Respon dan Koping Keluarga terhadap Penderita Kanker Serviks yang mendapat Kemoterapi di RSUD DR. Moewardi.

RESPON DAN KOPING KELUARGA TERHADAP
PENDERITA KANKER SERVIKS YANG MENDAPAT
KEMOTERAPI DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA

NASKAH PUBLIKASI
Diajukan sebagai salah satu syarat
untuk meraih gelar Sarjana Keperawatan

Disusun Oleh :
FIKA KHARISMA
J 210.100.091

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014

1
Respon dan Koping Keluarga terhadap Penderita Kanker Serviks yang
mendapat Kemoterapi di RSUD Dr. Moewardi (Fika Kharisma)


PENELITIAN
RESPON DAN KOPING KELUARGA TERHADAP PENDERITA
KANKER SERVIKS YANG MENDAPAT KEMOTERAPI DI
RSUD DR. MOEWARDI

Fika Kharisma*Winarsih Nur Ambarwati **Rina Ambarwati **

Abstrak
Proses perawatan penderita kanker merupakan pengalaman yang dapat
memberikan tekanan dan beban pada keluarga yang mengasuh pasien. Proses
perawatan menuntut keluarga untuk menyediakan dukungan dan bantuan dalam
urusan rumah tangga, perawatan fisik langsung, dan kebutuhan finansial.
Lamanya terapi kanker akan mempengaruhi cara keluarga merespon dan
menyikapi pengobatan dan perubahan yang terjadi pada penderita kanker serviks.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon dan koping keluarga
terhadap penderita kanker serviks yang mendapat kemoterapi di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi. Metode pengumpulan data dilakukan dengan
wawancara mendalam (in-depth interview). Jumlah partisipan yang berpartisipasi
dalam penelitian ini sebanyak 8 orang yang diambil dengan menggunakan teknik

purposive sampling yaitu keluarga dari penderita kanker serviks yang memenuhi
kriteria. Hasil penelitian berupa respon keluarga terhadap penderita kanker serviks
yang mendapat kemoterapi adalah keluarga merasa sedih, khawatir, takut, lelah,
jenuh, pusing, kasihan, dan susah. Keluarga menyikapi perubahan dan pengobatan
penderita kanker serviks selama kemoterapi dengan sabar, rileks, berusaha untuk
melakukan pengobatan rutin, berdoa kepada Tuhan, dan ikhlas. Dampak penyakit
kanker serviks dengan kemoterapi terhadap perubahan peran keluarga adalah
penghasilan keluarga berkurang, urusan rumah tangga terbengkalai, pengasuhan
keluarga terbengkalai. Koping keluarga dalam menghadapi penderita kanker
serviks selama kemoterapi adalah dengan mencari dukungan sosial, mencari
hiburan, mencari informasi, mengontrol perasaan, melihat segi positif dari
masalah, dan dukungan spiritual. Dukungan keluarga terhadap penderita kanker
serviks yang mendapat kemoterapi adalah dengan memberikan semangat,
memberikan motivasi, memberikan nasehat, selalu merawat penderita kanker,
selalu menemani pasien ketika berobat, dan memenuhi keinginan pasien.
Kata Kunci : Kanker Serviks, Keluarga penderita kanker, respon, koping

2
Respon dan Koping Keluarga terhadap Penderita Kanker Serviks yang
mendapat Kemoterapi di RSUD Dr. Moewardi (Fika Kharisma)


RESPONSE AND COPING MECHANISM OF FAMILY CAREGIVER TO
CERVICAL CANCER SURVIVOR WITH CHEMOTHERAPY IN RSUD
DR. MOEWARDI

Fika Kharisma* Winarsih Nur Ambarwati**Rina Ambarwati**

Abstract
The experience of the treatment process give pressure and burden in the
family cancer caregiver. It demands the family support, help physical treatment,
daily activities, and financial need. The cancer therapy that tend to spend long
time, it can influence family response and behaviour during the treatment and the
change of cervical cancer survivor. The purpose of this research is to know the
response and coping family caregiver to the cervical cancer survivor with
chemotherapy in RSUD Dr. Moewardi. The kind of this research is descriptive
qualitative research with the phenomenology approach. The method of collecting
data is in-depth interview. The total participant who participated in this research
are 8 persons by using purposive sampling of the cervical cancer family who
fulfill the criteria. The result of the research is the family's response to the cervical
cancer survivor is the family feel sad, worry, affraid, tired, dizzy, pity and

difficult. The family caregiver face the changing and treatment of patient
patiently, rilex, try to have the continuous treatment, pray to god and sincere. The
impact of this disease in family roles is the income of the family is decrease, the
houseworks is neglected. The family caregiver coping in facing the patient of
cervical cancer during chemotherapy is by searching the social support,
entertainment, information, control the feeling by seeing the positive side of the
problem and spiritual support. The family support to the patient is by giving spirit,
motivation, advice, and always take care the patient, as well as accompany her in
meeting the doctor and fulfill the patient desire.

Keywords: Cervical Cancer, Family Caregiver, Response, Coping

3
Respon dan Koping Keluarga terhadap Penderita Kanker Serviks yang
mendapat Kemoterapi di RSUD Dr. Moewardi (Fika Kharisma)

PENDAHULUAN
Latar belakang
Kanker serviks adalah kanker yang paling
sering terjadi pada wanita. Berdasarkan

International Agency for Research on
Cancer (IARC) terdapat 528.000 kasus baru
pada tahun 2012, dari kejadian di seluruh
dunia sebagian besar (sekitar 85%) terjadi di
negara-negara
berkembang
termasuk
indonesia. Ketika kanker memengaruhi salah
satu anggota keluarga, kanker tersebut juga
akan memengaruhi keluarganya. Keluarga
dari penderita kanker akan membantu dalam
perawatan kanker selama di rumah sakit.
Proses dalam perawatan ini menjadi stressor
yang memberikan tekanan terhadap keluarga
penderita dan dapat memengaruhi hubungan
antara penderita kanker dan keluarganya.
Keluarga yang membantu merawat penderita
kanker dituntut untuk memenuhi seluruh
kebutuhan
penderita

kanker
seperti
penyediaan dukungan dan bantuan fisik
dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari
seperti mandi, makan, dan berganti pakaian.
Keluarga juga dituntut untuk memberikan
dukungan psikologis seperti komunikasi,
pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan; tuntutan sosial seperti keaktifan
dalam komunitas dan kerja; dan tuntutan
ekonomi seperti kebutuhan finansial (Potter
& Perry, 2009).
Berdasarkan penelitian Mellon (2006)
tentang kualitas hidup penderita kanker
ditemukan bahwa prediktor terkuat untuk
kualitas hidup penderita kanker adalah
tekanan dari keluarga dan dukungan sosial.
Pada penelitian tersebut, keluarga yang
mengasuh penderita kanker melaporkan
kualitas

hidup
yang lebih rendah
dibandingkan dengan keluarga yang lainnya.
Kekhawatiran dan masalah yang dihadapi
penderita
kanker
dan
keluarganya
merupakan faktor penentu adaptasi dan
kualitas hidup.
TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui respon dan koping
keluarga terhadap penderita kanker serviks
yang mendapat kemoterapi di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.
LANDASAN TEORI
Pengertian respon
Respon berasal dari kata response yang
berarti balasan atau tanggapan (reaction).
Respon adalah istilah psikologi yang


digunakan untuk menamakan reaksi
terhadap rangsang yang diterima panca
indera. Hal yang menunjang dan melatar
belakangi ukuran sebuah respon adalah
sikap, persepsi, dan partisipasi (Sobur,
2009).
Menurut Rosenberg dan Hovland dalam
Gross (2013) Sikap adalah predisposisi
untuk merespons golongan stimulus tertentu
dengan golongan respon tertentu. Golongan
respon tersebut adalah sebagai berikut :
1. Afektif : apa yang dirasakan seseorang
tentang objek sikap, seberapa positif
atau negatif objek sikap itu dievaluasi.
Diartikan
juga
sebagai
respon
perseptual pernyataan verbal tentang

afek
2. Kognitif : apa yang diyakini seseorang
tentang seperti apakah objek sikap itu,
secara objektif. Didefinisikan juga
sebagai respon saraf simpatik yang
berupa pernyataan verbal tentang
keyakinan.
3. Perilaku : bagaimana seseorang pada
kenyataannya
merespons
atau
bermaksud merespon objek.
Pengertian Koping
Koping adalah proses dimana seseorang
mencoba untuk mengatur perbedaan yang
diterima antara keinginan (demands) dan
pendapatan (resources) yang dinilai dalam
suatu keadaan yang penuh tekanan.
walaupun usaha koping dapat diarahkan
untuk memperbaiki atau menguasai suatu

masalah, hal ini juga dapat membantu
seseorang untuk mengubah persepsinya atas
ketidaksesuaian, menolerir atau menerima
bahaya, juga melepaskan diri atau
menghindari situasi stress. Stress diatasi
dengan kognitif dan behavioral transactions
melalui lingkungan (Nasir & Muhith, 2011).
Menurut Stuart (2007) sumber koping terdiri
atas beberapa hal, yaitu :
a. Kemampuan
personal
dalam
menghadapi masalah, mengidentifikasi
masalah, mencari pemecahan masalah,
menimbang dan memutuskan suatu
pilihan.
b. Dukungan sosial dapat memudahkan
pemecahan masalah, memberikan
kontrol sosial terbesar dalam individu
tersebut.

c. Aset materi yang berupa uang dan harta
benda dapat mempengaruhi strategi
koping.

4
Respon dan Koping Keluarga terhadap Penderita Kanker Serviks yang
mendapat Kemoterapi di RSUD Dr. Moewardi (Fika Kharisma)

d.

Keyakinan positif yang meliputi
keyakinan spiritual, pandangan positif
seseorang dapat ditujukan sebagai
dasar dari harapan dan dapat
meningkatkan upaya koping seseorang
dalam mengahadapi stressor.

Menurut Stuart (2007) mekanisme koping
berdasarkan penggolongannya menjadi dua
yaitu :
a. Mekanisme koping adaptif
Merupakan mekanisme koping yang
mendukung
fungsi
integrasi
,
pertumbuhan, belajar, dan mencapai
tujuan. Kategorinya adalah berbicara
dengan orang lain, memecahkan
masalah secara efektif, teknik relaksasi,
latihan seimbang, dan aktivitas
konstruktif.
b. Mekanisme koping maladaptif
Merupakan mekanisme koping yang
mendukung fungsi integrasi , memecah
pertumbuhan, menurunkan otonomi,
dan cenderung menguasai lingkungan
METODELOGI PENELITIAN
Penelitian
ini
dilakukan
dengan
menggunakan metode penelitian deskriptif
kualitatif dengan pendekatan fenomenologi.
jumlah pertisipan yang berpartisipasi dalam
penelitian ini sebanyak 8 orang partisipan.
Proses pengambilan partispan menggunakan
teknik purposive sampling. Penelitian
dilakukan di ruang mawar 3 RSUD Dr.
Moewardi. Teknik pengumpulan data yang
digunakan yaitu Pengumpulan data dengan
wawancara mendalam yang ditandai dengan
penggalian mendalam tentang segala sesuatu
masalah penelitian.
INSTRUMEN PENELITIAN
Instrumen penelitian yang digunakan dalam
penelitian kualitatif berupa pedoman
wawancara, alat perekam, dan alat tulis.
HASIL PENELITIAN
Gambaran Karakteristik Partisipan
Partisipan yang berpartisipasi dalam
penelitian ini adalah sebanyak 8 orang
partisipan. Dua orang partisipan merupakan
suami dari penderita kanker serviks yang
mendapat kemoterapi, enam orang partisipan
lainnya merupakan anak dari penderita
kanker serviks dengan kemoterapi. Rata-rata
usia partisipan adalah 47 tahun. Riwayat
pendidikan dari partisipan adalah dua orang

diantaranya merupakan mahasiswa di
perguruan tinggi, dua orang lainnya
memiliki riwayat pendidikan terakhir SMA
dan STM, empat orang memiliki riwayat
pendidikan terakhir di Sekolah Dasar. Dari 8
orang partisipan tiga orang bekerja sebagai
buruh, tiga orang bekerja sebagai pegawai
swasta, dan dua orang lainnya tidak bekerja.
Analisis tema
Respon keluarga terhadap penderita
kanker
serviks
yang
mendapat
kemoterapi
Respon keluarga terhadap penderita kanker
serviks yang mendapat kemoterapi yaitu
keluarga merasa sedih, khawatir, takut,
lelah, jenuh pusing, kasihan, dan susah.
Sedih
“Saya sedih gara-gara ibu yang biasanya
seger, semangat, sekarang jadi harus bolak
balik ke rumah sakit, kadang ngeliat ibu
kayak kesakitan sekali”(P1). “Sedih karena
ibu sakit kanker...”(P3). “ya pasti sedih
mba, jangankan yang kemo, yang sakit biasa
aja juga sedih...karena ibu sakit.”(P6).
Respon keluarga terhadap penderita kanker
yang mendapat kemoterapi adalah timbulnya
perasaan sedih selama merawat penderita
kanker serviks. Perasaan sedih tersebut
muncul karena terdapat anggota keluarga
yang mengalami kanker serviks, terjadi
perubahan pada penderita kanker serviks
yang tampak segar dan semangat ketika
sebelum sakit, setelah mengalami kanker
pasien
harus berulang kali melakukan
pengobatan di rumah sakit, dan perasaan
sedih karena pasien tampak kesakitan.
Diagnosis kaker menimbulkan kecemasan
pada keluarga terutama pasangan dari
penderita kanker. Hal tersebut disebabkan
karena keseriusan dari penyakit, dan
ketakutan akan kematian dicintai (Duci &
Tahsini, 2012).
Cemas
“...saya
merasa
was-was..gara-gara
sakitnya kanker, kan sakit parah itu”(P1).
“Khawatir juga mba sama obat kemonya
ibu, kan katanya dokter obotnya obat keras,
jadi bahaya kalau sampai bocor, kan saya
jadi khawatir kalau misalnya obatnya bocor
kena tangan saya”(P3).
Gejala, diagnosis, dan pengobatan kanker
dapat menimbulkan timbulnya perasaan
cemas. Perasaan tersebut muncul kerena
keluarga menganggap penyakit kanker
serviks yang dialami oleh anggota

5
Respon dan Koping Keluarga terhadap Penderita Kanker Serviks yang
mendapat Kemoterapi di RSUD Dr. Moewardi (Fika Kharisma)

keluarganya merupakan sakit yang parah,
dan perasaan khawatir terhadap obat
kemoterapi jika bocor dan mengenai tangan
partisipan.
Secara teoritis tingkat kecemasan yang
tinggi disebabkan karena keluarga berpikir
tentang masa depan, menghadapi berbagai
situasi yang menimbulkan stres, takut
kehilangan atau takut sendirian dengan
tanggung jawab yang besar untuk merawat
anggota keluarga yang lain (Duci & Tahsini,
2012).
Takut
“Takut kalo ibu gak bisa sembuh, takut
kehilangan ibu”(P1). “...saya takut mba,
dokternya bilang kalau kanker gak bisa
sembuh,
efek
kemoterapi
jelek-jelek
semua...terus ngedrop, apalagi kalau
misalnya ibu saya gak kuat fisiknya kan bisa
merembet ke ginjalnya, ke paru-parunya, itu
yang saya takutkan...”(P5). “Saya takut
kalau kehilangan istri saya,.”(P8)
Perasaan takut tersebut timbul karena
penderita kanker mengalami berbagai
macam efek samping dari kemoterapi, takut
jika anggota keluarganya yang menderita
kanker serviks tidak bisa sembuh, dan takut
kehilangan orang yang dicintai..
Lelah
“...ya capek mba... harus bolak balik ke
rumah sakit...”(P2). “...capek hati juga...
kadang kalo pas sudah waktunya buat kemo,
sampai disini belum tentu dapat kamar mba,
udah jauh-jauh kesini ternyata dokternya
bilang kamarnya penuh, terus disuruh
pulang lagi ke rumah, padahal rumah saya
jauh...rumah sakit jauh dan transpor nya
pakai biaya, itu bikin capek mba...”(P6).
“...Capek juga mba...Pengobatannya lama
mba,.”(P7).
Pengobatan yang lama pada penderita
kanker serviks menyebabkan munculnya
perasaan lelah yang disebabkan karena
keluarga harus berulang kali pergi ke rumah
sakit untuk menjalani terapi kanker, lelah
karena letak rumah sakit yang jauh dan
keluarga harus mengeluarkan biaya untuk
transportasi, dan perasaan lelah karena
ketika akan kemoterapi, pasien belum tentu
mendapat kamar untuk rawat inap, hal
tersebut menyebabkan keluarga yang
mengasuh pasien merasa lelah karena harus
kembali ke rumah dengan menempuh jarak
yang jauh dari rumah sakit.

Pengasuhan dan perawatan penderita kanker
menyebabkan anggota keluarga yang
merawat pasien merasakan ketegangan,
depresi, kemarahan, dan kesulitan dalam
melakukan perawatan kanker menyebabkan
timbulnya kelelahan dan gangguan suasana
hati (Schumacher, et al., 2008).
Jenuh
“...jenuh...di rumah sakitnya terlalu lama
mba,”(P2). “...ya kadang jenuh... gara -gara
gak bisa kumpul sama keluarga,”(P4).
“Berhari-hari di rumah sakit kan bikin
jenuh mba,”(P6).
Ketika keluarga dituntut untuk merawat
anggota keluarganya yang mengalami
kanker serviks maka respon yang muncul
adalah perasaan jenuh yang disebabkan
karena perawatan di rumah sakit yang terlalu
lama,
pengobatan
kemoterapi
yang
dilakukan sampai 5 hari rawat inap, dan
perasaan jenuh karena partisipan tidak bisa
berkumpul dengan keluarganya.
Kasihan
“kasian ibu harus bolak balik ke rumah
sakit buat berobat...”(P3). “Kasiannya kan
sakit kanker itu bahaya ya mba, Saya kasian
sama ibu, kan efek dari kemoterapi itu mual,
muntah, sering pipis, kasian aja gitu lho
sama ibu...”(P5).
Hubungan yang dekat antara keluarga dan
penderita
kanker
serviks
akan
mempengaruhi respon keluarga terhadap
penderita kanker serviks selama kemoterapi.
Perasaan kasihan kepada penderita kanker
serviks yang disebabkan karena anggota
keluarganya menderita kanker serviks, harus
berulang kali ke rumah sakit untuk berobat,
dan perasaan kasihan yang timbul akibat
efek kemoterapi yang dialami oleh penderita
kanker serviks
Susah
“Susah ninggalin kerja mba, kalau gak kerja
gak ada uang, kalau gak ada uang ntar gak
bisa makan.”(P2). “Ya susah..., ninggalin
kerjaan...kalau saya gak kerja kan orang
gak ada penghasilan kalau ninggalin
kerjaan.”(P4). “Susahnya gara-gara biaya
mba, dulu kan pas awal saya belum punya
bpjs, dulu masih pakai jamkesda, jadi kan
masih bayar setengahnya, tapi setelah ada
bpjs, gak mikirin biaya pengobatan lagi,
sekarang yang jadi pikiran saya biaya
sehari-hari.”(P7). “Saya susah mikir biaya
mba, emang istri saya pakai jamkesmas tapi
saya juga butuh buat biaya transportasi dari

6
Respon dan Koping Keluarga terhadap Penderita Kanker Serviks yang
mendapat Kemoterapi di RSUD Dr. Moewardi (Fika Kharisma)

pacitan ke solo, makan sehari-hari, juga
buat pengobatan ibu saya yang lagi stroke
di rumah. Ekonomi susah, saya juga sudah
tidak kerja.”(P8).
Selama merawat penderita kanker serviks,
keluarga merasa susah karena ketika
merawat penderita kanker serviks selama di
rumah sakit partisipan harus meninggalkan
keluarga dan pekerjaan, susah karena ketika
meninggalkan pekerjaan maka penghasilan
menjadi berkurang
Respon keluarga terhadap perubahan
fisik dan psikologis yang terjadi pada
penderita
kanker
serviks
selama
kemoterapi
Perubahan fisik :
Perubahan fisik yang terjadi pada penderita
kanker serviks yang mendapat kemoterapi di
antaranya adalah mual, muntah, meriang,
sering buang air kecil, nafsu makan
menurun, kesulitan tidur, pusing, lemas,
konstipasi, diare, berat badan menurun
Mual
“...kalau ibu di kemoterapi mesti
mual...”(P1). “ibu setiap di kemo pasti mual
tapi gak sampai muntah...”(P3). “...kadang
mual...”(P4).
“mual...”(P5).
“ya
mual...”(P6). “Paling mual mba,”(P8)
Respon keluarga ketika pasien mual
“Kalau mual biasanya saya kasih air
anget...”(P1). “Kalau ibu mual saya
biasanya kasih buah-buahan kayak apel
mba biar ngurangin mualnya...”(P3).
“Kalau itu saya tanya langsung ke ibu
pengennya apa, kan yang tau perutnya gak
enak kan yang sakit mba, jadi saya belikan
pengennya ibu apa biar gak mual, Kadang
juga saya kasih minyak angin di
perutnya.”(P4). “...Biasanya saya pijetin
leher belakangnya mba, kan juga sebelum
kemo sudah dikasih obat anti mual.”(P5).
“Paling ngasih tempat muntah, terus dikasih
minyak kayu putih.”(P6). “saya kasih
minyak kayu putih di perutnya mba.”(P8).
Sebagian besar dari penderita kanker serviks
mengeluh mual ketika kemoterapi. Respon
keluarga untuk mengatasi keluhan mual
yang dialami oleh pasien dengan cara
memberikan air hangat dan memberikan
buah-buahan, memijat leher penderita
kanker serviks, memberikan minyak kayu
putih di perut untuk mengurangi mual, dan
memberikan apa yang diinginkan pasien
untuk mengurangi mual.

Sekitar 70% sampai dengan 80% dari
penderita kanker selama kemoterapi
mengalami mual dan muntah. Hal tersebut
memiliki dampak yang negatif pada
kemampuan pasien untuk merawat dirinya
sendiri dan melakukan kegiatan sehari-hari.
Mual, muntah dan rambut rontok merupakan
efek samping dari kemoterapi yang sering
membuat pasien tertekan dan menarik diri
dari
kehidupan
sosial.
Penggunaan
antiemetik yang sesuai efektif untuk
mengurangi tingkat mual dan muntah pada
pasien. Peran keluarga dalam mengatasi
mual dan muntah yang terjadi pada pasien
adalah membantu untuk meningkatkan
kesehatan pasien dan melaporkan gejala dan
kesulitan yang terjadi pada pasien kepada
petugas medik (Grunberg, 2004).
Muntah
“...kalau ibu di kemoterapi muntah juga,
kalau nyium bau nasi muntah...”(P1) “...tiap
ibu
makan
muntah
makanannya
keluar...”(P2).
“muntah-muntah
terus...”(P5). “...muntah...”(P6).
Respon keluarga ketika pasien muntah
“...Kalau mual sama muntah biasanya saya
kasih air anget...”(P1). “Kalau ibu udah
muntah sama gak mau makan saya belikan
bubur sumsum.”(P2). “...Biasanya saya
pijetin leher belakangnya mba, kan juga
sebelum kemo sudah dikasih obat anti
mual.”(P5). “Paling ngasih tempat muntah,
terus dikasih minyak kayu putih.”(P6).
Perubahan fisik yang terjadi pada penderita
kanker serviks yang mendapat kemoterapi di
antaranya adalah muntah. Respon keluarga
dalam mengatasi muntah yang terjadi pada
penderita kanker serviks dengan cara
memberikan air hangat, memberikan bubur
sumsum, memijat leher pasien, memberikan
minyak kayu putih, dan memberikan obat
anti mual.
Meriang
“...meriang.”(P5).
Respon keluarga ketika pasien meriang
“...kalau meriang paling ya dikerokin.”(P5)
Dari hasil penelitian, perubahan fisik yang
terjadi pada penderita kanker serviks ketika
kemoterapi adalah meriang. Partisipan
mengatasi meriang yang dialami oleh
penderita kanker serviks yang mendapat
kemoterapi dengan kerokan.
Sering buang air kecil
“...terus kalau pas kemo sering kencingkencing terus.”(P5)

7
Respon dan Koping Keluarga terhadap Penderita Kanker Serviks yang
mendapat Kemoterapi di RSUD Dr. Moewardi (Fika Kharisma)

Respon keluarga ketika pasien sering
buang air kecil
“dibiarkan aja mba, saya paling ya nganter
ibu ke kamar mandi.”(P5).
Sering buang air kecil merupakan salah satu
perubahan fisik yang terjadi pada penderita
kanker serviks yang mendapat kemoterapi.
Keluarga mengatasi sering buang air kecil
yang dialami oleh pasien
dengan
mengantarkan pasien ke kamar mandi dan
tidak melakukan apa-apa untuk mengatasi
hal tersebut
Nafsu makan menurun
“...ibu pas kemo jarang makan, sehari itu
cuman sekali itupun harus dipaksa
dulu...”(P1). “makannya kurang...”(P2).
“kalau maem itu sedikit-sedikit habis cuman
setengahnya saja...”(P3). “Kadang makan
gak mau...”(P4). “...istri saya juga kalau
makan
sedikit...”(P7).
“gak
nafsu
makan...”(P8).
Respon keluarga ketika pasien susah
makan
“...kalau ibu gak mau makan, saya paksa
nanti ibu malah mual sama muntah, jadi
saya kasih roti atau bubur mba.”(P1).
“...kalau ibu muntah sama gak mau makan,
saya belikan bubur sumsum.”(P2). “kalau
susah makannya ya saya bujuk ibu biar mau
makan dan ngehabisin makanannya...kalau
gak mau makanan rumah sakit saya belikan
makanan di luar.”(P3). “Tanya lagi ke ibu
mau makan apa, atau mau minta lauk apa
biar mau makan,”(P4). “Kalau istri saya
gak nafsu makan gitu biasanya saya belikan
soto mba, kalau pakai soto istri saya mau
makan, walaupun makannya sedikit, yang
penting istri saya makan.”(P8).
Perubahan fisik lain yang dialami penderita
kankers serviks adalah penurunan nafsu
makan. Selama kemoterapi penderita kanker
makan sehari sekali dan harus dipaksa,
makan sedikit dan hanya menghabiskan
setengah porsi. Respon keluarga ketika
mengatasi penurunan nafsu makan yang
dialami penderita dengan memberikan roti
atau bubur, dan memberikan makanan dan
lauk pauk dari luar rumah sakit untuk
menambah nafsu makan pasien.
Sulit tidur
“...tidurnya juga kadang kurang nyenyak
cepet kebangun kalau denger suara ribut
sedikit, padahal mulai tidur jam 11-an nanti
jam 2 udah bangun...”(P3).

Respon keluarga ketika pasien sulit tidur
“Susah tidurnya saya gak bisa ngatasi mba,
namanya juga di rumah sakit di kelas 3 ya
pasti susah tidur mba, gak mungkin bisa
tidur tenang tanpa ada suara-suara...”(P3)
Perubahan fisik lain yang dialami penderita
kanker serviks adalah sulit tidur. Keluarga
menjelaskan bahwa penderita kanker serviks
mengalami tidur yang tidak nyenyak, cepat
kebangun ketika mendengar suara yang
ramai, frekuensi tidur malam dari jam 11
malam dan bangun tidur pada jam 2 pagi.
Partisipan tidak bisa mengatasi kesulitan
tidur pada penderita kanker serviks.
Gangguan tidur terutama insomnia, adalah
keluhan umum yang sering terjadi pada
penderita kenker. Data menunjukkan bahwa
penderita kanker memiliki dua kali
kemungkinan peningkatan gannguan tidur.
Beberapa pasien diantaranya melaporkan
sering terbangun ketika tidur di malam hari.
Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan tidur yang tidak memadai seperti
kebisingan, pencahayaan yang terlalu
berlebih, suhu ekstrim. Selain itu faktor
psikologis seperti depersi dan kecemasan
terhadap pengobatan dan terapi kanker, dan
stres yang ditimbulkan karena pikiran
tentang pekerjaan dan tanggung jawab dapat
mempengaruhi gangguan tidur yang terjadi
pada penderita kanker (Berger, et al., 2005)..
Pusing
“Terus ibu juga jadi sering pusing...”(P1).
Respon keluarga ketika pasien pusing
“Kalau pusingnya biasanya nanti saya
kerokin ibu, pijetin kepalanya.”(P1)
Dari hasil penelitian ditemukan perubahan
fisik yang terjadi pada penderita kanker
serviks adalah pusing. Respon keluarga
dalam menghadapi masalah pusing yang
dialami penderita adalah dengan memijat
kepala pasien dan kerokan.
Lemas
“...lemes.”(P1). “...lemes...”(P2). “...lemes,
cepat capek.”(P6)
Respon keluarga ketika pasien lemas
“Saya bilang ke ibu makan yang banyak,
kadang juga beli vitamin c mba di
apotik.”(P1). “Saya suruh makan yang
banyak, kalau gak mau makan nasi saya
kasih bubur sumsum, kadang juga saya
belikan bubur kacang ijo.”(P2). “Nyuruh
ibu banyak istirahat, harus makan yang
banyak biar gak lemes.”(P6).

8
Respon dan Koping Keluarga terhadap Penderita Kanker Serviks yang
mendapat Kemoterapi di RSUD Dr. Moewardi (Fika Kharisma)

Pengobatan kemoterapi pada penderita
kanker serviks menimbulkan efek lemas
pada pasien. Berbagai macam respon
keluarga untuk mengatasi hal tersebut adalah
dengan menganjurkan pasien meningkatkan
konsumsi makan, menganjurkan pasien
mengkonsumsi bubur sumsum dan bubur
kacang hijau, menganjurkan pasien untuk
banyak beristirahat dan mengkonsumsi
vitamin c.
Konstipasi
“Bab nya susah mba, ibu sampe 5 hari gak
bab, kalau bab keras hitam mba, terus
sedikit...”(P1). “Bab nya dikit mba.”(P2).
“...terus setelah kemo buang air besarnya
keras bisa sampe 5 hari gak bab mba. Kalau
sudah bab, keluarnya sedikit.”(P3). “Pas di
rumah bab agak susah mba.”(P5). “BAB
nya susah mba.”(P8).
Respon keluarga ketika pasien konstipasi
“Kalau 5 hari belum bab juga beli obat
yang dimasukin ke pantat di apotek
mba.”(P1). “Saya suruh ibu buat ngemil
buah-buahan.”(P2). “...Kalau bab nya sulit
biasanya di kasih obat dari dokter, trus saya
beliin ibu pepaya biar bab nya lancar.”(P3).
“Biasanya di kasih dulcolax mba, sama saya
suruh makan sayur-sayuran buah-buahan
yang banyak.”(P5). “paling yo maem
pepaya mba.”(P8).
Beberapa perubahan fisik yang sering terjadi
pada penderita kanker serviks yang
mendapat kemoterapi adalah konstipasi.
Selama penderita kanker serviks mendapat
kemoterapi, pasien sering mengeluh BAB
sedikit, BAB keras, dan berwarna hitam, dan
beberapa partisipan mengatakan bahwa
penderita kanker serviks tidak BAB selama
lima hari. Ketika penderita kanker serviks
mengeluh kesulitan BAB, respon keluarga
untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan
cara menganjurkan panderita kanker serviks
mengkonsumsi buah-buahan seperti pepaya,
dan menganjurkan mengkonsumsi sayursayuran, dan memberikan obat pencahar
seperti Dulcolax untuk mengatasi konstipasi
yang dialami penderita kanker serviks.
Adapun temuan penelitian kuantitatif, Ying,
Ching, & Loke, (2011) meneliti tentang
dampak terapi kanker yang berbeda terhadap
pasien. Konstipasi dan Hot Flash (atau
disebut juga Hot Flush ) sering terjadi pada
penderita kanker serviks yang mendapat
terapi pembedahan, sedangkan diare dan
BAB berdarah merupakan gejala yang sering

terjadi pada penderita kanker serviks yang
mendapat radioterapi.
Diare
“...mencret...”(P6)
Respon keluarga ketika pasien diare
“Kalau lagi mencret saya belikan obat diare
mba, diapet atau diatap mba.”(P6)
Perubahan fisik lain yang muncul ketika
kemoterapi
adalah
diare.
Keluarga
mengatasi diare pada pasien dengan
memberikan obat diare seperti diapet atau
diatap untuk mengatasi diare pada penderita
kanker serviks.
Diare dan BAB berdarah merupakan gejala
yang sering terjadi pada penderita kanker
serviks yang mendapat radioterapi (Ying,
Ching, & Loke, 2011).
Penurunan Berat Badan
“Berat badannya turun mba, dulu berat
badannya 53 Kg, sekarang jadi 40
Kg...”(P7).
Respon keluarga untuk mengatasi
penurunan berat badan
“Saya bilang ke istri saya makan yang
banyak, tapi tetep aja istri saya makannya
sedikit, walaupun sudah saya paksa buat
makan banyak.”(P7).
Perubahan fisik pasien selama kemoterapi
adalah pasien mengalami penurunan Berat
badan dari 53 Kg turun menjadi 40 Kg. Hal
tersebut disebabkan karena pasien hanya
makan sedikit. Partisipan mengatasi
penurunan berat badan yang terjadi pada
pasien dengan cara mengatakan kepada
pasien untuk menambah porsi makan.
Perubahan psikologis
Hasil temuan dari penelitian tentang
perubahan pskologis keluarga adalah
penderita kanker yang mendapat kemoterapi
tidak terlalu memikirkan penyakitnya, tidak
menampakkan kesedihan kepada keluarga,
pasien lebih manja, cepat marah, biasa-biasa
saja, banyak keinginan, sosialisasi baik,
tidak minder, dan pasien lebih malas.
Ketika seseorang menghadapi diagnosis
kanker, reaksi pertama yang muncul adalah
perasaan terkejut yang selanjutnya pasien
sering menunjukkan tanda-tanda negasi,
tidak percaya dan putus asa. Kemudian
setelah
penderita
kanker
mengakui
penyakitnya perasaan yang muncul adalah
cemas, takut, panik, mengalami gangguan
fungsi kognitif, gangguan seksual, dan
gangguan tidur (Šprah & Šoštarič, 2004).
Tidak terlalu memikirkan penyakitnya

9
Respon dan Koping Keluarga terhadap Penderita Kanker Serviks yang
mendapat Kemoterapi di RSUD Dr. Moewardi (Fika Kharisma)

“...gak terlalu dipikir sama ibu, walaupun
sakitnya kanker...”(P2). “Ibu orangnya
nyantai mba, ibu gak terlalu mikirin
sakitnya...”(P3)
Respon keluarga ketika pasien tidak
memikirkan penyakitnya
“...Harus lebih peka mba sama ibu, harus
ditanyain terus keadaannya setiap hari, biar
kalau ada yang dirasakan sama ibu, jadi
bisa langsung diperiksakan ke rumah sakit.
Harus ngasih perhatian lebih ke ibu.”(P2)
Setelah didiagnosis menderita kanker serviks
dan ketika melaksanakan terapi kanker,
penderita kanker serviks tidak terlalu
memikirkan penyakitnya. Sebagai keluarga
dari penderita kanker serviks, partisipan
merasa harus lebih perhatian kepada
penderita kanker serviks. Perhatian tersebut
berupa menanyakan keadaan pasien setiap
hari sehingga ketika ada yang dirasakan
pasien tentang penyakitnya partisipan bisa
langsung memeriksakan kondisi pasien ke
rumah sakit.
Tidak menampakkan kesedihan kepada
keluarga
“...Ya mungkin ibu ngerasa susah juga, tapi
ibu
gak
di
tampakin
ke
anakanaknya...”(P2).
Respon keluarga ketika pasien tidak
menampakkan
kesedihan
kepada
keluarga
“...Harus lebih peka mba sama ibu, harus
ditanyain terus keadaannya setiap hari, biar
kalau ada yang dirasakan sama ibu, jadi
bisa langsung diperiksakan ke rumah sakit.
Harus ngasih perhatian lebih ke ibu.”(P2).
Efek fisik dari kanker dan terapinya dapat
menyebabkan tekanan psikologis yang
serius. Pada konteks kanker, tekanan ini
didefinisikan sebagai pengalaman emosional
yang tidak menyenangkandan bersifat
multifaktoral. Pengalaman ini dapat bersifat
psikologis sosial dan spiritual (Potter &
Perry, 2009).
Perubahan psikologis yang terjadi penderita
kanker yaitu penderita kanker tidak ingin
memperlihatkan kesulitan yang dialami
ketika pasien merasa kesulitan karena
penyakitnya kepada keluarga. Ketika hal
tersebut terjadi keluarga mengatasinya
dengan memberikan perhatian lebih kepada
pasien dan menanyakan keadaan dan apa
yang dirasakan pasien setiap hari.

Manja
“...ibu lebih manja, biasanya semua di
kerjain sendiri, sekarang apa-apa minta
diladenin, makan minta disuapin, selalu
minta ditemenin...”(P3).
Respon keluarga ketika pasien manja
“...Kalau ibu minta ditemenin saya temenin
terus, minta disuapin ya saya suapin.
Namanya anak, sekarang udah waktunya
gantian ngopeni ibunya...”(P3).
Perubahan psikologis pada penderita kanker
serviks yang mendapat kemoterapi adalah
penderita lebih manja. Keluarga merasakan
perubahan pasien yang lebih manja.
Sebelum sakit, penderita kanker lebih
mandiri, setelah sakit pasien meminta
partisipan untuk melakukan hal seperti
membantu makan, dan selalu meminta
partisipan
untuk
menemani
pasien.
Partisipan merasakan bahwa hal tersebut
tidak menjadi masalah bagi partisipan,
partisipan memenuhi semua permintaan
pasien seperti menyuapi makan dan
menemani pasien, partisipan menganggap
bahwa saat ini sebagai anak sudah waktunya
untuk merawat orang tua.
Cepat marah
“Ibu lebih sensitif mba, agak cepet marah.
Tapi ya itu wajar aja, kan ibu lagi sakit...Ya
marah biasa mba, bukan marah besar mba,
marahnya juga gak terlalu sering...agak
cepet marah daripada biasanya.”(P3).
Respon keluarga ketika pasien cepat
marah
“Kalau ibu marah ya didengerin aja, kan
marahnya cuman sebentar, namanya anak,
sekarang udah waktunya gantian ngopeni
ibunya, saya gak merasa ini sebuah beban,
dijalanin aja, dibuat tenang, kalau saya
selalu merawat ibu saya ketika sakit semoga
sakitnya bisa lebih cepat sembuh.”(P3)
Perubahan psikologis pada penderita kanker
serviks selama kemoterapi adalah mudah
marah. Keluarga mengatakan pasien lebih
sensitif dan mudah marah. Perubahan
tersebut tidak menjadi beban bagi partispan
dan mengatasi hal tersebut dengan tenang.
Keluarga menanggapi perubahan yang
terjadi pada pasien dengan tenang dan tetap
selalu melakukan perawatan terhadap
penderita kanker serviks dan berharap
anggota keluarga yang menderita kanker
serviks cepat sembuh.

10
Respon dan Koping Keluarga terhadap Penderita Kanker Serviks yang
mendapat Kemoterapi di RSUD Dr. Moewardi (Fika Kharisma)

Biasa-biasa saja
“...ibu biasa-biasa saja...”(P2). “ibu biasabiasa aja...”(P4). “Ibu biasa-biasa aja mba,
ibu orangnya enjoy...”(P5). “ibu biasa biasa saja mba, Ibu selalu semangat mba,
penyakitnya tidak dijadikan beban...”(P7).
“Istri saya biasa-biasa aja mba”(P8).
Partisipan mengatakan bahwa anggota
keluarga mereka yang menderita kanker
serviks dengan kemoterapi tampak tenang
dan biasa-biasa saja.
Salah satu faktor yang mempengaruhi
kemampuan keluarga dalam mengatasi
terapi kanker adalah jika pasien mengatakan
“baik-baik saja”. Keluarga mendefinisikan
“baik-baik saja” ketika gejala pasien seperti
nyeri dan mual dapat dikendalikan dengan
baik, nafsu makan pasien tidak terganggu,
kondisi kognitif pasien baik dan mampu
berkomunikasi untuk mengatakan kebutuhan
mereka. Keluarga mengatakan lebih mudah
ketika merawat pasien yang menerima
penyakit mereka. Namun ketika pasien
mengalami kemarahan dan frustasi hal
tersebut dapat mempersulit keluarga dalam
mengatasi penderita kanker (Stajduhar,
Filles, & Barwich, 2008)
Banyak keinginan
“...mungkin ya pas kemo banyak pengennya,
namanya juga orang sakit, apalagi sedang
di kemo, kan juga pengennya maem yang
enak yang bukan makanan rumah sakit, tapi
ya itu sudah dibelikan, eh malah gak di
makan, tapi saya maklumin aja...”(P4).
Respon keluarga ketika pasien banyak
keinginan
“Dalam kondisi ibu yang sakit parah ya
saya harus lebih perhatian lagi sama ibu
mba.”(P4).
Pengobatan dan terapi kanker memicu
timbulnya berbagai macam perubahan
psikologis yang terjadi pada penderita
kanker. Dari hasil wawancara menunjukkan
bahwa pasien lebih banyak keinginan selama
kemoterapi. Dalam mengatasi hal tersebut
partisipan harus lebih perhatian kepada
anggota keluarga yang menderita kanker
serviks selama kemoterapi.
Sosialisasi baik
“...sosialisasinya sama tetangga-tetangga di
rumah baik, misalnya ada kumpul ibu-ibu
pkk, ibu saya tetep ikut...”(P5)
Efek gejala kanker akan mempengaruhi
hubungan keluarga, performa kerja, dan
mengisolasi penderita kanker dari aktivitas

sosial normal. Hal ini menimbulkan
implikasi
serius
bagi
kesejahteraan
psikologis klien. Saat kanker mengubah citra
tubuh atau fungsi seksual, penderita kanker
merasakan kegelisahan dan depresi pada
hubungan interpersonal. Pada beberapa
kasus penderita kanker menunjukkan bahwa
pasien merasa kualitas hidupnya buruk,
memiliki citra tubuh dan strategi adaptasi
yang buruk, dan tidak memiliki dukungan
sosial (Hewitt, Greenfield, & Stovall, 2005).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penyakit kanker yang dialami anggota
keluarganya tidak mengisolasi penderita
kanker dari aktivitas sosial seperti biasa.
Pasien bersosialisasi dengan baik terhadap
tetangga, selalu mengikuti acara kumpul ibuibu pkk. Kanker dan terapinya tidak
mengubah citra tubuh pasien
Tidak minder
“...ibu orangnya enjoy, dia juga gak minder
walaupun sakit kanker...”(P5)
Perubahan psikologis yang terjadi pada
anggota keluarga yang menderita kanker
adalah pasien tidak merasa rendah diri atau
minder.
Penyakit kanker mempengaruhi kualitas
hidup pasien. Pasien menjadi lebih pasif
selama di rumah sakit, mengalami isolasi
sosial,
ketakutan
eksistensial,
dan
kekhawatiran terhadap keluarga terutama
pengasuhan anak, kecemasan tentang karir
kerja dan keuangan, dan memiliki harga diri
rendah (Šprah & Šoštarič, 2004).
Malas
“Ya mungkin ibu lebih males, tapi saya
maklumin aja karena ibu lagi sakit...Yang
biasanya maem sendiri masak sendiri,
sekarang minta disuapin terus, terus
biasanya
rajin
bersih-bersih
rumah
sekarang banyak tidurnya.”(P6).
Respon keluarga ketika pasien malas
“Saya harus lebih perhatian sama ibu, kalau
ibu males ya biarkan saja kan ibu lagi sakit,
jadi saya yang ngerjain semua, nyuapin ibu,
bersih-bersih rumah.”(P6).
Perubahan psikologis lain yang terjadi pada
penderita kanker adalah pasien lebih malas.
Ketika sebelum sakit, pasien selalu mandiri
dalam melakukan berbagai aktivitas seperti
makan, memasak, membersihkan rumah.
Setelah pasien sakit, pasien selalu meminta
keluarga untuk membantu penderita kanker
untuk menyuapi makan, dan partisipan juga
mengatakan bahwa pasien lebih sering tidur

11
Respon dan Koping Keluarga terhadap Penderita Kanker Serviks yang
mendapat Kemoterapi di RSUD Dr. Moewardi (Fika Kharisma)

daripada beraktivitas. Cara keluarga untuk
mengatasi hal tersebut dengan memberikan
perhatian yang lebih besar kepada pasien,
mengerjakan semua pekerjaan rumah, dan
membantu kebutuhan pasien seperti makan.
Sikap keluarga terhadap penderita
kanker
serviks
yang
mendapat
kemoterapi
Sikap keluarga dalam menghadapi penderita
kanker serviks yang mendapat kemoterapi
adalah keluarga sabar, rileks, berdoa kepada
Tuhan, berusaha untuk melaksanakan
pengobatan rutin, dan ikhlas.
Sabar
“...bolak balik terus, memang harus banyak
sabarnya.”(P2). “Dibuat sabar,”(P3). “Ya
harus
banyak
sabar.”(P4).
“harus
sabar.”(P6). “Saya harus banyak bersabar
mba, ini cobaan dari Allah.”(P8).
Sikap partisipan terhadap keluarga yang
menderita kanker serviks adalah sabar. Hal
tersebut ditunjukkan dengan sikap partisipan
ketika menghadapi perubahan psikologis
yang terjadi pada penderita kanker seperti
marah, manja, dan selalu minta ditemani,
partisipan
menghadapinya
dengan
mendengarkan kemarahan pasien, selalu
memberikan apa yang diinginkan pasien,
menemani pasien selama perawatan, dan
menyikapi dengan sabar pengobatan dan
terapi kanker yang mengharuskan keluarga
untuk berulang kali kembali ke rumah sakit.
Rileks
“Dibuat rileks mba, tenang,”(P3). “Dibuat
santai mba...”(P7).
Sikap
partisipan
ketika
menghadapi
penderita kanker serviks adalah rileks.
Keluarga menyikapi penderita kanker
serviks dengan rileks, dan tenang karena
menurut partisipan ketika partisipan tidak
tenang akan meningkatkan beban pikiran
yang dapat menimbulkan kesulitan pada
partisipan
Berusaha
untuk
melaksanakan
pengobatan rutin
“Pengobatan lama mba, tapi saya tetap
berusaha sebisa saya buat nyarikan obat,
apa yang dikatakan dokter saya lakukan,
pokoknya saya berusaha biar ibu cepat
sembuh...”(P2). “...Saya menjalani terus
pengobatan buat ibu biar ibu cepat
sembuh.”(P7).
Pengobatan dan terapi kanker serviks yang
lama akan membuat partisipan harus
menjalani pengobatan tersebut. Menurut

partisipan semua hal yang dikatakan dokter
yang berhubungan dengan pengobatan akan
partisipan lakukan seperti mengikuti jadwal
rutin kemoterapi, menemani pasien kontrol,
ketika dokter mengatakan untuk kembali ke
rumah sakit partisipan menemani pasien
kembali ke rumah sakit. Hal tersebut
partisipan lakukan untuk kesembuhan
anggota keluarganya yang menderita kanker
serviks
Berdoa kepada Tuhan
“...berdoa kepada Allah semoga ibu cepat
diberi kesembuhan...”(P3).
Pengalaman kanker akan menjadi tantangan
bagi kesejahteraan spiritual seseorang.
Tampilan kunci dari kesejahteraan spiritual
meliputi hubungan yang harmonis, energi
yang kreatif, dan kepercayaan akan adanya
kekuatan yang lebih tinggi. Hubungan
merupakan hal yang penting bagi penderita
kanker, hubungannya dengan tuhan,
kekuatan yang lebih tinggi, alam, keluarga,
atau komunitas (Potter & Perry, 2009).
Partisipan menyikapi pengobatan dan
perubahan yang terjadi pada penderita
kanker serviks dengan cara berdoa kepada
Allah agar pasien diberi kesembuhan.
Ikhlas
“ini cobaan dari Allah harus diterima
dengan ikhlas.”(P6).
Dalam
menyikapi
pengobatan
pada
penderita
kanker
serviks
partisipan
mengatakan bahwa hal tersebut merupakan
cobaan dari Allah yang harus diterima
dengan ikhlas.
Dampak penyakit kanker serviks dengan
kemoterapi terhadap perubahan peran
keluarga.
Dampak penyakit kanker serviks dengan
kemoterapi terhadap parubahan peran
keluarga adalah penghasilan keluarga
berkurang,
urusan
rumah
tangga
terbengkalai,
pengasuhan
keluarga
terbangkalai.
Penghasilan keluarga berkurang
“ibu pedagang, ibu yang kerja cari uang,
jadi ya berubah banget mba, dari kebutuhan
ekonomi, keuangan, saya kan belum kerja
mba masih kuliah, sekarang harus lebih
berhemat, kebanyakan sekarang bergantung
dengan hasil kerjaannya kakak saya.”(P1).
“ibu sudah gak bisa ke sawah, jadi sekarang
penghasilan keluarga kan turun mba, bapak
saya harus kerja lebih keras lagi saya juga
harus bisa bagi keuangan dari hasil kerja

12
Respon dan Koping Keluarga terhadap Penderita Kanker Serviks yang
mendapat Kemoterapi di RSUD Dr. Moewardi (Fika Kharisma)

saya buat kebutuhan rumah sama kebutuhan
adik-adik saya...”(P5).
Riwayat
kanker
secara
signifikan
mempengaruhi kesempatan dan kemampuan
penderita kanker dalam bekerja dan sering
mengalami keterbatasan kerja akibat kondisi
kesehatannya.
Jika
kanker
tersebut
mempengaruhi kemampuan kerja seseorang,
penghasilan bagi keluarganya juga akan
menurun. Penderita dan keluarga juga harus
mengeluarkan biaya yang tinggi untuk
pengobatan, alat medis, dan biaya asuransi.
Bagi penderita kanker yang memiliki
penghasilan rendah, masalah ini semakin
besar jika tidak memiliki asuransi atau hanya
memiliki asuransi yang kecil (Hewitt,
Greenfield, & Stovall, 2005).
Dampak penyakit kanker terhadap keluarga
adalah penghasilan keluarga berkurang. Hal
tersebut disebabkan karena penderita kanker
serviks juga berperan sebagai pencari
nafkah. Walaupun sebagian besar dari
partisipan menggunakan BPJS tetapi
keluarga mengatakan bahwa kebutuhan
untuk kehidupan sehari-hari terasa sulit
karena penghasilan keluarga menurun.
Urusan rumah tangga terbengkalai
“Saya ya membantu ngerawat ibu setiap
hari, masak, nyuci, bersih-bersih rumah
juga saya...”(P1). “kesulitan sedikit pas
saya
bersih-bersihin
rumah,
masak,
biasanya yang nungguuin anak saya ibu,
tapi sekarang harus pinter bagi-bagi waktu
biar bisa ngurus rumah, orang tua, anak,
sama suami.”(P3). “saya juga harus lebih
bisa ngatur waktu buat ngurusin rumah
sama adik-adik. Dulu kan ibu yang biasanya
ngurusin adik sama ngurusin rumah,
sekarang kan gak mungkin saya biarin ibu
saya kerja berat.”(P5). “Ibu dulu sebelum
sakit jualan, sekarang setelah sakit ya ga
mungkin to mba nyuruh ibu kerja lagi, jadi
semua Kerjaan ibu ya digantiin sama anakanak nya mba, nyari uang, ngurus rumah
semuanya anaknya yang ngerjain. Gantian
ibu yang istirahat biar cepat sembuh. Kita
sebagai anak ya harus ngertiin orang
tua.”(P6).
Selama pasien sedang dalam terapi kanker,
partisipan harus menggantikan tugas
penderita kanker seperti mengurus rumah
tangga, merawat penderita kanker setiap
hari, melakukan pekerjaan rumah tangga, hal
tersebut menyebabkan perkerjaan keluarga
menjadi bertambah sehingga partisipan

harus membagi waktu untuk mengurus anak
dan suami, dan juga mengurus saudara
kandung dan ayah.
Keluarga yang merawat penderita kanker
kemungkinan mengalami “Role Overload”
atau ketidakseimbangan dan ketidakwajaran
dalam hal jumlah pekerjaan yang meningkat
ketika merawat penderita kanker. Anggota
keluarga yang merawat pasien akan
mengambil tanggung jawab sebagai
pengurus rumah tangga dan berperan
sebagai pengasuh anggota keluarga yang
lain. (Otis-Green & Juarez, 2012).
Pengasuhan keluarga terbengkalai
“biasanya yang nungguuin anak saya ibu,
tapi sekarang harus pinter bagi-bagi waktu
biar bisa ngurus orang tua, anak, sama
suami.”(P3). “kan kondisi ibu sakit. Istri
saya juga masih punya buyut mba, usianya
hampir 100-an tahun, jadi yang nungguin
ibu kan memang harus saya, istri saya di
rumah ngurus buyutnya sama anak, kan
biasanya ibu saya juga sering ngurusin anak
saya, jadi bingung mba, jadi saya sama istri
saya harus bagi tugas.”(P4). “saya juga
harus lebih bisa ngatur waktu buat ngurusin
rumah sama adik-adik. Dulu kan ibu yang
biasanya ngurusin adik sama ngurusin
rumah, sekarang kan gak mungkin saya
biarin ibu saya kerja berat.”(P5). “Saya
kerepotan mba mikirin harus ngurus rumah
sama ngurus ibu saya yang sakit stroke,
biasanya istri saya yang ngerawat ibu saya,
sekarang saya harus ngurus istri sama ibu,
istri saya kan gak boleh kerja berat.”(P8)
Ketika salah satu anggota keluarga
menderita kanker, keluarga akan berusaha
mempertahankan fungsi inti keluarga seperti
mempertahankan lingkungan emosional dan
fisik yang aman, mengurangi ancaman
kejadian yang traumatik, dan mengasuh dan
mendukung anggota keluarga yang lain
(Lewis, 2006).
Dampak
penyakit
kanker
terhadap
perubahan peran keluarga diantaranya
adalah partisipan menggantikan peran pasien
sebagai pengasuh keluarga. Beberapa
partisipan sudah berkeluarga, setelah pasien
sakit, partisipan merasa kesulitan dalam
mengasuh anak karena biasanya pasien yang
mengasuh anak dari partisipan. selain itu
partisipan juga harus mengasuh orang tua
dari pasien, partisipan juga merasa pekerjaan
mengurus rumah lebih berat karena selain
bekerja mencarai nafkah partisipan harus

13
Respon dan Koping Keluarga terhadap Penderita Kanker Serviks yang
mendapat Kemoterapi di RSUD Dr. Moewardi (Fika Kharisma)

mengasuh saudara-saudara kandung yang
masih kecil..
Koping keluarga dalam menghadapi
penderita kanker serviks yang mendapat
kemoterapi
Koping keluarga dalam menghadapi
penderita kanker serviks yang mendapat
kemoterapi yaitu mencari dukungan sosial,
mencari hiburan, mencari informasi,
mengontrol perasaan, melihat segi positif
dari masalah, dukungan spiritual.
Mencari dukungan sosial
“...saya lebih tenang dapat dukungan dari
temen-temen.”(P1). “...ngobrol sama orangorang, kan di warung yang deket moewardi
rame, jadi sekalian kenalan sambil ngobrol,
kan sesama nunggu pasien .”(P2).
Koping keluarga dalam menghadapi bebagai
masalah yang terjadi selama merawat
penderita kanker serviks yang mendapat
kemoterapi di antaranya adalah mencari
dukungan sosial dengan cara mengobrol
dengan teman, mengobrol dengan sesama
penunggu pasien dan berbagi pengalaman
bersama orang-orang tersebut.
Mencari hiburan
“Keluar, beli makan sambil ngopi...”(P2).
“Kalau sedih, mumet saya ngatasinya ya
nyari hiburan mba, kadang saya ke lantai
bawah buat nonton tv, kalau gak telpon atau
sms temen-temen saya biar bisa ngobrol
sambil gojek.”(P3). “Ya ibu saya tinggal
dulu jalan keluar bentar mba, nonton.”(P4).
“Paling keluar ngopi, mainan hp.”(P6).
Koping keluarga ketika menghadapi
penderita kanker serviks dengan cara
mencari hiburan untuk mengatasi berbagai
perasaan yang timbul selama merawat
pasien. Hal tersebut diungkapkan partisipan
bahwa mereka mencari hiburan dengan
membeli makan dan minum kopi, menonton
televisi, menggunakan telepon genggam
sebagai media hiburan, mengobrol dan
bercerita humor dengan teman melalui sms
dan telepon.
Mencari informasi
“...saya sering banyak tanya ke perawat
tentang pengobatannya.”(P3). “...saya cari
di internet efek kemoterapi jelek-jelek
semua...”(P5).
Koping keluarga dalam menghadapi
berbagai situasi dan perasaan yang muncul
selama merawat penderita kanker serviks
yang mendapat kemoterapi dengan mencari
informasi. Ketika perasaan takut muncul

partisipan sering bertanya kepada perawat
tentang pengobatan dan terapi pasien, dan
menggunakan internet untuk mencari
informasi tentang efek kemoterapi.
Keluarga yang merawat penderita kanker
membutuhkan bantuan informasi tentang
bagaimana melakukan perawatan pasien
seperti transportasi pasien, monitoring
gejala, perawatan pribadi seperti (mandi,
makan, dan berpakaian), kebutuhan nutrisi
yang diperlukan pasien, monitoring status
penyakit dan pengobatan, kunjungan dokter,
dan kebutuhan biaya pengobatan (Given,
Given, & Kozachik, 2001).
Mengontrol perasaan
“Perasaan kayak gitu pasti ada terus mba,
jadi saya meyakinkan diri saya sendiri kalau
dengan saya berusaha terus buat ngobatin
ibu, ibu saya pasti sembuh...”(P5). “Rasa
sedih tu gak bakalan hilang mba, saya
bakalan sedih terus selama ibu belum
sembuh, yang penting sedihnya jangan
berlarut-larut...”(P6). “Selalu sabar aja
mba, jangan dipendam, nanti kalau
dipendam malah susah sendiri.”(P6).
Ketika merawat penderita kanker serviks
yang mendapat kemoterapi, berbagai macam
perasaan muncul seperti perasaan sedih yang
timbul selama merawat pasien. Hal tersebut
menyebabkan partisipan menggunakan
koping dengan cara mengontrol perasaan
berupa mengatasi hal tersebut dengan
meyakinkan diri sendiri bahwa jika
partisipan terus berusaha untuk merawat
pasien selama pengobatan dan terapi kanker
pasi

Dokumen yang terkait

Pengetahuan dan Sikap Remaja Puteri Tentang Kanker Serviks di SMA Negeri 2 Pematangsiantar

4 74 104

KECEMASAN PENDERITA KANKER SERVIKS YANG MENJALANI KEMOTERAPI

0 10 2

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP MEKANISME KOPING PADA PASIEN KANKER SERVIK YANG MENJALANI KEMOTERAPI Hubungan Dukungan Keluarga Terhadap Mekanisme Koping Pada Pasien Kanker Servik Yang Menjalani Kemoterapi Di Rsud Dr. Moewardi.

3 25 15

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP MEKANISME KOPING PADA PASIEN KANKER SERVIK YANG MENJALANI Hubungan Dukungan Keluarga Terhadap Mekanisme Koping Pada Pasien Kanker Servik Yang Menjalani Kemoterapi Di Rsud Dr. Moewardi.

10 23 16

RESPON DAN KOPING KELUARGA TERHADAP PENDERITA KANKER SERVIKS YANG MENDAPAT Respon dan Koping Keluarga terhadap Penderita Kanker Serviks yang mendapat Kemoterapi di RSUD DR. Moewardi.

0 0 18

PENDAHULUAN Respon dan Koping Keluarga terhadap Penderita Kanker Serviks yang mendapat Kemoterapi di RSUD DR. Moewardi.

0 1 9

RESPON FISIK DAN PSIKOLOGI WANITA DENGAN KANKER SERVIKS YANG TELAH MENDAPAT Respon Fisik Dan Psikologi Wanita Dengan Kanker Serviks Yang Telah Mendapat Kemoterapi Di Rsud Dr Moewardi Surakarta.

0 0 17

PENDAHULUAN Respon Fisik Dan Psikologi Wanita Dengan Kanker Serviks Yang Telah Mendapat Kemoterapi Di Rsud Dr Moewardi Surakarta.

0 1 9

DAFTAR PUSTAKA Respon Fisik Dan Psikologi Wanita Dengan Kanker Serviks Yang Telah Mendapat Kemoterapi Di Rsud Dr Moewardi Surakarta.

0 3 4

RESPON FISIK DAN PSIKOLOGI WANITA DENGAN KANKER SERVIKS YANG TELAH MENDAPAT Respon Fisik Dan Psikologi Wanita Dengan Kanker Serviks Yang Telah Mendapat Kemoterapi Di Rsud Dr Moewardi Surakarta.

0 5 16