NARASI TRAGEDI KEMANUSIAAN 1965 PADA MASA ORDE BARU DAN PASCA ORDE BARU

  

NARASI TRAGEDI KEMANUSIAAN 1965 PADA MASA ORDE

BARU DAN PASCA ORDE BARU

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

  

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh :

Dian Beni Yuda

  

NIM: 061314023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

HALAMAN PERSEMBAHAN

  Kupersembahkan karyaku ini kepada Tuhan Yesus Kristus, Bunda Maria, dan malaikat pembimbingku, atas penyertaan Roh Kudus yang selalu membimbing dan menyertai langkah hidupku, Orang tuaku, Bapak Petrus Mida dan Ibu Radiyati yang telah membesarkan dan mendidikku dengan penuh cinta dan kasih sayang, Adikku Novita Dewi Yuda dan sepupuku Alexander Andi Kurnianto yang telah membantu, memberikan doa, semangat dan dukungan, Seluruh keluarga besarku yang mengharapkan kelulusanku,

  Para Pendidik dan sahabat-sahabat ku di Pendidikan Sejarah, Almamaterku Universitas Sanata Dharma.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  

MOTTO

Kesuksesan jangan diukur dengan uang dan kekuasaan. Senyata-nyatanya sukses

adalah ketika kamu bahagia dan bisa tertawa lepas tanpa beban.

  

Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi

kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena

Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab

kuk yang kupasang itu enak dan bebanKu pun ringan.

  

(Mat 11:28-30).

Kebaikan yang kau lakukan hari ini, mungkin besok akan dilupakan orang. Tetapi,

teruslah berbuat baik.

  

(Mother Theresa)

Berikan yang terbaik dari apa yang kau miliki, dan itu mungkin tidak akan pernah

cukup. Tetapi, tetap berikanlah yang terbaik.

  

(Mother Theresa)

Sadarilah bahwa semuanya itu ada diantara engkau dan Tuhan. Tidak akan pernah

ada antara engkau dan orang lain. Jangan pedulikan apa yang orang lain pikirkan

atas perbuatan baik yang kaulakukan. Tetapi, percayalah bahwa mata Tuhan

tertuju pada orang-orang yang jujur, dan Dia dapat melihat ketulusan hatimu.

  

(Mother Theresa)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  

ABSTRAK

NARASI TRAGEDI KEMANUSIAAN 1965 PADA

MASA ORDE BARU DAN PASCA ORDE BARU

Dian Beni Yuda

Universitas Sanata Dharma

  

Yogyakarta

2013

Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis : (1)

Tragedi kemanusiaan 1965 dinarasikan pada masa Orde Baru. (2) Tragedi

kemanusiaan 1965 dinarasikan pasca Orde Baru.

  Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan

pendekatan historis, sosiologis, dan politik, sehingga model penulisannya bersifat

deskriptif analisis.

  Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, (1) Tragedi Kemanusian tahun

1965 pada masa Orde Baru dinarasikan lewat beberapa cara diantaranya lewat

film, buku pelajaran dan program P4, inti dari narasi yang disampaikan adalah

menyatakan bahwa tragedi 1965 adalah kesalahan tunggal yang dilakukan oleh

PKI dan PKI lah yang harus bertanggung jawab atas tragedi tersebut. (2) Pasca

Orde Baru runtuh, narasi tragedi 1965 disampaikan lewat buku-buku, film, dan

forum-forum publik yang membahas mengenai tragedi 1965 dengan sudut

pandang yang lain, meskipun versi Orde Baru masih dijadikan versi resmi

pemerintah namun versi lain mengenai tragedi 1965 ini sudah dapat diakses oleh

masyarakat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  

ABSTRACT

NARRATION OF HUMAN TRAGEDY OF 1965 IN

ORDE BARU AND AFTER ORDE BARU

Dian Beni Yuda

Sanata Dharma University

  

Yogyakarta

2013

The purposes of this thesis are to describe and to analyze: (1) The human

tragedy in 1965 narrated by the Orde Baru. (2) The tragedy of humanity in 1965

narrated after the Orde Baru.

  This thesis uses the historical research method that consist of historical,

sociological, and political approach, so that the written type is analyzing

description writing.

  These research results indicate that, (1) The narratives about the human

tragedy of 1965 during the Orde Baru was dominated by only one version, the

goverment’s official version said that the PKI was the mastermind and the only

party that should responsible for the tragedy of 1965. (2) After the Orde Baru

collapsed, the narratives of the 1965 tragedy got more diverse, more books about

the 1965 tragedy was emerged, but the spirit of using the "official" version of the

1965 tragedy remained.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat- Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Narasi Tragedi Kemanusiaan 1965 Pada Masa Orde Baru Dan Pasca Orde Baru

  ”.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana

Pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, Program Studi Pendidikan Sejarah.

  Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak terlepas dari batuan

berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan

terimakasih kepada: 1.

  Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

  4. Dr. Anton Haryono, M.Hum., selaku dosen pembimbing yang telah sabar membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran serta masukan selama penyusunan makalah ini.

  5. Seluruh dosen dan pihak sekretariat Program Studi Pendidikan Sejarah yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan studi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  6. Romo Bakara T. Wardaya yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini baik dari sisi spiritual, dorongan semangat serta dukungan materi. Terima kasih Romo.

  7. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma dan perpustakaan pribadi Romo Baskara yang telah menjadi tempat penulis memperoleh sumber makalah ini.

  8. Kedua orangtua penulis yang telah memberikan dorongan spiritual dan material sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma.

  9. Sepupu saya Alexander Andi Kurnianto dan adik saya Novita Dewi Yuda yang membantu saya begadang hingga pagi demi menyelesaikan makalah ini.

  10. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

  Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu

penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun bagi makalah

ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya.

  Yogyakarta, 8 Juli 2013 Penulis, Dian Beni Yuda

  

DAFTAR ISI

Halaman

  HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................. iv HALAMAN MOTTO ............................................................................................ v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................................ vi LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.................................................................................................. vii

ABSTRAK ............................................................................................................. viii

ABSTRACT ............................................................................................................ ix KATA PENGANTAR ............................................................................................ x DAFTAR ISI .......................................................................................................... xii

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xiv

  BAB I: PENDAHULUAN...................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1 B. Permasalahan................................................................................................ 8 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ..................................................................... 9 BAB II: NARASI TRAGEDI 1965 PADA MASA ORDE BARU .................... 11 A. Narasi Umum Di Masyarakat ..................................................................... 12 B. Narasi Melalui Buku-buku Pelajaran .......................................................... 14 C. Narasi Melalui Film .................................................................................... 16 D. Indoktrinasi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) .............................................................................................. 17 BAB III: NARASI TRAGEDI 1965 PASCA ORDE BARU ............................. 21 A. Munculnya Semangat Keterbukaan Di Masyarakat .................................... 22

  B.

  Munculnya Kembali Semangat Orde Baru ................................................ 35

  BAB IV: KESIMPULAN ...................................................................................... 39 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 43 LAMPIRAN ........................................................................................................... 46

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Apa yang terjadi antara bulan-bulan terakhir tahun 1965 dan bulan-bulan

  

pertama tahun 1966 merupakan peristiwa besar bagi kemanusiaan. Tidak hanya

bagi Indonesia, melainkan juga bagi dunia pada umumnya. Diperkirakan 500 ribu

  1

sampai 1 juta jiwa menjadi korban pembantaian dalam masa itu. Peristiwa yang

lebih tepat disebut tragedi kemanusiaan ini tidak terjadi pada masa perang ataupun

konfrontasi, melainkan pada masa damai, di mana Indonesia yang baru dua puluh

tahun merdeka kini sedang mulai menata kehidupan sebagai bangsa yang bebas

dari penjajahan asing. Pada waktu itu sesama anak-anak bangsa saling bunuh

hanya karena perbedaan ideologi dan karena saling men-cap pihak lain sebagai

pesaing dan sebagai “musuh politik”.

  Peristiwa besar ini berawal dari terbunuhnya 7 perwira tinggi militer pada

dini hari 1 Oktober 1965. Dari tujuh korban yang jatuh, enam di antaranya adalah

jendral angkatan darat dan seorang Perwira tinggi. Peristiwa 1 Oktober itu

kemudian disusul dengan beredarnya kabar bahwa sebelum dibunuh, para jendral

ini disiksa dengan keji.

  James Luhulima dalam bukunya “Menyingkap Dua Hari

  2 Sejak itu semua Tergelap di Tahun 1965” menyebutnya sebagai “brutalisasi”. 1

mata tertuju ke PKI (Partai Komunis Indonesia), karena PKI-lah yang dituduh

Diambil dari Film 40 years of silence adalah sebuah film dokumenter tentang peristiwa ’65 di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  2

sebagai kelompok yang bertanggung jawab atas pembunuhan para jendral itu.

  

Saat itu antara PKI dan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan saat

ini disebut TNI / Tentara Nasional Indonesia) sedang terjadi persaingan untuk

merebut kekuasaan dari tangan Presiden Sukarno. Kecurigaan ini terjadi karena

sejak beberapa bulan terakhir sebelum terjadinya peristiwa tersebut telah terjadi

gesekan kepentingan antara PKI dengan ABRI yang sama-sama ingin merebut

kekuasaan dari tangan Presiden Sukarno yang saat itu mulai sering sakit.

  Desas-desus yang dihembuskan dan terlanjur beredar di masyarakat bahwa

PKI adalah pelaku pembantaian dan penyiksaan terhadap para jendral mendorong

kemarahan masyarakat terhadap PKI dan organisasi-organisasi yang berafiliasi

  3

kepadanya. PKI dan simpatisannya mulai diburu. Terjadilah pembantaian

  4

terhadap anggota PKI di mana-mana, di Jawa dan di Bali serta pulau-pulau lain.

  

Ratusan ribu orang ditahan dan dipisahkan dari keluarga mereka. Banyak dari

mereka yang juga dibuang hingga ke pulau Buru (di Maluku) sebagai tahanan

politik. Hampir semuanya dihukum tanpa melalui proses peradilan sebagaimana

yang berlaku di sebuah negara hukum. Sejak saat itu situasi politik Indonesia pun

masuk ke dalam masa gelap.

  5 Di tengah gelapnya periode sejarah itu muncullah narasi resmi yang dibuat

oleh Orde Baru, yang intinya menuduh PKI sebagai satu-satunya pihak yang

bertanggung jawab atas terbunuhnya para jendral angkatan darat pada tanggal 1

3 Oktober 1965 tersebut. Selain itu narasi tersebut juga membenarkan pembantaian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  3

  

terhadap ratusan ribu nyawa dari orang-orang yang dibunuh pada tahun 1965-

1966 itu dengan memandangnya sebagai sebuah tindakan balas dendam yang

“wajar” dari masyarakat. Selama pemerintahan Orde Baru berkuasa, narasi itu

terus diulang dan dijadikan sebagai salah satu alat pembenaran bagi kekuasaan

rejim tersebut. Namun demikian, ketika pada tahun 1998 Orde Baru tumbang,

mulai muncul narasi-narasi lain sebagai tandingannya. Narasi-narasi lain itu

berupaya memberikan pandangan yang lebih luas dan lebih bisa diterima akal dari

pada narasi ciptaan Orde Baru. Untuk beberapa saat setelah tumbangnya Orde

Baru narasi-narasi itu diterima. Namun demikian, tak lama kemudian mulai

muncul reaksi-reaksi balik yang intinya mendukung kembali narasi Orde Baru

tersebut.

  6 Studi mengenai narasi-narasi yang beredar itu penting, karena tragedi atau

peristiwa yang menjadi dasar bagi narasi-narasi tersebut merupakan peristiwa

yang penting, namun yang sekaligus masih “gelap” dalam sejarah bangsa Indonesia. Tujuannya bukan untuk

  “mengungkit-ungkit luka lama” melainkan

untuk mempelajarinya guna memperoleh pelajaran dan pembelajaran yang

berharga bagi bangsa Indonesia, khususnya berkaitan dengan masalah kejujuran,

keterbukaan dan kedewasaan sebagai bangsa. Tragedi 1965 begitu besar

pengaruhnya bagi perjalanan bangsa Indonesia. Tragedi itu tidak hanya

mengakibatkan kehidupan jutaan anak bangsa hilang dan berubah melainkan juga

telah mendorong terjadinya transisi kekuasaan pemerintahan secara berdarah, di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  4

  

mana ribuan bahkan mungkin jutaan nyawa anak bangsa melayang. Diharapkan

bahwa dengan mempelajari tragedi tersebut berikut narasi atasnya kita bisa

menghindarkan diri dari kemungkinan terjadinya hal serupa.

  Permasalahan yang sesungguhnya adalah bahwa pada masa Orde Baru

narasi-narasi yang beredar luas di masyarakat adalah narasi sepihak, yakni narasi

dari pemerintah Orde Baru tanpa adanya penyeimbang informasi. Jikapun ada

sifatnya underground atau sembunyi-sembunyi, dan tentu saja ilegal dan tidak

diakui kebenarannya oleh para penguasa. Setiap media masa seperti koran-koran

dan majalah-majalah bahkan dibreidel atau dilarang terbit jika memberikan versi

lain mengenai peristiwa 1965. Begitu pula yang terjadi pada masa pasca Orde

Baru. Ada lebih banyak informasi mengenai tragedi 1965 , tetapi tetap saja versi

pemerintah Orde Baru yang secara resmi diakui.

  Melihat sebuah peristiwa tidak cukup hanya dari satu sisi, tetapi perlu

melihatnya dari berbagai sisi. Dalam melihat sebuah objek seperti sebuah rumah,

misalnya, setiap orang pasti memiliki pandangan yang berbeda tentang rumah

tersebut, tergantung dari mana seseorang memandangnya, entah itu dari depan,

dari samping atau dari belakang. Begitu pula dengan tragedi 1965. Ada banyak

perspektif yang bisa (dan sudah) digunakan orang dalam melihat dan menarasikan

tragedi kemanusiaan tersebut. Untuk itu perlu dilakukan studi terus-menerus tidak

hanya tentang peristiwanya, melainkan juga tentang bagaimana peristiwa itu

dinarasikan oleh berbagai kelompok dalam berbagai periode dalam masyarakat

Indonesia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  5 Selain penting, studi mengenai tragedi kemanusiaan di tahun 1965 ini juga

  

menarik, karena terdapat perbedaan-perbedaan narasi mengenai beberapa

peristiwa yang terjadi di dalamnya. Ambillah contoh narasi tentang penyiksaan

para jendral yang dilakukan oleh PKI. Menurut versi resmi, namun juga menurut

banyak buku yang terbit pasca Orde Baru, terjadi penyiksan atas para jendral

sebelum dibunuh, dan hal itu dilakukan oleh para anggota PKI, termasuk

kelompok organisasi perempuannya. Berkat narasi-narasi seperti itu PKI tampak

begitu keji, sehingga “layak” dibalas secara keji pula. Akumulasi dari narasi-

narasi yang diterima masyarakat selanjutnya membentuk opini publik tentang

siapa yang salah siapa yang benar, narasi-narasi yang beredar pula lah yang

memberi “pembenaran” atas pembantaian yang dilakukan.

  Narasi seputar tragedi kemanusiaan di tahun 1965 tidak hanya disampaikan

melalui cerita dari mulut kemulut, melainkan juga melalui koran, majalah serta

film. Sangat menarik apabila kita melihat peran koran dalam menggiring opini

publik pasca peristiwa penjemputan paksa para jendral ini. Fungsinya sebagai

sumber informasi menjadi krusial karena pada saat itu masyarakat kebingungan

dengan apa yang sebenarnya terjadi pada dini hari 1 Oktober 1965 itu dan sumber

yang paling cepat dan mudah untuk mendapatkan informasi tentang peristiwa

tersebut adalah koran. Pada tanggal 2 Oktober 1965 koran-koran nasional dilarang

te

rbit kecuali koran milik angkatan darat yaitu “Berita Yudha” dan “ Harian

Angkatan Bersenjata” dan hanya ada 1 koran di luar koran angkatan darat yang

boleh terbit yaitu koran “Harian Rakyat” yang notabene berafiliasi dengan PKI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  6

  

dengan koran, majalah ataupun film yang muncul dimasa Orde Baru memiliki

peran sangat krusial dalam membentuk opini di masyarakat. Bagaimana

dilustrasikan di dalam film mengenai peran masing-masing pihak yang terkait

dengan peristiwa tersebut. Lebih menarik lagi adalah jika kita sedikit

membandingkan dengan narasi-narasi yang ada pada saat ini, pasca rezim Orde

Baru runtuh, saat di mana arus informasi relatif lebih beragam dan informasi

mengenai peristiwa jauh lebih terbuka. Jika kita telaah informasi dari kedua era

tersebut (Orde Baru dan masa setelah Orde Baru runtuh) terdapat perbedaan narasi

di dalamnya, inilah kenapa penulis memandang bahwa studi ini menarik dan

penting untuk dikaji, dengan harapan me mberi sedikit “terang” di “gelap” nya peristiwa 1 Oktober 1965 dan tragedi kemanusian yang mengikutinya.

  Membahas dan membandingkan narasi-narasi yang ada tentang tragedi 1965

baik itu yang berasal dari masa Orde Baru maupun yang berasal dari masa pasca

Orde Baru akan memberikan sebuah perspektif baru yang diharapkan akan bisa

membantu menjadikan bangsa ini lebih bijak dan terbuka serta berani dan jujur

dalam mempelajari sejarah bangsanya. sebagaimana disinggung di atas, narasi-

narasi atas apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 telah menjadi trigger

atau pemicu bagi terjadinya peristiwa berdarah dalam bentuk pembantaian ratusan

ribu manusia Indonesia oleh orang Indonesia sendiri. Inilah salah satu alasan

mengapa penulis merasa bahwa narasi-narasi tentang tragedi kemanusiaan 1965

sangat perlu dibahas. Di dalam setiap narasi biasanya terdapat unsur

“pembenaran” atau “kebenaran” tertentu yang perlu diurai dan dibahas.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  7 Indonesia adalah bangsa yang besar, baik dari segi luas wilayah, dari segi

  

jumlah penduduk, maupun dari segi budayanya. oleh karena itu sudah selayaknya

bangsa Indonesia menghargai sejarahnya sendiri. Tahun 1965 adalah tahun di

mana Indonesia mengalami tragedi kemanusian dengan segala dampaknya.

Sayangnya tragedi kemanusiaan ini masih “gelap”, belum secara jelas dinarasikan

apa sebenarnya yang terjadi, yang kita tahu hanyalah bahwa waktu itu ada banyak

orang yang menjadi korban, baik itu kehilangan nyawa, dipenjara maupun

mendapatkan cap bersalah.

  Lewat tulisan ini penulis berharap bahwa pembaca akan dapat melihat

bagaimana narasi-narasi seputar peristiwa pembunuhan ditanggal 1 Oktober 1965

dan pembunuhan massal yang mengikutinya disampaikan secara berbeda pada

masa pemerintahan Orde Baru dan setelahnya. Narasi-narasi yang berkembang di

masyarakat kemudian akan menjadi wacana publik yang berlanjut menjadi opini

publik dan kemudian menjurus kepada “penghakiman” publik terhadap sebuah

peristiwa dan mereka yang terlibat di dalamnya. Dalam konteks narasi Orde Baru

tentang tragedi kemanusiaan tahun 1965 opini publik yang dilahirkan telah

menyebabkan dipersalahkannya PKI dan dianggap layaknya tindakan untuk

”membasmi”-nya. Sementara itu para pelaku dibenarkan sepenuhnya, dan atas

dasar pembenaran itu mereka lantas menguasai Indonesia selama lebih dari 30

tahun. Kalau kita tidak hati-hati, hal seperti itu bisa terjadi lagi di Indonesia ini.

  

Oleh karena itu kita perlu belajar dari masa lalu kita, agar hal seperti itu tidak

terulang.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  8 B.

   Permasalahan Latar belakang masalah di atas menunjukkan adanya perbedaan narasi yang

beredar di masyarakat seputar peristiwa 1 Oktober 1965 dan tragedi kemanusiaan

yang mengikutinya pada tahun 1965 sampai Rezim Orde Baru runtuh dengan

narasi-narasi yang ada pasca Orde Baru tidak lagi berkuasa. Perbedaan-perbedaan

narasi yang ada di masa Orde Baru dengan di masa setelahnya, setelah rezim itu

runtuh mendorong penelitian perlu untuk dilaksanakan.

  Permasalaan pertama yang akan dibahas adalah narasi-narasi tentang

Tragedi 1965 yang ada pada masa Orde Baru yang nanti di dalamnya akan

dibahas narasi-narasi umum di masyarakat, narasi- narasi yang “ditawarkan” lewat

buku-buku ajar, narasi lewat film dan diimplementasikan lewat indoktrinasi

melalui program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).

  Permasalahan kedua yang ingin diteliti adalah narasi Tragedi 1965 pada

masa pasca Orde Baru runtuh. Narasi-narasi tersebut dapat dilihat dari

diterbitkannya buku-buku yang bersifat kritis akademik, diselenggarakannya

forum-forum publik tentang Tragedi 1965, diterbitkannya memoar para survivor,

diproduksinya film-film di sekitar topik Tragedi 1965 tentu saja dengan sudut

pandang berbeda dengan sudut pandang yang ditawarkan di masa Orde Baru,

permintaan maaf Gus Dur kepada korban Tragedi kemanusiaan 1965, dan lewat

laporan dan rekomendasi Komnas HAM tahun 2012 soal Tragedi 1965, di bagian

ini pula akan dibahas bagaimana semangat Orde Baru yang semula “meredup”

sedikit demi sedikit muncul lagi lewat buku-buku ajar dan juga pelarangan-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  9

  

pelarangan diputarnya film-film tentang Tragedi 1965 yang tidak sesuai dengan

versi resmi pemerintah.

  Berdasarkan latar belakang tersebut, adapun rumusan masalah dalam penulisan ini, adalah:

  1. Bagaimana tragedi kemanusiaan 1965 dinarasikan pada masa Orde Baru?

  2. Bagaimana tragedi kemanusiaan 1965 dinarasikan pasca Orde Baru? C.

   Tujuan Penulisan Sesuai rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini adalah : a.

Mendeskripsikan narasi-narasi tentang Tragedi 1965 pada masa Orde Baru.

  b.

  

Mendeskripsikan narasi-narasi tentang Tragedi 1965 pada masa pasca Orde

Baru.

D. Manfaat Penulisan

  Manfaat Penulisan ini adalah : a. Bagi Universitas Sanata Dharma Selain untuk melaksanakan salah satu Tri Dharma perguruan tinggi khususnya bidang penelitian yaitu ilmu pengetahuan sosial, makalah ini diharapkan dapat memberikan kekayaan khasanah yang berguna bagi pembaca dan pemerhati sejarah di lingkungan Universitas Sanata Dharma.

  b.

  Bagi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai sejarah para tokoh bangsa dan peranannya, lebih khususnya tentang narasi-narasi yang ada tentang tragedi kemanusiaan tahun 1965 dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  10

  diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pelengkap dalam pembelajaran sejarah.

  c.

  Bagi Pembaca Makalah ini diharapkan mampu menarik minat pembaca untuk mempelajari tentang sejarah Indonesia kontemporer, khususnya mengenai Tragedi Kemanusiaan di tahun 1965.

BAB II NARASI TRAGEDI 1965 PADA MASA ORDE BARU Alur narasi tentang tragedi 1965 pada masa Orde Baru dimonopoli oleh

  pemerintah pada saat itu. Segala informasi tentang tragedi tersebut dikontrol oleh pemerintah. Mulai dari kronologi peristiwa penjemputan paksa para jendral sampai siapa yang kemudian dianggap bertanggung jawab, dalam hal ini adalah PKI. Dalam otobiografinya, ketika melihat Danyon 454 dan 530 tidak berada di tempat karena alasan ingin mengamankan presiden yang dikatakan akan dikudeta oleh Dewan Jendral Soeharto mengatakan:

  “Itu semua tidak betul, “sambut saya sambil menatap kedua kapten itu. “kamu tahu, Presiden Sukarno saat ini tidak ada di Istana. Coba kamu cek sendiri ke Istana kalau tidak percaya. Lagi pula Dewan Jendral itu tidak ada, yang ada adalah Wanjakti, dan tidak mungkin ada rencana kup. Saya sendiri menjadi anggota Wanjakti itu. Saya mengetahui betul, gerakan

  7 Untung ini pasti didalangi oleh PKI.

  Dari petikan ucapan Soeharto di atas telah men-judge PKI sebagai penanggung jawab peristiwa penjemputan dan pembunuhan 7 jendral pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965. Narasi tentang tragedi 1965 ini ada yang bersifat umum dan berkembang di masyarakat, yang penyebarannya dari mulut ke mulut, ada juga yang dinarasikan melalui buku-buku pelajaran di sekolah-sekolah. Selain kedua cara tersebut, narasi lain tentang tragedi 1965 disampaikan melalui film “Pengkhianatan G30S/PKI” yang isinya menunjukkan betapa mengerikannya peristiwa penjemputan paksa para jendral sampai penyiksaan yang dilakukan oleh 7 PKI. Hal lain yang dilakukan pemerintah dalam penyampaian narasi tentang

  

Otobiografi Soeharto, Soeharto : Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, hal. 120 tragedi 1965 adalah lewat indoktrinasi penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).

A. Narasi Umum Di Masyarakat

  Narasi yang beredar umum di masyarakat tidak dapat kita pisahkan dengan informasi yang beredar lewat surat kabar (koran) dan radio pada saat itu. Mayjen Soeharto, dalam kedudukannya sebagai Panglima Kostrad, secara sepihak mengumumkan keadaan darurat. Ia menelepon Men/Pangal Laksdya Laut RE Martadinata, Men/Pangak Inspektur Jendral Polisi Sutjipto Judodihardjo, dan Men/Pangau Laksdya Udara Omar Dani, yang diterima oleh Panglima Koops AU Komodor Udara Leo Wattimena, untuk memberi tahu bahwa ia untuk sementara

  8

  mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat . Setelah merebut kembali RRI pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul 18.00, Mayjen Soeharto membuat ketentuan bahwa setiap berita atau pengumuman apa pun yang akan disiarkan RRI

  9 harus melalui dan seizin dirinya .

  Pada tanggal 4 Oktober 1965, pagi hari, dengan bantuan pasukan Pengintai Amfibi (Taifib) KKO, penggalian sumur untuk mengeluarkan jenazah enam jendral dan seorang perwira Angkatan Darat itu dilanjutkan, setelah sempat digali saat malamnya. Penggalian itu berlangsung di bawah pengawasan Panglima Kostrad Mayjen Seoharto, dan diliput secara luas oleh media massa.

  8 9 Luhulima, James , hal. 107

  Selesai penggalian jenazah para jendral dan perwira pertama Angkatan Darat di Lubang Buaya, Pondok Gede, Panglima Kostrad Mayjen Seoharto mengatakan :

  “Bahwa dengan penggalian djenazah-djenazah ini, djelaslah bagi kita jang menjaksikan dengan mata kepala sendiri betapa kedjamnja aniaja jang telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab dari apa jang dinamakan “Gerakan 30 September”.

  Ketudjuh djenazah para Pahlawan TNI/AD itu, 6 orang Djendral dan seorang Perwira Pertama, diketemukan dalam keadaan tubuh jang djelas penuh siksaan. Bekas-bekas luka di sekudjur tubuh akibat siksaan sebelum ditembak masih membalur tubuh-tubuh Pahlawan-Pahlawan kita.

  Melihat tempat di mana djenazah-djenazah itu diketemukan, jakni Lubang Buaya, daerah ini djelas merupakan bagian dari daerah Pangkalan Udara Halim. Satu fakta lagi, melihat sumur jang dipergunakan tempat menanam majat ini telah pula mendjadi pusat daerah latihan Sukarelawan/Sukarelawatijang dilaksanakan AURI. Mereka terdiri dari Pemuda Rakjat dan Gerwani.

  Mungkin mereka itu dalam rangka latihan pertahanan pangkalan, tetapi dengan tertangkapnja seorang anggota Gerwani di Tjirebon jang berasal dari Djawa Tengah, teranglah mereka berasal jauh dari sini (Djakarta-Pen). Dengan fakta-fakta, mungkin jang diamanatkan oleh Presiden jang tertjinta Bung Karno bahwa AURI tidak terlibat, mungkin ada benarnja, tapi tidaklah mungkin kalau tidak ada hubungan antara oknum- oknum anggota AURI dengan peristiwa pembunuhan jang kedjam ini.

  Sebagai warga anggauta Angkatan Darat, saja mengetuk djiwa dan peresaan daripada patriot-patriot anggauta AURI bila ada oknum-oknum jang terlibat dalam pembunuhan Djendral-djendral jang tidak berdosa ini mudah-mudahan patriot-patriot AURI akan dibersihkan djuga anggauta- anggauta AURI dari petualang-petualang jang terlibat.

  Saja mengutjapkan terima kasih dan rasa sjukur saja kepada Tuhan Jang Maha Esa jang pada achirnja menundjukkan kita bahwa semua tundakan jang tidak djudjur dan tidak baik akan tertindas. Penghargaan tinggi diberikan kepada Resimen RPKAD, KKO, Satuan-satuan lain dan

  10 Rakjat jang telah membantu usaha penggalian djenazah para djendral.”

  Narasi lain yang mendukung pernyataan Soeharto adalah Harian Angkatan

  

Bersendjata dan Berita Yudha edisi 5 Oktober. Harian Angkatan Bersendjata 10 menampilkan beberapa foto kabur dari mayat-mayat yang mulai membusuk lalu menggambarkan kematian mereka sebagai perbuatan barbar dalam bentuk penyiksaan yang dilakukan di luar batas-batas kemanusiaan. Sementara itu, Berita

  

Yudha menyebutkan mayat-mayat itu tertutup dengan tanda-tanda yang

  11 mengindikasikan adanya penyiksaan.

  Pada edisi 9 Oktober 1965, Berita Yudha bahkan melaporkan bahwa jasad Lettu Tendean mengalami luka sayatan pisau di dada sebelah kiri dan perutnya, lehernya telah di penggal, dan kedua matanya dicungkil keluar. Pada edisi 11 Oktober, Harian Angkatan Bersendjata menulis Pierre Tendean sebelumnya

  12 diperlakukan sebagai “barang mainan” Gerwani.

  Berdasarkan informasi yang diterima lewat media massa tersebut, maka pada umumnya masyarakat memandang bahwa peristiwa 1 Oktober tersebut adalah peristiwa di mana orang-orang PKI menculik dan membunuh 7 Jendral Angkatan Darat dengan kejam dengan menyiksa terlebih dahulu para Jendral tersebut sebelum mereka dibunuh. Tentu saja isu ini menyulut kemarahan masyarakat terhadap PKI dan simpatisannya.

B. Narasi Melalui Buku-buku Pelajaran

  Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu cara pemerintah Orde Baru menyampaikan narasi tentang tragedi 1965 adalah melalui buku-buku pelajaran di sekolah. Narasi yang ditawarkan oleh pemerintah Orde Baru, yakni menyebutkan Gerakan September 30 (G30S) adalah gerakan pengkhianatan yang 11 dilakukan oleh PKI untuk merebut kekuasaan dan mengganti dasar negara 12 Eros Djarot, dkk, Siapa Sebenarnya Soeharto, Jakarta, Mediakita, 2006, hal. 17

13 Pancasila dengan ideologi Komunis. Dalam otobiografi Soeharto yang menjadi

  acuan dalam penulisan sejarah tentang peristiwa dan tragedi 1965 ia mengatakan “... Saya tegaskan, menurut saya, ini bukan sekedar gerakan untuk menghadapi apa yang dikatakan Dewan Jenderal saja, melainkan lebih jauh dari itu. Mereka mengadakan gerakan kup untuk merebut kekuasaan negara secara paksa. Dan

  14

  pasti didalangi oleh PKI.” Disebutkan pula, untuk memenuhi ambisinya tersebut, PKI tidak segan- segan menghalalkan segala cara seperti menculik dan membunuh para perwira tinggi Angkatan Darat (AD). Untuk melaksanakan tujuannya, PKI melakukan beberapa langkah antara lain dengan melakukan propaganda untuk memprovokasi emosi massa lewat media massa yang dimiliki oleh PKI, selain itu adalah dengan menyebarkan isu Dewan Jendral untuk menciptakan image buruk terhadap pimpinan TNI AD.

  Karena alasan-alasan itulah kemudian seperti ada “pembenaran” dalam penumpasan PKI. Buku-buku pelajaran yang membahas mengenai peristiwa G30S ini umumnya menarasikan, peran PKI dalam G30S, hingga penumpasannya. Di sana penggambaran bahwa ABRI dan peran Soeharto sebagai “penyelamat” sangat ditonjolkan seperti yang terdapat pada bagian pembahasan

15 Penumpasan Gerakan G30 S/PKI , disebutkan bahwa Mayor Jendral Soeharto

  selaku Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD) mengambil

  13 Herimanto, Sejarah : Pembelajaran Sejarah Interaktif, Jakarta, PT Tiga Serangkai Pustaka 14 Mandiri, 2012, hal. 209 15 Otobiobrafi Soeharto, Op.Cit. hal. 121 alih komando Angkatan Darat dan mulai memimpin operasi penumpasan terhadap gerakan 30 September.

C. Narasi Melalui Film

  Film adalah sebuah media audio visual yang dapat menampilkan dengan jelas suatu peristiwa atau kejadian, mungkin karena hal tersebut maka pemerintah Orde Baru memilih media ini untuk menyampaikan narasi tentang tragedi 1965. Film tentang tragedi 1965 yang sangat dikenal di masyarakat adalah film “Pengkhianatan G30S/PKI”. Film yang dibuat pada tahun 1984 ini, menggambarkan secara gamblang adegan penyiksaan yang dilakukan Gerwani dan Pemuda Rakyat terhadap para jendral di Lubang Buaya. Dalam film ini digambarkan Gerwani dan Pemuda Rakyat menyilet, menyundut, dan mencungkil

  16 mata para jendral.

  Film Pengkhianatan G30S/PKI yang berdurasi sekitar 220 menit ini

diperoduksi pada 1984 dan almarhum Arifin C. Noer didapuk menjadi sutradara

film itu. Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto memerintahkan TVRI

untuk menayangkan film itu setiap tanggal 30 September. Murid-murid sekolah

  17

juga diwajibkan menonton film tersebut. Film Pengkhianatan G30S/PKI mulai

  18

ditayangkan pada 1984 hingga 1997 di TVRI. Selama 13 tahun ditayangkan di

16

televisi nasional dan ditonton oleh hampir seluruh rakyat Indonesia bahkan

17 Luhulima, James , hal. 12 http://www.tempo.co/read/news/2012/09/29/078432667/Film-Pengkhianatan-G30SPKI- 18 Propaganda-Berhasilkah. Diakses tanggal 31 Mei 2013

http://www.tempo.co/read/news/2012/09/29/078432682/Film-Pengkhianatan-G-30-SPKI-di-

Mata-Para-Pemeran . Diakses tanggal 30 Mei 2013

  

sampai ke pedalaman-pedalaman. Dengan demikian maka timbullah kebencian

masyarakat terhadap PKI, lewat film tersebut.

  Pada 2000, Tempo mengadakan survei lagi terhadap lebih dari 1.000

responden dari tiga kota terbesar di Indonesia. Ditanya dari mana mereka belajar

tentang sejarah 1965. Hasilnya, 90 persen responden menjawab dari film. Ketika

ditanya berapa kali mereka menonton Pengkhianatan G30S/PKI, sebagian besar

menonton dengan jumlah paling sering. Hanya 13 persen yang menonton sekali;

29 persen dua kali; 20 persen tiga kali, dan persentase terbesar (38 persen) sudah

menonton film itu lebih dari tiga kali. Kerangka berpikir Pengkhianatan

G30S/PKI masuk ke sumsum tulang sebagian besar masyarakat. Orang swasta

yang tertular kemudian ikut menebar kuman bertutur seperti film propaganda

  19 itu.