PANDANGAN ISLAM DAN PSIKOLOGI TERHADAP TRANSFORMASI PEREMPUAN

  

TRANSFORMASI PEREMPUAN

PERSPEKTIF ISLAM DAN PSIKOLOGI

Nurussakinah Daulay

  

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sumatera Utara

Email: inadaulay82@gmail.com

Abstract: Transformation of women, as a discourse and the idea of

the movement, increasingly writhed after the International Women’s

Conference in Beijing in 1995. The big question is how to construct

the transformation of women in the crush of fear of success through

the frame of diverse perspectives. Through religion and psychology

approach, this paper attempted to describe the transformation of

women’s movement which has been increasingly writhing in the era

of globalization. The data of the religious texts including Islamic

religious texts showed that there was an equality between men and

women, and husband and wife which were not only related to their

rights they possessed, but also related to the obligations that must

be carried out. The transformation of women’s movement, especially

in the perspective of religion, found the historical momentum

since the presence of Islam brought by Muhammad in the Arabian

Peninsula. At this global era, the demands on a role in the public

sphere increasingly crystallized so that women were also required

to actualize themselves in various social entities. Self-actualization

in a variety of careers turned out to be in the form of a direct

proportional relationship with the emergence of anxiety that led

to conflict between selfhood on one side with public opinion which

regarded it as a masculine figure on the other. This anxiety appeared

when they, the women, were trapped between trying to reach a great

achievement and their own shadows.

  

ÑCjÀ¼» ÏÀ»B¨»A ÕB´¼»A f¨I AéfNÀ¿ \JuC Ò·jZ»A Ñj¸¯Ë SÍfY ªÌyÌÀ· ÑCjÀ»A ¾éÌZM :wb¼À»A

success iÌZ¿ ϯ ¾éÌZN»A AhÇ ½Î¸rM ±Î· ÌÇ `ËjñÀ»A ¾AÛn»AË .1995 ÒÄm WÄVÎI ϯ

  • - Ïn°Ä»A ÏÄÍf»A ½afÀ»BI - ÒmAif»A ÊhÇ O»ËBY .j¤Ä»A PBÈUË Å¿ jÎR· ÕÌy ϯ fear of

    ÒÎÄÍf»A xÌvÄ»A Å¿ PBÃBÎJ»A O÷»e .ÒÀ»Ì¨»A jv§ ϯ ÑiéÌñNÀ»A ÑCjÀ»A ¾éÌZM Ò·jY jÍÌvM

    ¶Ì´Y Ĩ» BĂỈÔ¿ ½· ,ÒUỊl»AỊ XỊl»A ỠI ÑjmÞA ϯỊ ÑCjĂ»AỊ ½Uj»A ỠI kAÌMỊ ÑAỊBn¿ ºBÔÌ ƯC

    ÒJmBÄÀ»A ÒÎbÍiBN»A BÈNuj¯ fVM - ÏÄÍe iB¤Ä¿ ϯ ÒuBa - ÒÎÖBnÄ»A Ò·jZ»A ÊhÇ .PBJUAËË

    ÑCjÀ»A iËeË iÌȤ» PBJ¼ñN¿ ºBÄÇ jv¨»A AhÇ Ï¯Ë .ÒÎIj¨»A ÑjÍlV»A ϯ ÂÝmâA iÌÈ£ hÄ¿

  Al-Tahrir, Vol. 15, No. 2 November 2015 : 263-282

ÕÌrà ӻG ÐeC - KuBÄÀ»A Å¿ jÎR· ϯ - iËf»A AhÇ ÑCjÀ»A gBbMA ÆC ©³AÌ»AË .©ÀNVÀ»A ϯ

ÑCjÀ»A O¨³Ë ÆgG .ÑCj¿A BÇjJN§A ÁÈÃÞ jaE KÃBU ϯ o°Ä»BI ϧ̻A Ó¼§ ÂÌÀÈ»BI įr»A

  .BỈn°Ê ĩ½£Ị PAkBVÊÜA Ó¼§ ¾ÌvZ¼» Ò»ỊBZĂ»A ỠI ĩÂÌ Ï¯

Abstrak: Transformasi perempuan, sebagai sebuah wacana dan

ide gerakan, semakin menggeliat pasca Konferensi Perempuan

Internasional di Beijing pada tahun 1995. Pertanyaan besarnya

adalah bagaimana mengkonstruk transformasi perempuan dalam

himpitan fear of success melalui bingkai beragam perspektif.

Melalui pendekatan agama dan psikologi, tulisan ini mencoba

untuk mendiskripsikan gerakan transformasi perempuan yang kian

menggeliat di era globalisasi. Data-data teks keagamaan termasuk

Islam menunjukkan bahwa terdapat kesetaraan antara laki-laki dan

perempuan, terdapat equalitas antara suami dan istri tidak saja

terkait dengan hak yang mereka miliki tetapi juga terkait dengan

kewajiban yang harus diemban. Gerakan transformasi perempuan

ini, khususnya dalam perspektif agama, menemukan momentum

historisnya sejak kehadiran Islam yang dibawa oleh Muhammad

saw di Jazirah Arab. Pada era global ini tuntutan peran dalam ranah

publik semakin mengkristal sehingga perempuan juga dituntut untuk

mengaktualisasikan diri dalam beragam entitas sosial. Aktualisasi

diri dalam beragam karir ternyata berbanding lurus dengan

munculnya kecemasan yang melahirkan konflik antara kedirian di

satu sisi dengan opini publik yang menganggapnya sebagai sosok

yang maskulin. Muncul kecemasan bahwa mereka, para perempuan,

terjebak antara usaha meraih prestasi dengan bayangan diri.

  

Keywords: transformasi, perempuan, Islam, psikologi, aktualisasi,

fear of success. PENDAHULUAN

  Wacana tentang isu-isu perempuan telah mencuat dan menjadi pembahasan hangat di kalangan masyarakat. Peran perempuan telah menunjukkan keaktualisasian dirinya dalam berkontribusi di abad modern ini, dan isu tentang perempuan ini menjadi menguat pasca Konferensi Perempuan Internasional di Beijing tahun 1995. Hasil dari konferensi di Beijing pada tahun 1995 menghasilkan kesempatan politik bagi kaum perempuan di seluruh dunia untuk

  Nurussakinah Daulay, Transformasi Perempuan 1

  memperjuangkan hak-hak perempuan. Hal ini menunjukkan arti pentingnya keterlibatan perempuan dalam era modernisasi.

  Telah terjadi pergeseran makna peran perempuan dari masa lampau dengan makna perempuan di masa sekarang. Dahulu perempuan tidak dimuliakan kehadirannya, karena dianggap sebagai sosok yang lemah dan sosok yang memalukan. Keadaan seperti ini berlanjut sampai datangnya Islam yang mengangkat derajat kaum wanita, memberikan hak-haknya, serta membuatnya menikmati kemanusiaan dan kehormatannya di tengah-tengah masyarakat. Islam memperhitungkan peran wanita seperti laki-laki untuk beberapa persoalan. Seperti dalam amar ma’ruf nahi munkar, haji, jual beli, menuntut ilmu, dan Islam memberikan kebebasan untuk membelanjakan harta bendanya sesuai dengan keinginan dan kesenangannya.

  Menurut Corsini, salah seorang tokoh psikologi bahwa peran gender merupakan sekumpulan atribut, trait kepribadian dan 2 perilaku yang dianggap sesuai untuk masing-masing jenis kelamin.

  Secara bahasa gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Menurut Webster’s New World Dictionary diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara pria dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dalam Women’s Studies

  

Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural

  yang berupaya memuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakter emosional antara pria dan perempuan yang 3 berkembang di masyarakat. 1 Konferensi Beijing tahun 1995 menghasilkan 12 butir area kritis di bidang

pemberdayaan perempuan yang kemudian dikenal dengan nama Deklarasi Beijing.

  

Dua belas pokok persoalan yang menjadi perhatian dalam Deklarasi Beijing meliputi:

1) anak perempuan; 2) perempuan dan pendidikan; 3) perempuan dan ekonomi; 4)

kekerasan terhadap perempuan; 5) perempuan dan kesehatan; 6) perempuan dan media;

7) perempuan dan lingkungan; 8) hak asasi manusia; 9) perempuan, kekuasaan dan

pengambilan keputusan; 10) perempuan dan kemiskinan; 11) perempuan dan konflik

bersenjata; dan 12) institusi untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia.

Machya Astuti Dewi, “Media Massa dan Penyebaran Isu Perempuan”, Jurnal Ilmu

Komunikasi, Vol 7, No. 3 September-Desember 2009, 3. Akses tanggal 4 September

2015.www.pdffactory.com 2 Corsini, Concise Encyclopedia of Psychology (New York: John Wiley and Sons, 1987), 103. 3 Hasbi Indra dkk., Potret Perempuan Sholehah (Jakarta: Permadani, 2004), 242.

  Al-Tahrir, Vol. 15, No. 2 November 2015 : 263-282

  Penulis sependapat dengan definisi gender menurut Corsini,

  

Webster’s New World Dictionary dan Women’s Studies Encyclopedia

  yang memiliki persamaan di antara ketiganya, yakni terdapat perbedaan antara pria dan perempuan baik dari segi peran, nilai dan perilaku. Penulis memberi kesimpulan bahwa gender di sini bukan hanya mengacu pada jenis kelamin biologis saja, tetapi juga gambaran-gambaran psikologis, sosial dan budaya serta ciri-ciri khusus yang diasosiasikan dengan kategori biologis perempuan dan laki-laki. Sedangkan secara bahasa gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin, lebih diasosiasikan dengan jenis kelamin secara biologis. Sehingga ketika seseorang itu telah mengetahui peran dan kodratnya sebagai perempuan atau laki-laki, maka ia akan mampu memposisikan dirinya dan berperilaku sesuai dengan jenis kelaminnya tersebut.

  Sesungguhnya sangat luas peranan perempuan dalam pembinaan kesejahteraan hidup, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Bahkan oleh Rasulullaah Saw. diperingatkan bahwa tegak atau rubuhnya suatu bangsa ditentukan oleh perempuannya, apabila perempuan baik, maka akan selamatlah negara itu, dan apabila perempuan tidak baik akan hancurlah negara tersebut. Rasulullah juga bersabda bahwa surga itu di bawah telapak kaki ibu. Penulis berkesimpulan bahwa jikalau perempuan itu baik, maka tentunya ia akan menjadi ibu yang mampu mendidik anak-anaknya dengan baik pula dan rumah tangganya akan menjadi tenteram dan damai, kemudian perempuan juga dianggap mampu melahirkan generasi baru yang terdidik baik secara intelektual dan moral tentu akan memperkokoh tegaknya sebuah negara.

  Dan masih banyak lagi ucapan-ucapan Rasulullah yang menunjukkan pentingnya peranan perempuan dalam menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Perempuan bukan lagi sekedar membahas tentang dapur, kasur dan sumur, lebih dari itu perempuan juga dengan gendernya telah memiliki pondasi tempat berdiri yang utuh agar tidak dinafikan keadaannya, mengingat keberadaannya di tengah-tengah kehidupan ini sudah memberi beragam warna dalam pencerahan dan perubahan. Perempuan dengan gendernya adalah perempuan yang mampu memposisikan dirinya tidak hanya sebagai perempuan dari segi biologis saja, tetapi juga dari segi psikologis, nilai, dan memahami perannya sehingga akan tampil dalam perilaku sesuai dengan jenis kelaminnya tersebut.

  Nurussakinah Daulay, Transformasi Perempuan

PEREMPUAN DAN KARIR MENURUT PERSPEKTIF ISLAM

DAN PSIKOLOGI

  Perempuan selalu identik dengan keindahan, kelembutan, dan kelemahan. Sifat-sifat tersebut terlihat dari bentuk fisik, gerak dan suaranya. Maka tak jarang identitas gender tersebut sering dijadikan perbedaan hak antara perempuan dan pria. Dahulu perempuan tidak boleh melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, pekerjaannya hanya ada di dapur. Seperti yang dikemukakan oleh Nurhayati bahwa masyarakat memandang pendidikan seolah-olah sebagai pekerjaan berat yang bersifat fisik dan memerlukan otot yang kuat untuk melakukannya. Di samping itu, perempuan dengan peran rumah tangga untuk mengasuh dan merawat anak, tidak perlu memperoleh pendidikan tinggi, melainkan cukup hanya mampu membaca dan menulis sekedar dapat mendidik anak-anak di awal kehidupannya. Masyarakat masih berkeyakinan bahwa pendidikan 4 dan pengajaran bagi perempuan tidak penting. Sekarang sudah zamannya emansipasi perempuan, perempuan boleh melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Penuntutan akan persetaraan gender mulai terkuak, perempuan juga menuntut akan persamaan kesetaraan gender. Hal akan persamaan status antara pria dan perempuan juga tidak dilarang dalam Islam. Islam juga memperbaiki konsep- konsep yang salah mengenai status spiritual dari kaum perempuan dan meninggikan derajat kaum perempuan. Seorang perempuan Muslim diberi persamaan spiritual dan intelektual seperti kaum pria, dan didorong untuk mempraktekkan agamanya dan mengembangkan kecakapan- kecakapan intelektualnya di sepanjang hayatnya.

  Nasaruddin Umar mengungkapkan tentang konsep kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam al-Qur’an, antara lain 5 sebagai berikut:

  Pertama, laki laki dan perempuan adalah sama-sama sebagai

  hamba (QS. al-Dhāriyāt: 56). Artinya: “dan aku tidak menciptakan

  jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”

  Dalam kapasitasnya sebagai hamba, antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan. Keduanya mempunyai potensi dan 4 Eti Nurhayati, Psikologi Pendidikan Inovatif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 184. 5 Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan dalam Islam (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999), 23.

  Al-Tahrir, Vol. 15, No. 2 November 2015 : 263-282

  peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam al-Qur’an biasa diistilahkan dengan orang-orang yang bertakwa.

  Sebagai perempuan yang taat beragama, perempuan harus mematuhi segala ketentuan yang diwajibkan oleh agamanya, dan tidak ingin melanggar larangan-Nya. Kepatuhan melaksanakan ketentuan agama tersebut memberikan ketenteraman kepada batinnya, yang selanjutnya menambah gairah dan semangatnya untuk bekerja dan beramal untuk agama, bangsa, dan negaranya. Yang sangat dibutuhkan seorang perempuan dalam hal ini adalah batas-batas pekerjaan yang harus dipilih oleh seorang perempuan, karena harus menyesuaikan dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan pekerjaan dan bidang profesinya masing-masing, agar tidak menimbulkan masalah-masalah sosial yang tidak dikehendaki.

  Islam juga memperbolehkan perempuan untuk mengembangkan karir sesuai dengan bidang dan kemampuannya, asalkan perempuan tidak lupa dengan kodrat dan kewajibannya sebagai perempuan muslim. Kewajiban perempuan muslim adalah agar menutupi aurat mereka bila ke luar rumah, kaum perempuan untuk merendahkan pandangan dan berlaku sopan di depan kaum lawan jenisnya. Perempuan juga harus menjaga agar ia bekerja di tempat yang tidak bercampur antara 6 perempuan dan pria, karena untuk menghindari fitnah. Bagi perempuan bekerja jika ditinjau dari sudut psikologi dapat dikaitkan dalam beberapa teori psikologi salah satu di antaranya adalah teori psikologi perkembangan, artinya jika dikaitkan dalam teori-teori psikologi perkembangan adalah setiap individu mampu melewati tahap-tahap perkembangan dalam kehidupannya. Pada setiap tahap perkembangan itu terdapat tugas perkembangan yang diartikan sebagai tugas yang muncul pada periode tertentu dari kehidupan. Perempuan bekerja adalah perempuan yang telah melaksanakan tugas perkembangannya di masa dewasa dan telah melaksanakan transformasi dalam dirinya. Artinya perempuan tersebut telah melewati masa-masa perkembangan (masa bayi, anak-anak, remaja) dengan melaksanakan tugas perkembangannya masing-masing pada setiap tahapan.

  Tugas perkembangan tersebut apabila berhasil akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa ke arah keberhasilan menuju tahap 6 Abdur Rasul Abdul Hassan al-Ghaffar, Perempuan Islam dan Gaya Hidup

  Nurussakinah Daulay, Transformasi Perempuan

  berikutnya, namun apabila gagal akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya. Artinya, perempuan yang telah bertransformasi dalam dirinya adalah perempuan yang telah berhasil melaksanakan tugas-tugas perkembangan dari masa sebelumnya sehingga ia merasa percaya diri dalam menjalankan perkembangannya di masa dewasa ini.

  Tugas perkembangan yang menjadi karakteristik masa dewasa awal menurut Hurlock adalah masa dimana individu mulai memilih 7 pasangan hidup dan mulai bekerja. Tahapan usia dewasa awal (21- 30 tahun) merupakan kelanjutan dari masa remaja yang mencakup masa transisi baik secara fisik, intelektual maupun peran sosial (masa beralihnya pandangan egosentris menjadi sikap yang empati). Dari segi fisik, masa dewasa awal adalah masa puncak, sementara dari segi emosional ini adalah masa ketika motivasi untuk meraih 8 sesuatu sangat besar. Sehingga tidak heran di usia tersebut seseorang sedang gencar-gencarnya untuk mengaktualisasikan diri dan meraih prestasi setinggi mungkin.

  Hurlock juga menjelaskan bahwa masa dewasa awal merupakan masa bermasalah karena pada masa dewasa awal banyak masalah yang ditimbulkan oleh penyesuaian diri terhadap hal-hal yang berkaitan dengan persiapan menikah dan juga karir. Hurlock juga mengungkapkan terjadi perubahan konsep peran seks perempuan 9 dewasa, dari konsep tradisional hingga kepada konsep egalitarian.

  

Konsep Tradisional Konsep Egalitarian

Seorang perempuan baik di rumah Seorang perempuan di rumah maupun

maupun di luar, perannya berorientasi di luarnya mendapat kesempatan pada orang lain. Maksudnya, mengaktualisasikan potensinya. perempuan mendapatkan kepuasan Ia tidak merasa bersalah apabila lewat pengabdian pada orang lain. ia memanfaatkan kemampuannya Ia tidak diharapkan bekerja di luar dan pendidikannya untuk kepuasan

rumah, kecuali keadaan finansial dirinya meskipun ini berarti ia harus

memaksanya, dan apabila ini terjadi mengubah orang lain untuk mengatur

ia melakukan pekerjaan di bidang rumah tangga dan mengasuh anak. pelayanan seperti perawat, guru atau sekretaris. 7 Elizabeth Hurlock,

  Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, terj. Istiwidayanti (Jakarta: Erlangga, 1980), 253. 8 9 Ibid., 256.

  Al-Tahrir, Vol. 15, No. 2 November 2015 : 263-282

  Kenyataannya, konsep tradisional lambat laun telah dimodifikasi atau bahkan diganti dengan konsep baru yang lebih egalitarian, yaitu konsep yang menekankan pola yang serupa bagi perempuan. Konsep persamaan hak ini telah diterima di antara semua kelompok sosial, termasuk mereka yang dulunya benar-benar berpegang kepada konsep peran perempuan tradisional.

  Abad 21 dicirikan dengan persaingan di dunia kerja dan peluang tersebut sangat terbuka bagi para perempuan. Pendidikan dipergunakan sebagai salah satu ukuran dari tingkat kemampuan sumber daya manusia yang menjadi bekal dalam memasuki lapangan pekerjaan. Seiring dengan tingginya tingkat pendidikan dewasa ini, banyak perempuan usia dewasa awal memasuki dunia profesionalisme dengan bekerja. Peran pendidikan terhadap aspirasi untuk bekerja ditambahkan oleh para tokoh psikologi, yaitu Olds Papalia & Feldman dengan menyatakan bahwa individu yang berpendidikan tinggi jarang menjadi pengangguran dibandingkan 10 berpendidikan rendah. Di sinilah letak transformasi perempuan, terjadi perubahan ke arah yang positif pada diri wanita. Dahulu perempuan tidak diinginkan kehadirannya, adat masyarakat Arab pra Islam juga tidak menghargai kehadiran wanita. Mereka memandang bahwa anak perempuan adalah suatu kehinaan bagi keluarganya, sehingga mereka tidak sudi melihat kelahiran anak perempuan, bahkan mereka 11 tega mengubur bayi perempuan dalam keadaan hidup-hidup. Pada zaman filsafat pun, perempuan masih diragukan eksistensinya. Di kalangan filsafat sendiri terjadi perdebatan apakah perempuan mempunyai roh atau tidak. Di Yunani, posisi perempuan kurang menguntungkan. Mereka menjadi barang komoditi yang bisa diperjual belikan. Di Romawi, demikian pula kenyataannya, mereka dianggap sebagai makhluk tak berjiwa, dan keberadaannya adalah perwujudan setan yang datang untuk merusak hati manusia. Di India, hidup seorang perempuan tergantung pada suaminya, jika suaminya 12 mati maka tidak ada alasan bagi perempuan untuk tetap hidup. 10 th

  Olds Papalia & Feldman, Human Development (7 ed), (USA: Mc. Graw Hill Companies. 1998). 11 Asyhari, “Kesetaraan Gender Menurut Nasaruddin Umar dan Ratna

Megawangi”, Skripsi (Jogjakarta: Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan

  Kalijaga Jogjakarta, 2012), 1. 12

  Nurussakinah Daulay, Transformasi Perempuan

  Revolusi gender telah terjadi di kawasan Arab pada abad 7 M. Seiring dengan datangnya Islam yang menyertainya. Pada waktu itu, perempuan bukan lagi sebagai pelengkap kehidupan laki-laki, tetapi perempuan eksis layaknya seorang laki-laki. Perempuan sepenuhnya dianggap sama di hadapan Tuhan. Perempuan berhak 13 mendapat pendidikan seperti layaknya laki-laki.

  Sejalan dengan perkembangan teknologi serta globalisasi terjadi perubahan tuntutan peran pada perempuan, dimana perempuan mulai masuk ke dalam peran sosial, seperti mereka melakukan sosialisasi dengan cara keluar rumah, mengaktualisasikan diri, serta mulai terjun ke dalam berbagai aktivitas ataupun berbagai macam bentuk kegiatan, bahkan ada yang terjun ke dalam dunia kerja untuk mengembangkan pendidikannya serta potensi yang dimilikinya. Makin lama makin banyak perempuan yang bekerja di luar rumah, tidak hanya menjadi ibu rumah tangga, tetapi juga berkarir. Bahkan, saat ini banyak di antara mereka yang mulai mencapai posisi penting atau posisi tinggi dalam pekerjaan mereka. Perempuan yang bekerja di luar rumah dianggap mempunyai peran ganda, yaitu sebagai ibu 14 dan isteri sekaligus sebagai pekerja. Dalam teori psikologi bahwa bagi perempuan, bekerja merupakan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri. Bekerja memungkinkan seorang perempuan mengeskpresikan dirinya sendiri dengan cara yang kreatif dan produktif untuk menghasilkan sesuatu yang mendatangkan kebanggaan terhadap diri sendiri, terutama jika prestasinya tersebut mendapatkan penghargaan dan umpan balik yang positif. Melalui bekerja, perempuan berusaha menemukan arti dan identitas dirinya, dan pencapaian tersebut mendatangkan rasa 15 percaya diri dan kebahagiaan. Salah seorang tokoh aliran Psikologi Humanisme, yakni

  Abraham Maslow juga menegaskan bahwa salah satu kebutuhan bagi manusia adalah kebutuhan aktualisasi diri. Abraham Maslow mencetuskan bahwa hirarkhi kebutuhan Maslow adalah yang paling 13 Sachico Murata,

  The Tao of Islam: Kitab Rujukan Tentang Relasi Gender Dalam Kosmologi dan Teologi (Bandung: Mizan, 1998), 37. 14 Arimbi, “Hubungan Fear of Success dengan Motivasi Berprestasi pada

Perempuan Bekerja di Medan”, Skripsi (Medan: Fakultas Psikologi Universitas Medan

Area, 2010), 35. 15 Jacinta Rini, Perempuan Bekerja (on-line). Available FTP: e-psikologi.

  Al-Tahrir, Vol. 15, No. 2 November 2015 : 263-282

  tinggi dalam hirarkhi tersebut adalah kebutuhan aktualisasi diri, mendapatkan kepuasan diri dan menyadari akan potensinya. Ia percaya bahwa setiap orang memiliki kekuatan untuk merealisasikan potensi-potensi dalam dirinya, untuk mencapai tingkatan aktualisasi 16 diri.

  Aktualisasi diri adalah daya mendorong pengembangan diri dan potensi individu, sifatnya bawaan dan sudah menjadi ciri seluruh manusia, maka perempuan bekerja merupakan salah satu perwujudan pengembangan potensi perempuan untuk menghasilkan karya-karya ilmiah dan yang non ilmiah. Dengan bekerja, seseorang dapat berkarya, berkreasi, mencipta, mengekspresikan diri, mengembangkan diri dengan orang lain, membagikan ilmu dan pengalaman, menghasilkan sesuatu mendapatkan penghargaan, 17 penerimaan dan prestasi. Menurut hemat penulis, jika dikaitkan hubungan antara aktualisasi diri dan transformasi perempuan adalah pada perempuan bekerja dapat dibagi ke dalam 2 golongan, yaitu perempuan bekerja karena aktualisasi diriya dan perempuan bekerja karena ingin memenuhi kebutuhan finansial. Tentu saja perempuan bekerja karena aktualisasi diri yang lebih berpotensi berhasil, karena menghasilkan pikiran-pikiran yang kreatif. Di sinilah letak transformasinya, perempuan akan termotivasi untuk berpendidikan tinggi sehingga mereka akan dengan mudah dapat mengaktualisasikan dirinya dalam berbagai bidang.

  

PANDANGAN ISLAM DAN PSIKOLOGI TERHADAP

KESETERAAN GENDER

  Sejak dua dasawarsa terakhir, diskursus tentang gender sudah mulai ramai dibicarakan orang. Berbagai peristiwa seputar dunia perempuan di berbagai penjuru dunia ini juga telah mendorong semakin berkembangnya perdebatan panjang tentang pemikiran gerakan feminism yang berlandaskan pada analisis “hubungan gender”. Berbagai kajian tentang perempuan digelar, di kampus, dalam berbagai seminar, tulisan-tulisan di media massa, diskusi- diskusi, berbagai penelitian dan sebagainya, yang hampir semuanya mempersoalkan tentang diskriminasi dan ketidakadilan yang 16 17 Rita L Atkinson, Pengantar Psikologi, Jilid II (Jakarta: Erlangga, 1983), 54.

  Nurussakinah Daulay, Transformasi Perempuan

  menimpa kaum perempuan. Pusat-pusat studi perempuan pun menjamur di berbagai universitas yang kesemuanya muncul karena dorongan kebutuhan akan konsep baru untuk memahami kondisi dan kedudukan perempuan dengan menggunakan perspektif yang baru.

  Hakekat keadilan dan kesetaraan gender memang tidak bisa dilepaskan dari konteks yang selama ini dipahami oleh masyarakat tentang peranan dan kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam realitas sosial mereka. Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi/bangunan budaya tentang peran, fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, 18 dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Nasaruddin Umar mengungkapkan tentang konsep kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam al-Qur’an, antara lain 19 sebagai berikut:

  Pertama, laki laki dan perempuan adalah sama-sama sebagai

  hamba (QS. al-Dhāriyāt: 56). Artinya: “dan aku tidak menciptakan

  jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”

  Dalam kapasitasnya sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam al-Qur’an biasa diistilahkan dengan orang-orang yang bertakwa.

  Kedua, Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi.

  Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini adalah di samping untuk menjadi hamba yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah, juga untuk menjadi khalifah di bumi, sebagaimana tersurat dalam al-Qur’an (QS. al-An’ām: 165):

  Artinya:

   “dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-

penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas

sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang

apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat

18 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Quran (Jakarta Selatan: Paramadina, 2001), 13. 19 Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan dalam Islam (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999), 23.

  Al-Tahrir, Vol. 15, No. 2 November 2015 : 263-282

cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi

Maha Penyayang.”

  Ketiga, laki-laki dan Perempuan menerima perjanjian

  primordial. Menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya. Disebutkan dalam al-Qur’an (QS. al-A’rāf: 172):

  Artinya:

  “dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan

keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil

kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku

ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami),

Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari

kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam)

adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.

  Keempat, laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi.

  Tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan untuk meraih peluang prestasi. Disebutkan dalam al-Quran (QS. al-Nah}l: 97): Artinya:

   “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik

laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka

Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang

baik[839] dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada

mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka

kerjakan”.

  Berdasarkan ayat-ayat di atas jelas sangat membuktikan penegasan akan konsep kesetaraan peran jenis kelamin. Ajaran Islam tidak secara skematis membedakan faktor-faktor perbedaan laki-laki dan perempuan, tetapi lebih memandang kedua insan tersebut secara utuh. Antara satu dengan lainnya secara biologis dan sosio kultural saling memerlukan dan dengan demikian antara satu dengan yang lain masing-masing mempunyai peran. Boleh jadi dalam satu peran dapat dilakukan oleh keduanya, seperti perkerjaan kantor, tetapi dalam peran-peran tertentu hanya dapat dijalankan oleh satu jenis, seperti; hamil, melahirkan, menyusui anak, yang peran ini hanya dapat diperankan oleh perempuan. Di lain pihak ada peran-peran tertentu yang secara manusiawi lebih tepat diperankan oleh kaum laki-laki seperti pekerjaan yang memerlukan tenaga dan 20 otot lebih besar. 20

  Nurussakinah Daulay, Transformasi Perempuan

  Penulis berkesimpulan dalam perspektif Islam, hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah setara, sehingga memberikan mereka kesempatan untuk berpartisipasi atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Sedangkan yang menjadi perbedaan di hadapan Allah Swt. adalah letak kualitas iman, ketakwaan dan pengabdian seseorang selama di muka bumi ini.

  Sedangkan dalam teori psikologi sendiri juga menjelaskan peran gender dan konsep kesetaraan gender yang ternyata juga dipengaruhi oleh budaya tertentu. Pada lingkungan masyarakat, terkadang didapati stereotype gender tentang perempuan. Adanya

  

stereotype gender menunjukkan bahwa manusia memiliki ide yang

  berbeda mengenai perilaku dan karakteristik kepribadian yang harus dimiliki oleh pria dan perempuan.

  Hal ini juga diperkuat dengan pandangan para ahli psikologi, terdapat tiga pendekatan psikologi untuk menerangkan proses sosialisasi perilaku peran gender, yakni psikoanalisis yang mendasari teori identifikasi, pendekatan reinforcement dan belajar sosial serta 21 teori perkembangan kognitif.

  Pertama, Pendekatan Psikoanalisa. Berdasarkan pendekatan

  Psikoanalisa, perkembangan peran jenis kelamin pada anak terjadi karena adanya proses identifikasi anak kepada orang tuanya. Proses identifikasi ini dimulai pada akhir masa early childhood, dimana anak mengalami perasaan bersaing dengan orang tua dari jenis kelamin yang sama untuk memperoleh perhatian dan afeksi dari 22 orang tua dengan jenis kelamin yang berbeda. Menurut Freud, identifikasi merupakan mekanisme dimana ego mencocokkan gambaran mental tentang objek yang diinginkan dengan persepsi aktual objek dalam kenyataan. Bila seorang mengidentifikasikan diri dengan orang yang ia kagumi dan ia hormati, berarti ia menyesuaikan sebagian dari karakteristik dirinya 23 menjadi seperti karakteristik orang tersebut. Berarti juga suatu proses dimana perkembangan kepribadian conform (menyesuaikan diri) dengan standar dan perilaku model yang signifikan. Dalam 21 Mutia Nauly, 22 Fear of Success Perempuan Bekerja (Yogyakarta: ARI, 2003), 26. 23 Ibid., 26.

  C.S Hall & G. Linzey, Introduction to Theories of Personality (New York: John Wiley & Sons, 1985), 174.

  Al-Tahrir, Vol. 15, No. 2 November 2015 : 263-282

  hal ini peran jenis kelamin terjadi ketika anak mengidentifikasikan dirinya dengan model yang pertama kali dipilihnya, yakni orang tua.

  Kedua, Pendekatan Belajar Sosial. Teori belajar sosial

  menekankan pentingnya penguatan (

  reinforcement) dan hukuman

  (

  

punishment) dalam mempelajari peran jenis kelamin. Teori ini

  mengasumsikan bahwa orang tua baik disengaja ataupun tidak membentuk peran jenis kelamin yang sesuai dalam diri anaknya, misalnya anak perempuan dibentuk untuk berperilaku dibentuk untuk berperilaku feminism seperti rapi, bermain dengan boneka, penurut dan lain-lain sedangkan anak laki-laki lebih dibentuk untuk mandiri, agresif, berorientasi pada prestasi dan lain-lain yang 24 termasuk perilaku maskulin. Michael dan Bandura, tokoh social learning theory ini menekankan pentingnya pengaruh lingkungan dalam perolehan tingkah laku yang berhubungan dengan peran jenis kelamin. Meskipun adanya proses mental dalam diri anak juga diakui dalam teori ini, dalam hal pengkategorisasian diri mereka sebagai laki- laki dan perempuan. Kategori ini akan mempengaruhi bagaimana individu mempersepsi dan bereaksi terhadap pengalaman yang diterimanya. Ganjaran dan hukuman kemungkian membentuk harapan mengenai konsekuensi yang akan diterima sehubungan dengan perilaku tertentu. Harapan ini untuk selanjutnya akan 25 mempengaruhi tingkah laku yang akan ditampilkannya.

  Ketiga, Teori Kognitif. Menurut teori Kognitif bahwa perilaku

  anak meniru model dari jenis kelamin yang sama, karena ia termotivasi menuju suatu kompetensi, serta gambaran diri yang positif dan untuk 26 menguasai perilaku yang mereka anggap sesuai untuk dirinya.

  Teori ini mengemukakan bahwa masyarakat mengajarkan kepada anak dua hal mendasar mengenai peran jenis kelamin.

  

Pertama, masyarakat mengajarkan adanya jaringan yang luas dari

  asosiasi yang berhubungan dengan jenis kelamin yang merupakan skema kognitif. Kedua, masyarakat juga mengajarkan bahwa perbedaan jenis kelamin adalah relevan pada semua aspek kehidupan. 24 25 Nauly, Fear of Success, 28.

  Jk Jenkins & P. Macdonald, Growing Up Equal: Activities & Resources for Parents and Teachers of Young Children (USA: Prentice Hall, 1979), 203. 26 Kohlberg, dalam Frieze, Irene et al., Women and Sex Role: a Social Psychological Perspective (USA: W.W Norton and Co, 1987).

  Nurussakinah Daulay, Transformasi Perempuan

  Ini berarti, masyarakat membuat skema peran jenis kelamin menjadi sesuatu yang penting. Seorang anak dalam hal ini, hanya akan memilih dimensi yang tepat bagi peran jenis kelaminnya dari dimensi kepribadian lainnya. Konsep dirinya merupakan pengenalan jenis kelamin. Kemudian anak belajar untuk mengevaluasi diri dalam pengertian skema peran jenis kelamin. Meskipun skema peran jenis kelamin tidaklah sama pentingnya bagi setiap individu, namun bagi individu yang memiliki pengenalan jenis kelamin yang kuat, hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting. Melalui pengenalan terhadap jenis kelaminnya, seorang individu akan dapat tampil sesuai dengan tuntutan masyarakat terhadap jenis kelamin tersebut. Orang ini akan mengandalkan peran jenis kelaminnya 27 untuk mengorganisir tingkah laku dan konsep dirinya. Secara keseluruhan ketiga teori ini sangat kuat dalam pembentukan identitas gender, diawali dari pembentukan gender dimulai sejak usia dini seperti yang dikemukakan pendekatan psikoanalisa, yaitu peran gender pada anak terjadi karena adanya proses identifikasi anak kepada orang tuanya sebagai model yang pertama kali dipilihnya dan ini dimulai dari anak sejak kecil. Anak perempuan akan mengidentifikasikan dirinya kepada figur ibu, demikian pula dengan anak laki-laki akan mengidentifikasikan dirinya kepada figur ayahnya. Kemudian diperkuat menurut para ahli belajar sosial bahwa anak membentuk peran jenis kelamin dengan cara belajar melalui imitasi (peniruan) dan adanya ganjaran terhadap perilaku yang konsisten dengan jenis kelaminnya. Setelah anak perempuan mengidentifikasikan dirinya terhadap figur ibu, anak perempuan banyak belajar dan meniru dari perilaku ibunya, misal ketika anak perempuan mampu menyelesaikan pekerjaan yang sesuai dengan jenis kelaminnya seperti memasak, mencuci, menjaga adik, maka anak akan mendapatkan ganjaran (

  reward) atas keberhasilannya dalam menyelesaikan pekerjaannya tersebut.

  Tentunya hal ini akan semakin memperkuat jenis kelaminnya sebagai perempuan. Selanjutnya ketika anak semakin bertambah usianya, tentunya kemampuan kognitif anak juga akan semakin berkembang. Anak akan lebih mampu mengenali peran jenis kelaminnya yang dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya setempat sehingga akan tampil dalam tingkah laku sesuai dengan yang diharapkan. 27

  Al-Tahrir, Vol. 15, No. 2 November 2015 : 263-282

TRANSFORMASI PEREMPUAN DAN FEAR OF SUCCESS

  Penulis mengambil sub judul transformasi perempuan dan fear

  

of success sebab memiliki keterkaitan. Dalam pembahasan ini,

  penulis berpendapat bahwa terdapat hubungan yang erat antara transformasi perempuan dengan fear of success, artinya dalam diri perempuan akan timbul perasaan takut terhadap kesuksesan yang diraihnya. Perempuan memiliki kemauan yang kuat untuk berprestasi dalam pencapaian aktualisasi dirinya, namun motivasi mereka untuk berprestasi dikurangi oleh pandangan masyarakat yang negatif tentang kesuksesan bagi perempuan. Masih ada pandangan dalam masyarakat bahwa perempuan harus mengingat kodratnya sebagai ibu dan sebagai istri yang harus mengutamakan kebutuhan keluarganya daripada berkarir di luar rumah.

  Di era modernisasi ini, wanita dituntut untuk memiliki sikap mandiri, di samping suatu kebebasan untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia yang sesuai dengan bakat yang telah dimilikinya. Profil wanita Indonesia saat ini dapat digambarkan sebagai manusia yang harus hidup dalam situasi dilematis. Di sisi lain wanita Indonesia dituntut untuk berperan dalam semua sektor, tetapi di sisi lain muncullah tuntutan lain agar wanita tidak melupakan kodrat 28 mereka sebagai wanita. Perempuan sebagai warga negara mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan laki-laki di segala bidang kehidupan bangsa dan segenap kegiatan pembangunan. Namun demikian perlu diingat bahwa partisipasi dan sumbangan terhadap pembangunan bangsa harus sesuai dengan kodrat, harkat dan 29 martabatnya sebagai perempuan. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya rasa cemas dalam diri wanita bahwasanya perempuan ketika ingin berkarir lebih tinggi tetap harus mengingat kodratnya yang berperan sebagai seorang istri dan ibu.

  Para perempuan dewasa muda yang memiliki pendidikan tinggi mengalami konflik antara gambaran diri mereka sebagai individu yang mampu berkarya dengan harapan masyarakat terhadap dirinya. Orientasi berprestasi pada diri mereka dipandang masyarakat 28 Denrich Suryadi, et.al., “Gambaran Konflik Emosional dalam Menentukan Prioritas Peran Ganda”, Jurnal Ilmiah Psikologi Arkhe, 1 (Januari, 2004), 61. 29 Sabar Marniyati, “Pemberdayaan Perempuan”, Responsibiltas, Vol. 3 No. 1 (edisi Mei, 2011), 20.

  Nurussakinah Daulay, Transformasi Perempuan

  sebagai suatu hal yang bersifat kelaki-lakian (maskulin). Keadaan ini menyebabkan mereka sepertinya terjebak antara usaha untuk berprestasi dengan bayangan diri mereka sebagai perempuan. Bila mereka mengikuti keinginan untuk terus berkarir dan berprestasi, akan timbul kecemasan terhadap penilaian masyarakat dan 30 kecemasan akan kehilangan sifat keperempuanannya. Paradoks kedudukan wanita dan tuntutan sosial budaya terhadap kaum wanita untuk selalu bersikap dan berperilaku berpusat pada keluarganya inilah yang sering menimbulkan konflik pada diri wanita yang bekerja, yaitu konflik antara idealnya wanita 31 secara budaya dan wanita sebagai sumber daya manusia. Konflik ini sering membuat wanita karir lebih memilih menghindari sukses, karena wanita merasa dirinya cenderung mendapat tekanan sosial, sehingga ia merasakan suatu kecemasan, perasaan bersalah, merasa 32 tidak feminin, dan mementingkan diri sendiri. Menurut Horner, seorang ahli psikologi bahwa dalam diri perempuan terdapat ketakutan untuk sukses (

  fear of success) atau

  motivasi untuk menghindari kesuksesan. Motif ini timbul karena adanya konsekuensi-konsekuensi negatif yang tidak menyenangkan sehubungan dengan keberhasilan perempuan. Konsekuensi negatif tersebut antara lain adalah penolakan lingkungan akan keberhasilannya serta kehilangan feminitas. Perempuan yang cerdas memiliki pandangan yang mendua terhadap kesuksesan. Dia mengetahui bahwa ia gagal pada satu tugas dan ia tidak memenuhi standar keberhasilannya, namun di sisi lain dia mengetahui jika ia berhasil pada suatu tugas ia dapat ditolak karena tidak memenuhi 33 standar masyarakat tentang feminitas. Keadaan seperti ini merupakan psikologis pada perempuan untuk berprestasi dan dapat disebut fear of success.

  Gejala adanya fear of success pertama kali ditemukan oleh Horner (1965). Ia mendapatkan konsep ini berdasarkan suatu 30 31 Nauly, Fear of Success, 3.

  L. Devianty, Profil Fear of Success pada Wirausahawati Wanita (Jakarta: Unika Atma Jaya, 2007. http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=124660. Akses pada tanggal 4 Sept 2015 32 33 Ibid.

  MS. Horner, “The Measurement and Behavioral Implications of Fear of Success Women”, dalam Fear of Success Perempuan Bekerja, (ed.) Mutia Nauly (Yogyakarta: ARI. 2003), 4.

  Al-Tahrir, Vol. 15, No. 2 November 2015 : 263-282

  usaha untuk menjelaskan adanya permasalahan yang belum selesai mengenai perbedaan pria dan perempuan pada penelitian awal tentang motif untuk berprestasi. Gejala fear of success ini menurut Horner merupakan suatu hambatan psikologi yang membuat perempuan kurang dapat berprestasi, terutama dalam situasi yang 34 kompetitif dengan pria. Sebagai seorang ibu dan perempuan bekerja, maka perempuan harus mendapatkan izin dan ridha dari suami untuk dapat meniti karirnya. Perempuan juga harus mempertimbangkan kembali akan pengasuhan anak-anak jikalau dirinya sebagai ibu yang bekerja di luar rumah. Inilah yang kemudian memunculkan fenomena dan dilema bagi perempuan yang bekerja. Terkadang timbul rasa cemas dalam diri perempuan, apakah ia akan tetap melanjutkan karirnya sedangkan di sisi lain perannya sebagai seorang ibu atau perempuan dewasa yang takut akan mengurangi feminitasnya. Proses sosialisasi ini mengarahkan perempuan terhadap antisipasi akan kehilangan feminitasnya (

  loss of feminity). Kehilangan