ISBAT NIKAH DALAM RANGKA POLIGAMI (Studi Putusan Pengadilan Agama Ambarawa Nomor : 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb). - Test Repository
ISBAT NIKAH DALAM RANGKA POLIGAMI
(Studi Putusan Pengadilan Agama Ambarawa Nomor :
0030/Pdt.G/2012/PA.Amb).
SKRIPSI
Disusun Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA SYARI’AH
Oleh:
ACHMAD KURNIAWAN
NIM. 21209002
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
2014
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Achmad Kurniawan NIM : 21209002 Jurusan
: Syari‟ah Progran Studi : Al-ahwal Al-Syakhsiyyah Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan Dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasar kode etik ilmiah.
Salatiga, Januari 2014 Yang menyatakan Achmad Kurniawan NIM. 21209002
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO دَّ مَ مَ دَّ مَ نْ مَBarang siapa bersungguh-sungguh pasti akan menuai hasil yang diharapkan
PERSEMBAHAN
penulis persembahkan karya tulis ini untuk orang-orang yang telah memberi arti dalam perjalanan hidup penulis khususnya buat: Bapak dan Ibu penulis tercinta yang selalu mendoakan dengan tulus ikhlas dan senantiasa memberikan dukungan baik moril maupun materiil.
Terimakasih yang tiada habis untuk engkau. Isteri dan anak-anak penulis yang selalu memberikan semangat dan dorongan.
Para Dosen, terimakasih atas ilmu yang yang bapak dan ibu berikan, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Aamiin Sahabat-sahabati AS angkatan 2009, semoga sukses selalu.
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah, segala puji hanya untuk Allah Tuhan seru sekalian alam.Banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Kadang kita baru mampu merasakan betapa basar nikmat yang Allah berikan ketika sebagianya berkurang atau hilang.
Allahumma shalli „alaa Sayidina Muhammad wa‟ala ali Sayidina
Muhammad . Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Baginda
Rosululah
. Kalau hari ini, kita shallallahu „alaihi wa sallam beserta keluarganya
bisa mengingat Allah Azza wa jalla, maka itu semua tak lepas dari jasa besar Rosulullah
shallallahu „alaihi wa sallam yang selalu sabar menyampaikan kebenaran.
Dalam skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih banyak kepada:
1. Dr. Imam Sutomo, M.Ag. Selaku ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Salatiga 2. Ketua Pengadilan Agama Ambarawa 3.
Bapak Ilya Muchsin, SHI, MSI. Selaku Ketua Program Studi Ahwal Al- Syakhsiyyah 4. Ibu Dra.Siti Zumrotun M.Ag. Selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran guna memberikan bimbingan serta arahan dengan sabar dan ikhlas 5. Segenap hakim Pengadilan Agama Ambarawa
6. Ibu Dra. Farkhah selaku wakil panitera yang dengan sabar meluangkan waktu untuk penulis dalam menyelesaikan penelitian ini
7. Segenap dosen jurusan syari‟ah 8.
Segenap staf STAIN salatiga 9. Segenap staf pengadilan Agama Ambarawa 10.
Bapak, Ibu, isteri dan anak-anakku yang selalu mendoakan penulis, mendukung serta memberi banyak bantuan baik moril maupun materiil
11. Semua kerabat dan keluarga yang selalu saya harapkan doanya 12.
Teman-teman seperjuangan AS NR angkatan 2009 yang penuh warna 13. Semua teman dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan moral dan material hingga selesainya proses belajar.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi bahasa, isi maupun analisisnya oleh karena itu penulis berharap masukan, saran dan Kritik yang membangun yang menambah ilmu kepada penulis.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Salatiga, Januari 2014 Achmad Kurniawan NIM. 21209002
ABSTRAK
Kurniawan, Achmad. 2014. Isbat Nikah Dalam Rangka Poligami (Studi Putusan Pengadilan Agama Ambarawa No.0030/Pdt.G/2012/PA.Amb). Skripsi. jurusan Syariah. Program Studi Al-ahwal Al-Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dra. Siti Zumrotun, M.Ag
Kata Kunci: Isbat Nikah dan Poligami
Penelitian ini untuk menganalisis pertimbangan Hakim dan dasar hukum Hakim Pengadilan Agama Ambarawa dalam mengisbat nikahkan sebuah perkawinan dalam rangka poligami yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertimbangan Hakim dan apa dasar hukum penetapan isbat nikah dalam rangka poligami.
Penelitan ini adalah penelitian lapangan atau kualitatif, adapun sumber data yang yang digunakan adalah sumber data primer dan skunder. Data primer diperoleh dari berkas Penetapan Pengadilan Agama Ambarawa serta melalui wawancara dengan para hakim yang menangani masalah isbat nikah, kemudian dikaji secara mendalam selanjutnya dianalisis dengan tehnik deskriptif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa prosedur pengajuan permohonan isbat nikah dilakukan dengan pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama Ambarawa, menetapkan Isbat nikah adalah karena para Pemohon tidak ada larangan melakukan perkawinan baik menurut Hukum Islam maupun Undang- undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. I
HALAMAN LOGO STAIN SALATIGA........................................................... II
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... III
HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN ................................................... IV
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ...................................... V
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................... VI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ VII
ABSTRAK ........................................................................................................ VIII
DAFTAR ISI ........................................................................................................ IX
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1 B. Fokus Penelitian ......................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 8 D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 8 E. Penegasan Istilah ........................................................................ 8 F. Kerangka Teori........................................................................... 9 G. Telaah Pustaka ......................................................................... 10 H. Metode Penelitian..................................................................... 11 I. Sistematika Penulisan............................................................... 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Nikah .......................................................... 14 1. Pengertian, Dasar Hukum Dan Tujuan Pernikahan ........... 14 2. Rukun Dan Syarat Sah Perkawinan ................................... 19 3. Pengertian Nikah Sirri ........................................................ 20 4. Status Hukum Pernikahan Sirri .......................................... 23 B. Pencatatan Perkawinan............................................................. 25 C. Isbat Nikah ............................................................................... 31 D. Poligami ................................................................................... 48 E. Kode Etik Hakim...................................................................... 52 BAB III PAPARAN DATA A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Ambarawa ................... 75 1. Sejarah Pengadilan Agama Ambarawa .............................. 75 2. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Ambarawa ........... 80 B. Gambaran Perkara Nomor. 0030/Pdt.G/2012/Pa Ambarawa .. 81 C. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Perkara No.
0030/Pgt.G/2012/Pa Ambarawa ............................................... 86
BAB IV ANALISI DATA A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Penetapan Isbat Nikah Dalamrangka Poligami Oleh Hakim ............................. 95
B.
Analisis Terhadap Dasar Hukum Penetapan Isbat Nikah Dalam Rangka Poligami Oleh Hakim ............................................... 101
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................ 105 B. Saran-Saran ............................................................................ 106 C. Penutup ................................................................................... 106 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan salah satu aspek kehidupan manusia yang sangat penting baik di tinjau dari sudut sosial maupun yuridis, perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat berarti dalam tata kehidupan manusia. Sebab dengan perkawinan dapat dibentuk ikatan hubungan pergaulan antara dua insan yang berlainan jenis secara resmi dalam suatu ikatan suami isteri menjadi satu keluarga. Selanjutnya keluarga dapat terus berkembang menjadi kelompok masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai dari perkawinan adalah mencapai kabahagiaan hidup dunia dan akhirat.
Di tinjau dari segi yuridis, perkawinan akan menimbulkan suatu hubungan hukum yang bersifat hak dan kewajiban antara suami dan isteri secara timbal balik, selain hal tersebut juga merupakan suatu perbuatan keagaman yang erat sekali hubungannya dengan kerohanian seseorang, sebagai salah satu masalah keagamaan maka setiap agama di dunia ini mempunyai peraturan sendiri tentang perkawinan. Sehingga pada prinsipnya diatur dan harus tunduk pada ketentuan ajaran agama yang dianut oleh mereka yang akan melangsungkan perkawinan.
(Abdurrahman, 2001:17) Selain itu perkawinan merupakan momentum yang sangat penting bagi perjalanan hidup manusia. Perkawinan secara otomatis akan mengubah status keduanya dalam masyarakat. Setelah perkawinan kedua belah pihak akan menerima beban dan tanggung jawab masing-masing. Tanggung jawab dan beban itu bukanlah sesuatu yang mudah dilaksanakan, sehingga mereka harus mampu memikul dan melaksanakannya.
Dengan melihat kepada arti, kedudukan dan tujuan yang sangat penting dan luhur dari perkawinan tersebut, maka perlu ada suatu peraturan yang dijadikan pedoman pergaulan hidup yang disebut norma atau kaidah. Menurut Kansil pergaulan hidup dibedakan empat macam norma yaitu: 1.
Norma Agama 2. Norma Kesusilaan 3. Norma Kesopanan 4. Norma Hukum.
Norma agama dalam hal ini adalah agama Islam yang bersumber kepada hukum syara‟ yang terkandung dalam al-Qur‟an dan hadist. Sedangkan norma hukum bersumber kepada: Undang-undang, Kebiasaan (custom), Keputusan-keputusan (yurisprudensi), dan Traktat (Treaty). (Kansil, 1989:84)
Dalam hal perkawinan, seseorang muslim wajib berpedoman kepada hukum syara‟ yang telah mengatur ketentuan segala hal yang diwajibkan, dilarang, dan dibolehkan.
Dengan demikian perkawinan ditinjau dari hukum syar‟i adalah merupakan pengabdian kepada Allah yang telah menciptakan alam semesta dengan segala kesempurnaan-Nya. Salah satu bukti kesempurnaan cipataan-Nya ialah adanya ketentuan- ketentuan syara‟ yang mengatur perkawinan manusia agar mendapat ketentraman dan kasih sayang antara suami istri yang bahagia. (Khalaf, 2002:100)
Disamping wajib mengikuti hukum syara‟ muslim warga negara indonesia harus berpedoman kepada norma hukum yang bersumber kepada undang-undang negara, sebagai negara hukum, Indonesia pun mempunyai undang-undang yang mengatur tentang perkawinan, yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. LN Nomor 1 Tahun 1974, Tambahan LN Nomor 3019/1974, (sudarsono, 2005:6) PP Nomor 9 tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sabagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dalam pasal 2 (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dan dalam pasal 2 (2) undang-undang ini disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. ketentuan ini lebih lanjut diperjelas dalam bab 2 peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang intinya: sebuah pernikahan baru dianggap memiliki kekuatan hukum dihadapan undang-undang jika dilaksanakan menurut aturan agama dan telah dicatat oleh pegawai pencatat nikah. Kompilasi Hukum Islam pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa
“agar terjamin ketertiban bagi masyarakat Islam
maka setiap perkawinan harus dicatat” Jadi setiap perkawinan harus
dicatatkan dihadapan pegawai pencatat Nikah (PPN) atau Kantor urusan Agama bagi yang beragama islam. Pasangan suami isteri yang menikah namun belum memiliki buku akta nikah sebenarnya pernikahan mereka sah menurut hukum islam apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi karena pernikahan mereka tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama maka pernikahan mereka tidak di akui negara atau sering disebut dengan istilah nikah sirri.
Dengan adanya pengakuan dari negara atas suatu perkawinan akan mempermudah pasangan suami isteri untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan hukum dan administrasi negara. Misalnya untuk pembuatan akta kelahiran anak, untuk pembuktian pembagian warisan, dan untuk pembuktian dalam perceraian. Selain itu dengan adanya bukti catatan perkawinan dari pejabat yang berwenang, maka perkawinan yang dilangsungkan oleh seseorang akan mempunyai kekuatan yuridis, selain itu juga sebagai alat untuk mendapatkan hak-hak masing-masing pihak suami isteri.
Dalam kenyataanya praktik nikah sirri masih banyak dilakukan oleh masyarakat dengan berbagai alasan, salah satunya untuk melakukan poligami tanpa prosedur, sebagaimana diatur dalam pasal 5 Undang- undang nomor 1 tahun 1974 yang menjelaskan persyaratan untuk poligami yaitu :
1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, dalam hal seseorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a.
Adanya persetujuan dari isteri; b.
Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan- keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; c.
Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri- isteri dan anak-anak mereka.
Apabila menyimak maksud dari ketentuan pasal 5 ayat (1) tersebut, rasanya tidak mudah bagi suami untuk berpoligami, sehingga jalan satu- satunya untuk mempermudah poligami adalah dengan nikah sirri.
Selanjutnya bagaimana akibat hukum dari pernikahan sirri yang dilakukan oleh seorang suami yang melakukan poligami tersebut menurut Undang-undang yang berlaku di Indonesia. Apakah perkawinan tersebut sah dan menghasilkan anak yang sah pula atau justru sebaliknya.
Dalam hal seorang melakukan poligami dengan cara nikah sirri di Pengadilan Agama Ambarawa telah menyelesaikan perkara serupa yang kemudian dikeluarkan putusan Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb, tentang ijin poligami yang diajukan oleh seorang suami terhadap isteri pertama. Suami tersebut mengajukan ijin poligami untuk menikah dengan isteri kedua yang sebelumnya telah dinikahi secara sirri pada tanggal 3 juni
2000 dan telah dikaruniai 4 orang anak. Suami tersebut sebagai Pemohon memohon kepada ketua Pengadilan Agama Ambarawa agar menetapkan, memberi ijin kepada Pemohon untuk menikah lagi (poligami) dengan isteri kedua Pemohon tersebut. Selain itu Pemohon juga memohon agar pernikahanya dengan isteri kedua pada tanggal 3 Juni 2000 juga disahkan.
Padahal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 3 ayat (2) Dan menjelaskan bahwa.
Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila di kehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan . Dan pasal 4 (1) yang berbunyi. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
Dengan demikian poligami hanya bisa dilakukan setelah memperoleh ijin dari pengadilan, sehingga pernikahan Pemohon pada tanggal 3 Juni 2000 dengan isteri kedua Pemohon bertentangan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 ayat (1).
Sebagaimana yang terjadi bahwa suami tersebut melakukan poligami tanpa terlebih dahulu mengajukan ijin poligami ke Pengadilan Agama, melainkan langsung melakukan nikah bawah tangan atau nikah sirri. Selain itu Pemohon juga melangar ketentuan pasal 9 Undang-undang perkawinan yang menentukan bahwa seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini.
Berdasarkan uraian di atas dan ijin poligami pengadilan agama ambarawa (penetapan Nomor: 0030/Pdt.G / 2012 / PA.Amb) penulis ingin lebih mengetahui bagaimanakah ijin poligami dan penetapan isbat nikah yang mana pemohon sudah melakukan pernikahan tanpa dicatatkan dihadapan Pegawai Pencatat Nikah Atau melakukan nikah di bawah tangan / nikah sirri dengan isteri kedua bila hal tersebut diajukan apakah telah sesuai dengan hukum positif yang ada.
Untuk lebih terarahnya materi penulisan skripsi ini maka penulis membuat satu judul yaitu : Isbat Nikah Dalam Rangka Poligami ( Study
Putusan Nomor : 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb).
B. Fokus penelitian
Agar pembahasannya teratur dan sistematis maka perlu dirumuskan beberapa permasalahan. Permasalahan besar yang menjadi fokus penulis adalah bagaimanakah sebenarnya isbat nikah dalam rangka poligami di pengadilan agama itu terjadi. Adapun fokus penelitian yang akan dikaji adalah : 1.
Bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan isbat nikah dalam rangka poligami.
2. Apakah dasar hukum hakim dalam menetapkan isbat nikah dalam rangka poligami.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk : 1. Mengetahui apa pertimbangan hakim dalam menetapkan isbat nikah dalam rangka Poligami
2. Mengetahui apa dasar hukum hakim dalam menetapkan isbat nikah dalam rangka poligami
D. Manfaat penelitian 1.
Menambah kontribusi keilmuan dalam rangka menganilis ketentuan aturan hukum perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam khususnya tentang hukum perkawinan 2. Memberikan pemahaman yang benar tentang aturan-aturan hukum isbat nikah dan poligami, agar berguna dalam penerapannya di masyarakat.
E. Penegasan Istilah
Untuk mendapatkan kejelasan judul di atas, penulis perlu memberikan penegasan dan batasan terhadap istilah-istilah yang ada. Istilah-istilah tersebut adalah: 1.
Isbat adalah penyuguhan, penetapan, ketetapan (Poerwadarminta, 2006:453).
2. Isbat nikah adalah penetapan atau pengesahan nikah oleh Pengadilan Agama (KHI pasal 7).
3. Poligami: Sistim perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya diwaktu yang bersamaan(Depdiknas,2002:885).
F. Kerangka Teori
Al- qur‟an dan Al-hadist tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan, namun dirasakan masyarakat akan pentingnya hal pencatatan perkawinan, atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi yang disebut Akta, dengan demikian dimuatnya pencatatan perkawinan adalah sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional. Undang-undang perkawinan tidak saja menempatkan pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang penting tetapi juga menjelaskan mekanisme bagaimana pencatatan perkawinan itu dilaksanakan.
Di dalam UU No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Ini adalah satu-satunya ayat yang mengatur tentang pencatatan perkawinan. Didalam penjelasannya tidak ada uraian rinci kecuali dimuat di dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang perkawinan pasal 3 dinyatakan: (1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinanakan dilangsungkan. (2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
(3) pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.
Lebih lanjut dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai pentingnya pencatatan perkawinan pada pasal 5 dan 6 mengungkapkan beberapa garis hukum sebagai berikut:
Pasal 5 (1) Agar terjamin ketertibaban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954.
Pasal 6 (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah. (2) Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Perkawinan yang tidak dicatatkan sesuai peraturan undang- undang yang berlaku adalah perkawinan yang tidak sah sehingga tidak memiliki kekuatan hukum. Perlunya pencatatan nikah agar semua orang yang telah melakukan perkawinan tidak hanya memiliki keabsahan secara syariat tetapi juga memiliki legalitas formal yang dilindungi undang- undang Negara kita.
G. Telaah Pustaka
Sejauh pengetahuan penyusun dengan melakukan penelaahan terhadap bahan-bahan kepustakaan baru ada 1 (satu) penulis yang meneliti tentang isbat nikah, yaitu:
Skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Isbat Nikah Pasca Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan (studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2009-
2011)”. Yang ditulis oleh Asa Maulida Sulhah, Nim : 21108011, Program studi Ahwal al-Syakhshiyyah, Konsentrasi peradilan Agama Tahun 2009-2011. Lebih fokus kepada Isbat Nikah yang terjadi sesudah berlakunya undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang terjadi di Pengadilan Agama Salatiga.
H. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Jenis Penelitian ini adalah Studi Pustaka yaitu berupa studi putusan yang penulis peroleh dari putusan pengadilan agama ambarawa serta mengadakan penelitian pada obyek yang dibahas yaitu bagaimana Pengadilan Agama Ambarawa dalam memeriksa dan memutus perkara tentang isbat Nikah dalam rangka Poligami
Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Data Primer yaitu berkas putusan pengadilan Agama Ambarawa b.
Data sekunder yaitu mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku hasil penelitian yang berwujud laporan(Soekamto,1984:12)
2. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang berhubungan dengan penelitian penulis mengunakan metode antara lain: a.
Wawancara yaitu sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari responden(Arikunto,1995:115).
Responden penelitian ini adalah para hakim dan panitera di Pengadilan Agama Ambarawa.
b.
Studi Pustaka yaitu sebagai penelitian yang menggali dari bahan- bahan tertulis (M.Arifin,1990:135).
c.
Dokumentasi yaitu dengan mengambil data berupa putusan Pengadilan Agama Ambarawa Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb.
3. Metode analisis data a.
Deduktif: Penulis mengadakan analisis terhadap kasus putusan No: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb, dengan berpijak pada aturan Perundang- Undangan yang ada.
b.
Induktif: Apa yang diperoleh dari penelitian terhadap putusan No: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb, akan bermanfaat untuk menyelesaikan perkara-perkara yang sejenis.
4. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan standar acuan
BUKU PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI yang diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga tahun 2008.
I. Sistematika penulisan
Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab yang dapat dijelaskan sebagai berikut: BAB I : merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, kerangka teori, telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Dalam bab ini berisi kajian pustaka yang menjelaskan tentang Gambaran Umum Perkawinan, Undang-Undang Perkawinan, pencatatan perkawinan, Isbat Nikah, Poligami, dan Kode Etik Hakim.
BAB III : Dalam bab ini berisi paparan data Gambaran umum pengadilan Agama Ambarawa, Sejarah Pengadilan Agama Ambarawa, Struktur organisasi Pengadilan Agama Ambarawa, Gambaran Perkara Nomor 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb dan Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb.
BAB IV : Dalam bab ini berisi Analisis Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap penetapan isbat nikah dalam rangka poligami, Analisis Terhadap dasar hukum penetapan isbat nikah dalam rangka Poligami oleh Hakim.
BAB V : Dalam bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari penulis. Bagian akhir terdiri dari daftar pustaka dan riwayat hidup
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Pernikahan 1. Pengertian, dasar hukum dan tujuan pernikahan Pernikahan salah satu sunatullah yang umum berlaku pada
semua makhluk tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh- tumbuhan.
Firman Allah:
“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”. (Adz-Dzariyat : 49)
Firman-Nya pula:
“Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. (Yasiin:36)
Pernikahan sebagai suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya, setelah masing masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan, Tuhan tidak mau menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki, dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah adakan hukum sesuai dengan martabatnya.(Sabiq, 1980:7)
Menurut ajaran Islam melangsungkan pernikahan berarti melaksanakan ibadah (Ali, 2002:3). Pernikahan merupakan sunatullah yang artinya perintah Allah dan Rasul-Nya, tidak hanya keinginan manusia semata atau hawa nafsunya saja.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Perkawinan atau pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah. Sedangkan nikah menurut bahasa:
al jam‟u dan al-dhamu yang artinya
kumpul. Makna nikah (zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan
(wath‟u al-zaujah)
bermakna menyetubuhi istri. Selain dari Definisi diatas dikemukakan juga bahwa kata nikah berasal dari bahasa arab
“nikahun” yang
merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja (
fi‟il madhi)
“nakaha” sinonimnya “tazawwaja” kemudian diterjemahkan
kedalam bahasa indonesia sebagai perkawinan.
Beberapa penulis juga kadang menyebut pernikahan dengan kata perkawinan. Dalam bahasa Indonesia, “perkawinan” berasal dari kata “kawin”, yang menurut bahasa, artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.
Istilah kawin digunakan secara umum, untuk tumbuhan, hewan dan manusia, dan menunjukkan proses generatif secara alami. Berbeda dengan itu, nikah hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat dan terutama menurut Agama.
Adapun menurut syara‟ nikah adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera (Tihami, 2009:8). Sebagaimana disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bab I pasal 1 “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari pernikahan adalah boleh atau mubah.
Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan sunnah Rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal pernikahan itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melangsungkan akad pernikahan diperintah oleh agama dan dengan telah berlangsungnya akad pernikahan itu maka pergaulan laki-laki dengan perempuan menjadi mubah (Syarifudin, 2007:43).
Menurut Tihami, perkawinan yang merupakan sunatullah adalah mubah tergantung pada tingkat kemaslahatannya, oleh karena itu, imam izzudin abdussalam, membagi maslahat menjadi tiga bagian, yaitu: a. maslahat yang di wajibkan oleh Allah SWT bagi hambanya.
Maslahat wajib bertingkat-tingkat, terbagi kepada fadhil (utama),
afdhal (paling utama) dan mutawassith (tengah-tengah). Maslahat
yang paling utama adalah maslahat yang pada dirinya terkandung kemuliaan, dapat menghilangkan mafsadah paling buruk, dan dapat mendatangkan kemaslahatan yang paling besar, kemaslahatan jenis ini wajib dikerjakan.
b.
Maslahat yang disunahkan oleh syar‟i kepada hamba-Nya demi untuk kebaikannya, tingkat maslahat paling tinggi berada sedikit di bawah tingkat maslahat wajib paling rendah. Dalam tingkatan ke bawah, maslahat sunnah akan sampai pada tingkat maslahat yang ringan yang mendekati maslahat mubah.
c.
Maslahat mubah. Bahwa dalam perkara mubah tidak terlepas dari kandungan nilai maslahat atau penolakan terhadap mafsadah.
Meskipun asal perkawinan itu adalah mubah, namun dapat berubah menurut ahkamal-khamsah (hukum yang lima) menurut perubahan keadaan: a.
Nikah wajib. Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu, yang akan menambah taqwa. Nikah juga wajib bagi orang yang telah mampu, yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram. Kewajiban ini tidak akan terlaksanana kecuali dengan nikah.
b.
Nikah haram. Nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga, melaksanakan kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal dan kewajiban batin seperti mencampuri istri.
c.
Nikah sunnah. Nikah disunnahkan bagi orang-orang yang telah mampu tetapi ia masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram, dalam hal ini maka nikah lebih baik daripada membujang karena membujang tidak diajarkan oleh Islam.
d.
Nikah mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia wajib nikah tapi tidak haram bila tidak nikah.
Dari uraian di atas menggambarkan bahwa dasar perkawinan, menurut islam, pada dasarnya bisa menjadi wajib, haram, sunnah dan mubah tergantung dengan keadaan maslahat atau mafsadatnya.
Nampak bahwa pernikahan itu bukan sekedar untuk memenuhi keperluan nafsu antara laki-laki dan perempuan, namun ada banyak tujuan-tujuan dalam pernikahan, diantaranya tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 yang berbunyi “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Dalam bukunya Fikih Munakahat fikin nikah lengkap tihami mengungkapkan bahwa tujuan dari pernikahan adalah: a.
Mendapatkan dan melangsungkan keturunan; b.
Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasing sayangnya; c.
Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan; d.
Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal; e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.
2. Rukun Dan Syarat Sah Pernikahan a.
Menurut Hukum Islam Menurut syariat agama islam, setiap perbuatan hukum harus memenuhi dua unsur, yaitu rukun dan syarat. Rukun ialah unsur pokok dalam setiap perbuatan hukum, sedang syarat ialah unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. Dalam ensiklopedi hukum islam, syarat dirumuskan dengan, “sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar‟i, dan dia berada diluar hukum itu sendiri”. Perbedaan antara rukun dan syarat, khususnya rukun dan syarat dalam hal akad nikah, tampak begitu tipis. Pernikahan yang di dalamnya terdapat akad, layaknya akad-akad lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan akad. Adapun rukun pernikah adalah: 1)
Mempelai laki-laki; 2)
Mempelai perempuan; 3)
Wali; 4)
Dua orang saksi;
5) Sighat ijab kabul.
Syarat-syarat sahnya pernikahan menurut Hukum Islam adalah: 1)
Syarat-syarat Suami
a) Bukan mahram dari calon istri;
b) Tidak terpaksa atau atas keauan diri sendiri;
c) Orangnya tertentu, jelas orangnya;
d) Tidak sedang ihram.
2) Syarat-syarat Istri
a) Tidak ada halangan syara‟ yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah; b)
Merdeka, atas kemauan sendiri;
c) Jelas orangnya; d) Tidak sedang berihram. 3)
Syarat-syarat Wali
a) Laki-laki;
b) Baligh;
c) Waras akalnya;
d) Tidak dipaksa;
e) Adil;
f) Tidak sedang ihram. 4)
Syarat-syarat Saksi
a) Laki-laki;
b) Baligh;
c) Waras akalnya;
d) Adil;
e) Dapat mendengar dan melihat;
f) Bebas, tidak dipaksa;
g) Tidak sedang mengerjakan ihram;
h) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab qabul. 5)
Syarat shigat (bentuk akad). Shigat hendaknya dilakukan dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang yang melakukan akad, penerima akad, dan saksi. (Tihami, 2009:12)
6) Mahar. Selain dari syarat diatas menurut para ulama, mahar hukumnya wajib dan ditempatkan sebagai syarat sahnya dalam perkawinan. Pengertian mahar adalah pemberian khusus yang bersifat wajib berupa uang atau barang yang diserahkan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika atau akibat dari berlangsungnya akad nikah (Syarifudin, 2007:85). Tentang mahar ini terdapat dalam firman Allah pada surat an-
Nisa‟ ayat 4 yang berbunyi:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya ”.
b.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Rukun dan Syarat perkawinan menurut Kompilasi Hukum
Islam (KHI) di tuangkan dalam Bab IV pasal 14 sampai dengan pasal 38 yang secara keseluruhan sama dengan Hukum Islam.
Kemudian dituangkan juga dalam pasal 4 KHI disebutkan tentang syarat sahnya perkawinan yang berbunyi:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan”. c.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Rukun dan Syarat perkawinan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 secara tegas tidak dituangkan di dalamnya.
Akan tetapi undang-undang tersebut sepenuhnnya menyerahkan kepada ketentuan yang diatur oleh agama orang yang akan melangsungkan perkawinan tentang persyaratan sahnya suatu perkawinan.
Kemudian syarat sahnya perkawinan menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dituangkan dalam pasal 2 yang berbunyi:
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Pengertian Nikah Sirri/Nikah di bawah tangan
Menurut bahasa Nikah Sirri/Nikah di bawah tangan berarti perkawinan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau perkawinan yang dirahasiakan. Sedangkan menurut hukum, nikah Sirri atau Nikah di bawah tangan adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali pihak perempuan dengan seorang laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, tetapi tidak dilaporkan atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) (http://irmadevita.com)
Dalam pernikahan Sirri atau Nikah di bawah tangan, Petugas Pencatat Nikah (KUA) tidak akan mencatat perkawinannya tersebut karena dianggap menyimpang dari Undang-Undang yang berlaku.
Sedangkan sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah perkawinan sirri atau nikah di bawah tangan. Namun, secara sosiologis istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang yang berlaku.
Khusunya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (2) yang menegaskan bahwa perkawinan harus dicatat sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (Subekti, 2009:538)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan Sirri atau Nikah di bawah tangan adalah perkawinan yang sudah memenuhi syarat dan rukun dalam hukum Islam. Tetapi tidak mengikuti hukum negara yang mengharuskan untuk dicatat.
4. Status Hukum pernikahan sirri.
Menurut hukum syariat bahwa sebuah perkawinan dipandang sah jika telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang meliputi calon mempelai pria, calon mempelai wanita, wali mempelai wanita, dua orang saksi dan ijab qabul. Sedang menurut Undang-Undang Perkawinan selain memenuhi aturan syari‟at pernikahan harus dicatat oleh petugas pencatat perkawinan. Jika perkawinan sudah memenuhi kedua aturan tersebut maka perkawinan itu disebut legal wedding jika tidak tercatat maka disebut illegal wedding.
Secara dogmatis, tidak ada nas dalam Al- Qur‟an ataupun sunnah yang mengatur pencatatan untuk perkawinan, tetapi Al-
Qur‟an memberikan perhatian besar kepada pencatatan setiap transaksi utang dan jual beli. Semestinya jika dalam urusan muamalah saja pencatatan diperintahkan, apalagi dalam perkawinan yang akan melahirkan hukum lain seperti hak pengasuhan anak, hak waris dan hak-hak lainnya.
Oleh karena itu, memenuhi aturan Agama dan aturan negara amat penting karena kita selain sebagai agamawan juga sebagai warga negara, sehingga perjalanan rumah tangga tidak hanya bersentuhan dengan aturan agama tetapi juga aturan negara. Dengan demikian jika kelangsungan hidup rumah tangga tidak lepas dari aturan negara dan mematuhinya maka dari itu mematuhi aturan tersebut wajib hukumnya B.
Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang berdasarkan hokum Islam maupun perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam(Ali, 2007:26). Pengertian perkawinan sebagai sebuah akad lebih sesuai dengan pengertian yang dimaksud oleh Undang- undang. Juga dijelaskan bahwa akad nikah dalam sebuah perkawinan memiliki kedudukan yang sentral. Begitu penting akad nikah sehingga ditempatkan sebagai salah satu rukun nikah yang di sepakati.
Kendati demikian tidak ada syarat bahwa akad nikah itu harus dituliskan atau diaktekan. Atas dasar inilah fikih Islam tidak mengenal adanya pencatatan perkawinan (Nasution, 2002:139). Mengapa pencatatn perkawinan tidak diberi perhatian yang serius oleh fikih walaupun ada ayat Al- Qur‟an yang menganjurkan untuk mencatat segala transaksi muamalah. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah (2): 282 :
...
Artinya: “Hai oaring-orang yang beriman, apabila kamu bermu‟amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar….” (QS. Al-Baqarah (282): 2)
Pertama, larangan untuk menulis sesuatu selain Al- qur‟an. Akibatnya kultur tulis tidak begitu berkembang disbanding dengan kultur hafalan (oral). Kedua, kelanjutan dari yang pertama, maka mereka sangat mengandalkan hafalan (ingatan). Agaknya mengingat sebuah peristiwa perkawinan bukanlah sebuah hal yang sulit untuk dilakukan. Ketiga, tradisi walimat al-