BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Motivasi Kerja - IKA ANISA BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Motivasi Kerja Istilah motivasi berasal dari Bahasa Latin, yaitu motivus, yang artinya

  adalah sebab, alasan dasar, pikiran dasar, dorongan bagi seseorang untuk berbuat, atau ide pokok yang selalu berpengaruh terhadap tingkah laku manusia.

  Dalam prakteknya istilah motivasi dipergunakan silih berganti dengan istilah- istilah lainnya seperti kebutuhan, keinginan, dorongan atau impuls (Thoha, 2001).

  Gerungan (2012) mendefinisikan motivasi sebagai dorongan, keinginan, hasrat dan tenaga penggerak lainnya yang berasal dari dalam dirinya untuk melakukan sesuatu. Motif-motif itu memberi tujuan dan arah kepada tindakan manusia. Sementara menurut Danim (2004) motivasi pada prinsipnya merupakan kemudi yang kuat dalam membawa seseorang melaksanakan kebijakan manajemen yang biasanya terjelma dalam bentuk perilaku antusias, berorientasi pada tujuan, dan memiliki target kerja yang jelas, baik secara individual maupun kelompok.

  Porter dan Miles, sebagaimana dikutip Stoner (dalam Swasto, 1996) mengklasifikasikan tiga faktor utama yang mempengaruhi motivasi dalam organisasi, yaitu perbedaan karakteristik individu, karakteristik pekerjaan, dan karakteristik organisasi.

  1. Karakteristik individu meliputi berbagai jenis kebutuhan, sikap terhadap diri dan pekerjaannya, serta minat pekerjaan. Perbedaan-perbedaan tersebut dibawa ke dunia kerja sehingga motivasi setiap individu di dalam organisasi bervariasi. Apabila manajer tidak dapat memahami perbedaan itu, maka ia tidak akan dapat memotivasi bawahannya secara efektif.

  2. Karakteristik pekerjaan yang berbeda memerlukan kecakapan, identitas tugas, signifikansi tugas serta derajat otonomi yang berbeda. Perbedaan karakteristik yang melekat pada pekerjaan akan memerlukan tipe-tipe pekerja sesuai dengan spesifikasi yang ada.

  3. Karakteristik organisasi ditunjukkan dengan kebijaksanaan dan kultur yang berbeda dari masing-masing organisasi, serta hubungan antar masing-masing individu dalam organisasi. Untuk mencapai kinerja yang optimal, manajer organisasi harus mempertimbangkan hubungan faktor-faktor tersebut dan pengaruhnya terhadap perilaku individu para karyawan.

  Bagi karyawan motivasi sangat penting untuk mendukung keberhasilan pencapaian kerja yang memuaskan. Karyawan hendaknya memiliki motivasi untuk meraih prestasi kerja yang sebaik-baiknya. Secara teoritis, hal ini sejalan dengan teori kebutuhan berprestasi (need for achievement atau N-Ach) yang dikembangkan oleh David McClelland. Menurut McClelland, seseorang dianggap mempunyai motivasi untuk berprestasi jika ia mempunyai keinginan untuk melakukan suatu karya yang berprestasi lebih baik dari prestasi karya orang lain. McClelland percaya bahwa kebutuhan untuk berprestasi adalah sesuatu yang berbeda dan dapat dibedakan dari kebutuhan-kebutuhan lainnya. Lebih penting lagi, kebutuhan berprestasi ini dapat diisolasikan dan diuji pada setiap kelompok. Menurut McClelland, seseorang dianggap mempunyai motivasi untuk berprestasi jika ia mempunyai keinginan untuk melakukan suatu karya yang berprestasi lebih baik dari prestasi karya orang lain. (Thoha, 2001; Danim, 2004)

  Menurut McClelland dan Atkinson motivasi berprestasi merupakan ciri seorang yang mempunyai harapan tinggi untuk mencapai keberhasilan dari pada ketakutan kegagalan. Motivasi berprestasi merupakan kecenderungan seseorang dalam mengarahkan dan mempertahankan tingkah laku untuk mencapai suatu standar prestasi (Pujiastuti, 2012).

  Ada tiga kebutuhan manusia terkait dengan motivasi berprestasi, yaitu kebutuhan berprestasi, kebutuhan berafiliasi dan kebutuhan untuk kekuasaan.

  Ketiganya dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.

  Need for Achievement, yaitu kebutuhan untuk berprestasi yang merupakan refleksi dari dorongan akan tanggung jawab untuk pemecahan masalah.

  2. Need for Affiliation, yaitu kebutuhan untuk berafiliasi yang merupakan dorongan untuk berinteraksi dengan orang lain, berada bersama orang lain, tidak mau melakukan sesuatu yang merugikan orang lain.

  3. Need for Power, yaitu kebutuhan untuk kekuasan yang merupakan refleksi dari dorongan untuk mencapai otoritas untuk memiliki pengaruh terhadap orang lain.

  Ketiga kebutuhan ini terbukti merupakan unsur-unsur yang amat penting dalam menentukan prestasi karya seseorang dalam bekerja. Ciri-ciri perilaku karyawan yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi menurut McClelland adalah :

  1. Menyukai tanggungjawab untuk memecahkan masalah.

  2. Cenderung menetapkan target yang sulit dan berani mengambil resiko.

  3. Memiliki tujuan yang jelas dan realistik.

  4. Memiliki rencana kerja yang menyeluruh.

  5. Lebih mementingkan umpan balik yang nyata tentang hasil prestasinya.

  6. Senang dengan tugasnya dan selalu ingin menyelesaikan dengan sempurna.

  Berdasarkan riset empiris, David McClelland (dalam Thoha, 2001) telah menemukan bahwa pada usahawan, ilmuwan dan para ahli mempunyai tingkat motivasi prestasi di atas rata-rata. Motivasi prestasi seorang usahawan, tidak hanya semata-mata hanya untuk mencari keuntungan, tetapi karena dia mempunyai keinginan yang kuat untuk berprestasi. Kebutuhan prestasi (need for

  

achievement) , tercermin pada keinginan dia mengambil tugas yang dia dapat

  bertanggungjawab secara pribadi atas perbuatan-perbuatannya, dia menentukan tujuan yang wajar dengan memperhitungkan resiko-resikonya, dia mendapatkan umpan balik atas perbuatan-perbuatannya, dan dia berusaha melakukan segala sesuatu secara kreatif dan inovatif.

  Banyak teori motivasi yang dikemukakan oleh para ahli yang dimaksudkan untuk memberikan uraian yang menuju pada apa sebenarnya manusia dan manusia akan dapat menjadi seperti apa. Landy dan Becker (dalam Uno, 2007) membuat pengelompokan pendekatan teori motivasi menjadi beberapa kategori. Hal tersebut dapat diuraikan dalam pembahasan berikut ini.

  a. Teori Dua Faktor dari Herzberg Menurut Herzberg, ada dua jenis faktor yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan dan menjauhkan diri dari ketidakpuasan.

  Dua faktor itu disebutnya faktor higiene (faktor ekstrinsik) dan faktor motivator (faktor intrinsik). Faktor higiene memotivasi seseorang untuk keluar dari ketidakpuasan, termasuk didalamnya adalah hubungan antar manusia, imbalan, kondisi lingkungan, dan sebagainya (faktor ekstrinsik), sedangkan faktor motivator memotivasi seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan, yang termasuk didalamnya adalah achievement, pengakuan, kemajuan tingkat kehidupan, dsb (faktor intrinsik).

  Menurut Herzberg bahwa motivasi diberikan jika digunakan motivator yang berfungsi. Teori ini disebut juga teori penelitian motivasi di mana ada dua macam situasi yang berpengaruh terhadap semua individu yaitu kelompok satisfiers atau motivation dan kelompok dissatisfrers atau

  

hygiene factors . Satisfers adalah situasi atau faktor-faktor yang merupakan

  kepuasan kerja sedangkan dissatisfiers adalah faktor-faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan. Hal tersebut untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Model Motivasi Kerja Dua Faktor Herzberg

  No. Faktor Higiene Motivator

  1. Gaji Kemajuan

  2. Kondisi kerja Perkembangan

  3. Kebijakan perusahaan/organisasi Tanggung jawab

  4. Penyeliaan Prestasi Sumber: Robbin (2003, Masmuh, 2008).

  c. Achievement Theory Teori Achievement yang dikemukakan Mc Clelland menyatakan bahwa ada tiga hal penting yang menjadi kebutuhan manusia, yaitu:

  1) Need for achievement (kebutuhan akan prestasi) 2) Need for afiliation (kebutuhan akan hubungan sosial/hampir sama dengan social need-nya Maslow) 3) Need for Power (dorongan untuk mengatur/kekuasaan)

  Wahyusumijo (2003) mengungkapkan bahwa di dalam motivasi terdapat rangkaian interaksi antara berbagai faktor antara lain: (1) Individu, misalnya keterampilan, pengalaman, kemampuan, sikap dan sistem nilai yang dianut. (2) Situasi di mana individu bekerja misalnya persepsi individu terhadap pekerja, harapan dan cita-cita di dalam bekerja dan kecakapan di dalam bekerja. (3) Proses penyesuaian setiap individu terhadap pelaksanaan pekerjaan artinya setiap individu harus dapat menyesuaikan diri dengan syarat-syarat pekerjaan dan keinginan pimpinan. (5) Pengaruh yang datang dari berbagai pihak, bisa berasal dari sesama rekan pekerja bisa pula dari hubungan di luar pekerjaan. (6) Reaksi yang timbul terhadap pengaruh individu artinya apabila segala sesuatu benar-benar sesuai dengan yang diinginkan maka akan meningkatkan rasa harga diri dan prestasi kerja. (7) Perilaku atas perbuatan yang ditampilkan dan prestasi kerja. (8) Timbulnya persepsi dan bangkitnya kebutuhan, cita-cita dan tujuan baru.

B. Lingkungan Kerja

  Menurut Supardi (2001, dalam Ekaningsih, 2012) lingkungan kerja merupakan keadaan sekitar tempat kerja baik secara fisik maupun non fisik yang dapat memberikan kesan menyenangkan mengamankan, menentramkan dan kesan kerasan atau betah bekerja dan lain sebagainya. Menurut Ahwari (2007, dalam Ekaningsih, 2012) lingkungan kerja adalah suatu lingkungan dimana kerja bekerja sedangkan kondisi kerja merupakan kondisi dimana pegawai tersebut bekerja. Kondisi kerja termasuk salah satu unsur lingkungan kerja, sebab lingkungan kerja di dalam organisasi/kelembagaan bukan hanya terdiri dari kondisi kerja sama, tetapi bila kondisi kerja ditambah beberapa aspek lain maka akan membentuk lingkungan kerja.

  Menurut Nitisemito (2001) lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada di sekitar pegawai yang mempengaruhi hasil tugas-tugas yang dibebankan.

  Faktor-faktor yang dapat termasuk lingkungan kerja yang harus diketahui dan diperhatikan yang berpengaruh besar terhadap semangat dan kegairahan kerja antara lain: (1) pewarnaan; (2) kebersihan; (3) pertukaran udara; (4) penerangan; (5) musik; (6) keamanan; dan (7) kebisingan. Lingkungan kerja yang memenuhi syarat dapat membuat pegawai merasa nyaman senang betah bekerja dan memiliki gairah kerja yang bertambah sehingga dapat menaikkan kinerja.

  Menurut Darvis (dalam Ekaningsih, 2012) lingkungan kerja dalam suatu organisasi mempunyai arti penting bagi individu yang bekerja didalamnya, karena lingkungan ini akan mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung manusia yang ada di dalamnya. Hal ini ada tiga alasan, antara lain: (a) ada bukti yang menunjukkan bahwa tugas dapat diselesaikan dengan lebih baik pada lingkungan kerja organisasi yang baik; (b) ada bukti bahwa manajer (pimpinan) dapat mempengaruhi lingkungan kerja dalam organisasi atau unit kerja yang dipimpin; dan (b) kecocokan antara individu dengan organisasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam mencapai prestasi dan kepuasan individu itu sendiri dalam organisasi.

  Faktor-faktor yang mempengaruhi lingkungan kerja sebagai berikut: (1) pelayanan makan atau minum; (2) pelayanan kesehatan bagi pegawai dan keluarganya; (3) penyeiaan kamar mandi/kamar kecil; (4) kondisi kerja; (5) penerangan cukup; (6) penggunaan warna kantor; (9) ruang gerak cukup; dan (10) keamanan kerja (Ahwari, dalam Ekaningsih, 2012).

  Pada umumnya pekerja tentu menghendaki adanya lingkungan kerja yang menyenangkan. Di sini pimpinan harus memperhatikan dan tanggap akan sesuatu yang dibutuhkan pegawai dalam rangka mengadakan lingkungan kerja yang baik dan nyaman bagi pekerja, sehingga memiliki pengaruh positif pada karyawan.

  Lingkungan kerja dibagi menjadi dua yaitu lingkungan kerja fisik dan lingkungan kerja non fisik. Keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut (Nitisemito, 1996, Robbin, 2003): a.

  Lingkungan kerja fisik Lingkungan kerja fisik pada dasarnya merupakan prasarana dan sarana penunjang. Faktor-faktor yang dimasukkan dalam lingkungan kerja serta besar pengaruhnya terhadap semangat dan kegairahan kerja yaitu sebagai berikut : 1)

  Pertukaran udara dan ventilasi Guna menciptakan pertukaran udara yang cukup, yang harus diperhatikan adalah ventilasi udara, apalagi untuk daerah yang berhawa panas serta ruangan kerja yang penuh dengan pegawai.

  2) Penerangan

  Penerangan tidak terbatas pada penerangan listrik saja tetapi juga penerangan matahari. Kondisi penerangan dalam suatu tempat kerja dapat mempengaruhi semangat serta kegairahan kerja pegawai. Penerangan terutama dibutuhkan untuk pekerjaan yang memerlukan ketelitian.

  3) Kebersihan

  Kebersihan lingkungan mempunyai pengertian yang luas dan tidak hanya berarti kebersihan tempat kerja tetapi lingkungan kerja perusahaan.

  Kebersihan merupakan aspek yang penting dan bermanfaat bagi perusahaan. Lingkungan kerja yang bersih akan menimbulkan rasa senang sehingga dapat mempengaruhi seseorang untuk bekerja lebih semangat dan bergairah. Di samping itu lingkungan kerja yang bersih dapat mempengaruhi kejiwaan seseorang. 4)

  Keamanan Keamanan di sini adalah keamanan di saat pegawai bekerja, saat berada di luar pekerjaan serta rasa aman di masa mendatang. Dengan adanya jaminan keamanan dan keselamatan kerja, maka ketenangan dalam bekerja akan dapat ditimbulkan sehingga semangat dan kegairahan kerja akan dapat ditingkatkan serta menolong pula peningkatan disiplin kerja. Kebutuhan akan keamanan dapat berupa :

  a) Kebutuhan akan kepastian.

  b) Kebutuhan akan diterimanya sebagai anggota. c) Kebutuhan akan pimpinan yang cakap.

  d) Kebutuhan akan kuasa yang membawa kebebasan tertentu.

  b.

  Lingkungan kerja non fisik Lingkungan kerja non fisik meliputi :

  1) Komunikasi

  Komunikasi memegang peranan yang sangat penting dalam mengintegrasikan dan mengkoordinasikan semua bagian dan aktifitas dalam suatu organisasi. 2)

  Hubungan kerja Hubungan kerja yang baik antara sesama karyawan maupun dengan atasan akan menciptakan iklim kerja yang kondusif.

  3) Peraturan kantor

  Peraturan kantor diciptakan agar karyawan disiplin dalam pelaksanaan tugasnya.

  4) Disiplin kerja

  Disiplin kerja dari karyawan dalam pelaksanaan tugas yang diembannya akan sangat mempengaruhi pencapaian tujuan perusahaan.

  5) Budaya kerja

  Budaya kerja dalam suatu organisasi akan mempengaruhi kinerja karyawan. Budaya kerja suatu organisasi dapat dinilai dari jarak kekuasaan, sikap individualisme / kolektivisme (sampai dimana tingkat seorang karyawan lebih suka bertindak sebagai individu dibanding anggota kelompok), kuantitas kehidupan (sejauh mana nilai-nilai kemasyarakatan dicirikan oleh ketegasan dan materialisme) atau kualitas kehidupan (menekankan pada hubungan dan kepedulian akan orang lain, sehingga cenderung menghargai hubungan), Penghindaran ketidakpastian (sampai dimana orang-orang lebih menyukai sikap yang terstruktur) maupun orientasi jangka panjang / jangka pendek. Orang yang berorientasi ke jangka panjang melihat ke masa depan dan menghargai penghematan serta ketekunan sedangkan orang yang berorientasi ke jangka pendek menekankan penghargaan.

  Berdasarkan hal di atas dapatlah dimengerti bahwa lingkungan kerja berpengaruh terhadap efektifitas dan efisiensi karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya. Dengan demikian lingkungan kerja mempunyai peranan dan kontribusi terhadap motivasi kerja karyawan.

C. Stres Kerja

  Stress adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi seseorang (Handoko, 2001). Stres adalah kekuatan atau stimulus yang menggerakkan individu sehingga menghasilkan suatu tanggapan ketegangan, dimana ketegangan tersebut, dalam pengertian fisik, mengalami perubahan bentuk (Gibson, dkk, 1996).

  Menurut Wright & Noe dalam Dyah (2006), tidak semua stres berdampak negatif bagi bagi perusahaan. Jika tidak ada tuntutan yang harus diselesaikan pegawai maka mereka akan merasa bosan dan kehilangan motivasi untuk berprestasi. Pada tingkat stres yang moderat, pegawai akan merasa tertantang untuk mengatasinya sehingga mereka akan bekerja dengan semangat dan penuh motivasi. Namun jika tingkat stres melebihi tingkat stres yang normal, maka perusahaan harus berhati-hati kerena tingkat stres yang berlebihan mungkin merugikan.

  Handoko (2001) menyatakan stress dapat membantu atau fungsional, tetapi juga dapat berperan salah (disfungsional) atau merusak prestasi kerja.

  Secara sederhana hal ini berarti bahwa stress mempunyai potensi untuk mendorong atau mengganggu pelaksanaan kerja, tergantung seberapa besar tingkat stress. Bila tidak ada stress, tantangan-tantangan kerja juga tidak ada, dan prestasi kerja cenderung rendah. Sejalan dengan meningkatnya stress, prestasi kerja cenderung naik, karena stress membantu karyawan untuk mengerahkan segala sumber daya dalam memenuhi berbagai persyaratan atau kebutuhan pekerjaan. Adalah suatu rangsangan sehat untuk mendorong para karyawan agar memberikan tanggapan terhadap tantangan-tantangan pekerjaan.

  Bila stress telah mencapai ”puncak”, yang dicerminkan kemampuan pelaksanaan pekerjaan harian karyawan, maka stress tambahan akan cenderung tidak menghasilkan perbaikan prestasi kerja. Akhirnya, bila stress menjadi terlalu besar, prestasi kerja akan mulai menurun, karena stress mengganggu pelaksanaan pekerjaan. Karyawan kehilangan kemampuan untuk mengendalikannya, menjadi tidak mampu untuk mengambil keputusan- keputusan dan perilakunya yang menjadi tidak teratur. Akibat paling ekstrim, adalah prestasi kerja menjadi nol, karena karyawan menjadi sakit atau tidak kuat bekerja lagi, putus asa, keluar atau ”melarikan diri” dari pekerjaan, dan mungkin diberhentikan.

  Penyebab stres kerja atau sering disebut dengan stressor dapat dikarenakan, antara lain : beban kerja yang terlalu berat, waktu kerja yang mendesak, kualitas pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat, otoritas kerja yang tidak memadai yang berhubungan dengan tanggung jawab, konflik kerja, perbedaan nilai antara karyawan dengan pimpinan yang frustasi dalam kerja. (Mangkunegara, 2001).

  Ada tiga kategori stressor (Schermerhorn, Hunt, & Osborn dalam Dyah 2005), yaitu: 1)

  Work factors adalah stressor yang memiliki pengaruh paling nyata terhadap stres kerja. Ada beberapa stressor yang berhubungan pekerjaan yang harus diketahui oleh perusahaan, yaitu :

  a) Unrealistic task demand ( Tuntutan kerja yang tidak realistis )

  b) Role ambiguities ( Kekaburan peran )

  c) Role conflict ( Koflik peran )

  d) Interpersoenal conflict ( konflik antar pegawai )

  e) Career development (Pengembangan karir)

  f) Physical aspects of work environment (Aspek fisik lingkungan kerja )

  2) Non Work Factors adalah stressor yang tidak berhubungan dengan pekerjaan dan walaupun penting namun tidak berpengaruh nyata terhadap stres kerja.

  

Stressor yang tidak berhubungan dengan pekerjaan antara lain : Family

(Keluarga), Economics (Ekonomi), Personal affair (Hubungan pribadi).

  3) Personal Factors adalah sifat-sifat individu yang mempengaruhi bagaimana dia merasa dan bereaksi terhadap stres yang berasal dari work dan non work

  

factors . Yang termasuk personal factors antara lain: Needs (Kebutuhan),

Capabilities (Kemampuan), Personality (kepribadian).

  Stres kerja juga dapat disebabkan oleh masalah-masalah yang terjadi di luar organisasi. Menurut Rivai (2010), masalah-masalah di luar organisasi yang dapat menjadi stressor antara lain meliputi: kekuatiran finansial, masalah- masalah yang bersangkutan dengan anak, masalah-masalah fisik, masalah- masalah perkawinan (misal perceraian), perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tingggal, masalah-masalah pribadi lainnya, seperti kematian sanak saudara.

  Berkaitan dengan stressor, Handoko (2001) mengemukakan bahwa biasanya karyawan mengalami stress karena kombinasi stressors. Ada dua kategori penyebab stress, yaitu on-the-job dan off-the job. Hampir setiap kondisi pekerjaan bisa menyebabkan stress tergantung pada reaksi karyawan. Sebagai contoh, seorang karyawan akan dengan mudah menerima atau mempelajari prosedur baru, sedangkan karyawan lain tidak atau bahkan menolaknya.

  Bagaimanapun juga, ada sejumlah kondisi kerja yang sering menyebabkan stress bagi para karyawan. Kondisi-kondisi kerja tersebut di antaranya adalah sebagai berikut: 1.

  Beban kerja yang berlebihan 2. Tekanan atau desakan waktu 3. Kualitas supervisi yang jelek 4. Iklim politis yang tidak aman

5. Umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai 6.

  Wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung jawab 7. Kemenduaan peranan (role ambiguity) 8. Frustrasi 9. Konflik antar pribadi dan antar kelompok 10.

  Perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan 11. Berbagai bentuk perubahan.

  Jadi terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan stres kerja. Stres kerja yang dihadap setiap karyawan bisa disebabkan oleh faktor-faktor yang berbeda, tergantung situasi dan kondisi yang ada pada diri pribadi dan lingkungan kerjanya.

D. Kompensasi

  Salah satu tujuan utama dari karyawan dalam menjalankan aktivitas kerja adalah untuk mendapatkan balas jasa atau imbalan atas jerih payahnya dalam bekerja. Balas jasa inilah yang disebut dengan kompensasi. Hal tersebut seperti ditegaskan oleh Handoko (2001) bahwa kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima oleh karyawan sebagai balas jasa untuk kerja mereka.

  Kompensasi tidak hanya penting bagi karyawan, tetapi juga bagi perusahaan. Menurut Handoko (2001), program-program kompensasi penting bagi perusahaan karena mencerminkan upaya perusahaan untuk mempertahan- kan sumberdaya manusianya. Di samping itu, kompensasi (dalam bentuk pengupahan dan balas jasa lainnya), sering merupakan komponen-komponen biaya yang paling besar dan penting. Bila pengupahan tidak diadministrasikan secara tepat, perusahaan bisa kehilangan para karyawannya yang baik dan harus mengeluarkan biaya untuk menarik, menyeleksi dan mengembangkan penggantinya. Bila karyawan tidak keluar, mereka mungkin menjadi tidak puas terhadap perusahaan dan menurunkan produktivitas mereka. Berdasarkan pendapat tesebut maka jelas bahwa kompensasi merupakan hal yang sangat penting dalam interaksi antara perusahaan dengan karyawannya.

  Notoatmodjo (2008) membedakan kompensasi menjadi dua jenis yaitu sebagai berikut :

  1. Kompensasi langsung (direct compensation), artinya kompensasi yang langsung dikaitkan dengan prestasi dan hasil kerja karyawan, misalnya upah dan gaji.

  2. Kompensasi tidak langsung (indirect compensation), adalah pemberian kompensasi yang tidak dikaitkan langsung dengan prestasi kerja para karyawan. Kompensasi ini disebutt juga kompensasi pelengkap, karena berfungsi untuk melengkapi kompensasi yang telah diterima karyawan melalui upah dan gaji. Contoh dari kompensasi ini adalah pembayaran upah untuk waktu tidak bekerja (time off benefits), perlindungan ekonomis terhadap bahaya (misalnya asuransi kecelakaan), program-program pelayanan (perumahan, rekreasi, dll), pembayaran kompensasi berdasarkan peraturan atau hukum yang berlaku.

  Dalam kompensasi terdapat beberapa komponen. Menurut Payaman Simanjuntak (dalam Wahono, 2011) komponen-komponen balas jasa atau kompensasi adalah sebagai berikut : a.

  Upah dan gaji Upah dan gaji ini bentuknya antara lain : 1) Gaji pokok yang dihitung berdasarkan kepangkatan dan masa kerja.

  2) Tunjangan jabatan, tunjangan keluarga dan tunjangan lainnya. 3) Potongan untuk dana pensiun, asuransi dan sebagainya.

  b.

  Tunjangan Tunjangan ini diberikan dalam bentuk barang (natura) seperti beras, gula, pakaian, dan lain-lain.

  c.

  Fringe Benefits

  

Fringe Benefits bentuknya seperti dana untuk pensiun, asuransi kesehatan,

  upah yang dibayar pada waktu libur, cuti dan waktu istirahat, perumahan dan fasilitas serta sarana olah raga dan sebagainya Menurut Davis dan Werther (dalam Susanta, dkk, 2013), kompensasi mengandung arti tidak sekedar hanya dalam bentuk bentuk finansial saja.

  Bentuk finansial langsung berupa upah, gaji, komisi, dan bonus. Sementara yang tidak langsung berupa asuransi, bantuan sosial, uang cuti, uang pensiun, pelatihan, dan sebagainya. Selain itu bentuk bukan finansial berupa unsur-unsur jenis pekerjaan dan lingkungan pekerjaan. Bentuk unsur pekerjaan meliputi tanggung jawab, perhatian dan penghargaan dari pimpinan, sementara bentuk lingkungan pekerjaan berupa kenyamanan kondisi kerja, distribusi pembagian kerja, dan kebijakan perusahaan.

  Pemberian kompensasi bagi karyawan tentu mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Adapun tujuan perusahaan memberikan kompensasi balas jasa kepada karyawannya (Handoko, 2001, Moeheriono, 2012) adalah : a. Memperoleh personalia yang kualified.

  Kompensasi perlu ditetapkan cukup tinggi untuk menarik para pelamar, karena perusahaan bersaing dalam pasar tenaga kerja. Tingkat pengupahan harus sesuai dengan kondisi penawaran dan permintaan tenaga kerja.

  b. Mempertahankan para karyawan yang ada sekarang.

  Untuk mencegah perputaran karyawan, pengupahan harus dijaga agar tetap kompetitif dengan perusahaan-perusahaan lain.

  c. Menjamin keadilan.

  Keadilan atau konsistensi internal dan eksternal sangat penting diperhatikan dalam penentuan tingkat kompensasi.

  b. Menghargai perilaku yang diinginkan.

  Kompensasi (balas jasa) bagi karyawan sangat berpengaruh terhadap perilaku dan hasil karya. Untuk menarik orang supaya masuk bekerja pada perusahaan, untuk mengusahakan karyawan datang bekerja, dan memotivasi mereka supaya bekerja lebih giat, maka perusahaan perlu memberikan imbalan pada karyawan yang telah mengorbankan waktu, kemampuan dan ketrampilan sehingga karyawan merasa puas karena usaha mereka dihargai.

  Kompensasi hendaknya mendorong perilaku yang diinginkan (pada karyawan). Prestasi kerja yang baik, pengalaman, kesetiaan, tanggung jawab dan perilaku-perilaku lain dapat dihargai melalui rencana kompensasi yang efektif.

  c. Mengendalikan biaya-biaya Program kompensasi yang rasional membantu organisasi untuk mendapatkan dan mempertahankan sumber daya manusia pada tingkat biaya yang layak.

  d. Memenuhi peraturan-peraturan legal.

  Program kompensasi yang baik harus dapat memenuhi semua peraturan pemerintah yang mengatur kompensasi karyawan.

  Suryati (2008) mengemukakan bahwa sistem kompensasi juga berpotensi sebagai salah satu sarana terpenting dalam membentuk perilaku dan mempengaruhi kinerja. Namun demikian banyak perusahaan mengabaikan potensi tersebut dengan suatu persepsi bahwa “kompensasi tidak lebih sekedar

  

cost yang harus diminimisasi”. Tanpa disadari beberapa perusahaan yang

  mengabaikan potensi penting dan berpersepsi keliru telah menempatkan sistem tersebut justru sebagai sarana meningkatkan perilaku yang tidak produktif atau counter productive. Akibatnya muncul sejumlah persoalan personal misalnya

  low employee motivation, poor job performance, high turn over, irresponsible behavior dan bahkan employee dishonestry yang diyakini berakar dari sistem

  kompensasi yang tidak proporsional.

  Lebih jauh Suryati (2008) mengemukakan bahwa secara umum kompensasi merupakan sebagian kunci pemecahan bagaimana membuat anggota berbuat sesuai dengan keinginan perusahaan. Sistem kompensasi ini akan membantu menciptakan kemauan diantara orang-orang yang berkualitas untuk bergabung dengan organisasi dan melakukan tindakan yang diperlukan organisasi. Secara umum berarti bahwa karyawan harus merasa bahwa dengan melakukannya, mereka akan mendapatkan kebutuhan penting yang mereka perlukan. Dimana di dalamnya termasuk interaksi sosial, status, penghargaan, pertumbuhan dan perkembangan. Pendapat Suryati tersebut di atas sejalan dengan pendapat Moeheriono (2012) bahwa keterkaitan kompensasi dengan kinerja karyawan sangatlah signifikan. Semakin tinggi kompensasi, semakin tinggi kepuasan kerja karyawan; ceteris paribus. Derajat kepuasan yang semakin tinggi akan semakin meningkatkan motivasi kerja karyawan dalam meraih kinerja yang semakin tinggi pula. Hasil penelitian Lemita (2012) juga menunjukkan bahwa kompensasi memberikan dampak signifikan terhadap kinerja karyawan.

E. Kepemimpinan

  Menurut Masmuh (2008), kepemimpinan sangat diperlukan bila suatu organisasi ingin sukses. Terlebih lagi, pekerja-pekerja yang baik selalu ingin tahu bagaimana mereka dapat menyumbang dalam pencapaian tujuan organisasi, dan paling tidak, gairah para pekerja memerlukan kepemimpinan sebagai dasar motivasi eksternal untuk menjaga tujuan-tujuan mereka tetap harmonis dengan tujuan organisasi.

  Menurut Chung dan Magginson, seperti dikutip Masmuh (2008), kepemimpinan adalah kesanggupan mempengaruhi perilaku orang lain dalam suatu arah tertentu. Sementara menurut Matondang (2008) kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang diinginkan dan Pfinner (dalam Danim, 2004) mendefinisikan kepemimpinan sebagai seni mengkoordinasi dan memberi arah kepada individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

  Berdasarkan uraian definisi tersebut di atas, dapat dicermati bahwa secara substansiil kepemimpinan merupakan aktivitas untuk mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian kemampuan mempengaruhi sangat diperlukan oleh seorang pemimpin dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya. Menurut Matondang (2008) salah satu elemen kunci kepemimpinan adalah influence (pengaruh). Pertimbangan utama dari para pemimpin adalah mempengaruhi orang lain untuk melakukan hal-hal yang diperlukan dalam mencapai goal yang spesifik dan pertimbangan lainnya adalah membangun hubungan pribadi dengan para pengikutnya berdaasrkan kepercayaan, harapan/rasa ketergantungan dan kepedulian satu sama lain.

  Menurut Rivai (2010), kepemimpinan juga dikatakan sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang ada hubungannya dengan pekerjaan para anggota kelompok. Tiga implikasi penting yang terkandung dalam hal ini yaitu :

  1. Kepemimpinan itu melibatkan orang lain baik itu bawahan maupun pengikut.

  2. Kepeminminan melibatkan pendistribusian kekuasaan antara pemimpin dan anggota kelompok secara seimbang, karena anggota kelompok bukanlah tanpa daya.

  3. Adanya kemampuan untuk menggunakan bentuk kekuasaan yang berbeda untuk mempengaruhi tingkah laku pengikutnya melalui berbagai cara.

  Siagian (2007) berpendapat bahwa peranan para pemimpin dalam organisasi sangat sentral dalam pencapaian tujuan dari berbagai sasaran yang ditetapkan sebelumnya. Perilaku kepemimpinan memiliki kecenderungan pada dua hal yaitu konsiderasi atau hubungan dengan bawahan dan struktur inisiasi atau hasil yang dicapai. Kecenderungan kepemimpinan menggambarkan hubungan yang akrab dengan bawahan misalnya bersikap ramah, membantu dan membela kepentingan bawahan, bersedia menerima konsultasi bawahan dan memberikan kesejahteraan. Kecenderungan seorang pemimpin memberikan batasan antara peranan pemimpin dan bawahan dalam mencapai tujuan, memberikan instruksi pelaksanaan tugas (kapan, bagaimana dan hasil apa yang akan dicapai). Suatu gaya pemimpin atau manajer dalam organisasi merupakan penggambaran langkah kerja bagi karyawan yang berada di bawahnya.

  Aspek kepemimpinan dalam ajaran Islam sangat penting. Menurut Sudarmo (2012), di dalam konsep (manhaj) Islam, pemimpin merupakan hal yang sangat final dan fundamental. Ia menempati posisi tertinggi dalam bangunan masyarakat Islam. Dalam kehidupan berjama'ah, pemimpin ibarat kepala dari seluruh anggota tubuhnya. Ia memiliki peranan yang strategis dalam pengaturan pola (minhaj) dan gerakan (harakah). Pemimpin berada pada posisi yang menentukan terhadap perjalanan ummatnya. Apabila sebuah jama'ah memiliki seorang pemimpin yang prima, produktif dan cakap dalam pengembangan dan pembangkitan daya juang dan kreativitas amaliyah, maka dapat dipastikan perjalanan ummatnya akan mencapai titik keberhasilan. Oleh karena itulah, Islam memandang bahwa kepemimpinan memiliki posisi yang sangat strategis dalam terwujudnya masyarakat yang berada dalam Baldatun

  Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur , yaitu masyarakat Islami yang dalam sistem kehidupannya menerapkan prinsip-prinsip Islam.

  Untuk menjadi seorang pemimpin dibutuhkan beberapa keterampilan tertentu. Ketrampilan tersebut menurut Keith Davis (dalam Masmuh, 2008) terdiri dari :

  1. Keterampilan teknis, (technical skill), yaitu ketrampilan untuk menggunakan pengetahuan, metode, prosedur, proses dan peralatan yang diperlukan untuk dapat melaksakan tugas tertentu yang diperoleh dari pengalaman, pendidikan dan pelatihan.

  2. Keterampilan kemanusiaan (human skill), yaitu ketrampilan untuk bekerja dengan dan melalui orang lain, yang mencakup pemahaman tentang motivasi dan penerapan kepemimpinan yang efektif.

  3. Keterampilan konseptual (conseptual skill), yaitu kemampuan untuk memahami kompleksitas organisasi dan penyesuaian setiap bidang kegiatan kerja organisasi ke dalam bidang lain secara menyeluruh dan terkoordinir. Kemampuan konseptual berkaitan dengan gagasan, untuk berpikir dalam kaitannya dengan model, kerangka, hubungan yang luas, seperti rencana jangka panjang.

  Sedangkan George R Terry mengemukakan 8 (delapan) ciri mengenai kepemimpinan dari pemimpin yaitu : (Anonim, 2014)

1. Energik, mempunyai kekuatan mental dan fisik; 2.

  Stabilitas emosi, tidak boleh mempunyai prasangka jelek terhadap bawahannya, tidak cepat marah dan harus mempunyai kepercayaan diri yang cukup besar; 3. Mempunyai pengetahuan tentang hubungan antara manusia; 4. Motivasi pribadi, harus mempunyai keinginan untuk menjadi pemimpin dan dapat memotivasi diri sendiri;

  5. Kemampuan berkomunikasi, atau kecakapan dalam berkomunikasi dan atau bernegosiasi;

  6. Kemamapuan atau kecakapan dalam mengajar, menjelaskan, dan mengembangkan bawahan;

  7. Kemampuan sosial atau keahlian rasa sosial, agar dapat menjamin kepercayaan dan kesetiaan bawahannya, suka menolong, senang jika bawahannya maju, peramah, dan luwes dalam bergaul;

  8. Kemampuan teknik, atau kecakapan menganalisis, merencanakan, mengorganisasikan wewenang, mangambil keputusan dan mampu menyusun konsep.

  Jadi ada cukup banyak kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Idealnya seorang pemimpin dapat memiliki semua kemampuan tersebut, atau setidaknya memiliki sebagian besar. Semakin banyak seorang pemimpin memiliki kemampuan tersebut, maka ia akan semakin kuat dan mampu daam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin.

  Ada tugas-tugas penting yang diemban oleh seorang pemimpin. Menurut Sopiah (2008), ada dua fungsi penting yang harus ada pada seorang pemimpin, yaitu Fungsi tugas dan Fungsi pemeliharaan.

1. Fungsi tugas

  Fungsi ini berhubungan dengan sesuatu yang harus dilaksanakan untuk memilih dan mencapai tujuan-tujuan secara rasional. Adapun fungsi tugas seorang pemimpin adalah : menciptakan kegiatan, mencari informasi, memberi informasi, memberi pendapat, menjelaskan, mengkoordinasikan, meringkaskan, menguji kelayakan, mengevaluasi, dan mendiagnosis.

  2. Fungsi pemeliharaan Fungsi ini berhubungan dengan kepuasan emosi yang diperlukan untuk mengembangkan dan memelihara kelompok, masyarakat atau untuk keberadaan organisasi. Adapun fungsi pemeliharaan seorang pemimpin adalah: mendorong semangat, menetapkan standar, mengikuti, mengekspresikan perasaan, mengambil konsensus, menciptakan keharmonisan dan mengurangi ketegangan.

  Kepemimpinan banyak menyita perhatian para ahli, sehingga lahir pemikiran dan teori-teori kepemimpinan, Dalam kaitan ini Wahjosumidjo mengemukakan bahwa proses dinamis perkembangan kepemimpinan telah melahirkan teori-teori tentang kepemimpinan, yaitu sebagai berikut : a. Kepemimpinan menurut Teori Sifat

  Teori ini bertolak dari dasar pemikiran bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat-sifat, perangai atau ciri-ciri yang dimiliki oleh pemimpin itu. Sifat-sifat itu berupa sifat fisik dan psikologis. Atas dasar pemikiran tersebut timbul anggapan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil adalah ditentukan oleh kemampuan pribadi, yang dimaksud adalah kualitas seseorang dengan berbagai macam sifat perangai atau ciri-ciri di dalamnya. Oleh karena itu para ahli berusaha untuk meneliti dan merinci lebih jauh kualitas seorang pemimpin yang berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan, kemudian hasil- hasil tersebut dirumuskan ke dalam sifat-sifat umum seorang pemimpin.

  b. Kepemimpinan menurut Teori Perilaku Perilaku atau apa yang dilakukan oleh pemimpin lebih dekat hubungannya dengan proses kepemimpinan. Berdasarkan penelitian, perilaku seorang pimpinan mempunyai kecenderungan ke arah dua hal, yaitu pertama, disebut konsideransi (consideration) yaitu kecenderungan kepemimpinan yang menggambarkan hubungan akrab dengan bawahan. Kedua, disebut struktur inisiasi (initiating structure) yaitu kecenderungan seorang pemimpin yang memberikan batasan antara pemimpin dan peranan bawahan dalam mencapai tujuan organisasi. c. Kepemimpinan menurut Teori Kontingensi Pada perspektif teori ini dikatakan bahwa dalam situasi kerja ada 3 macam elemen penting yang akan menentukan gaya atau perilaku kepemimpinan yang efektif, yaitu : 1) Hubungan antar pemimpin dengan bawahan, 2) Struktur tugas, 3) Kewibawaan kedudukan pemimpin.

F. Kerangka Pikir Penelitian

  Kerangka pikir dalam penelitian ini dapat digambarkan pada skema sebagai berikut : Gambar 2. Kerangka pikir penelitian G.

   Hipotesis

  Hipotesis merupakan dugaan atau jawaban sementara yang masih perlu dibuktikan kebenarannya. Berdasarkan perumusan masalah dan kajian teori yang menjadi acuan dalam penelitian ini, diajukan hipotesis sebagai berikut :

  Lingkungan Kerja (X

  1 )

  Stres Kerja (X

  2 )

  Kompensasi (X

  3 )

  Kepemimpinan (X

  4 )

  Motivasi Kerja (Y) H : Lingkungan kerja berpengaruh signifikan terhadap motivasi kerja

  1 karyawan.

  H 2 : Stres kerja berpengaruh signifikan terhadap motivasi kerja karyawan. H 3 : Kompensasi berpengaruh signifikan terhadap motivasi kerja karyawan. H

  

4 : Kepemimpinan berpengaruh signifikan terhadap motivasi kerja

karyawan.

  H

  

5 : Lingkungan kerja, stres kerja, kompensasi dan kepemimpinan secara

simultan berpengaruh signifikan terhadap motivasi kerja karyawan.