POLITIK AGRARIA MASA ORDE BARU

POLITIK AGRARIA MASA ORDE BARU
Makalah ini disiapkan guna memenuhi tugas akhir mata kuliah Sejarah Politik
Dosen Pengampu:
Dr. Hamdan Tri Atmaja, M.Pd.
Drs. Ibnu Sodiq, M.hum.

Oleh:
Bagas Yusuf Kausan
NIM 3111414034

JURUSAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017

A. Pendahuluan
Ada sebuah pepatah yang menyatakan semacam ini, “Sak dumuk bathuk,
sak nyari bumi” yang jika dikonversi ke dalam bahasa Indonesia, akan berbunyi
“Walau demi sejengkal tanah, nyawa bisa menjadi taruhannya”. Kiranya,
perkataan semacam ini banyak benarnya. Tanah sebagai panggung sejarah—tempat
dimana manusia lahir, tumbuh, berkembang, dan mati, tentu merupakan hal yang

sangat melekat dengan entitas manusia itu sendiri. Hampir segala tindak-laku dan
pemenuhan kebutuhan dasar manusia, berasal-muasal dari tanah. Menjadi wajar
ketika dalam banyak contoh kasus dan persoalan, manusia rela mempertaruhkan
nyawa untuk sepetak tanah tempat tinggalnya. Hal tersebut belum termasuk dengan
pertaruhan nyawa demi akses terhadap air, sumber daya alam, dan apa-apa saja
yang tumbuh diatas tanah sebagai pembentuk diskurs tentang ‘Agraria’ secara
keseluruhan.
Namun meski tanah secara jelas sangat berkaitan dengan diri manusia disatu
sisi, dan agraria sebagai elemen yang dekat dengan hajat hidup orang banyak disisi
lainya, persoalan mengenai agraria sangat tergantung dengan cara pikir dan pola
kebijakan yang diambil oleh pemerintahan setempat. Dalam satu lintasan sejarah
tertentu, bangsa Indonesia secara khusus pernah merasakan sebuah keberpihakan
pemerintah terhadap rakyatnya melalui usaha untuk menjadikan ‘Agraria’ sebagai
titik pijak menuju keadilan sosial yang telah dicita-citakan bersama. Akan tetapi
dalam lintasan sejarah tertentu pula, bangsa Indonesia pernah mengami suatu fase
ketika ‘Agraria’ menjadi faktor terjadinya konflik dan kemiskinan struktural yang
dirasakan masyarakat.
Ketika Presiden Soekarno memegang tampuk kekuasaan, bangsa Indonesia
pernah merumuskan sebuah produk kebijakan agraria yang berpihak secara jelas
terhadap rakyat. Kebijakan tersebut lahir dalam bentuk Undang-Undang Pokok

Pembaharuan Agraria (UUPA) tahun 1960. Hanya saja, sebelum produk hukum
tersebut dilaksanakan secara optimal, huru-hara politik tahun 1965 telah mengubur
dalam-dalam kebijakan agraria tersebut. Manakala tampuk kekuasaan berpindah ke
tangan Presiden Soeharto, produk kebijakan agraria tersebut—meski tidak
dihapus—seolah masuk peti dan sama sekali tidak menjadi rujukan dalam tiap-tiap

pengambilan keputusan politik terkait masalah agraria. Berangkat dari sana,
makalah ini mula-mula hendak dibuat. Secara khusus, makalah ini akan mencoba
menelisik kebijakan politik agraria pasca rezim pemerintahan Soekarno, atau ketika
rezim Orde Baru berkuasa selama lebih dari tiga puluh tahun lamanya. Kemudian
akan dicari pula dampak-dampak apa saja yang turut menyertai pilihan politik
agraria yang diyakini Pemerintahan Orde Baru.
B. Menjernihkan Definisi Agraria
Ketika kita mendengar pembendaharaan kata ‘agraria’, kita akan segera
terkoneksikan dengan jawaban bahwa agraria merupakan sebuah kata ganti dari
tanah. Hal tersebut berlaku ketika penulis mencoba melempar kata ‘agraria’ ke
hadapan teman-teman, dan jawaban diatas pun berlaku pula dilingkungan temanteman penulis. Kenyataan semacam ini mengandung beberapa dampak yang cukup
signifikan. Ketika agraria hanya dipahami sebagai sebuah kata ganti dari tanah,
maka dengan sendirinya ‘agraria’ telah mengalami degradasi maknanya, dan
tereduksi dimensi yang terkandung didalamnya. Padahal, agraria merupakan

sebuah wacana, kata, gagasan, dan studi yang sangat luas dan tidak hanya menyoal
masalah tanah.
Agraria, sebagimana yang dinyatakan oleh Ahmad Nashi Luthfi, bukan
hanya menyangkut tanah, namun termasuk apa-apa saja yang ada di bawah dan di
atasnya. Apa yang tumbuh diatasnya dapat berupa tanaman, pertanian, perkebunan,
dan kehutanan, lengkap dengan bangunan sosialnya. Sedangkan materi dibawahnya
adalah air dan berbagai bahan tambang dan mineralnya.1
Definisi yang bergitu luas dari ‘Agraria’ diatas, sebenarnya, tidaklah
bersifat baku. Karena pendefinisian tersebut mengalami pula perubahan-perubahan
pada masa-masa tertentu. Namun jika mengacu pada UUPA 1960, agraria
didefinisikan sebagai seluruh kekayaan alam yang terkandung didalamnya; baik di
bumi, air, dan ruang angkasa, yang berada dalam wilayah Republik Indonesia dan
merupakan Karunia Tuhan Yang Maha Esa2. Sedangkan perubahan-perbedaan
1

Ahmad Nashih Luthfi, Melacak Sejarah Pemikiran Agraria: Sumbangan Pemikiran Madzhab
Bogor, (Yogyakarta:2011, STPN Press) hlm. 2.
2
Lihat Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, dalam bab pertama; Dasar-Dasar dan ketentuan-Ketentuan Pokok Pasal 1 ayat 2.


pendifinsian agraria, sangat terkait dengan bagaimana agraria dipersepsi, serta
bagaimana konteks politik-ekonomi yang menghela pendefinisian agraria tersebut.
Dalam konteks tertentu, agraria dianggap serupa dengan tanah. Sementara dalam
konteks lainya, agraria hanya disinonimkan dengan pertanian. Bahkan, tak jarang
pula agraria ditautkan dengan pertumbuhan-pembangunan pedesaan yang
berkelindan dengan perluasan ala kapitalisme. Atau, tak jarang pula agraria hanya
diletakan dalam konteks pedesaan, dan meminggirkan agraria dari konteksnya di
perkotaan; baik terkait sulitnya akses mendapat sumber air yang telah diprivatisasi,
ataupun dalam kaitannya dengan laju konversi lahan pertanian menjadi lahan
industri.
Melalui kacamata diatas, agraria tidak mutlak secara ekslusif berlatar
pedesaan, namun termasuk pula dalam konteksnya di perkotaan. Selain itu, agraria
tidak serta-merta didudukan sebagai sinonim dari tanah atau pertanian semata, lebih
luas, agraria menyangkut pula ihwal-ihwal segala sumber daya alam yang
terkandung di atas tanah, segala hal yang tumbuh dari tanah, dan segala rupa
kandungan alam yang berasal dari bawah tanah. Termasuk dalam hal ini, agraria
mencakup pula kondisi sosio-kultural dan ekonomi-politik manusia-manusia yang
hidup, serta menghidupi tempatnya berpijak.
C. Kilas Balik Politik Agraria Sebelum Era Orde Baru
Modus kebijakan atau Politik Agraria dari Setiap Periode Sejarah3:

-

Pra-colonial Society  Tributary System or Pajeg

Colonial  Modern Taxation  Labor force for states enterprise 

-

Money Economy  Free peasant enterprise  Colonial reform
-

Japanese Occupation  Peasant mobilization for war economy
Republic of Indonesia  From Colonial to National Land System 
Agrarian Reform (UUPA & UUPBH)

Andi Achdian, “Kilas Sejarah Masalah Agraria”, dalam buku Pembentukan Kebijakan Agraria
Tahun 2006-2007: Bunga Rampai Perdebatan, (Yogyakarta: 2009, STPN Press) hlm. 26.

3


Pada masa berkuasanya raja-raja, kebijakan hukum mengenai tanah didasari
oleh sistem feodalisme yang berlaku di seluruh penjuru negeri. Potret agraria ketika
dibawah bayang-bayang feodalisme ialah bahwa; tanah adalah milik raja; atau raja
adalah pemilik tanah dalam kerajaannya. Disamping itu, rakyat pun adalah milik
raja juga yang dapat dipergunakan untuk kepentingan dan kehormatan sang raja4.
Konsekuensi dari praktik politik agraria semacam ini ialah bahwa akses-akses
terhadap agraria, semuanya dimonopoli oleh sang raja. Sedangkan masyarakat
biasa, dapat mengakses tanah dengan prasyarat bahwa dia memang diperintah oleh
sang raja, ataupun karena diberi hadiah tanah oleh sang raja karena berstatus
sebagai pejabat atau elit desa. Pada masa akhir Kerajaan Mataram, konsep semacam
ini disebut dengan sistem appanage, yaitu suatu bentuk penguasaan dan
penggunaan atas tanah itu dihadiahkan kepada para pejabat dengan syarat
kewajiban membayar upeti kepada penguasa pusat, dalam bentuk sebagian hasil
bumi yang dikumpulkan dari para petani5.
Bersamaan dengan kedatangan VOC dan menancapnya kolonialisme di
Nusantara, terjadi pula pergeseran pola penguasaan sumber-sumber agraria. Ketika
VOC memperoleh kekuasaan monopoli perdagangan, Belanda berfungsi sebagai
perantara antara berbagai pejabat daerah dengan raja, karena para penguasa daerah
itulah yang menjamin penyerahan hasil bumi dari rakyat6. Lebih jauh, bahkan pada
akhir abad ke 19, VOC mengklaim atas hasil tanah, pengerahan tenaga kerja,

pengumpulan pajak, dan penaklukan atas wilayah-wilayah yang sebelumnya
dikuasai oleh bumiputera7. Setelah mendapatkan teritorial yang ditaklukan, VOC
mengangkat pula para pejabat pribumi untuk bekerja di distrik-distrik bentukan
VOC, sebari mewajibkan para pribumi untuk menanam tanaman yang sesuai
dengan komoditi yang diperlukan pihak VOC. Penguasaan tanah semacam itu,
tidak jarang dibarengi pula dengan praktik kekerasan yang dilakukan oleh VOC
kepada rakyat pribumi.

4

Moch. Tauhid, Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat
Indonesia, (Yogyakarta: 2009, STPN Press) hlm. 15.
5
Gunawan Wirardi, Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir, (Yogyakarta: 2000, Insist
Press) hlm. 66.
6
Ibid. Hlm. 68.
7
Ahmad Nashi Luthfi, Kronik Agraria, (Yogyakarta:2011, STPN Press) hlm. 2.


Namun demikian, meski VOC telah menerapkan kebijakan agraria nya
sendiri, tonggak peraturan dan kebijakan yang terkait dengan masalah agraria baru
dimulai secara formal pada masa pemerintahan Gubernur Raffles. Kebijakan politik
Raffles di sektor agraria, dikenal dengan teori domein-nya. Teori tersebut
merupakan aktualisasi dari serangkaian pengalaman Raffles ketika berkuasa di
India. Dengan asumsi bahwa Hindia Belanda secara mendasar memiliki kemiripan
dengan India, Raffles menerapkan sebuah sistem pertanahan yang memposisikan
tanah secara keseluruhan merupakan milik penguasa atau raja. Dengan sistem ini
pula, maka berlaku pajak bumi (Landrente) yang mewajibkan setiap petani untuk
membayar pajak sebesar 2/5 (dua per lima) dari hasil garapannya kepada
pemerintah.
Ketika Nusantara kembali jatuh ke tangan Belanda—melalui Jenderal Van
den Bosch—bangsa pribumi kembali dihadapkan dengan corak kebijakan politik
agraria yang tidak berpihak kepadanya. Kali ini, Belanda menerapkan apa yang
dinamakan dengan kebijakan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa. Kebijakan ini
diambil sebagai langkah guna mengisi kekosongan kas Kerajaan Belanda dan
terilhami pula oleh Teori Domein yang diperkenalkan oleh Raffles. Bedanya, jika
pada masa Raffles petani wajib membayar 2/5 (dua per lima) hasil garapannya,
maka dalam kebijakan cultuurstelsel petani tidak perlu membayar pajak tersebut
dan digantikan dengan kewajiban untuk meluangkan 1/5 (satu per lima) tanah

garapannya untuk ditanami tanaman-tanaman tertentu yang dikhendaki oleh
pemerintah, seperti nila, kopi, tembakau, teh, tebu, dan sebagainya, dan kemudian
harus diserahkan kepada pemerintah (untuk selanjutnya diekspor ke Eropa)8.
Meski kebijakan cultuurstelsel merupakan keputusan politik agraria yang
dibuat oleh Pemerintah Kerajaan Belanda, terjadi pertentangan ditubuh parlemen
Belanda antara kalangan liberal dan konservatif terkait penerapan kebijakan
cultuurstelsel. Secara ringkas, tujuan kalangan liberal menolak kebijakan tersebut
ialah penguasaan tanah yang teramat mutlak yang dikuasai oleh penguasa dan
pemimpin tanah jajahan. Selanjutnya, tujuan utama kalangan liberal dalam masalah
agraria yaitu; mendorong pemerintah memberikan pengakuan terhadap penguasaan

8

Loc.cit hlm. 71.

tanah pribumi sebagai hak milik mutlak (eigendom) yang memungkinkan penjualan
dan penyewaan atas tanah milik tersebut; pemerintah perlu memberikan
kesempatan kepada pengusaha untuk dapat menyewa tanah dalam jangka panjang
dan murah (efpacht)9. Gagasan kalangan liberal tersebut pada akhirnya diajukan
menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) oleh seorang Menteri Jajahan, Frans

van de Putte, pada tahun 1865.
Meski gagal disahkan menjadi Undang-Undang, gagasan yang coba dibawa
oleh kalangan liberal di parlemen Belanda telah mendorong Pemerintahan Kerajaan
Belanda guna melakukan sebuah penelitian lebih lanjut terkait situasi-kondisi
masalah agraria di Hindia Belanda. Penelitian tersebut, terdongkrak akibat persepsi
yang mengatakan bahwa Menteri Jajahan Frans van de Putte telah terlalu tergesagesa dalam memberikan hak eigendom bagi masyarakat pribumi. Maka dalam
penelitian tersebut, yang menjadi titik fokus penelitian ialah tentang hak-hak
penduduk Jawa atas tanah, yang dilakukan di 808 desa di seluruh Jawa. Kelak, hasil
penelitian ini diterbitkan dalam tiga jilid laporan penelitian (1876, 1880, 1896),
dengan judul: Eindresume10.
Namun sebelum penelitian tersebut diterbitkan, ternyata Pemerintah
Belanda telah terlebih dahulu mengesahkan sebuah produk undang-undang dan
produk kebijakan agraria yang dikenal dengan Agrarische Wet 1870, yang
diundangkan dalam Lembaran Negara (staatsblad) No. 55 tahun 1870. Salah satu
poin penting produk undang-undang tersebut ialah dengan keluarnya sebuah
pernyataan yang cukup dikenal yaitu Domein Verklaring. Pernyataan ini termuat
dalam Pasal 1 dari Agrarisch Besluit, yang menyatakan bahwa; semua tanah yang
tidak terbukti bahwa tanah tersebut merupakan milik mutlak (eigendom), adalah
domein negara11. Selain itu, Agrarische Wet 1870 berisi mengenai kewenangan
Gubernur Jenderal untuk menyewakan tanah kepada swasta, dan juga ketentuan hak

erfpacht selama 75 tahun12. Dengan diberlakukannya Agrarische Wet 1870, maka

9

Ibid. Hlm. 72.
Pembahasan lebih lanjut terkait eindresume, lihat Hiroyoshi Kano, “Sistem Pemilikan Tanah dan
Masyarakat Desa di Jawa”, dalam buku Dua Abad Penguasaan Tanah, (Jakarta:2008, Yayasan
Obor).
11
Loc.cit. Hlm.73.
12
Ahmad Nashi Luthfi, Kronik Agraria..., op.cit. hlm. 6.
10

bangsa pribumi menapaki persimpangan penting dari sejarah agraria negara-bangsa
Indonesia. Pemberlakuan produk hukum tersebut merupakan gerbang awal dari
ekspansi kapitalisme guna menjarah kekayaan alam Indonesia secara terangterangan. Pada mula nya, perkebunan-perkebunan swasta mulai berdiri di Jawa dan
Sumatera. Kemudian perkebunan-perkebunan tersebut, untuk pertama kalinya,
telah menggeser petani menjadi buruh perkebunan. Meski demikian, ekspansi
kapital swasta perkebunan tidak akan berjalan dengan baik, tanpa bantuan dan jasa
dari orang-orang pribumi itu sendiri. Di banyak kasus, dalam masa-masa awal
penerapan UU Agraria 1870, banyak para sultan dan elit pribumi lainya yang
melepas konsensi lahannya guna berdirinya perkebunan-perkebunan tersebut, tanpa
menimbang ketersediaan lahan bagi masyarakat di sekitarnya.
Segera setelah pemberlakuan UU Agraria 1870, pihak Pemerintahan
Belanda mendapat banyak kecaman dari kalangan orang Belanda sendiri. Salah satu
bentuk kecaman yang cukup terkenal ialah yang terlontar dari mantan pejabat di
Hindia Belanda, Ir. Van Kol, yang menyatakan; “Pemerasan kekayaan di Jawa
itulah, dulu oleh pemerintah kemudian oleh kaum modal swasta, menyebabkan
daerah itu kurus miskin,...semua itu adalah kesalahan pemerintah Belanda.
Namun, tuan-tuan wakil rakyat, kesalahan itu adalah kesalahan tuan-tuan
sekalian”13. Dari kecaman-kecaman itulah yang pada akhirnya membawa
Pemerintah Kolonial Belanda untuk membentuk sebuah pantia penyelidik
kemiskinan (Mindere Welvaart Commissie) pada tahun 190214. Lebih lanjut, atas
desakan dan kecaman-kecaman semacam itu lah yang pada akhirnya mendorong
Pemerintah Belanda membuat politik balas-budi, yang dikenal dengan Politik Etis,
beserta tokoh utamanya yang bernama van Deventer, pada permulaan Abad ke 20.
Lepas

dari

cengkraman

Belanda,

Indonesia

memasuki

zaman

kependudukan Jepang. Meski kerap mendaku sebagai saudara, ternyata Jepang
sama menindasnya dengan ketika Belanda menjajah. Situasi Agraria pada masa
pendudukan Jepang, sangat terkait dengan kepentingan perang Jepang di Asia
Pasifik. Berpuluh-puluh onderneming dengan berpuluh-puluh ribu hektar tanah,

13
14

Ibid. Hlm. 9.
Gunawan Wirardi, Reforma Agraria...., op.cit. hlm 75.

disulap seketika menjadi lahan pertanian rakyat15. Tanaman semacam; padi, jagung,
kapas, huma, dan jarak mulai menggantikan berhektar-hektar lahan perkebunan
Belanda. Namun demikian, hasilnya lebih diperuntukan bagi kepentingan perang
Jepang. Hal ini sejalan dengan tujuan utama Jepang menduduki Indonesia, yaitu
guna menguasai sumber minyak, sumber energi, beserta sumber daya alam lainya
bagi keberlangsungan perang yang sedang dilakoni Jepang. Maka di sektor agraria,
sebenarnya, baik Jepang ataupun Belanda, pada hakekatnya sama-sama
menampilkan sejarah eksploitasi sumber-sumber agraria di Nusantara.
Pembongkaran ordeneming, hutan-hutan, dan perkebunan milik Belanda,
berlanjut ketika Indonesia baru merdeka. Lahan-lahan yang dibongkar tersebut,
kemudian beralihfungsi menjadi lahan pertanian rakyat, yang memang sudah sangat
lama terampas dari aksesnya terhadap tanah. Tak jarang, banyak pula rakyat yang
mulai

mendirikan

gubuk-gubuk

di

bekas

lahan

pembongkaran.

Siasat

pembongkaran dan pembumihangusan terus berjalan hingga masa-masa Agresi
Belanda pertama dan kedua. Di daerah-daerah yang tidak diganggu oleh Agresi
Militer Belanda, ordeneming-ordeneming modal asing segera “di-Indonesia-kan”.
Meski demikian, nasionalisasi ordeneming-ordeneming milik modal swasta pun,
memiliki sejumlah persoalan. Yaitu ketika para petani penggarap dan buruh tani—
yang sebelumnya menjadi buruh perkebunan Belanda—hanya berganti majikan,
dengan muncul nya elit-elit republik yang menguasai akses terhadap tanah-tanah
rakyat16. Disamping itu, melalui UU No.1/1958, terjadi penghapusan tanah-tanah
partikelir di beberapa daerah, yang diiringi dengan pendistribusian tanah-tanah
tersebut kepada rakyat. Hal demikian pula yang terjadi di Yogyakarta dan
Surakarta, dimana 40 perusahaan gula Belanda telah disediakan bagi para petani
Indonesia, dengan dorongan dari UU Darurat No.13 tahun 194817.
Di tataran Pemerintahan Indonesia, sebenarnya para pendiri bangsa
Indonesia menyadari bahwa UU Agraria 1870 tidak bisa dipergunakan untuk
bangsa yang membebaskan dari penjajahan18. Untuk itu, guna membuat sebuah

15

Ahmad Nashi Luthfi, Kronik Agraria......, op.cit. hlm 10.
Moch. Tauhid, Masalah Agraria....., op.cit. hlm. 261-262.
17
Selo Sumardjan, “Land reform di Indonesia”, dalam buku Dua Abad...., op.cit hlm. 124-125.
18
Ahmad Nashi Luthfi, Kronik Agraria...., op.cit hlm. 10.

16

regulasi mengenai hukum agraria dan untuk mengganti sistem agraria warisan
kolonial yang eksploitatif, mulai dirumuskan oleh rezim Orde Lama sebuah
peraturan pokok yang berkaitan dengan masalah agraria. Dalam prosesnya, terdapat
lima (5) buah kepanitiaan yang khusus mengurusi dan merumuskan tentang
formulasi sistem keagrariaan yang baru, yaitu; Panitia Yogya (1948), Panitia
Jakarta (1951), Panitia Suwahjo (1956), Rancangan Sunarjo (1958), dan akhirnya
rancangan Sudjarwo (1960)19.
Melalui kerjasama antara tim Ad Hoc DPR dan seksi Agraria UGM, naskah
baru mengenai sistem pertanahan nasional, berubah menjadi RUU Agraria yang
baru dan kemudian disahkan oleh DPR-GR yang terbentuk pasca Dekrit Presiden 5
Juli 1959. Selanjutnya pada tanggal 24 September 1960, disahkan UU No. 5/1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau yang lebih dikenal sebagai
UUPA 1960. Pada hakikatnya, pengesahan UUPA 1960 tersebut merupakan AntiThesa dari Agrarische Wet tahun 1870 yang dikukuhkan Belanda. Selain itu, UUPA
1960 merupakan perwujudan nyata terhadap konten UUD 1945 Pasal 33, yang
mengatur tentang kedaulatan masyarakat atas Sumber Daya Alam beserta seluruh
isinya.
Namun dalam perkembangannya, Landreform atau redistribusi lahan yang
menjadi tonggak pengaplikasian UUPA 196020, mengalami begitu banyak
hambatan dalam pelaksanaannya. Hambatan dalam penataan struktur agraria dan
redistribusi lahan, terutama sekali disebabkan oleh tentangan keras dari elit
masyarakat yang memiliki lahan yang luas, dan kerap pula menjadi agenda partai
politik

tertentu

(mobilisasi

Pro-Landreform

dan

Mobilisasi

Kontra-

Landreform)21—yang dalam tataran akar rumputnya, menciptakan apa yang disebut

19

Gunawan Wirardi, Reforma Agraria: Perjalanan...., op.cit. hlm. 82.

Pembahasan lebih lanjut, lihat Selo Soemardjan “Land Reform di Indonesia”, dalam buku Dua
Abad......, op.cit. hlm.123-169.
21
Tujuan landreform pada umumnya adalah untuk mengapus feodalisme yang berarti penyingkiran
kelas tuan tanah dan mengalihkan kekuasaannya kepada elite reformis atau wakil masyarakat. Jika
di antara para tuan tanah itu adalah orang asing maka tujuannya adalah untuk mengalahkan
imperialisme dan mengakhiri eksploitasi yang dilakukannya. Selain itu, penerapan landreform juga
bertujuan untuk membebaskan para petani dari eksploitasi dan membebaskan mereka dari
ketergantungan kepada kaum yang mengeksploitasi dan membuat mereka menjadi warga negara
aktif dalam menuntut hak-haknya. Lihat Noer Fauzi, “Land Reform: Agenda Pembaruan Struktur

20

dengan “aksi sepihak” yang dilakukan oleh elit pedesaan yang tak mau tanahnya
masuk dalam data pembagian tanah, ataupun yang dilakukan oleh petani tak
bertanah untuk mendapat hak kepemilikan lahan yang dibagi22.
Berhubung segala kebijakan nasional akan senantiasa berkaitan dengan
sikap politik, yakni sikap kepemihakan; untuk kepentingan siapakah setiap
kebijakan itu diambil, maka sejatinya para pendiri bangsa Indonesia telah mencoba
menampilkan keberpihakannya secara jelas kepada rakyat, melalui sebuah regulasi
keagrariaan yang memihak rakyat kecil (UUPA 1960). Karena suatu program
pembangunan, terutama yang memihak rakyat banyak, perlu dilandasi lebih dahulu
dengan “penataan kembali masalah pertanahan”, sebelum jauh menjangkau
industrialisasi. Itulah sebabnya, walaupun umur Republik Indonesia masih sangat
muda (ibarat “balita”), toh pada tahun 1948 sudah mulai dibentuk “Panitia Agraria”,
untuk memikirkan secara serius masalah pertanahan23.
Melalui produk kebijakan politik agraria era Bung Karno, seyogyanya kita
dapat menilai sikap populisme yang dimiliki oleh Presiden Pertama Indonesia.
Melalui UUPA 1960, para pendiri bangsa mencoba mengaktualisasikan bunyibunyi dalam Pancasila, serta mewujudkan mimpi-mimpi yang termaktub dalam
konstitusi bangsa Indonesia. Meskipun UUPA 1960 hanya merupakan aturanaturan dasar, yang penjabaran dan peraturan-peraturan pelaksanaan beserta
ketentuan-ketentuannya perlu diurai dalam produk Undang-Undang turunannya.
Sayangnya, produk UU turunan tersebut tak sempat tergarap, tersusul oleh
peristiwa gejolak 1965 yang berujung pada tumbangnya Orde Lama dibawah
kepemimpinan Presiden Soekarno dan lahirnya pemerintahan Orde Baru24.

Agraria dalam Dinamika Panggung Politik”, dalam buku Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun
Gunawan Wirardi, (Bandung:2002. Yayasan Akatiga) hlm. 229.
22
Bagas Yusuf Kausan, “Menautkan Tani dan Tragedi”, dalam Kumpulan Tulisan Edisi I
Kalamkopi, (Semarang:2016, kalamkopi) hlm. 18-19.
23
Gunawan Wirardi, Reforma Agraria...., op.cit hlm. 81.
24
Ibid. Hlm. 86.

D. Praktik Kebijakan Politik Agraria Era Orde Baru
Seiring dengan pergantian tampuk kekuasaan dari Presiden Soekarno ke
Presiden Soeharto, terjadi pula perubahan dalam hal kebijakan politik agraria. Di
masa pemerintahan Orde Baru, UUPA 1960 yang sebelumnya diciptakan guna
membuat tata keagrariaan yang lebih adil, serta untuk menjangkau petani-petani
penggarap dan buruh tani, dimasukan ke dalam peti. Artinya, meski UUPA 1960
tidak dihapus, namun keberadaannya seolah tidak dihiraukan. Bahkan, rezim
pemerintahan Orde Baru justru banyak menerbitkan UU sektoral lain yang
sebenarnya memiliki pondasi dan maksud yang berlainan dengan semangat yang
dibawa oleh UUPA 1960. Dengan jalan penerbitan UU Sektoral itu lah, Orde Baru
dengan leluasa dapat melakukan pengadaan tanah dalam skala besar untuk
kepentingan modal. Bahkan, melalui UU Sektoral tersebut, praktik penetapan
berbagai jenis hak tertentu atas sebidang tanah dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya, mulai gencar dilakukan dan disponsori langsung oleh negara. Hal
tersebut dapat terlihat dalam pengenalan dan penetapan Hak Guna Usaha, Hak
Penguasaan

Hutan,

Hak

Penguasaan

Hutan

Tanaman

Industri,

Kuasa

Pertambangan, Kontrak Karya Pertambangan, dan lain-lain25. Salah satu bentuk UU
sektoral yang justru menistakan UUPA 1960 ialah dengan keluarnya UndangUndang penanaman Modal Asing tahun 1967, yang dari berbagai sisinya justru
banyak merugikan masyarakat Indonesia.
Dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari corak politik agraria era Orde Baru
ialah tumbuh kembangnya ideologi Developmentalism dan hadirnya proyek
Revolusi Hijau yang sedang gencar menerpa banyak negara-negara dunia ketiga—
yang tidak bisa dilepaskan dalam konteks perang dingin yang sedang berkecamuk
pada akhir tahun 1960an. Developmentalism sendiri merupakan sebuah diskurs
pembangunan yang diciptakan negara-negara maju untuk mendominasi negaranegara berkembang. Mereka menggunakan alasan untuk memecahkan masalah
‘keterbelakangan’ yang dirancang setelah Perang Dunia Kedua. Setelah dilontarkan

25
Endriatmo Soetarto dan Moh. Shohibuddin, “Reforma Agraria Sebagai Basis Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan”, dalam Jurnal Pembaruan Desa dan Agraria Volume 01/Tahun I/2004,
(Bogor:2004, Lapera) hlm. 24.

diskurs pembangunan, tidak saja mereka melanggengkan dominasi dan eksploitasi
ekonomi pada dunia ketiga, tetapi diskurs pembangunan itu sendiri justru menjadi
media penghancur segenap gagasan alternatif rakyat Dunia Ketiga terhadap
kapitalisme26. Lebih lanjut, strategi yang digunakan oleh negara-negara maju
dalam melanggengkan dominasi mereka pada dunia ketiga ialah; pertama, adalah
discourse of underdevelopment, ini berkaitan dengan aparat pembangunan (dari
organisasi Internasional, Bank Dunia, IMF, dan badan pembangunan lokal) dan
berbagai teori pembangunan yang diproduksi oleh organisasi Internasional, ahli di
berbagai universitas Amerika dan Eropa. Kedua, strategi untuk penetrasi dan
kontrol dunia ketiga melalui teknologi komunikasi dan informasi, khususnya media
massa, TV dan film27.
Satu lagi bentuk politik agraria masa Orde Baru yang paling kentara ialah
dengan bergulirnya proyek Revolusi Hijau. Sebagai bagian dari politik Perang
Dingin, Revolusi Hijau di beberapa kawasan Asia Tenggara dipilih sebagai strategi
untuk menggantikan landreform yang selama beberapa tahun sebelumnya
(di)identik(kan) dengan kebijakan komunis28. Stempel komunis dari kebijakan
landreform terkait dengan beberapa peristiwa sebelum meletusnya peristiwa 1965,
yang disebut dengan aksi-aksi sepihak. Selain itu, kuat pula prasangka yang
menyatakan bahwa UUPA 1960 merupakan produk Partai Komunis Indonesia
sehingga stempel demikian menjalar ketika Pemerintahan Orde Baru berkuasa.
Stempel komunis pada UUPA 1960 baru terjernihkan secara legal formal setelah
keluarnya TAP MPR No. IV/197829.
Dalam pelaksanaan Revolusi Hijau, didirikan lembaga-lembaga riset
pangan sesuai dengan komoditasnya. Sementara yang berkaitan dengan Indonesia
adalah sebuah lembaga riset International Rice Research Institute (IRRI) di
Filipina. Lembaga IRRI sebenarnya pernah ditawarkan terlebih dahulu kepada
Presiden Soekarno. Hanya saja, Presiden Soekarno menolak tawaran tersebut
dengan dalih bahwa pihak Rockefeller sebagai penyokong dana riset, kerap

26

Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan, (Yogyakarta:2011, Insist Press) hlm. 186.
Ibid. Hlm. 188.
28
Ahmad Nashi Luthfi, Melacak Sejarah Pemikiran...., op.cit. hlm. 56.
29
Gunawan Wirardi, Reforma Agraria......, op.cit. hlm. 87.
27

melakukukan berbagai macam tuntutan yang sifatnya intervensif. Selain itu, Bung
Karno pun merasa bahwa Indonesia telah mampu mengembangkan riset
pembenihan sendiri di Lembaga Penelitian Benih, Bogor30.
Proyek Revolusi Hijau yang dijalankan di Indonesia, dibiayai dengan dana
hutang dari Bank Dunia, beserta lembaga-lembaga keuangan Internasional lainya.
Meski program Revolusi Hijau menuai keberhasilan, terlebih mampu membuat
Indonesia berswasembada beras, program tersebut tidak bisa dilepaskan pula dalam
konteks pencegahan atas efek domino tentang pengaruh komunisme, dan mencegah
keresahan agraria di pedesaan-pedesaan Asia Tenggara pasca-kolonial. Dalam
konteks sejarah kapitalisme, program Revolusi Hijau merupakan representasi
Politik Perang Dingin bagi salah satu pihak untuk melangsungkan visi kontrol atas
dunia, dan juga memberikan arahan bagaimana previous accumulation terjadi.
Sementara di pedesaan, massa rakyat dipaksa sebagai floating mass, dan dijauhkan
dari hal-hal yang bersifat menguatkan (mengorganisir diri) guna memberi jalan
mulus bagi masuknya kapital ke desa-desa di Indonesia31.
Dari uraian diatas, menjadi jelas bahwa ciri utama kebijakan politik Agraria
masa Orde Baru ialah pembangunan industri padat modal, intensifikasi pertanian
(Revolusi Hijau), yang hampir semuanya dibiayai oleh lembaga-lembaga keuangan
Internasional. Selain itu, adanya sikap “ambivalent” dari pemerintah, yang disatu
sisi secara legal-formal “di atas kertas” UUPA 1960 sebagai landasan hukum
pertanahan dan keagrariaan masih dinyatakan sah berlaku, namun di sisi lainya
kebijakan agraria dan penerapannya tidak sesuai dengan semangat UUPA 1960.
Alih-alih mendistribusikan tanah kepada masyarakat kecil, kebijakan politik agraria
Orde Baru justru lebih mengutamakan pembukaan konsensi pertambangan,
kehutanan, dan perkebunan yang cenderung menyingkirkan masyarakat dari alat
produksinya; tanah. Pemerintahan Orde Baru dalam hal kebijakan agraria,
mengambil jalan apa yang sekarang dikenal sebagai by-pass approach, atau

30
31

Loc.cit. hlm. 60.
Ibid. hlm. 68.

pendekatan jalan pintas dengan bentuk Revolusi Hijau tanpa Reforma Agraria dan
disebut sebagai development without social transition32.
Corak politik agraria Orde Baru seperti yang disinggung diatas, secara tidak
langsung telah menimbulkan aneka macam konflik agraria yang berkepanjangan,
hingga detik ini. Bisa dikatakan, konflik-konflik tersebut tidak lain adalah akibat
by-pass approach yang bercirikan: mengandalkan bantuan asing, hutang, dan
investasi dari luar negeri, serta bertumpu pada yang besar (betting on the strong)33.
Logika ekonomi semacam trickle down effect pun tidak lain merupakan wujud
kecenderungan rezim Orde Baru yang terlanjur bertumpu pada hal-hal yang besar
tersebut. Pengaplikasian UU sektoral yang menabrak semangat UUPA 1960, yaitu
ketika sumber-sumber agraria (tanah) dirubrikasi untuk kepentingan pertambangan,
perhutanan, pertanian padat modal, dan pembangunan perkotaan melalui
pemahaman yang salah akan “hak menguasai negara”, alat produksi itu semakin
jauh dari massa rakyat. Perubahan sosial-ekonomi masyarakat pedesaan pada
gilirannya menuju ke arah kapitalisme34. Potret politik agraria semacam ini lah yang
diwariskan pada rezim-rezim pemerintahan selanjutnya, yang terus-menerus
menggusur angin pembaharuan yang sempat terhembus melalui semangat neopopulisme Undang-Undang Pokok Pembaharuan Agraria (UUPA) 1960. Dampak
dari wajah politik agraria semacam ini ialah ketimpangan dan kesenjangan sosial
yang semakin melebar serta semakin meningginya angka konflik agraria, yang
terjadi di banyak sektor, melibatkan berbagai macam lapisan masyarakat, dan tak
jarang menimbulkan pula korban jiwa.
E. Penutup
Perjalanan politik agraria di Indonesia merupakan sebuah lintasan sejarah
yang sangat panjang. Seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya,
terdapat banyak sekali corak politik agraria yang beririsan dengan fase-fase dalam
rentang sejarah bangsa Indonesia. Sejak era kolonial, bangsa Indonesia telah
terlebih dahulu merasakan kepahitan politik agraria yang dijalankan oleh

32

Gunawan Wirardi, Reforma Agraria....., op.cit. hlm. 92.
Ibid. Hlm. 93.
34
Ahmad Nashi Luthfi, Melacak Sejarah Pemikiran....., op.cit. hlm. 82.
33

Pemerintahan Belanda. Ketika Jepang menduduki Indonesia, hal demikian masih
nampak terjadi. Masyarakat Indonesia terus-menerus kehilangan hak dan aksesnya
terhadap sumber-sumber agraria secara lebih adil, guna mewujudkan apa yang
disebut dengan kesejahteraan.
Memasuki era kemerdekaan, para pendiri bangsa telah mengusahakan untuk
membuat sebuah regulasi dan tata peraturan keagrariaan yang berpihak kepada
masyarakat kecil. Kelak regulasi tersebut disahkan menjadi Undang-Undang Pokok
Pembaharuan Agraria 1960, yang merupakan bentuk pengaplikasian amanat
konsistusi pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta merupakan anti-thesis dari
sistem perundang-undangan agraria era kolonial yang cenderung bersifat dominatif
dan eksploitatif. Sayangnya, sebelum UUPA 1960 tersebut dijalankan secara lebih
luas dan dikembangkan dalam bentuk UU turunannya, bangsa Indonesia terlanjur
memasuki fase paling kelam dalam sejarahnya, yang ditandai dengan huru-hara
politik tahun 1965, lengkap beserta praktik pembunuhan massal besar-besaran
terhadap masyarakat yang terduga komunis, simpatisan komunis, eksponen
kelompok kiri, kalangan nasionalisme-kiri, dan pendukung rezim Pemerintah
Soekarno. Peristiwa 1965 pun menandai sebuah fase pergantian presiden paling
berdarah, dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto.
Pergeseran kursi kepemimpinan nasional dari Presiden Soekarno ke
Presiden Soeharto—yang dimulai pasca Tragedi ’65, berakibat pula pada politik
kebijakan agraria. Bersamaan dengan hancurnya semangat UUPA 1960, kawasan
Asia Tenggara dihinggapi ideologi “pembangunanisme” yang dalam ranah
pertanian—bertransformasi

menjadi

logika

pertanian

padat

modal—yang

berorientasi pada intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian—yang bertujuan untuk
memproduksi pangan secara cepat dengan bantuan teknologi. Hal ini umum disebut
sebagai “Revolusi Hijau”, yang dalam perkembangannya—telah membuat Orde
Baru membusungkan dada dengan keberhasilannya melakukan swasembada beras.
Namun demikian, meski “Revolusi Hijau” dirasa menuai keberhasilan, program
tersebut sebenarnya memiliki kecacatan dan dampak yang begitu luas hingga saat

ini35. Bisa dikatakan, “Revolusi Hijau” merupakan lawan dari agenda reforma
agraria, yang tak dapat dipisahkan dari konstelasi politik global saat itu (Perang
Dingin). Sebagai produk negara-negara maju yang didanai beragam lembaga
donor—”Revolusi Hijau” pada intinya, semakin memastikan dan menegaskan
keberpihakan, kepatuhan, dan ketergantungan rezim Orde Baru kepada pihak-pihak
asing—yang semakin menciptakan jurang yang dalam atas ketimpangan sosial yang
terjadi.
Maka, sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan agraria Orde Baru, yang
menjauhi semangat UUPA 1960 yang telah dirintis Pemerintahan Presiden
Soekarno, dan kecenderungan politik agraria Orde Baru yang pro-modal dan
investasi—maka proses diferensiasi sosial dan proletarisasi yang sudah terjadi pada
masa kolonial—dan hendak dipotong melalui semangat UUPA 1960—menjadi
kian berkembang, meluas, dan mendalam menjadi serangkaian konflik agraria yang
tak kunjung selesai, hingga detik ini36. Kenyataan tersebut, telah membuktikan
bahwa politik agraria yang dijalankan oleh rezim Orde Baru, justru telah
menciptakan persoalan-persoalan struktural keagrariaan yang akut, dengan
mengorbankan kesejahteraan rakyat.

Dampak negatif dari program “Revolusi Hijau”, setidaknya terdiri dari; Diferensiasi sosial,
marjinalisasi perempuan, migrasi sebagai bentuk nyata deagrarianisasi, keresahan pedesaan, dan
punahnya keragaman hayati. Lengkapnya, lihat Ahmad Nashih Luthfi, Melacak Sejarah
Pemikiran...., op.cit. hlm. 73-79.
36
Bagas Yusuf Kausan, “Menautkan Tani dan....., op.cit. hlm.20.
35 35

DAFTAR PUSTAKA
Fakih, Mansour. 2013. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.
Yogyakarta: Insist Press.
Kausan, Bagas Yusuf. 2016. “Menautkan Tani dan Tragedi” dalam Kumpulan
Tulisan Jilid I Kalamkopi. Semarang: Kalamkopi.
Luthfi, Ahmad Nashi. 2011. Melacak Sejarah Pemikiran Agraria: Sumbangan
Pemikiran Madzhab Bogor. Yogyakarta: STPN Press.
--------------------------. 2011. Kronik Agraria Indonesia: Memperluas Imajinasi
Lintas Zaman, Sektor, dan Aktor. Yogyakarta: STPN Press.
Mulyani, Lilis. 2011. Strategi Pembaharuan Agraria untuk Mengurangi
Kemiskinan. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Shoibuddin, Mohamad dan M. Nazir Salim (Ed). 2012. Pembentukan Kebijakan
Agraria Tahun 2006-2007: Bunga Rampai Perdebatan. Yogyakarta: STPN
Press.
Soetarto, Endriatmo dan Moh. Shohibuddin. 2004. “Reforma Agraria Sebagai Basis
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan” dalam Jurnal Pembaruan Desa dan
Agraria Volume 01/Tahun I/2004. Bogor: Lapera.
Suhendar, Endang, Dkk (Ed). 2002. Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan
Wirardi. Bandung: Yayasan Akatiga.
Tauhid, Moch. 2009. Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan
Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta: STPN Press.
Tjondronegoro, Soediono M.P dan Gunawan Wirardi. 2008. Dua Abad
Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa
ke Masa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Wirardi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir.
Yogyakarta: Insist Press.
-----------------------. 2004. “Mengadili Tanah Rakyat”. Dalam Jurnal Pembaruan
Desa dan Agraria. Volume 01/Tahun I/2004. Bogor: Lapera.

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN RASIO LIKUIDITAS, PROFITABILITAS, AKTIVITAS DAN LEVERAGE TERHADAP PERUBAHAN LABA DI MASA DATANG PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA

18 254 20

ANALISIS SISTEM TEBANG ANGKUT DAN RENDEMEN PADA PEMANENAN TEBU DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA X (Persero) PABRIK GULA DJOMBANG BARU

36 327 27

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

HASIL UJI KEMAMPUAN DASAR MATEMATIKA MAHASISWA BARU FMIPA TAHUN 2015 DAN ANALISA BUTIR SOAL TES DENGAN MENGGUNAKAN INDEKS POINT BISERIAL

2 67 1

ANTARA IDEALISME DAN KENYATAAN: KEBIJAKAN PENDIDIKAN TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 Between Idealism and Reality: Education Policy of Chinese in Surabaya in the Japanese Era at 1942-1945)

1 29 9

KAJIAN YURIDIS TENTANG PERUBAHAN TANAH PERDIKAN MENJADI HAK MILIK DI KELURAHAN TAMAN KECAMATAN TAMAN KOTA MADIUN SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA

2 44 14

MAKALAH SOSIOLOGI LEMBAGA SOSIAL POLITIK

0 0 2

ANALISIS KEMAMPUAN LABA OPERASI DALAM MEMPREDIKSI LABA OPERASI, ARUS KAS OPERASI DAN DIVIDEN KAS MASA DEPAN ( Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur di BEI 2009-2011)

10 68 54

TINJAUAN HISTORIS GERAKAN SERIKAT BURUH DI SEMARANG PADA MASA KOLONIAL BELANDA TAHUN 1917-1923

0 26 47

PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI KANTOR KESATUAN BANGSA DAN POLITIK KOTA METRO

15 107 59