BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana - RYANTORO NUGROHO BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan

  dilarang yang disertai ancaman pidana pada barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Wadah tindak pidana ialah undang-undang, baik berbentuk kodifikasi yakni KUHP dan di luar kodifikasi, tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan ( Adami Chazawi, 2002: 67).

  Istilah “tindak pidana” digunakan sebagai pengganti kata “Strafbaarfeit” yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (W.v.S.). W.v.S tersebut tidak pernah memberi penjelasan tentang arti dari Strafbaarfeit, sehingga para sarjana memberikan istilah yang berbeda-beda.

  Berikut ini adalah pendapat atau definisi beberapa sarjana tentang istilah

  Strafbaarfeit : a.

  Moeljatno Menggunakan istilah perbuatan pidana dengan pertimbangan bahwa perbuatan itulah keadaan yang dimuat oleh seseorang atau barang sesuatu yang dilakukan dan perbuatan itu menunjuk baik kepada akibatnya maupun yang menimbulkan akibat (Moeljatno, 1980: 35).

  b.

  Utrecht Memakai istilah “peristiwa pidana” dengan alasan istilah “peristiwa” meliputi suatu perbuatan (nandelen) atau doen positif atau kelalaian (niet

  doen negatif ) maupun akibatnya (Utrecht, 1986: 252). c.

  Vos Pengertian tindak pidana manusia yang oleh peraturan perundang- undangan diberi hukuman menurut Vos sama dengan peristiwa pidana, yaitu adalah suatu kelakuan. Dalam definisi Vos dapat dilihat anasir- anasir sebagai berikut:

  1. Suatu kelakuan manusia Akibat anasir ini ialah hal peristiwa dan pembuat tidak dapat dipisahkan yang satu dari yang lain.

  2. Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat (1) KUHP) dilarang hukum dan diancam dengan hukuman. Kelakuan yang bersangkutan harus dilarang dan diancam dengan hukuman, jadi tidak semua manusia yang melanggar ketertiban hukum pidana adalah suatu peristiwa pidana (Utrecht, 1986: 252).

  d.

  Satochid Kartanegara Menerjemahkan strafbaarfeit dengan istilah delik, dengan memberikan alasan bahwa perumusan strafbaarfeit merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan hukuman (Satochid Kartanegara: 74).

  e.

  Prodjodikoro Sedangkan menurut Wirdjono Prodjodikoro yang memakai istilah tindak pidana, tindak pidana diartikan sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana ( Wirdjono Prodjodikoro, 1989: 45). f.

  Lamintang Perkataan “feit” itu sendiri di dalam Bahasa Indonesia berarti sebagian dari kenyatan atau een gedelte van de werkrlijkheid, sedang “strafbaar” berarti dapat dihukum sehingga secara harafiah perkataan “strafbaarfeit” itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyatan yang dapat dihukum yang sudah barang tentu tidak tetap. Oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan kenyataan perbuatan ataupun tindakan (Lamintang, 1990: 175).

  g.

  Pompe Perkataan “strafbaarfeit” itu secara teoretis dapat dirumuskan sebagai pelanggaran norma yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman adalah perlu demi terselenggaranya tata tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum (Lamintang, 1990: 176).

  h.

  Van Hatum Peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang menyebabkan hal seseorang (pembuat) mendapat hukuman atau dapat dihukum (Utrecht, 1986: 254). i.

  Simons “Stafbaarfeit” itu sebagian suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja oleh seseorang yang telah dipertanggungjawabkan tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum (Lamintang, 1990: 176).

  Dalam hukum pidana dikenal beberapa rumusan pengertian hukum pidana atau istilah tindak pidana sebagai pengganti istilah “Strafbaarfeit”. Sedangkan dalam perundang-undangan yang lain istilah tersebut disebutkan sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik dengan unsur-unsur sebagai berikut:

  Perbuatan: a.

  Perbuatannya memenuhi rumusan undang-undang; b.

  Bersifat melawan hukum. Orang (berupa kesalahan/pertanggungjawaban); a.

  Mampu bertanggung jawab; b.

  Tidak ada alasan pemaaf (Sudarto, 2007: 23). Dalam hukum pidana dikenal beberapa rumusan pengertian hukum pidana atau istilah tindak pidana sebagai pengganti istilah “Strafbaarfeit”. Sedangkan dalam perundang-undangan yang lain istilah tersebut disebutkan sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik dengan unsur-unsur sebagai berikut:

  Perbuatan: a.

  Perbuatannya memenuhi rumusan undang-undang; b.

  Bersifat melawan hukum. Orang (berupa kesalahan/pertanggungjawaban); c.

  Mampu bertanggung jawab; d.

  Tidak ada alasan pemaaf (Sudarto, 2007: 23). Hukum pidana (menurut Van Apeldoorn dalam bukunya yang berjudul “Inleiding tot de studie van het Ned. Recht” terbitan tahun 1952 halaman 251- 260), dibedakan dan diberikan arti: a.

  Hukum pidana materil yang menunjuk pada perbuatan pidana dan yang oleh sebab perbuatan itu dapat dipidana, di mana perbuatan pidana (strafbare feiten) itu mempunyai dua bagian yaitu: 1.

  Bagian obyektif merupakan suatu perbuatan atau sikap (nalaten) yang bertentangan dengan hukum positif, sehingga bersifat melawan hukum yang menyebabkan tuntutan hukum dengan ancaman pidana atas pelanggarannya.

2. Bagian subyektif merupakan suatu kesalahan, yang menunjuk kepada si pembuat (dader) untuk dipertanggungjawabkan menurut hukum.

  b.

  Hukum pidana formil yang mengatur cara hukum pidana materil dapat dilaksanakan (Bambang Poernomo, 1985: 20).

  Salah satu unsur dari tindak pidana adalah sifat melawan hukum. Perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana apabila memiliki sifat melawan hukum. Sudarto menyatakan perbuatan dikatakan memiliki sifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut masuk dalam rumusan delik sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang. Pengertian perbuatan melawan hukum lebih luas dan umum daripada kejahatan maupun pelanggaran (Sudarto, 2007:44).

  Di Indonesia, sumber hukum utama hukum pidana terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan peraturan-peraturan hukum pidana lainnya, tetapi di samping itu masih memungkinkan sumber dari hukum adat yang masih hidup sebagai delik adat yang dalam praktik putusan pengadilan didasarkan hubungan suatu delik adat dengan Undang-undang Darurat 1951 Nomor 1 Pasal 5 ayat (3) b (Bambang Poernomo, 1985: 23).

  Setiap orang yang akan menjalankan Undang-undang Hukum Pidana, sebagai yang berwenang hendaknya wajib memperhatikan asas hukumnya yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang menyatakan: “Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang yang terdahulu dari perbuatan itu”. Ketentuan asas ini memuat asas yang tercakup dalam rumusan: “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia

  

Lege Poenali”. Artinya tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang

  terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan atas delik itu (Abdoel Djamali, 2012: 179-180).

  Simons menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana (delik) terdiri dari: 1) perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);

  2) diancam dengan pidana; 3) melawan hukum; 4) dilakukan dengan kesalahan; 5) orang yang melakukan mampu bertanggung jawab (Marlina, 2009: 75). Pidana ialah hukuman berupa siksaan yang merupakan keistimewaan dan unsur terpenting dalam hukum pidana. Kita telah mengetahui, bahwa sifat dari hukum ialah memaksa dan dapat dipaksakan, dan paksaan itu perlu untuk menjaga tertibnya, diturutinya peraturan-peraturan hukum atau untuk memaksa si perusak memperbaiki keadan yang telah dirusaknya atau mengganti kerugian yang telah disebabkannya. Menurut KUHP Pasal 10, hukuman atau pidana terdiri atas:

1. Pidana pokok (utama): 1.1.

  Pidana mati.

1.2. Pidana penjara:

  1.2.1 Pidana seumur hidup.

  1.2.2 Pidana penjara selama waktu tertentu (setinggi-tingginya 20 (dua puluh tahun) dan sekurang-kurangya 1 (satu) hari).

  1.3. Pidana kurungan (sekurang-kurangya 1 (satu) hari dan setinggi- tingginya 1 (satu) tahun)

1.4. Pidana denda.

2. Pidana tambahan: 2.1.

  Pencabutan hak-hak tertentu.

  2.2. Perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu.

  2.3. Pengumuman keputusan hakim. Hukuman-hukuman itu telah dipandang perlu agar kepentingan umum dapat lebih baik terjamin keselamatannya (C. S. T. Kansil, 1989: 259-260).

  Roeslan Saleh dan Sudarto menganggap suatu pidana adalah nestapa terhadap pelaku dalam berbagai bentuk karena pelanggarannya. Selanjutnya Plato dan Aristoteles mengatakan bahwa pidana itu dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat melainkan agar jangan berbuat kejahatan lagi. Berdasarkan beberapa pendapat para sarjana tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pidana mengandung unsur-unsur serta ciri-ciri sebagai berikut:

  1) Pidana yang diberikan harus merupakan suatu nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

  2) Pidana itu diberikan harus kepada seseorang yang telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan;

  3) Pidana itu dijatuhkan atas suatu perbuatan atau ditujukan kepada pelaku pelanggaran atas perbuatannya;

  4) Pidana itu harus dijatuhkan oleh lembaga/instansi yang berwenang yang mewakili negara (Marlina, 2009: 123-124).

  Secara ideal konsepsional, (Barda Nawawi Arif, dalam makalahnya yang berjudul “Penegakan Hukum Pidana dalam Konteks Hukum dan Pembangunan Nasional” yang disampaikan pada Stadium Generale, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Mei, 2007, halaman 9-10) dasar pembenaran atau justifikasi pengenaan atau penjatuhan pidana tidak hanya pada “tindak pidana” sebagai syarat obyektif dan “kesalahan” sebagai syarat subyektif, tetapi juga pada “tujuan pemidanaan”. Pengenaan pidana bukan sekedar menetapkan; apakah orangnya bersalah atau tidak; dan apakah pidana yang akan dijatuhkan sesuai dengan tujuan pemidanaan (Mahrus Ali, 2012: 6).

  E. Mezger mendefinisikan tindak pidana sebagai keseluruhan syarat untuk adanya pidana. Menurutnya unsur tindak pidana terdiri dari adanya perbuatan, perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau pasif), sifat melawan hukum (baik bersifat objektif maupun yang bersifat subyektif), dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang diancam dengan pidana (Marlina, 2009:76).

  Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana (Wirjono Prodjodikoro, 1989: 55).

  Bahwa untuk tindak pidana sebagai unsur pokok harus ada suatu akibat tertentu dari perbuatan si pelaku berupa kerugian atas kepentingan orang lain, menandakan keharusan ada hubungan sebab-musabab (causal veerband) antara perbuatan si pelaku dan kerugian kepentingan tersebut. Maka di antara sarjana hukum selalu ada pembahasan yang mendalam tentang sebab-musabab (causalitas) pada umumnya, di bidang hukum pada khususnya, termasuk bidang hukum perdata dalam hal “perbuatan melawan hukum” (onrechtmatige daad) (Wirjono Prodjodikoro, 1989: 57).

  Adapun teori-teori mengenai hubungan sebab-musabab di antaranya yaitu: a.

  Teori conditio sine qua non (teori syarat mutlak) dari Von Buri (tahun 1869) yang mengatakan, suatu hal adalah suatu sebab dari suatu akibat apabila akibat itu tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada. Teori ini mengenal banyak sebab dari satu akibat.

  b.

  Teori adequate veroorzaking (penyebab yang dapat dikira-kirakan) dari Von Bar (1870), diteruskan oleh Van Kriese, yang mengajarkan bahwa suatu hal baru dapat dinamakan sebab dari suatu akibat apabila menurut pengalaman manusia dapat dikira-kirakan, bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat itu. Menurut teori ini hanya ada satu yang dianggap sebagai sebab. Yang lain dinamakan bukan sebab, melainkan hanya semacam hal yang kebetulan mendahului atau mengikuti sebab yang sebenarnya (Wirjono Prodjodikoro, 1989: 57-58).

  Sudah menjadi pendapat umum bahwa hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Dengan kedudukan demikian kepentingan yang hendak dilindungi oleh hukum pidana adalah kepentingan umum, sehingga kedudukan negara dengan aparat penegak hukumnya menjadi dominan. Tidak sedikit para ahli yang dengan tegas menyatakan bahwa hukum pidana memang merupakan hukum publik. Moeljatno (dalam bukunya yang berjudul “Asas-Asas Hukum Pidana, terbitan tahun 2008, halaman 2) mengatakan bahwa hukum pidana digolongkan dalam golongan hukum publik, yaitu mengatur hubungan antara negara dan perseorangan atau mengatur kepentingan umum (Mahrus Ali, 2012: 6-7).

  Pendapat yang sama dikemukakan oleh Simons. Dia mengatakan bahwa hukum pidana mengatur hubungan antara para individu sebagai anggota masyarakat dengan warga negara, sehingga merupakan bagian dari hukum publik (Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, 1990: 14).

  Hukum pidana termasuk hukum publik karena pembentukan dan pelaksanaan hukum pidana berhubungan erat dan eksistensi badan negara, pernyataan tingkah laku yang dapat dipidana misalnya dinyatakan oleh badan perundang-undangan. Demikian juga penuntutan perkara pidana dilakukan oleh badan lembaga kejaksaan (Algra dkk, 1983: 302).

  Ketentuan hukun pidana memang bersifat publik dan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum. Sekalipun pihak yang dirugikan karena pencurian misalnya tidak melapor terjadinya tindak pidana, polisi tetap berkewajiban untuk menyidik dan memeriksa perkara tersebut, dan penuntut umum wajib menuntut perkara tersebut di pengadilan. Walaupun sebagian besar kaidah-kaidah dalam hukum pidana bersifat (hukum) publik, sebagian lagi bercampur dengan hukum privat, dan hukum publik memiliki sanksi yang istimewa karena sifatnya yang keras yang melebihi sanksi di bidang hukum lain, berdiri sendiri,dan kadangkala menciptakan kaidah baru yang sifat dan tujuannya berbeda dengan kaidah hukum yang telah ada (A. Zainal Abidin Farid, 2007: 12-13).

  Sesuai dengan sifat sanksi pidana sebagai sanksi terberat atau paling keras dibandingkan dengan jenis-jenis sanksi dalam berbagai bidang hukum yang lain, idealnya fungsionalisasi hukum pidana haruslah ditempatkan sebagai upaya terakhir (ultimum remidium). Penggunaan hukum pidana dalam praktik penegakan hukum seharusnya dilakukan setelah berbagai bidang hukum yang lain itu untuk mengkondisikan masyarakat agar kembali kepada sikap tunduk dan patuh terhadap hukum, dinilai tidak efektif lagi (Mahrus Ali, 2012: 11).

  Fungsi hukum pidana sebagai upaya terakhir dalam teori seringkali disebut fungsi subsidiaritas. Artinya, penggunaan hukum pidana itu haruslah dilakukan secara hati-hati dan penuh dengan berbagai perimbangan secara komprehensif. Sebab selain sanksi hukum pidana yang bersifat keras, juga karena dampak penggunaan hukum pidana yang dapat melahirkan penalisasi maupun stigmatisasi yang cenderung negatif dan berkepanjangan (M. Abdul Kholiq, 2002: 24).

  Secara komprehensif, makna penggunaan hukum pidana sebagai senjata pamungkas adalah sebagai berikut:

  1. Jangan menggunakan hukum pidana secara emosional untuk melakukan pembalasan semata.

  2. Hukum pidana hendaknya jangan digunakan untuk memidana perbuatan yang tidak jelas korban dan kerugiannya.

  3. Hukum pidana jangan pula dipakai hanya untuk suatu tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penggunaan hukum pidana tersebut.

  4. Jangan menggunakan hukum pidana apabila hasil sampingan (by

  

product ) yang ditimbulkan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan

yang akan dikiminalisasi.

  5. Jangan pula menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh masyarakat secara kuat, dan kemudian janganlah menggunakan hukum pidana apabila penggunannya diperkirakan tidak akan efektif (unforceable ).

  6. Penggunaan hukum pidana juga hendaknya harus menjaga keserasian antara moralis komunal, moralis kelembagaan dan moralis sipil, serta memperhatikan pula korban kejahatan.

  7. Dalam hal-hal tertentu, hukum pidana harus mempetimbangkan secara khusus skala prioritas kepentingan pengaturan.

  8. Penggunaan hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak dengan sarana pencegahan yang bersifat non penal (prevention without punishment) (Muladi dan Barda Nawawi Arif, 1992: 102).

  Apabila hukum pidana dipilih sebagai sarana penanggulangan kejahatan, maka harus dibuat secara terencana dan sistematis. Ini berarti bahwa memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan harus memperhitungkan faktor yang dapat mendukung berfungsi dan bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya (Barda Nawawi Arif, 1996: 37).

2. Tinjauan Umum tentang Penganiayaan

  Aniaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perbuatan dzalim, perbuatan menyiksa dengan kejam, perbuatan bengis, perbuatan menindas. Penganiayaan berarti penindasan, penyiksaan, perbuatan menganiaya (Tim Prima Pena, Tanpa Tahun: 59). Penganiayaan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yaitu perlakuan yang sewenang-wenang seperti penyiksaan, penindasan dan lain sebagainya (W. J. S. Poerwadarminta, 1985: 48).

  Penganiayaan merupakan suatu kejahatan terhadap badan seseorang di mana hal ini merupakan perbuatan yang dapat menimbulkan bahaya bagi hidup manusia. Anwar merumuskan bahwa penganiayaan dan turut serta dalam penyerangan atau perkelahian merupakan suatu kejahatan yang dituju pada badan atau tubuh manusia itu adalah delik materiil yang berarti bahwa akibat yang timbul dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (Moch.

  Anwar, 1986: 102). Dibentuknya kejahatan terhadap tubuh manusia (mijriven

  

tegen bet lijf ) ini ditujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari

  perbuatan perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian (Adami Chazawi, 2001: 7).

  Atas dasar unsur kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh ada 2 (dua) macam, ialah:

  1. Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja. Kejahatan yang dimaksudkan ini diberi kualifikasi sebagai penganiayaan (mishandeling), dimuat dalam Bab XX buku II, Pasal 351 sampai dengan Pasal 358 KUHP).

2. Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam Bab XXI buku

  II Pasal 360 KUHP, yang dikenal dengan kualifikasi karena lalai menyebabkan orang lain luka (Adami Chazawi, 2001: 7).

  Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja (penganiayaan) dapat dibedakan menjadi 6 (enam) macam, yakni:

  1. Penganiayaan biasa (Pasal 351 KUHP), 2.

  Penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP), 3. Penganiayaan berencana (Pasal 353 KUHP), 4. Penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP), 5. Penganiayaan berat berencana (Pasal 355 KUHP), 6. Penganiayaan dengan cara dan terhadap orang-orang yang berkualitas tertentu yang memberatkan (Pasal 356 KUHP) (Adami Chazawi, 2001:

  7-8).

  Pasal 89 KUHP menyebutkan bahwa: “Yang disamakan melakukan kekerasan itu membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah).

  Melakukan kekerasan artinya: “mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah” misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang yang disamakan dengan melakukan kekerasan, menurut pasal ini adalah membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya. “Pingsan” artinya: ”tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya sendiri” umpamanya memberi racun kecubung atau lain-lain obat, sehingga orangnya tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi akan dirinya. “Tidak berdaya” artinya: tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya mengikat dengan tali kaki tangannya, memberikan suntikan sehingga orang itu lumpuh.orang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi pada dirinya (R. Soesilo, 1984: 98) .

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “kekerasan diartikan dengan perihal yang bersifat, berciri khas, perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain, atau ada paksaan (1989: 425). Menurut penjelasan ini, kekerasan itu merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau penderitaan pada orang lain. Salah satu unsur yang perlu diperhatikan adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan atau tidak adanya persetujuan pihak lain yang dilukai (Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001: 30).

  Dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana, berdasarkan sejarah pembentukan pasal dalam KUHP yang mengatur tentang penganiayaan, maka penganiayaan dapat diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atau luka (letsel) pada tubuh orang lain (Satochid Kartanegara: 509). Bagaimana pengertian penganiayan yang dianut dalam praktik hukum? Walaupun pandangan dalam doktrin itu ada juga dianut dalam praktik hukum, seperti tampak pada dalam arrest Hoge Raad (HR) tanggal 25-6-1894 yang menyatakan bahwa penganiayaan adalah dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka. Kesengajaan harus dicantumkan dalam surat tuduhan (Soenarto Soerodibroto, 1994: 211).

  Pandangan dalam doktrin yang mendasarkan pada sejarah pembentukan pasal yang bersangkutan dalam arrest lainnya tidak dianut secara utuh, hal ini berhubung karena pengertian menurut doktrin terlalu luas. Berdasarkan pengertian dalam doktrin tadi, maka perbuatan seperti seorang guru atau orang tua yang memukul anak, atau dokter yang melukai sebagian tubuh pasien dalam rangka pelaksaan operasi untuk menyembuhkan suatu penyakit adalah termasuk juga dalam pengertian penganiayaan (Adami Chazawi, 2001: 11).

  Arrest HR lainnya yang memberikan penafsiran secara lebih sempurna yang

  dapat menghilangkan kelemahan pandangan dalam doktrin tadi, adalah arrest HR (10-2-1902) yang menyatakan bahwa “Jika menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi tujuan, melainkan suatu sarana belaka untuk mencapai suatu tujuan yang patut, maka tidaklah ada penganiayaan. Contohnya dalam batas-batas yang diperlukan seorang guru atau orang tua memukul seorang anak” (Soenarto Soerodibroto, 1994: 212).

  Arrest HR yang lain (20-04-1925) menyatakan bahwa “dengan sengaja

  melukai tubuh orang lain tidak dianggap sebagai penganiayaan, jika maksudnya untuk mencapai suatu tujuan lain, dan di dalam menggunakan akal itu tidak sadar bahwa ia melewati batas-batas yang wajar” (R. Tresna, 1959: 222). Berdasarkan doktrin dan pendapat dari arrest-arrest HR yang telah dikemukakan tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan perihal arti penganiayaan, ialah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana semata-mata merupakan tujuan si petindak (Adami Chazawi, 2001: 12).

  Pengertian seperti yang baru disebutkan di atas itulah yang banyak dianut dalam praktik hukum selama ini. Dari pengertian di atas tersebut, maka penganiayaan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a.

  Adanya kesengajaan, b.

  Adanya perbuatan, c. Adanya akibat perbuatan (dituju) yakni:

  1) Rasa sakit, tidak enak pada tubuh,

  2) Lukanya tubuh, d.

  Akibat menjadi tujuan satu-satunya (Adami Chazawi, 2001: 12). Penganiayaan berat, masih menurut Adami Chazawi, mempunyai unsur- unsur sebagai berikut: a.

  Kesalahannya: kesengajaan (opzettelijk), b.

  Perbuatan: melukai berat, c. Obyeknya: tubuh orang lain, d.

  Akibat: luka berat Perbuatan melukai berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau dapat disebut juga menjadikan luka berat pada tubuh orang lain, haruslah dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan (opzettelijk) di sini haruslah diartikan secara luas, artinya termasuk dalam ketiga bentuk kesengajaan.

  Pandangan ini didasarkan pada keterangan bahwa MvT yang menyatakan bahwa apabila dalam rumusan tindak pidana dirumuskan unsur kesengajaan, maka kesengajaan itu harus diartikan ketiga bentuk kesengajaan (Adami Chazawi, 2001; 32).

  Dalam kekerasan terhadap anak dikenal istilah abuse. Abuse adalah kata yang biasa diterjemahkan menjadi kekerasan, penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Dalam hal ini Richard J. Gelles mengartikan child abuse sebagai “intentional acts that result in physical or emotional harm to children. The term

  

child abuse covers a wide range of behavior, from actual physical assault by

parents or other adults caretakers to neglact at a child’s basic needs ” (Kekerasan

  terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah child abuse meliputi berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak) (Abu Huraerah, 2007; 36).

  Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 tidak menyebutkan definisi penganiayaan terhadap anak secara jelas. Undang-undang tersebut hanya mencantumkan dalam Pasal 1 angka 15, bahwa:

  Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

  Sementara itu Barker mempunyai pendapat yang agak berbeda tentang kekerasan tehadap anak. Baker mendefinisikan kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak (Abdul Wahid, 2001; 31).

  Berikut ini adalah ketentuan mengenai penganiayaan terhadap anak sebagaimana tercantum dalam Pasal 80 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:

  (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

  (2) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

  (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

  (4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya. Adapun Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya “Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia” mengemukakan bahwa istilah luka berat menurut Pasal 90 KUHP sebagai berikut: a.

  Penyakit atau luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh dengan sempurna atau yang menimbulkan bahaya maut (levens gevaar), b.

  Menjadi senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pencaharian, c.

  Kehilangan kemampuan memakai salah satu pancaindera, d.

  Kekudung-kudungan, e. Kelumpuhan, f. Gangguan selama lebih dari empat minggu, g.

  Pengguguran kehamilan atau kematian anak yang masih berada di dalam kandungan (Wirjono Prodjodikoro, 2003: 69).

  Menurut R. Sugandhi, penjelasan Pasal 90 KUHP tentang luka berat atau luka parah antara lain ialah: a.

  Penyakit atau luka yang tak mungkin dapat sembuh dengan sempurna atau dapat mendatangkan bahaya maut. Jadi luka atau luka yang bagaimanapun besarnya, bila masih dapat disembuhkan dengan sempurna dan tidak mendatangkan bahaya maut, tidak dapat digolongkan dengan luka berat (dalam hal ini dokter yang dapat menerangkan), b. Selalu tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan. Apabila keadaan tidak cakap melakukan pekerjaan itu hanya sementara, tidak dapat dikategorikan luka berat. Misalnya penyanyi yang rusak kerongkongannya sehingga tidak dapat menyanyikan lagu untuk selama- lamanya, termasuk luka berat, c.

  Tidak dapat menggunakan salah satu pancaindera. Pancaindera ialah: pengelihatan, penciuman, pendengaran, apa yang dirasakan oleh lidah dan rasa yang terdapat di seluruh tubuh. Orang yang menjadi buta sebelah matanya dan atau sebelah telinganya, belum dapat digolongkan sebagai luka berat, karena dengan, misalnya hidungnya rompong, daun telinga putus, ia masih dapat melihat dan dengan telinga yang lain ia masih dapat mendengar, d. Perubahan tubuh menjadi buruk karena kehilangan atau rusak anggota tubuhnya, jari tangan atau jari kaki teriris dan sebagainya, e.

  Tidak dapat mengerakkan anggota tubuh (lumpuh), f. Berubah pikiran lebih dari empat minggu. Pikiran terganggu, kacau, tidak dapat berpikir dengan normal. Untuk dapat digolongkan dengan luka berat, maka keadaan ini harus berjalan lebih dari empat minggu. Apabila kurang dari empat minggu, belum dapat dikatakan luka berat, g.

  Gugurnya atau matinya anak yang dikandung seorang ibu. Selain ketujuh macam yang sudah diterangkan di atas, masih banyak lagi luka lain yang dapat digolongkan sebagai luka berat, yang biasa diterangkan oleh dokter di dalam visum et repertum (R. Sugandhi, 1981: 108-109). Asumsi yang muncul dan berlaku general, bahwa setiap modus kekerasan itu merupakan wujud pelanggaran hak-hak asasi manusia, artinya berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat niscaya berakibat bagi kerugian orang lain. Kerugian yang menimpa sesama secara fisik maupun non-fisik inilah yang dikategorikan sebagai pelanggaran hak-hak asasi manusia (Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001: 30).

3. Tinjauan Umum tentang Anak

  Anak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keturunan dari ayah dan ibu, manusia yang berusia sedikit dan manusia yang masih kecil (Tim Prima Pena, Tanpa Tahun: 47). Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, anak yaitu turunan yang kedua, bisa juga manusia yang masih kecil (W. J. S.

  Poerwadarminta, 1985: 38).

  Apabila ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian anak di mata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarige/person under age). Orang yang di bawah umur/keadaan di bawah umur (minderjangheid/inferiority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige ondervoodij), maka dengan bertitik tolak kepada aspek tersebut di atas ternyata hukum Indonesia tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi seorang anak (Lilik Mulyadi, 2005: 4).

  Menurut Bisman Siregar dalam bukunya yang berjudul “Berbagai Segi Hukum dan Perkembangannya dalam Masyarakat” menyebutkan bahwa berdasarkan agama Islam tentang kedewasaan seseorang ialah bukan dengan usia tertentu, tetapi dengan melihat perkembangan fisik dan juga tentu jiwanya. Bagi pria, bilaman ia bermimpi di malam hari, dan bagi wanita, bilamana ia sudah datang bulan (Bisman Siregar, 1983: 184).

  Berikut ini akan disebutkan beberapa pengertian tentang anak menurut berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia di antaranya yaitu:

  a) Kitab Undang-undang Hukum Perdata

  Pasal 330 BW menyatakan bahwa “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan belum melakukan perkawinan.”

  b) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

  Pasal 45, anak didefinisikan sebagai seseorang belum dikatakan dewasa apabila seseorang tersebut belum berumur 16 (enam belas) tahun.

  c) Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

  Dalam Pasal 1 ayat (2), anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Hal ini dijelaskan bahwa batas umur 21 tahun, karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut.

  d) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

  Pasal 1 angka 5 meyebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah: “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal itu adalah demi kepentingannya.” e)

  Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Definisi anak Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Di antara undang-undang yang lain, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ini lebih limitatif dalam membatasi pengertian anak dengan memasukkan anak yang dalam kandungan sebagai kategori anak juga

  f) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

  Menurut ketentuan Pasal 1 butir 6 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, anak adalah setiap orang yang belum berumur/di bawah 18 (delapan belas) tahun.

  g) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak

  Menurut Pasal 1 ayat (4) mendefinisikan bahwa “anak yang menjadi korban tindak pidana uang selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

  h) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

  Pengertian anak tidak diartikan secara lebih jelas, namun pengertian dari

  Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) yang berisi mengenai pembatasan usia anak di bawah kekuasaan orang tua atau di bawah perwalian sebelum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dapat diartikan bahwa pengertian anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun.

  Pandangan anak dalam pengertian agama sesuai dengan pandangan Islam yaitu titipan Alloh Swt yang harus diperlakukan secara manusiawi dan diberi pendidikan, pengajaran, keterampilan. Pengertian ini memberikan atau melahirkan hak-hak yang harus diakui, diyakini dan diamankan sebagai implementasi amalan- amalan yang diterima oleh anak dari orang tua, masyarakat, bangsa dan negara (Maulana Hasan Wadong, 2000; 10).

  Kedudukan anak dalam pengertian sosiologis memposisikan anak sebagai kelompok sosial yang berstatus lebih rendah dari masyarakat di lingkungan tempat interaksi. Status sosial yang dimaksud ialah ditujukan pada kemampuan menerjemahkan ilmu dan teknologi sebagai ukuran interaksi yang dibentuk dari kemampuan berkomunikasi sosial yang berada pada skala paling rendah. Pengelompokan pengertian anak dalam makna sosial lebih mengarahkan pada perlindungan kodrati karena keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh sang anak sebagai wujud untuk berekspresi sebagaimana orang dewasa (Hasan Maulana Wadong, 2000; 10).

  Dalam Penjelasan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak secara umum dikatakan, “Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan atas tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan (Mohammad Taufik Makarao dkk., 2013; 105)

  Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat (Maidin Gultom, 2010: 33).

  Perlindungan hukum bagi anak secara umum mencakup berbagai bidang di bawah ini, antara lain: 1)

  Perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak, 2)

  Perlindungan anak dalam proses peradilan, 3)

  Perlindungan kesejahteraan anak (di dalam lingkungan keluarga, pendidikan dan lingkungan sosial), 4)

  Perlindungan anak dalam masalah penahanan dan perampasan kemerdekaan, 5)

  Perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan, perdagangan anak, pelacuran, pornografi, perdagangan dan penyalahgunaan obat-obatan, memperalat anak dalam malakukan kejahatan, dan sebagainya), 6)

  Perlindungan terhadap anak jalanan, 7)

  Perlindungan anak dari akibat peperangan dan konflik bersenjata,

8) Perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan (Faisal Salam, 2005; 5).

  Perlindungan anak dilihat dari segi pembinaan generasi muda adalah bahwa pembinaan generasi muda merupakan bagian integral dari Pembangunan Nasional dan juga menjadi sarana guna tercapainya tujuan Pembangunan Nasional. Tujuan Pembangunan Nasional yaitu masyarakat adil dan makmur serta aman dan sentosa berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dengan wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam ketertiban pergaulan internasional yang damai, adil dan merdeka (Wagiati Soetedjo, 2006: 62).

  Sedangkan konsepsi perlindungan anak meliputi ruang lingkup yang luas, dalam arti bahwa perlindungan anak tidak hanya mengenai perlindungan atas jiwa dan raga si anak. Perlindungan anak mencakup pula perlindungan atas semua hak serta kepentingannya yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosialnya, sehingga diharapkan anak Indonesia akan berkembang menjadi orang dewasa Indonesia yang mampu dan mau berkarya untuk mencapai dan memelihara tujuan Pembangunan Nasional tersebut di atas (Wagiati Soetedjo, 2006: 62).

  Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa: “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berprestasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat manusia, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” (Maidin Gultom, 2010: 34).

  Dalam Pasal 59 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dirumuskan sebagai berikut:

  Pemerintah dan lembaga lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

  Perwujudan pelaksanaan pelayanan terhadap anak korban kejahatan ini adalah mengusahakan pencegahan terjadinya korban serta pengambilan tindakan pemberian bantuan, pendampingan kepada para korban dalam penyelesaian permasalahan dengan usaha-usaha sebagai berikut:

1. Memberikan bantuan dan mendampingi pihak korban dalam mengatasi permasalahan bersama lembaga-lembaga sosial, instansi yang berkaitan.

  Misalnya petugas pelayanan terhadap anak korban kejahatan mendampingi anak atau pihak anak melapor ke polisi, mencari bantuan medis pertama, meminta bantuan hukum, membantu mengusahakan pengamanan korban, menghubungi orang tua, keluarga, guru dan sebagainya, 2. Mendampingi atau mengusahakan pendampingan bersama oleh orang lain untuk para korban atau calon korban,

  3. Memberikan bantuan pertama material (keperluan primer) sesuai dengan kemampuan pusat pelayanan ini,

  4. Mengembangkan kegiatan lain yang dapat mendukung pemberian pelayanan kepada para korban bersama-sama dengan badan pemerintah maupun non pemerintah, 5. Membantu memberikan informasi dan bimbingan kepada anggota masyarakat untuk memberikan motivasi dan berpartisipasi dalam pelayanan terhadap anak korban kejahatan sesuai dengan kemampuan, 6. Memantau tindakan-tindakan yang telah diambil oleh yang bersangkutan, 7. Membuat laporan kegiatan dan keuangan, 8. Melakukan kegiatan ilmiah dan meningkatkan pelayanan kepada pihak korban dan para partisipan lainnya,

9. Menganalisis hasil dan hambatan usaha-usaha yang telah dikerjakan, 10.

  Melakukan penelitian untuk membuat pola peningkatan pelayanan yang lebih sempurna. Misalnya, hasil penelitian diolah dan dijadikan buku pegangan mencegah dan mengatasi viktimisasi (Arif Gosita, 2004; 263).

  Menurut The Minimum Age Convention nomor 138 pengertian tentang anak adalah seseorang yang berusia 15 (lima belas) tahun ke bawah. Sedangkan menurut Konvensi Hak Anak disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 (delapan belas) tahun ke bawah. UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun. Undang-undang RI Nomor 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan bahwa anak adalah mereka yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum menikah (Abu Huraerah, 2007; 47).

4. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Secara Bersama-sama

  Kata “pesertaan” berarti turut sertanya seorang atau lebih pada waktu seorang lain melakukan suatu tindak pidana. Membaca rumusan tiap pasal ketentuan hukum pidana (strafbepaling) orang berkesimpulan bahwa dalam tiap tindak pidana hanya ada seorang pelaku tindak pidana yang akan terkena hukuman pidana. Ternyata dalam praktik sering terjadi lebih dari seorang terlibat dalam peristiwa tindak pidana. Di samping si pelaku ada seorang atau beberapa orang lain yang turut serta. Hazawinkel-Suringa (halaman 230) menceritakan, bahwa dahulu kala perhatian hanya diarahkan kepada si pelaku saja dan baru pada penghabisan abad ke-18 dalam hukum pidana mulai diperhatikan sampai di mana juga orang-orang lain yang turut serta itu dapat dipertanggungjawabkan dan dikenakan hukuman (Wirjono Prodjodikoro,1989: 108).

  Tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama berarti terdapat unsur ikut serta atau penyertaan. Penyertaan dalam tindak pidana atau turut serta melakukan tindak pidana artinya bersepakat dengan orang lain membuat rencana untuk melakukan suatu perbuatan pidana dan secara bersama-sama melaksanakannya (kerjasama), sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP yang menentukan sebagai berikut:

1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

  1.1. Mereka yang melakukan, menyuruh lakukan, dan yang turut serta melakukan tindak pidana itu;

  1.2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan tindak pidana itu.

  2. Terhadap penganjur, hanya tindak pidana yang sengaja dianjurkan saja yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

  Unsur turut serta juga tercakup dalam pengertian “membantu melakukan tindak pidana”, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 KUHP yang menentukan sebagai berikut: Dipidana sebagai orang yang membantu melakukan sesuatu kejahatan: 1.

  Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

  2. Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

  Oleh kedua pasal ini diadakan lima golongan peserta tindak pidana, yaitu: a.

  Yang melakukan perbuatan (plegen, dader), b.

  Yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen, middelijke dader), c. Yang turut melakukan perbuatan (medeplegen, mededader), d.

  Yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken, uitlokker), e.

  Yang membantu perbuatan (medeplichtig zijn, medeplichtige) (Wirjono Prodjodikoro, 1989: 108-109).

  Pada kenyataannya untuk menentukan seorang pembuat tunggal, tidaklah terlalu sukar. Kriterianya cukup jelas, secara umum perbuatannya ialah perbuatannya telah memenuhi semua unsur tindak pidana. Bagi tindak pidana formil, wujud perbuatannya ialah sama dengan perbuatan apa yang dicantumkan dalam rumusan tindak pidana. Sedangkan dalam tindak pidana materil perbuatan apa yang dilakukannya telah menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang- undang (Adami Chazawi, 2002: 82).

  Penyertaan (deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan perbuatan masing-masing sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerjasama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing dari mereka berbeda satu sama lain, demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari masing-masing perbedaan itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya, di mana perbuatan oleh yang satu menunjang perbuatan oleh yang lainnya yang semuanya mengarah pada satu ialah terwujudnya tindak pidana (Adami Chazawi, 2002: 71).

  R. Tresna menjelaskan bahwa peristiwa pidana dapat dilakukan oleh seseorang, akan tetapi dapat juga dilakukan oleh beberapa orang bersama-sama.