Pemetaan Konflik Antara Peternak Ayam Broiler Dengan Masyarakat Di Desa kayu Putih, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Adanya kebutuhan masyarakat terhadap daging ayam, membuat
kebutuhan-kebutuhan pangan masyarakat semakin tinggi. Pertambahan jumlah
penduduk serta peningkatan pendapatan mendorong terjadinya peningkatan
permintaan. Dalam kurun waktu 30 tahun (1969-2002) tingkat konsumsi daging
penduduk Indonesia meningkat sebesar 311,4 ribu ton ditahun 1969 menjadi
1.624,0 ribu to ditahun 2002. Berarti konsumsi meningkat sebanyak 5,2 kali atau
tumbuh 13% per tahun. Dari angka tersebut, konsumsi daging ayam pada akhir
tahun 2002 mencapai 964,1 ribu ton. Sedangkan tahun 1969 hanya 39,2 ribu ton
atau mengalami peningkatan hampir 25 kali dengan rata-rata pertumbuhan 30%
per tahun (Kartika: 2003, 4). Penjelasan tersebut di atas diperkuat data dari
Paguyuban Peternak Unggas Bali yang menyatakan bahwa kebutuhan daging
ayam di Bali tahun 2013 sebanyak 120 kg perhari ( Bali Post.co.id April 2013, di
Akses tanggal 10 Januari 2014). Kondisi ini tentu menjadi lahan subur bagi
tumbuh dan berkembangnya peternakan ayam di Bali.
Terbukanya kesempatan pasar ini tentunya berdampak positif

bagi


pelaku bisnis. Bisnis dibidang peternakan ayam broiler merupakan usaha yang
sangat menjanjikan bagi masyarakat. Seiring dengan perkembangan pengetahuan
dan teknologi, budi daya ayam mengalami perkembangan yang cukup pesat,
semula hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, kini pembudidayaan
berkembang menjadi kegiatan usaha yang berorientasi pasar.

1

2

Dewasa ini usaha peternak ayam broiler mulai menjamur di daerah
pedesaan, hal ini disebabkan oleh adanya sistem kemitraan. Dalam pola ini,
peternak cukup menyediakan kandang beserta peralatan dan tenaga kerja,
sedangkan sarana produksi ternak seperti bibit, pakan, vaksin, suplemen makanan,
serta obat-obatan disediakan oleh mitra yang biasanya merupakan perusahaan
besar. Selanjutnya peternak ayam wajib menjual hasil produksi ayam broiler
kepada mitra dengan harga kontrak sesuai harga pasar yang sudah ditentukan
(Kartika,2003:4).
Bisnis peternakan yang tidak memperhatikan lingkungan sosial salah
satunya lokasi yang dekat dengan pemukiman masyarakat akan banyak membawa

persoalan, seperti gangguan pencemaran dan keamanan. Selain itu kotoran ayam
tersebut menimbulkan bau yang menyengat apalagi pada saat musim hujan. Polusi
kotoran ayam mengundang lalat dan berdampak buruk bagi kesehatan pada
masyarakat, tulah sebabnya di beberapa daerah hal ini sudah diatur dengan Perda.
Pada saat merancang lokasi peternakan, sebaiknya menghubungi dan meminta
izin dengan pemerintah setempat. Sebagaimana dijelaskan dalam SK Dirjen
Peternakan Tahun 1993 no.77, bahwa jarak yang aman untuk pemeliharaan
unggas dari pemukiman masyarakat minimal berjarak 250 Meter. Lingkungan
disekitar usaha peternakan adalah salah satu faktor terpenting dalam usaha dan
menjadi jaminan kesuksesan usaha tersebut. Pendekatan terhadap lingkungan
masyarakat sangat penting sehingga bisa mendukung usaha peternakan ayam dan
memberikan izin memberikan usaha ayam yang baik. Untuk ayam pembibitan
maupun ayam broiler komersial, pemberian izin masyarakat di lingkungan calon
lokasi peternakan merupakan awal dari proses perizinan.

3

Desa Kayuputih merupakan salah satu desa di Kecamatan Banjar,
Kabupaten Buleleng. Belakangan ini masyarakat mulai tertarik terhadap usaha
ternak ayam broiler dengan sistem kemitraan. Hal ini dikarenakan seorang warga

Desa Kayuputih yang bekerja disalah satu perusahaan kemitraan ayam di Pulau
Jawa, memperkenalkan sistem kerja kemitraan kepada salah seorang keluarganya,
dan memulai usaha ternak ayam dengan memelihara 5.000 ekor ayam tiap
periodenya. Perlahan usaha ini diminati oleh banyak masyarakat Desa Kayuputih,
baik dari segi modal dan keuntungan yang tinggi. Dari sekian jumlah penduduk
Desa Kayuputih beberapa persen di antaranya tidak hanya menggantungkan
hidupnya dengan menjadi petani tetapi juga bekerja padasektor lain salah satunya
adalah sebagai peternak ayam. Berdasarkan Profil Desa Kayuputih tahun 2013
jumlah peternak yang tergolong besar di desa tersebut sebanyak 8 peternak,
jumlah itu belum terhitung peternak kecil-kecilan dengan jumlah ayam kurang
lebih hanya 50-250 ekor.
Lokasi untuk suatu peternakan kini menjadi masalah serius semenjak
peberebutan area dengan berbagai kepentingan. Dulu lokasi peternakan ada di tepi
kota-kota besar, maka kini daerah pinggiran itu sudah penuh dengan perumahan
dan industri. Lokasi untuk peternakan ayam broiler sebaiknya jauh dari
keramaian, jauh dari lokasi perumahan atau dipilih tempat yang sunyi. Suasana
yang tenang sangat diperlukan untuk peternakan ayam ras yang umumnya mudah
terkejut dan stress.
Tetapi berbeda halnya dengan peternakan ayam broiler yang ada di Desa
Kayuputih, beberapa peternakan berada di kawasan pemukiman masyarakat dan

dekat dengan area sekolah, hal ini akan sangat berdampak buruk pada proses

4

pertumbuhan

ayam maupun sangat mengganggu kehidupan masyarakat

sekitarnya. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh usaha ternak ayam broiler
menimbulkan ketidak nyamanan terhadap masyarakat yang hidup di sekitar lokasi
usaha ternak ayam broiler dan hal ini memicu konflik antara peternak ayam
broiler dengan masyarakat Desa Kayuputih.
Berikut adalah beberapa gambar lokasi peternakan yang berdekatan
dengan rumah penduduk:
Gambar 1.1 Kandang Ayam Berada Dekat dengan Sekolah.

(Dok. Kacdek Cendrawasih, 2015)
Gambar 1.2 Kandang Ayam Berada Dekat dengan Perumahan.

(Dok. Kacdek Cendrawasih, 2015)


5

Dari kedua gambar diatas menunjukkan bahwa lokasi kandang ayam
berada ditengah-tengah kawasan padat penduduk, sehingga tidak jarang kondisi
ini memicu perbedaan kepentingan yang mengarah pada konflik antara pemilik
peternakan dengan masyarakat. Dimana kepentingan pemilik peternakan yang
mencari keuntungan justru berdampak negatif terhadap kondisi lingkungan dan
masyarakat sekitar, ditambah dengan respon pemilik peternakan sangat cuek
dengan kondisi lingkungan menjadi buruk, kotor yang diakibatkan oleh
peternakan tersebut. Ada beberapa masyarakat yang sudah melapor ke kepala desa
setempat mengenai kondisi di lapangan, akan tetapi sampai saat ini belum ada
perubahan apapun di lingkungan tersebut.
Bahkan pada tahun 2013 sempat terjadi konflik antara pemilik peternakan
dengan masyarakat dikarenakan lokasi kandang yang berdekatan dengan rumah
penduduk dan Puskesmas, tidak disertai dengan pengolahan limbah yang
memadai sehingga masyarakat merasa sangat terganggu dengan kondisi tersebut,
yang mengakibatkan peternakan tersebut akhirnya dijualoleh pemiliknya.
Berikut ini adalah adalah tabel pemilik usaha ternak beserta lokasi dan
skala usaha dalam satu periode.

Tabel 1.1
Nama Peternak/ Lokasi Usaha
No.

Nama

Lokasi

1

Gede Eka
Suraja

Banjar Dinas Taman.
Dekat dengan
pemukiman penduduk

2

I Nyoman

Oka

Banjar Dinas Sambong.
Dekat pemukiman

Skala
Usaha
(Ekor)
5.000

10.000

Kepemilikan
Lahan
Tanah milik pribadi
karena penduduk
asli
dari
Desa
Kayuputih

Tanah milik pribadi
karena penduduk

6

penduduk
3

Gede Biwa

Banjar Dinas
Menagung.
Dekat dengan Sekolah
SMP
Banjar Dinas Ideran
Dan Banjar Dinas
Menagung.
Diarea persawahan
dan dekat dengan
Sekolah SD maupun

TK

25.000

4

Nyoman
Tangkas

5

Kadek Dwipa

Banjar Dinas Ideran.
Dekat dengan
pemukiman Penduduk/
sewa

5.000


6

Nyoman lanus

Banjar Dinas Ideran.
Daerah Persawahan

5000

7

Kadek
Suryawan

Banjar Dinas
Menagung.
Dekat dengan
pemukiman penduduk

10.000


8

Gede Arya

Banjar Dinas Taman.
Dekat dengan
pemukiman
Sumber: Diolah dari berbagai sumber

20.000

1000

asli dari Desa
Kayuputih
Tanah milik pribadi
karena penduduk
asli dari Desa
Payuputih
Tanah milik pribadi
karena asli dari
Desa Kayuputih,
sedangkan
beberapa kandang
ayam berdiri di
tanah sewa karena
tidak memiliki
lahan dan
berencana
mengembangkan
usaha peternakan
karena sangat
menguntungkan.
Tanah menyewa
karena tidak
memiliki lahan dan
berasal dari lain
desa,memulai
bisnis pertenakan
karena tergiur
dengan keuntungan
dari bisnis
peternakan
tersebut.
Tanah milik pribadi
karena
aslipnduduk Desa
Kayuputih
Tanah sewa karena
tdak memiliki
lahan dan menyewa
tanah di banjar lain
tetapi asli
penduduk Desa
Kayuputih
Tanah milik pribadi
dan asli penduduk
Desa Kayuputih

7

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa lokasi peternakan ayam broiler
banyak berada diarea pemukiman masyarakat. Tidak jarang banyak terjadi
aktivitas pembuangan bangkai ayam di sungai oleh beberapa peternak ayam yang
mencemarilingkungan, sedangkan masyarakat masih banyak menggunakan sungai
sebagai sarana MCK. Hal ini diakibatkan oleh tindakan peternak yang ada di Desa
Kayuputih tidak melakukan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)
dan jarak ideal letak kandang dengan pemukiman sebagaimana yang di atur dalam
SK Dirjen.
Kondisi ini menjadi menarik untuk di kaji mengingat permasalahan yang
di timbulkan akibat perbedaan kepentingan yang dapat mengacu pada konflik
antara peternak ayam dengan masyarakat Desa Kayuputih. Berdasarkan uraian di
atas maka dapat disimpulkan rumusan masalah yang hendak di jawab dalam
penelitian ini.

1.2Rumusan Masalah
1. Bagaimana peta konflik antara peternak ayam broiler dengan masyarakat
disekitar peternakan ayam di Desa Kayuputih?
2. Bagaimana pengelolaan konflik antara peternak ayam dengan masyarakat
yang berada diarea peternakan di Desa kayuputih?

1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui peta konflik antara peternak ayam broiler dengan
masyarakat disekitar peternakan ayam di Desa Kayuputih.

8

2. Untuk mengetahui pengelolaan konflik antara peternak ayam dengan
masyarakat sekitar.

1.4Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat tidak hanya menjadi
bahan perbandingan untuk

penelitian yang sejenis tetapi juga penelitian ini

diharapkan dapat menambah keilmuan yang berkaitan dengan teori konflik.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Diharapkan mampu menjadi bahan pertimbangan bagi peternak ayam agar
mengikuti berbagai aturan yang sudah ditetapkan dan menjalin komunikasi
yang baik dengan masyarakat sekitar untuk meminimalisir terjadinya
konflik.
2. Dengan mengetahui sumber masalah terjadinya konflik diharapkan
masyarakat dapat sedini mungkin mengkomunikasikan, melakukan
pencegahan dengan cara-cara elegan tanpa merugikan pihak lain.
3. Bagi pemerintah desa diharapkan melalui penelitian ini dapat melakukan
pencegahan dengan menyusun semacam regulasi kepada peternak untuk
mengikuti aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, baik
mengenai lokasi, limbah dan sebagainya. Pemerintah tingkat desa juga
diharapkan dapat menjadi mediator ketika terjadi konflik antara
masyarakat dan peternakan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Pustaka
Witha Acharyawi, 2013 menulis tentang Persepsi Masyarakat Terhadap
Peternakan Kelinci di Tinjau Dari Limbah, Bau dan Manfaat yang Ditimbulkan.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa keberadaan peternakan kelinci tersebut
tidak mengganggu masyarakat. Berdasarkan hasil dari skala kontinum persepsi
masyarakat terhadap peternakan kelinci yang berada di Kelurahan Salokaraja,
Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng ditinjau dari aspek sosial maka
diperoleh hasil bahwa keberadaan peternakan kelinci tersebut sangat bermanfaat
bagi masyarakat. Penelitian ini memiliki kesamaan dengan objek yang akan
diteliti penulis yaitu mengenai peternakan namun, yang membedakan adalah jika
penelitian ini melihat tentang persepsi masyarakat sedangkan penelitian yang akan
dirancang penulis di Desa Kayuputihmelihat dari sudut pandang perbedaan
kepentingan yang memunculkan konflik.
Topan Wahyudi 2014, menulis tentang konflik Pemanfaatan Sumber
Daya Air Antara Petani Sawah dengan Peternak Ikan di Dusun Denokan
Maguwoharjo Depok Sleman. Ada beberapa temuan dalam penelitian ini di
antaranya perbedaan kepentingan antara petani sawah dengan peternak ikan dalam
menentukan alternatif penggunaan sumberdaya air. Bentuk konflik yang terjadi
dalam hal ini adalah main belakang, tidak bertegur sapa, boikot dan fanatisme
golongan. Teori konflik Ralf Dahrendorf menjadi pisau analisis dalam penelitian
ini.

9

10

Ada perbedaan secara mendasar penelitian di atas dengan apa yang akan
diteliti oleh penulis dalam hal ini mulai dari penggunaan teori, jika penelitan
Wahyudi menggunakan teori Ralf Dahrendorf sedangkan dalam penelitian yang
akan dilakukan penulis menggunakan teori Galtung. Objek penelitiannyapun
berbeda, penelitian yang akan dilakukan penulis objek penelitiannya adalah
pebedaan kepentingan yang memunculkan konflik antara peternak ayam broiler
dengan masyarakat disekitar peternakan.
Prasanti Kusuma Wardhani, 2012 menulis tentang Analisis Efisiensi
Produksi dan Pendapatan Pada Usaha Peternakan Ayam Ras Pedaging (Studi
Kasus: Kec. Limbangan, Kabupaten Kendala) ada beberapa temuan dalam
penelitian ini di anataranya usaha ternak ayam ras pedaging di Kecamatan
Limbangan tersebut menguntungkan dan masih layak di kembangakan. Penelitian
ini merupakan jenis penelitian kuantitatif, perbedaan mendasar juga terdapat
antara penelitian ini dengan apa yang akan diteliti oleh penulis di antaranya jenis
penelitian yang akan digunakan oleh penulis adalah penelitian kualitatif dengan
mengedepankan uraian-uraian sedangkan penelitian Prasanti menggunakan jenis
penelitian Kuantitatif dengan perhitungan angka-angka dalam menemukan
jawaban tentang efisiensi usaha peternakan. Selain hal tersebut di atas yang
membedakan juga dapat dilihat dari beberapa hal, penelitian yang akan dilakukan
penulis mengarah tentang konflik, perbedaan kepentingan antara peternak ayam
broiler dengan masyarakat disekitar peternakan.

11

2.2. Kerangka Konsep
2.2.1 Peternakan Ayam Broiler
Peternakan merupakan suatu kegiatan untuk mengembangbiakkan dan
membudidayakan hewan ternak dengan tujuan mendapatkan manfaat dan hasil
dari kegiatan tersebut.Peternakan tidak terbatas pada pemeliharaaan saja,
melainkan peternakan untuk

mencari keuntungan dengan penerapan prinsip-

prinsip manajemen. Dewasa ini peternak ayam broiler mulai bermunculan
dikalangan masyarakat pedesaaan. Istilah broiler adalah istilah asing, hingga saat
ini belum ada istilah untuk bahasa Indonesia yang cocok dan tepat untuk
mengganti istilah “broiler” tersebut. Seorang ahli peternakan unggas North (1978)
memberikan batasan bahwa ayam Broiler adalah ayam yang dijual 7 dan 8
minggu dengan berat badan sekitar 1,8 kg. Di Indonesia ayam Broiler ini dijual
pada umur 4-6 minggu (Muhamad, 2004: 15)
Demi kelancaran beternak ayam broiler seharusnya para peternak
mengetahui ketentuan-ketentuan yang sudah berlaku di dalam lingkungan,
diantaranya memilih tempat untuk beternak. Khususnya pada ayam broiler harus
berpedoman pada beberapa hal, salah satunya yaitu: lokasi peternakan. Lokasi
untuk suatu peternakan kini menjadi serius semenjak adanya keterbatasan lahan
dan berebut areal dengan berbagai kepentingan. Bila dahulu lokasi peternakan ada
di tepi kota-kota besar, maka kini daerah pinggiran itu sudah penuh dengan
pemukiman dan industri. Lokasi untuk peternakan ayam pedaging sebaiknya jauh
dari keramaian, jauh dari lokasiperumahan, perdagangan, sekolah atau dipilih
tempat yang sunyi dan jauh dari aktifitas masyarakat. Suasana yang tenang, sangat

12

diperlukan untuk peternakan ayam ras yang umumnya mudah terkejut dan stress.
Lokasi peternakan jauh dari lokasi pemukiman penduduk maksudnya agar
penduduk tidak akan mengganggu peternakan, begitupun sebaliknya masyarakat
sekitar tidak merasa terganggu karena adanya peternakan ayam di sekitar
lingkungan nya, agar tidak terjadi konflik satu sama lain (Muhammad,
2004:17).Jarak yang aman untuk pemeliharaan unggas menurut SK Dirjen
Peternakan Tahun 1993 no. 77 dari pemukiman minimal berjarak 250 Meter.
Tahapan proses perizinan dimulai dari surat persetujuan lingkungan masyarakat
sekitar usaha rekomandasi dari desa. Izin prinsip dari pemerintah kota /
kabupaten, izin mendirikan bangunan. Surat izin usaha dan surat izin gangguan
atau HO. Izin itu di ajukan kepada Gubernur, Wali Kota, atau Bupati di lokasi
usaha ayam yang akan di bangun.
Pendekatan terhadap lingkungan masyarakat sangat penting sehingga
bisa mendukung usaha peternakan ayam dan memberikan izin memberikan usaha
ayam yang baik. Kusus nya untuk ayam pembibitan maupun ayam broiler
komersial, pemberian izin dari masyarakat di lingkungan calon lokasi peternakan
merupakan awal dari proses perizinan.
Departemen Pertanian telah menyadari hal tersebut dengan mengeluarkan
peraturan menteri melalui SK Mentan No. 237/1991 dan SK Mentan No.
752/1994, yang menyatakan bahwa usaha peternakan dengan populasi tertentu
perlu dilengkapi dengan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Searah
dengan itu sebagimana tercantum dalam Undang-Undang No 18 ayat 4 tahun
2009 yang menjelaskan sebagi berikut:

13

“Peternak, perusahaan peternakan, dan pihak tertentu yang
mengusahakan ternak dengan skala usaha tertentu wajib mengikuti tata
cara budidaya ternak yang baik dengan tidak mengganggu ketertiban
umum sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri”
(Shombing, 2000: 39).
Di Desa Kayuputih sebagaian besar lokasi kandang berdekatan dengan
rumah penduduk. Letak kandang yang berdekatan dengan rumah penduduk
memicu terjadinya ketegangan antara pemilik peternakan dengan masyarakat.
Kondisi di Desa Kayuputih sering dikeluhkan oleh masyarakat sekitar karena,
penduduk merasa terganggu dengan limbah bau dari peternakan yang ada di
sekitar lingkungan. Kondisi tersebut tentu bertentangan dengan aturan yang
berlaku tentang tata letak dan pengelolaan limbah peternakan sebagaimana di atur
dalam SK Kementan.
Limbah dari peternakanpun tidak bisa dianggap remeh karena hal itu
akan berkaitan dengan kesehatan masyarakat setempat, dengan kondisi kandang
yang berdekatan dengan rumah masyarakat. Pembuangan limbah peternakan
berupa bangkai ayam sembarangan dan bau kotoran yang tidak sedap bisa
memicu munculnya berbagai penyakit. Limbah peternakan meliputi semua
kotoran yang dihasilkan dari kegiatan usaha peternakan baik berupa limbah padat
dan cairan, gas, maupun sisa pakan. Limbah padat merupakan semua limbah yang
berbentuk padatan atau dalam fase padat (kotoran ternak, ternak yang mati, atau
isi perut dari pemotongan ternak).Limbah cair adalah semua limbah yang
berbentuk cairan atau dalam fase cairan (air seni atau urine, air dari pencucian
alat-alat).Sedangkan limbah gas adalah semua limbah berbentuk gas atau dalam
fase gas(Acharwanti,2013: 27).

14

2.2.2 Konflik
Konflik tidak hanya bisa dilihat dalam bentuk kekerasan, menurut Johan
Galtung konflik dapat diartikan sebagai benturan fisik dan verbal dimana akan
muncul penghancuran, tapi konflik juga bisa dipahami sebagai sekumpulan
permasalahan yang menghasilkan penciptaan penyelesaian baru, sedangkan
kekerasan adalah situasi ketidaknyamanan yang dialami aktor dimana ketidak
nyamanan adalah apa yang “seharusnya” tidak sama dengan apa yang “ada” bisa
juga berupa suatu sikap yang ditujukan untuk menekan pihak lawan, baik secara
fisik, verbal, ataupun psikologi (Galtung, 2003: 60).Wallace dan Alison,
menjelaskan proposisi dasar dari teori konflik salah satunya adalah manusia
memiliki kepentingan-kepentingan yang asasi yang kadang berbeda antara satu
dengan lainnya dan selalu berusaha mewujudkan kepentingan-kepentingan
tersebut, kondisi inilah yang terkadang memicu munculnya konflik (Basrowi,
2004:22).
Secara sederhana konflik adalah pertentangan yang ditandai oleh
pergerakan dari beberapa pihak sehingga terjadi persinggungan (Suzan, 2010: 8).
Konflik bisa muncul pada skala yang berbeda seperti konflik antar-orang, konflik
antara klompok, konflik antar kelompok dengan negara, konflik antar negara.
Adanya konflik disebabkan karena, adanya benturan kepentingan-kepentingan,
baik perorangan maupun kelompok, misalnya kepentingan ekonomi, politik,
sosial, ketertiban umum dan sebagainya.
Sehubungan dengan itu Galtung menjelaskan didalam setiap konflik
terdapat kontradiksi, sesuatu yang menghalangi sesuatu yang lain, dengan kata

15

lain terdapat suatu masalah. Sesuatu yang menghalangi sesuatu yang lain. “saya
sangat menginginkan sesuatu, tetapi saya juga menginginkan sesuatu yang lain,
tetapi begitu juga orang lain. Situasi klasik ini disebut sebagai formasi konflik
elementer atau atom-atom konflik. Ada dua konsep penting dari Galtung,
diantaranya sengketa: dua orang atau aktor yang mengejar tujuan yang sama,
dilema: satu orang atau aktor yang mengejar dua tujuan yang berbeda(Galtung,
2003: 158).
Ada dua jenis konflik yang biasa dikenal yaitu: konflik atas atau vertikal
yaitu konflik antar elit dan massa (rakyat), elit yang di maksud dalam hal ini
adalah para pengambil kebijakan, yang ke dua adalah konflik horizontal yakni
konflik yang terjadi di kalangan masa (rakyat) sendiri (Susan, 2010:99).
Dijelaskan juga ada bebrapa tipe konflik di antaranya: tanpa konflik,
konflik laten, konflik terbuka dan konflik permulaan (Susan, 2010:100).


Tanpa konflik menggambarkan situasi yang relatif stabil, hubunganhubungan antar kelompok bisa saling memenuhi dan damai, karena
masyarakat mampu menciptakan struktur sosial yg bersifat mencegah ke
arah konflik kekerasan.



Konflik laten adalah suatu keadaan yang di dalamnya terdapat banyak
persoalan, sifatnya tersembunyi dan perlu di angkat kepermukaan agar
bisa ditangani.



Konflik terbuka adalah situasi ketika konflik sosial telah muncul ke
permukaan yang berakar dalam dan sangat nyata sehingga diperlukan
berbagai tindakan untuk mengatasinya.

16



Sedangkan konflik dipermukaan memiliki akar yang dangkal atautidak
berakar dan muncul hanya karena kesalah pahaman yang dapat diatasi
dengan meningkatkan komunikasi.
Pada dasarnya kemunculan konflik selalu di dasari oleh perbedaan

kepentingan antara pihak-pihak tertentu sebagaimana proposisi umum teori
konflik. Dalam setiap konflik selalu dicari jalan penyelesaian, konflik terkadang
dapat saja diselesaikan oleh kedua belah pihak yang bertikai secara langsung.
Namun tak jarang pula harus melibatkan pihak ketiga untuk menengahi dan
mencari jalan keluar baik.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dijelaskan bahwa, tipe koflik
yang terjadi di Desa Kayuputih antara peternak ayam dengan masyarakat
disekitar peternakan adalah konflik laten, berdasarkan hasil wawancara awal
dilokasi penelitian dimana konflik antara masyarakat sekitar dengan peternakan
ayam bersifat tersembunyi. Karena masyarakat yang merasa terganggu oleh
keberadaan peternakan ayam didalam lingkungan pemukiman dan tidak pernah
mengutarakan hal tersebut secara langsung. Masyarakat hanya memendam dan
mencibir dengan tetangga sekitar sehingga memunculkan kondisi yang semakin
tidak harmonis. Kondisi ini jika dibiarkan maka dikawatirkan akan memicu
konflik yang lebih luas.

2.2.3 Tata Kelola Konflik
Banyak pihak yang hanya melihat konflik dipermukaan saja, seperti
jumlah korban yang ditimbulkan oleh sebuah konflik atau cara kedua belah pihak

17

bertentangan secara langsung. Untuk itu dibutuhkan pengelolan untuk mengetahui
pihak- pihak yang terlibat konflik serta hal yang melatarbelakanginya.
Salah satu kajian penting untuk menciptakan perdamaian atau
meminimalisir konflikadalah pengelolaan konflik atau tata kelola konflik (Susan,
2010). Lebih jauh dijelaskan bahwa ada bentuk management konflik yaitu:
1. Conflict management
Konflik management bertujuan untuk mencegah konflik yang akan
menghasilkan bentuk-bentuk kekerasan. Pendekatan ini menjelaskan
bahwa semua konflik tidak perlu diselesaikan tetapi mempelajari
bagaimana mengelola konflik untuk mengatasi perbedaan sebagai akar
dari konflik tersebut.
2. Democratic conflict governance
Sebagai sesuatu hubungan antara berbagai aktor dan lembaga dalam
tata kelola unsur-unsur konflik yang di tandai oleh aktifitas
musyawarah dan mengimplementasikan kebijakan perdamaian yang
telah tercapai.
Konflik yang terjadi di Desa Kayauputih dipicu oleh peternak yang tidak
mengikuti aturan mengenai tata letak kandang dan AMDAL, sehingga
mengganggu aktivitas dan keluhan masyarakat yang memunculkan sikap ketidak
senangan terhadap kondisi yang ada. Masyarakat tidak mendapatkan respon yang
sesuai dari pihak peternakan, ini bisa dilihat dari sikap pemilik peternak yang
tidak peduli dengan keluhan masyarakat. Ini terbukti karena masih ditemukannya
kondisi yang sama dan berulang- ulang dilingkungan pada musim pembibitan,

18

panen, gagal panen. Perbedaan sikap antara peternak dengan masyarakat
memunculkan kontradiksi (kemunculan situasi yang melibatkan problem sikap/
prilaku). Berupa kemunculan situasi ketegangan antara kedua belah pihak, mulai
dari gunjingan sampai pada ancaman perkelahian dan ancaman penggusuran
peternakan. Peternak yang memiliki kepentingan ekonomi dalam membangun
usaha peternakan, mengesampingkan kebutuhan masyarakat akan kesehatan.
Pemetaan konflik meliputi pemetaan pihak berkonflik dan berbagai
aspirasi dari pihak-pihak yang ada. Paling sederhana dalam meminimalisir konflik
menurut Hendricks (2004) adalah toleransi terhadap perbedaan pendapat dapat
menghasilkan keseimbangan pandangan antar ke dua belah pihak.
Dalam melakukan manajemen konflik, maka perlu diketahui apa yang
memicu konflik, siapa saja yang terlibat dalam konflik, apa isu yang
disengketakan, bagaimana strategi yang dipakai masing-masing pihak yang
berkonflik untuk mencapai kemenangan, peluang konflik untuk meluas/mereda,
dan apa konsekuensi dari konflik yang terjadi. Pengumpulan informasi yang
akurat seputar pertanyaan di atas diharapkan dapat memahami suatu
permasalahandan meraih tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak yang
berkonflik.

2.3 Landasan Teori
Konflik tidak hanya bisa dilihat dalam bentuk kekerasan, menurut Johan
Galtung konflik dapat diartikan sebagai benturan fisik dan verbal dimana akan
muncul penghancuran, tapi konflik juga bisa dipahami sebagai sekumpulan

19

permasalahan yang menghasilkan penyelesaian baru, sedangkan kekerasan adalah
situasi ketidaknyamanan yang dialami aktor dimana ketidaknyamanan adalah apa
yang “seharusnya” tidak sama dengan apa yang “ada” bisa juga berupa suatu
sikap yang ditujukan untuk menekan pihak lawan, baik secara fisik, verbal,
ataupun psikologi (Galtung: 1960).
Ada tiga dimensi penting dalam teori konflik Galtung yang biasa disebut
dengan segitiga konflik Galtung yaitu sikap, prilaku, dan kontradiksi. Sikap
adalah persepsi tentang isu-isu tertentu yang berkaitan dengan kelompok lain.
Prilaku dapat berupa kerjasama, persaingan atau suatu gerak tangan dan tubuh
yang menunjukkan persahabatan atau permusuhan. Sedangkan kontradiksi adalah
kemunculan situasi yang melibatkan sikap atau prilaku. Dimana sikap melahirkan
prilaku dan setelah itu mengacu pada kontradiksi dan menghasilkan situasi
ketegangan (Galtung, 2003: 161).
Dengan dijelaskannya segitiga konfliknya oleh Galtung, permasalahan
yang terjadi antara peternak ayam dan masyarakat disekitar peternakan dapat
disimpulan, bahwa perbedaan kepentingan terjadi karena pengabaian jarak ideal
dan limbah peternakan dari pemilik peternakan, sehingga memunculkan sikap dari
warga disekitar peternakan berupa kekawatiran-kewatiran bahwa limbah dari
peternakan baik polusi dari kotoran ayam atau pembuangan bangkai ayam tidak
pada tempatnya akan mengakibatkan gangguan penyangkit yang berdampak
langsung pada masyarakat. Dari sikap tersebut berwujud kedalam bentuk prilaku
permusuhan atau paling tidak ketegangan antara pemilik peternakan dengan
masyarakat disekitar peternakan. Wujud dari sikap tersebut dapat berupa
pertentangan kepentingan diantaranya ketidak harmonisan antara dua belah pihak

20

sehingga rentetan dari sikap dan prilaku kemudian memunculkan kontradiksi
antara pemilik peternakan dengan masyarakat disekitar peternakan berupa
ketegangan-ketegangan, jika tidak segera ditindak lanjuti maka diprediksi akan
memunculkan konflik yang jauh lebih besar.