KUASA DALAM SASTRA PADA MASA ORDE BARU
KUASA DALAM SASTRA PADA MASA ORDE BARU1
Oleh Langgeng Prima Anggradinata2
Abstrak
Power (in term of Foucault) affecting all section, especially literature. It can be seen in orde
lama and orde baru. In both era, esthetics of indonesian literature has changed significantly.
In orde lama (particularly 1960s), literature dominated by socialist realism esthetics that
being initiated by Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). In turn, when orde lama fell, and orde
baru ruling, socialist realism esthetics become a forbidden esthetic, while universal
humanism—that being initiated by Manifes Kebudayaan group, was taking over the
dominating. Universal humanism which emphasizes freedom of thought and work into a
standard (system of discipline) in the mind of authors in orde lama era that affecting until
today. In Michel Foucault approach, changing epistemé, discourse, and science directing a
creation of power that affecting some particular esthetics in Indonesian literature. With
Michel Foucault approach, this paper will explain literature phenomenon in orde baru era,
where working discpline system and epistemé, discourse, and science produced and
producing power.
Keywords: Power, Orde Baru, socialist realism, universal humanism,
1. PENDAHULUAN
Periode sastra tahun 1960-an memperlihatkan suatu dinamika politik dan kebudayaan
yang khas dan monumental. Hal itu disebabkan kondisi pada masa itu membimbing
kehidupan sosial pada tahap yang menegangkan. Periode 1960-an mungkin menjadi periode
paling kelam dalam sejarah Indonesia, maupun kesusastraan Indonesia.
Periode sastra 1960-an tidak bisa dilepaskan dari konfrontasi antara Lembaga
Kesenian Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudyaan (Manikebu). Perbedaan dasar-dasar dalam
berkarya menjadi pemicu persinggungan antara dua kelompok itu. Lekra yang mengusung
realisme sosialis cukup berlainan kutub dengan apa yang dipegang kukuh oleh Manikebu,
yaitu humanisme universal. Lekra, untuk arti yang lebih spesifik, ia mengusung seni untuk
rakyat, sementara Manikebu mengusung seni untuk seni. Kedua dasar itulah yang kemudian
menjadi perbedaan antara karya yang dibuat oleh pengarang-pengarang Lekra dan Manikebu,
terutama mengenai ide dalam masing-masing karya sastra. Nampaknya penting menguraikan
sejarah bagaimana kedua kubu tersebut lahir dan saling berkonfrontasi, minimal secara garis
besar.
1
Pernah disampaikan dalam seminar Fokus Sastra 2014 (Temu Sastrawan Nasional) yang bertema
“Perkembangan Ideologi Sastra Indonesia secara Historis” di Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (Bandung),
26 April 2014.
2
Akademisi, anggota Klub Depok, dan mahasiswa pascasarjana Universita Indonesia.
Jika membicarakan Lekra, akan teringat nama-nama seperti D.N. Aidit, M.S. Ashar,
Njoto, dan A.S. Dharta. Mereka adalah orang-orang yang mendirikan Lekra pada tanggal 17
Agustus 1950. Pada saat itu A.S. Dharta yang bertindak sebagai sekretaris jendral Lekra.
Dalam perkembangannya, Lekra menjadi lembaga yang mendominasi. Mereka memaksa dan
atau menganjurkan seniman-seniman untuk mengikuti cara mereka berkesenian. Dengan
mengusung realisme sosialis, Lekra mengambil jalan bahwa sastra harus berguna bagi rakyat.
Hal ini jelas menimbulkan pertentangan bagi sebagian orang yang lebih memilih berkesenian
untuk seni itu sendiri. Merespons apa yang dilakukan Lekra, berdirilah Manikebu yang
dipelopori Goenawan Mohamad, Arief Budiman, H.B. Jassin, Boen S. Oemarjati, Taufiq
Ismail, dll.
Manikebu hadir sebagai lembaga yang berupaya membela hak-hak manusia yang
ditindas oleh tirani. Dengan kata lain, Manikebu adalah kelompok seniman yang menentang
orde lama, menentang Soekarno, dan ingin mengembalikan ideologi Pancasila yang telah
tercerabut dari akarnya karena komunisme pada saat itu. Oleh sebab kelompok ini menentang
orde lama atau Soekarno, puisi-puisi, cerpen-cerpen, dan esai-esainya pun bernada protes
atau puisi-puisi tentang kemanusiaan.
Kelahiran Manikebu pun direspons oleh Lekra. Lekra yang saat itu dekat dengan
Partai Komunis Indonesia (PKI) dan penguasa, menggunakan caranya untuk menyingkirkan
Manikebu. Pada 8 Mei 1964, pemerintah kemudian mengeluarkan surat yang menyatakan
bahwa Manikebu adalah perkumpulan yang dilarang karena tidak sejalan dengan revolusi.
Lekra pun menjadi sesuatu yang tak terhindarkan lagi dari kehidupan kesenian pada saat itu.
Ia menguasai kesenian (mungkin) secara menyeluruh, dari kesenian tradisi, hingga seni
kontemporer.
Namun, keadaan itu berbalik setelah terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap
jenderal Angkatan Darat—peristiwa itu dikenal dengan G30S. PKI diduga menjadi dalang
dalam peristiwa itu. Pada tanggal 30 September 1965, PKI dan organisasi yang diduga
menjadi bagian darinya dilarang dan dibasmi. Lekra yang dianggap berafiliasi dengan PKI
pun turut dilarang dan seniman-seniman yang ada di dalamnya diasingkan. Akhirnya, sejak
saat itu, dominasi Lekra pun digantikan oleh Manikebu.
Uraian peristiwa di atas, dapat dilihat bagaimana terjadi perebutan kekuasaan (fisik)
antara Lekra dan Manikebu. Namun, nampaknya ada sebuah konfrontasi yang lebih dalam
tidak kasat mata, dan kompleks pada periode 1960-an. Ada perebutan kekuasaan yang lebih
besar, lebih ideologis, lebih kompleks pada sastra periode 1960-an, yaitu bagaimana
terjadinya pembentukan kekuasaan melalui wacana dan ilmu pengetahuan (sastra). Dalam
periode 1960-an, lebih khususnya setelah runtuhnya orde lama, dapat dilihat bagaimana
epistemé tentang PKI berubah, bagaimana wacana dan ilmu pengetahuan diproduksi untuk
kekuasaan. Perubahan epistemé itu tentu saja turut mengubah dan memproduksi wacana dan
ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, hal ini memengaruhi esetika karya sastra pada masa orde
baru.
Dalam tulisan ini, dokumen sejarah sastra dan kajian sastra dipandang sebagai wacana
dan atau pengetahuan. Terbitnya berbagai kajian sastra dan dokumen sejarah sastra (terutama
yang dibuat pada periode orde baru) menunjukan adanya usaha untuk membuat definisi
tentang sastra dan periode 1960-an. Definisi itu dibuat tentu saja untuk membentuk wacana
dan kekuasaan.
Banyak penelitian yang talah mengkaji persoalan sastra (seni) periode 1960-an ini,
baik yang dihasilkan sarjana-sarjana dalam negeri, maupun luar negeri. Krisna Sen dalam
Kuasa dalam Sinema: Negara, Masyarakat, dan Sinema Orde Baru (1994) mencoba
menggali bagaimana sinema orde baru membentuk wacana kekuasaan. Dalam buku yang
diangkat dari penelitiannya tersebut mencoba menggali dari mulai perkembangan sinema
secara periodik, kaitan sinema dalam kebijakan politik, hingga persoalan perempuan dalam
sinema Indonesia. Secara keseluruhan, Krisna Sen kira-kira ingin menunjukan bahwa politik
(orde baru) dan bentuk sinema ialah saling berkait, adalah sesuatu yang tidak dapat
dipisahkan.
Wijaya Herlambang melalui buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 (2013) mencoba
menggali kekerasan budaya yang terjadi pada masa orde baru. Sekurang-kurangnya, ia
menjelaskan bagaimana orde baru melalui sastra dan film memproduksi kekerasan simbolik,
atau melakukan “pengiblisan” terhadap PKI. Melalui sastra dan film, orde baru berupaya
untuk membentuk ideologi anti-komunis. Melalui sastra dan film, kekerasan dibenarkan dan
dinormalisasi. Ia berpendapat bahwa liberalisme turut berperan dalam kampanye antikomunis di Indonesia dan di dunia.
Lain halnya dengan Asep Sambodja dalam Historiografi Sastra Indonesia 1960-an
(2010). Apa yang dilakukannya cukup menarik, ia mencoba mendalami peristiwa politik
1960-an dan kaitannya dengan polemik Lekra dan Manikebu. Secara khusus ia berfokus pada
sastrawan, karya sastra, dan sepak terjang sastrawan pada masa itu. Ia mencoba
merekonstruksi periode tersebut dan mengangkat kembali Lekra, sastrawan, dan karyakaryanya yang tenggelam di masa orde baru.
Lain halnya dengan apa yang dilakukan Ariel Haryanto. Ia melihat peristiwa 1960-an
ini melalui pendekatan teori hegemoni. Bagaimana kedua kelompok (Lekra dan Manikebu)
tersebut saling menghegemoni. Namun kemudian, hegemoni Manikebu-lah yang bertahan
karena memang didukung oleh orde baru sebagai pemerintah yang berkuasa saat itu.
Kemudian, hegemoni Manikebu tersebut bertahan hingga hari ini. Demikian, banyak sekali
penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan peristiwa transisi dari orde lama ke orde
baru dalam bidang seni (sastra). Hal itu juga turut menentukan di mana posisi tulisan ini yang
kemudian bertujuan untuk memperkaya pengetahuan mengenai periode 1960-an dan
seterusnya di ranah sastra.
Tulisan ini secara sederhana mencoba untuk menemukan bagaimana kuasa dalam
sastra itu terbentuk dan bagaimana sistem disiplin (meminjam istilah Foucault) bekerja dalam
estetika sastra Indonesia pada dan setelah periode 1960-an. Untuk dapat menguraikan hal
tersebut, tulisan ini akan menggunakan pendekatan relasi kuasa dan sistem disiplin yang
dipopulerkan oleh Michel Foucault.
Sebelumnya, Sandra Lee Bartky dalam bukunya yang berjudul Femininity and
Domination; Studies in the Phenomenology of Oppression (1990) pernah menggunakan
pendekatan ini untuk menguraikan sistem displin yang bekerja dalam perempuan pada zaman
modern. Dalam buku tersebut dijelaskan bagaimana perempuan dikonstruksi, diatur, dan
disiplinkan untuk memenuhi standar-standar modern. Menurut Bartky, perempuan
mengalami kekerasan simbolik oleh sebuah sistem yang dinamakan sistem disiplin.
Modernitas membimbing perempuan pada bentuk-bentuk tertentu.
Apa yang disampaikan Bartky dalam bukunya tersebut memperlihatkan bahwa
pendekatan ini secara fleksibel dapat menguraikan berbagai persoalan perempuan
(femininitas) yang berkaitan dengan kuasa dan sistem disiplin. Tulisan ini, menguraikan
persoalan kuasa dan sistem disiplin dalam ranah kehidupan sastra periode 1960-an,
khususnya pasca runtuhnya orde lama. Untuk menguraikan hal tersebut, tulisan ini akan
berfokus pada arsip atau dokumen sejarah dan pengkajian sastra Indonesia, khususnya
periode 1960-an.
2. FOUCAULT DAN KEKUASAAN
Dalam pengertian Foucault, kekuasaan memiliki arti yang khas. Ia berpendapat bahwa
kekuasaan yang ia maksud bukanlah kekuasaan yang diinstitusikan, “bukan himpunan
lembaga dan perangkat yang menjamin kepatuhan warga negara dalam suatu negara tertentu.
Ia berpendapat, kekuasaan di sini dapat diartikan sebagai “suatu sistem dominasi global yang
dilakukan oleh suatu unsur atau kelompok atas yang lain, dan yang karena disalurkan secara
berturut-turut, dampaknya melanda masyarakat seutuhnya” (2008: 120).
Dalam hal ini, Foucault melihat bahwa kekuasaan pada masa modern ini, tidak lahir
dari rahim institusi, negara, atau lembaga. Kekuasaan dalam periode modern menjadi lebih
abstrak, global, transnasional sistemik yang (bisa jadi) diampu oleh “suatu unsur” atau
“kelompok atas yang lain”. Hal ini berbeda dengan kekuasaan pada masa tradisional di mana
kekuasaan dipegang oleh seorang raja. Ketika terjadi pelanggaran hukum, maka pelanggaran
tersebut dianggap sebagai penghinaan terhadap raja. Hukuman bersifat langsung. Kekuasaan
pada periode tradisional merupakan sistem kekuasaan searah; atas-bawah, raja-rakyat. Pada
masa modern, kekuasaan berwujud sebagai modus baru sistem kontrol yang membuat
individu merasa diamati, padahal itu adalah sistem kontrol yang bekerja dalam dirinya dan
untuk dirinya sendiri. Ia berada dan merasuk dalam alam bawah sadar.
Kekuasaan tidak bersumber pada satu titik; ia datang dari mana pun. Menurut
Foucault, kekuasaan adalah nama yang diberikan kepada suatu situasi strategis yang rumit
dalam masyarakat (2008: 121-122). Gambaran di atas memperlihatkan bahwa kekuasaan
tidak lagi mengenai kekuasaan dan negara , melainkan mengenai kekuasaan dan subjek. Jika
begitu, hal ini berarti kekuasaan memiliki hubungan yang banyak. Hubungan-hubungan itu
dapat mencangkup dalam proses ekonomi, penyebaran ilmu pengetahuan, hubungan seksual.
Kekuasaan terbentuk dari pemisahan, ketidaksamaan, ketidakseimbangan (diskriminasi).
Artinya, kekuasaan terjadi dalam situasi di mana ada suatu perbedaan. Misalnya, di kantor
(antara bos dan karyawan), dalam keluarga (antara suami dan istri atau orang tua dan anak).
Tentu saja, perbedaan ini membentuk pertentangan, perlawanan, atau friksi-friksi.
Dalam Surveiller et punir (1975), Foucault mengatakan “secara umum harus diakui
bahwa kekuasaan lebih beroperasi daripada dimiliki. Kekuasaan tidak merupakan hak
istimewa yang dapat atau dipertahankan kelas dominan, tetapi akibat dari keseluruahan posisi
strategisnya. Akibat yang menunjukan posisi mereka yang didominasi” (dalam Haryatmoko
2013).
Bagi Foucault, kekuasaan merupakan sistem, atau dalam istilahnya disebut tatanan
disiplin, “dan ia dapat dijamin oleh institusi-institusi yang terspesialisasi (penjara atau rumah
koreksi abad XIX) atau oleh institusi dengan tujuan tertentu (sekolah, rumah sakit)
(Haryatmoko, 2013). Pada tataran mikro, kekuasaan bekerja dan tersebar melalui keluarga,
sekolah, penjara, pabrik, dll. Pada tahap ini kekuasaan terinstitusionalisasi.
Dapat dilihat bahwa kekuasaan memiliki dua dimensi, pertama dimensi makro dan
dimensi mikro. Pada dimensi makro kekuasaan tidak terinstitusi, menyebar, dll. dalam bentuk
sistem, disiplin. Pada dimensi mikro atau praksis, kekuasaan dijamin oleh lembaga, institusi,
kelompok, yang juga bertindak sebagai “polisi” untuk menjamin kepatuhan.
Hubungan kekuasaan dengan subjek ini memperlihatkan putusnya epistemologis, di
mana manusia sebagai subjek secara bersama-sama juga menjadi objek dari ilmu
pengetahuan. Manusia mempelajari manusia untuk menemukan definisi atau hukum-hukum
tentang manusia yang kemudian menjadi sistem disiplin. Hal ini menjadikan “setiap
kekuasaan mempunyai pengetahuannya sendiri” (Foucault dalam Haryatmoko, 2013).
Ilmu pengetahuan dan wacana menjamin terproduksinya kekuasaan. Pada tahap atau
periode ini, kekuasaan lebih dipandang sebagai sesuatu yang ilmiah. Pengetahuan
memproduksi nilai kebenaran, kemudian nilai kebenaran itu membentuk individu. Misalnya,
kriminologi membuat definisi manusia yang baik dan penjahat, maka penjahat itu harus
dikuasai dengan cara dipenjara untuk dibuat menjadi baik. Sosiologi mendefinisikan manusia
modern, maka manusia akan mengejar predikat itu. Hal ini berarti kekuasaan dimungkinkan
beroperasi pada seluruh ilmu pengetahuan termasuk sastra. Alih-alih ilmiah, dengan klaim
objektif, ilmu pengetahuan mendorong terciptanya kekuasaan. Semakin suatu ilmu berusaha
untuk objektif, semakin terlihat tanda-tanda keinginan untuk mendominasi, untuk berkuasa.
Misalnya (lagi), psikologi mendefinisikan orang normal dan orang gila, maka paramedis
merasa perlu untuk menguasai orang gila tersebut. Pada tahap ini, dominasi terjadi.
3. WACANA, PENGETAHUAN, DAN KUASA
Pada tahap ini, akan diuraikan bagaimana kekuasaan itu terjadi pada pasca G30S, atau
setelah komunisme runtuh, atau ketika orde baru berkuasa.
Pada masa itu, dalam ranah global, terjadi “pertarungan” antara komunisme dan
liberalisme. Liberalisme mencoba menyingkirkan komunisme dari dunia. Untuk merebut
kekuasaan komunisme, liberalisme masuk dari berbagai sektor kehidupan, misalnya ekonomi,
politik, dan budaya. Dalam hal ini, akan dilihat bagaimana liberalisme masuk ke dalam ranah
budaya dan memengaruhi gerak kebudayaan Indonesia.
Herlambang (2013: 6) menerangkan bahwa liberalisme dalam ranah budaya
diwujudkan oleh humanisme universal. Humanisme universal ini merupakan suatu konsep
kebebasan intelektual, kebebasan berekspresi, dan kebebasan artistik. Humanisme universal
sebenarnya telah sampai di Indonesia sebelum periode 1960-an. Surat Kepercayaan
Gelanggang menandai itu. Namun, sebagian kelompok yang menganut realisme sosialis
menganggap bahwa humanisme universal ialah warisan atau wujud dari seni kaum borjuis.
Pada tahap inilah gesekan terjadi.
Pada gilirannya, setidaknya antara tahun 1960-1965, realisme sosialis medominasi,
namun setelah terjadi pemberontakan G30S, realisme sosialis (Lekra) digantikan oleh
humanisme universal (Manikebu). Pada tahap inilah epistemé dan wacana berubah, dari PKI
yang pada awalnya dimaknai sebagai partai yang menentang keras kolonialisme, berubah
menjadi partai pemberontak. Lekra yang dianggap sebagai underbow PKI, menerima predikat
yang sama dengan PKI. Bersamaan dengan itu, humanisme universal (Manikebu) yang
tadinya dianggap kontra-revolusi, berubah menjadi aliran yang mengembalikan makna
Pancasila, makna demokrasi. Pada tahap ini wacana dan ilmu pengetahuan diproduksi untuk
mengukuhkan kekuasaan baru (orde baru).
Seperti yang telah disebut di bagian sebelumnya, bahwa wacana dan ilmu
pengetahuan terwujud dalam arsip dokumen sejarah dan kajian sastra. Dalam hal ini, buku
Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968) yang disusun oleh H.B. Jassin dan Puisi Indonesia
Modern (2010) yang ditulis oleh Ajip Rosidi menjadi sedikit contoh arsip dan kajian yang
kemudian mengukuhkan kuasa. Bolehlah menganggap bahwa buku ini menjadi wacana
dominan saat itu (terutama yang disusun H.B. Jassin). Dalam kedua produk ilmu pengetahuan
ini definisi coba dibangun.
Angkatan 66: Puisi dan Prosa (1968) mencoba mengukuhkan Manikebu sebagai
angkatan yang sah, angkatan yang mendominasi. H.B. Jassin dalam pengantarnya yang
berjudul “Bangkitnya Satu Generasi” menyebut bahwa Angkatan 66 adalah Manikebu. Jassin
menulis
Namun, hemat saya tidak adalah keberatan prinsipil untuk menolak penamaan
Angkatan Manifes Kebudayaan karena apa yang diperjuangkan oleh Angkatan 66
adalah sesuai dengan apa yang dicetuskan tiga tahun sebelumnya dalam Manifes
Kebudayaan (Jassin, 1966).
Tentu saja buku ini mengeliminasi Lekra sebagai bagian dari kesusastraan 1960-an. Dari sini
dapat dilihat bagaimana buku ini mencoba untuk melegitimasi bahwa Manikebu adalah sastra
yang sah, sastra yang berpegang teguh pada Pancasila.
Pada saat itu, pada saat buku ini diterbitkan ialah saat-saat di mana pikiran antikomunis ditanamkan kepada rakyat dan malahan nampaknya sudah menjadi epistemé.
Sebagai produk pengetahuan dan wacana, buku ini memberi definisi dan makna, mencoba
menyampaikan nilai-nilai “kebenaran” bahwa humanisme universal (Manikebu) adalah sastra
yang sah, sementara realisme sosialis (Lekra) adalah sastra yang terlarang. Buku ini sebagai
produk ilmu pengetahuan dan wacana, meneriakan bahwa karya-karya yang terdapat dibuku
ini adalah karya yang estetis, sementara (secara tidak langsung) ia juga bicara bahwa karya
Lekra tidak estetis. Sebagai produk pengetahuan dan wacana, buku ini mencoba menyusun
dan memapankan kekuasaan. Nada-nada sentimentil acapkali terdengar dalam pengantar
buku tersebut. Jassin juga membuat perbedaan estetika yang dipegang oleh Angkatan 66
dengan kelompok Lekra.
Kelebihan sajak-sajak Angkatan 66 ialah bahwa mereka memperhatikan sudut
estetis—memang hanya dengan demikian kita bisa bicara tentang kesusastraan—
disamping mereka memang bersajak karena ada yang mendesak mau dinyatakan.
Sebagai sajak-sajak perjuangan yang dibuat untuk suatu keperluan atau yang tercetus
dalam situasi-situasi yang eksploratif, sajak-sajak ini pastilah yang mempunyai nilai
sejarah, yang mempunyai daya gugah yang kuat (Jassin, 1966).
Dalam kutipan di atas jelas bahwa Jassin memiliki maksud untuk membedakan
Angkatan 66 dengan kelompok Lekra. Ia menyadari bahwa apa yang dilakukan Angkatan 66
sama dengan Lekra, yaitu karya-karya yang bertemakan sosial. Namun, Jassin menyatakan
bahwa Angkatan 66 memerhatikan estetika dalam karya-karyanya, terutama puisi. Kata kunci
“estetis” itulah yang membuat suatu karya disebut sastra.
Hal yang perlu ditanyakan kemudian adalah apa yang dimaksud estetika? Apakah
keindahan gaya bahasa atau sesuatu keindahan lainnya atau justru ketidakindahan? Tentu saja
ukuran keindahan ini berbeda sama sekali jika dasar-dasar dalam berkaryanya sudah berbeda.
Misalnya, estetika dalam bingkai realisme sosialis tentu saja berbeda dengan estetika dalam
bingkai humanisme universal atau romantik. Siregar (Kratz, 2000: 724) sendiri menyadari
adanya kesamaan Manikebu dan Lekra yang letaknya ada pada cara pengungkapannya,
peristilahannya, dan semboyannya. Namun yang jadi perbedaannya terletak pada sasaran
protes, malahan ini sangat berlawanan.
Dalam hal ini, buku tersebut mencoba untuk membuat standar-standar, model estetika
yang sah untuk sastra Indonesia. Tahap ini (pendefinisian, pembedaan) sama seperti
bagaimana kriminologi membuat definisi tentang orang yang baik dan orang yang jahat.
Menurut ilmu kriminologi, dibantu pula oleh sosiologi, psikologi, (dll.) untuk mengubah
orang yang jahat menjadi baik ialah dengan menguasainya (dipenjara). Dari sini terlihat
bagaimana ilmu pengetahuan berpretensi untuk menguasai objek.
Atas nama sastra, estetika, dan nilai-nilai Pancasila, Jassin mendefinisikan bahwa
karya realisme sosialis Lekra adalah karya yang patut dikuasai agar tidak ada pengarang yang
berpedoman pada karya Lekra yang “kriminal” itu. Menulis dengan gaya Lekra adalah
kriminal, tidak sah, bukan bagian dari sastra Indonesia. Hal ini memperlihatkan bagaimana
sistem displin mulai terbentuk. Para pengarang pada gilirannya (mungkin secara tidak sadar)
akan mengikuti estetika humanisme universal yang bebas secara gagasan, ekspresi, dan
artistik.
Dalam Puisi Indonesia Modern (2010), akan juga ditemukan bagaimana ilmu
pengetahuan melegitimasi kekuasaan. Buku yang cetak pertama kali pada tahun 1987 ini,
tentu saja tidak menghadirkan atau membahas puisi Lekra. Buku ini, seolah-olah membuat
definisi bahwa puisi Lekra bukanlah puisi Indonesia di zaman modern. Kiranya Rosidi
melihat bahwa apa yang dilakukan Lekra dengan realisme sosialisnya, bukan sesuatu yang
inovatif dan estetis.
Rosidi menekankan pada kebebasan berkarya, kebebasan artistik. Hal tersebut terlihat
ketika ia membahas puisi pada periode 1960-an. Dalam buku tersebut, Rosidi membahas
Subagio Sastrawardojo yang mengakui dan memperlihatkan kebebasan dalam berkarya.
Bahkan saking bebasnya, Subagio Sastrowardoyo tidak ingin terkait dengan kelompok
manapun. Ia pun seolah-olah lepas dari kekisruhan yang terjadi di zamannya. Dalam Rosidi
(2010: 59) Subagio Sastrowadojo berpendapat, “kesusastraan harusnya bersifat individuil,
karena tidak dapat dihasilkan oleh manusia yang berkelompok di bawah nama ikatan politik
atau agama”.
Banyak sebenarnya
wacana dan pengetahuan—yang berwujud buku—yang
melegitimasi kekuasaan, dan atas nama kekuasaan wacana dan ilmu pengetahuan itu
diproduksi. Misalnya, buku Gema Tanah Air yang terbit pertama kali pada tahun 1948 dan
dieditori oleh H.B. Jassin. Pada cetakan kelima (1969), arsip/buku tersebut sastrawansastrawan yang punya latar komunis, misalnya M. S. Ashar, Boejoeng Saleh, Bakri Siregar,
Pramudya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, S. Rukiah, Dodong Dwjiwapraja, Rijono
Praktikto, dan Rivai Apin dihilangkan. Baru pada saat runtuhnya orde baru, pada cetakan
keenam, nama-nama tersebut muncul kembali. Kemudian dalam buku Laut Biru Langit Biru
(1977), Ajip Rosidi tidak menyertakan para pengarang Lekra.
4. OBJEK DAN SISTEM DISIPLIN
Pada bagian sebelum telah dilihat bagaimana sistem kuasa itu dibentuk oleh wacana
dan pengetahuan, dan bagaimana kuasa itu juga berperan dalam produksi dokumen (buku),
wacana, produk ilmu pengetahuan. Pada bagian ini, akan dijelaskan bagaimana sistem
disiplin yang digagas Foucault bekerja dalam individu.
Karena sistem disiplin (image sastra modern) itu telah mantap menjadi suatu standar
dalam sastra Indonesia, ia kemudian mempengaruhi estetika karya sastra Indonesia pada
masa-masa berikutnya, minimal sampai orde baru runtuh. Pada gilirannya terciptalah standar-
standar estetika yang harus dicapai oleh seorang pengarang. Misalnya, pertama karya sastra
harus bebas secara gagasan, ekspresi, dan artistik; kedua, karya sastra tidak bersifat politis
(lagi); ketiga, karya sastra tidak boleh beraliran realisme. Jika memenuhi ketentuan tersebut
karya sastra dapat disebut karya sastra yang indah, sah, tidak terlarang, tidak “kriminal”. Pada
tahap ini, para pengarang mengalami pendisiplinan “estetik”, mungkin ia tidak sadar terkena
disiplin itu, tapi itulah yang terjadi. Sebelum lebih jauh, untuk dapat memahaminya secara
konkret dan jelas, dapatlah menengok dulu penelitian yang dilakukan Bartky.
Dalam penelitiannya—yang sudah diterangkan secara singkat pada awal tulisan ini,
Bartky melihat bahwa standar-standar kecantikan global bekerja dalam tubuh perempuan.
Perempuan dipaksa untuk memiliki tubuh yang proporsional, langsing, berkulit halus,
berpakaian sesuai zaman, dan dipaksa untuk mengkonsumsi standar-standar global itu.
Mereka akan membeli kosmetik di Bergdorf Goodman, makan di McDonald, ikut program
diet, dan pergi ke pusat kebugaran (1990: 34).
Perempuan juga menghadapi kekuasaan yang berlapis. Ia mendapat pengawasan dan
pengaturan yang berlapis pula. Pertama, secara makro, perempuan dikuasai, didisiplinkan,
dan diawasi suatu sistem disiplin (image perempuan modern). Kedua, secara mikro,
perempuan dikuasai, diatur, dan diawasi laki-laki—sebagai penjamin sistem disiplin.
Sehingga, apa yang ia lakukan adalah representasi dari narasi nilai kebenaran/kecantikan
global dan narasi laki-laki tentang perempuan.
Ini sama halnya dengan pengarang Indonesia. Pengarang Indonesia dituntut untuk
berkarya “sebebas-bebasnya” (padahal didisiplinkan), tidak politis, tidak realisme sosialis.
Pengarang tidak sadar bahwa mereka telah diarahkan, didisiplinkan. Mereka berusaha
mengejar suatu estetika yang telah diatur.
Agus R. Sarjono (2001: 5-7) menulis bahwa depolitisasi sastra Indonesia terjadi pada
periode setelah keruntuhan orde lama. Tradisi lirisme dalam puisi Indonesia hadir kembali.
Menurutnya, tradisi itu dikawal oleh Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan
Abdul
Hadi
W.M.
Sajak-sajak
estetik
dan
memenuhi
standar
“sastrawi”
pun
menggelombang, menandai terpisahnya sastra dan politik. Orde baru, sebagai penguasa lokal,
penjamin sistem disiplin, menyebarkan depolitisasi diberbagai bidang. Negara sebagai
kepanjangan tangan dari sistem yang lebih besar melakukan pengawasan-pengawasan
estetika. Namun, sebenarnya bukan negara saja yang menjadi penjamin sistem disiplin itu,
kritikus, redaktur sastra, tentu saja menjadi penjamin—sekaligus objek—dari sistem disiplin
itu.
Pada tahap tertentu pengarang seperti diawasi untuk tidak bertindak subversif dalam
karya mereka. Pada tahap ini, konsep panopticon Foucault berlaku. Negara menjadi
kekuasaan lokal yang bertindak sebagai “polisi”; jika ada karya yang subversif, revolusioner,
negara tidak segan-segan melakukan tindakan pendisiplinan. Perlu diingat sekali lagi bahwa
dalam hal ini negara tidak memegang kuasa. Ia hanya bertindak sebagai penjamin agar
kekuasaan itu tetap bekerja. Sebenarnya, negara tidak secara intensif apalagi represif
melakukan pengawasan itu. Ia cukup menghadirkan simbol-simbol, misalnya Departemen
Penerangan, Korem, intelejen, petrus, polisi, dll.
Sebenarnya, yang paling penting bagi sistem disiplin pada masa ini ialah (1) tiadanya
karya yang bersifat realisme sosialis, dengan begitu komunisme tidak akan muncul kembali,
terkubur dalam-dalam dalam sejarah; dan (2) terciptanya situasi yang kondusif sehingga
situasi ekonomi pun akan kondusif pula.
Perlu diingat bahwa sistem disiplin ini (dalam sastra) tersebar dan berelasi satu sama
lain. Pada tahun 1968, Majalah Sastra memuat cerpen “Langit Makin Mendung” karya Ki
Panji Kusmin. Dengan dalih kebebasan berpikir, H.B. Jassin sebagai redaktur memuat cerpen
tersebut. Namun, karena itu melanggar kekuasaan lokal/makro agama, H.B. Jassin sebagai
pihak yang bertanggung jawab pun ditangkap. Hal ini menunjukan bahwa disiplin saling
berelasi, terproduksi secara terus-menerus sesuai dengan situasi masyarakat yang rumit.
5. PENUTUP
Kecenderungan estetika sastra pada masa orde baru dibimbing oleh epistemé, wacana,
ilmu pengetahuan, dan kuasa. Hal ini dilakukan untuk memperkokoh kekuasaan itu sendiri,
baik kekuasaan makro maupun mikro. Sistem disiplin yang berwujud image estetika sastra
modern turut bekerja dalam alam pikir pengarang. Hal ini memperlihatkan bagaimana
kekuasaan mengarahkan sastra pada suatu bentuk dan estetika tertentu.[]
Sumber Bacaan
Bartky, Sandra Lee. 1990. Feminity and Domination; Studies in the Phenomenology of
Oppression. New York dan London: Routledge.
Faruk. 2005. Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modern.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Foucault, Michel. La Volonte de Savior: Histoire de la Sexualité. Jakarta: YOI.
Haryatmoko. 2013. “Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan” disampaikan dalam kuliah
Filsafat Ilmu Pengetahuan FIB UI pada tanggal 24 Oktober 2013: tidak diterbitkan.
Herlambang, Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965. Tangsel: Marjin Kiri.
Jassin, H.B. (ed.). 1968. Angkatan ’66: Prosa dan Puisi. Jakarta: Gunung Agung.
__________. 2013. Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Kratz, Ernst Ulrich. 2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: KPG.
Rosidi, Ajip. 2010. Puisi Indonesia Modern. Bandung: Pustaka Jaya.
__________. 1977. Laut Biru, Langit Biru. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sambodja, Asep. 2010. Historiografi Sastra Indonesia 1960-an. Jakarta: Bukupop.
Riwayat Hidup
Langgeng Prima Anggradinata- Lahir di Bogor, 6 Desember 1987. Bergiat di Arena Studi
Apresiasi Sastra (ASAS) dan Black Rose Theatre. Pernah berkuliah di Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI). Kini berkuliah di Universitas Indonesia (UI).
Pernah bekerja di salah satu kantor pemerintahan sebagai pegawai honorer. Pernah juga
bekerja sebagai wartawan. Kini mengajar di Institut Pertanian Bogor (IPB).
Puisi-puisinya di bukukan dalam antologi bersama Karnaval Kupu-kupu (Flash, 2008),
Menolak Lupa (Obsesi, 2010), Si Murai dan Orang Gila (KPG, 2010). Puisi, cerpen, dan
artikelnya juga dimuat di berbagai media massa (Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Suara
Pembaruan, Padang Ekspres, Batam Pos, Tribun Jabar, Harian Haluan, Radar Banten,
Jurnal Bogor, Radar Tasikmalaya, Harian Global Medan, Minggu Pagi, Jurnal Raja Kadal,
Bulletin Literat, Bulletin Hysteria, dan Jurnal Sastra RM, Bulletin Sastra Siluet) dan media
on-line (situseni.com, mediateater.com, dan kompas.com).
Twitter: @lpa_lpa
Oleh Langgeng Prima Anggradinata2
Abstrak
Power (in term of Foucault) affecting all section, especially literature. It can be seen in orde
lama and orde baru. In both era, esthetics of indonesian literature has changed significantly.
In orde lama (particularly 1960s), literature dominated by socialist realism esthetics that
being initiated by Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). In turn, when orde lama fell, and orde
baru ruling, socialist realism esthetics become a forbidden esthetic, while universal
humanism—that being initiated by Manifes Kebudayaan group, was taking over the
dominating. Universal humanism which emphasizes freedom of thought and work into a
standard (system of discipline) in the mind of authors in orde lama era that affecting until
today. In Michel Foucault approach, changing epistemé, discourse, and science directing a
creation of power that affecting some particular esthetics in Indonesian literature. With
Michel Foucault approach, this paper will explain literature phenomenon in orde baru era,
where working discpline system and epistemé, discourse, and science produced and
producing power.
Keywords: Power, Orde Baru, socialist realism, universal humanism,
1. PENDAHULUAN
Periode sastra tahun 1960-an memperlihatkan suatu dinamika politik dan kebudayaan
yang khas dan monumental. Hal itu disebabkan kondisi pada masa itu membimbing
kehidupan sosial pada tahap yang menegangkan. Periode 1960-an mungkin menjadi periode
paling kelam dalam sejarah Indonesia, maupun kesusastraan Indonesia.
Periode sastra 1960-an tidak bisa dilepaskan dari konfrontasi antara Lembaga
Kesenian Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudyaan (Manikebu). Perbedaan dasar-dasar dalam
berkarya menjadi pemicu persinggungan antara dua kelompok itu. Lekra yang mengusung
realisme sosialis cukup berlainan kutub dengan apa yang dipegang kukuh oleh Manikebu,
yaitu humanisme universal. Lekra, untuk arti yang lebih spesifik, ia mengusung seni untuk
rakyat, sementara Manikebu mengusung seni untuk seni. Kedua dasar itulah yang kemudian
menjadi perbedaan antara karya yang dibuat oleh pengarang-pengarang Lekra dan Manikebu,
terutama mengenai ide dalam masing-masing karya sastra. Nampaknya penting menguraikan
sejarah bagaimana kedua kubu tersebut lahir dan saling berkonfrontasi, minimal secara garis
besar.
1
Pernah disampaikan dalam seminar Fokus Sastra 2014 (Temu Sastrawan Nasional) yang bertema
“Perkembangan Ideologi Sastra Indonesia secara Historis” di Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (Bandung),
26 April 2014.
2
Akademisi, anggota Klub Depok, dan mahasiswa pascasarjana Universita Indonesia.
Jika membicarakan Lekra, akan teringat nama-nama seperti D.N. Aidit, M.S. Ashar,
Njoto, dan A.S. Dharta. Mereka adalah orang-orang yang mendirikan Lekra pada tanggal 17
Agustus 1950. Pada saat itu A.S. Dharta yang bertindak sebagai sekretaris jendral Lekra.
Dalam perkembangannya, Lekra menjadi lembaga yang mendominasi. Mereka memaksa dan
atau menganjurkan seniman-seniman untuk mengikuti cara mereka berkesenian. Dengan
mengusung realisme sosialis, Lekra mengambil jalan bahwa sastra harus berguna bagi rakyat.
Hal ini jelas menimbulkan pertentangan bagi sebagian orang yang lebih memilih berkesenian
untuk seni itu sendiri. Merespons apa yang dilakukan Lekra, berdirilah Manikebu yang
dipelopori Goenawan Mohamad, Arief Budiman, H.B. Jassin, Boen S. Oemarjati, Taufiq
Ismail, dll.
Manikebu hadir sebagai lembaga yang berupaya membela hak-hak manusia yang
ditindas oleh tirani. Dengan kata lain, Manikebu adalah kelompok seniman yang menentang
orde lama, menentang Soekarno, dan ingin mengembalikan ideologi Pancasila yang telah
tercerabut dari akarnya karena komunisme pada saat itu. Oleh sebab kelompok ini menentang
orde lama atau Soekarno, puisi-puisi, cerpen-cerpen, dan esai-esainya pun bernada protes
atau puisi-puisi tentang kemanusiaan.
Kelahiran Manikebu pun direspons oleh Lekra. Lekra yang saat itu dekat dengan
Partai Komunis Indonesia (PKI) dan penguasa, menggunakan caranya untuk menyingkirkan
Manikebu. Pada 8 Mei 1964, pemerintah kemudian mengeluarkan surat yang menyatakan
bahwa Manikebu adalah perkumpulan yang dilarang karena tidak sejalan dengan revolusi.
Lekra pun menjadi sesuatu yang tak terhindarkan lagi dari kehidupan kesenian pada saat itu.
Ia menguasai kesenian (mungkin) secara menyeluruh, dari kesenian tradisi, hingga seni
kontemporer.
Namun, keadaan itu berbalik setelah terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap
jenderal Angkatan Darat—peristiwa itu dikenal dengan G30S. PKI diduga menjadi dalang
dalam peristiwa itu. Pada tanggal 30 September 1965, PKI dan organisasi yang diduga
menjadi bagian darinya dilarang dan dibasmi. Lekra yang dianggap berafiliasi dengan PKI
pun turut dilarang dan seniman-seniman yang ada di dalamnya diasingkan. Akhirnya, sejak
saat itu, dominasi Lekra pun digantikan oleh Manikebu.
Uraian peristiwa di atas, dapat dilihat bagaimana terjadi perebutan kekuasaan (fisik)
antara Lekra dan Manikebu. Namun, nampaknya ada sebuah konfrontasi yang lebih dalam
tidak kasat mata, dan kompleks pada periode 1960-an. Ada perebutan kekuasaan yang lebih
besar, lebih ideologis, lebih kompleks pada sastra periode 1960-an, yaitu bagaimana
terjadinya pembentukan kekuasaan melalui wacana dan ilmu pengetahuan (sastra). Dalam
periode 1960-an, lebih khususnya setelah runtuhnya orde lama, dapat dilihat bagaimana
epistemé tentang PKI berubah, bagaimana wacana dan ilmu pengetahuan diproduksi untuk
kekuasaan. Perubahan epistemé itu tentu saja turut mengubah dan memproduksi wacana dan
ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, hal ini memengaruhi esetika karya sastra pada masa orde
baru.
Dalam tulisan ini, dokumen sejarah sastra dan kajian sastra dipandang sebagai wacana
dan atau pengetahuan. Terbitnya berbagai kajian sastra dan dokumen sejarah sastra (terutama
yang dibuat pada periode orde baru) menunjukan adanya usaha untuk membuat definisi
tentang sastra dan periode 1960-an. Definisi itu dibuat tentu saja untuk membentuk wacana
dan kekuasaan.
Banyak penelitian yang talah mengkaji persoalan sastra (seni) periode 1960-an ini,
baik yang dihasilkan sarjana-sarjana dalam negeri, maupun luar negeri. Krisna Sen dalam
Kuasa dalam Sinema: Negara, Masyarakat, dan Sinema Orde Baru (1994) mencoba
menggali bagaimana sinema orde baru membentuk wacana kekuasaan. Dalam buku yang
diangkat dari penelitiannya tersebut mencoba menggali dari mulai perkembangan sinema
secara periodik, kaitan sinema dalam kebijakan politik, hingga persoalan perempuan dalam
sinema Indonesia. Secara keseluruhan, Krisna Sen kira-kira ingin menunjukan bahwa politik
(orde baru) dan bentuk sinema ialah saling berkait, adalah sesuatu yang tidak dapat
dipisahkan.
Wijaya Herlambang melalui buku Kekerasan Budaya Pasca 1965 (2013) mencoba
menggali kekerasan budaya yang terjadi pada masa orde baru. Sekurang-kurangnya, ia
menjelaskan bagaimana orde baru melalui sastra dan film memproduksi kekerasan simbolik,
atau melakukan “pengiblisan” terhadap PKI. Melalui sastra dan film, orde baru berupaya
untuk membentuk ideologi anti-komunis. Melalui sastra dan film, kekerasan dibenarkan dan
dinormalisasi. Ia berpendapat bahwa liberalisme turut berperan dalam kampanye antikomunis di Indonesia dan di dunia.
Lain halnya dengan Asep Sambodja dalam Historiografi Sastra Indonesia 1960-an
(2010). Apa yang dilakukannya cukup menarik, ia mencoba mendalami peristiwa politik
1960-an dan kaitannya dengan polemik Lekra dan Manikebu. Secara khusus ia berfokus pada
sastrawan, karya sastra, dan sepak terjang sastrawan pada masa itu. Ia mencoba
merekonstruksi periode tersebut dan mengangkat kembali Lekra, sastrawan, dan karyakaryanya yang tenggelam di masa orde baru.
Lain halnya dengan apa yang dilakukan Ariel Haryanto. Ia melihat peristiwa 1960-an
ini melalui pendekatan teori hegemoni. Bagaimana kedua kelompok (Lekra dan Manikebu)
tersebut saling menghegemoni. Namun kemudian, hegemoni Manikebu-lah yang bertahan
karena memang didukung oleh orde baru sebagai pemerintah yang berkuasa saat itu.
Kemudian, hegemoni Manikebu tersebut bertahan hingga hari ini. Demikian, banyak sekali
penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan peristiwa transisi dari orde lama ke orde
baru dalam bidang seni (sastra). Hal itu juga turut menentukan di mana posisi tulisan ini yang
kemudian bertujuan untuk memperkaya pengetahuan mengenai periode 1960-an dan
seterusnya di ranah sastra.
Tulisan ini secara sederhana mencoba untuk menemukan bagaimana kuasa dalam
sastra itu terbentuk dan bagaimana sistem disiplin (meminjam istilah Foucault) bekerja dalam
estetika sastra Indonesia pada dan setelah periode 1960-an. Untuk dapat menguraikan hal
tersebut, tulisan ini akan menggunakan pendekatan relasi kuasa dan sistem disiplin yang
dipopulerkan oleh Michel Foucault.
Sebelumnya, Sandra Lee Bartky dalam bukunya yang berjudul Femininity and
Domination; Studies in the Phenomenology of Oppression (1990) pernah menggunakan
pendekatan ini untuk menguraikan sistem displin yang bekerja dalam perempuan pada zaman
modern. Dalam buku tersebut dijelaskan bagaimana perempuan dikonstruksi, diatur, dan
disiplinkan untuk memenuhi standar-standar modern. Menurut Bartky, perempuan
mengalami kekerasan simbolik oleh sebuah sistem yang dinamakan sistem disiplin.
Modernitas membimbing perempuan pada bentuk-bentuk tertentu.
Apa yang disampaikan Bartky dalam bukunya tersebut memperlihatkan bahwa
pendekatan ini secara fleksibel dapat menguraikan berbagai persoalan perempuan
(femininitas) yang berkaitan dengan kuasa dan sistem disiplin. Tulisan ini, menguraikan
persoalan kuasa dan sistem disiplin dalam ranah kehidupan sastra periode 1960-an,
khususnya pasca runtuhnya orde lama. Untuk menguraikan hal tersebut, tulisan ini akan
berfokus pada arsip atau dokumen sejarah dan pengkajian sastra Indonesia, khususnya
periode 1960-an.
2. FOUCAULT DAN KEKUASAAN
Dalam pengertian Foucault, kekuasaan memiliki arti yang khas. Ia berpendapat bahwa
kekuasaan yang ia maksud bukanlah kekuasaan yang diinstitusikan, “bukan himpunan
lembaga dan perangkat yang menjamin kepatuhan warga negara dalam suatu negara tertentu.
Ia berpendapat, kekuasaan di sini dapat diartikan sebagai “suatu sistem dominasi global yang
dilakukan oleh suatu unsur atau kelompok atas yang lain, dan yang karena disalurkan secara
berturut-turut, dampaknya melanda masyarakat seutuhnya” (2008: 120).
Dalam hal ini, Foucault melihat bahwa kekuasaan pada masa modern ini, tidak lahir
dari rahim institusi, negara, atau lembaga. Kekuasaan dalam periode modern menjadi lebih
abstrak, global, transnasional sistemik yang (bisa jadi) diampu oleh “suatu unsur” atau
“kelompok atas yang lain”. Hal ini berbeda dengan kekuasaan pada masa tradisional di mana
kekuasaan dipegang oleh seorang raja. Ketika terjadi pelanggaran hukum, maka pelanggaran
tersebut dianggap sebagai penghinaan terhadap raja. Hukuman bersifat langsung. Kekuasaan
pada periode tradisional merupakan sistem kekuasaan searah; atas-bawah, raja-rakyat. Pada
masa modern, kekuasaan berwujud sebagai modus baru sistem kontrol yang membuat
individu merasa diamati, padahal itu adalah sistem kontrol yang bekerja dalam dirinya dan
untuk dirinya sendiri. Ia berada dan merasuk dalam alam bawah sadar.
Kekuasaan tidak bersumber pada satu titik; ia datang dari mana pun. Menurut
Foucault, kekuasaan adalah nama yang diberikan kepada suatu situasi strategis yang rumit
dalam masyarakat (2008: 121-122). Gambaran di atas memperlihatkan bahwa kekuasaan
tidak lagi mengenai kekuasaan dan negara , melainkan mengenai kekuasaan dan subjek. Jika
begitu, hal ini berarti kekuasaan memiliki hubungan yang banyak. Hubungan-hubungan itu
dapat mencangkup dalam proses ekonomi, penyebaran ilmu pengetahuan, hubungan seksual.
Kekuasaan terbentuk dari pemisahan, ketidaksamaan, ketidakseimbangan (diskriminasi).
Artinya, kekuasaan terjadi dalam situasi di mana ada suatu perbedaan. Misalnya, di kantor
(antara bos dan karyawan), dalam keluarga (antara suami dan istri atau orang tua dan anak).
Tentu saja, perbedaan ini membentuk pertentangan, perlawanan, atau friksi-friksi.
Dalam Surveiller et punir (1975), Foucault mengatakan “secara umum harus diakui
bahwa kekuasaan lebih beroperasi daripada dimiliki. Kekuasaan tidak merupakan hak
istimewa yang dapat atau dipertahankan kelas dominan, tetapi akibat dari keseluruahan posisi
strategisnya. Akibat yang menunjukan posisi mereka yang didominasi” (dalam Haryatmoko
2013).
Bagi Foucault, kekuasaan merupakan sistem, atau dalam istilahnya disebut tatanan
disiplin, “dan ia dapat dijamin oleh institusi-institusi yang terspesialisasi (penjara atau rumah
koreksi abad XIX) atau oleh institusi dengan tujuan tertentu (sekolah, rumah sakit)
(Haryatmoko, 2013). Pada tataran mikro, kekuasaan bekerja dan tersebar melalui keluarga,
sekolah, penjara, pabrik, dll. Pada tahap ini kekuasaan terinstitusionalisasi.
Dapat dilihat bahwa kekuasaan memiliki dua dimensi, pertama dimensi makro dan
dimensi mikro. Pada dimensi makro kekuasaan tidak terinstitusi, menyebar, dll. dalam bentuk
sistem, disiplin. Pada dimensi mikro atau praksis, kekuasaan dijamin oleh lembaga, institusi,
kelompok, yang juga bertindak sebagai “polisi” untuk menjamin kepatuhan.
Hubungan kekuasaan dengan subjek ini memperlihatkan putusnya epistemologis, di
mana manusia sebagai subjek secara bersama-sama juga menjadi objek dari ilmu
pengetahuan. Manusia mempelajari manusia untuk menemukan definisi atau hukum-hukum
tentang manusia yang kemudian menjadi sistem disiplin. Hal ini menjadikan “setiap
kekuasaan mempunyai pengetahuannya sendiri” (Foucault dalam Haryatmoko, 2013).
Ilmu pengetahuan dan wacana menjamin terproduksinya kekuasaan. Pada tahap atau
periode ini, kekuasaan lebih dipandang sebagai sesuatu yang ilmiah. Pengetahuan
memproduksi nilai kebenaran, kemudian nilai kebenaran itu membentuk individu. Misalnya,
kriminologi membuat definisi manusia yang baik dan penjahat, maka penjahat itu harus
dikuasai dengan cara dipenjara untuk dibuat menjadi baik. Sosiologi mendefinisikan manusia
modern, maka manusia akan mengejar predikat itu. Hal ini berarti kekuasaan dimungkinkan
beroperasi pada seluruh ilmu pengetahuan termasuk sastra. Alih-alih ilmiah, dengan klaim
objektif, ilmu pengetahuan mendorong terciptanya kekuasaan. Semakin suatu ilmu berusaha
untuk objektif, semakin terlihat tanda-tanda keinginan untuk mendominasi, untuk berkuasa.
Misalnya (lagi), psikologi mendefinisikan orang normal dan orang gila, maka paramedis
merasa perlu untuk menguasai orang gila tersebut. Pada tahap ini, dominasi terjadi.
3. WACANA, PENGETAHUAN, DAN KUASA
Pada tahap ini, akan diuraikan bagaimana kekuasaan itu terjadi pada pasca G30S, atau
setelah komunisme runtuh, atau ketika orde baru berkuasa.
Pada masa itu, dalam ranah global, terjadi “pertarungan” antara komunisme dan
liberalisme. Liberalisme mencoba menyingkirkan komunisme dari dunia. Untuk merebut
kekuasaan komunisme, liberalisme masuk dari berbagai sektor kehidupan, misalnya ekonomi,
politik, dan budaya. Dalam hal ini, akan dilihat bagaimana liberalisme masuk ke dalam ranah
budaya dan memengaruhi gerak kebudayaan Indonesia.
Herlambang (2013: 6) menerangkan bahwa liberalisme dalam ranah budaya
diwujudkan oleh humanisme universal. Humanisme universal ini merupakan suatu konsep
kebebasan intelektual, kebebasan berekspresi, dan kebebasan artistik. Humanisme universal
sebenarnya telah sampai di Indonesia sebelum periode 1960-an. Surat Kepercayaan
Gelanggang menandai itu. Namun, sebagian kelompok yang menganut realisme sosialis
menganggap bahwa humanisme universal ialah warisan atau wujud dari seni kaum borjuis.
Pada tahap inilah gesekan terjadi.
Pada gilirannya, setidaknya antara tahun 1960-1965, realisme sosialis medominasi,
namun setelah terjadi pemberontakan G30S, realisme sosialis (Lekra) digantikan oleh
humanisme universal (Manikebu). Pada tahap inilah epistemé dan wacana berubah, dari PKI
yang pada awalnya dimaknai sebagai partai yang menentang keras kolonialisme, berubah
menjadi partai pemberontak. Lekra yang dianggap sebagai underbow PKI, menerima predikat
yang sama dengan PKI. Bersamaan dengan itu, humanisme universal (Manikebu) yang
tadinya dianggap kontra-revolusi, berubah menjadi aliran yang mengembalikan makna
Pancasila, makna demokrasi. Pada tahap ini wacana dan ilmu pengetahuan diproduksi untuk
mengukuhkan kekuasaan baru (orde baru).
Seperti yang telah disebut di bagian sebelumnya, bahwa wacana dan ilmu
pengetahuan terwujud dalam arsip dokumen sejarah dan kajian sastra. Dalam hal ini, buku
Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968) yang disusun oleh H.B. Jassin dan Puisi Indonesia
Modern (2010) yang ditulis oleh Ajip Rosidi menjadi sedikit contoh arsip dan kajian yang
kemudian mengukuhkan kuasa. Bolehlah menganggap bahwa buku ini menjadi wacana
dominan saat itu (terutama yang disusun H.B. Jassin). Dalam kedua produk ilmu pengetahuan
ini definisi coba dibangun.
Angkatan 66: Puisi dan Prosa (1968) mencoba mengukuhkan Manikebu sebagai
angkatan yang sah, angkatan yang mendominasi. H.B. Jassin dalam pengantarnya yang
berjudul “Bangkitnya Satu Generasi” menyebut bahwa Angkatan 66 adalah Manikebu. Jassin
menulis
Namun, hemat saya tidak adalah keberatan prinsipil untuk menolak penamaan
Angkatan Manifes Kebudayaan karena apa yang diperjuangkan oleh Angkatan 66
adalah sesuai dengan apa yang dicetuskan tiga tahun sebelumnya dalam Manifes
Kebudayaan (Jassin, 1966).
Tentu saja buku ini mengeliminasi Lekra sebagai bagian dari kesusastraan 1960-an. Dari sini
dapat dilihat bagaimana buku ini mencoba untuk melegitimasi bahwa Manikebu adalah sastra
yang sah, sastra yang berpegang teguh pada Pancasila.
Pada saat itu, pada saat buku ini diterbitkan ialah saat-saat di mana pikiran antikomunis ditanamkan kepada rakyat dan malahan nampaknya sudah menjadi epistemé.
Sebagai produk pengetahuan dan wacana, buku ini memberi definisi dan makna, mencoba
menyampaikan nilai-nilai “kebenaran” bahwa humanisme universal (Manikebu) adalah sastra
yang sah, sementara realisme sosialis (Lekra) adalah sastra yang terlarang. Buku ini sebagai
produk ilmu pengetahuan dan wacana, meneriakan bahwa karya-karya yang terdapat dibuku
ini adalah karya yang estetis, sementara (secara tidak langsung) ia juga bicara bahwa karya
Lekra tidak estetis. Sebagai produk pengetahuan dan wacana, buku ini mencoba menyusun
dan memapankan kekuasaan. Nada-nada sentimentil acapkali terdengar dalam pengantar
buku tersebut. Jassin juga membuat perbedaan estetika yang dipegang oleh Angkatan 66
dengan kelompok Lekra.
Kelebihan sajak-sajak Angkatan 66 ialah bahwa mereka memperhatikan sudut
estetis—memang hanya dengan demikian kita bisa bicara tentang kesusastraan—
disamping mereka memang bersajak karena ada yang mendesak mau dinyatakan.
Sebagai sajak-sajak perjuangan yang dibuat untuk suatu keperluan atau yang tercetus
dalam situasi-situasi yang eksploratif, sajak-sajak ini pastilah yang mempunyai nilai
sejarah, yang mempunyai daya gugah yang kuat (Jassin, 1966).
Dalam kutipan di atas jelas bahwa Jassin memiliki maksud untuk membedakan
Angkatan 66 dengan kelompok Lekra. Ia menyadari bahwa apa yang dilakukan Angkatan 66
sama dengan Lekra, yaitu karya-karya yang bertemakan sosial. Namun, Jassin menyatakan
bahwa Angkatan 66 memerhatikan estetika dalam karya-karyanya, terutama puisi. Kata kunci
“estetis” itulah yang membuat suatu karya disebut sastra.
Hal yang perlu ditanyakan kemudian adalah apa yang dimaksud estetika? Apakah
keindahan gaya bahasa atau sesuatu keindahan lainnya atau justru ketidakindahan? Tentu saja
ukuran keindahan ini berbeda sama sekali jika dasar-dasar dalam berkaryanya sudah berbeda.
Misalnya, estetika dalam bingkai realisme sosialis tentu saja berbeda dengan estetika dalam
bingkai humanisme universal atau romantik. Siregar (Kratz, 2000: 724) sendiri menyadari
adanya kesamaan Manikebu dan Lekra yang letaknya ada pada cara pengungkapannya,
peristilahannya, dan semboyannya. Namun yang jadi perbedaannya terletak pada sasaran
protes, malahan ini sangat berlawanan.
Dalam hal ini, buku tersebut mencoba untuk membuat standar-standar, model estetika
yang sah untuk sastra Indonesia. Tahap ini (pendefinisian, pembedaan) sama seperti
bagaimana kriminologi membuat definisi tentang orang yang baik dan orang yang jahat.
Menurut ilmu kriminologi, dibantu pula oleh sosiologi, psikologi, (dll.) untuk mengubah
orang yang jahat menjadi baik ialah dengan menguasainya (dipenjara). Dari sini terlihat
bagaimana ilmu pengetahuan berpretensi untuk menguasai objek.
Atas nama sastra, estetika, dan nilai-nilai Pancasila, Jassin mendefinisikan bahwa
karya realisme sosialis Lekra adalah karya yang patut dikuasai agar tidak ada pengarang yang
berpedoman pada karya Lekra yang “kriminal” itu. Menulis dengan gaya Lekra adalah
kriminal, tidak sah, bukan bagian dari sastra Indonesia. Hal ini memperlihatkan bagaimana
sistem displin mulai terbentuk. Para pengarang pada gilirannya (mungkin secara tidak sadar)
akan mengikuti estetika humanisme universal yang bebas secara gagasan, ekspresi, dan
artistik.
Dalam Puisi Indonesia Modern (2010), akan juga ditemukan bagaimana ilmu
pengetahuan melegitimasi kekuasaan. Buku yang cetak pertama kali pada tahun 1987 ini,
tentu saja tidak menghadirkan atau membahas puisi Lekra. Buku ini, seolah-olah membuat
definisi bahwa puisi Lekra bukanlah puisi Indonesia di zaman modern. Kiranya Rosidi
melihat bahwa apa yang dilakukan Lekra dengan realisme sosialisnya, bukan sesuatu yang
inovatif dan estetis.
Rosidi menekankan pada kebebasan berkarya, kebebasan artistik. Hal tersebut terlihat
ketika ia membahas puisi pada periode 1960-an. Dalam buku tersebut, Rosidi membahas
Subagio Sastrawardojo yang mengakui dan memperlihatkan kebebasan dalam berkarya.
Bahkan saking bebasnya, Subagio Sastrowardoyo tidak ingin terkait dengan kelompok
manapun. Ia pun seolah-olah lepas dari kekisruhan yang terjadi di zamannya. Dalam Rosidi
(2010: 59) Subagio Sastrowadojo berpendapat, “kesusastraan harusnya bersifat individuil,
karena tidak dapat dihasilkan oleh manusia yang berkelompok di bawah nama ikatan politik
atau agama”.
Banyak sebenarnya
wacana dan pengetahuan—yang berwujud buku—yang
melegitimasi kekuasaan, dan atas nama kekuasaan wacana dan ilmu pengetahuan itu
diproduksi. Misalnya, buku Gema Tanah Air yang terbit pertama kali pada tahun 1948 dan
dieditori oleh H.B. Jassin. Pada cetakan kelima (1969), arsip/buku tersebut sastrawansastrawan yang punya latar komunis, misalnya M. S. Ashar, Boejoeng Saleh, Bakri Siregar,
Pramudya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, S. Rukiah, Dodong Dwjiwapraja, Rijono
Praktikto, dan Rivai Apin dihilangkan. Baru pada saat runtuhnya orde baru, pada cetakan
keenam, nama-nama tersebut muncul kembali. Kemudian dalam buku Laut Biru Langit Biru
(1977), Ajip Rosidi tidak menyertakan para pengarang Lekra.
4. OBJEK DAN SISTEM DISIPLIN
Pada bagian sebelum telah dilihat bagaimana sistem kuasa itu dibentuk oleh wacana
dan pengetahuan, dan bagaimana kuasa itu juga berperan dalam produksi dokumen (buku),
wacana, produk ilmu pengetahuan. Pada bagian ini, akan dijelaskan bagaimana sistem
disiplin yang digagas Foucault bekerja dalam individu.
Karena sistem disiplin (image sastra modern) itu telah mantap menjadi suatu standar
dalam sastra Indonesia, ia kemudian mempengaruhi estetika karya sastra Indonesia pada
masa-masa berikutnya, minimal sampai orde baru runtuh. Pada gilirannya terciptalah standar-
standar estetika yang harus dicapai oleh seorang pengarang. Misalnya, pertama karya sastra
harus bebas secara gagasan, ekspresi, dan artistik; kedua, karya sastra tidak bersifat politis
(lagi); ketiga, karya sastra tidak boleh beraliran realisme. Jika memenuhi ketentuan tersebut
karya sastra dapat disebut karya sastra yang indah, sah, tidak terlarang, tidak “kriminal”. Pada
tahap ini, para pengarang mengalami pendisiplinan “estetik”, mungkin ia tidak sadar terkena
disiplin itu, tapi itulah yang terjadi. Sebelum lebih jauh, untuk dapat memahaminya secara
konkret dan jelas, dapatlah menengok dulu penelitian yang dilakukan Bartky.
Dalam penelitiannya—yang sudah diterangkan secara singkat pada awal tulisan ini,
Bartky melihat bahwa standar-standar kecantikan global bekerja dalam tubuh perempuan.
Perempuan dipaksa untuk memiliki tubuh yang proporsional, langsing, berkulit halus,
berpakaian sesuai zaman, dan dipaksa untuk mengkonsumsi standar-standar global itu.
Mereka akan membeli kosmetik di Bergdorf Goodman, makan di McDonald, ikut program
diet, dan pergi ke pusat kebugaran (1990: 34).
Perempuan juga menghadapi kekuasaan yang berlapis. Ia mendapat pengawasan dan
pengaturan yang berlapis pula. Pertama, secara makro, perempuan dikuasai, didisiplinkan,
dan diawasi suatu sistem disiplin (image perempuan modern). Kedua, secara mikro,
perempuan dikuasai, diatur, dan diawasi laki-laki—sebagai penjamin sistem disiplin.
Sehingga, apa yang ia lakukan adalah representasi dari narasi nilai kebenaran/kecantikan
global dan narasi laki-laki tentang perempuan.
Ini sama halnya dengan pengarang Indonesia. Pengarang Indonesia dituntut untuk
berkarya “sebebas-bebasnya” (padahal didisiplinkan), tidak politis, tidak realisme sosialis.
Pengarang tidak sadar bahwa mereka telah diarahkan, didisiplinkan. Mereka berusaha
mengejar suatu estetika yang telah diatur.
Agus R. Sarjono (2001: 5-7) menulis bahwa depolitisasi sastra Indonesia terjadi pada
periode setelah keruntuhan orde lama. Tradisi lirisme dalam puisi Indonesia hadir kembali.
Menurutnya, tradisi itu dikawal oleh Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan
Abdul
Hadi
W.M.
Sajak-sajak
estetik
dan
memenuhi
standar
“sastrawi”
pun
menggelombang, menandai terpisahnya sastra dan politik. Orde baru, sebagai penguasa lokal,
penjamin sistem disiplin, menyebarkan depolitisasi diberbagai bidang. Negara sebagai
kepanjangan tangan dari sistem yang lebih besar melakukan pengawasan-pengawasan
estetika. Namun, sebenarnya bukan negara saja yang menjadi penjamin sistem disiplin itu,
kritikus, redaktur sastra, tentu saja menjadi penjamin—sekaligus objek—dari sistem disiplin
itu.
Pada tahap tertentu pengarang seperti diawasi untuk tidak bertindak subversif dalam
karya mereka. Pada tahap ini, konsep panopticon Foucault berlaku. Negara menjadi
kekuasaan lokal yang bertindak sebagai “polisi”; jika ada karya yang subversif, revolusioner,
negara tidak segan-segan melakukan tindakan pendisiplinan. Perlu diingat sekali lagi bahwa
dalam hal ini negara tidak memegang kuasa. Ia hanya bertindak sebagai penjamin agar
kekuasaan itu tetap bekerja. Sebenarnya, negara tidak secara intensif apalagi represif
melakukan pengawasan itu. Ia cukup menghadirkan simbol-simbol, misalnya Departemen
Penerangan, Korem, intelejen, petrus, polisi, dll.
Sebenarnya, yang paling penting bagi sistem disiplin pada masa ini ialah (1) tiadanya
karya yang bersifat realisme sosialis, dengan begitu komunisme tidak akan muncul kembali,
terkubur dalam-dalam dalam sejarah; dan (2) terciptanya situasi yang kondusif sehingga
situasi ekonomi pun akan kondusif pula.
Perlu diingat bahwa sistem disiplin ini (dalam sastra) tersebar dan berelasi satu sama
lain. Pada tahun 1968, Majalah Sastra memuat cerpen “Langit Makin Mendung” karya Ki
Panji Kusmin. Dengan dalih kebebasan berpikir, H.B. Jassin sebagai redaktur memuat cerpen
tersebut. Namun, karena itu melanggar kekuasaan lokal/makro agama, H.B. Jassin sebagai
pihak yang bertanggung jawab pun ditangkap. Hal ini menunjukan bahwa disiplin saling
berelasi, terproduksi secara terus-menerus sesuai dengan situasi masyarakat yang rumit.
5. PENUTUP
Kecenderungan estetika sastra pada masa orde baru dibimbing oleh epistemé, wacana,
ilmu pengetahuan, dan kuasa. Hal ini dilakukan untuk memperkokoh kekuasaan itu sendiri,
baik kekuasaan makro maupun mikro. Sistem disiplin yang berwujud image estetika sastra
modern turut bekerja dalam alam pikir pengarang. Hal ini memperlihatkan bagaimana
kekuasaan mengarahkan sastra pada suatu bentuk dan estetika tertentu.[]
Sumber Bacaan
Bartky, Sandra Lee. 1990. Feminity and Domination; Studies in the Phenomenology of
Oppression. New York dan London: Routledge.
Faruk. 2005. Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modern.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Foucault, Michel. La Volonte de Savior: Histoire de la Sexualité. Jakarta: YOI.
Haryatmoko. 2013. “Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan” disampaikan dalam kuliah
Filsafat Ilmu Pengetahuan FIB UI pada tanggal 24 Oktober 2013: tidak diterbitkan.
Herlambang, Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965. Tangsel: Marjin Kiri.
Jassin, H.B. (ed.). 1968. Angkatan ’66: Prosa dan Puisi. Jakarta: Gunung Agung.
__________. 2013. Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Kratz, Ernst Ulrich. 2000. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta: KPG.
Rosidi, Ajip. 2010. Puisi Indonesia Modern. Bandung: Pustaka Jaya.
__________. 1977. Laut Biru, Langit Biru. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sambodja, Asep. 2010. Historiografi Sastra Indonesia 1960-an. Jakarta: Bukupop.
Riwayat Hidup
Langgeng Prima Anggradinata- Lahir di Bogor, 6 Desember 1987. Bergiat di Arena Studi
Apresiasi Sastra (ASAS) dan Black Rose Theatre. Pernah berkuliah di Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI). Kini berkuliah di Universitas Indonesia (UI).
Pernah bekerja di salah satu kantor pemerintahan sebagai pegawai honorer. Pernah juga
bekerja sebagai wartawan. Kini mengajar di Institut Pertanian Bogor (IPB).
Puisi-puisinya di bukukan dalam antologi bersama Karnaval Kupu-kupu (Flash, 2008),
Menolak Lupa (Obsesi, 2010), Si Murai dan Orang Gila (KPG, 2010). Puisi, cerpen, dan
artikelnya juga dimuat di berbagai media massa (Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Suara
Pembaruan, Padang Ekspres, Batam Pos, Tribun Jabar, Harian Haluan, Radar Banten,
Jurnal Bogor, Radar Tasikmalaya, Harian Global Medan, Minggu Pagi, Jurnal Raja Kadal,
Bulletin Literat, Bulletin Hysteria, dan Jurnal Sastra RM, Bulletin Sastra Siluet) dan media
on-line (situseni.com, mediateater.com, dan kompas.com).
Twitter: @lpa_lpa